• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

33 BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Perlindungan Hukum Bagi Pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu dalam Memperoleh THR Keagamaan

1. Permasalahan Perlindungan Hukum Bagi Pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu dalam Memperoleh THR Keagamaan

Konsep awal adanya pemberian THR Keagamaan adalah festive atau kemeriahan. Hal ini dikarenakan bangsa Indonesia merupakan bangsa pemberi. Jika kita mempunyai kelebihan uang selain untuk menutupi kebutuhan hidup, maka akan diberikan kepada keluarga dan sanak saudara di kampung halaman. Seperti yang kita tahu bahwa sifat masyarakat Indonesia dikenal lebih mementingkan kelompok daripada individu. Sehingga selama liburan perayaan hari raya, banyak pekerja/buruh lebih memilih pulang kampung untuk bertemu keluarga daripada menetap di perantauan. Pengeluaran uang untuk hal yang penting bagi keyakinan mereka merupakan prioritas tinggi dan bagian dari budaya di Indonesia (Emerhub, 2018).

Menurut Didi yang pernah berkarir di perusahaan asing menjelaskan bahwa istilah THR Keagamaan hanya ada di Indonesia. Di negara lain seperti India, ada tunjangan keagamaan yang biasanya dinamakan religious allowance yang diberikan kepada pekerja/buruh bukan dalam bentuk upah melainkan beras putih. Eropa dan Amerika juga ada religious allowance dalam bentuk paid leave atau cuti yang biasanya ada di bulan-bulan mendekati natal dan tahun baru. Hal ini dikarenakan saat natal dan tahun baru mereka sedang ada di musim dingin, jadi mereka melakukan cuti 2-3 bulan untuk berlibur bersama keluarganya ke tempat yang lebih hangat.

THR Keagamaan di Indonesia biasanya diberikan menjelang akhir Ramadhan yaitu maksimal 7 hari sebelum lebaran berlaku bagi semua agama. Padahal jika kita lihat peraturan yang berlaku, mereka commit to user

(2)

seharusnya mendapatkan THR Keagamaan menjelang hari raya masing-masing. Hal ini dikarenakan mayoritas agama di Indonesia adalah Islam, jadi pengertian THR Keagamaan yang masyarakat tahu adalah hanya saat menjelang Idul Fitri. Menurut Didi, setiap natal atau tahun baru tetap diberikan tunjangan namun tidak wajib seperti hanya bonus. Pemberiannya pun hanya berupa bingkisan. Walaupun seperti itu, para pekerja atau buruh tidak pernah mempermasalahkannya.

Religious allowance berbeda dengan konsep festive atau kemeriahan yang ada di Indonesia. Konsep festive ini dibuat khusus dengan arti untuk memeriahkan atau meramaikan perayaan hari raya seluruh umat beragama di Indonesia. Pemerintah tahu bahwa pada saat hari raya akan ada kenaikan harga yang berlipat-lipat dari harga normal.

Seperti contoh, harga daging ayam setiap lebaran pasti akan naik. Hal ini dikarenakan banyaknya keluarga yang menyajikan masakan opor ayam untuk hidangan hari raya. Dengan adanya pemberian THR Keagamaan ini, maka dirasa dapat mengatasi ketimpangan atau selisih harga yang meningkat saat hari raya. Namun, tetap saja ada permasalahan dari pemberian THR Keagamaan di Indonesia.

Menurut hasil wawancara dengan narasumber, permasalahan THR Keagamaan yang sering terjadi di Indonesia adalah perusahaan yang tidak dapat memberikan hak THR Keagamaannya kepada pekerja dengan tepat waktu sesuai perjanjian kerja, PP atau PKB. Adapun sebab mengapa perusahaan tidak dapat membayar THR Keagamaan yaitu berawal dari motivasi pekerja/buruh. Motivasi sangat penting bagi pekerja/buruh dalam melakukan pekerjaannya yang dapat berdampak pada produktifitas suatu perusahaan. Menjelang lebaran, banyak perusahaan yang justru omzetnya menurun dari biasanya. Hal ini dikarenakan fisik pekerja/buruh yang turun akibat sedang berpuasa.

Para pekerja/buruh juga tidak fokus dalam melakukan pekerjaannya karena sudah mulai memikirkan bagaimana cara untuk pulang kampung seperti halnya beli tiket. Sehingga akan berdampak pada produktifitas commit to user

(3)

suatu perusahaan yang seharusnya tinggi malah jadi sebaliknya.

Seharusnya pemberian THR Keagamaan oleh perusahaan diberikan lebih awal kepada pekerja/buruh, jadi permintaan pelanggan yang tinggi dapat terpenuhi sekaligus motivasi pekerja/buruh tidak turun dalam melakukan pekerjaannya.

Contohnya adalah perusahaan yang bergerak di bidang farmasi.

Pada saat menjelang hari raya, omzet perusahaan farmasi pasti akan turun. Hal ini dapat terjadi karena pasien-pasien sudah mulai termotivasi supaya cepat sembuh agar dapat mengikuti Sholat Idul Fitri dan merayakannya bersama keluarga. Sehingga pemakaian obat-obatan dan jumlah pasien menetap di rumah sakit akan semakin berkurang.

Dengan keadaan seperti ini, sudah jelas bahwa motivasi para perawat yang bekerja di rumah sakit akan turun dan berakibat pada turunnya omzet perusahaan. Perusahaan tidak mempunyai anggaran untuk membayarkan THR Keagamaan yang seharusnya itu menjadi harapan dari para pekerja/buruh.

2. Aturan Hukum yang Melindungi Pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu dalam Memperoleh Tunjangan Hari Raya Keagamaan

Menurut Mohammad Ali, Pembangunan Nasional merupakan usaha bersama antara rakyat dengan negara untuk memperbaiki diri agar lebih baik lagi dari sebelumnya (Ali, 2009: 12). Dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Hal ini diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang memuat bahwa “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

Selain pasal tersebut, dalam UUD NRI 1945 juga terdapat pasal lain yang mengatur tentang hubungan kerja yaitu Pasal 28D ayat (2) UUD NRI yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam

commit to user

(4)

hubungan kerja”. Maka dari itu, sudah merupakan tugas pemerintah untuk mengusahakan agar setiap orang yang mau dan mampu bekerja untuk mendapatkan hak-haknya berupa imbalan dan perilaku yang adil bagi setiap pekerja (Husni, 2006: 12). Sebagai wujud realisasi dari Pasal tersebut, maka pemerintah membentuk UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sedangkan pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan- badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Hubungan antar keduanya disebut juga dengan hubungan kerja atau perjanjian kerja. Perjanjian kerja dibagi menjadi dua, yaitu perjanjian kerja waktu tertentu dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu, perjanjian ini tidak didasarkan pada jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Bentuk perjanjian dapat secara lisan, dengan syarat harus tetap membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan. Kedua perjanjian ini lebih sering dikenal dengan nama pekerja kontrak dan pekerja tetap.

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau selanjutnya disebut PKWT dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu atau selanjutnya disebut PKWTT diatur pada Pasal 59 hingga Pasal 63 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, ada beberapa perubahan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang selanjutnya akan disebut UU Cipta Kerja pada pasal 59, 61 dan 62 terkait PKWT. Pasal-pasal tersebut memuat jelas perbedaan PKWT dan PKWTT meliputi waktu, pembuatan perjanjian, masa percobaan, pengesahan dan jenis pekerjaan. Berdasarkan perbedaan-perbedaan tersebut maka tidak terlepas dengan adanya permasalahan-commit to user

(5)

permasalahan dalam pelaksanaannya. PKWTT terkadang banyak melanggar pemenuhan hak-hak pekerjanya dalam pelaksanaannya.

Salah satu pelanggaran/perselisihan yang paling sering terjadi dan sensitif antara pengusaha dengan pekerja adalah tentang pengupahan (Asmara, 1995: 55).

Upah merupakan suatu imbalan yang diterima oleh pekerja/buruh untuk meningkatkan produktivitas dan memenuhi standar kebutuhan hidup yang dapat dikelompokkan menjadi (Supramono, 2009: 17) : a. Kebutuhan dasar untuk hidup;

b. Kebutuhan pendukung kesejahteraan masyarakat;

c. Kebutuhan untuk meningkatkan akses terhadap cara berproduksi dan peluang ekonomi;

d. Kebutuhan untuk hidup dengan rasa aman.

Selain upah, kita sering mendengar adanya pendapatan non upah yang diterima oleh pekerja yakni Tunjangan Hari Raya Keagamaan atau selanjutnya disebut THR Keagamaan. Tunjangan ini diberikan oleh pengusaha untuk kesejahteraan pekerja dalam merayakan hari raya keagamaan sesuai yang dianut oleh pekerja. Oleh karena itu, pemberian THR Keagamaan sangat bermanfaat bagi pekerja/buruh menjelang hari raya.

Demi melindungi hak-hak pekerja/buruh dalam memperoleh THR Keagamaan, maka pemerintah membuat beberapa peraturan terkait THR Keagamaan. THR Keagamaan diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 yang selanjutnya disebut Permenaker No. 6 Tahun 2016. Pasal 1 Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 berbunyi: “Tunjangan Hari Raya Keagamaan yang selanjutnya disebut THR Keagamaan adalah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan.” Seperti yang kita tahu, ada beberapa hari raya keagamaan yang telah diakui di Indonesia meliputi Hari Raya Idul Fitri bagi yang beragama Islam, Hari Raya commit to user

(6)

Natal bagi yang beragama Kristen Katholik dan Kristen Protestan, Hari Raya Nyepi bagi yang beragama Hindu, Hari Raya Waisak bagi yang beragama Budha, dan Hari Raya Imlek bagi yang beragama Konghucu.

Maka, selain dari lima agama yang telah disebutkan tadi tidak termasuk hari raya keagamaan.

Pasal berikutnya menjelaskan bahwa THR Keagamaan diberikan kepada pekerja/buruh yang mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu. Pengusaha wajib memberikan THR Keagamaan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus atau lebih. Hubungan kerja yang berdasarkan perjanjian kerja tersebut mengikat secara individu dan pekerja tidak memiliki kesempatan untuk memberikan saran dalam pembuatan perjanjian kerja. Maka dari itu, dalam suatu perusahaan perlu adanya Perjanjian Kerja Bersama atau selanjutnya disebut PKB yang dibuat secara bersama-sama melalui perundingan antara perusahaan dan pekerja sehingga pekerja dapat menyuarakan aspirasinya serta memberikan saran. Pengaturan perundang-undangan mengenai PKB diatur dalam UU Ketenagakerjaan dari Pasal 116 sampai Pasal 135.

Menurut Pasal 1 ayat 21 UU Ketenagakerjaan berbunyi:

“Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara satu atau lebih serikat pekerja dengan beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak.” Serikat pekerja yang bisa melakukan perundingan PKB harus tercatat di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan seperti Dinas Tenaga Kerja tingkat kota dan provinsi hingga Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja tingkat provinsi.

commit to user

(7)

Meski tidak diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, perusahaan yang ideal umumnya harus memiliki PKB. Ada beberapa manfaat dari PKB, meliputi:

a. Pekerja maupun pengusaha akan lebih memahami tentang hak dan kewajiban masing-masing;

b. Mengurangi timbulnya perselisihan hubungan industrial atau hubungan ketenagakerjaan sehingga dapat menjaga kelancaran proses produksi dan peningkatan usaha;

c. Pengusaha dapat menganggarkan biaya tenaga kerja (labor cost) yang perlu dicadangkan atau disesuaikan dengan masa berlakunya PKB.

Adapun penelitian ini penulis akan mengkaji PKB antara Perusahaan Baja Indonesia dengan Serikat Pekerja Metal Indonesia afiliasi Serikat Pekerja Logam Indonesia periode 2018 – 2020. Penulis telah melakukan wawancara dengan salah satu HR Manager perusahaan yang telah menjadi ketua tim pembuatan PKB dan selanjutnya akan disamarkan namanya menjadi Didi atas permintaan narasumber. Perlindungan pemberian THR Keagamaan kepada pekerja PKWTT dengan dilihat dari segi hukum akan kesesuaian antara PKB dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 16 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan, antara lain tentang perlindungan:

a. Besaran THR Keagamaan

Pasal 3 ayat 1 Permenaker No. 6 Tahun 2016 mengatur tentang besaran THR yang harus diberikan oleh pengusaha terhadap pekerja/buruh, dibagi menjadi berikut:

1) Pekerja/Buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih, diberikan sebesar 1 bulan upah;

commit to user

(8)

2) Pekerja/Buruh yang mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 (dua belas) bulan, diberikan secara proporsional sesuai masa kerja dengan perhitungan:

masa kerja x 1 (satu) bulan upah.

12

Bagi pekerja/buruh yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja harian lepas maka dihitung sebagai berikut:

1) Pekerja/Buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan atau lebih, upah 1 bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima dalam 12 bulan terakhir sebelum Hari Raya Keagamaan;

2) Pekerja/Buruh yang mempunyai masa kerja kurang dari 12 bulan, upah 1 bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima tiap bulan selama masa kerja.

Upah yang diberikan kepada pekerja/buruh sebesar 1 bulan yang dimaksud di atas terdiri atas komponen upah, yaitu:

1) Upah tanpa tunjangan yang merupakan upah bersih (clean wages)

2) Upah pokok termasuk tunjangan tetap.

Besaran pemberian THR Keagamaan kepada pekerja PKWTT sudah diatur jelas dalam peraturan perundang-undangan.

Menurut hasil wawancara dengan Didi, perusahaan sudah pasti mengikuti Permenaker No. 6 Tahun 2016 di dalam PKB yang dimana berlaku sebagai hukum positif/hukum berjalan suatu perusahaan selama tidak ada klausul yang berlawanan. Berbeda halnya dengan PKWT atau pekerja kontrak yang akan ada beberapa kondisi yang beresiko dan menyebabkan pekerja kehilangan hak THR Keagamaannya seperti pekerja harian maupun pekerja harian lepas.

commit to user

(9)

Suatu PKB terkadang ada ketentuan yang lebih spesifik mengenai besaran THR Keagamaan yang didapat oleh pekerja/buruh. Contohnya dalam PKWTT apabila masa kerja lebih dari 2 tahun maka akan mendapatkan THR Keagamaan lebih besar, lalu apabila masa kerja lebih dari 3 tahun maka akan mendapatkan THR Keagamaan yang lebih besar lagi, dan seterusnya. Menurut Didi, hal tersebut boleh saja dilakukan oleh perusahaan. Artinya, boleh saja THR Keagamaan diberikan lebih kecil maupun lebih besar dari ketentuan yang tercantum dalam PKB/PP dengan catatan tidak lebih kecil dari 1 bulan upah/batas minimum yang telah diatur oleh Permenaker No. 6 Tahun 2016.

Hal tersebut juga dijelaskan di dalam Pasal 4 Permenaker No. 6 Tahun 2016 yang menjelaskan apabila penetapan besaran nilai THR Keagamaan dalam perjanjian kerja dimana dalam hal ini adalah PKB lebih besar dari nilai THR Keagamaan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan, maka THR Keagamaan yang dibayarkan kepada pekerja/buruh adalah yang sesuai dengan yang tertulis dalam PKB.

Pemberian klausul penambahan besaran THR sifatnya mengikuti kemampuan perusahaan. Tidak hanya berlaku untuk PKB saja, apabila perusahaan tidak memiliki serikat pekerja maka tetap diperbolehkan adanya klausul tersebut. Seperti contoh, misalkan dalam satu tahun terakhir perusahaan mampu mendapatkan omzet atau penghasilan yang berlipat dari tahun- tahun sebelumnya sehingga pihak perusahaan ingin memberikan rezeki berlebih kepada pekerjanya melalui pemberian THR Keagamaan. Jika perusahaan tidak mempunyai serikat pekerja akan tetapi memiliki PP atau Peraturan Perusahaan, dimana dalam PP tersebut pemberian THR Keagamaan hanya sebesar 1 bulan upah, maka klausul penambahan besaran THR dapat dilakukan dengan membuat Surat Keputusan Direksi atau Surat commit to user

(10)

Keputusan Manajemen secara tertulis dan harus disampaikan kepada seluruh pekerja/buruh.

Klausul penambahan besaran THR Keagamaan tersebut wajib dibuat secara tertulis agar pekerja mendapatkan kepastian hukum. Pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 2 tahun, 3 tahun dan seterusnya akan mendapatkan THR Keagamaan yang lebih besar sesuai ketentuan yang tercantum dalam surat keputusan. Selain itu, adanya surat keputusan tertulis yang dianggap menguntungkan pekerja tersebut dapat berfungsi nantinya untuk laporan perusahaan kepada pihak lain seperti pihak pemegang saham maupun pemerintah. Sehingga dengan adanya surat keputusan yang dibuat secara tertulis tersebut, pemegang saham maupun pemerintah dapat mengetahui jelas bahwa ada perbedaan pemberian besaran THR Keagamaan dari tahun-tahun sebelumnya. Namun, perlu diingat juga bahwa surat keputusan penambahan pemberian THR Keagamaan hanya dapat berlaku di tahun yang sama saat surat tersebut terbit dan tidak berlaku kembali di tahun berikutnya karena tergantung kondisi dari perusahaan.

b. Waktu Pembayaran THR Keagamaan

THR Keagamaan diberikan 1 kali dalam 1 tahun sesuai dengan Hari Raya Keagamaan masing-masing pekerja/buruh dan wajib dibayarkan oleh pengusaha paling lambat 7 hari sebelum Hari Raya Keagamaan. Ketentuan tersebut sudah diatur dalam Pasal 5 Permenaker No. 6 Tahun 2016. Namun, menurut Didi ketentuan batas waktu minimum pembayaran THR Keagamaan di dalam PKB rata-rata lebih dari 7 hari, bisa 10 hari hingga 14 hari atau 2 minggu sebelum Idul Fitri. Salah satu pertimbangannya adalah cuti bersama. Apabila kita membicarakan tentang THR Keagamaan maka rakyat Indonesia akan berasosiasi lebaran.

commit to user

(11)

Cuti bersama merupakan bagian dari pelaksanaan cuti tahunan yang dilakukan secara bersama-sama. Cuti bersama lebaran yang biasa diberikan kepada pekerja adalah 3 hari sebelum lebaran, bahkan ada yang 1 atau 2 hari sebelum lebaran.

Sehingga dapat dibayangkan apabila THR Keagamaan dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja paling lambat 7 hari sebelum lebaran, maka pekerja akan kebingungan bagaimana pekerja tersebut membeli tiket, baju lebaran, dan mempersiapkan barang-barang untuk pulang kampung nantinya dimana pekerja tersebut hanya mengandalkan uang THR Keagamaan sedangkan libur lebaran hanya tersisa tinggal 3 hari lagi. Oleh karena itu, perusahaan dianjurkan untuk memberikan THR Keagamaan jauh hari sekitar 10-14 hari sebelum Idul Fitri.

Anjuran perusahaan agar melakukan pemberian THR Keagamaan jauh-jauh hari bukan tanpa alasan yang kuat, karena hal ini sangat berdampak pada motivasi pekerja/buruh menjelang hari raya. Apabila THR Keagamaan diberikan terlalu lama, maka motivasi pekerja/buruh akan berkurang akibat fisik yang lemah karena berpuasa. Selain itu, pikiran pekerja/buruh yang sudah tidak fokus dengan pekerjaan melainkan hanya memikirkan keluarga di kampung halaman. Akibatnya, dimana permintaan perusahaan sedang naik-naiknya menjelang hari raya tetapi berbanding terbalik dengan motivasi pekerja/buruh yang semakin menurun. Perusahaan akan lebih merugi karena selain omzet atau pendapatan perusahaan semakin turun drastis, keterlambatan pemberian THR Keagamaan juga tidak bisa dihindarkan. Maka dari itu, anjuran untuk memberikan THR Keagamaan kepada pekerja/buruh jauh-jauh hari sangat baik bagi perusahaan.

Adapun dalam kondisi pandemi COVID-19 saat ini, Menteri Tenaga Kerja telah menerbitkan Surat Edaran Menteri

commit to user

(12)

Tenaga Kerja Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 yang di dalamnya berisikan meminta Gubernur untuk:

1) Memastikan perusahaan agar membayar THR Keagamaan kepada pekerja/buruh sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) Dalam hal perusahaan tidak mampu membayar THR Keagamaan pada waktu yang ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, solusi atas persoalan tersebut hendaknya diperoleh melalui proses dialog antara pengusaha dan pekerja/buruh. Proses dialog tersebut dilakukan secara kekeluargaan, dilandasi dengan laporan keuangan internal perusahaan yang transparan dan itikad baik untuk mencapai kesepakatan. Dialog tersebut dapat menyepakati beberapa hal, antara lain:

a) Bila perusahaan tidak mampu membayar THR Keagamaan secara penuh pada waktu yang ditentukan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan maka pembayaran THR Keagamaan dapat dilakukan secara bertahap.

b) Bila perusahaan tidak mampu membayar THR Keagamaan sama sekali pada waktu yang ditentukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan maka pembayaran THR Keagamaan dapat dilakukan penundaan sampai dengan jangka waktu tertentu yang disepakati.

c) Waktu dan cara pengenaan denda keterlambatan pembayaran THR Keagamaan.

3) Kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh sebagaimana tersebut pada angka 2 dilaporkan oleh perusahaan kepada Dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan setempat. commit to user

(13)

4) Kesepakatan mengenai waktu dan cara pembayaran THR Keagamaan dan denda, tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar THR Keagamaan dan denda kepada pekerja/buruh dengan besaran sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, serta dibayarkan pada tahun 2020.

Setahun kemudian, pandemi COVID-19 masih menjadi permasalahan utama bagi negeri ini. Pemberian solusi berupa THR Keagamaan yang dapat dibayar dengan bertahap atau dicicil dinilai tidak dapat menyelesaikan permasalahan ini. Banyak dari pekerja/buruh yang mengeluh terhadap pemberian THR Keagamaan yang dapat dicicil ini. Padahal jika pekerja/buruh menyadari kondisi perusahaan maka pembayaran THR Keagamaan secara bertahap bukan merupakan persoalan yang besar. Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menerbitkan Surat Edaran (SE) yang baru dengan Nomor M/6/HK.04/IV/2021 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2021 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. SE yang ditandatangani pada tanggal 12 April 2021 ini ditujukan kepada para gubernur di seluruh Indonesia. Isi Surat Edaran tersebut sebagai berikut:

1) Memberikan solusi dengan mewajibkan pengusaha melakukan dialog dengan pekerja/buruh untuk mencapai kesepakatan, yang dilaksanakan secara kekeluargaan dan dengan itikad baik. Kesepakatan tersebut dibuat secara tertulis yang memuat waktu pembayaran THR Keagamaan dengan syarat paling lambat dibayar sampai sebelum hari raya keagamaan tahun 2021 pekerja/buruh yang bersangkutan.

2) Meminta perusahaan agar dapat membuktikan ketidakmampuan untuk membayar THR Keagamaan tahun

commit to user

(14)

2021 secara tepat waktu kepada pekerja/buruh, berdasarkan laporan keuangan internal perusahaan yang transparan.

3) Memastikan kesepakatan mengenai pembayaran THR Keagamaan, tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar THR Keagamaan tahun 2021 kepada pekerja/buruh dengan besaran sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

4) Meminta perusahaan yang melakukan kesepakatan dengan pekerja/buruh, melaporkan hasil kesepakatan tersebut kepada dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan setempat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari raya keagamaan.

Dalam rangka memberikan kepastian hukum, mengantisipasi timbulnya keluhan dalam pelaksanaan pembayaran THR Keagamaan tahun 2021 dan pelaksanaan koordinasi yang efektif antara pemerintah pusat dan daerah, diminta kepada Gubernur dan Bupati/Walikota untuk:

1) Menegakkan hukum sesuai kewenangannya terhadap pelanggaran pemberian THR Keagamaan tahun 2021 dengan memperhatikan rekomendasi dari hasil pemeriksaan pengawas ketenagakerjaan.

2) Membentuk Pos Komando Pelaksanaan Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2021 (Posko THR) dengan tetap memperhatikan prosedur/protokol kesehatan pencegahan penularan COVID-19.

3) Melaporkan data pelaksanaan THR Keagamaan tahun 2021 di perusahaan dan tindak lanjut yang telah dilakukan, kepada Kementrian Ketenagakerjaan.

Perbedaan SE Menaker tahun 2020 dengan tahun 2021 tidak ada perbedaan yang signifikan. Maka dapat disimpulkan bahwa pada saat kondisi pandemi COVID-19 seperti ini

commit to user

(15)

diharapkan permasalahan THR Keagamaan dapat berkurang dengan adanya dialog kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha. Menurut hasil wawancara dengan Didi juga berpendapat bahwa suatu kesepakatan merupakan hal yang sangat penting, oleh karena itu hasil dari kesepakatan tersebut wajib dibuat secara tertulis dan dilaporkan kepada pihak-pihak yang bersangkutan seperti Dinas setempat.

Kita juga dapat melihat selama liburan lebaran ini pemerintah sudah melakukan beberapa larangan pada pekerja saat lebaran berlangsung seperti contoh dilarang mudik, dilarang keluar rumah, dilarang kumpul bersama keluarga besar, dan dianjurkan untuk sholat Idul Fitri di rumah saja. Artinya, tidak ada beban atau biaya pengeluaran berlebih untuk kebutuhan pada saat hari raya keagamaan. Maka jalan tengah yang diambil dan diatur oleh pemerintah dalam hal pembayaran THR Keagamaan saat pandemi ini sudah adil bagi para pihak yaitu pekerja dan pengusaha.

Menurut Didi, sudah banyak perusahaan pada tahun 2020 yang membayarkan THR Keagamaan setelah lebaran bahkan hingga akhir tahun. Karena seperti yang kita ketahui, bahwa pemerintah telah mengatur agar cuti bersama lebaran diganti akhir tahun sebagai upaya mencegah penyebaran COVID-19 yang selalu mengalami peningkatan jelang lebaran Idul Fitri. Maka hal tersebut sah-sah saja dilakukan asalkan didasari dengan dialog antara pengusaha dengan pekerja yang nantinya menghasilkan keputusan bersama. Hal yang tidak diperbolehkan adalah tidak ada kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha, kesepakatan tidak dalam bentuk tertulis dan ada tindakan dari perusahaan untuk tidak membayar THR Keagamaan. Lebih parah, tidak ada bayaran sama sekali kepada pekerja.

commit to user

(16)

Penerapan dari terbitnya SE Menaker dengan perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama ataupun peraturan perusahaan adalah poin kesepakatan yang harus ditinjau ulang dan dibuatkan kesepakatan baru lainnya sesuai panduan dari pemerintah. Kita tidak dapat merubah isi PKB karena syarat berakhirnya PKB itu sendiri adalah berakhirnya jangka waktu PKB atau salah satu pihak mengakhiri PKB tersebut. Sehingga perubahan-perubahan mengenai SE Menaker itu tidak perlu merubah isi perjanjian kerja termasuk PKB. Dampak pandemi COVID-19 tidak hanya dalam pemberian THR Keagamaan melainkan juga pemberian gaji, jam kerja, dan sebagainya. Artinya pemerintah sudah paham betul akan konsekuensi dari kondisi seperti ini, yaitu dengan adanya pandemi COVID-19 ini maka semua hak dan kewajiban dari masing-masing pihak tidak akan berjalan sebagaimana mestinya dan itu sudah dilindungi oleh hukum.

c. Bentuk THR Keagamaan

Secara normatif, THR Keagamaan diberikan dalam bentuk uang dengan ketentuan menggunakan mata uang rupiah Negara Republik Indonesia. Hal ini tercantum jelas dalam Pasal 6 Permenaker No. 6 Tahun 2016. Namun, dalam pelaksanaannya ada perbedaan dalam bentuk pemberian THR Keagamaan. Jika kita lihat konteks dari PKB itu sendiri maka tujuannya untuk memberikan manfaat kepada pekerja yang poin pentingnya adalah kesepakatan tertulis dan dibuat sesuai dengan kebijakan perusahaan.

Menurut Didi, saat ini banyak perusahaan yang membayar THR Keagamaan tidak hanya utuh berbentuk uang, melainkan ditambah bentuk-bentuk lainnya. Seperti yang terjadi di perusahaan tempat Didi bekerja dahulu, mereka membayarkan THR Keagamaan berupa uang dan voucher belanja sebesar 450 ribu rupiah. Hal ini sah-sah saja dan diperbolehkan karena

commit to user

(17)

merupakan hasil kesepakatan internal antara pekerja dan pengusaha. Jika melihat perusahaan-perusahaan lainnya pasti akan berbeda lagi tergantung kebijakan pihak perusahaan masing- masing.

Beberapa perusahaan yang memberikan THR Keagamaan dalam bentuk bingkisan lebaran atau sembako jelas salah karena konteksnya adalah upah. Upah sendiri sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 yang artinya adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha yang dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang- undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya.

Maka dari itu, ada kebijakan dari pemerintah untuk mengurangi adanya permasalahan THR Keagamaan di beberapa daerah dengan cara memerintahkan Dinas Tenaga Kerja setempat setiap tahunnya untuk datang dan memberikan surat kepada seluruh perusahaan yang isinya adalah pengawasan pemberian THR Keagamaan. Pengawasan ini tercantum dalam Pasal 9 Permenaker No. 6 Tahun 2016. Menurut hasil wawancara dengan Heru Setyawan, Dinas Tenaga Kerja akan selalu menghimbau kepada perusahaan setiap tahunnya melalui surat tertulis maupun media massa agar mematuhi peraturan setiap 1-2 minggu sebelum lebaran Idul Fitri. Dinas Tenaga Kerja akan menerjunkan Tim Deteksi Dini dan Tim Survei Aspek Kerja ke sejumlah perusahaan untuk mengetahui apakah perusahaan dapat mematuhi peraturan dalam pembayaran THR Keagamaan.

Hal ini juga dibenarkan oleh Didi, kegiatan pengawasan di dalam perusahaannya dilakukan biasanya 2 minggu sebelum hari raya. Salah satu format isi dari surat tersebut adalah apakah perusahaan memberikan THR Keagamaan kepada pekerja, pemberian THR Keagamaan dalam bentuk apa dan apakah sudah commit to user

(18)

sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apabila pengusaha menyebutkan bahwa pengusaha memberikan THR Keagamaan dalam bentuk uang/upah sebesar 1 bulan maka ia sudah memenuhi peraturan perundang-undangan. Apabila pengusaha menyebutkan bahwa pengusaha memberikan sesuai dengan kemampuan perusahaan dalam bentuk parcel lebaran atau sembako maka itu salah. Sehingga Dinas Tenaga Kerja akan melakukan penindakan terhadap perusahaan.

Akan tetapi, lain ceritanya jika perusahaan menyampaikan tidak dalam bentuk upah atau uang tunai melainkan hanya dalam bentuk voucher. Seperti contoh, upah salah satu pekerja adalah 1 juta. Apabila 1 juta tersebut hanya diberikan dalam bentuk voucher, maka itu salah. Kesalahan tersebut juga berlipat ganda karena pertama perusahaan tidak memberikan dalam bentuk uang dan kedua mereka melakukan penipuan dalam penyampaian data kepada pemerintah. Hal seperti ini banyak terjadi di daerah- daerah terpencil karena kurangnya sosialisasi kepada pekerja/buruh. Selain itu, pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dimana hal ini adalah Dinas Tenaga Kerja tidak terlalu detail untuk menanyakan kemampuan perusahaan dalam membayar THR Keagamaan. Dinas Tenaga Kerja jarang mengecek setiap perusahaan untuk mewawancarai pekerja/buruh terkait haknya dalam memperoleh THR Keagamaan.

Menurut hasil wawancara dengan narasumber Heru Setyawan, pemerintah telah memberikan solusi lain yaitu dengan meresmikan Pos Komando (Posko) Pengaduan Tunjangan Hari Raya Keagamaan setiap tahunnya. Posko ini dibentuk di dinas- dinas tenaga kerja di setiap provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia. Posko Pengaduan THR Keagamaan ini merupakan bentuk fasilitas pemerintah agar hak pekerja mendapatkan THR sesuai dengan ketentuan yang disepakati commit to user

(19)

antara pengusaha dan pekerja. Posko Pengaduan THR Keagamaan di setiap daerah dapat menerima pengaduan, memantau pelaksanaan pemberian THR Keagamaan, memberikan pelayanan konsultasi dan penegakan hukum sesuai dengan ketentuan. Sehingga pihak Dinas Tenaga Kerja akan mencarikan titik temu atau solusi. Hal ini jelas sangat membantu menyelesaikan permasalahan pemberian THR Keagamaan menjelang lebaran, ditambah saat ini sedang pandemi COVID-19.

Adapun upaya baru dari Menaker saat pandemi COVID-19 ini mengenai Posko Pengaduan THR yaitu dapat dilakukan secara online melalui halaman situs www.kemnaker.go.id.

Meskipun dapat membantu menyelesaikan permasalahan THR Keagamaan, lonjakan pengaduan tahun ini meningkat 68%

dari tahun lalu. Bahkan bila digabungkan total jumlah pengaduan dan konsultasi THR menembus hingga 200%. Menurut situs CNBC Indonesia, pengaduan terkait pembayaran THR Keagamaan telah diterima sebanyak 422 dan konsultasi THR Keagamaan sebanyak 313. Sehingga ada 735 total dari pengaduan dan konsultasi pada tahun ini. Padahal, jumlah pengaduan pembayaran THR Keagamaan terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Jumlah pengaduan pembayaran THR Keagamaan tahun 2019 mencapai 251 pengaduan atau turun 21%

dibandingkan tahun 2018 yang tercatat ada 318 pengaduan.

Sedangkan pada tahun 2017 tercatat sempat mencapai 412. Hal ini sudah jelas karena ketidakmampuan perusahaan dalam memberi THR Keagamaan tepat waktu saat pandemi COVID-19 (Sandi, 2021).

Pekerja/buruh yang hubungan kerjanya berdasarkan PKWTT dan mengalami pemutusan hubungan kerja sejak 30 hari sebelum hari raya maka berhak mendapatkan THR Keagamaan. Hal ini berlaku untuk tahun berjalan pada saat terjadinya pemutusan hubungan kerja oleh

commit to user

(20)

pengusaha dan tidak berlaku bagi pekerja/buruh yang hubungan kerjanya berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu yang berakhir sebelum hari raya keagamaan. Jika pekerja/buruh yang dipindahkan ke perusahaan lain dengan masa kerja berlanjut, berhak atas THR Keagamaan pada perusahaan yang baru, apabila dari perusahaan yang lama pekerja/buruh yang bersangkutan belum mendapatkan THR Keagamaan. Hal ini sudah diatur dengan jelas Pasal 7 Permenaker No.

6 Tahun 2016. Namun, pembahasan ini tidak diatur khusus dalam isi PKB melainkan hanya mengikuti peraturan perundang-undangan yang ada karena sudah cukup jelas.

Pasal 10 Permenaker No. 6 Tahun 2016 mengatur bahwa perusahaan yang terlambat membayar THR Keagamaan kepada pekerja/buruh akan dikenai denda sebesar 5% dari total THR Keagamaan yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban pengusaha untuk membayar. Namun, adanya denda tersebut tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap membayar THR Keagamaan kepada pekerja/buruh. Jika perusahaan tidak mampu membayar THR pada waktu yang ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, solusinya adalah melalui proses dialog antara pengusaha dan pekerja. Nantinya, denda tersebut dikelola dan dipergunakan untuk kesejahteraan pekerja/buruh yang diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Pemberian denda tersebut juga tidak diwajibkan dalam bentuk uang kepada karyawan.

Denda dapat diberikan dalam bentuk tunjangan fasilitas perusahaan dan bisa juga dalam aktivitas perusahaan.

Selain itu, Pasal 11 Permenaker No. 6 Tahun 2016 tersebut juga menyebutkan apabila perusahaan tidak membayar THR Keagamaan kepada pekerja/buruh maka akan dikenai sanksi administratif.

Pengaturan lebih lanjut mengenai sanksi administratif untuk pelanggaran ketentuan pembayaran THR Keagamaan ada di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan Pasal commit to user

(21)

79-80 yang menyebutkan bahwa apabila Pengusaha tidak membayar atau terlambat dalam melakukan pembayaran THR Keagamaan akan dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi dan pembekuan kegiatan usaha. Pemberian sanksi tersebut dilakukan secara bertahap.

Selain adanya Posko Pengaduan THR Keagamaan setiap tahunnya, ada upaya lainnya yang dapat pekerja/buruh lakukan demi mendapatkan hak THR Keagamaannya. Seperti kita tahu bahwa THR Keagamaan merupakan hak pekerja/buruh, maka pelanggaran atas hak THR Keagamaan tersebut dinamakan perselisihan hak sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial yang berbunyi:

”Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama”

Adapun beberapa langkah-langkah yang harus dilakukan oleh pekerja/buruh untuk menyelesaikan permasalahan ini. Pertama adalah secara kekeluargaan antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang biasa disebut dengan penyelesaian secara bipartit. Peraturan perundang- undangan mewajibkan untuk mengupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Output dari musyawarah tersebut adalah perjanjian bersama yang telah ditandatangani oleh para pihak dan wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan perjanjian bersama.

Jika secara bipartit tidak berhasil yaitu penyelesaian perselisihan melalui mediasi yang dilakukan oleh mediator netral yang berada di commit to user

(22)

setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. Mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan. Dalam hal tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak yang mengadakan perjanjian bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. Jika tidak tercapai kesepakatan, maka mediator wajib memberi anjuran tertulis dan harus dijawab oleh para pihak yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis selambat-lambatnya 10 hari kerja setelah menerima anjuran tertulis.

Terakhir, apabila upaya penyelesaian tersebut belum juga mencapai kesepakatan, pekerja dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

B. Memadai atau Tidaknya Peraturan Perundang-Undangan mengenai Ketenagakerjaan dalam Mewujudkan Perlindungan Pekerja PKWTT terkait THR Keagamaan

Suatu peraturan dibuat berdasarkan pada fakta yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari untuk mengatur dan menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Peraturan juga berperan dalam mengamankan dan melindungi hak-hak manusia demi terwujudnya keadilan sosial, kita sebut dengan peraturan hukum. Peraturan hukum berfungsi sebagai alat perubahan sosial untuk menciptakan ketertiban dan menjamin keadilan bagi masyarakat. Oleh karena itu, sebagai masyarakat Indonesia, sudah sepatutnya kita mematuhi hukum yang berlaku sebagai mestinya.

Tunjangan Hari Raya Keagamaan atau biasa kita sebut dengan THR Keagamaan merupakan salah satu bentuk tunjangan yang diberikan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja/buruh menjelang commit to user

(23)

hari besar keagamaan. Tidak dipungkiri bahwa THR Keagamaan sangat penting bagi pekerja. Selain untuk membeli beberapa keperluan untuk hari raya, THR Keagamaan tersebut digunakan sesuai dengan kebiasaan warga Indonesia dalam menyisihkan uangnya untuk diberikan kepada orang yang lebih membutuhkan. Peraturan perundang-undangan telah menjelaskan secara tegas mengenai adanya hak bagi pekerja untuk mendapatkan perlindungan dalam pemberian THR Keagamaan tersebut. Semua peraturan perundang-undangan yang telah dibuat untuk melindungi pekerja memiliki maksud dan tujuan yang baik dengan memandang keperluan dari THR Keagamaan itu sendiri. Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang beragam yang memiliki tujuan untuk melindungi pekerja dalam pemberian THR Keagamaan ternyata sudah dapat memberikan perlindungan yang memadai.

Peraturan mengenai ketenagakerjaan yang paling berkaitan dengan permasalahan ini adalah Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.

Peraturan tersebut merupakan perluasan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 sebagaimana telah diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Peraturan tersebut intinya menjelaskan mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan dalam hal pemberian THR Keagamaan kepada pekerja/buruh seperti besaran, bentuk dan waktu pembayaran THR Keagamaan.

Peraturan perundang-undangan yang sudah ada telah terlaksana dengan semestinya. Hal ini sejalan dengan teori sistem hukum yang telah dikemukakan oleh Lon Fuller yang menekankan pada isi hukum positif.

Menurut Lon Fuller, untuk mengenal hukum sebagai sistem maka harus dicermati apakah ia memenuhi delapan azas atau principles of legality berikut ini (Fuller, 1969: 54-49):

1. Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan artinya ia tidak boleh mengandung sekadar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc; commit to user

(24)

2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan;

3. Peraturan tidak boleh berlaku surut;

4. Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti;

5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain;

6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan;

7. Peraturan tidak boleh sering dirubah-rubah;

8. Harus ada konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan Permenaker No. 6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan sudah sesuai dengan 8 asas tersebut. Peraturan harus diumumkan, tidak boleh berlaku surut, mudah dimengerti, tidak bertentangan dengan peraturan lainnya dan tidak boleh mengandung tuntunan yang melebihi yang dapat dilakukan. Hanya saja ada sedikit perbedaan di beberapa asas yaitu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan artinya ia tidak boleh mengandung sekadar keputusan- keputusan yang bersifat ad hoc. Hal ini jika dikaitkan dengan UU Ketenagakerjaan, PP Pengupahan dan Permenaker No. 6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan, maka sudah sesuai karena peraturan perundang-undangan tersebut masih berlaku hingga sekarang dan seterusnya. Namun, setiap perusahaan pasti mempunyai PKB/PP yang nantinya akan berlaku menjadi hukum positif atau hukum berjalan suatu perusahaan. Maka dari itu, dalam membuat ketentuan-ketentuan yang dibuat atas dasar kesepakatan tersebut seperti halnya PKB harus tidak melanggar atau bertentangan dengan isi peraturan perundang-undangan.

Selain asas tersebut, ada asas yang menjelaskan bahwa harus ada konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari. Hal ini dikarenakan setiap perusahaan mempunyai perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama dan kesepakatan-commit to user

(25)

kesepakatan lainnya yang berbeda antar perusahaan, maka kemungkinan ada perbedaan pelaksanaan dengan Permenaker No. 6 Tahun 2016. Perbedaan- perbedaan tersebut meliputi besaran, waktu pembayaran dan bentuk THR Keagamaan. Hal ini diperbolehkan selama sesuai dengan kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu atau disingkat PKWTT mengenai besaran pemberian THR Keagamaan sudah terlaksana dengan baik.

Besaran yang ditetapkan peraturan perundang-undangan sudah tertera jelas yaitu sebesar minimal 1 bulan upah. Berbeda halnya dengan pekerja PKWT yang harus memperhitungkan beberapa kemungkinan lain seperti pekerja harian lepas. Namun, terkadang ada beberapa perbedaan berupa penambahan THR Keagamaan di dalam PKB. Menurut Didi, hal ini boleh saja dilakukan oleh pengusaha selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan. Apabila perusahaan menghendaki untuk memberi besaran THR Keagamaan kepada pekerjanya lebih besar dari peraturan perundang- undangan, maka dibolehkan. Beliau juga menambahkan jika pengusaha perlu diingatkan bahwa setiap ketentuan yang terjadi harus tertulis dan diumumkan kepada seluruh pekerja/buruh meskipun hanya dalam bentuk klausul karena sangat penting untuk kebutuhan laporan perusahaan kepada pihak-pihak lainnya seperti Dinas Tenaga Kerja setempat.

Waktu pembayaran THR Keagamaan dalam peraturan tersebut sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, hanya saja karena pandemi COVID-19 saat ini maka ada beberapa perusahaan yang terlambat untuk membayarkan THR Keagamaan kepada pekerjanya. Salah satu upaya Menteri Ketenagakerjaan untuk membantu pengusaha dalam memberikan hak THR Keagamaan kepada pekerja yaitu dengan menerbitkan SE Menteri Tenaga Kerja Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 yang intinya pengusaha dapat mencicil pembayaran THR Keagamaan apabila tidak mampu membayar penuh dan menunda pembayaran THR Keagamaan apabila tidak mampu membayar sama sekali pada waktu yang ditentukan dengan syarat adanya commit to user

(26)

dialog/kesepakatan secara kekeluargaan yang dilandasi dengan laporan keuangan perusahaan yang transparan. Dalam hal pengawasan, Dinas Tenaga Kerja setiap tahunnya selalu memberikan upaya pengawasan setiap 1-2 minggu sebelum lebaran untuk memperhatikan kondisi keuangan pihak perusahaan agar pemberian THR Keagamaan dapat terlaksana sesuai dengan waktu yang ditentukan dalam perjanjian. Pengadaan Posko Pengaduan THR Keagamaan juga sangat membantu pekerja/buruh yang mempunyai permasalahan terkait pemberian THR Keagamaan, ditambah saat ini sedang di masa pandemi COVID-19.

Bentuk pemberian THR Keagamaan terhadap pekerja dalam PKWTT sudah terlaksana dengan baik sesuai peraturan perundang-undangan. Secara normatif, pekerja dalam PKWTT akan menerima THR Keagamaan sebesar 1 bulan upah setiap tahunnya. Selanjutnya dalam peraturan perundang- undangan juga telah disebutkan bahwa bentuk pemberian THR Keagamaan adalah berupa uang rupiah. Namun, beberapa perusahaan yang telah memiliki PKB mempunyai peraturannya sendiri yang didapat dari hasil kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha dalam menentukan bentuk THR Keagamaan. Seperti contohnya bentuk THR Keagamaan yang diberikan kepada pekerja. Secara normatif, pekerja/buruh akan mendapatkan minimal 1 bulan upah yang diberikan dengan bentuk uang rupiah. Namun, PKB yang berisi kesepakatan antara pekerja dengan perusahaan menghendaki untuk memberikan 450 ribu berbentuk voucher belanja dari total 1 bulan upah.

Maka, bentuk upah yang diberikan kepada pekerja/buruh mengikuti PKB selama tidak melanggar ketentuan minimum pembayaran. Menurut Didi hal tersebut boleh saja dilakukan asal tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

commit to user

Referensi

Dokumen terkait

To determine whether certain types of depressive illness among relatives were associated with greater proband morbidity during lithium treatment, the low, medium, and high groups

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam pengawasan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Terhadap izin penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

ّ‫ُهنّ َرا ُ ُج ۡو ُهنّ ۡوتُفَاّ لَـكُمّۡ ا َ ۡرض َۡعنَّ فَا ِۡن‬ “Kemudian jika mereka menyusukan anak-anak mu untukmu maka berikanlah

It was natural that, as soon as science had attained such generalizations, the need of a synthetic philosophy should be felt; a philosophy which, no longer discussing

8088 memiliki pembagian memori yang sama dengan 8086: prosesor bisa mencapai 64 KB dari memori secara langsung, dan untuk mencapai lebih dari 64 KB, salah satu dari

Bahwa agar lebih menjamin persamaan hak warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan, memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap setiap

Proses KBM yang dilaksanakan pada kegiatan lesson study dapat meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas dilihat dari interaksi yang terjadi antara siswa dengan siswa

Sangat rendahnya dukungan keluarga inti terlihat implisitnya dukungan keluarga inti pada faktor eksternal prokrastinasi akademik, tidak disebutkan secara