• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS FEMINISME PADA NOVEL IMPIAN DI BILIK. Xiaoshuo (Hónglóumèng) nǚxìng zhǔyì de fēnxī

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS FEMINISME PADA NOVEL IMPIAN DI BILIK. Xiaoshuo (Hónglóumèng) nǚxìng zhǔyì de fēnxī"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FEMINISME PADA NOVEL IMPIAN DI BILIK MERAH 1 KARYA CAO XUEQIN

小说 《红楼梦》女性主义的分析

Xiaoshuo (Hónglóumèng) nǚxìng zhǔyì de fēnxī

SKRIPSI

NUR ZUBAIDAH 110710007

PROGRAM STUDI SASTRA CINA FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(2)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Analisis Feminisme Pada Novel Impian di Bilik Merah 1 Karya Cao Xueqin” yang berfokus pada pemaparan tokoh perempuan dalam mewujudkan feminisme. Feminisme merupakan faham atau aliran yang secara kontiniu menuntut persamaan atau menyetarakan hak perempuan dengan laki-laki. Dalam novel ini banyak terdapat tokoh perempuan, maka dari itu penulis memilih untuk mengkaji tentang feminismenya. Teori yang digunakan yaitu teori Karl Marx untuk mengetahui kandungan feminisme di dalamnya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Sumber data diperoleh dari novel itu sendiri.

Setelah menganalisis penulis menemukan bahwa temanya adalah kedudukan perempuan pada masa feodal, tokoh/perwatakannya terdiri dari Lin Daiyu yang mudah tersinggung; Xue Baochai yang patuh terhadap nilai-nilai tradisional;

Wang Xifeng yang kejam; dan Yuanyang yang berani. Alur cerita dari novel tersebut adalah alur flash back. Kandungan feminisme terdapat pada tokoh Wang Xifeng yang mempertahankan diri untuk mewujudkan feminisme. Yuanyang menggunakan cara memberontak untuk mewujudkan feminisme.

Kata Kunci: Kajian Struktural, Feminisme.

(3)

ABSTRACT

The title of the research is “An Analysis of Feminism in the Novel Impian di Bilik Merah I by Cao Xueqin” which focuses on the description of the women figures who fight for the feminism. Feminism is an ideology or thought which continuously claims for equality or to equalize the woman’s rights with the man’s.

There are many woman figures in the novel which interest the researcher to analyze the content of feminism. To analyze the feminism, Karl Marx’s theory is used. The research method is descriptive methodology. The source of data is the novel itself. Afterthe data are analyzed, it is found out that the theme of the novel is the women’s position in the feudal period. The figures are Lin Daiyu who is sensitive, Xue Baochai who is obedient to the traditional values, Wang Xifeng who is cruel, and Yuanyang who is brave. The plot of the novel is flash back. The content of feminism is found in Wang Xifeng who fights for the realization of feminism, and Yuanyang who rebels for the realization of feminism.

Keywords: Structural Study, Feminism.

(4)

KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul “ Analisis Feminisme Pada Novel Impian di Bilik Merah 1 Karya Cao Xueqin”. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana bidang ilmu Sastra Cina di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A, selaku ketua Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si, selaku sekretaris Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nst, M.Si, selaku Dosen Pembibing I yang juga banyak memberi masukan, bimbingan, pengarahan, kritik, saran, dan motivasi kepada penulis selama berlangsungnya proses penyusunan skripsi ini.

(5)

5. Laoshi Julina. B.A, MTCSOL, selaku dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan dan motivasi sehingga skripsi bahasa china saya dapat terselesaikan dengan baik.

6. Bapak/Ibu staf pengajar Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengajaran selama penulis mengikuti perkuliahan, serta kak Endang selaku staf tata usaha di Program Studi Sastra Cina.

7. Kedua orang tua saya, Almarhum Ayahanda Suhartono dan Ibunda Mahyuni, atas segala do‟a, dukungan, kasih sayang, semangat yang tiada henti, motivasi demi keberhasilan penulis, dan bantuan materi yang selalu diberikan kepada penulis.

8. Kedua kakak tersayang, Almarhumah Evi Marsari Bulan dan Nur Afsa Ramadani, atas do‟a, semangat, dukungan dan motivasinya selama ini.

9. Sahabat-sahabat saya: Lili, Isda, Nisa, Diah, Intan, Sally, Evi atas semangat, masukan, dukungan dan motivasinya selama ini.

10. Teman-teman sascin, khususnya stambuk 2011 yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu, terima kasih untuk semangat dan dukungannya selama ini agar penulis bisa menyelesaikan skripsi ini secepatnya.

11. Teman-teman kost: Kak ratih, Mbak sanah, Ainun, Maya, Sri, Novy, Nana, Nurul, Nur, Zulfa, Anis, Yana, Lia, Filli, Siti, yang selalu

(6)

memberikan semangat, dukungan dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini secepatnya.

12. Bidik Misi yang telah memberi dukungan berupa bantuan financial hingga dapat mengenyam perkuliahan di USU hingga selesai.

13. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan (baik keluarga, kerabat, teman, ataupun pihak lain yang terkait) mohon maaf, semoga Allah membalas semua bantuan yang telah diberikan dan Allah memudahkan semua urusan kalian.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan.

Oleh karena itu, kritik saran senantiasa penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Medan, Mei 2016

Nur Zubaidah 110710007

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Batasan Masalah... 9

1.5 Manfaat Penelitian ... 9

1.5.1 Manfaat Teoretis ... 9

1.5.2 Manfaat Praktis ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI ...10

2.1 Tinjauan Pustaka ... 10

2.2 Konsep ... 11

2.2.1 Novel dan Unsur-unsur Novel ... 11

2.2.2 Kajian Struktural ... 17

2.2.3 Hakikat Feminisme Dalam Sastra ... 17

2.2.3.1 Pengertian Feminisme ... 18

2.2.3.2 Aliran-Aliran Dalam Feminisme ... 19

2.3 Landasan Teori ... 21

(8)

2.3.1 Teori Karl Marx ... 21

2.3.2 Feminisme Marxis ... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 25

3.1 Metode Penelitian ... 25

3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 26

3.3 Teknik Analisis Data ... 27

3.4 Data dan Sumber Data ... 27

3.4.1 Data ... 27

3.4.2 Sumber Data ... 28

BAB IV PEMBAHASAN ... 29

4.1 Analisis Struktur Pada Novel Impian di Bilik Merah Karya Cao Xueqin ... 29

4.1.1 Tema ... 30

4.1.2 Penokohan dan Perwatakan ... 33

4.1.3 Alur Cerita (Plot) ... 43

4.2. Analisis Kandungan Feminisme pada Novel Impian di Bilik Merah Karya Cao Xueqin ... 48

4.2.1 Figur Tokoh Perempuan dalam Mewujudkan Feminisme pada Novel Impian di Bilik Merah Karya Cao Xueqin ... 48

4.2.2 Perjuangan Tokoh Perempuan dalam Mewujudkan Feminisme pada Novel Impian di Bilik Merah Karya Cao Xueqin ... 52

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 62

5.1 Simpulan ... 62

(9)

5.2 Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65

LAMPIRAN I ... 68

LAMPIRAN II ... 74

(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam bahasa Indonesia dikenal istilah “kesusastraan”. Kata kesusastraan merupakan bentuk dari konfiks ke-an dan susastra. Menurut Teeuw (dalam Rokhmansyah, 2014:1) kata susastra berasal dari bentuk su + sastra. Kata sastra berasal dari bahasa Sansekerta yaitu berasal dari akar kata sas yang dalam kata kerja turunan berarti “mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, atau intruksi”, sedangkan akhiran tra menunjukan “alat, sarana”. Kata sastra dapat diartikan sebagai alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi, atau pengajaran.

Awalan su pada kata susastra berarti “baik, indah” sehingga susastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi, atau pengajaran yang baik dan indah. Kata susastra berasal dari bahasa Jawa atau Melayu karena kata susastra tidak terdapat dalam bahasa Sansekerta dan Jawa Kuna.

Konfiks ke-an dalam bahasa Indonesia menunjukan pada “kumpulan” atau

“hal yang berhubungan dengan”. Secara etimologis istilah kesusastraan dapat diartikan sebagai kumpulan atau hal yang berhubungan dengan alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi atau pengajaran, yang baik dan indah.

Bagian “baik dan indah” dalam pengertian kesusastraan menunjuk pada isi yang disampaikan (hal-hal yang baik; menyarankan pada hal yang baik) maupun menunjuk pada alat untuk menyampaikan, yaitu bahasa (sesuatu disampaikan dengan bahasa yang indah).

(11)

Banyak batasan mengenai definisi sastra, antara lain:

1. Sastra adalah seni.

2. Sastra adalah ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam.

3. Sastra adalah ekspresi pikiran dalam bahasa. Sedangkan yang dimaksud dengan pikiran adalah pandangan, ide-ide, perasaan, pemikiran, dan semua kegiatan mental manusia.

4. Sastra adalah inspirasi kehidupan yang dimaterikan (diwujudkan) dalam sebuah bentuk keindahan.

5. Sastra adalah semua buku yang memuat perasaan kemanusiaan yang mendalam dan kekuatan moral dengan sentuhan kesucian kebebasan pandangan dan bentuk yang mempesona.

Menurut Sumardjo dan Saini (dalam Rokhmansyah, 2014:2), sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.

Sastra ialah karya seni yang dikarang menurut standar bahasa kesusastraan.

Standar bahasa kesusastraan yang dimaksudkan adalah penggunaan kata-kata yang indah dan gaya bahasa serta gaya cerita yang menarik. Sedangkan kesusatraan adalah karya seni yang pengungkapannya baik dan diwujudkan dengan bahasa yang indah. Menurut Usman Effendi (dalam Zainuddin, 1992:99), kesusastraan atau sastra ialah ciptaan manusia dalam bentuk bahasa lisan maupun tulisan yang dapat menimbulkan rasa bagus.

(12)

Karya seni yang merupakan ciptaan manusia dengan bahasa sebagai medianya; merupakan perpaduan yang harmonis antara isi (menarik dan baik) dengan bahasa (indah, bagus, dan baik susunan katanya) dan bagaimana cara mengungkapkannya. Itulah yang dimaksud (karya) kesusastraan atau dikenal dengan karya sastra.

Melalui karya sastra, seorang pengarang menyampaikan pandangannya tentang kehidupan yang ada di sekitarnya. Oleh sebab itu, mengapresiasi karya sastra artinya berusaha menemukan nilai-nilai kehidupan yang tercermin dalam karya sastra. Banyak nilai-nilai kehidupan yang ditemukan dalam karya sastra tersebut. Sastra sebagai produk budaya manusia berisi nilai-nilai yang hidup dan berlaku dalam masyarakat. Sastra sebagai hasil pengolahan jiwa pengarangnya, dihasilkan melalui suatu proses perenungan yang panjang mengenai hakikat hidup dan kehidupan. Sastra ditulis dengan penuh penghayatan dan sentuhan jiwa yang dikemas dalam imajinasi yang dalam tentang kehidupan.

Karya sastra sebagai potret kehidupan bermasyarakat merupakan karya yang dapat dinikmati, dipahami, dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Karya sastra tercipta karena adanya pengalaman batin pengarang berupa peristiwa atau problem dunia yang menarik sehingga muncul gagasan imajinasi yang dituangkan dalam bentuk tulisan dan karya sastra akan menyumbangkan tata nilai figur dan tatanan tuntutan masyarakat, hal ini merupakan ikatan timbal balik antara karya sastra dengan masyarakat, walaupun karya sastra tersebut berupa fiksi, namun pada kenyataannya sastra juga mampu memberikan manfaat yang berupa nilai- nilai moral bagi pembacanya.

(13)

Unsur bahasa merupakan ciri pembeda yang membedakan karya sastra dengan karya seni yang lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya karya sastra adalah karya seni yang bermedia atau berbahan utama bahasa. Wellek dan Warren (dalam Rokhmansyah, 2014:3), membandingkan bahasa khas sastra dengan bahasa ilmiah dan bahasa percakapan sehari-sehari.

Bahasa ilmiah bersifat denotatif, ada kecocokan antara tanda (sign) dan diacu (referent).

Karya sastra terdiri atas puisi, prosa, dan drama. Prosa terbagi lagi atas novel, cerpen, roman, dan sejenisnya. Novel merupakan sebuah genre sastra yang memiliki bentuk utama prosa, dengan panjang yang kurang lebih bisa untuk mengisi satu atau dua volume kecil, yang menggambarkan kehidupan nyata dalam suatu plot yang cukup kompleks. Novel dibedakan dengan puisi terutama dari bahasanya yang tidak berima dan tidak memiliki irama yang teratur. Novel dibedakan dengan drama dari bentuknya yang lebih bersifat naratif, yang tidak mengandalkan peragaan dan dialog. Novel juga dibedakan dari cerpen atau novela karena novel cukup panjang untuk mengisi satu atau dua volume kecil, dan juga memberikan treatment yang mendalam terhadap kehidupan dan perkembangan sosial serta psikologis para tokohnya (Aziez dan Hasim, 2010:7)

Novel ialah bentuk karangan prosa yang pengungkapannya tidak panjang lebar seperti roman, biasanya melukiskan atau mengungkapkan suatu peristiwa atau suatu kejadian yang luar biasa pada diri seseorang (Zainuddin, 1992:106).

Novel merupakan suatu karya fiksi, yaitu karya dalam bentuk kisah atau cerita yang melukiskan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa rekaan. Menurut

(14)

pengertian yang diberikan oleh Yelland (dalam Aziez dan Hasim, 2010:2), bahwa fiksi berarti “that which is invented as distinguished from that which is true”.

Sebuah novel bisa saja memuat tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa nyata, tetapi pemuatan tersebut biasanya hanya berfungsi sebagai bumbu belaka dan mereka dimasukkan dalam rangkaian cerita yang bersifat rekaan atau dengan detail rekaan.

Walaupun peristiwa dan tokoh-tokohnya bersifat rekaan, mereka memiliki kemiripan dengan kehidupan sebenarnya. Mereka merupakan “cerminan kehidupan nyata”.

Novel dibangun oleh dua unsur yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur instrinsik adalah unsur yang membangun novel dari dalam seperti tema, alur, plot, tokoh, dan penokohan, amanat dan lain-lain. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang membangun sastra dari luar seperti agama, pendidikan, ekonomi, psikologi, filsafat dan lain-lain.

Salah satu unsur intinsik yang terdapat pada novel ialah tokoh. Tokoh menjadi pemegang peran atau pelaku cerita yang sangat penting karena dapat menghidupkan kejadian atau peristiwa yang terdapat di dalam novel. Melalui perilaku tokoh-tokoh yang ditampilkan inilah seorang pengarang melukiskan kehidupan manusia dengan konflik-konflik yang dihadapinya, baik konflik dengan perorangan maupun dengan kelompok.

Sastra di Cina sebelum abad ke-14 mengutamakan penciptaan karya syair, esei, dan cerita pendek. Akan tetapi, pada abad ke-14 sastra di Cina khususnya di Tiongkok mulai memasuki masa puncak penciptaan novel. Pada masa itu di Tiongkok berturut-turut muncul banyak novel. Di antara novel-novel itu ada

(15)

empat novel yang paling terkenal, di antaranya yaitu novel 红楼梦 (Hóng Lóu Mèng), 水浒传 (Shuǐhǔ Zhuàn), 三国演义 (Sānguó Yǎnyì), 西游记 (Xīyóu Jì).

Selama seratus tahun lebih ini, keempat novel klasik itu menjadi karya sastra yang paling populer di kalangan para pembaca dari berbagai lapisan di Tiongkok.

Novel 红楼梦 (Hóng Lóu Mèng) karya Cao Xueqin dikenal di Negara Cina dengan novel klasik. Novel 红 楼 梦 (Hóng Lóu Mèng) sudah banyak diceritakan ulang dengan berbagai jilid dan versi yang berbeda, misalnya untuk anak-anak dicetak dengan versi komik dan untuk orang dewasa dicetak dengan versi novel yang menceritakan secara detail serta terdapat syair-syair. Novel ini juga sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Misalnya, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan lain-lain. Dalam bahasa Inggris novel 红楼梦 (Hóng Lóu Mèng) dikenal dengan A Dream of Red Mansions dan dalam bahasa Indonesia novel 红楼梦 (Hóng Lóu Mèng) dikenal dengan novel Impian di Bilik Merah.

Novel Impian Di Bilik Merah ditulis oleh Cao Xueqin di pertengahan abad ke-18, pada masa pemerintahan Dinasti Qing. Di dalam novel ini banyak menceritakan kehidupan perempuan china pada masa itu. Novel ini memiliki lebih banyak tokoh perempuan dibanding dengan laki-lakinya, walaupun tokoh utamanya tetap seorang laki-laki, namun dalam novel ini, kehidupan perempuan banyak diceritakan dan digambarkan oleh Cao Xueqin. Cerita pada novel ini lebih banyak menceritakan kehidupan di dalam rumah. Meskipun novel ini dikenal sebagai roman keluarga, tetapi novel ini mampu memaparkan kehidupan hampir

(16)

setiap golongan masyarakat secara nyata, maka tidak heran jika novel klasik Tiongkok ini menjadi salah satu dari empat novel klasik china yang tersohor.

Novel Impian di Bilik Merah menceritakan peranan perempuan dalam sejarah Tiongkok yang menggunakan sistem feodal. Selain itu, novel ini juga menceritakan tentang perlawanan terhadap aturan sistem feodal yang dipandang sebagai ketidakadilan sistem oleh para tokoh perempuan di dalamnya.

Di dalam novel Impian di Bilik Merah ini terdapat tokoh-tokoh perempuan yang memiliki keinginan yang begitu kuat untuk mempertahankan diri dan memberontak sistem feodal. Seperti tokoh Wang Xifeng yang berambisi menguasai kekuasaan dan piawai dalam mengatur acara-acara yang diselenggarakan oleh keluarganya. Di tambah lagi dengan kehadiran tokoh Yuanyang sebagai seorang pelayan, yang menolak aturan sistem feoadal meskipun dia hidup dalam keluarga yang feodal.

Tokoh-tokoh seperti Wang Xifeng dan Yuanyang dapat dijadikan sebagai pintu pembuka pada kajian feminisme yang nantinya akan mengungkapkan beberapa kisi- kisi yang mengangkat mereka sebagai sosok yang mampu membuktikan eksitensinya sebagai seorang perempuan dan sekaligus mengkontruksi berbagai budaya yang berkembang dalam tradisi budaya Cina masa lampau.

Feminisme adalah faham atau aliran yang secara kontiniu menuntut persamaan atau menyetarakan hak wanita dengan laki-laki. Konsep feminisme adalah membalikkan paradigma bahwa perempuan berada di bawah dominasi laki-laki, perempuan adalah pelengkap, dan perempuan adalah sebagai makhluk

(17)

kedua. Sejalan dengan konsep itu, studi feminisme dalam sastra adalah studi literer perempuan, pengarang perempuan, pembaca perempuan, tokoh perempuan, dan sebagainya (Rokhmansyah, 2014:127).

Perjuangan kaum wanita untuk menyetarakan gender dengan kaum laki- laki adalah satu hal yang terus berkembang. Wanita akan terus membagi informasi serta pengetahuan kepada sesama wanita dari satu generasi ke generasi selanjutnya agar dapat mengambil hikmah, pelajaran, dan motivasi diri agar kedepannya wanita mampu mengembangkan diri dalam persaingan di masyarakat, tanpa menghilangkan kodrat wanita sebagai wanita adalah hal utama yang membuat ketertarikan bagi peneliti untuk meneliti tentang feminisme dalam karya sastra.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang, yang menjadi rumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah struktur cerita yang terdapat dalam novel Impian di Bilik Merah karya Cao Xueqin ?

2. Bagaimanakah kandungan feminisme dalam novel Impian di Bilik Merah karya Cao Xueqin ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan struktur cerita yang terdapat dalam novel Impian di Bilik Mera karya Cao Xueqin.

(18)

2. Mendeskripsikan kandungan feminisme yang terkandung dalam novel Impian di Bilik Merah karya Cao Xueqin.

1.4 Batasan Masalah

Analisis ini fokus pada analisis feminisme yang terkandung dalam novel Impian di Bilik Merah 1 karya Cao Xueqin dalam versi dewasa dengan menggunakan pendekatan struktural yang fokus pada tema, penokohan dan perwatakan serta alur cerita (plot). Penulis menggunakan pendekatan feminisme Marxis dalam penelitian ini.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis penelitian ini diharapkan mampu menambah ilmu pengetahuan tentang pemakaian teori-teori feminisme dan teori sastra. Di samping itu penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi mahasiswa sastra yang ingin mengkaji tentang analisis wacana. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan referensi bagi peneliti selanjutnya.

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan bagi pembaca tentang feminisme dalam novel, khususnya novel Impian di Bilik Merah karya Cao Xueqin. Selain itu penelitian ini juga diharapkan bisa menambah pengetahuan bagi penulis lain bagaimana cara menganalisis novel yang menggunakan pendekatan feminisme serta menambah pengetahuan tentang novel.

(19)

BAB II

TINJAUN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau, melihat-lihat, memeriksa, mengamati, dan sebagainya (KBBI, 2005:574). Sedangkan pustaka adalah buku, kitab, kumpulan buku bacaan, dan sebagainya (KBBI, 2005:397). Tinjauan pustaka berfungsi untuk mengetahui keaslian karya ilmiah. Oleh karena itu, ada beberapa tinjauan pustaka yang menginspirasi penulis dari beberapa skripsi terdahulu di antaranya:

Tety Warliani (2005) dari Universitas Sumatera Utara dengan judul skripsinya “Novel Memburu Matahari Karya Wadjib Kartapati: Analisis Feminisme”. Penelitian ini mengenai peranan tokoh utama dalam keluarga dan peranan tokoh utama dalam lingkungan masyarakat.

Ade Sri Handayani (2010) dari Universitas Sumatera Utara dengan judul skripsinya “Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah El Khalieqy:

Ketidakadilan Gender”. Penelitian ini mengenai perjuangan tokoh utama dalam novel Peremupan Berkalung Sorban yang menggambarkan tentang semangat feminisme, yaitu keinginan perempuan untuk mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki.

Rany Mandrastuty (2010) dari Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul skripsinya “Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini: Kajian Feminisme”. Penelitian ini mengenai perjuangan tokoh perempuan dalam mewujudkan feminisme.

(20)

Tri Ayu Nutrisia Syam (2013) dari Universitas Hasanuddin Makassar dengan judul skripsinya “Representasi Nilai Feminisme Tokoh Nyai Ontosoroh dalam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer”. Penelitian ini mengenai ketidakadilan yang dialami orang-orang tertentu dalam novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer.

Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Tety, Ade, Rany, dan Tri memiliki objek penelitian yang berbeda dengan penelitian ini. Penelitian- penelitian tersebut juga membahas masalah feminisme, sama dengan masalah yang dibahas pada penelitian ini. Namun penelitian ini mencoba untuk menggambarkan tentang kedudukan perempuan pada masyarakat Cina tradisional pada masa pemerintahan Dinasti Qing.

2.2 Konsep

Konsep adalah unsur penelitian yang amat mendasar dan menentukan arah pemikiran si peneliti, karena menentukan penetapan variabel. Di dalam konsep ini akan dipaparkan variabel-variabel yang terdapat dalam judul penelitian.

2.2.1 Novel dan Unsur-Unsur Novel

Novel merupakan sebuah karya yang diciptakan dengan melibatkan segenap daya imajinasi pengarang. Dengan demikian, novel merupakan hasil perenungan “di balik meja”, di mana si pengarang bisa “melanglang” ke tempat manapun dan ke masa apapun. Sekalipun demikian, novel juga mengandung banyak pesan-pesan apa saja yang ingin disampaikan pengarang kepada khalayak pembacanya.

(21)

Pengertian Novel dalam The American College Dictionary yang dikutip oleh Tarigan (2003:164) menjelaskan bahwa novel adalah suatu cerita fiktif dalam panjang yang tertentu, melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaaan yang agak kacau atau kusut. Di dalam novel memang mempunyai panjang yang tertentu dan merupakan suatu cerita prosa yang fiktif. Hal itu sejalan dengan pendapat Nurgiyantoro (2005:9) yang memberikan pengertian bahwa “Novel adalah sebuah prosa fiksi yang panjangnya cukup, artinya tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek”.

Kata novel berasal dari bahasa Italia, novella yang berarti sebuah kisah, sepotong berita. Novel lebih panjang (setidaknya 40.000 kata) dan lebih kompleks dari cerpen, dan tidak dibatasi keterbatasan strurktural dan metrikal sandiwara atau sajak. Umumnya sebuah novel bercerita tentang tokoh-tokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari, dengan menitikberatkan pada sisi-sisi yang aneh dari naratif tersebut (Aziez dan Hasim, 2010:8).

Waluyo (2002:37) mengemukakan ciri-ciri yang ada dalam sebuah novel, bahwa dalam novel terdapat : a) Perubahan nasib dari tokoh cerita; b) Beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya; c) Biasanya tokoh utama tidak sampai mati. Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005:11) menyatakan bahwa novel mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Hal itu mencakup berbagai unsur cerita yang membangun novel itu.

(22)

Wellek Rene dan Austin Warren (1990:280) berpendapat bahwa kritikus yang menganalisis novel pada umumnya membedakan tiga unsur pembentuk novel, yaitu alur, penokohan, dan latar. Sedangkan yang terakhir ini bersifat simbolis dan dalam teori modern disebut atmosphere (suasana) dan tone (nada).

Waluyo (2002:141) menyatakan bahwa ada lima unsur fundamental dalam cerita rekaan yaitu tema, alur, penokohan dan perwatakan, sudut pandang, setting, adegan dan latar belakang. Sedangkan unsur-unsur yang lain adalah unsur sampingan (tidak fundamental) dalam cerita rekaan.

Dalam hal ini penulis hanya akan menerangkan sedikit mengenai unsur- unsur struktural dalam novel, seperti tema, penokohan/perwatakan, dan alur.

Ketiga unsur tersebut akan dijelaskan dalam uraian berikut : a. Tema

Tema adalah hasil pemikiran pengarang berdasarkan hati, perasaan, dan jiwa. Tema yang baik akan menghasilkan cerita yang baik pula. Tema suatu cerita dapat dinyatakan secara implisit maupun eksplisit. Tema sering disebut sebagai dasar cerita, karena pengembangan cerita harus sesuai dengan dasar cerita, sehingga dapat dipahami oleh pembaca. Meskipun tema hanya salah satu dari sejumlah unsur pembangun cerita lain, tetapi tetap menjadi unsur terpenting dalam membentuk suatu karya fiksi.

Zulfahnur, dkk (1996:25) mengemukakan bahwa istilah tema berasal dari bahasa Inggris, yaitu theme yang berarti ide yang menjadi pokok suatu pembicaraan atau ide pokok suatu tulisan. Tema adalah ide sentral yang mendasari suatu cerita. Tema mempunyai tiga fungsi yaitu sebagai pedoman

(23)

pengarang dalam membuat cerita, sasaran tujuan penggarapan cerita, dan mengikat peristiwa-peristiwa cerita dalam suatu alur.

Menurut Semi (1993:42), tema merupakan gagasan sentral yang menjadi dasar dan tujuan atau amanat pengarang kepada pembaca. Menurut Burhan Nurgiyantoro (2005:68) tema adalah ide pokok atau gagasan yang mendasari karya sastra. Tema sebagai makna pokok suatu karya fiksi. Tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan tersembunyi di balik cerita yang mendukungnya.

b. Penokohan dan Perwatakan

Ada hubungan erat antara penokohan dan perwatakan. Penokohan berhubungan dengan cara pengarang menentukan dan memilih tokoh-tokohnya serta memberi nama tokoh itu. Perwatakan berhubungan dengan karakteristik atau bagaimana watak tokoh-tokoh itu. Istilah penokohan disini berarti cara pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan tokoh dengan cerita yang lain, watak tokoh-tokoh, dan bagaimana pengarang menggambarkan watak tokoh-tokoh itu.

Lebih lanjut Nurgiyantoro (2005:176-194) membedakan tokoh dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan.

Berdasarkan sudut pandang dari tinjauan, seorang tokoh dapat dikategorikan dalam beberapa jenis penamaan sekaligus.

1) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel. Sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang tidak

(24)

dipentingkan dalam cerita, dalam keseluruhan cerita pemunculan lebih sedikit. Pembedaan tersebut berdasarkan segi peranan.

2) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang disebut hero.

Tokoh penyebab terjadinya konflik disebut antagonis. Pembedaan ini berdasarkan fungsi penampilan tokoh.

3) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat

Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas sisi kepribadian yang diungkapkan pengarang. Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai sisi kehidupan dan jati dirinya.

4) Tokoh Statis dan Tokoh Dinamis

Tokoh statis adalah tokoh yang tidak mengalami pengembangan perwatakan sebagai akibat terjadinya konflik. Sedangkan tokoh dinamis mengalami pengembangan perwatakan.

c. Alur Cerita (Plot)

Alur merupakan unsur fiksi yang penting, karena kejelasan alur merupakan kejelasan tentang kaitan antar peristiwa yang dikisahkan secara linier akan mempermudah pemahaman pembaca tentang cerita yang ditampilkan. Atar Semi (1993:43) mengatakan bahwa alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi.

Alur mengatur jalinan peristiwa yang dialami oleh tokoh dalam hubungan kausalitas, peristiwa yang satu menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Atar

(25)

Semi (1993:44) menyebutkan bahwa alur cerita rekaan berdasarkan urutan kelompok kejadian terdiri dari:

1) Alur buka yaitu situasi awal akan dimulainya cerita yang kemudian dilanjutkan dengan cerita berikutnya.

2) Alur tengah yaitu cerita mulai bergerak dengan adanya permasalahan antar tokoh dan kondisi mulai memuncak.

3) Alur puncak yaitu kondisi mencapai titik puncak sebagai klimaks peristiwa.

4) Alur tutup yaitu permasalahan yang terjadi sudah bisa diselesaikan.

Secara garis besar tahapan alur ada tiga yaitu tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir (Nurgiyantoro, 2005:42). Tahap awal disebut juga tahap perkenalan.

Tahap tengah dimulai dengan pertikaian yang dialami tokoh, dalam tahap ini ada dua unsur penting yaitu konflik dan klimaks. Tahap akhir dapat disebut juga sebagai tahap penyelesaian.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa alur adalah suatu bagian dari karya sastra yang sangat penting karena berisi tentang kronologis peristiwa, usaha-usaha pemecahan konflik yang terjadi antar unsur karya sastra yang dihadirkan oleh pelaku dalam suatu cerita sehingga menjadi bermakna. Jadi alur merupakan kerangka dasar yang amat penting. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana satu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain, bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa yang terikat dalam kesatuan waktu.

(26)

2.2.2 Kajian Struktural

Kajian struktural sangat penting dalam analisis karya sastra karena di dalamnya suatu karya sastra dibangun oleh unsur-unsur yang membentuknya.

Tanpa analisis struktural tersebut kebulatan makna intrinsik yang dapat digali dari karya tersebut tidak dapat diketahui. Makna unsur-unsur karya sastra hanya dapat ditangkap, dipahami sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu di dalam keseluruhan karya sastra (Teeuw dalam Sugihastuti, 2002:44).

Analisis struktural adalah bagian prioritas pertama sebelum diterapkannya analisis yang lain. Teeuw (1984:135), mengatakan analisis strukturalisme bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, sedetail mungkin, dengan keterkaitan dan keterjalinan semua analisis dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh. Analisis struktural bukanlah penjumlahan unsur-unsur yang membangun, yang penting justru sumbangan yang diberikan unsur-unsur tersebut pada keseluruhan makna (makna totalitas) dalam keterkaitan dan keterjalinan.

2.2.3 Hakikat Feminisme dalam Sastra

Lahirnya karya sastra yang mengangkat persoalan tentang kaum perempuan, menjadi tanda bahwa gerakan feminisme telah mengalami banyak perkembangan, tidak hanya dalam bidang hukum dan politik saja. Gerakan feminisme telah masuk ke dalam dunia fiksi, seperti karya sastra, baik itu prosa, puisi, maupun novel. Bahkan tidak hanya kaum perempuan saja yang menuliskan tentang persoalan perempuan dalam karya sastra, namun ada juga kaum laki-laki yang menuliskannya.

(27)

Dengan adanya gerakan feminisme dalam karya sastra, juga menjadikan dunia sastra khususnya dalam ilmu sastra mengalami perkembangan. Hadirnya karya sastra yang memuat tentang persoalan-persoalan perempuan menjadikan karya sastra dapat dianalisis berdasarkan gerakan feminis.

2.2.3.1 Pengertian Feminisme

Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman), berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial (Ratna, 2004:184). Tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam pengertian yang paling luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial umumnya.

Dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu dalam sastra, feminis dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi.

Feminisme merupakan suatu gerakan yang berangkat dari kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan didiskriminasi. Namun feminisme masa kini juga dimaknai dengan suatu perjuangan untuk mencapai kesederajatan / kesetaraan / harkat, dan kebebasan perempuan untuk memilih dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga. Oleh karena itu, kaum perempuan tidak hanya menuntut dan berjuang demi “persamaan” bagi perempuan, tetapi demi suatu masyarakat yang adil serta sama haknya, baik bagi perempuan maupun bagi lelaki. Dengan realitas demikian,

(28)

kritik sastra feminisme dapat dipahami keberadaannya sebagai suatu bentuk dengan cara yang tersendiri, mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan, terutama dengan metode yang khas ketika sistem kekuasaan memperlakukan

“perempuan” secara tidak pada tempatnya (menindas, melecehkan, tidak mau menghargai).

Dalam arti leksikal, feminisme ialah gerakan wanita yang berusaha dan menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria (KBBI, 2005:139). Feminisme menurut Goefe (dalam Sugihastuti, 2002:140) ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan wanita di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita.

2.2.3.2 Aliran-Aliran dalam Feminisme

Gender merupakan fenomena sosial yang memiliki kategori analisis yang berbeda-beda. Pada dasarnya komitmen dasar kaum feminis adalah terwujudnya kesetaraan dan menolak ketidakadilan terhadap perempuan. Sehingga muncul perbedaan pandangan antarfeminis terhadap persoalan gender yang akan dibangun.

Dari perbedaan pandangan tersebut melahirkan aliran-aliran feminisme. Aliran feminisme merupakan gambaran dinamika wacana feminisme. Berikut ini dasar- dasar aliran feminisme yang telah mempengaruhi perkembangan feminisme sebagai pemikiran akademis maupun gerakan sosial menurut Kadarusman (2005:27).

Feminisme Liberal menyatakan bahwa akar penindasan perempuan terletak pada tidak adanya hak yang sama, untuk memajukan dirinya dan peluang

(29)

pembudayaan yang sama. Perempuan mendapat diskriminasi hak, kesempatan, dan kebebasannya hanya karena ia perempuan. Untuk melawannya ia mengajukan kesetaraan antara pria dan perempuan. Para feminis liberal menolak otoritas patriarkal yang dijustifikasi dogma agama, menolak perlakuan khusus yang diberikan pada perempuan. Tetapi masih mengakui perbedaan fungsi reproduksi, bagaimanapun fungsi reproduksi bagi perempuan akan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat.

Feminisme Radikal perintisnya adalah Charlotte Perkins Gilman, Emma Goldman dan Margarret Sanger. Mereka mengatakan bahwa perempuan harus melakukan kontrol radikal terhadap tubuh dan kehidupan mereka. Feminisme radikal kontemporer berkembang pesat pada tahun 1960-1970an di New York, AS.

Aliran ini melihat penindasan perempuan bukan sebagai produk kapitalisme melainkan bersumber dari semua sistem penindasan. Aliran ini radikal karena memfokuskan pada akar dominasi pria dan klaim bahwa semua bentuk penindasan adalah perpanjangan dari supremasi pria.

Feminisme Marxis dapat dikatakan sebagai kritik terhadap feminisme liberal. Karya Friedrich Engels, The Origins of the Family, Private Property and The State, yang ditulis pada tahun 1884 merupakan awal mula pemikiran Marxis tentang penyebab penindasan perempuan. Penindasan terhadap perempuan bukan akibat tindakan individual yang disengaja melainkan hasil dari struktur politik, sosial dan ekonomi yang dibangun dalam sistem kapitalisme. Argumentasi kaum Marxis didasarkan kepada persoalan ketidakadilan dalam pembagian kerja dan status kepemilikan.

(30)

Feminisme Sosialis memahami penindasan terhadap perempuan melalui sudut pandang teori epistimologi yang mendalilkan bahwa semua pengetahuan mempresentasikan kepentingan dan nilai-nilai kelompok sosial tertentu.

Komitmen dasar feminisme sosialis adalah mengatasi penindasan kelas. Menurut aliran sosialis, konsep the personal is political dalam aliran feminisme radikal dapat memperluas konsep Marxis tentang dasar-dasar material suatu masyarakat, untuk memasukkan reproduksi sama dengan produksi.

Asmaeny Azis (2007:93) menambahkan satu lagi macam aliran feminisme, yaitu aliran feminisme postmodernis. Feminisme postmodernis adalah mereka yang kecewa atas bangunan modernisme, karena perempuan tidak mendapat kedudukan yang sama dalam rangka publik dan konstruksi sosial.

2.3 Landasan Teori

Landasan teori, yaitu landasan yang berupa hasil perenungan terdahulu yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian dan bertujuan mencari jawaban secara ilmiah (Jabrohim, 2001:16). Dalam sebuah penelitian dibutuhkan teori yang menjadi landasan teori. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Karl Marx yang mana pada teori feminismenya berfokus pada penindasan perempuan karena perbedaan jenis kelamin.

2.3.1 Teori Karl Marx

Karl Heinrich Marx (5 Mei 1818-14 Maret 1883) adalah seorang filsuf, pakar ekonomi politik dan teori kemasyarakatan dari Prusia. Marx menulis

(31)

banyak hal semasa hidupnya. Dia paling terkenal atas analisisnya terhadap sejarah, terutama mengenai pertentangan kelas (Wikipedia).

Karl Marx memandang bahwa sejatinya aktor utama yang berperan penting dalam kelangsungan hidup suatu masyarakat adalah kelas-kelas sosial.

Keterasingan yang dialami manusia pun sesungguhnya adalah hasil penindasan satu kelas oleh kelas lainnya. Kelas-kelas yang dimaksud adalah kelas atas dan kelas bawah. Biasanya, yang termasuk dalam kelas atas adalah kaum Borjuis atau kapitalis, seperti para bangsawan. Kedua, kelas bawah, yaitu kelas yang bekerja untuk pemilik alat-alat produksi. Alat produksi yang dimaksudkan disini adalah segala hal yang dapat menghasilkan sebuah komoditas yang merupakan barang kebutuhan masyarakat. Kebanyakan yang termasuk dalam kelas bawah adalah kaum Proletar atau pekerja, seperti budak yang bekerja di tempat bangsawan (Abidin, 2011:120).

Pada pembagian kelas ini, Karl Marx memberi perhatian lebih terhadap ketidakadilan yang terjadi di antara kedua kelas tersebut. Pasalnya, kaum Borjuis melaksanakan kegiatan yang eksploitatif terhadap kaum Proletar. Disebut eksploitatif karena kaum borjuis membeli tenaga yang dimiliki kaum Proletar dengan harga yang tidak sebanding dengan keuntungan yang didapatnya. Padahal sejatinya yang menjual jasa adalah kaum Proletar, namun yang mendapat keuntungan justru kaum Borjuis (Jackson dan Sorensen, 2009:239).

Marxisme merupakan paham yang berasal dari pandangan Karl Marx.

Marxisme adalah paham yang bertujuan untuk memperjuangkan kaum Proletar untuk melawan kaum Borjuis.

(32)

Jika dilihat dari keadaan kaum Proletar yang tidak memiliki apa-apa demi memperoleh alat produksi tersebut mereka harus bekerja pada kaum Borjuis dan pada saat inilah kaum Borjuis memanfaatkan kebutuhan dan kelemahan dari kaum Proletar untuk menindasnya. Dengan kata lain kaum Borjuis yang mempunyai kekuasaan bisa menindas kaum Proletar sesuka hatinya. Disinilah peran dari teori Marxisme sebagai paham yang diciptakan oleh Marx untuk membela dan berpihak pada kaum Proletar. Teori ini ada karena adanya perlakuan tidak adil yang dialami oleh kaum Proletar. Marx berusaha mengangkat kaum Proletar dari penindasan sehingga kaum Proletar bisa menjadi pemilik alat produksi.

2.3.2 Feminisme Marxis

Feminisme Marxis merupakan aliran yang memandang masalah perempuan dalam rangka kapitalisme (yang berhubungan dengan sistem kekuasaan). Kapitalisme atau penindasan kelas merupakan penindasan yang paling utama. Penindasan kelas khususnya dikaitkan dengan cara kapitalisme menguasai perempuan dalam kedudukan-kedudukan yang direndahkan, bodoh dan hanya dipandang sebelah mata bahkan disamakan dengan kaum Proletar.

Kaum perempuan dimnafaatkan sebagai daya tarik untuk kebutuhan pribadinya, karena laki-laki memiliki sifat yang keras, egois, dan keras kepala berdasarkan budaya patriarki yang selalu menganggap bahwa perempuan itu lebih rendah (Ollenburger, 2002:25).

Feminisme Marxis menyatakan bahwa kalau mustahil bagi siapapun, terutama perempuan untuk mencapai kebebasan yang sesungguhnya di tengah masyarakat yang menganut sistem berdasarkan kelas. Kekayaan diproduksi oleh

(33)

orang yang tidak punya kekuatan yang dikendalikan oleh sedikit orang yang mempunyai kekuatan (Tong, 2009:4).

(34)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metodologi yaitu landasan yang berupa tata aturan kerja dalam penelitian dan bertujuan untuk membuktikan jawaban yang dihasilkan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki.

Menurut Whitney (dalam Nazir, 2011:54), metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Metode ini digunakan untuk memecahkan masalah dan menjawab permasalahan yang dihadapi sekarang.

Metode ini menempuh langkah-langkah pengumpulan data, analisis data, membuat kesimpulan, dan laporan dengan tujuan utama untuk membuat penggambaran tentang suatu keadaan secara objektif dalam suatu deskriptif situasi, memfokuskan pada analisis isi.

Dalam tradisi kualitatif, peneliti harus menggunakan diri mereka sebagai instrumen, mengikuti asumsi-asumsi kultural sekaligus mengikuti data. Dalam berupaya mencapai wawasan-wawasan imajinatif ke dalam dunia sosial responden,

(35)

peneliti diharapkan fleksibel dan reflektif tetapi tetap mengambil jarak (Mc Fracken dalam Brannen, 1997:11)

Di dalam penelitian kualitatif konsep dan kategorilah, bukan kejadian atau frekuensinya, yang dipersoalkan. Dengan kata lain, penelitian kualitatif tidak meneliti suatu lahan kosong tetapi ia menggalinya (Mc. Cracken dalam Brannen, 1997:13).

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam suatu penelitian ilmiah seyogyanya dimaksudkan untuk memperoleh bahan yang relevan, akurat, dan realibel (Hadi dalam Jabrohim, 2001:41). Relevan berarti berkaitan erat dengan tujuan penelitian;

akurat berarti sesuai atau tepat untuk tujuan penelitian; dan realibel berarti dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.

Dalam penelitian kualitatif peneliti sangat erat kaitannya dengan faktor- faktor kontekstual (Moleong dalam Jabrohim, 2001:42). Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik penelitian kepustakaan atau studi pustaka. Langkah-langkah pengumpulan data adalah sebagai berikut:

1. Membaca novel Impian di Bilik Merah karya Cao Xueqin.

2. Mengamati dan menganalisis makna setiap kalimat atau wacana di dalam novel.

3. Mengklasifikasikan unsur-unsur feminisme dalam kalimat, kutipan atau wacana di dalam novel.

4. Memasukkan data ke dalam kertas kerja penelitian untuk selanjutnya di analisis berdasarkan landasan teori.

(36)

3.3 Teknik Analisis Data

Analisis adalah mengelompokkan, membuat suatu urutan, memanipulasi, serta menyingkatkan data sehingga mudah untuk dibaca (Nazir, 2011:358).

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dalam mengkaji data. Metode analisis deskriptif dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data yang kemudian disusul dengan penganalisisan berdasarkan data yang telah dituliskan dalam kartu data. Analisis data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

2. Melakukan pembacaan berulang-ulang terhadap data yang sudah diidentifikasi.

3. Melakukan pencatatan ulang data-data yang sudah diidentifikasi tersebut.

4. Menafsirkan seluruh data untuk menemukan kepaduan dan hubungan antar data sehingga diperoleh pemahaman terhadap masalah yang diteliti

5. Membuat kesimpulan.

3.4 Data dan Sumber Data 3.4.1 Data

Data dalam penelitian ini adalah data verbal yang berupa kalimat, paragraf yang berupa narasi ataupun dialog yang berhubungan dengan unsur-unsur feminisme pada novel Impian di Bilik Merah.

(37)

3.4.2 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebuah novel yang berjudul Impian di Bilik Merah 1 karya Cao Xueqin, yang dijadikan sebagai sumber data primer. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Judul : Impian di Bilik Merah 1 (Hong Lou Meng) Penulis : Cao Xueqin

Penyunting : Agatha Tristanti dan Ken Diani Milati Desain Cover : Helen Lie

Tahun Terbit : 2014

Penerbit : Bhuana Sastra (Imprint dari PT.BIP) Jenis : Novel

Cetakan : Pertama

Tebal : 548 halaman (34 bab)

Sampul : Berwarna merah dengan gambar seorang laki-laki yang sedang berbaring di taman dan dikelilingi perempuan.

Sumber data primer adalah sumber data utama penelitian yang diperoleh tanpa lewat perantara. Selain data primer, terdapat sumber data sekunder dalam penelitian ini, yaitu data-data yang bersumber dari buku-buku acuan serta internet yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi objek penelitian. Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku dan internet yang berhubungan dengan sastra dan feminisme.

(38)

BAB IV PEMBAHASAN

Bab empat berisi tentang analisis struktur pada Novel Impian di Bilik Merah karya Cao Xueqin. Novel ini dikaji dengan menggunakan kajian feminisme Marxis. Penulis mendeskripsikan figur tokoh perempuan dan perjuangan tokoh perempuan dalam mewujudkan feminisme. Bab empat ini juga menggambarkan tentang sosok perempuan China dalam kebudayaannya yang Patriarki, termasuk kedudukan perempuan dalam masyarakat feodal yang mengutamakan kaum laki-laki dan merendahkan kaum perempuan. Untuk mendukung analisis tentang feminisme pertama-tama penulis mendeskripsikan tentang unsur-unsur struktural yang terdapat dalam novel, yang mana penulis fokus pada tema, penokohan/perwatakan dan alur cerita (plot). Selanjutnya dianalisis unsur-unsur struktural tersebut berdasarkan pendekatan feminisme Marxis. Analisis itu diperlukan untuk menunjukkan adanya perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan, dan dengan analisis itu diharapkan perempuan dapat mencapai kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan.

4.1 Analisis Struktur Pada Novel Impian di Bilik Merah Karya Cao Xueqin

Ada beberapa unsur struktural dalam novel Impian di Bilik Merah karya Cao Xueqin yang digunakan oleh penulis dalam menganalisis novel ini. Unsur- unsur tersebut adalah tema, penokohan/perwatakan dan alur cerita (plot). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian di bawah ini.

(39)

4.1.1 Tema

Tema adalah ide pokok pengarang dalam membuat suatu karya sastra yang ingin disampaikan kepada pembaca. Cao Xueqin dalam novelnya mengangkat tema “kedudukan perempuan terhadap sistem feodal”. Masyarakat feodal adalah masyarakat yang mengutamakan kaum laki-laki dan merendahkan kaum perempuan. Perempuan tidak berhak mendapat pendidikan. Hanya keluarga kaya yang mampu menggaji guru untuk mengajar perempuan di rumahnya.

Pada novel Impian di Bilik Merah ada tiga sistem feodalisme, yang pertama yaitu sistem ujian negara. Sistem ujian negara adalah satu-satunya jalan untuk menjadi pejabat. Maka, laki-laki harus rajin belajar Konghucuisme dan Menghucuisme yang pada masa feodal menjadi filsafat dominan di Tiongkok.

Pada masa feodal jika seorang laki-laki rajin belajar, lulus ujian negara dan menjadi pejabat akan dianggap sukses dan merupakan cita-cita umum. Hal itu tertulis pada kutipan-kutipan berikut:

Di ibu kota, Yu Cun lulus ujian dengan nilai tinggi sekali, sehingga memperoleh gelar Jin Shi. Ia lalu ditugaskan di beberapa daerah, dan setelah bertugas sebgai hakim, akhirnya ia diangkat menjadi Kepala Daerah Ru Zhou. (Impian di Bilik Merah, 2014:33).

Lin Ruhai sendiri memperoleh jabatan sebagai Komisaris Perdagangan Garam setelah berhasil lulus Ujian Negara. Karena hasil nilai ujiannya bagus sekali, ia memperoleh gelar tanhua, gelar peringkat kedua terbaik dalam Ujian Negara. (Impian di Bilik Merah, 2014:34 dan 36).

Untuk mencapai cita-citanya, Jia Zheng berusaha meningkatkan kedudukannya dengan mengikuti Ujian Negara.

(Impian di Bilik Merah, 2014:42-43).

Yang kedua adalah sistem perkawinan. Perkawinan tidak boleh ditentukan sendiri. Sebagai anak tidak berhak minta menikah dengan orang lain karena orang

(40)

tualah yang akan menentukan. Jika orang tua sudah meninggal, tanggung jawab ini terletak pada kakak sulung. Pada novel diceritakan bahwa Lin Daiyu agak khawatir pernikahannya dengan Baoyu karena orang tuanya sudah meninggal, sedangkan dia tidak memiliki kakak. Oleh karena itu, hak ini terletak pada neneknya, yaitu Jia Mu atau disebut sebagai Nyonya Besar. Jika Nyonya Besar tidak menyetujui pernikahan Baoyu dan Daiyu, mereka tidak boleh menikah.

Pernikahan kekerabatan tidak dilarang, melainkan sangat populer di masyarakat pada saat itu. Pernikahan kekerabatan yang terjadi di 4 keluarga itu dengan tujuan memperkokoh kekuatan keluarganya. Hal ini terlihat di dalam novel, seperti Wang Xifeng dengan Jia Lian. Wang Xifeng adalah keponakan ibu Baoyu yang dikenal dengan sebutan Nyonya Wang, sedangkan Jia Lian adalah keponakan Jia Zheng, ayah dari Baoyu. Selain itu ada pula Baoyu yang akan dijodohkan dengan Lin Daiyu dan Xue Baochai. Keduanya adalah saudara sepupu Baoyu. Hal itu tertulis pada kutipan berikut:

Mendengar kata-kata Xifeng, Lin Daiyu menukas sambil tertawa, “Coba kalian dengar kata-katanya. Baru saja dia memberi kita sedikit teh, langsung meminta ganti.”

“Seharusnya begitu,” ujar Xifeng. “Bukankah kau telah menerima teh kami? Tapi kenapa kau tidak mau menjadi menantu kami?” (Impian di Bilik Merah, 2014:366).

Yang ketiga adalah sistem tingkat sosial. Perempuan yang menjadi selir kaisar kedudukannya jauh lebih tinggi dari orang tua dan neneknya meskipun nenek dan orang tua lebih tua generasinya, Untuk itu, harus dibangun rumah baru sebagai pengganti rumah lama yang tidak memasang nama kedudukan seorang selir.

(41)

Pada masa feodal, kaum perempuan diindoktrinasi (sebuah proses yang dilakukan berdasarkan satu sistem nilai untuk menanamkan perilaku tertentu) bahwa jika seorang perempuan menikah lagi sesudah suaminya meninggal, maka dianggap tidak suci lagi. Tetapi jika tidak menikah lagi dan menjaga kesucian diri maka akan dihormati orang.

Kedudukan budak sangat rendah. Di keluarga kaya, tuan muda dan nona masing-masing dicarikan ibu susu dan Ya Tou, panggilan untuk budak perempuan, yang usianya hampir sama dengan tuan muda dan nona tersebut. Tugasnya adalah melayani berganti pakaian, membawakan makanan dan minuman. Tugas lainnya yaitu sebagai teman cerita tuan muda dan nona. Seorang Ya Tou dapat dijadikan Ya Tou Tong Fang atau budak kesayangan jika pemiliknya suka padanya. Bahkan, Ya Tou Tong Fang lebih menderita karena selain melayani pemiliknya dalam kehidupan sehari-hari, dia juga harus melakukan hubungan intim dengan pemilik laki-lakinya. Pada hakikatnya, Ya Tou Tong Fang tetap seorang budak, kedudukannya lebih rendah dari gundik. Seorang gundik mempunyai Ya Tou untuk melayaninya meskipun dia bukan istri yang dapat dibenarkan sepenuhnya.

asal istri yang resmi belum meninggal, gundik tidak ada kesempatan menjadi istri yang resmi. Di depan istri resmi dan suaminya, gundik adalah budak. Di depan Ya Tou dan pelayan lain, gundik baru mempunyai kesempatan berlaku sebagai majikan. Hal itu tertulis pada kutipan berikut:

Karena Lin Daiyu hanya membawa seorang pelayan muda bernama Xue Yan, “Itik Salju”, Nyonya Besar lalu memberinya Ying Ge, “Tekukur Ungu”, sebagai teman.

Lin Daiyu pun diberi empat orang pengasuh dan lima pelayan untuk melakukan segala macam pekerjaan, sama seperti cucu Nyonya Besar yang lain.

(42)

Pengasuh Baoyu bernama Li Ma. Pelayannya yang bernama Xiren, alias “Semerbak Harum”, juga merupakan pelayan kesayangan Nyonya Besar. (Impian di Bilik Merah, 2014:68).

Mula-mula Xiren menolaknya, tetapi setelah didesak, akhirnya ia menyetujui. Apalagi, ia pun tahu bahwa akhirnya ia akan menjadi selir Baoyu. Sejak itu, Baoyu menjadi lebih menyayanginya.

Xiren pun melayani tuan mudanya dengan lebih patuh lagi. (Impian di Bilik Merah, 2014:108-109).

4.1.2 Penokohan dan Perwatakan

Dalam novel Impian di Bilik Merah karya Cao Xueqin banyak sekali tokoh-tokoh yang terdapat di dalamnya. Hampir semua tokoh yang muncul telah mampu menunjukkan karakteristik pribadi yang unik, sanggup memberikan penginderaan yang jelas dan terasa begitu nyata, lengkap dengan segala pelukisan gambaran, penempatan, dan perwatakannya masing-masing tokoh. Tokoh yang paling dominan dalam novel ini adalah Jia Baoyu, Lin Daiyu dan Xue Baochai.

Mereka digambarkan sebagai nyawa dari Griya Rong Guo, kediaman keluarga besar Jia Fa dan segala keturunannya. Tokoh dan watak perempuan yang terdapat pada novel ini yang sesuai dengan judul penulis akan dijelaskan dalam uraian berikut:

a) Lin Daiyu

Lin Daiyu adalah tokoh utama perempuan dalam novel ini. Dari segi fisiologis, Lin Daiyu digambarkan sebagai seorang perempuan yang cantik dan mempunyai sopan santun. Namun kenyataannya Lin Daiyu adalah sosok perempuan yang mempunyai penyakit yang tak kunjung sembuh. Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut:

Sosok tubuh Lin Daiyu memang anggun, tetapi ia terlihat lemah. Melihat keadaan si “Batu Giok Hitam” alias Lin Daiyu,

(43)

neneknya lalu bertanya, “Kulihat kau beigtu lemah, apakah kau telah memeriksakan diri ke tabib secara teliti? Obat apa saja yang telah diberikan kepadamu?”

Lin Daiyu lalu melanjutkan, “Aku ingat ketika aku berumur 3 tahun, seorang biksu Buddha berambut kusut masai datang menemui ayah, meminta untuk membawaku pergi untuk dijadikan tumbal pengorbanan kepada Buddha. Jika biksu Buddha itu boleh membawaku, aku akan baik; kalau tidak, aku akan sakit-sakitan. Aku tidak boleh menangis terisak-isak, juga tidak boleh menemui sanak saudara dari pihak ibu. Tentu saja, tidak ada yang mengacuhkan nasihat itu karena menggelikan dan tidak masuk akal.” (Impian di Bilik Merah, 2014:56).

Dilihat dari segi sosiologis, Lin Daiyu adalah perempuan keturunan bangsawan yang terlahir dari keluarga Jia, yaitu Jia Min dan Lin Ruhai yang tinggal di kota Yang Zhou. Dia terlahir ketika ayahnya sudah berumur 40 tahun.

Seperti yang terlihat pada kutipan berikut:

Lin Ruhai orang kelahiran Su Zhou, dari keluarga terpandang.

Kakek buyutnya dulu bangsawan kepala daerah. Walau Lin Ruhai sudah mengambil beberapa orang selir, takdir tetap menentukan lain dan ia pun tak punya pewaris lelaki.

Pada usia 40 tahun sekarang, ia hanya mempunyai seorang anak perempuan dari istrinya, Nyonya Jia. Anak itu diberi nama Lin Daiyu, yang sekarang berumur 5 tahun. (Impian di Bilik Merah, 2014:34 dan 36).

Lin Daiyu juga seorang anak yang cerdas dan memiliki semangat dalam belajar. Sebagaimana yang terdapat dalam kutipan berikut:

Yu Cun amat senang dengan pekerjaannya, apalagi Daiyu yang menjadi murid tunggalnya adalah anak yang cakap dan sangat bersemangat belajar. (Impian di Bilik Merah, 2014:36).

Dari kutipan-kutipan di atas dapat diketahui bahwa Lin Daiyu adalah seorang perempuan keturunan bangsawan yang cantik dan mempunyai sopan santun. Lin Daiyu juga seseorang yang sejak lahir sudah mendapat penyakit yang aneh yang tidak tahu nama dan sebabnya. Dia tidak boleh mendengar suara

(44)

tangisan, juga tidak boleh mengeluarkan air mata. Penyakitnya akan sembuh jika dia menjadi seorang biksuni seperti yang dikatakan biksu Buddha kepada orang tuanya.

Lin Daiyu berasal dari keluarga keturunan bangsawan yang mana pada masa itu jika ada keluarga keturunan bangsawan boleh mendapat pendidikan.

Pada masa itu, hanya keluarga kaya yang mampu menggaji guru untuk mengajar wanita di rumahnya. Ayah Daiyu, Lin Ruhai sangat menyayangi anak perempuan tunggalnya. Dia memberikan pendidikan kepada anaknya meskipun pendidikan hanya diperuntukkan untuk anak laki-laki saja. Untuk itu dia mencari guru untuk mengajar anaknya. Dan akhirnya seseorang bernama Yu Cun yang disetujui untuk dijadikan guru bagi Lin Daiyu dan menurutnya Lin Daiyu adalah seorang anak yang cerdas.

Ketika berumur 6 tahun, ibunya meninggal karena penyakit menahun.

Nenek Lin Daiyu, Nyonya Besar, memintanya untuk tinggal bersama. Tak berapa lama setelah dia tinggal bersama neneknya di Griya Rong Guo, ayahnya pun meninggal dunia akibat sakit yang dialaminya.

Dilihat dari segi psikologis, Lin Daiyu adalah seorang perempuan yang sangat sensitif perasaannya. Seperti yang terlihat pada kutipan-kutipan berikut:

“Oh, dia mirip sekali dengan Lin Meimei.”

Mendengar terkaan Xiang Yun, semua tertawa sambil mengiyakan bahwa pemain itu mirip sekali dengan Lin Daiyu.

Tiba-tiba, Lin Daiyu cemberut sehingga suasana menjadi tidak nyaman. Lin Daiyu pun pergi ke kamarnya.

Baoyu masuk ke kamar Lin Daiyu dan berkata, “Kenapa kau harus tersinggung?”

“Ucapannya terlalu menghinaku!” seru Lin Daiyu. “Masa aku disamakan dengan pemain panggung?” (Impian di Bilik Merah, 2014:324 dan 327).

(45)

Namun tak lama kemudian, ia melihat sekelompok orang menuju ke kediaman Baoyu. Xifeng dan Nyonya Besar tampak di antara mereka.

Oh, alangkah bahagianya Bao Yu karena setiap orang selalu memperhatikannya, pikirnya. Sungguh berbeda dengan diriku.

Apakah hal ini karena kedudukan orangtuanya? Tiba-tiba saja hati Lin Daiyu jadi sedih. (Impian di Bilik Merah, 2014:447).

Dari kutipan-kutipan di atas dapat dilihat bahwa Lin Daiyu perasaannya sangat mudah tersinggung, apabila orang lain membicarakan hal yang tidak baik kepadanya, dia akan marah bahkan sampai menangis. Hal ini mungkin disebabkan oleh keadaan dirinya yang telah kehilangan kedua orang tua ketika usianya masih sangat muda. Bagi anak, orang tua adalah guru dalam melakukan hal apapun.

Hubungan yang baik dengan kedua orang tua berdampak untuk membentuk karakter anak. Di dalam batin seorang anak, apabila kehilangan kedua orang tua pasti akan memendam sebuah perasaan murung “di dunia ini hanya tinggal diri sendiri sangat tidak beruntung”. Sehingga anak tersebut akan selalu merasa rendah diri di hadapan orang lain.

b) Xue Baochai

Xue Baochai adalah anak dari adik perempuan ibu Baoyu, dikenal oleh keluarga Jia sebagai Bibi Xue. Dilihat dari segi fisiologis, ia adalah seorang perempuan yang cantik dan rendah hati. Ditinjau dari segi sosiologis, Xue Baochai adalah sosok yang disenangi keluarga dan patuh terhadap tradisi serta nilai-nilai tradisional. Seperti yang tertulis pada kutipan berikut:

Selain Xue Pan, Bibi Xue juga dikaruniai anak perempuan bernama Baochai atau “Kebajikan Mulia”. Usia Baochai beberapa tahun lebih muda dari Xue Pan. Gadis ini cantik dan rendah hati, karena itu ayahnya amat menyayanginya. Selain itu, ia diberi kesempatan untuk belajar di bawah bimbingan guru pribadi.

(46)

Kecerdasannya ternyata 10 kali lipat dari kakaknya. Namun setelah ayahnya meninggal, ia kurang tertarik pada buku. Apalagi, ia menyadari betapa nakal kakaknya. Karena itu, ia memutuskan untuk ikut merasakan tanggung jawab ibunya. (Impian di Bilik Merah, 2014:90).

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa di dalam keluarganya, hanya Xue Baochai lah yang dapat dibanggakan. Kakak laki-lakinya sangat dibenci oleh keluarganya karena sifatnya yang tidak baik. Karena ayahnya yang meninggal ketika masih kecil, ibunya menggantungkan masa depan keluarganya kepada dirinya.

Selain itu, Xue Baochai juga selalu menghibur hati orang lain ketika sedang bersedih. Seperti tertulis pada kutipan berikut:

“Kau orang sabar,” kata Baochai. “Karena itu, aku tak perlu lagi mengatakan soal sikap majikanmu terhadapmu. Tapi karena hari ini dia tidak dapat mengendalikan diri, dia lupa apa yang telah dilakukannya terhadapmu. Padahal ia merasa dekat sekali denganmu.

Apalagi, tak ada orang lain yang bisa menenangkannya jika ia marah.

Sekarang, jika kau menangis terus, semua orang akan mendengarnya dan akan menertawakan majikanmu. Bukankah kau tak menginginkan hal seperti itu terjadi?” (Impian di Bilik Merah, 2014:486-487).

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa Xue Baochai tidak ingin hati orang lain selalu bersedih. Tidak peduli meskipun seorang pelayan yang sedang bersedih, ia selalu berusaha menghiburnya. Dia adalah perempuan yang selalu berusaha melihat segala sesuatu secara positif. Dia lebih suka membicarakan kebaikan daripada keburukan orang lain, dan lebih suka mencari solusi daripada membuat orang frustasi.

Dari segi psikologis, Xue Baochai memiliki sifat yang perhatian terhadap sesama, terutama kepada Lin Daiyu. Seperti tertulis pada kutipan berikut:

(47)

“Kemarin, kulihat resep obatmu banyak menggunakan ginseng dan kayu manis. Kurasa ramuan itu hanya untuk memperkuat saraf dan merangsang semangat saja. Jadi, tidak baik jika kau meminum terlalu banyak obat yang mengandung panas.

Seharusnya, kau memperkuat hatimu dulu, karena itu dapat mempengaruhi unsur bumi sehingga kau bisa mencerna makanan lebih baik. Sebaiknya kau makan saja sup yang dibuat dari satu ons sarang burung dan setengah ons gula batu. Ini lebih baik dari obat, dan sarang walet lebih bermanfaat bagimu daripada yang lain,” kata Baochai. (Impian di Bilik Merah, 2014:450).

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa seorang perempuan bernama Xue Baochai sangat memperhatikan kesehatan saudaranya. Meskipun terkadang Lin Daiyu merasa iri dan cemburu dengan kedekatan Xue Baochai bersama Baoyu, tapi Xue Baochai tidak membalas kecemburuan Lin Daiyu dengan kecemburuan juga. Dia lebih suka memperhatikan kesehatan orang lain karena kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi semua manusia.

c) Wang Xifeng

Wang Xifeng merupakan tokoh antagonis dalam novel ini. Dia adalah keponakan Nyonya Wang, ibu Baoyu, yang menikah dengan Jia Lian. Jia Lian adalah anak laki-laki Jia She, yang merupakan putra pertama Nyonya Besar.

Dari segi fisiologis, Wang Xifeng memiliki wajah yang cantik, matanya seperti mata burung phoenix, bertubuh semampai, dan bergaya glamour atau mewah. Hal itu tertulis seperti kutipan berikut:

Kira-kira dua tahun yang lalu, Lian telah kawin dengan keponakan Nyonya Wang bernama Xifeng, si „Burung Cantik‟.

Meski tak suka membaca, tapi tutur katanya halus di tengah-tengah keluarganya. (Impian di Bilik Merah, 2014:47).

Tiba-tiba seorang wanita muda yang manis masuk.

Perawakannya semampai dan sikapnya mandiri. Ia mengenakan pakaian yang berwarna lebih cerah daripada yang dipakai oleh para

Referensi

Dokumen terkait

Alhamdulillahi robbil ‘alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perbedaan

PENERAPAN PENDEKATAN KOOPERATIF TIPE COOPERATIVE SCRIPT UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENYIMAK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA KELAS V SEKOLAH DASAR1. Universitas

Bagi SMA Muhammadiyah 1 Taman Sidoarjo 1 Staff bimbingan konseling dapat melakukan rekam aktivitas yang terjadi selama kegiatan sekolah berlangsung seperti mencatat, menyimpan,

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang terstruktur dan sistematis, di mana siswa akan

kawasan wisata bahari Pantai Iboih, Sabang yang berbasis

Berdasarkan hasil penelitian eksperimen yang telah dilaksanakan dan pembahasan pada pembelajaran IPA materi Perubahan Kenampakan Bumi dengan menggunakan model pembelajaran

Atraksi budaya dan pemandangan menarik merupakan daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung ke suatu tempat, aksesibilitas yang optimal seperti tersedianya

Hal ini disebabkan karena FP BM, sebagai mana pada (29a) dan (5a), merupakan frasa yang keberadaannya secara sintaksis tidak wajib atau dengan bahasa lain keberadaanya