• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Umum

Pada dasarnya dalam merencanakan bangunan, contohnya jembatan terdiri dari perencanaan struktur atas (upper structure) dan perencanaan struktur bawah (sub structure). Perencanaan struktur atas terdiri dari bagian-bagian jembatan yang berada di atas permukaan tanah. Perencanaan struktur bawah adalah bangunan yang terdapat di bawah permukaan tanah, yaitu abutment dan pondasi.

2.2 Bangunan Bawah Jembatan

Bangunan bawah jembatan berfungsi sebagai bangunan yang menerima beban-beban dari struktur atas dan didistribusikan ke pondasi. Bangunan bawah jembatan meliputi:

1. Abutment

Abutment atau kepala jembatan berada pada kedua ujung jembatan.

Abutment memiliki fungsi sebagai pendukung bagi bangunan atas, selain itu abutment juga memiliki fungsi untuk menahan tanah. Dalam merencanakan bentuk abutment dipengaruhi oleh keadaan di lapangan seperti daya dukung tanah dasar dan penurunan (settlement) yang terjadi.

Pada proses perencanaan abutment, bahan yang digunakan yaitu batu atau beton bertulang

2. Plat Injak

Plat injak merupakan bagian dari struktur bawah jembatan yang memiliki fungsi untuk mendistribusikan beban-beban yang diperoleh dari bagian atas jembatan secara menyeluruh ke tanah dan untuk melindungi terjadinya defleksi pada permukaan jalan.

3. Pondasi

Pondasi merupakan struktur bawah jembatan yang terletak di dalam tanah.

Pondasi berfungsi sebagai penahan beban bangunan yang berada di atasnya dan mendistribusikan ke tanah dasar, baik kea rah melintang maupun memanjang. Dalam perencanaan suatu bangunan, perlu

(2)

diperhitungkan beberapa hal untuk memperoleh bangunan yang kuat, stabil dan ekonomis. Beberapa hal yang perlu diperhitungkan sebagai berikut:

 Sifat-sifat dan daya dukung tanah.

 Jenis dan ukuran bangunan yang akan dibuat.

 Kondisi lingkungan pada lokasi pelaksanaan.

 Alat-alat yang tersedia.

 Waktu pelaksanaan yang cukup.

2.3 Pembebanan Jembatan

Pada perencanaan struktur jembatan standar peraturan yang digunakan untuk menganalisa pembebanan yang akan di pikul ialah standar peraturan SNI 1725:2016 tentang pembebanan untuk jembatan. Fungsi, bentuk, dan tipe pada jembatan ialah hal yang berpengaruh dalam merencanakan beban-beban yang bekerja. Pada dasarnya pembebanan pada struktur jembatan terbagi atas 3 jenis yang dapat dilihat pada sekma Gambar 2.1.

Gambar 2. 1 Skema Pembebanan Jembatan 2.3.1 Beban Permanen

2.3.1.1 Berat Sendiri (MS)

Berat sendiri ialah berat dari bagian - bagian struktural lain yang dipikul seperti berat material dan bagian dari jembatan yang termasuk elemen struktural

(3)

yang digabungkan dengan elemen non struktural yang dianggap permanen. Pada Tabel 2.1 merupakan faktor beban beban yang digunakan untuk berat sendiri.

Tabel 2.1 Faktor beban untuk berat sendiri Tipe

beban

Faktor beban ( )

Keadaan Batas Layan ( ) Keadaan Batas Ultimit ( )

Bahan Biasa Terkurangi

Tetap Baja 1,00 1,10 0,90

Aluminium 1,00 1,10 0,90

Beton Pracetak 1,00 1,20 0,85

Beton dicor di tempat 1,00 1,30 0,75

Kayu 1,00 1,40 0,70

Sumber SNI 1725:2016

2.3.1.2 Beban Mati Tambahan (MA)

Beban mati tambahan adalah berat dari keseluruhan material yang membentuk suatu beban pada jembatan yang merupakan elemen non struktural, namun besarnya beban dapat berubah selama umur jembatan.

Tabel 2.2 Faktor beban untuk beban mati tambahan

Tipe Beban

Faktor beban ( )

Keadaan Batas Layan ( ) Keadaan Batas Ultimit ( )

Keadaan Biasa Terkurangi

Tetap

Umum 2,00 0,70

Khusus (terawasi) 1,00 1,40 0,80

: Faktor beban layan sebesar 1,3 digunakan untuk berat utilitas Sumber SNI 1725:2016

2.3.2 Beban Lalu Lintas

Pada perencanaan jembatan beban lalu lintas terdiri dari beban lajur “D”

dan beban truk “T”. Dampak yang lebih besar terjadi pada struktur jembatan yang memiliki bentang cukup panjang ialah diberikan pada beban lajur “D”. Sedangkan

(4)

pada jembatan yang memiliki bentang yang lebih kecil dan sistem lantai deck, dampak akan lebih besar pada beban truk “T”.

2.3.2.1 Beban Lajur “D” (TD)

Beban terbagi rata (BTR) yang digabung dengan beban garis terpusat (BGT) ialah bagian dari beban lajur “D” yang terlihat pada Gambar 2.2. Pada Tabel 2.3 ialah faktor beban yang digunakan pada beban lajur “D”. Pada seluruh lebar lajur kendaraan beban lajur “D” bekerja dan menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekuivalen dengan suatu iring-iringan kendaraan yang sebenarnya.

Bergantung pada dimensi lebar jalur kendaraannya total beban lajur “D” tersebut dapat bekerja.

Tabel 2.3 Faktor beban untuk beban lajur “D”

Tipe beban

Jembatan Faktor beban ( ) Keadaan Batas

Layan ( )

Keadaan Batas Ultimit ( )

Transien Beton 1,00 1,80

Boks Girder Baja 1,00 2,00

Gambar 2.2 Beban Lajur "D"

Sumber: SNI 1725:2016 Hal.39

Beban terbagi rata (BTR) memiliki intensitas q kPa, panjang total (L) ialah hal yang bergantung akan besarnya nilai q adalah :

(5)

Keterangan :

Untuk perhitungan beban lajur “D” adalah :

Dtd = (qtd x L) + Ptd ………(2.3) Reaksi perletakan akibat beban tersebut adalah :

0,5D = ½ x Dtd ………..…(2.4) Dengan posisi tegak lurus terhadap arah lalu lintas pada jembatan, beban garis terpusat (BGT) yang bekerja dengan intensitas p kN/m. Nilai intensitas p sebesar 49,0 kN/m. Agar dapat menghasilkan momen lentur negatif terbesar pada jembatan, BGT kedua yang identik harus ditempatkan pada posisi dalam arah melintang jembatan pada bentang yang lainnya.

Hasil interaksi antara kendaraan yang bergerak ialah merupakan Faktor Beban Dinamis (FBD) dan jembatan. Bergantung pada besarnya frekuensi dasar suspensi kendaraan agar mendapat nilai FBD, dan frekuensi dari getaran lentur jembatan. Nilai FBD didapat dengan menggunakan grafik pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Faktor Dinamis untuk Beban T untuk Pembebanan Lajur "D"

Sumber: SNI 1725:2016 Hal. 45

(6)

2.3.2.2 Beban Truck “T”

Bbersama dengan adanya beban “D” ada pula beban lalu lintas lainnya yaitu beban truk “T”. Beban truk “T” tidak dapat digunakan bersamaan dengan beban “D”. Besarnya beban truk “T” ditunjukkan pada Gambar 2.3. Adapun faktor beban untuk beban “T” seperti terlihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Faktor beban untuk beban “T”

Sumber: SNI 1725:2016 Hal.41

Gambar 2.4 Pembebanan Truk "T" (500 kN)

Pada Gambar 2.4 dapat dilihat beban pada truk “T” ialah satu kendaraan berat dengan 3 as yang ditempatkan pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana. Beban pada setiap gandar dibagi menjadi 2 beban merata sama besar yang termasuk bidang kontak antara roda dengan permukaan lantai. Jarak untuk 2 gandar tidak tetap dari 4,0 - 9,0 m agar pengaruh maksimum didapatkan dengan arah memanjang jembatan.

Tipe beban

Jembatan Faktor beban ( ) Keadaan Batas Layan ( )

Keadaan Batas Ultimit ( )

Transien Beton 1,00 1,80

Boks Girder Baja

1,00 2,00

(7)

2.3.2.3 Gaya Rem

Nilai untuk gaya rem harus diambil yang terbesar dari :

 25% dari berat gandar truk desain atau,

 5% dari berat truk rencana ditambah beban lajur terbagi rata BTR

Gaya rem harus ditempatkan pada semua lajur rencana yang dimuati lalu lintas dengan arah yang sama. Percepatan pada lalu lintas ditetapkan sebagai gaya yang bekerja arah memanjang yang bekerja dipermukaan jalan dan harus ditinjau untuk kedua jurusan lalu lintas. Gaya rem tersebut dianggap bekerja horizontal dalam arah sumbu jembatan dengan titik tangkap setinggi 1,80 m diatas permukaan lantai jembatan. Faktor kepadatan lajur sudah ditentukan dan berlaku dalam menghitung gaya rem.

2.4 Tanah sebagai Dasar Pondasi

Pada pekerjaan konstruksi, tanah memiliki peran yang sangat penting.

Hardiyatmo (1996:57) menjelaskan bahwa kondisi tanah di alam merupakan campuran dari butiran mineral yang mengandung bahan organik, akan tetapi ada juga butiran mineral yang tidak mengandung bahan organik. Tanah terbentuk dari batuan yang mengalami pelapukan, seperti pelaukan fisik maupun kimia. Tanah memiliki berbagai sifat teknis, kecuali sifat dari batuan induk yang berasal dari material asal, selain pelapukan batuan yang menyebabkan terbentuknya tanah juga disebabkan oleh unsur-unsur lainnya.

Komponen tanah terdiri dari tiga hal, yaitu udara, air dan bahan padat.

Komponen-komponen tersebut tidak seluruhnya dapat mempengaruhi sifat teknis tanah, seperti halnya udara yang tidak dapat mempengaruhi sedangkan air sangat berperan dalam mempengaruhi sifat teknis tanah. Ruang dalam tanah yang terletak di antara butiran-butiran dapat terisi oleh air atau udara, baik sebagian atau seluruhnya. Apabila rongga pada tanah terisi oleh air seluruhnya. Apabila rongga pada tanah terisi air seluruhnya, maka tanah berada pada keadaan jenuh.

Akan tetapi, apabila rongga pada tanah terisi oleh udara dan air, maka tanah berada pada keadaan jenuh sebagian (partially saturated). Selain pada keadaan

(8)

jenuh dan jenuh sebagian, tanah juga dapat mengalami keadaan kering dikarenakan tidak adanya kandungan air atau kadar air pada tanah yang bernilai 0.

2.5 Kekuatan Tanah sebagai Dasar Pondasi

Frick (2001:57), menjelaskan bahwa tanah sebagai dasar pondasi memiliki kekuatan yang dipengaruhi oleh kelompok dan struktur lapisan tanah yang mengalami perubahan akibat air hujan dan cuaca. Perencanaan pondasi bergantung pada struktur tanah, apabila struktur tanah semakin heterogen maka semakin sulit dalam merencanakan pondasi.

Dalam melakukan penyelidikan kekuatan tanah dilakukan berdasarkan beberapa hal, yaitu:

a. Ketebalan dan kedalaman lapisan bumi, seperti lapisan yang akan digunakan sebagai tempat peletakkan pondasi.

b. Tegangan tanah (σ) yang diijinkan.

c. Kondisi hidrologis tanah.

Selain kekuatan dan kelemahan tanah, kekokohan lapisan tanah dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:

a. Pemadatan dan penurunan tanah yang diakibatkan oleh getaran kendaraan, alat berat dan lain halnya.

b. Penurunan tanah yang diakibatkan oleh perubahan hidrologis, seperti kadar air tanah atau penurunan muka air tanah, serta erosi pada tepi sungai dan lain halnya.

c. Pergeseran tanah atau longsor yang diakibatkan oleh tekanan berat, terendamnya tanah akibat peristiwa banjir atau air pasang.

Beberapa hal di atas mengakibatkan penurunan tanah yang tidak dapat dihindari, akan tetapi dengan merencanakan pondasi yang baik akan menghambat atau memperkecil terjadinya penurunan tanah.

2.6 Penyelidikan Tanah

Gunawan, dkk (1983:58) menjelaskan bahwa penyeledikan tanah di lapangan perlu dilakukan. Hal ini memiliki tujuan agar sebelum dilakukannya perencanaan bangunan perlu diketahui keadaan dan jenis lapisan tanah sehingga

(9)

tidak menimbulkan penurunan (settlement) yang terlalu besar. Oleh karena itu, pondasi harus dibuat hingga kedalaman lapisan tanah keras.

2.6.1 Uji Sondir (Cone Penetratipn Test)

Penyelidikan tanah salah satunya yaitu dengan melakukan uji sondir yang bertujuan untuk mendapatkan parameter-parameter perlawanan penetrasi lapisan taanh di lapangan menggunakan peralatan sondir. Parameter-parameter tersebut yaitu perlawanan konus (qc), perlawanan geser (fs), angka banding geser (Rf) dan geseran total tanah (Tf) yang digunakan sebagai pemahaman teoritis terhadap lapisan tanah yang merupakan bagian dari suatu desain pondasi.

Alat sondir yang umum digunakan dan telah diterima secara luas tercantum dalam ASTM D 3441-75T yaitu sondir yang mempunyai luas proyeksi ujung konus sebesar 10 cm2 dan luas selimutnya sebesar 150 cm2, penetrasi yang dilakukan dengan manual atau hidrolik dengan kecepatan tidak lebih dari 2 cm/detik. Alat sondir terdiri dari konus atau bikonus yang dihubungkan dengan batang dalam penyanggah (casting). Kemudian alat sondir ini ditekan kedalam tanah dengan bantuan mesin sondir hidrolik yang digerakkan secara manual.

Terdapat dua tipe ujung konus pada sondir mekanis yang digunakan dalam melakukan pengambilan data, yaitu:

1. Konus biasa, yaitu tipe konus pada sondir mekanis yang diukur adalah perlawanan ujung konus. Tipe ini umumnya digunakan pada jenis tanah berbutir kasar dan memiliki besar perlawanan lekatnya kecil.

2. Bikonus, yaitu tipe ujung konus pada sondir mekanis yang diukur adalah perlawanan ujung konus. Tipe ini umumnya digunakan pada jenis tanah berbutir halus dan memiliki hambatan lekatnya yang biasa.

Kegunaan uji sondir dalam penyelidikan tanah menurut Sihotang (2009:78) sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui jenis dan karakteristik tanah.

2. Untuk memperoleh data-data mengenai pengeboran tanah.

3. Untuk menentukan daya dukung dari pondasi.

(10)

4. Untuk mengetahui kedalaman dari suatu lapisan tanah keras serta daya dukung tanah maupun daya lekat pada tiap-tiap kedalaman.

5. Untuk mengetahui jenis tanah secara berskala.

6. Sebagai evaluasi atau tinjauan kembali mengenai karakteristik teknis pada tanah.

Pada pengujian sondir yang dilakukan untuk memperoleh data tanah, memiliki 2 tujuan umum, yaitu:

1. Tujuan praktis yaitu untuk mengetahui kekuatan dan kedalaman dari lapisan-lapisan tanah.

2. Tujuan teoritis yaitu untuk mengetahui penetrasi konus dan jumlah dari hambatan lekat tanah.

2.6.2 Uji SPT (Standard Penetration Test)

Penyelidikan tanah dengan menggunakan metode SPT (Standard Penetration Test) merupakan metode yang dilakukan dengan menancapkan ujung batang pemancangan ke dalam tanah dengan memberikan tekanan berupa pukulan palu dan mengukur kedalaman penetrasi per jumlah pukulan. Uji SPT (Standard Penetration Test) terdiri astas dua langkah pengujian yaitu uji pemukulan tabung belah dinding tebal ke dalam tanah yang disertai dengan pengukuran kedalaman penetrasi per jumlah pukulan untuk memasukkan tabung belah dengan kedalaman 300 mm secara vertikal. Dalam sistem beban jatuh, palu yang digunakan memiliki berat sebesar 63,5 kg yang dijatuhkan secara berkala dengan tinggi jatuh palu yaitu 0,76 m.

Berdasarkan SNI 4153-2008, tahapan dalam pelaksanaan pengujian dibagi menjadi tiga tahapan. Pada tahapan pertama dicatat sebagai dudukan, sedangkan pada tahapan kedua dan ketiga yaitu dengan memasukkan jumlah pukulan, kemudian ditotal untuk mendapatkan nilai pukulan sebanyak N atau perlawanan SPT yang ditetapkan pada setiap pukulan /0,3 m.

Lembaran drilling log merupakan hasil dari pekerjaan bor dan SPT yang berisis data-data sebagai berikut:

(11)

a. Penjelasan mengenai tanah seperti jenis dan warna tanah, serta tingkat elastisitas dan ketebalan dari tiap lapisan tanah.

b. Pengambilan sampel contoh tanah asli atau Undisturbed Sample (UDS).

c. Hasil uji SPT.

d. Letak muka air tanah.

e. Tanggal pekerjaan dimulai dan berakhir.

Jumlah pukulan sebanyak N bertujuan untuk mendapatkan petunjuk mengenai kerapatan relatif di lapangan, umumnya untuk jenis tanah berpasir atau kerikil dan hambatan dari jenis tanah terhadap penetrasi. Pengujian ini umumnya dilakukan pada tanah keras.

Hubungan nilai N dengan kerapatan relatif (Dr) yang diusulkan oleh Terzaghi dan Peck (1948:88), untuk tanah pasir disajikan dalam Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Hubungan N dengan kerapatan relative (Dr) tanah pasir

Nilai N Kerapatan relatif (Dr)

< 4 Sangat tidak padat

4 – 10 Tidak padat

10 – 30 Kepadatan sedang

30 – 50 Padat

> 50 Sangat padat

Sumber: Hardiyatmo. 2014:49

Tujuan penyelidikan tanah dengan pengujian SPT (Standard Penetration Test) menurut Sihotang (2009:89) yaitu:

 Untuk mengetahui kepadatan relatif dari lapisan tanah berdasarkan pengambilan sampel tanah menggunakan tabung sehingga dapat diketahui ketebalan dan jenis tanah dari setiap lapisan kedalaman tanah.

 Untuk mendapatkan data yang bermutu pada perlawanan penetrasi tanah serta menentukan kepadatan dari tanah yang tidak memiliki keterikatan yang umumnya sulit diperoleh sampel tanahnya.

2.6.3 Uji Laboratorium

Uji laboratorium memiliki fungsi untuk memeperoleh sifat-sifat tanah dari setiap lapisan tanah yang dilakukan pengujian bor. Sampel tanah diperoleh dari

(12)

setiap lapisan tanah yang kemudian dilakukan uji triaksial untuk memperoleh nilai dari sudut geser dalam (ϕ), berat volume tanah (γ) serta kohesi tanah (C).

Pengujian laboratorium untuk perhitungan daya dukung tanah ujung dilakukan berdasarkan empat metode, yaitu metode Terzaghi, Meyerhof, metode Tomlinson dan metode Lamda. Metode Terzaghi, Meyerhof dan Tomlinson digunakan untuk menghitung daya dukung pondasi berdasarkan data laboratorium. Sedangkan metode Lamda digunakan untuk menghitung daya dukung selimut pondasi.

2.7 Aksi Lingkungan a. Beban Angin

Tekanan angin yang digunakan ditetapkan berdasarkan angin rencana dengan kecepatan dasar (VB) sebesar 90 hingga 126 km/jam. Beban angin harus diasumsikan tersebar secara merata pada permukaan yang terkena angin. Luas area yang dihitung merupakan luas are dari semua bagian yaitu berupa sistem lantai dan railing yang diambil tegak lurus terhadap arah angin. Besarnya nilai tekanan angin rencana dengan satuan Mpa dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut.

VDZ = 2,5 Vo (

) ln (

)………(2.5)

PD = ( ) (ton)………(2.6) Sumber: SNI 1725: 2016 Hal: 56

Keterangan:

VDZ = kecepatan angin rencana pada elevasi rencana, Z (km/jam)

VB = kecepatan angin rencana, dengan kecepatan 90 – 126 km/jam pada elevasi 1000 mm

PB = nilai tekanan angin dasar yang disajikan pada Tabel 2.6 Tabel 2.6 Tekanan Angin Dasar Komponen Bangunan

Atas

Angin Tekan (MPa)

Angin Hisap (MPa) Rangka, Kolom,

Pelengkung

0,0024 0,0024

(13)

Komponen Bangunan Atas

Angin Tekan (MPa)

Angin Hisap (MPa)

Balok 0,0024 N/A

Permukaan Dasar 0,0019 N/A

Sumber: SNI 1725: 2016 Hal: 56

Gaya total beban angin tidak boleh menggunakan nilai kurang dari 4,4 kN/mm pada bidang tekan dan 2,2 kN/mm pada bidang hisap struktur rangka dan pelengkung. Selain itu, gaya total beban angin juga tidak boleh menggunakan nilai kurnag dari 4,4 kN/mm pada balok atau gelagar.

b. Pengaruh Gempa

Pada perencanaan jembatan sangat penting untuk untuk meminimalisir keruntuhan yang dapat terjadi tetapi dapat mengalami kerusakan dan gangguan akibat terjadinya gempa. Beban gempa diperoleh dengan menggunakan perhitungan pada persamaan berikut.

EQ = ………(2.7)

Inersia penampang breast wall.

Ic =

x b x h3 ………(2.8) Modulus elastisitas beton:

Ec = 4700 x √ ………..…(2.9) Nilai kekakuan:

Kp = 3 x Ec x

………...(2.10) Waktu getar alami struktur:

T = 2л√

……….…(2.11)

Sumber: SNI 1725: 2016 Hal: 58 Keterangan:

EQ = gaya gempa yang bekerja secara horizontal statis (kN) Csm = koefisien respon gempa elastis

Rd = faktor modifikasi respon

Wt = berat keseluruhan pada struktur, yaitu berupa beban mati dan beban hidup yang sesuai (kN)

(14)

Koefisien respon elastis (Csm) didapat berdasarkan peta percepatan batuan dasar dan spectra percepatan yang sesuai dengan daerah gempa dan periode ulang gempa rencana. Berdasarkan peta gempa, maka koefisien percepatan dikalikan dengan nilai dari faktor amplifikasi yang sesuai pada kondisi tanah hingga mencapai kedalaman tanah sedalam 30 m pada bagian bawah struktur jembatan.

Adapun koefisien respon gempa elastis yaitu sebagai berikut:

a. Untuk periode yang lebih kecil dari T0, koefisien respon gempa elastis (Csm) diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut.

Csm = (SDS – As) + As……….…(2.12) b. Untuk periode yang lebih besar dari dan/atau sama dengan T0 dan lebih

kecil dari dan/atau sama dengan Ts, respon spektra percepatan, Csm sama dengan SDS.

c. Untuk periode lebih besar dari Ts, koefisien respon gempa elastis Csm diperoleh berdasarkan persamaan berikut.

Csm = ………(2.13)

d. Untuk memperhitungkan tegagan maupun deformasi struktur yang timbul akibat pengaruh temperatur, diambil perbedaan temperatur yang besarnya setngah dari selisih antara temperatur maksimum dan temperatur minimum rata-rata pada lantai jembatan.

TET = α x T x k x L/2 x n ………(2.14) Nilai faktor modifikasi respon untuk bangunan bawah dikategorikan berdasarkan kepentingan bangunannya yang dapat dilihat pada Tabel 2.7.

Tabel 2.7 Faktor Modifikasi Respon untuk Bangunan Bawah Bangunan Bawah

Kategori Kepentingan Sangat

Penting

Penting Lainnya

Pilar tipe dinding 1,5 1,5 2,0

Tiang/kolom beton bertulang

Tiang vertikal Tiang miring

1,5 1,5

2,0 1,5

3,0 2,0

(15)

Bangunan Bawah

Kategori Kepentingan Sangat

Penting

Penting Lainnya

Kolom tunggal 1,5 2,0 3,0

Tiang baja dan komposit Tiang vertikal

Tiang miring

1,5

1,5 3,5

2,0

5,0 3,0

Kolom majemuk 1,5 3,5 5,0

Sumber: SNI 2833: 2013. Hal:22

Sedangkan nilai faktor modifikasi respon untuk hubungan antar elemen struktur yang didasarkan pada semua kategori kepentingan dapat dilihat pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8 Faktor Modifikasi Respon untuk Hubungan antar Elemen Struktur Hubungan Elemen Struktur Semua Kategori Kepentingan Bangunan atas dengan kepala jembatan 0,8

Sambungan muai (dilatasi) pada bangunan atas

0,8 Kolom, pilar, atau tiang dengan bangunan

atas

1,0

Kolom atau pilar dengan pondasi 1,0

Sumber: SNI 2833: 2013. Hal:22 2.8 Abutment Jembatan

Abutment atau kepala jembatan merupakan struktur bawah jembatan yang berada pada ujung-ujung jembatan. Abutment memiliki fungsi untuk memikul seluruh beban-beban yang bekerja pada ujung luar batang, pinggir dan gaya-gaya lainnya, serta meneruskan ke bagian pondasi. Apabila syarat keamanan dari daya dukung tanah yang terletak pada bagian bawah abutment tidak terpenuhi maka daya dukungnya harus ditambah, yaitu dengan melakukan perencanaan pondasi dalam, contohnya pondasi caisson atau pondasi tiang pancang.

Struktur dari abutment secara umum terdapat tiga bentuk yang disajikan pada Gambar 2.5. Sedangkan untuk tinggi abutment sebaiknya disesuaikan seperti pada Tabel 2.9.

(16)

Gambar 2.5 Bentuk Umum dari Abutment Sumber: Sosrodarsono, dkk. 2000. Hal: 303 Tabel 2.9 Tinggi Abutment untuk Berbagai Bentuk Macam

Kepala Abutment

Tinggi pemakaian (m)

0 5 10 15 20 25

Tipe dengan penopang

0 - 8 meter Bentuk T

terbalik 0 - 12 meter

Tipe semi

gravitasi 0 - 7 meter

Tipe

gravitasi 0 - 5 meter

Sumber: Sosrodarsono, dkk. 2000: 303

Pengertian abutment menurut Child (1993:303), abutment dapat diartikan sebagai dinding penahan tanah yang memiliki fungsi untuk mendistribusikan gaya-gaya vertikal dan horizontal dari struktur atas ke pondasi dengan tujuan tambahan, yaitu untuk melakukan perubahan tumpuan dari oprit ke bagian struktur atas jembatan. Apabila abutment dalam perencanaannya dibuat semakin tinggi, maka berat tanah timbunan dan tekanan tanah aktif akan semakin tinggi pula, hal inilah yang sering kali dilakukan pembuatan bermacam-macam bentuk untuk mengurangi pengaruh-pengaruh yang terjadi. Untuk perencanaan abutment yang aman faktor keamaan dapat diperbesar yaitu dengan melakukan pengurugan tanah setinggi elevasi peletakkannya. Penambahan faktor keamanan juga memberikan akses yang baik pada konstruksi plat jembatan.

(17)

2.8.1 Kriteria dalam Perencanaan Abutment

Pada perencanaan abutment, hal pertama yang harus dilakukan adalah menentukan dimensi abutment. Penentuan dimensi abutment yang didasarkan pada Perencanaan Jembatan oleh Direktorat Jembatan dan Direktorat Jenderal Bina Marga, maka dimensi abutment yang dapat digunakan yaitu seperti pada Gambar 2.6 di bawah ini.

Gambar 2.6 Perencanaan Dimensi pada Abutment Sumber: Supriadi & Muntohar. 2007: 122

Pada perencanaan abutment jembatan, perlu dilakukan perhitungan gaya- gaya dan beban yang bekerja pada abutment tersebut. Pada Gambar 2.7 merupakan penjelasan mengenai perletakkan gaya-gaya yang bekerja pada abutment.

Gambar 2.7 Gaya yang Bekerja pada Abutment Sumber: Supriadi & Muntohar. 2007 : 58

(18)

Keterangan:

Pa1, Pa2, Pa3 = gaya tekan aktif tanah pada bagian belakang abutment Pp1, Pp2 = gaya tekan pasif tanah pada bagian depan abutment G = berat sendiri abutment

G1 = gaya gempa akibat struktur atas Hg = gaya gesek akibat tumpuan bergerak Hrm = gaya akibat rem

Rvd = gaya tekan akibat beban dari atas A. Gaya horizontal tanah

a. Beban Tekanan Tanah

Untuk menghitung koefisien tanah nominal perlu mengetahui sifat-sifat tanah. Dari hasil pengukuran dan oengujian tanah didapat sifat-sifat tanah yaitu kepadatan, kadar kelembaban, kohesi sudut geser dalam, dan lain- lainnya. Dalam kondisi normal, tekanan tanah belakang dan depan abutment dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

 Tekanan Tanah Aktif

Beban bekerja pada ketinggian 2/3 H

Ka = * + atau Ka = …………..(2.15) Pa1 = Ka x q x h1 x L………..…(2.16) Pa2 = 0,5 x  x H2 x Ka x L……….…....(2.17) Keterangan:

Ka = koefisien dari tekanan tanah aktif φ = nilai sudut geser dalam

Pa = tekanan tanah aktif (ton) γ = berat jenis tanah urug (ton/m3)

L = panjang melintang pada abutment (m) H = tinggi pada abutment (m)

Sumber: Hardiyatmo. 2014 : 451

(19)

 Tekanan Tanah Pasif

Beban bekerja pada ketinggian 2/3 H

Kp = * + atau Kp = …………(2.18) Pp = 0,5 x  x H2 x Kp x L………(2.19) Keterangan:

Kp = koefisien dari tekanan tanah pasif Pp = tekanan tanah pasif (ton)

Sumber: Hardiyatmo. 2014 : 456

 Tekanan Tanah Akibat Beban Lalu Lintas Beban bekerja pada ketinggian 2/3 H

Pq = Q x Ka x H x L……….……(2.20)

2.8.2 Stabilitas Abutment

Dalam mengontrol kestabilan Abutment dari segi guling, geser, eksentrisitas, serta tegangan dengan mempertimbangkan dua kondisi, yaitu kondisi normal dan pada kondisi gempa seperti persamaan dibawah ini:

1. Syarat Aman terhadap Geser

Pengecekan keamanan abutment terhadap geser dapat diketahui dengan melakukan perhitungan menggunakan persamaan berikut:

SF =

≥ FK……….(2.21)

Keterangan:

FK = Faktor Keamanan FK ≥ 1,5 (kondisi normal) FK ≥ 1,2 (kondisi gempa)

Sumber: Hardiyatmo. 2014 : 457 Keterangan:

Pq = tekanan tanah akibat beban lalu lintas (ton/m) Q = beban lalu lintas (ton/m)

Sumber: Hardiyatmo. 2014 : 456

(20)

Rekapitulasi faktor keamanan terhadap geser ditunjukkan pada Tabel 2.10.

Tabel 2.10 Rekapitulasi faktor keamanan untuk koefisien gesekan

Bahan f

Pasangan batu pada pasangan batu 0,60 – 0,75 Batu keras berkualitas baik 0,75

Kerikil 0,50

Pasir 0,40

Lempung 0,30

Sumber: KP-02 perencanaan bendung, 1986

Fgs = Stabilitas terhadap geser FK = 1,50 (Estimasi keamanan) f = Koefisien gesekan

FK =  FK

FK  1,50 (Faktor keamanan untuk kondisi normal) FK  1,20 (Faktor keamanan untuk kondisi gempa)

=

2. Syarat Aman terhadap Guling

Pengecekan keamanan abutment terhadap guling dapat diketahui dengan melakukan perhitungan menggunakan persamaan berikut:

SF =

≥ FK………...(2.22) Keterangan:

FK = Faktor Keamanan FK ≥ 1,5 (kondisi normal) FK ≥ 1,2 (kondisi gempa)

Sumber: Hardiyatmo. 2014 : 457 3. Syarat Aman terhadap Eksentrisitas

Gaya-gaya resultan yang bekerja pada konstruksi harus diusahakan berada pada daerah inti, yaitu dari bagian tengah dan dasar dinding dengan jarak

(21)

kiri dan kanan sebesar 1/6 lebar dasar. Cek keamanan terhadap eksentrisitas dapat menggunakan rumus:

e =

< ……….(2.23)

4. Kontrol terhadap Tegangan

Pengecekan keamaan abutment terhadap tegangan dapat diketahui dengan melakukan perhitungan menggunakan persamaan berikut:

σ =

( ) ≤ Qijin………..(2.24) Jika σmaks = Qall (OK)

Jika σmin ≤ Qall (OK)

Sumber: Hardiyatmo. 2014 : 458

Dalam melakukan perhitungan, apabila nilai e > B/6 maka nilai qmin akan bertanda negatif sehingga lebar dasar dari dinding penahan perlu diperbesar.

Perencanaan abutment harus dilakukan dengan baik dan teliti agar beban yang bekerja pada abutment tidak menyebabkan terjadinya tekanan yang besar ke tanah di bawahnya. Hal ini dikarenakan, tekanan yang besar dapat menyebabkan terjadinya penurunan yang besar pula bahkan dapat menyebabkan terjadinya keruntuhan pada abutment.

Pada Gambar 2.8 merupakan penjelasan mengenai perletakkan gaya-gaya luar yang bekerja pada abutment.

Gambar 2.8 Gaya Luar yang Bekerja pada Abutment Sumber: Sosrodarsono, dkk. 2000. Hal: 308

(22)

Keterangan:

R1 = beban hidup akibat bangunan atas (t/m) Rd = beban mati akibat bangunan atas (t/m)

Hs = gaya mendatar akibat gesekan dari penahanan gerak (t/m) q = beban pembebanan, yaitu 1 t/m2

Pa = gaya tekanan tanah (t/m) Ws = berat tanah (t/m)

F = gaya angkat (t/m) q1, q2 = reaksi tanah (t/m2)

2.8.3 Penulangan Abutment

Perhitungan mengenai batas-batas penulangan abutment dapat dilakukan dengan berdasarkan rumus yang sama seperti rumus pada perhitungan penulangan pada struktur, yaitu:

ρb = (

………. (2.25)

ρmax = 0.75 x ρbln……….(2.26) ρmin =

……….(2.27)

m =

……….(2.28)

Mn = ……….(2.29) Rn =

………..(2.30)

ρperlu = {1-√ }………..(2.31)

Luas tulangan: As = ρmin x b x d………..(2.32) Tulangan bagi: As bagi = 20% x Aspokok……….(2.33)

 Kontrol Tulangan Geser

Vc = ( √ ………...(2.34) Φ x Vc < Vu < 3 x ϕ x Vc………...(2.35)

Vs perlu = ………..(2.36)

(23)

Av = 2 .¼ .π . d2………...(2.37) S =

……….(2.38)

 Jarak Sengkang Maksimum Tulangan Geser

Smax = ………...(2.39) Vs ada =

………(2.40) Syarat: Vs ada > Vs perlu → aman

Sumber: Santoso. 2009:16 – 17

2.9 Pondasi pada Jembatan

Pondasi merupakan suatu komponen utama pada konstruksi yang berada pada bagian paling bawah dari suatu struktur atua bangunan (sub structure) yang bertujuan untuk menyalurkan beban dari bagian atas struktur atau bangunan (sub structure) ke lapisan tanah yang berada di bawahnya tanpa menyebabkan keruntuhan geser tanah dan penurunan (settlement) tanah atau pondasi yang berlebihan. Pondasi pada jembatan merupakan bagian dari struktur bawah jembatan yang memiliki fungsi untuk memikul beban-beban yang bekerja pada pilar atau abutment dan gaya-gaya lainnya kemudian melimpahkan ke lapisan tanah pendukung.

Beberapa fungsi dari pondasi pada konstruksi bangunan yaitu:

1. Sebagai kaki pada bangunan atau alas bangunan.

2. Sebagai penahan struktur bagian atas bangunan dan mendistribusikan beban-beban dari atas ke dasar tanah yang cukup kuat.

3. Sebagai penahan agar kondisi suatu bangunan stabil.

Secara umum, macam-macam pondasi dibagi menjadi dua yaitu pondasi dangkal dan pondasi dalam. Pondasi dangkal merupakan pondasi yang digunakan untuk perencanaan bangunan yang berada di atasnya tidak terlalu besar. Pondasi dalam merupakan jenis pondasi yang digunakan untuk perencanaan bangunan dengan kondisi tanah lembek, selain itu dapat juga untuk bangunan bertingkat dan memiliki bentang cukup besar yaitu dengan jarak antar kolom adalah 6 meter.

Beberapa syarat utama perencanaan pondasi yaitu:

(24)

1. Pondasi harus cukup kokoh untuk menahan beban geser yang diakibatkan beban vertikal ke bawah.

2. Dapat mengikuti pergerakan tanah yang tidak stabil.

3. Memiliki ketahanan terhadap pengaruh dari perubahan cuaca.

4. Memiliki ketahanan terhadap pengaruh dari bahan kimia.

Oleh karena itu, pondasi harus kokoh, aman dan stabil. Hal ini bertujuan agar penurunan pada pondasi tidak terjadi serta pondasi tidak mengalami patah.

Apabila pondasi mengalami penuruna dan patahan, maka akan sulit untuk memperbaikinya.

Beberapa hal yang akan terjadi apabila pondasi mengalami penurunan dan patahan adalah sebagai berikut.

1. Kerusakan seperti retak pada dinding-dinding pondasi.

2. Lantai dan plat mengalami keretakan dan bergelombang.

3. Terjadinya penurunan pada struktur atas jembatan.

Terdapat tiga macam kriteria yang harus dilakukan dalam merencanakan pondasi, yaitu:

1. Perencanaan pondasi harus tepat agar pondasi tidak mengalami longsor yang disebabkan oleh pengaruh luar.

2. Pondasi harus direncanakan dengan baik agar aman sehingga terhindar dari longsoran akibat daya dukung.

3. Pondasi harus aman dari penurunan yang terjadi secara berlebihan.

2.10 Pondasi Tiang Pancang

Pondasi Tiang Pancang seperti yang disajikan pada Gambar 2.9 adalah Digunakannya pondasi tiang panjang apabila tanah dasar pada suatu bangunan tersebut tidak mempunyai daya dukung yang cukup untuk memikul berat bangunan dan bebannya, atau apabila tanah keras yang mana mempunyai daya dukung yang cukup untuk memikul berat bangunan dan dalam keadaan beban terletak sangat dalam. Pada umumnya kebanyakan pondasi tiang pancang dipancangkan ke dalam tanah, akan tetapi untuk tipe-tipe tertentu pondasi tiang pancang di cor setempat dengan cara dibuatkan lubang terlebih dahulu dengan

(25)

mengebor tanah, sebagaimana mengebor tanah juga untuk penyelidikan tanah.

(Sardjono, 1991:52)

Adapun tujuan dari penggunaan pondasi tiang pancang ialah sebagai berikut : 1. Menyalurkan beban struktur atas yang terdapat di atas tanah yang cukup

banyak mengandung air atau kondisi tanah lunak ke bagian tanah pendukung yang kuat atau bagian tanah keras.

2. Memadatkan tanah pasir, agar kapasitas dukung tanah tersebut bertambah.

3. Menjadi pendukung pondasi bangunan untuk permukaan tanah yang mudah tergerus air.

4. Menahan gaya horizontal dan gaya yang arahnya miring.

5. Pondasi tiang pancang baja digunakan karena kokoh di kawasan berair dan meyangga beban yang berat

Menurut cara pemindahan beban tiang pancang dibagi menjadi 2 yaitu : a) Point bearing pile atau End bearing pile

Tiang pancang ini meneruskan beban melalui tahanan ujung ke lapisan tanah yang keras

b) Friction pile

Pondasi tiang pancang dengan beban yang ditahan oleh daya lekat (friction) antara tiang dengan tanah.

Gambar 2.9 Pondasi Tiang Pancang Baja Sumber: Fathin. 2017. Hal: 5

(26)

Bentuk pondasi tiang pancang seperti yang terjadi pada Gambar 2.9 dapat bermacam-macam sesuai dengan beban yang akan bekerja dan kuat daya dukung tanah dasar pondasi. Pondasi tiang pancang umumnya ada 2 jenis pipa pancang yang biasa digunakan, pipa dengan ujung terbuka (open – ended piles) dan pipa ujung tertutup (close-ended piles). Pipa dengan ujung terbuka terbagi atas 2 jenis, yaitu unplugged open-ended dan plugged open-ended. Sementara itu, pipa dengan ujung tertutup dibagi menjadi 3 jenis, yaitu bottom plate, steel pipe with rock shoe dan franki pipe pile. Berikut penjelasan pondasi tiang pancang baja pada umumnya:

1. unplugged open-ended

Pipa pancang baja ini memiliki dua sisi yang terbuka, yakni di kedua ujungnya. Saat dipancangkan, pipa ini hanya peru didorong ke bawah atau ke dalam tanah hingga posisi tanah di dalam dan di luar pipa sama.

2. Plugged open-ended

Jenis pipa ini juga memilki sisi yang terbuka di kedua ujungnya. Pipa ini cocok digunakan pada jenis tanah yang cukup padat. Saat dipancangkan, posisi tanah yang berada di dalam pipa lebih rendah daripada yang berada di luar pipa.

3. Bottom plate

Pipa yang terbuat dari baja difungsikan sebagai poros tiang pancang.

Sementara itu, pelat (bottom plate) diletakkan di ujung bawah tiang dengan cara dilas. Setelah itu, pipa dengan pelat tersebut dipancangkan ke dalam hingga mencapai lapisan dalam tanah yang keras. Keberadaan pelat berfungsi untuk menghindarkan pipa agar tidak bertumpu pada batuan.

Dengan demikian, pipa pun dapat terpancang dengan kokoh dan tidak mudah goyah.

4. Steel pipe with rock shoe

Penggunaan sepatu batu (rock shoe) diharapkan mampu mencegah tergelincirnya pipa pancang baja yang mengenai landasan batu sedimen.

Selain itu, keberadaan sepatu tiang pancang tersebut juga difungsikan untuk memusatkan beban pada titik penyangga. Selain itu, sepatu pancang

(27)

tersebut juga kerap digunakan pada kasus tertentu, misalnya ketika titik tumpuan berada di atas. Keberadaannya dapat didorong sehingga posisi titik tumpu bisa berpindah. Namun apabila permukaan batu tersebut curam, bagian sepatu pancang bisa dibor terlebij dahulu agar posisinya sesuai dengan titik tumpu.

5. Franki pipe file

Pipa pancang franki dimaksudkan sebagai sebuah konstruksi tiang pancang permanen. Pipa ini dipancangkan bersama dengan beton. Oleh karena itu, pipa ini membutuhkan tenaga penggerak yang besar yang mampu memancangkan pipa ke dalam tanah tanpa perlu mengubah kapasitas struktur pipa pancang baja.

2.10.1 Daya Dukung Kelompok Tiang

Pada perencanaan maupun pada saat pelaksanaan hampir tidak pernah menggunakan satu buah tiang pondasi saja, pondasi tiang akan terdiri dari beberapa tainga atau disebut kelompok tiang. Pondasi tiang yang dipancang dengan posisi yang berdekatan satu sama lain, maka kondisi seperti ini yang dinamakan kelompok tiang, maka dari itu perlu didapati pada daya dukung kelompok tiang ialah sama dengan daya dukung per tiangnya dikalikan dengan jumlah tiang.

Kelompok tiang terdiri atas point bearing pile, sehingga daya dukung dari kelompok tiang ialah sama dengan daya dukung per tiang dikalikan jumlah tiang.

Apabila kelompok tiang yang terdiri atas friction pile, maka daya dukung untuk kelompok tiang bernilai lebih kecil dibandingkan nilai daya dukung per tiang dikalikan jumlah tiang.

Peninjauan berdasarkan kekuatan izin tekan dan kekuatan izin tarik maka didapat nilai daya dukung izin tiang. Kondisi tanah dan kekuatan material tiang juga mempengaruhi nilai daya dukung tersebut.

1) Daya dukung izin tekan

Penguraian atau analisa daya dukung izin tekan pondasi tiang terhadap kekuatan tanah menggunakan rumusan sebagai berikut :

(28)

a. Berdasarkan data sondir Pa =

+

………..(2.41) Keterangan:

Pa = daya dukung izin tekan tiang qc = 20 N untul silt/clay, 40 N sand Ap = Luas penampang tiang

Tf = Total friksi / jumhlah hambatan pelekat FK1, FK2 = Faktor keamanan 3 dan 5

b. Kapasitas daya dukung tiang pancang berdasarkan dari data N SPT Pa =

+

………..(2.42) Keterangan:

Pa = daya dukung izin tekan tiang qc = 20 N untul silt/clay, 40 N sand Ap = Luas penampang tiang

Li = Panjang segmen tiang yang ditinjau gaya geser pada selimut segmen tiang

fi = N maksimum 12 ton/m2 untuk silt/clay N/5 maksimum 10 ton/m2 untuk sand

FK1, FK2 = Faktor keamanan 3 dan 5

2) Daya dukung izin tarik

Penguraian atau analisa untuk daya dukung izin tarik pondasi tiang terhadap kekuatan tanah menggunakan rumusan sebagai berikut :

a. Data sondir (Guy Sangrelat, Mayerhof) Pta =

+ ……….(2.43)

b. Data N SPT (Mayerhof) Pta =

+ ………..(2.44)

(29)

Keterangan:

Pta = daya dukung izin tarik tiang Wp = Berat pondasi

Sumber : Pamungkas, dkk. 2009 : 54

Dalam menghitung daya dukung pondasi terdapat beberapa hal yang harus diketahui, yaitu data tanah, momen yang bekerja dan beban yang diterima. Dalam merencanakan pondasi tiang pancang, perhitungan mengenai daya dukung tiang pondasi sumuran dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

Qu = Qp + Qs – Wp………..(2.45) Keterangan:

Qu = daya dukung ultimit tiang

Qp = daya dukung pada ujung tiang (ton) Qs = daya dukung selimut yaitu 0 (ton) Wp = berat tiang

Sumber : Pamungkas, dkk. 2009 : 62

Qp = qp x Ap → qp = qca x k……….(2.46) Keterangan:

Qp = daya dukung pada ujung tiang (ton) Ap = luas penampang ujung tiang (cm2) qp = tahanan pada ujung tiang (kg/cm2)

qca = tahanan pada konus pada ujung tiang (kg/cm2) kc = faktor ujung konus

Sumber : Pamungkas, dkk. 2009 : 62

Qs = ∑fs x As……….……..(2.47) Keterangan:

fs = tahanan gesek pada selimut tiang (kg/m2) As = luas penampang tiang (m)

Sumber : Pamungkas, dkk. 2009 : 62

(30)

2.10.2 Kebutuhan Jumlah Tiang

Beban aksial digunakan dalam memperhitungan kebutuhan jumlah tiang pada suatu titik kolom. Dengan membagi gaya aksial dengan daya dukung tiang maka didapat jumlah tiang yang diperlukan.

np =

+ ……….(2.48)

Keterangan:

np = Jumlah tiang

P = Gaya aksial yang terjadi P all = Daya dukung izin tiang

Dalam perencanaan pondasi tiang pancang umumnya menggunakan tiang berkelompok. Penggunaan tiang berkelompok bertujuan agar dapat menahan beban-beban yang bekerja secara bersama. Berikut rumus daya dukung izin kelompok tiang pada pondasi tiang pancang.

Qpg = Eg x n x Qall………...(2.49) Keterangan:

Qpg = Daya dukung yang diizinkan untuk kelompok tiang (kg) Qall = Daya dukung izin vertikal untuk tiang tunggal (kg) Eg = Efisiensi kelompok tiang

n = Jumlah tiang

Sumber : Pamungkas, dkk. 2009 : 54 2.10.3 Efisiensi Kelompok Tiang

Pada sub bab 2.9.1 mengenai daya dukung kelompok tiang yang dibutuhkan masih belum sempurna dikarenakan daya dukung kelompok tidak sama dengan daya dukung pada satu tiang dikalikan dengan jumlah tiang. Hal tersebut dikatakan tidak sama karena intervensi (tumpang tindih) garis-garis tegangan dari tiang-tiang yang letaknya saling berdekatan (group action). Oleh karena itu, terdapat angka efisiensi yang menyatakan mengenai pengurangan dari daya dukung kelompok tiang yang terjadi akibat group action.

Berdasarkan Converse – Labarre dari Uniform Building Code AASHTO diperoleh efisiensi kelompok tiang dengan persamaan sebagai berikut:

(31)

Eg = 1 - ϴ

………...(2.50)

Daya dukung vertikal kelompok = Eg x Jumlah pile x daya dukung ijin tiang Keterangan:

Eg = Efisiensi kelompok tiang ϴ = Arc tg (D/s) (derajat) D = Ukuran penampang tiang s = Jarak antara tiang (as ke as) m = Jumlah tiang dalam 1 kolom n = Jumlah tiang dalam 1 baris

Syarat: daya dukung kelompok tiang harus memiliki nilai yang lebih besar daripada gaya aksial yang terjadi

Sumber: Pamungkas, dkk. 2009 : 55 2.10.4 Jarak Antar Tiang Kelompok

Perencanaan jarak antar pusat ke pusat tiang seperti Gambar 2.10 pada tahap perencanaan jarak ini mempunyai ketentuan yang diharuskan ialah dari 3d ke tengah diantara tiang dan 2d jarak yang sesungguhnya atau jarak yang akan dikerjakan di lapangan. Biasanya dengan pengerjaan 2,5d ke arah tengah akan lebih mendapatkan keuntungan, namun hal negatifnya ialah dalam efesiensi yang nilainya akan berkurang.

Gambar 2.10 Jarak Pusat ke Pusat Tiang Sumber : Pamungkas, dkk. 2009 : 79

S ≥ 2,5D………...(2.51) S ≥ 3D………...(2.52) Keterangan:

(32)

S = Jarak masing- masing tiang dalam kelompok (spacing) D = Diameter tiang

Sumber : Pamungkas, dkk. 2009 : 79 2.10.5 Penurunan Kelompok Tiang

Penurunan tiang yang terjadi pada kelompok tiang adalah jumlah dari penurunan elastis atau penurunan yang terjadi dalam waktu dekat (immediate settlement), Si dan penurunan yang terjadi dalam jangka waktu yang lama (long term consolidation settlement), Sc.

S = Si + Sc……….……(2.53) Keterangan:

S = penurunan total (m) Si = immediate settlement (m) Sc = consolidation settlement (m) Sumber: Pamungkas, dkk. 2009 : 82

1. Penurunan Segera (Immediate Settlement)

Penurunan segera merupakan penurunan yang diakibatkan adanya penyimpangan massa tanah yang tertekan dan terjadi pada saat volume konstan.

Perhitungan mengenai penurunan segera dapat dihitung dengan menggunakan persamaan dari Janbu, Bjerrum dan Kjaernsli (1959:88) sebagai berikut:

………..……….(2.54)

Keterangan:

Si = penurunan segera (immediate settlement) (m) B = lebar kelompok tiang (m)

q = tekanan yang terjadi (Pu/A) E = modulus elastisitas tanah (kN/m2)

1 = Faktor koreksi untuk lapisan tanah dengan tebal terbatas H o = Faktor koreksi untuk kedalaman pondasi

2. Penurunan Konsolidasi (Consolidation Settlement)

(33)

Pengertian penurunan konsolidasi menurut Leonard (1962:43), penurunan konsolidasi yaitu penurunan yang dapat terjadi pada jenis tanah berbutir halus yang berada di bawah muka air tanah. Penurunan ini terjadi dalam jangka waktu lama tergantung keadaan dari lapisan tanahnya. Perhitungan mengeani penurunan konsolidasi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

Sc =

………...(2.55) Keterangan:

Sc = penurunan konsolidasi (consolidation settlement) (m) H = ketebalan lapisan tanah (m)

Cc = indeks pemampatan e = angka pori tanah

Po = tegangan efektif sebelum beban bekerja (kN/m2)

∆p = tambahan tegangan yang disebabkan oleh beban pondasi (kN/m2) Sumber : Pamungkas, dkk. 2009 : 83

2.10.6 Penulangan Pondasi Tiang Pancang

Untuk menghitung tulangan pondasi dapat dilakukan dengan langkah- langkah sebagai berikut:

1. Menentukan Momen Nominal (Mn)

………...(2.56) Keterangan:

Mn = Momen nominal yang bekerja

Mu = Momen maksimum yang bekerja pada tiang

= Faktor reduksi kekuatan tekan menggunakan tulangan spiral, yaitu bernilai 0,7

Sumber : Pamungkas, dkk. 2009 : 85 2. Menghitung min, b, dan max

ρmin =

………..(2.57)

(34)

ρb = (

) (

)……….(2.58)

ρmax= 0,75 x ρb………..(2.59) Keterangan:

ρmin = rasio tulangan minimum

ρb = rasio tulangan seimbang (balance) ρmax = rasio tulangan maksimum

Apabila nilai f’c  30 MPa maka nilai β yaitu 0,85

Apabila nilai f’c  30 MPa maka nilai β yaitu 0,85 - 0,05 ( ) Sumber : Pamungkas, dkk. 2009 : 86

3. Menghitung Rasio Tulangan yang Diperlukan (ρ) Ρperlu = √(

) ………...(2.60) m =

……….(2.61)

Rn =

………...(2.62) Keterangan:

ρ = Rasio tulangan yang diperlukan Sumber : Pamungkas, dkk. 2009 : 86 4. Menghitung Luas Tulangan

As = ρ x b x d………...(2.63) As tulangan = ¼ π (diameter tulangan)………...(2.64) Keterangan:

As = Luas tulangan b = Diameter pondasi

d = Lebar efektif pondasi (b x selimut pondasi x (1/2 )) As tulangan = Luas tulangan

Sumber : Pamungkas, dkk. 2009 : 87 5. Menghitung Jumlah Tulangan

………..(2.65)

(35)

Sumber : Pamungkas, dkk. 2009 : 87

6. Menghitung Tulangan Geser Vc = (1+

) x () x bw x d………..(2.67) Vu < ø x Vc……….(2.68) Vu < 0,7 x Vc………...(2.69) Keterengan:

Vc = Tegangan izin geser beton Ag = Luas penampang pondasi tiang f’c = Mutu beton yang digunakan bw = Diameter pondasi

d = Lebar efektif pondasi Vu = Gaya geser yang bekerja Sumber : Pamungkas, dkk. 2009 : 87 2.11 Perencanaan Pile Cap

Pile cap adalah suatu cara yang dilakukan untuk mengikat tiang-tiang dan menyalurkan beban-beban yang berada di antara kolom dan tiang. Pada dasarnya pile cap terbuat dari beton bertulang yang memiliki fungsi agar kolom terletak tepat di tengah titik pondasi sehingga dapat menahan gaya geser dari beban-beban yang bekerja.

2.11.1 Dimensi Pile Cap

Jarak tiang sangat mempengaruhi untuk perencanaan ukuran pile cap.

Umumnya, jarak yang diambil pada kelompok tiang adalah 2,5D – 3D, di mana D ialah dimensi tiang. Pada Gambar 2.7 dijelaskan mengenai perhitungan jarak tiang pada kelompok.

(36)

Gambar 2.11 Jarak tiang pada Kelompok Tiang Sumber: SNI 03-2847-2002. Hal : 86 2.11.2 Tinjauan terhadap Geser

2.11.2.1 Kontrol terhadap Geser yang Bekerja Satu Arah

Kekuatan yang disalurkan beton adalah jika hanya geser dan lentur yang bekerja.

Vc = √ ………...(2.70) Gaya geser nominal penampang dengan jarak sebesar d dari muka kolom harus direncanakan bernilai lebih kecil atau sama dengan nilai dari kekuatan geser beton sehingga Vn ≤ Vc.

x bw x d……….(2.71) Keterangan:

Vu = Gaya geser sejarak d dari muka kolom Vc = Geser beton

bw = Lebar pondasi (m)

d = h – d’ (h adalah tinggi pelat dan d’ adalah selimut beton) ф = 0,6 (reduksi kekuatan untuk geser)

Sumber: SNI 03-2847-2002. Hal : 87

2.11.2.2 Kontrol terhadap Geser yang Bekerja Dua Arah

Vc = (1 + √ x bo x d……….….(2.72) Keterangan:

bo = keliling daerah kritis, bo = 2 (h + d) + 2 (b + d) b = panjang penampang kolom

h = lebar penampang kolom

(37)

d = tinggi efektif pile cap

Vc = gaya geser dua arah pile cap f’c = mutu beton

Sumber: SNI 03-2847-2002. Hal : 89 Gaya geser nominal penampang:

x bw x d……….(2.73) Keterangan:

Vs = Kuat tulangan geser Vu = (ho2 – bo2)

Pu = Beban berfaktor pada kolom A = Luas pondasi (B x L)

Sumber: SNI 03-2847-2002. Hal : 89 2.11.3 Penulangan Pile Cap

1. Lebar (b) dan Tinggi Efektif (d) Perencanaan Balok Persegi Kperlu

………(2.74) Keterangan:

Mu = Momen yang terjadi pada balok b = Lebar balok (m)

h = Tinggi balok (m)

d = Tinggi efektif (m) = h – 60 mm 2. Menghitung min, b, dan max

pmin =

………..(2.75) ρb = (

) (

)……….(2.76)

ρmax = 0,75 x ρb………..(2.77) Keterangan:

ρmin = rasio tulangan minimum

ρb = rasio tulangan seimbang (balance) ρmax = rasio tulangan maksimum

(38)

Apabila nilai f’c  30 MPa maka nilai β yaitu 0,85

Apabila nilai f’c  30 MPa maka nilai β yaitu 0,85 - 0,05 ( )

3. Menghitung Rasio Tulangan yang Diperlukan (ρ) Ρperlu =

√(

) ………...(2.78) m =

……….(2.79)

Rn =

………...(2.80) Keterangan:

ρ = Rasio tulangan yang diperlukan

4. Menghitung Luas Tulangan

As = ρ x b x d………...(2.81) As tulangan = ¼ π (diameter tulangan)………...(2.82) Keterangan:

d = h – selimut beton – øsengkang – ½ øtulangan

Gambar

Gambar 2. 1 Skema Pembebanan Jembatan  2.3.1  Beban Permanen
Tabel 2.1 Faktor beban untuk berat sendiri  Tipe
Tabel 2.3 Faktor beban untuk beban lajur “D”
Gambar 2.3 Faktor Dinamis untuk Beban T untuk Pembebanan Lajur &#34;D&#34;
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menganalisis input, proses dan output usaha pengolahan ikan asin di Kelurahan Pondok Batu Kecamatan Sarudik Kota Sibolga Provinsi Sumatera Utara.. Menghitung besarnya

Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol 95% kulit kelengkeng memiliki senyawa aktif tertentu yang toksik terhadap larva Artemia salina Leach, namun dengan

 Sistem peralatan online monitoring kualitas air yang telah dipasang di keempat lokasi stasiun pemantauan di Danau Semayang dan Melintang dapat beroperasi dengan baik

30 49 50 4.1 Spesifikasi Keperluan Instrumen bagi Portal Web Jarum 70 5.1 Latar Belakang Responden Mengikut Jantina dan Bangsa 80 5.2 Kekerapan Penggunaan Internet Di

Pembangunan dan peningkatan pelayanan sarana dan prasarana pengolahan air limbah pada kawasan permukiman. (B1) di

Berdasarkan hasil penelitian tingkat daya tarik objek wisata alam di Kabupaten Kebumen terbagi menjadi tingkat daya tarik tinggi dimiliki oleh Goa Jatijajar, tingkat daya

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “ Pengaruh Model Pembelajaran Terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa