• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN SEJUMLAH KARAKTERISTIK PETANI METE DENGAN KOMPETENSI MEREKA DALAM USAHATANI METE DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA SYAFRUDDIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN SEJUMLAH KARAKTERISTIK PETANI METE DENGAN KOMPETENSI MEREKA DALAM USAHATANI METE DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA SYAFRUDDIN"

Copied!
199
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN SEJUMLAH KARAKTERISTIK PETANI METE DENGAN KOMPETENSI MEREKA DALAM USAHATANI

METE DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

SYAFRUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006

(2)

RINGKASAN

SYAFRUDDIN. Hubungan Sejumlah Karakteristik Petani Mete dengan Kompetensi Mereka dalam Usahatani Mete di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh: AMRI JAHI dan RICHARD W.E. LUMINTANG.

Kompetensi petani mete yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap petani dalam usahatani mete. Variabel bebas meliputi: umur, pendidikan, pengalaman berusahatani mete, motivasi, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan, luas lahan, jumlah pohon mete, produksi mete, konsumsi media, kontak dengan penyuluh, dan pelatihan. Variabel terikat adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap petani mete. Tujuan penelitian adalah untuk menentukan: (1) Distribusi petani mete pada sejumlah karakteristik yang diamati, (2) Kompetensi yang perlu dikuasai petani mete di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, (3) Hubungan antara karakteristik para petani mete itu dengan kompetensi mereka dalam usahatani mete.

Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 91 orang ditentukan dengan cluster sampling. Data dikumpulkan dari bulan Juli sampai September 2005.

Data dianalisis dengan menggunakan Konkordansi Kendall W.

Hasil penelitian menunjukkan mayoritas petani dalam penelitian ini berumur tua, berpendidikan formal SLTP atau yang sederajat, memiliki pengalaman cukup banyak, motivasi tinggi, berpendapatan tinggi, lahan yang luas, sedikit pohon mete, memiliki sedikit tanggungan keluarga, konsumsi media cukup tinggi, produksi mete rendah, cukup melakukan kontak dengan penyuluh, dan tidak pernah mengikuti pelatihan.

Kompetensi usahatani yang harus dikuasai atau dibentuk oleh petani adalah: (a) Aspek pengetahuan yaitu: : (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek tenaga kerja, (3) Kombinasi cabang usahatani – Ternak, dan (4) Aspek modal.

(b) Aspek keterampilan yaitu: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3), Pemasaran hasil dan (4) Aspek modal. (c) Aspek sikap yaitu: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3) Kombinasi cabang usahatani – ternak, dan (4) Aspek modal.

Beberapa karakteristik petani mete yang menunjukkan hubungan nyata dengan kompetensi mereka adalah: (1) Umur, (2) Pendidikan formal, (3) Pengalaman berusahatani, (4) Motivasi, (5) Pendapatan, (6) Luas lahan usahatani, (7) Jumlah pohon mete, (8) Jumlah tanggungan keluarga, (9) Konsumsi media, (10) Produksi mete, dan (11) Kontak dengan penyuluh. Selain itu, terdapat hubungan nyata antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang perlu dibentuk/dikuasai petani dalam penjenjangan kedelapan bidang usahatani mete.

(3)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: HUBUNGAN SEJUMLAH KARAKTERISTIK PETANI METE DENGAN KOMPETENSI MEREKA DALAM USAHATANI DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA adalah benar karya tulis saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2006

SYAFRUDDIN P051030071

(4)

HUBUNGAN SEJUMLAH KARAKTERISTIK PETANI METE DENGAN KOMPETENSI MEREKA DALAM USAHATANI

METE DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

SYAFRUDDIN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada program studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA ISNTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006

(5)

Judul Tesis : Hubungan Sejumlah Karakteristik Petani Mete dengan Kompetensi Mereka dalam Usahatani Mete di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara

Nama : Syafruddin NIM : P051030071

Program Studi : Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc. Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

Tanggal Ujian : 16 Januari 2006 Tanggal Lulus:

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kelurahan Teomokole, Kecamatan Kabaena Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara pada tanggal 28 Oktober 1977 dari Ibu yang bernama Muzna dan Ayah Marmaini (alm). Penulis merupakan anak ke tiga dari empat bersaudara.

Tahun 1995 penulis lulus SMA Negeri 1 Kabaena dan terdaftar di Universitas Haluoleo (UNHALU) pada tahun yang sama melalui jalur Penelusuran Minat dan Bakat (PMB) di program studi Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, lulus tahun 1999.

Tahun 2003 penulis melanjutkan studi program Magister Sains di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada program studi Penyuluhan Pembangunan (PPN) dengan biaya sendiri.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan.

Ucapan Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Bapak

Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA selaku anggota komisi, yang telah banyak

mencurahkan tenaga, pikiran, dan waktu untuk memberikan bimbingan dan saran.

Pemerintah Kabupaten Bombana, semua rekan-rekan mahasiswa PPN penulis ucapkan terima kasih atas segala dorongan dan kerjasamanya dalam penyelesaian tesis ini. Karya ini juga penulis persembahkan kepada:

1. Ibunda tercinta: Muzna, saudara-saudaraku: Hariadi, S.Ag, Arianti, S.Sos, dan Yuliana, A.Md., yang telah banyak membantu penulis baik materi maupun moral hingga studi ini dapat diselesaikan.

2. Isteri tersayang: Herawati, S.P., M.Si., yang telah memberikan dorongan dan perhatian.

3. Masyarakat Kecamatan Kabaena dan Kabaena Timur, yang telah banyak membantu dalam pengumpulan data penelitian.

Semoga karya ini dapat bermanfaat. Amin.

Bogor, Januari 2006

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 4

Tujuan Penelitian ... 5

Kegunaan Penelitian ... 6

Definisi Istilah... 7

TINJAUAN PUSTAKA ... 9

Karakteristik Petani ... 9

Umur ... 9

Pendidikan ... 10

Pengalaman Usahatani ... 10

Motivasi... 11

Jumlah Tanggungan Keluarga ... 12

Pendapatan... 12

Luas Lahan ... 13

Konsumsi Media... 14

Kontak dengan Penyuluh ... 15

Pelatihan... 16

Ringkasan... 17

Kompetensi ... 18

Pengertian Kompetensi ... 18

Unsur-unsur Kompetensi ... 22

Kompetensi yang Perlu Dikuasai Petani dalam Usahatani Mete ... 26

Aspek Budidaya... 26

Teknologi Pertanian... 36

Kombinasi Cabang Usaha ... 37

Aspek Modal ... 39

Aspek Tenaga Kerja... 41

Pemasaran Hasil... 43

Ringkasan... 46

Hubungan Karakteristik dengan Kompetensi Petani ... 47

Hubungan Umur dengan Kompetensi... 47

Hubungan Pendidikan dengan Kompetensi ... 47

Hubungan Pengalaman dengan Kompetensi... 48

Hubungan Motivasi dengan Kompetensi... 48

Hubungan Jumlah Tanggungan Keluarga dengan Kompetensi... 49

Hubungan Luas Lahan dengan Kompetensi... 50

Hubungan Pendapatan dengan Kompetensi... 50

(9)

Hubungan Konsumsi Media dengan Kompetensi ... 51

Hubungan Kontak dengan Penyuluh dengan Kompetensi ... 51

Hubungan Pelatihan dengan Kompetensi ... 52

Ringkasan ... 52

METODE PENELITIAN ... 54

Populasi dan Sampel ... 54

Desain Penelitian ... 54

Data dan Instrumentasi ... 54

Data ... 54

Instrumentasi ... 58

Validitas Instrumen ... 58

Reliabilitas Instrumen ... 58

Pengumpulan Data ... 60

Analisis Data ... 60

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 61

Pendahuluan ... 61

Distribusi Karakteristik Petani ... 61

Distribusi Petani Berdasarkan Umur ... 61

Distribusi Petani Berdasarkan Pendidikan Formal ... 62

Distribusi Petani Berdasarkan Pengalaman Berusahatani ... 63

Distribusi Petani Berdasarkan Motivasi Berusahatani ... 64

Distribusi Petani Berdasarkan Pendapatan ... 65

Distribusi Petani Berdasarkan Luas Lahan Usahatani ... 66

Distribusi Petani Berdasarkan Jumlah Pohon Mete ... 67

Distribusi Petani Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga .. 68

Distribusi Petani Berdasarkan Konsumsi Media ... 69

Distribusi Petani Berdasarkan Produksi Mete ... 69

Distribusi Petani Berdasarkan Kontak dengan Penyuluh ... 70

Distribusi Petani Berdasarkan Pelatihan ... 71

Kompetensi Petani dalam Berusahatani Mete ... 72

Pengetahuan Petani tentang Usahatani Mete ... 72

Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete ... 74

Sikap Petani dalam Berusahatani Mete ... 75

Hubungan Karakteristik dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete ... 77

Hubungan Umur dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete ... 77

Hubungan Pendidikan dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete ... 79

Hubungan Pengalaman dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete ... 80

Hubungan Motivasi dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete ... 82

Hubungan Pendapatan dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete ... 84 Hubungan Luas Lahan dengan Pengetahuan Petani

(10)

dalam Berusahatani Mete ... 85 Hubungan Jumlah Pohon Mete dengan Pengetahuan Petani

dalam Berusahatani Mete ... 87 Hubungan Jumlah Tanggungan Keluarga dengan

Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete ... 88 Hubungan Konsumsi Media dengan Pengetahuan Petani

dalam Berusahatani Mete ... 90 Hubungan Produksi Mete dengan Pengetahuan Petani

dalam Berusahatani Mete ... 92 Hubungan Kontak dengan Penyuluh dengan Pengetahuan

Petani dalam Berusahatani Mete ... 93 Hubungan Pelatihan dengan Pengetahuan Petani

dalam Berusahatani Mete ... 95 Hubungan Karakteristik dengan Keterampilan Petani

dalam Berusahatani Mete ... 96 Hubungan Umur dengan Keterampilan Petani

dalam Berusahatani Mete ... 97 Hubungan Pendidikan dengan Keterampilan Petani

dalam Berusahatani Mete ... 98 Hubungan Pengalaman dengan Keterampilan Petani

dalam Berusahatani Mete ... 100 Hubungan Motivasi dengan Keterampilan Petani

dalam Berusahatani Mete ... 102 Hubungan Pendapatan dengan Keterampilan Petani

dalam Berusahatani Mete ... 103 Hubungan Luas Lahan dengan Keterampilan Petani

dalam Berusahatani Mete ... 105 Hubungan Jumlah Pohon Mete dengan Keterampilan Petani

dalam Berusahatani Mete ... 106 Hubungan Jumlah Tanggungan Keluarga dengan

Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete ... 108 Hubungan Konsumsi Media dengan Keterampilan Petani

dalam Berusahatani Mete ... 110 Hubungan Produksi Mete dengan Keterampilan Petani

dalam berusahatani Mete ... 111 Hubungan Kontak dengan Penyuluh dengan Keterampilan

Petani dalam Berusahatani Mete ... 113 Hubungan Pelatihan dengan Keterampilan Petani

dalam Berusahatani Mete ... 115 Hubungan Karakteristik dengan Sikap Petani

dalam Berusahatani Mete ... 116 Hubungan Umur dengan Sikap Petani

dalam Berusahatani Mete ... 116 Hubungan Pendidikan dengan Sikap Petani

dalam Berusahatani Mete ... 118 Hubungan Pengalaman dengan Sikap Petani

dalam Berusahatani Mete ... 119 Hubungan Motivasi dengan Sikap Petani

(11)

dalam Berusahatani Mete ... 121

Hubungan Pendapatan dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete ... 123

Hubungan Luas Lahan dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete ... 125

Hubungan Jumlah Pohon Mete dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete ... 126

Hubungan Jumlah Tanggungan Keluarga dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete ... 128

Hubungan Konsumsi Media dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete ... 130

Hubungan Produksi Mete dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete ... 132

Hubungan Kontak dengan Penyuluh dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete ... 133

Hubungan Pelatihan dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete ... 135

Hubungan Pengetahuan, Keterampilan, dan sikap Petani dalam Berusahatani Mete ... 137

Pembahasan ... 138

Karakteristik Petani ... 138

Kompetensi Petani dalam Berusahatani Mete ... 142

Hubungan Karakteristik dengan Kompetensi Petani dalam Berusahatani Mete ... 143

Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete ... 150

KESIMPULAN DAN SARAN ... 152

Kesimpulan ... 152

Saran ... 153

DAFTAR PUSTAKA ... 154

LAMPIRAN I ... 159

LAMPIRAN II ... 161

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Distribusi Petani Berdasarkan Umur ... 62

2. Distribusi Petani Berdasarkan Pendidikan Formal ... 63

3. Distribusi Petani Berdasarkan Pengalaman Berusahatani ... 64

4. Distribusi Petani Berdasarkan Motivasi Berusahatani ... 65

5. Distribusi Petani Berdasarkan Pendapatan ... 65

6. Distribusi Petani Berdasarkan Luas Lahan Usahatani ... 66

7. Distribusi Petani Berdasarkan Jumlah Pohon Mete ... 67

8. Distribusi Petani Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga ... 68

9. Distribusi Petani Berdasarkan Konsumsi Media ... 69

10. Distribusi Petani Berdasarkan Produksi Mete ... 70

11. Distribusi Petani Berdasarkan Kontak dengan Penyuluh ... 71

12. Distribusi Petani Berdasarkan Pelatihan ... 71

13. Pengetahuan Petani dalam Usahatani Mete ... 73

14. Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete ... 74

15. Sikap Petani dalam Berusahatani Mete ... 76

16. Hubungan Umur dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete ... 77

17. Hubungan Pendidikan dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete ... 79

18. Hubungan Pengalaman dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete ... 81

19. Hubungan Motivasi dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete ... 82

20. Hubungan Pendapatan dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete ... 84

21. Hubungan Luas Lahan dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete ... 86

22. Hubungan Jumlah Pohon Mete dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete ... 87

23. Hubungan Jumlah Tanggungan Keluarga dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete ... 89

24. Hubungan Konsumsi Media dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete ... 91

25. Hubungan Produksi Mete dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete ... 92

26. Hubungan Kontak dengan Penyuluh dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete ... 94

27. Hubungan Pelatihan dengan Pengatahuan Petani dalam Berusahatani Mete ... 96

28. Hubungan Umur dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete ... 97

29. Hubungan Pendidikan dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete ... 99

(13)

30. Hubungan Pengalaman dengan Keterampilan Petani

dalam Berusahatani Mete ... 100 31. Hubungan Motivasi dengan Keterampilan Petani

dalam Berusahatani Mete ... 102 32. Hubungan Pendapatan dengan Keterampilan Petani

dalam Berusahatani Mete ... 104 33. Hubungan Luas Lahan dengan Keterampilan Petani

dalam Berusahatani Mete ... 105 34. Hubungan Jumlah Pohon Mete dengan Keterampilan Petani

dalam Berusahatani Mete ... 107 35. Hubungan Jumlah Tanggungan Keluarga dengan

Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete ... 109 36. Hubungan Konsumsi Media dengan Keterampilan Petani

dalam Berusahatani Mete ... 110 37. Hubungan Produksi Mete dengan Keterampilan Petani

dalam berusahatani Mete ... 112 38. Hubungan Kontak dengan Penyuluh dengan Keterampilan

Petani dalam Berusahatani Mete ... 113 39. Hubungan Pelatihan dengan Keterampilan Petani

dalam Berusahatani Mete ... 115 40. Hubungan Umur dengan Sikap Petani

dalam Berusahatani Mete ... 117 41. Hubungan Pendidikan dengan Sikap Petani

dalam Berusahatani Mete ... 118 42. Hubungan Pengalaman dengan Sikap Petani

dalam Berusahatani Mete ... 120 43. Hubungan Motivasi dengan Sikap Petani

dalam Berusahatani Mete ... 122 44. Hubungan Pendapatan dengan Sikap Petani

dalam Berusahatani Mete ... 123 45. Hubungan Luas Lahan dengan Sikap Petani

dalam Berusahatani Mete ... 125 46. Hubungan Jumlah Pohon Mete dengan Sikap Petani

dalam Berusahatani Mete ... 127 47. Hubungan Jumlah Tanggungan Keluarga dengan

Sikap Petani dalam Berusahatani Mete ... 129 48. Hubungan Konsumsi Media dengan Sikap Petani

dalam Berusahatani Mete ... 130 49. Hubungan Produksi Mete dengan Sikap Petani

dalam Berusahatani Mete ... 132 50. Hubungan Kontak dengan Penyuluh dengan Sikap

Petani dalam Berusahatani Mete ... 134 51. Hubungan Pelatihan dengan Sikap Petani

dalam Berusahatani Mete ... 136 52. Hubungan Pengetahuan, Keterampilan, dan sikap Petani

dalam Berusahatani Mete ... 137

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Peta Sulawesi Tenggara ... 159 2. Kuesioner penelitian ... 161

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Menguasai aspek budidaya dan teknologi pertanian, mampu mengkombinasikan cabang-cabang usahatani ternak, menguasai aspek permodalan dan tenaga kerja, dan dapat memasarkan produk-produk yang dikelolanya adalah beberapa ciri petani mete yang kompeten. Petani yang kompeten mampu memanfaatkan dengan baik faktor-faktor yang berpotensi mendukung keberhasilan dan menghindari faktor-faktor yang berpotensi merugikan usahatani.

Kompetensi merupakan kecakapan atau kemampuan yang dimiliki seseorang sehingga yang bersangkutan dapat menjalankan perannya dengan baik (Suparno, 2001: 14). Kompetensi dalam hal ini lebih ditekankan pada pengetahuan, keterampilan dan sikap yang seharusnya dikembangkan dalam melakukan pekerjaan tertentu, sehingga individu tersebut mampu mengerjakan pekerjaannya dengan baik dan benar. Hasil kerja yang diperoleh merupakan manifestasi dari kompetensi, oleh karena itu kualitas kerja menunjukkan tingkat kompetensi seseorang terhadap profesinya.

Keberhasilan petani dalam usahatani sangat ditentukan oleh kemampuan petani menguasai tehnik budidaya. Tehnik budidaya mencakup kegiatan pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan, pengendalian hama dan penyakit tanaman, panen, dan pengolahan pascapanen (Sastrahidayat, 1990: 103). Setiap tahapan dalam suatu periode perkembangan tanaman memerlukan penanganan khusus. Petani memerlukan kemampuan khusus untuk tiap tahapan tersebut.

(16)

Kemampuan petani menguasai teknologi pertanian juga sangat mendukung keberhasilan usahatani. Kehadiran teknologi pertanian membantu petani dalam mengelola usahataninya, misalnya menghemat tanaga kerja, mempercepat proses pengolahan lahan, pascapanen dan sebagainya. Penguasaan teknologi yang perlu dimiliki petani meliputi mengoperasikan alat mekanisasi pertanian, dan menggunakan teknologi pascapanen.

Usahatani tidak dapat mengandalkan satu komoditas tanaman untuk mendapatkan keuntungan. Petani membutuhkan kemampuan yang baik dalam memilih dan menentukan kombinasi cabang usahatani. Melihat peluang yang tepat untuk mengkombinasikan usahatani yang saling menguntungkan.

Mengenali jenis tanaman atau ternak yang baik untuk dikombinasikan dengan jenis tanaman usahatani pokok. Petani yang kompeten mampu mengelola kombinasi usahatani yang dipilih secara menguntungkan.

Pengelolaan usahatani tidak terlepas dari masalah modal. Penguasaan terhadap aspek permodalan merupakan hal penting bagi petani. Aspek modal dimaksud adalah menentukan jumlah modal yang diperlukan untuk aspek budidaya, tenaga kerja, dan pemasaran hasil. Kebutuhan modal berbeda untuk tiap fase produksi, oleh karena itu petani harus mampu menentukan jumlah modal yang diperlukan untuk menjamin efisiensi penggunaannya.

Adanya kebutuhan terhadap modal, menuntut petani untuk memiliki pengetahuan tentang cara memperoleh modal. Mengetahui cara memperoleh modal agar tidak terjebak rentenir, mengetahui syarat-syarat untuk memperoleh modal dari lembaga keuangan pemerintah atau swasta, dan mengetahui jalur yang harus dilalui untuk memperoleh modal.

(17)

Petani yang kompeten mampu menentukan dan memilih sumber modal yang dapat menjamin keuntungan dan keamanan usahatani, menentukan sumber modal yang dapat memberikan pinjaman dengan bunga rendah, dan memilih sumber modal yang dapat memberikan pinjaman dengan syarat mudah.

Sumber utama tenaga kerja usahatani adalah tenaga keluarga, tenaga kerja tambahan yang berasal dari luar keluarga diperlukan apabila skala usahatani semakin luas dan kebutuhan produksi meningkat. Petani pengelola memerlukan kemampuan untuk menguasai aspek tenaga kerja agar tercapai efesiensi dalam penggunaannya. Mengetahui jenis tenaga kerja yang memiliki potensi untuk mendukung keberhasilan usahatani. Mampu menentukan saat yang tepat untuk pencurahan tenaga kerja.

Keuntungan usahatani diperoleh berdasarkan kemampuan petani memasarkan hasil usahanya. Kerugian dapat dihindari dengan pengetahuan tentang situasi pasar, kecenderungan yang selalu muncul setiap petani melakukan panen adalah turunnya harga yang disebabkan oleh banyaknya hasil panen. Petani yang kompeten mampu mengenali hal-hal seperti ini dan mempertimbangkan saat yang tepat untuk memasarkan hasil.

Berdasarkan uraian tersebut, diperlukan kajian mendalam melalui penelitian mengenai kompetensi petani dalam usahatani mete. Petani yang kompeten adalah petani yang menguasai aspek budidaya dan teknologi pertanian, mampu mengkombinasikan cabang-cabang usahatani ternak, menguasai aspek permodalan dan tenaga kerja, dan mampu memasarkan produk-produk yang dikelolanya.

(18)

Rumusan Masalah

Petani sebagai pengelola berperan untuk mengambil keputusan mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan usahatani yang dikelola. Petani yang kompeten dapat menekan resiko kerugian dengan memanfaatkan secara optimal faktor-faktor produksi yang ada. Sebaliknya, petani yang tidak kompeten akan bergantung pada faktor produksi yang dimiliki.

Kegiatan usahatani dapat digambarkan sebagai interaksi antara petani dengan alam. Kualitas interaksi tersebut ditentukan oleh kualitas sumber daya petani, dan petani yang berkualitas adalah petani yang memiliki kompetensi.

Ketersediaan potensi sumberdaya alam memberikan peluang bagi petani untuk mengolah dan mengambil manfaat guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

Kabupaten Bombana merupakan kawasan yang memiliki potensi usahatani mete cukup besar. Namun demikian, potensi tersebut tidak diikuti dengan produksi tinggi. Rendahnya produksi tersebut disebabkan oleh banyak faktor, namun secara spesifik tinjauan terhadap faktor petani perlu mendapat perhatian.

Berdasarkan uraian di atas, secara khusus dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana distribusi para petani mete di Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara pada sejumlah karakteristik yang diamati?

2. Kompetensi apa yang perlu dikuasai petani mete itu?

3. Seberapa jauh terdapat hubungan antara karakteristik para petani mete dengan kompetensi mereka dalam usahatani mete?

(19)

Tujuan Penelitian

Kegiatan usahatani merupakan upaya petani mengelola alam untuk memperoleh keuntungan yang akan digunakan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Petani merupakan faktor utama yang berperan mengendalikan sumber daya yang ada dan mengelolanya sehingga mampu mendapatkan produksi.

Seorang petani membutuhkan kompetesi yang cukup untuk menjadi pengelola yang berhasil terhadap usahatani yang dipilih.

Tiap bagian lahan berbeda variasi dan kualitasnya, demikian pula petani yang mengelolanya, memiliki kompetensi yang berbeda. Adanya variasi pada lahan dan kompetensi petani menyebabkan beragamnya pilihan bentuk usahatani dan keputusan pengelolaan yang harus dilakukan petani. Petani membuat keputusan terhadap bentuk usahatani yang dipilih, cabang usaha, pengelolaan, permodalan, dan beberapa faktor pendukung.

Petani sebagai bagian dari masyarakat umumnya memiliki kebebasan berinteraksi dengan lingkungan sekitar, mempelajari hal-hal baru dan mengikuti perkembangan yang ada. Hal tersebut akan membentuk karakteristik petani yang berhubungan dengan tingkat kompetensi dalam berusahatani.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk menentukan:

1. Distribusi para petani mete di Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara pada sejumlah karakteristik yang diamati.

2. Kompetensi yang perlu dikuasai para petani mete di Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara.

3. Hubungan antara karakteristik para petani mete itu dengan kompetensi mereka dalam usahatani mete.

(20)

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi penentu kebijakan, khususnya di Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara dalam merumuskan program pembangunan pertanian. Penelitian ini juga dapat bermanfaat bagi pihak swasta yang membutuhkan data dan masalah lain yang berkaitan dengan usahatani mete.

Selain pemerintah dan swasta, pihak lain yang cukup penting untuk memperoleh nilai guna penelitian ini adalah masyarakat, khususnya petani mete.

Petani dapat memperoleh informasi mengenai jenis kompetensi yang harus mereka miliki dalam berusahatani mete dan beberapa faktor yang berhubungan dengan keberhasilan usahatani.

Sistem usahatani mete yang dikembangkan masyarakat di Kabupaten Bombana saat ini meskipun telah mendapat perhatian yang cukup serius sebagai obyek penelitian, namun belum banyak memberikan perubahan mendasar kearah sistem usahatani modern. Penelitian mengarahkan perhatian utama terhadap petani sebagai pelaku usahatani, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi mendalam mengenai kompetensi mereka dalam usahatani mete.

Secara khusus penelitian ini berguna:

1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan di bidang pengembangan pertanian khususnya menyangkut usahatani mete.

2. Memberikan informasi kepada masyarakat, khususnya petani mete mengenai kompetensi yang harus dimiliki dalam berusahatani mete.

3. Menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan dan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.

(21)

Definisi Istilah

Penelitian diarahkan untuk menjelaskan hubungan karakteristik dengan kompetensi petani yang diidentifikasi sebagai variabel bebas dan terikat. Definisi istilah diperlukan untuk memberikan batasan konsep terhadap lingkup variabel yang akan diteliti.

I. Karakteristik terpilih petani adalah ciri-ciri atau sifat-sifat yang ada pada diri petani, masing-masing didefinisikan sebagai berikut:

1. Umur yaitu satuan usia dalam tahun yang dihitung sejak lahir sampai penelitian ini dilakukan. Berdasarkan hal tersebut tingkat umur dibagi dalam tiga kategori yaitu kelompok umur muda, sedang dan tua.

2. Tingkat pendidikan formal adalah lamanya petani mengikuti pendidikan formal, yaitu berdasarkan jenjang sekolah dasar sampai perguruan tinggi.

3. Pengalaman berusahatani yaitu lamanya petani berusahatani mete yang dinyatakan dalam tahun. Berdasarkan hal tersebut pengalaman dibagi dalam 3 kategori yaitu sedikit, cukup, dan banyak.

4. Motivasi berusahatani yaitu dorongan yang timbul dari dalam diri petani untuk melakukan kegiatan usahatani mete, dalam hal ini dibagi atas tiga kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi.

5. Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang ditanggung sebagian atau seluruh kehidupannya oleh petani. Jumlah tanggungan keluarga dibagi menjadi kategori sedikit, cukup, dan banyak.

6. Pendapatan adalah penghasilan atau nilai rupiah yang diperoleh petani dalam satu tahun. Pendapatan dibagi dalam kategori rendah, sedang, dan tinggi.

(22)

7. Luas lahan adalah areal tanah pertanian (ha) yang dimanfaatkan petani dalam berusahatani mete. Luas lahan dibagi dalam kategori sempit, sedang, dan luas.

8. Jumlah pohon mete adalah banyaknya pohon mete yang produktif dan belum/tidak peroduktif. Dibagi dalam ketagori sedikit, sedang, banyak.

9. Konsumsi media adalah frekuensi petani menggunakan media tertentu untuk memperoleh informasi usahatani. Dibagi dalam kategori rendah, sedang, dan tinggi.

10. Produksi mete adalah banyaknya mete yang dihasilkan (gelondong dan kacang mete) tiap tahun, dinyatakan dalam berat (kg). Dibagi dalam kategori rendah, sedang, dan tinggi.

11. Kontak dengan penyuluh adalah frekuensi petani berhubungan dengan penyuluh. Dibagi dalam kategori kurang, cukup, dan sering.

12. Pelatihan adalah jumlah pelatihan yang pernah diikuti petani. Pelatihan dibagi dalam kategori tidak pernah dan pernah.

II. Kompetensi usahatani mete adalah kemampuan yang perlu dimiliki oleh seorang petani mete berupa pengetahuan, sikap, dan keterampilan agar dapat melaksanakan perannya dengan baik. Kompetensi tersebut adalah:

1. Kompetensi tentang tehnik budidaya tanaman mete 2. Kompetensi tentang teknologi pertanian

3. Kompetensi tentang kombinasi cabang usahatani ternak 4. Kompetensi tentang aspek modal

5. Kompetensi tentang aspek tenaga kerja 6. Kompetensi tentang pemasaran hasil.

(23)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Petani

Karakteristik petani menentukan pemahaman petani terhadap informasi pertanian. Karakteristik petani yang dimaksud dalam penelitian ini adalah umur, pendidikan formal, pengalaman usahatani, motivasi, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan, luas lahan usahatani, konsumsi media, kontak dengan penyuluh, dan pelatihan.

Umur

Salkind (1985: 31) menyebutkan bahwa umur menurut kronologi dapat memberikan petunjuk untuk menentukan tingkat perkembangan individu, sebab umur menurut kronologi relatif lebih mudah dan akurat untuk ditentukan.

Menurut Padmowihardjo (1994: 36) umur bukan merupakan faktor psikologis, tetapi apa yang diakibatkan oleh umur adalah faktor psikologis. Disebutkan bahwa terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan seseorang berhubungan dengan umur. Faktor pertama ialah mekanisme belajar dan kematangan otak, organ-organ sensual, dan otot organ-organ tertentu. Faktor kedua adalah akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar yang lain.

Terkait masalah umur, von Senden, et.al, (Havighurst, 1974: 6) mengamati gejala yang menyatakan bahwa terdapat periode kritis dalam tahap perkembangan selama manusia secara maksimal menerima stimuli spesifik. Tahap seperti itu hadir dalam perkembangan proses sensor utama, seperti konsepsi tentang ukuran, bentuk, dan jarak, dan juga dalam pengembangan perilaku sosial.

(24)

Pendidikan

Slamet (2003: 20) mendefinisikan pendidikan sebagai usaha untuk menghasilkan perubahan-perubahan pada perilaku manusia. Menurut Soeitoe (1982: 31) pendidikan adalah suatu proses yang diorganisir dengan tujuan mencapai sesuatu hasil yang nampak sebagai perubahan dalam tingkah laku.

Soekanto (2002: 327-328) menyatakan pendidikan mengajarkan kepada individu aneka macam kemampuan. Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pikiran serta menerima hal-hal baru dan juga bagaimana cara berpikir secara ilmiah. Menurut Vaizey (1978: 34) tujuan utama pendidikan adalah mengembangkan kapasitas untuk dapat menikmati hidup yang biasa. Sejalan dengan hal tersebut, Rusell (1993: 39) mengemukakan bahwa pendidikan senantiasa mempunyai dua sasaran, yaitu pengajaran dan pelatihan perilaku yang baik.

Pengalaman Usahatani

Menurut Padmowihardjo (1994: 19-20) pengalaman adalah suatu kepemilikan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Pengaturan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang sebagai hasil belajar selama hidupnya dapat digambarkan dalam otak manusia. Seseorang akan berusaha menghubungkan hal yang dipelajari dengan pengalaman yang dimiliki dalam proses belajar. Seluruh pemikiran manusia, kepribadian dan temperamen, secara psikologi ditentukan oleh pengalaman indera. Tohir (1983: 180) menyatakan dalam mengelola usahataninya, petani masih banyak menggunakan sendiri atau pengalaman orang lain dan perasaan (feeling).

(25)

Motivasi

Menurut Suparno (2001: 100) motivasi merupakan keadaan internal seseorang yang mendorong orang tersebut untuk melakukan sesuatu. Motivasi dijelaskan pula sebagai suatu dorongan untuk tumbuh dan berkembang. Motivasi berkaitan dengan keseimbangan atau equilibrium yaitu upaya untuk dapat membuat dirinya memadai dalam menjalani hidup ini. Seseorang dapat mengatur dirinya sendiri relatif lebih bebas dari dorongan orang lain untuk menjadi lebih kompeten dengan eqiulibrium dimaksud.

Padmowihardjo (1994: 135) mengemukakan motivasi berarti usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan tindakan. Sejalan dengan hal tersebut, Callahan dan Clark (Mulyasa 2003: 112) mengemukakan bahwa motivasi adalah tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkah laku kearah suatu tujuan tertentu.

Menurut Sudjana (1991: 162) motivasi belajar adalah motivasi insentif.

Motivasi tersebut menggambarkan kecenderungan asli manusia untuk menggerakkan, mendominasi dan menguasai lingkungan sekelilingnya. Suparno (2000: 83-90) mengemukakan bahwa seseorang akan melakukan sesuatu kalau mengharapkan akan melihat hasil, memiliki nilai (value) atau manfaat. Perasaan berhasil atau the experience of success akan menimbulkan motivasi seseorang untuk mempelajari sesuatu. Selain itu, seseorang akan termotivasi untuk belajar jika yang dipelajari mendatangkan keuntungan. Keuntungan dimaksud dapat berupa nilai ekonomi maupun sosial.

(26)

Menurut Morgan (Tasmin, 2002: 4) dalam teori insentif, seseorang berperilaku tertentu untuk mendapatkan sesuatu. Sesuatu ini disebut sebagai insentif dan berada di luar diri orang tersebut. Insentif biasanya berupa hal-hal yang menarik dan menyenangkan, sehingga seseorang yang belajar akan tertarik mendapatkannya. Insentif bisa juga berupa sesuatu yang tidak menyenangkan, maka orang berperilaku tertentu untuk menghindar mendapatkan insentif yang tidak menyenangkan ini. Seseorang berperilaku tertentu untuk mendapatkan insentif menyenangkan, dan menghindar dari insentif tidak menyenangkan.

Jumlah Tanggungan Keluarga

Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang ditanggung kehidupannya. Menurut Soekartawi et al (1986: 113-114) banyaknya tanggungan keluarga akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan keluarga.

Jumlah keluarga yang semakin besar menyebabkan seseorang memerlukan tambahan pengeluaran atau kebutuhan penghasilan yang lebih tinggi untuk membiayai kehidupannya. Besarnya jumlah anggota keluarga yang akan menggunakan jumlah pendapatan yang sedikit akan berakibat pada rendahnya tingkat konsumsi. Hal ini berpengaruh terhadap produktivitas kerja, kecerdasan, dan menurunya kemampuan berinvestasi (Hernanto, 1993: 94).

Pendapatan

Menurut Penny (1990: 56-138) pendapatan seseorang merupakan keseluruhan dari apa yang ia peroleh dari cara pemanfaatan tenaga kerja, tanah dan modal lainnya. Pendapatan dikatakan lebih lanjut merupakan suatu indikator

(27)

daya, status, dan pengaruhnya, tidak terdapat batas atas bagi pendapatan, meskipun terdapat batas bawah secara praktis. Batas bawah yang praktis adalah tingkat dimana orang berada dalam keadaan terombang-ambing di antara hidup dan mati, atau pada tingkat kelaparan.

Tohir (1983: 173-175) menyatakan pendapatan adalah penghasilan petani yang diperoleh dari upah keluarga, keuntungan usaha, dan bunga harta sendiri.

Soekartawi et al (1986: 2-3) menyatakan bahwa pendapatan merupakan cermin kehidupan petani. Pendapatan petani yang rendah merupakan ciri petani kecil dan masuk dalam golongan petani miskin.

Menurut FAO dan World Bank (2001: 13) secara umum terdapat lima strategi untuk meningkatkan pendapatan usahatani, yaitu: (1) pola intensifikasi untuk ketersediaan produksi, (2) penganekaragaman pengolahan dan produksi, (3) perluasan lahan, (4) meningkatkan pendapatan off farm untuk sektor pertanian, dan (5) meningkatkan pendapatan off farm untuk sektor non pertanian.

Luas Lahan

Menurut Tjakrawiralaksana dan Soeriaatmadja (1983: 7) lahan merupakan manifestasi atau pencerminan dari faktor-faktor alam yang berada di atas dan di dalam permukaan bumi. Berfungsi sebagai (1) tempat diselenggarakan kegiatan produksi pertanian seperti bercocok tanam dan memelihara ternak atau ikan, (2) tempat pemukiman keluarga tani. Hernanto (1993: 46) menyatakan luas lahan usahatani dapat digolongkan menjadi tiga bagian yaitu (1) sempit dengan luas lahan < 0,5 ha, (2) sedang dengan luas lahan antara 0,5 sampai 2 ha, dan (3) luas dengan luas lahan > 2 ha.

(28)

Tohir (1983: 115) mengemukakan luas lahan yang sangat sempit dengan pengelolaan cara tradisional dapat menimbulkan: (1) kemiskinan, (2) kurang

mampunya memproduksi bahan makanan pokok khususnya beras, (3) ketimpangan dalam penggunaan teknologi, (4) bertambahnya jumlah

pengangguran, (5) ketimpangan dalam penggunaan sumber daya alam. Perubahan petani subsisten dari cara-cara berusahatani tradisional ke modern dianggap sebagai kunci untuk meringankan kesulitan sumber daya alam, kurangnya modal, kurangnya input langsung, keterbelakangan teknologi dan kurang berkembangnya keterampilan menusia (Penny, 1990: 14-15). Menurut Noronha dan Spears (1988:

293) lahan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan status petani.

Konsumsi Media

Konsumsi media merupakan askes petani untuk memperoleh informasi melalui media tertentu. Menurut van den Ban dan Hawkins (1999: 150) surat kabar, majalah, radio, dan televisi merupakan media yang paling murah untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat. Media massa dapat digunakan untuk mengubah pola perilaku, terutama yang kecil dan kurang penting, atau perubahan untuk memenuhi keinginan yang ada. Sejalan dengan hal tersebut, Suseno (2003:

96-97) menyatakan bahwa beberapa media yang dapat digunakan untuk menyampaikan infromasi antara lain: surat, telepon, surat kabar, majalah, radio, televisi, internet, dan yang sejenisnya. Media tersebut selain untuk menyampaikan infromasi, juga untuk menyampaikan gagasan, pendapat dan perasaan kepada orang lain.

(29)

Menurut Asian Institute of Journalism (1988: 18) penting untuk memperkokoh sumber media yang ada agar masyarakat lebih banyak kesempatan untuk memperoleh informasi seperti program pembangunan yang diprioritaskan, mendidik penduduk pedesaan seperti para pemuda yang tidak bersekolah dan kelompok-kelompok yang miskin, dan menggerakkan rakyat ke arah pertumbuhan dan pembangunan yang berswadaya.

Kontak dengan Penyuluh

Kontak dengan penyuluh diartikan sebagai terjadinya hubungan antara petani dengan penyuluh. Menurut Soekanto (2002: 65-66) hubungan yang terjadi antara seseorang dengan orang lain dapat bersifat primer dan sekunder.

Hubungan yang bersifat primer terjadi apabila seseorang mengadakan hubungan langsung dengan bertemu dan berhadapan muka. Hubungan yang bersifat sekunder terjadi melalui perantara baik orang lain maupun alat-alat seperti telepon, radio dan sebagainya.

Wiriaatmadja (1990: 29-30) menyatakan bahwa dalam kegiatan penyuluhan, seorang penyuluh harus mengadakan hubungan dengan petani, hubungan tersebut dapat menimbulkan komunikasi. Komunikasi yang baik akan berjalan timbal balik atau terjadinya feedback. Hal ini penting bagi penyuluh, yaitu untuk dapat mengambil tindakan-tindakan selanjutnya, dengan demikian maka komunikasi tersebut dapat dilanjutkan dan dipelihara dengan baik. Dalam suatu proses komunikasi (Suparno, 2001: 134-135) terjadi interaksi antara sumber dengan penerima. Interaksi ini berarti ada pengiriman dan penerimaan pesan- pesan secara interaktif dan terus-menerus.

(30)

Menurut FAO (1998: 229) jasa penyuluhan memegang peranan penting dalam gerakan program diseminasi (implementasi) terhadap uji peningkatan usahatani (on-farm). Asian Productivity Organization (APO) (1994: 3) menyatakan bahwa petani diharapkan bisa mencapai hasil dengan bantuan pekerja penyuluhan: (1) Pengetahuan dan ketrampilan yang baik akan memperkuat peran mereka dalam ekonomi pertanian, (2) efisiensi manajemen pada bisnis pertanian mereka, (3) mekanisme kerja yang akan mendorong partisipasi aktif petani.

Pelatihan

Menurut Manullang (1996: 100) pelatihan merupakan usaha untuk mengembangkan kecakapan atau menambah keahlian dan efisiensi kerja seseorang. Siagian (1996: 182-185) mengungkapkan pelatihan merupakan usaha untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan produktivitas kerja seseorang. Selain itu, pelatihan dapat bersifat pengembangan kemampuan yang bersangkutan untuk mempersiapkannya memikul tanggung jawab yang lebih besar dikemudian hari.

Pelatihan adalah proses memperoleh keterampilan spesifik untuk melaksanakan suatu pekerjaan secara lebih baik (Jucious, 1963). Pelatihan membantu seseorang untuk menjadi terampil dan berkualitas dalam melakukan pekerjaan (Dahama, 1979). Van Dersal (1962) pelatihan digambarkan sebagai proses pengajaran, memberi tahu, atau mendidik orang-orang sehingga memiliki kualitas dalam melaksanakan perkejaan, dan memiliki kualitas untuk melaksanakan tanggung jawab dan kesulitan yang lebih besar (Halim dan Ali, 1997 : 143).

(31)

Pelatihan merupakan bentuk kegiatan pendidikan nonformal yang bertujuan untuk menambah kecakapan petani. Suriatna (1987: 6-7) mengemukakan bahwa pendidikan kepada petani tidak cukup hanya dengan memberi tambahan pengetahuan saja. Betapapun pengetahuannya bertambah, jika sikapnya masih tidak percaya diri, masih tertutup terhadap suatu inovasi, maka tidak akan terjadi perubahan perilaku.

Ringkasan

Karakterisrik individu merupakan salah satu faktor penting untuk diketahui dalam rangka mengetahui kecenderungan perilaku seseorang atau masyarakat dalam kehidupannya. Karakteristik petani merupakan ciri-ciri atau sifat petani yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dengan lingkungannya. Karakteristik tersebut terbentuk oleh faktor-faktor biologis dan sosiopsikologis, sehingga akan berbeda pada tiap individu. Perbedaan ini merupakan hal penting karena dalam perkembangnnya akan berperan terhadap pembentukan kepribadian, kemampuan, termasuk orientasi petani dalam mengelola usahatani.

Potensi yang dimiliki petani dapat dipelajari melalui karakteristik yang melekat pada individu petani tersebut. Umur petani memberikan gambaran mengenai kematangan mental dan akumulasi pengalaman petani. Pendidikan formal dapat memberikan penjelasan tentang pengetahuan, kemampuan, dan sikap yang dimiliki petani. Selain itu, kecenderungan perilaku dan orientasi pemenuhan kebutuhan terkait dengan motivasi petani. Banyaknya tanggungan keluarga dan tingkat pendapatan dapat menjadi beban sekaligus dorongan bagi

(32)

petani untuk lebih giat menambah kemampuan agar dapat memenuhi kebutuhan keluarganya.

Karakteristik berikutnya adalah luas lahan usahatani. Kepemilikan lahan merupakan gambaran orientasi usaha, petani komersil memiliki dorongan yang kuat untuk terus menambah kemampuan usahatani. Banyaknya akses terhadap media dapat menambah pengetahuan petani. Disamping itu, kontak dengan penyuluh baik secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan tambahan pada pengetahuan dan pemahaman petani tentang usahatani. Demikian pula dengan pelatihan merupakan sarana belajar untuk menambah kemampuan dengan memadukan teori dengan pengalaman petani.

Oleh karena itu, karakteristik terpilih dalam penelitian ini adalah umur, pendidikan, pengalaman, motivasi, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan, luas lahan, jumlah pohon mete, konsumsi media, produksi mete, kontak dengan penyuluh, dan pelatihan.

Kompetensi Pengertian Kompetensi

Menurut McAshan (Mulyasa, 2002: 38) “competency is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the exent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, afective, and psychomotor behaviors.” Syah (2002: 229) menyatakan bahwa pengertian dasar kompetensi (competency) adalah kemampuan atau kecakapan.

Istilah kompetensi diartikan sebagai “kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu tugas” atau sebagai “memiliki keterampilan dan kecakapan yang

(33)

disyaratkan.” Pengertian yang lebih luas ini jelas bahwa setiap cara yang digunakan dalam pelajaran yang ditujukan untuk mencapai kompetensi adalah untuk mengembangkan manusia yang bermutu yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan sebagaimana disyaratkan. Kata kompetensi dipilih untuk menunjukkan tekanan pada “kemampuan mendemonstrasikan pengetahuan (Suparno, 2001: 14).”

Lasmahadi (2002: 2) mengemukakan bahwa kompetensi didefinisikan sebagai aspek-aspek pribadi dari seorang pekerja yang memungkinkan dia untuk mencapai kinerja yang superior. Aspek-aspek pribadi ini termasuk sifat, motif- motif, sistem nilai, sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Kompetensi- kompetensi akan mengarahkan tingkah laku. Sedangkan tingkah laku akan menghasilkan kinerja.

Kompetensi yang satu berbeda dengan kompetensi yang lain dalam hal jumlah bagian-bagiannya. Menurut Suparno (2001: 15) makin kompleks, kreatif, atau profesional suatu kompetensi, makin besar kemungkinan diterapkan dengan cara berbeda (different fashion) pada setiap kali dilakukan, bahkan oleh orang yang sama. Hal ini berbeda dengan kompetensi teknis yang relatif merupakan tindakan mekanis yang setiap kali diterapkan dengan menggunakan cara yang sama (usually premium for precision).

Kompetensi profesional memerlukan kreativitas serta kecakapan menyesuaikan pada keadaan yang berbeda-beda dimana terkandung tanggungjawab untuk membuat suatu keputusan. Biasanya kompetensi ini dihubungkan dengan kemampuan memecahkan masalah (Suparno, 2001: 15).

(34)

Menurut Willis dan Samuel (Puspadi, 2003: 120) kompetensi merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas secara efektif. Kemampuan secara fisik dan mental dapat muncul secara bersama pada saat menjalankan suatu tugas (Klausmeier dan Goodwin, 1966: 97-98), ada tiga jenis kemampuan yaitu kemampuan kognitif, psikomotor dan kemampuan afektif. Morgan, Holmes dan Bundy (1963: 31) mengemukakan bahwa kemampuan manusia secara umum terbagi dua yaitu: (1) kemampuan mental seperti pemikiran deduktif dan induktif, menciptakan sesuatu dengan pemikiran; (2) kemampuan jasmani.

Klemp (Puspadi, 2003: 120) mengungkapkan “ A job competency in an underlying characteristic of a person which results in effective and or superior performance in a job. A job competency is an underlying characteristic of a person in that it may be a motive, trait, skill, aspect of one’s self image or social role, or a body of knowledge which he or she uses. “ Kompetensi kerja adalah segala sesuatu pada individu yang menyebabkan kinerja yang prima.

Pengetahuan-pengetahuan khusus yang mencerminkan berbagai kompetensi belum dapat dikatakan sebagai kompetensi kerja. Pengetahuan secara harfiah, mengacu kepada kumpulan informasi. Kemampuan menggunakan pengetahuan- pengetahuan khusus secara efektif marupakan hasil menggunakan pengetahuan yang lain.

Pengetahuan khusus dapat dipertimbangkan sebagai kompetensi dengan dua alasan yaitu: pertama, dalam pengetahuan khusus terdapat perbedaan tingkat pengetahuan dan kedua, ada konsep serta fakta khusus yang dapat dipergunakan untuk menunjukkan kompetensi yang lain. Perbedaan tingkat pengetahuan ada

(35)

pada tingkat: (1) motif dan sifat; (2) citra diri, peran; (3) keterampilan (Puspadi, 2003: 120).

Mulyasa (2002: 40) mengemukakan bahwa dalam hubungannya dengan proses belajar, kompetensi menunjuk kepada perbuatan yang bersifat rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu dalam proses belajar. Kompetensi dikatakan perbuatan karena berbentuk perilaku yang dapat diamati, meskipun sering terlihat proses yang tidak nampak seperti pengambilan pilihan sebelum perbuatan dilakukan. Kompetensi dilandasi oleh rasionalitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran “mengapa dan bagaimana” perbuatan tersebut dilakukan. Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.

Menurut Widyarini (2004: 2) untuk survive dan meraih keberhasilan dalam hidup, manusia perlu mengembangkan kompetensi. Kompetensi lebih dari sekedar mengembangkan keterampilan, mencakup keberhasilan mengatasi tantangan-tantangan, sukses dalam berinteraksi dengan lingkungan, mampu menyusun tujuan-tujuan, dan memandang diri sendiri sebagai orang yang cakap (mampu melakukan apa yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain). Seseorang perlu memiliki tiga hal berikut untuk mengembangkan kompetensi:

(1) Sense of control adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya sendirilah yang mengendalikan hidupnya atau peristiwa-peristiwa yang ia alami (bukan ditentukan oleh nasib/takdir atau orang lain yang berkuasa). Orang yang memiliki sense of control merasa bahwa apa yang akan terjadi dalam hidupnya dapat diprediksi. Hal ini merupakan pemenuhan atas kebutuhan survival.

(36)

(2) Kebutuhan untuk berprestasi dan penguasaan. Kebutuhan untuk mencapai tujuan dan menguasai keterampilan tertinggi ini merupakan dasar yang penting untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan kita untuk sukses dalam berinteraksi dengan lingkungan dan meraih apa yang diharapkan dalam hidup.

(3) Self esteem. Dalam psikologi, self esteem sering diterjemahkan sebagai harga diri dan didefinisikan sebagai penilaian seseorang terhadap diri sendiri, baik positif maupun negatif. Manusia yang mempunyai keyakinan akan kemampuan-kemampuan yang dimiliki dan merasa dirinya bernilai adalah orang yang harga dirinya positif. Sebaliknya, mereka yang harga dirinya negatif akan merasa lemah, tidak berdaya.

Unsur-unsur Kompetensi Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hirarki paling bawah dalam taksonomi kognitif Bloom, didasarkan pada kegiatan-kegiatan untuk mengingat berbagai informasi yang pernah diketahui, tentang fakta, metode atau tehnik maupun mengingat hal- hal yang bersifat aturan, prinsip-prinsip atau generalisasi Proses memusatkan perhatian kepada hal-hal yang akan dipelajari, belajar mengingat-ingat dan berfikir, oleh Brunner disebut sebagai “cognitive strategy,” suatu proses untuk memecahkan masalah baru (Suparno, 2001: 6).

Menurut Brunner (Suparno, 2001: 84) pengetahuan selalu dapat diperbaharui, dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan perkembangan kematangan intelektual individu. Pengetahuan bukan produk, melainkan suatu proses. Proses tersebut menurut Brunner melibatkan tiga aspek: (1) proses

(37)

mendapatkan informasi baru dimana seringkali informasi baru ini merupakan pengganti pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya atau merupakan penyempurnaan informasi sebelumnya, (2) proses transformasi, yaitu proses memanipulasi pengetahuan agar sesuai dengan tugas-tugas baru, (3) proses mengevaluasi, yaitu mengecek apakah cara mengolah informasi telah memadai.

Sikap

Menurut van den Ban dan Hawkins (1999: 106) sikap adalah perasaan, pikiran, dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Sikap merupakan kecondongan evaluatif terhadap suatu obyek atau subyek yang memiliki konsekuensi yakni bagaimana seseorang berhadapan dengan obyek sikap. Meyers (Sarwono, 2002) menyatakan bahwa sikap adalah suatu reaksi evaluasi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap sesuatu atau seseorang, yang ditujukan dalam kepercayaan, perasaan atau perilaku seseorang.

Sikap didefinisikan sebagai keadaan internal seseorang yang mempengaruhi pilihan-pilihan atas tindakan-tindakan pribadi yang dilakukannya (Suparno, 2001: 15). Beberapa ahli (Sarwono, 2002: 232) mendefinisikan sikap sebagai a favourable or unfavourable evaluative reaction to ward something or someone, exhibited in one’s belief, feelings or intended behavior (Meyers, 1996).

An attitude is a disposition to serpond favourably or unfavourably to an object, person, institution or event (Azjen, 1988). Meskipun terdapat perbedaan dalam definisi tersebut, namun semuanya sependapat bahwa ciri khas sikap adalah (1) mempunyai objek tertentu (orang, perilaku, konsep, situasi, benda), dan (2) mengandung penilaian (setuju - tidak setuju, suka – tidak suka).

(38)

Menurut Suparno (2001: 9) sikap mempunyai tiga karakteristik yaitu:

(1) Intensitas yakni kekuatan perasaan terhadap objek, (2) Arah terhadap objek, apakah positif – negatif ataupun netral, (3) Target yakni sasaran sikap, terhadap apa sikap ditujukan.

Sikap dipandang mempunyai komponen afektif atau emosional, aspek konatif dan berakibat pada tingkah laku atau behavioral consequences (Suparno, 2001: 15). Gagne dalam Suparno (2001: 15) menekankan pada efek sikap terhadap pilihan-pilihan tingkah laku individu. Keadaan internal yang mempengaruhi pilihan-pillihan ini mempunyai aspek intelektual maupun aspek emosional. Hal tersebut diperoleh individu sepanjang hidupnya melalui pergaulannya baik di rumah, di sekolah maupun di lingkungan ketiga. Perbuatan yang dipilih seseorang dipengaruhi kejadian-kejadian khusus pada waktu itu, tetapi, kecenderungan-kecenderungan yang bersifat tetap mengakibatkan tingkah laku yang konsisten dalam situasi tertentu dan itulah yang dimaksud sikap.

Menurut Sarwono (2002: 251-252) sikap terbentuk dari pengalaman, melalui proses belajar. Pandangan ini mempunyai dampak terapan, yaitu bahwa berdasarkan pandagan ini dapat disusun berbagai upaya (penerangan, pendidikan, pelatihan, komunikasi, dan sebagainya) untuk mengubah sikap seseorang.

Keterampilan

Keterampilan adalah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot (neuromuscular) yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti menulis, mengetik, olah raga, dan sebagainya (Syah, 2002: 119).

Keterampilan menekankan kemampuan motorik dalam kawasan psikomotor, yaitu

(39)

bekerja dengan benda-benda atau aktivitas yang memerlukan koordinasi syaraf dan otot. Seseorang dikatakan menguasai kecakapan motoris bukan saja karena ia dapat melakukan hal-hal atau gerakan yang telah ditentukan, tetapi juga karena mereka melakukannya dalam keseluruhan gerak yang lancar dan tepat waktu (Suparno, 2001: 11).

Pengetahuan tentang cara-cara menguasai keterampilan tertentu akan mengubah arah dan intensitas motivasi seseorang. Keterampilan yang kompleks dapat dipelajari secara bertahap. Analisis tugas yang kompleks menjadi keterampilan-keterampilan bagian (part-skills), memungkinkan dikuasainya keterampilan tersebut. Jika penguasaan atas keterampilan sudah tercapai, maka akan timbul rasa puas, yang pada gilirannya mendorong orang untuk mengulangi kegiatan tersebut atau melanjutkannya ke tahap yang lebih komopleks (Suparno, 2001: 22).

Menurut Reber (Syah, 2002: 119) keterampilan adalah kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu. Keterampilan bukan hanya meliputi gerakan motorik melainkan juga pengejawantahan fungsi mental yang bersifat kognitif. Konotasinya pun luas sehingga sampai pada mempengaruhi atau mendayagunakan orang lain. Artinya orang yang mampu mendayagunakan orang lain secara tepat juga dianggap sebagai orang yang terampil.

Kemampuan mengamati secara cermat gerakan, taktik, dan kiat-kiat orang yang menjadi contoh (model) baik secara langsung maupun melalui media gambar memungkinkan keterampilan bagian dapat ditiru dengan lebih mudah. Urutan

(40)

langkah menjadi amat penting. Demikian pula frekuensi dan intensitas praktek akan memberi peluang dikuasainya keterampilan yang semula bersifat kaku, menjadi lancar, luwes, dan harmonis (Suparno, 2001: 23).

Kompetensi yang Perlu Dikuasai Petani dalam Usahatani Mete

Aspek Budidaya 1. Menyiapkan Lahan

Bibit mete sangat peka terhadap kompetisi gulma, tetapi di banyak daerah produsen, terutama pada lahan miring, semua vegetasi tidak boleh dimusnahkan sebelum penanaman, dan penyiangan bersih tidak dapat dilakukan selama fase tanaman muda karena bahaya erosi air dan angin (Sastrahidayat, 1990: 142).

Lahan yang digunakan untuk penanaman mente dapat berasal dari lahan alang-alang semak belukar, lahan primer atau lahan konversi. Pada lahan alang- alang dan semak belukar cara pembukaan lahan dilakukan dengan pembabatan secara manual atau menggunakan herbisida. Pada lahan primer dilakukan dengan cara menebang pohon-pohon, sedangkan yang dari konversi dilakukan dengan menebang atau membersihkan tanaman yang ada (Bank Indonesia, 2005: 1).

Daerah-daerah yang tidak terancam bahaya erosi, semua vegetasi pohon, semak dan perdu harus dibuang sebelum menanam bibit mete. Penyiangan di bawah lingkaran tajuk lazim dipraktekkan, dan gulma-gulma yang habitatnya pendek dijaga terus sampai tanaman mete muda tumbuh baik. Kalau tanaman musiman ditanam bersama dengan mete (tumpang sari), semua gulma dapat disiangi sebelum tanam (Sastrahidayat, 1990: 143).

(41)

2. Penanaman 2.1. Cara Tanam

Menurut Darwis (2004: 8) modal dasar bagi suatu usahatani adalah benih yang bermutu dan dapat mengacu ke arah bahan tanaman yang baik serta dapat dijadikan pohon induk, maka dalam penentuan benih harus mempertimbangkan:

(1) tipe genjah dengan tajuk kompak dan diameter pendek yang berbentuk kerucut/piramidal atau silindris, percabangannya banyak dan kadar pembungaannya tinggi; (2) musim pembungaan dan pembuahan pendek, serta mempunyai bunga sempurna (hermaprodit) 20 persen ke atas; (3) pohon induk seyogyanya dipilih yang berumur sekitar 15 – 25 tahun dengan kemampuan berproduksi (gelondong mete) per meter persegi/bujur sangkar tajuk sekurang- kurangnya 80 gram (800 kg per ha); (4) pada setiap tandan buah terdapat > (4 – 5) buah yang berukuran 8 – 10 gram (kering jamur) atau 125 – 150 gelondong per kg dengan rendemen kacang 20 persen ke atas; (5) memiliki toleransi terhadap hama penyakit. Biji atau gelondong mete untuk benih sebaiknya diambil pada saat pertengahan panen (panen besar). Benih hanya mampu disimpan selama 8 bulan.

Penanaman benih secara langsung, dengan atau tanpa liang tanam, telah menjadi metode pokok untuk menanam skala kecil dan skala kebun-kebun besar.

Keuntungan cara ini adalah: (1) tanaman dapat mengembangkan sistem perakarannya dan terutama akar utama secara alamiah; (2) cara ini sangat murah dan sederhana; dan (3) cara tanam yang paling cepat. Kerugiannya adalah persentase perkecambahannya rendah, gangguan binatang sangat serius dan kecambah tidak dapat diseleksi (Sastrahidayat, 1990: 144).

(42)

Disamping penanaman langsung, bibit mete dapat disemaikan terlebih dahulu. Keuntungan cara ini adalah: (1) semua bibit yang baik dapat dimanfaatkan; (2) dapat disemaikan dalam kantong plastik; (3) tanah persemaian dapat dipakai tanah yang subur sehingga pertumbuhan semai kuat dan tahan dalam pemindahan; (4) tidak mengalami kelayuan. Kekurangannya yaitu: (1) kehilangan waktu satu tahun; (2) akar tunggangnya bengkok tidak wajar; (3) tidak dapat segera menyesuaikan diri dengan lingkungannya; (4) tanaman tidak tahan menghadapi musim kemarau setelah ditanam karena akar tunggangnya tidak sempurna; (5) memerlukan biaya tambahan (Rismunandar, 1986: 18).

2.2 Waktu Tanam

Pada daerah-daerah tanpa irigasi, mete ditanam pada musim hujan.

Penanaman dapat dilakukan kalau hujan telah mulai turun secara teratur, dan tanah tidak mengering lagi. Penanaman awal akan memungkinkan bibit mengembangkan perakarannya lebih banyak sebelum datang musim kering.

Daerah yang iklimnya ditandai oleh curah hujan yang tidak teratur dan musim hujan yang pendek, resiko kekeringan dapat dikurangi dengan merendam biji sebelum tanam, menanam biji secara dalam (5 – 10 cm) dan menutupinya dengan bahan mulsa untuk mengurangi penguapan (Sastrahidayat, 1990: 144).

Menurut Suryadi dan Zaubin (2000: 72) pada umumnya dua tahun pertama merupakan masa kritis bagi tanaman jambu mete. Penanaman benih atau bibit langsung dalam lubang tanam berukuran (60 x 60 x 60) cm memberikan presentasi tumbuh dan toleransi yang lebih baik terhadap cekaman lingkungan.

(43)

2.3. Jarak Tanam

Jarak tanam yang disarankan di berbagai negara bervariasi dari 8 m x 8 m hingga 16 m x 16 m bahkan 20 m x 20 m. Dalam praktek, jarak tanam yang sering digunakan adalah 10 m x 10 m dan 14 m x 14 m, sesuai dengan kondisi lokal dan ekspektasi perkembangan tanaman (Sastrahidayat, 1990: 154). Menurut Rismunandar (1986: 18) jarak tanam mete dapat disesuaikan yaitu 5m x 5m pada tanah yang tandus, 10 m x 10 m pada tanah yang belum parah dilanda erosi, dan (12-15) m2 pada tanah yang subur.

Menurut PUSLITBANG Perkebunan (2000: 71) Jarak tanam rapat (6 m x 6 m) kurang menguntungkan karena dalam waktu 4 hingga 5 tahun tajuk tanaman sudah bertemu, sehingga tidak ada ruang untuk menanam tanaman sela (inter crop). Jarak tanam yang ideal dapat disesuaikan dengan pertumbuhan tanaman, dimulai dengan kerapatan tinggi yang kemudian secara bertahap dapat dikurangi.

Tetapi meskipun pada suatu populasi akhir yang telah ditentukan, tajuk tanaman akan saling bersinggungan satu sama lain pada umur tertentu, dan kemudian pemangkasan akan meningkatkan biaya produksi (Sastrahidayat, 1990: 156).

3. Pemeliharaan 3.1. Pemangkasan

Pemangkasan dengan tujuan untuk memperoleh hasil lebih tinggi, belum lazim dilakukan. Pada umumnya, pemangkasan terbatas untuk membuang cabang terendah selama tahun pertama pertumbuhannya. Kalau praktek mekanisasi tidak ada, pemangkasan hanya terbatas pada tinggi 60 cm. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pemanenan dan operasi lain. Pemangkasan cabang-cabang besar

(44)

dapat mengakibatkan eksudasi getah yang berlebihan dan dapat menyebabkan kelemahan tanaman (Sastrahidayat, 1990: 161).

Menurut Suryadi dan Zaubin (2000: 72) pemangkasan bentuk seharusnya mulai dilakukan mulai umur 6 bulan dan selanjutnya dilakukan dengan pemangkasan cabang-cabang ekstensif, non produktif dan bagian-bagian tanaman yang terserang hama dan penyakit.

Kalau kultivasi dirancang untuk mekanisasi, pemangkasan harus dilakukan bertahap ke atas hingga tinggi 1 meter agar traktor dan alat-alat lain dapat beroperasi selama beberap tahun pertama. Pemangkasan tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan tunas-tunas air dari bagian bawah batang. Tunas- tunas baru tersebut harus dibuang secara teratur untuk menghindari perkembangan tajuk yang liar. Pada tanaman yang telah tumbuh penuh diperlukan pemangkasan cabang atau ranting-ranting mati (Sastrahidayat, 1990: 162).

Menurut Rismunandar (1986: 19) pemeliharaan mete dapat dilakukan dengan cara: mengusahakan agar cabang-cabang yang pertama tetap tumbuh sebagai penutup tanah, memeriksa semai yang mati, membiarkan tunas air tumbuh untuk membentuk mahkota pohon, agar menjadi rimbun.

3.2. Penyiangan Gulma

Kebutuhan akan penyiangan gulma didasarkan pada kompetesi air dan cahaya. Adanya kompetisi cahaya, air dan unsur hara, maka perkembangan bagian tajuk tanaman sangat lambat sehingga perkembangan akar juga lambat.

Selama tiga tahun pertama pertumbuhannya, penyiangan selingkar tajuk harus dipraktekkan. Gulma yang tumbuh di luar lingkaran penyiangan dapat dibiarkan tumbuh rendah dengan jalan memotong atau membajaknya. Kalau tanaman telah

(45)

mengembangkan tajuknya beberapa meter, lingkaran penyiangan dapat dihentikan, tetapi penyiangan di antara tanaman harus diintensifkan dan pencangkulan diperlukan sebagai pengganti penyabitan gulma (Sastrahidayat, 1990: 163).

Menurut Suryadi dan Zaubin (2000: 72) penyiangan gulma terutama di bawah tajuk tanaman seringkali kurang diperhatikan. Penyiangan ini perlu dilakukan, terutama pada tanaman muda agar perakaran jambu mete unggul dalam memanfaatkan hara dan air dalam tanah.

Waktu penyiangan gulma sangat penting, penyabitan gulma pada musim kemarau tidak menguntungkan. Gulma menggunakan banyak air tanah dan pertumbuhan baru sangat cepat setelah hujan pertama. Penyiangan sebaiknya dilakukan sebelum akhir musim hujan. Kemudian tanaman mete akan mendapatkan cukup air tanah guna perkembangan daun muda dan perkembangannya. Penyabitan merupakan cara yang kurang memuaskan karena pengaruhnya hanya sebentar. Pencangkulan yang memotong bagian gulma di bawah tanah jauh lebih efektif dan gulma masih memerlukan waktu yang lama untuk pulih kembali. Pertumbuhan gulma dapat direduksi dan tanaman mete dapat tumbuh terus mendominasi vegetasi alamiah jika tanaman mete telah mampu mengembangkan tajuk yang sehat, dengan naungan yang cukup sehat.

Tanaman akan berkembang dengan lambat dan mungkin tidak pernah mencapai pertumbuhan yang subur kalau penyiangan kurang intensif. Pengendalian kimiawi hingga saat ini masih belum penting. Kemungkinan hal itu dapat menjadi alternatif penting, terutama kalau upah pekerja cukup mahal atau tenaga kerja sangat kurang (Sastrahidayat, 1990: 164-165).

(46)

4. Pemupukan

Suryadi dan Zaubin (2000: 72) menyatakan pemupukan dengan dosis dan komposisi hara NPK yang disesuaikan dengan umur tanaman berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan produksi jambu mete.

Sastrahidayat (1990: 177-179) mengemukakan bahwa praktek pemupukan yang banyak dilakukan adalah menggemburkan tanah di seputar batang dengan garpu hingga kedalaman 20 cm, dengan radius setengah tajuk. Pupuk kemudian disebar dan dicampur dengan tanah. Tanaman yang dipupuk sekali dalam liang tanam, yang diikuti oleh pemberian pupuk disebar pada tahun kedua berkembang lebih baik daripada tanaman yang dipupuk sekaligus pada liang tanam. Hasil tanaman yang dipupuk secara bertahap tiap tahun juga lebih tinggi daripada tanaman yang dipupuk sekali dengan dosis tinggi pada liang tanamnya.

5. Pengendalian Hama dan Penyakit 51. Hama

Menurut PUSLITBANG Perkebunan (2000: 72) beberapa hama yang sering dijumpai di kebun petani yakni Helopeltis sp., Cricula sp., Acrocercrops sp., Ttrips sp., dan Lawana sp. Hama Helopeltis sp. Paling besar menimbulkan kerusakan di kawasan timur Indonesia .

Sastrahidayat (1990: 190-221) mengungkapkan bahwa beberapa jenis serangga menjadi hama utama tanaman mete, diantaranya menyebabkan kerusakan serius. Hama pada tanaman mete dibagi dalam 5 kelompok besar yaitu:

(1) hama penggerek, (2) hama pengerat, (3) hama pemakan buah dan bunga, (4) hama pengisap daun dan tunas muda, (5) binatang besar.

(47)

Menurut Suryadi dan Zaubin (2000: 72) beberapa hama yang sering dijumpai di kebun petani adalah Helopeltis sp., Cricula sp., Trips sp., dan Lawana sp. Hama Helopeltis tampaknya paling besar menimbulkan kerusakan di kawasan timur Indonesia.

Pengendalian yang umum dilakukan adalah dengan cara fisik, mekanik, dan kimiawi. Pengendalian dilakukan dengan cara memotong bagian tanaman yang terserang atau dengan menyemprotkan insektisida. Kontrol kimia yang efektif dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai insektisida. Pengendalian dengan insektisida disarankan sebagai alternatif terakhir, yaitu penyemprotan interval pendek selama periode 60 sampai 90 hari. Perlindungan bibit dengan anyaman kawat yang rapat sangat efektif, tetapi sangat mahal (Sastrahidayat, 1990: 192-221).

5.2.Penyakit

Penyakit yang umum dijumpai pada tanaman mete adalah (1) penyakit pada kecambah bibit, (2) penyakit tunas muda dan bunga, (3) penyakit buah dan biji. Pengendalian penyakit yang efektif dicapai dengan menggunakan fungisida.

Penyemprotan dilakukan pada saat munculnya daun baru dan pembungaan, karena lembab nisbi yang tinggi dan pertumbuhan baru sangat ideal bagi perkembangan dan penyebaran patogen. Penyemprotan yang cepat dapat menghambat perkembangan penyakit (Sastrahidayat, 1990: 181-189).

Menurut Bank Indonesia (2005: 2) Penyakit tanaman yang sering menyerang tanaman mete adalah penyakit layu tanaman, penyakit layu daun, dan penyakit rontok bunga atau buah busuk. Fungisida yang umum digunakan untuk

Referensi

Dokumen terkait

Kesalahan penggunaan huruf kapital yang ditemukan dalam karangan narasi siswa kelas X SMA Swasta Taman Siswa Binjai memiliki jumlah kesalahan sebanyak 570

O Programa Pontos de Memória é coordenado pelo Instituto Brasileiro de Museus, do Ministério da Cultura, e tem por objetivo apoiar iniciativas de museologia social e incentivar as

Morning Show: Belahan Dunia, Metro Pagi, Editorial Media Indonesia, 8-11, Headline News Afternoon Show: Sisi Berita, Metro Siang, Wide Shot, Headline News Prime Time: Metro Hari

Sapi Jabres adalah nama populer yang berasal dari singkatan Sapi Jawa Brebes dan merupakan aset ternak lokal khas Kabupaten Brebes yang telah dibudidayakan oleh

Mohon urutkan preferensi Anda (1 s.d. 5) dalam menggunakan akses layanan bank:. Tuliskan angka 1 untuk akses layanan yang menjadi pilihan pertama Anda dalam

Hasil wawancara dengan konsuen PT Oto Multiartha, tanggal 23 April 2013, data primer telah diolah.. akan diserahkan pada konsumen 9 yang dapat digunakan apabila sepanjang

[r]

Pengembangan Perikanan Tangkap Jumlah Produksi Perikanan Tangkap (Ton) 76.976,44 Pendampingan pada kelompok nelayan perikanan tangkap Jumlah kelompok nelayan yang