PENGARUH JOB CRAFTING TERHADAP KETERIKATAN KERJA DENGAN PERSEPSI DUKUNGAN ORGANISASI SEBAGAI VARIABEL MODERATOR DI BANK SUMUT KANTOR PUSAT
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister Sains
Universitas Sumatera Utara
Oleh:
Devi Rosyana Putri 187049002
PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI SAINS FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
2021
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR LAMPIRAN ... iii
DAFTAR GAMBAR ... ivi
DAFTAR TABEL ... vi
KATA PENGANTAR………...vii
ABSTRAK ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 12
E. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II LANDASAN TEORI ... 15
A. Keterikatan Kerja ... 15
B. Job Crafting ... 21
C. Persepsi Dukungan Organisasi ... 26
D. Dinamika Antar Variabel ... 30
E. Kerangka Konseptual ... 37
F. Hipotesis Penelitian ... 37
BAB III METODE PENELITIAN ... 38
A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 38
B. Definisi Operational Variabel ... 38
C. Populasi Dan Subjek Penelitian ... 40
D. Metode Pengambilan Data ... 40
E. Validitas, Reliabilitas Dan Uji Daya Beda Aitem ... 43
F. Uji Coba Alat Ukur ... 47
G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 55
H. Metode Analisa Data... 57
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 62
A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 62
B. Uji Asumsi ... 64
C. Kategorisasi Data Penelitian ... 68
D. Hasil Penelitian ... 70
E. Pembahasan ... 73
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 78
A. Kesimpulan ... 78
B. Saran ... 78 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A Output Uji Reliabilitas, Daya Beda Aitem dan Validitas ... 93
LAMPIRAN B Deskriftif Statistik dan Frekuensi Variabel Penelitian ... 110
LAMPIRAN C Uji Asumsi Klasik dan Uji Hipotesis 1 ... 115
LAMPIRAN D Uji Asumsi Klasik dan Uji Hipotesis 2 ... 118
LAMPIRAN E Uji Asumsi Klasik dan Uji Tambahan ... 123
LAMPIRAN F Skala Penelitian... 128
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka konseptual penelitian ... 37 Gambar 4.1 Hasil Uji Heteroskedastisitas Model Regresi 2... 67
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Blueprint Skala Keterikatan Kerja ... 41
Tabel 3.2 Blueprint Skala Job Crafting... 42
Tabel 3.3 Blueprint Skala Persepsi Dukungan Organisasi ... 43
Tabel 3.4 Skala Keterikatan Kerja Setelah Uji Coba ... 49
Tabel 3.5 Skala Job Crafting Setelah Uji Coba ... 53
Tabel 3.6 Skala Persepsi Dukungan Organisasi Setelah Uji Coba ... 55
Tabel 4.1 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin 62 Tabel 4.2 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 63
Tabel 4.3 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Masa Kerja ... 63
Tabel 4.4 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 64
Tabel 4.5 Uji Normalitas Model Regresi 1 ... 65
Tabel 4.6 Uji Normalitas Model Regresi 2 ... 65
Tabel 4.7 Uji Linearitas ... 66
Tabel 4.8 Uji Asumsi Multikolinearitas... 67
Tabel 4.9 Uji Asumsi Autokorelasi Model Regresi 2 ... 68
Tabel 4.10 Perbandingan Mean Empirik dan Mean Hipotetik ... 69
Tabel 4.11 Norma Kategorisasi Penelitian ... 69
Tabel 4.12 Kategorisasi Keterikatan kerja ... 69
Tabel 4.13 Kategorisasi Job Crafting ... 70
Tabel 4.14 Kategorisasi Persepsi Dukungan Organisasi ... 70
Tabel 4.15 Hasil Uji Regresi Model 1 ... 71
Tabel 4.16 Sumbangan Efektif Variabel Job Crafting ... 71
Tabel 4.17 Hasil Koefisien Regresi Model 1 ... 71
Tabel 4.18 Regresi Moderasi ... 72
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya saya diberikan kesempatan, kesehatan serta kemudahan untuk dapat menyelesaikan proposal seminar tesis guna memenuhi salah satu persyaratan untuk menyelesaikan program magister sains psikologi di Universitas Sumatera Utara. Judul penelitian yang saya ajukan pada tesis ini adalah “Pengaruh Job Crafting terhadap Keterikatan Kerja dengan Persepsi Dukungan Organisasi sebagai Variabel Moderator Di Bank Sumut Kantor Pusat”. Peneliti berharap agar penelitian tesis ini nantinya dapat berguna bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang psikologi dan bagi perusahaan terkait.
Penulis menyadari bahwa banyak pihak yang telah mendukung dan membantu penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada:
1. Bapak Zulkarnain, Ph.D, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sekaligus dosen pembimbing I. Terima kasih sebanyak-banyaknya kepada beliau yang telah memberikan waktu, arahan, saran serta nasehat hingga penulis bisa menyelesaikan penelitian tesis ini.
2. Bapak Dr. Abdhy Aulia Adnans, MM, selaku dosen pembimbing II yang telah meluangkan waktu dalam membimbing dan memberikan arahan, saran serta nasehat kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian tesis ini.
3. Seluruh dosen Magister Psikologi Sains Universitas Sumatera Utara atas semua ilmu yang telah diberikan kepada penulis hingga saat ini, semoga ilmu yang penulis dapatkan ini dapat berguna dan diterapkan dengan baik.
4. Seluruh pegawai Magister Psikologi Sains yang telah memberikan bantuan kepada peneliti selama menjalani pendidikan di Magister Psikologi Sains.
5. Keluarga penulis yaitu mama, papa, suami dan adik yang telah memberikan dukungan, doa serta tidak hentinya memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
6. Teman Angkatan Magister Sains 2018 yang selama ini bersedia untuk bersama-sama bertukar pikiran dan saling menyemangati untuk segera menyelesaikan penelitian tesis.
PENGARUH JOB CRAFTING TERHADAP KETERIKATAN KERJA DENGAN PERSEPSI DUKUNGAN ORGANISASI SEBAGAI VARIABEL
MODERATOR DI BANK SUMUT KANTOR PUSAT Devi Rosyana Putri, Zulkarnain, Abdhy Aulia Adnans
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Keterikatan kerja merupakan salah satu topik yang populer dari psikologi positif baik dalam dunia akademik maupun bisnis. Penelitian sebelumnya telah menemukan faktor- faktor antesenden dari keterikatan kerja pada karyawan, salah satunya ialah persepsi dukungan organisasi dan job crafting. Pengaruh job crafting terhadap keterikatan dijelaskan berdasarkan Model Job Demand-Resource (JDR). Berdasarkan kajian literatur, job crafting dan persepsi dukungan organisasi berpengaruh yang positif terhadap keterikatan kerja. Penelitian ini bertujuan untuk menguji lebih lanjut bagaimana hubungan antara ketiga variabel tersebut. Persepsi dukungan organisasi diidentifikasikan sebagai variabel moderator pada penelitian ini, untuk melihat apakah persepsi dukungan organisasi dapat memberikan efek moderasi antara job crafting dengan keterikatan kerja.
Sesuai dengan rancangan penelitian, penelitian ini melibatkan 247 karyawan perbankan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa job crafting berpengaruh positif dan signifikan terhadap keterikatan kerja. Sedangkan persepsi dukungan organisasi tidak memberi efek moderasi antara job crafting dan keterikatan kerja. Sebagai hasil pengujian tambahan, variabel persepsi dukungan organisasi adalah variabel independen yang mempengaruhi keterikatan kerja. Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti mengajukan dua implikasi.
Implikasi pertama penelitian ini ditinjau berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan pengaruh job crafting terhadap keterikatan kerja maka secara praktis diharapkan bagi perusahaan untuk menyediakan sarana bagi karyawan untuk mengembangkan potensinya serta melakukan training job crafting guna menimbulkan dan mempertahankan perilaku proaktif di tempat kerja. Implikasi kedua berasal dari tidak berperannya persepsi dukungan organisasi sebagai variabel moderator. Peneliti selanjutnya diharapkan untuk melakukan penelitian pada area bisnis lainnya untuk menguji lebih lanjut tentang persepsi dukungan organisasi sebagai variabel moderator.
Kata kunci: keterikatan kerja, job crafting, persepsi dukungan organisasi, job demand- resource model, moderated regression analysis
THE EFFECT OF JOB CRAFTING ON WORK ENGAGEMENT WITH PERCEIVED ORGANIZATIONAL SUPPORT AS A MODERATOR
VARIABLE IN BANK SUMUT HEAD OFFICE Devi Rosyana Putri, Zulkarnain, Abdhy Aulia Adnans
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
Work engagement is one of the most popular topics of positive psychology in both academia and business. Previous research has found antecedent factors of work engagement, one of which is perceived organizational support and job crafting. Job Demand-Resource Model (JDR) is used to explain the effect of job crafting on work engagement. Based on the literature review, the variables positively effect work engagement. This study aims to test how the relationship between the three variables. Furthermore, to investigate whether perceived organizational support as moderator variable between job crafting and work engagement. In accordance with the research design, this research involved 247 banking employees. The results showed that job crafting positively and significant effected to work engagement.
Meanwhile, perceived organizational support did not effect to relationship between job crafting and work engagement. Perceived organizational support has a role as independent variable that affecting work engagement. Based on the research results, it proposes two implications. The first, it shows the effect of job crafting on work engagement and it is expected for companies to provide facilities for employees to develop their potential and to conduct job crafting training to foster and maintain proactive behavior in the workplace. The second implication comes from the absence of perceived organizational support as a moderator variable. It is expected to research on other business areas to further test perceived organizational support as a moderator variable.
Keywords: work engagement, job crafting, perceived organizational support, job demand- resource model, moderated regression analysis
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Perekonomian Indonesia tumbuh 5,17% pada tahun 2018 dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mengalami pertumbuhan sebesar 5,07% (Otoritas Jasa Keuangan, 2018).
Jika ditinjau berdasarkan daerah, perekonomian Indonesia didominasi oleh provinsi-provinsi di Pulau Jawa yang memberikan kontribusi sebesar 58,48% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar 21,58%, dan pulau-pulau lainnya. Perekonomian di wilayah provinsi Sumatera Utara mengalami pertumbuhan sebesar 5,18% di tahun 2018 lebih tinggi dari tahun sebelumnya sebesar 5,12%. Hal tersebut menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia menunjukkan kemajuan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Pada tahun 2018, aset perbankan juga mengalami pertumbuhan sebesar 9,21%
dibandingkan tahun sebelumnya (Bank SUMUT, 2018). Aset Bank Pembangunan Daerah (BPD) mengalami peningkatan di tahun 2018, sebesar 8,46%. Namun di saat terjadinya peningkatan aset perbankan, aset Bank SUMUT di tahun 2018 justru mengalami penurunan sebesar 2,80% di tahun 2018. Selain mengalami penurunan aset, Bank SUMUT juga mengalami penurunan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 4,02% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang terus meningkat. Ditinjau dari beberapa aspek kinerja keuangan, data di atas menunjukkan bahwa produktivitas Bank SUMUT mengalami penurunan.
PT. Bank SUMUT adalah Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sumatera Utara yang telah berdiri sejak tahun 1961 dan terus melayani masyarakat Sumatera Utara hingga saat ini.
PT. Bank SUMUT merupakan salah satu Bank yang memberikan kontribusi dalam membangun daerah Sumatera Utara. Seperti organisasi lainnya, sumber daya manusia di industri perbankan seharusnya dianggap sebagai salah satu aset perusahaan. Namun pada
kenyataannya, berdasarkan hasil Laporan Tahunan 2018, Bank SUMUT masih mengalami beberapa kendala internal yang terkait dengan SDM. Bank SUMUT belum memiliki sistem pengelolaan SDM yang terintegrasi dan terkoneksi secara online di seluruh unit kantor.
Sistem career path dan succession plan juga belum standar dan diketahui oleh semua pegawai. Jika ditinjau berdasarkan tingkat turnover, Bank Sumut memiliki tingkat turnover sebesar 4% di tahun 2018 yang lebih tinggi dibandingkan tahun 2016 sebesar 3,32% dan tahun 2015 sebesar 2,80%. Terdapat pula beberapa kendala yang dihadapi Bank Sumut terkait dengan kinerja karyawan, seperti kurangnya ketepatan waktu dalam mengerjakan tugas serta penggunaan waktu kerja yang belum optimal. Bank SUMUT memiliki kekhawatiran bahwa hal-hal tersebut dapat menurunkan tingkat keterikatan (engagement) karyawannya (Bank SUMUT, 2018). Namun masih diperlukan analisis lebih lanjut tentang tingkat keterikatan kerja di Bank Sumut serta faktor-faktor yang mendorong keterikatan kerja tersebut. Sebab dengan menganalisis lebih lanjut tentang tingkat keterikatan kerja diharapkan dapat menjadi solusi bagi permasalahan yang berkaitan dengan sumber daya manusia di Bank Sumut.
Pada masa sekarang ini, organisasi semakin menyadari bahwa kesejahteraan dan keterlibatan karyawan yang produktif adalah hal penting untuk mempertahankan keunggulan kompetitif di pasar global. Untuk menciptakan keunggulan kompetitif dalam lingkungan ekonomi yang semakin bergolak, kesinambungan kinerja yang tinggi menjadi faktor yang sangat penting (Van der Walt, 2018). Upaya organisasi untuk meningkatkan kinerja karyawan mulai menekankan pada konsep perilaku organisasi positif dan emosi positif (Bakker, Schaufeli, Leiter & Taris, 2008). Konsep-konsep seperti optimisme, kepercayaan, dan keterikatan (engagement) adalah konsep yang termasuk dalam psikologi positif.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa keterikatan kerja dapat memprediksi produktifitas
karyawan, keberhasilan organisasi, serta kinerja keuangan organisasi tersebut (Bates, 2004;
Richman, 2006).
PortalHR (2016) menyatakan bahwa di Indonesia tingkat keterikatan masih sangat rendah. PMSM Indonesia menyelenggarakan survei Gallup mengenai keterikatan pekerja di Indonesia dan hasilnya menemukan bahwa kenyataannya 76% pekerja di Indonesia masuk ke dalam kategori not engaged di tempat kerja dengan rincian sebagai berikut, hanya terdapat 13% pekerja yang fully engaged dan sisanya 76% berada pada kategori not engaged, dan 11% actively disengaged. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asean, tingkat keterikatan karyawan di Indonesia hanya lebih baik dari Vietnam. Indonesia berada pada peringkat di bawah dari Singapura, Thailand, Malaysia dan Filipina dalam hal keterikatan kerja. Oleh sebab itu untuk mengatasi fenomena tersebut, penting bagi organisasi dan peneliti di bidang industri dan organisasi di Indonesia untuk mengeksplorasi lebih luas mengenai topik keterikatan kerja pada organisasi bisnis.
Kahn (1990) menyatakan karyawan yang terikat akan bekerja dan mengekspresikan diri mereka secara fisik, emosional, dan kognitif selama melaksanakan peran kerja. Menurut Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma dan Bakker (2002) keterikatan merupakan kondisi pikiran yang positif, memuaskan, terkait dengan pekerjaan yang ditandai dengan adanya semangat, dedikasi, dan penyerapan. Terdapat komponen penting dalam keterikatan kerja yaitu energi fisik (semangat), emosi (dedikasi) dan kognitif (penyerapan). Adanya keterikatan kerja membuat karyawan aktif terlibat secara fisik dengan pekerjaannya, siaga secara kognitif serta terhubung secara emosi dengan orang lain saat melakukan pekerjaannya. Emosi positif seperti ketertarikan dan rasa senang terhadap pekerjaan, semangat, menunjukkan resiliensi yang tinggi di tempat kerja merupakan salah satu ciri bahwa karyawan memiliki keterikatan dengan pekerjaannya. Keterikatan juga ditandai dengan adanya energi dan koneksi dengan
pekerjaan sehingga membuat karyawan merasa mampu mengatasi tuntutan pekerjaannya (Schaufeli, dkk, 2002).
Menurut Maslach, Schaufeli dan Leiter (2001), keterikatan kerja memiliki perbedaan dengan konsep komitmen organisasi, kepuasan kerja, atau keterlibatan kerja. Komitmen organisasi mengacu pada asosiasi karyawan dengan organisasi tempat ia bekerja dan fokus utamanya tertuju pada organisasi, sedangkan keterikatan kerja berfokus pada pekerjaan.
Kepuasan kerja adalah sejauh mana pekerjaan merupakan sumber pemenuhan kebutuhan dan kepuasan, atau sarana untuk menghindari karyawan dari ketidakpuasan; namun tidak mencakup hubungan karyawan tersebut dengan pekerjaannya. Keterlibatan kerja mirip dengan aspek dari keterikatan kerja, namun tidak mencakup aspek energi dan efektivitas (Brown, 1996; Van Wyk, Boshoff & Cilliers, 2003).
Keterikatan kerja menunjukkan dampak yang cukup besar pada bisnis perusahaan (Harter, Schmidt, Asplund, Killham & Agrawal, 2010). Keterikatan kerja dapat meningkatkan kinerja karyawan, kesehatan, kesejahteraan serta kesiapan karyawan untuk berubah (Bakker & Bal, 2010; Soane, Truss, Alfes, Shantz, Rees & Gatenby, 2012; Shimazu, Schaufeli, Kamiyama & Kawakami, 2015; Zulkarnain & Hadiyani, 2014).
Peningkatan keterikatan kerja dapat menguntungkan kedua pihak, baik pengusaha maupun karyawan (Pitt-Catsouphes & Matz-Costa, 2008). Karyawan yang terikat cenderung menetap dalam jangka waktu yang lebih lama dalam suatu organisasi daripada karyawan yang tidak terikat (disengaged) (Pitt-Catsouphes & Matz-Costa, 2008). Bagi perusahaan, karyawan yang terikat menunjukkan produktivitas, peningkatan keuntungan, dan memiliki inovasi yang lebih tinggi dan hubungan klien yang lebih kuat (Pitt-Catsouphes & Matz-Costa, 2008). Karyawan yang terikat juga cenderung lebih siap untuk menerima perubahan dan mendukung usaha perubahan yang dilakukan oleh perusahaan (Zulkarnain & Hadiyani, 2014). Selain itu, tingkat keterikatan yang tinggi pada karyawan juga dapat mempengaruhi
rekan kerja mereka dimana karyawan yang terikat cenderung mentransfer emosi dan pengalaman positif dan, sebagai hasilnya, akan menciptakan iklim tim yang positif.
Bagi karyawan, terikat dengan pekerjaan dapat menimbulkan emosi positif di tempat kerja, seperti kebahagiaan, kegembiraan, antusiasme, minat, dan kepuasan. Selain itu, keterlibatan secara positif terkait dengan kesehatan karyawan (Bakker & Demerouti, 2008).
Memiliki keterikatan kerja menyiratkan bahwa karyawan akan fokus, berdedikasi dan bersemangat ketika mereka datang ke tempat kerja, yang akhirnya dapat meningkatkan dan mempertahankan kinerja mereka (Bakker & Leiter, 2010). Oleh karena itu, keterikatan kerja memiliki potensi untuk meningkatkan keberhasilan dan daya saing bisnis, yang sangat dibutuhkan dalam perusahaan saat ini (Hoole & Bonnema, 2015).
Sebaliknya, karyawan yang tidak terikat (disengaged) akan merasa terpisah dari pekerjaannya, cenderung kurang efisien, kurang loyal terhadap organisasi, kurang puas dengan kehidupan pribadi mereka, lebih rentan mengalami stres dan merasa tidak aman terkait pekerjaan mereka (Gallup, 2001). Menurut Branham (2005), karyawan yang tidak terikat dapat secara negatif mempengaruhi moral dan pendapatan organisasi, karyawan akan sering membuat masalah, mengeluh, dan mengalami kecelakaan kerja. Mereka dapat membahayakan organisasi dengan cara mereka berbicara kepada pelanggan, perilaku negatif mereka dapat mempengaruhi kepuasan pelanggan, bahkan pada akhirnya dapat menyebabkan organisasi kehilangan pelanggan (Vajda & SpiritHeart, 2008). Dengan adanya beberapa dampak negatif dari karyawan dengan keterikatan kerja yang rendah, muncul beberapa inisiatif dari penelitian-penelitian psikologi organisasi positif untuk mengidentifikasi faktor penyebab munculnya keterikatan kerja.
Beberapa literatur menunjukkan bahwa keterikatan kerja dapat dipengaruhi oleh variabel-variabel lain. Schaufeli dan Bakker (2004) memaparkan model Job Demands- Resources dan menjelaskan hubungannya dengan keterikatan kerja. Model tersebut
menemukan bahwa sumber daya pekerjaan (dukungan organisasi, dukungan sosial, coaching, dan umpan-balik) terkait secara positif dengan keterikatan dan terkait negatif dengan kelelahan (burnout). Sedangkan tuntutan pekerjaan (beban kerja, tuntutan emosional) secara positif terkait dengan kelelahan, tetapi tidak dengan keterikatan (Bakker, Demerouti &
Schaufeli, 2005). Penelitian lain mencoba mengkaitkan keterikatan kerja dengan job insecurity, stres kerja, persepsi dukungan organisasi dan job crafting (Bosman, Rothmann, Buitendach, 2005; Coetzee & Villiers, 2010; Sulea, Virga, Maricutoiu, Schaufeli, Dumitru &
Sava, 2012; Tims, Bakker, & Derks, 2013).
Menurut Hackman dan Oldham (1980) cara karyawan untuk menciptakan tingkat keterikatan kerja yang lebih tinggi dalam pekerjaannya adalah dengan cara merancang pekerjaan mereka sendiri. Di masa ini, merancang pekerjaan bukan hanya menggunakan pendekatan top-down (keputusan yang dibuat oleh organisasi atau manajer) namun dapat dilakukan dengan pendekatan bottom-up (karyawan bertanggung jawab untuk merancang pekerjaan mereka sendiri) (Berg, Wrzesniewski & Dutton, 2010). Oleh sebab itu, karyawan perlu mengambil peran aktif dalam mendekati pekerjaan mereka. Tindakan-tindakan dimana karyawan mengubah fitur pekerjaan dan interaksi mereka dengan orang lain untuk memberikan makna pekerjaan disebut job crafting.
Wrzesniewski & Dutton (2001) menjelaskan job crafting sebagai perubahan yang diinisiasi oleh karyawan secara fisik maupun kognitif dalam melaksanakan tugas serta dalam hubungan kerjanya dengan orang lain. Job crafting berfokus pada bagaimana karyawan mengubah desain pekerjaan mereka sesuai dengan preferensi, tujuan dan keterampilan mereka sendiri. Beberapa penelitian telah menunjukkan pengaruh positif job crafting terhadap keterikatan kerja (Tims, Bakker & Derks, 2013; Vermooten, Boonzaier & Kidd, 2019). Organisasi mendapat manfaat dari karyawan yang mengambil inisiatif proaktif dalam membentuk karakteristik pekerjaan mereka (tuntutan dan sumber daya pekerjaan) agar
sesuai dengan kebutuhan karyawan tersebut (Parker, Williams & Turner, 2006). Ketika karyawan mengetahui bagaimana cara menciptakan lingkungan kerja yang optimal, maka karyawan tersebut dapat memahami karakteristik pekerjaan serta kebutuhan personal mereka.
Jika dibutuhkan, karyawan dapat melakukan perubahan dalam upaya mencegah penurunan kinerja dan motivasi. Dalam hal ini, organisasi bukan lah satu-satunya yang dapat membentuk motivasi dan kesejahteraan karyawan, namun karyawan secara mandiri dapat mengambil tindakan untuk meningkatkan keterikatan dan kepuasan mereka dengan pekerjaan dengan mengambil tanggung jawab untuk mengubah karakteristik pekerjaan atas keinginan mereka (Tims, Bakker & Derks, 2013).
Bakker, Tims dan Derks (2012) menekankan bahwa ketika karyawan merancang pekerjaannya maka ia akan semakin terikat (engaged). Hal ini dapat dilakukan dengan merancang kembali sumber daya pekerjaan dan tuntutan pekerjaan yang dimiliki oleh karyawan. Karyawan yang mengoptimalkan tuntutan dan sumber daya pekerjaan mereka diharapkan untuk bekerja di lingkungan yang menantang. Menurut Tims, Bakker dan Derks (2013) penjelasan mengenai job crafting, tidak lepas dari model Job Demand-Resource (JD- R).
Terdapat 4 dimensi job crafting, dua dimensi berkaitan dengan job resources atau sumber daya pekerjaan (yaitu meningkatkan sumber daya pekerjaan sosial dan struktural) dan dua dimensi lainnya merujuk pada job demands atau tuntutan pekerjaan (yaitu meningkatkan tuntutan pekerjaan yang menantang dan mengurangi tuntutan pekerjaan yang menghalangi) (Tims, Bakker & Derks, 2013). Penelitian Sakuraya, Shimazu, Eguchi, Kamiyama, Hara, Namba, Kawakami (2017) menunjukkan bahwa ketiga dimensi job crafting (meningkatkan sumber daya pekerjaan sosial, meningkatkan sumber daya pekerjaan struktural dan meningkatkan tuntutan pekerjaan yang menantang) berpengaruh positif terhadap keterikatan
kerja, namun tidak pada dimensi keempat (mengurangi tuntutan pekerjaan yang menghalangi).
Selain job crafting, berdasarkan model job demand dan job resource (JD-R) beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa sumber daya pekerjaan, khususnya dukungan, memainkan peran penting dalam pengembangan keterikatan kerja (Llorens, Bakker , Schaufeli, & Salanova, 2006). Dukungan organisasi merupakan salah satu dukungan yang diterima karyawan di tempat kerja. Persepsi dukungan organisasi merupakan keyakinan umum yang dimiliki karyawan tentang sejauh mana organisasi menghargai kontribusi dan peduli terhadap kesejahteraan dan kebutuhan sosial-emosional karyawan (Eisenberger, Huntington, Hutchison, & Sowa, 1986; Krishnan & Mary, 2012; Settoon, Bennet, & Liden, 1996). Ketika organisasi tidak memberikan perlakuan yang baik kepada karyawannya, maka organisasi dapat kehilangan karyawan-karyawannya yang berbakat. Dalam kondisi tersebut, karyawan yang terikat dapat menjadi kunci untuk keunggulan kompetitif perusahaan karena karyawan yang terikat memiliki tingkat energi yang tinggi, antusias dengan pekerjaan mereka dan sering sepenuhnya tenggelam dalam pekerjaan mereka sehingga waktu berlalu (Macey &
Schneider, 2008; May, Gilson & Harter, 2004). Beberapa penelitian sebelumnya secara empiris telah menguji dan menunjukkan hubungan yang positif antara persepsi dukungan organisasi dan keterikatan kerja karyawan (Kinnunen, Feldt, & Makikangas, 2008; Sulea, Virga, Maricutoiu, Schaufeli, Dumitru, & Sava, 2012). Sejalan dengan ide ini, Eisenberger dan Stinglhamber (2011) juga menyatakan bahwa persepsi dukungan organisasi memiliki pengaruh positif pada keterikatan kerja, dengan cara memperkuat minat intrinsik karyawan dalam tugas-tugas mereka. Pendapat di atas juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Rahmadani, Schaufeli, Stouten, Zhang dan Zulkarnain (2020) yang menyatakan bahwa seiring waktu, keterikatan pemimpin (engaging leadership) di tingkat tim dapat meningkatkan keterikatan kerja tim dengan cara merangsang pengaruh positif di dalam tim,
yang pada akhirnya dapat mendorong hasil kerja di tingkat tim (kinerja tim, pembelajaran tim, dan inovasi tim) dan tingkat individu (prestasi kerja, pembelajaran karyawan, dan perilaku kerja yang inovatif).
Menurut teori dukungan organisasi, ketika organisasi dianggap menghargai dan mendukung karyawan, maka akan memunculkan kepercayaan karyawan bahwa organisasi peduli terhadap kesejahteraan mereka (Eisenberger, Huntington, Hutchison, & Sowa, 1986).
Oleh karena itu, persepsi dukungan organisasi dapat bertindak sebagai bentuk dari niat baik organisasi (Lynch, Eisenberger & Armeli, 1999). Perilaku supervisor yang mendukung, seperti memberikan umpan balik yang bermanfaat atau bersedia untuk membahas tantangan tertentu di tempat kerja, mendorong karyawan untuk membentuk kembali batasan pekerjaan mereka (Leana, Appelbaum & Shevchuk, 2009). Berdasarkan logika ini, peluang terjadinya job crafting akan menjadi lebih besar jika ada dukungan dari organisasi. Selain itu, persepsi dukungan organisasi dapat memberikan karyawan dukungan emosional, harga diri yang positif, persetujuan, dan afiliasi (Lee & Peccei, 2007), yang semuanya dapat meningkatkan keterikatan kerja (Zacher & Winter, 2011).
Beberapa penelitian sebelumnya menggunakan persepsi dukungan organisasi sebagai variabel moderator dan melihat pengaruhnya dalam memoderasi job crafting dengan variabel lain. Cheng, Chen, Teng dan Yen (2016) menemukan bahwa bahwa dalam kondisi persepsi dukungan organisasi yang tinggi, membuat individual job crafting berpengaruh lebih besar terhadap kepuasan kerja, komitmen kerja dan kinerja karyawan. Penelitian lain oleh Cheng dan O-Yang (2018) menemukan bahwa persepsi dukungan organisasi dapat memoderasi hubungan job crafting terhadap burnout. Karyawan memandang dukungan organisasi sebagai sumber daya tambahan yang memungkinkan mereka untuk mencapai tujuan kerja. Persepsi dukungan organisasi yang tinggi dapat membantu karyawan untuk menghadapi tantangan
kerja dan mengurangi hambatan dengan menyediakan sumber daya tambahan dan memfasilitasi kerja sama di antara anggota kelompok.
Implikasi praktis pada penelitian Tims, Bakker dan Derks (2013) menyarankan bahwa dukungan dari organisasi atau manajer sebagai agen organisasi merupakan salah satu hal yang dibutuhkan untuk mendorong karyawan untuk mengambil inisiatif ketika mereka menginginkan pekerjaan yang lebih menantang atau mengurangi tuntutan pekerjaan yang menghambat. Dengan kata lain, manajer dapat memberi karyawan kesempatan untuk merancang pekerjaan mereka (melakukan job crafting) (Wrzesniewski & Dutton, 2001).
Organisasi tidak hanya memfasilitasi kesejahteraan karyawan dengan menyediakan sumber daya pekerjaan yang memadai dan tingkat permintaan pekerjaan yang optimal, namun organisasi juga harus menawarkan peluang untuk job crafting untuk meningkatkan keterikatan kerja karyawannya.
Job crafting pada dasarnya dilakukan atas dasar motivasi intrinsik yang dimiliki oleh karyawan untuk menciptakan kebermaknaan pada pekerjannya, menciptakan kesesuaian karyawan dengan pekerjaannya, keinginan untuk memenuhi hasrat (passion) dalam bekerja dan meningkatkan kemampuannya untuk menghadapi kesulitan (coping) di tempat kerja (Berg, Dutton, Wrzesniewski (2007). Keinginan karyawan untuk melakukan job crafting juga dapat meningkat jika karyawan menganggap bahwa mereka diberikan peluang untuk melakukan job crafting. Perilaku job crafting memiliki potensi untuk dilaksanakan di Bank Sumut. Hal ini didasarkan dari wawancara personal yang menyatakan bahwa perilaku- perilaku yang terdapat pada dimensi job crafting memiliki potensi untuk dilakukan karyawan seperti meningkatkan kompetensi dan keahlian, meminta saran kepada rekan kerja dan atasan, mempelajari hal baru terkait dengan pekerjaan, mengatur prioritas kerja untuk menghindari potensi beban kerja berlebih, dan perilaku lainnya. Ditambah lagi sejauh ini terdapat beberapa sumber daya yang disediakan oleh Bank Sumut untuk memfasilitasi
karyawan dalam melaksanakan pekerjannya, misalnya mendorong atasan untuk melakukan coaching, memberikan pelatihan yang dibutuhkan karyawan sesuai dengan kesenjangan (gap) kompetensinya, memberikan beasiswa pendidikan bagi karyawan berprestasi, melakukan kompetisi inovasi karyawan, meskipun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa hal yang belum efektif. Terdapat beragam respon karyawan atas fasilitas yang diberikan oleh Bank Sumut. Beberapa karyawan secara aktif ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh Bank Sumut, namun terdapat juga sejumlah karyawan menganggap bahwa sumber daya yang diberikan oleh perusahaan belum optimal, yang ditunjukkan dengan masih terdapat keluhan terkait dengan ketidakjelasan terkait penetapan promosi dan career path.
Peneliti menyadari bahwa diperlukannya pengujian dan analisa lebih lanjut tentang fenomena yang terjadi di Bank Sumut, terkait dengan bagaimana persepsi dukungan organisasi dapat mempengaruhi pengaruh antara job crafting dengan keterikatan kerja. Dalam penelitian ini persepsi dukungan organisasi digunakan sebagai variabel moderator yang bertujuan untuk mengetahui efeknya dalam memperkuat atau memperlemah pengaruh job crafting terhadap keterikatan kerja.
Berdasarkan penjelasan dan fenomena di atas, penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh job crafting terhadap keterikatan kerja dan untuk mengklarifikasi efek moderasi dari persepsi dukungan organisasi.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah job crafting memiliki pengaruh terhadap keterikatan kerja pada karyawan Bank Sumut Kantor Pusat?
2. Apakah persepsi dukungan organisasi dapat meningkatkan pengaruh job crafting terhadap keterikatan kerja pada karyawan Bank Sumut Kantor Pusat?
C. TUJUAN PENELITIAN
Berikut adalah tujuan dari penelitian ini, yaitu:
1. Menguji dan menganalisis secara empiris pengaruh job crafting terhadap keterikatan kerja pada karyawan Bank Sumut Kantor Pusat.
2. Menguji dan menganalisis secara empiris persepsi dukungan organisasi dalam meningkatkan pengaruh job crafting terhadap keterikatan kerja pada karyawan Bank Sumut Kantor Pusat.
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis
Menambah pengetahuan dan temuan terkait dengan keterikatan kerja, job crafting dan persepsi dukungan organisasi pada karyawan Bank Sumut, khususnya di Kantor Pusat dan dapat menjadi pendukung bagi penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak manajemen perusahaan berupa informasi atau wawasan tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keterikatan kerja dan untuk mengetahui tingkat job crafting, persepsi dukungan organisasi dan keterikatan kerja di Bank Sumut Kantor Pusat. Sehingga informasi tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan perusahaan dalam mengelola dan membuat kebijakan untuk meningkatkan keterikatan kerja, job crafting dan persepsi dukungan organisasi pada karyawan.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Berikut merupakan sistematika penulisan yang digunakan pada penelitian ini, terdiri dari:
Bab I Pendahuluan
Penulisan Bab I meliputi poin-poin berikut ini, yaitu latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II Landasan Teori
Bab II mencakup seluruh teori-teori yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian, yang terdiri dari definisi keterikatan kerja, dimensi keterikatan kerja, faktor yang mempengaruhi keterikatan kerja, definisi job crafting, dimensi-dimensi job crafting, definisi persepsi dukungan organisasi, aspek-aspek persepsi dukungan organisasi. Selain itu bab ini akan dijelaskan dinamika pengaruh job crafting terhadap keterikatan kerja serta dinamika persepsi dukungan organisasi dalam meningkatkan pengaruh job crafting terhadap keterikatan kerja.
Bab III Metode Penelitian
Selanjutnya, Bab III disusun untuk menjelaskan tentang metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Bab ini terdiri dari identifikasi variabel penelitian, penjelasan tentang definisi operasional masing-masing variabel penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel penelitian, teknik pengambilan sampel, metode pengumpulan daya, prosedur pelaksanaan penelitian, uji coba alat ukur serta metode analisis data.
Bab IV Hasil dan Pembahasan
Berisi hasil analisis data disertai dengan pembahasan. Hasil analisis data yang terdapat dalam bab ini adalah gambaran subjek penelitian, data kategorisasi, hasil penelitian serta pembahasan mengenai hasil penelitian.
Bab V Kesimpulan dan Saran
Berisi kesimpulan mengenai hasil penelitian serta saran baik secara metodologis, yaitu untuk penelitian selanjutnya maupun saran praktis yang diperuntukkan bagi perusahaan.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KETERIKATAN KERJA 1. Definisi Keterikatan Kerja
Kahn (1990) merupakah tokoh yang pertama sekali mengembangkan konsep keterikatan. Menurut Kahn (1990, 1992), keterikatan adalah kehadiran individu secara psikologis ketika ia melaksanakan perannya di dalam organisasi. Ketika orang merasa terikat maka ia akan mengekspresikan dirinya secara fisik, emosional, dan kognitif selama melakukan pekerjaannya. Karyawan yang merasakan keterikatan akan terikat secara fisik dalam pekerjaan mereka, cermat secara kognitif dan secara emosional terhubung dengan orang lain ketika melakukan pekerjaannya. Sedangkan karyawan yang tidak terikat, akan merasa terpisah dari pekerjaannya serta akan menyembunyikan identitas, pikiran, dan perasaan mereka yang sebenarnya selama melaksanakan pekerjaan (Olivier & Rothmann, 2007).
Terdapat dua karakteristik yang layak diperhatikan dalam konsep Kahn (1990) terkait dengan keterikatan kerja. Pertama, keterikatan kerja harus mengacu pada pengalaman karyawan selama ia melaksanakan tugas-tugas kerja daripada sikap karyawan terhadap kondisi kerja. Kedua, keterikatan kerja melibatkan investasi sumber daya pribadi dalam pekerjaan (Christian, Garza & Slaughter, 2011).
Rothbard (2001), yang terinspirasi dari Kahn (1990), mengambil perspektif yang sedikit berbeda dan mendefinisikan keterikatan sebagai konstruk motivasi dua dimensi yang mencakup perhatian (attention) yaitu ketersediaan kognitif dan total waktu yang digunakan seseorang untuk meninjau pekerjaannya dan penyerapan (absorption) yaitu intensitas fokus seseorang pada pekerjaannya.
Saks (2006) menyatakan keterikatan karyawan merupakan konstruk berbeda dan unik yang terdiri dari komponen kognitif, emosional, dan perilaku yang terkait dengan kinerja individu. Saks (2006) membedakan antara “keterikatan kerja” (melakukan peran kerja) dan
“keterikatan organisasi” (melakukan peran sebagai anggota organisasi).
Keterikatan kerja juga dikonseptualisasikan sebagai konsep yang berlawanan dari burnout (Maslach, Schaufeli & Leiter, 2001). Menurut Maslach, Schaufeli dan Leiter (2001), keterikatan ditandai oleh energi, keterlibatan, dan efikasi yang mana merupakan kebalikan langsung dari tiga dimensi burnout, yaitu kelelahan, sinisme, dan ketidakefisienan. Penelitian tentang keterikatan dan burnout menemukan bahwa dimensi inti keterikatan (energi dan keterlibatan) dan burnout (kelelahan dan sinisme) saling berlawanan antar satu sama lain (Gonzalez-Roma, Schaufeli, Bakker, Lloret, 2006).
Schaufeli, Salanova, González-Romá dan Bakker (2002) mendefinisikan keterikatan sebagai keadaan pikiran yang positif, adanya pemenuhan diri pada pekerjaan yang ditandai dengan semangat (vigor), dedikasi (dedication), dan penyerapan (absorption). Semangat (vigor) ditandai oleh tingkat energi dan ketahanan mental yang tinggi pada saat bekerja, keinginan untuk menginvestasikan upaya atau usaha dalam pekerjaan, serta memiliki kegigihan dalam menghadapi kesulitan dalam mengerjakan pekerjaannya. Tingkat energi yang ada pada aspek semangat (vigor) juga dapat mengacu pada tingkat upaya mental atau kekuatan mental yang dapat dilakukan individu untuk melakukan sesuatu. Dedikasi (dedication) ditunjukkan dengan rasa signifikansi, efikasi, rasa antusias, inspirasi, dan tantangan. Ini mengacu pada sisi emosional dari keterikatan kerja dan kemauan seseorang untuk menghabiskan banyak waktu dan upaya dalam melakukan sesuatu yang berarti.
Penyerapan (absorption) mengacu pada aspek kognitif di mana individu sepenuhnya terfokus pada sesuatu dan memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi saat melakukan tugas. Karyawan akan terlihat gembira dalam pekerjaannya, sehingga waktu tampaknya berlalu dengan cepat
(Coetzer & Rothmann, 2007). Schaufeli, Salanova, González-Romá dan Bakker (2002) lebih lanjut menyatakan bahwa keterikatan bukanlah keadaan sesaat dan spesifik, melainkan keadaan kognitif-afektif yang lebih persisten dan meresap yang tidak fokus pada objek, peristiwa, individu, atau perilaku tertentu.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian menggunakan definisi konsep keterikatan kerja yang dikemukakan oleh Schaufeli, Salanova, González-Romá dan Bakker (2002), yang mana keterikatan kerja adalah keadaan pikiran yang positif dan adanya pemenuhan diri dalam pekerjaan yang dikarakteristikkan dengan adanya semangat (vigor), dedikasi (dedication), dan absorpsi (absorption).
2. Aspek Keterikatan Kerja
Schaufeli, Bakker dan Salanova (2006) mengemukakan 3 aspek dari keterikatan kerja, yang terdiri dari semangat (vigor), dedikasi (dedication), dan penyerapan (absorption).
a. Semangat (vigor)
Semangat (vigor) dikarakteristikkan dengan energi dan resiliensi atau ketahanan mental level tinggi pada saat melaksanakan pekerjaan, ketulusan dalam menyerahkan usaha untuk suatu tugas atau pekerjaan, dan kegigihan meskipun dihadapkan dengan berbagai macam hambatan (Schaufeli, Bakker & Salanova, 2006). Karyawan dengan tingkat semangat (vigor) yang tinggi akan sangat termotivasi oleh pekerjaan mereka dan gigih ketika menghadapi kesulitan atau kerepotan di tempat kerja (Mauno, Kinnunen & Ruokolainen, 2007). Mereka yang mendapat skor tinggi pada aspek semangat (vigor) biasanya memiliki energi yang berlimpah, bersemangat dan memiliki stamina tinggi saat bekerja, sedangkan mereka yang mendapat skor rendah pada aspek semangat (vigor) memiliki energi, semangat dan stamina yang sedikit terkait pekerjaan mereka.
b. Dedikasi (dedication)
Dedikasi dikarakteristikkan sebagai keterlibatan yang kuat dari karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya serta memiliki rasa signifikansi, inspirasi, antusiasme, rasa bangga, dan tantangan dalam memandang pekerjaannya. Dimensi keterikatan kerja ini memiliki kesamaan konsep dengan konsep keterlibatan kerja (job involvement) yang lebih tradisional, yang telah didefinisikan sebagai sejauh mana seorang karyawan secara psikologis berhubungan dengan pekerjaan mereka dan dengan pekerjaan yang dilakukan di dalamnya (Mauno, Kinnunen & Ruokolainen, 2007). Karyawan yang tinggi pada aspek dedikasi sangat mengidentifikasikan diri dengan pekerjaannya karena menganggap pekerjaan sebagai sesuatu yang bermakna, menginspirasi dan menantang. Selain itu, merek juga biasanya merasa antusias dan bangga dengan pekerjaannya. Karyawan yang memiliki skor rendah tidak mengidentifikasikan diri dengan pekerjaan mereka karena mereka tidak mengalaminya menjadi bermakna, menginspirasi, atau menantang; selain itu, mereka tidak merasa antusias atau bangga dengan pekerjaan mereka.
c. Penyerapan (absorption)
Penyerapan (absorption) ditandai dengan konsentrasi penuh dan larut dalam pekerjaan, dimana ketika melakukan pekerjaannya seseorang akan merasa waktu berlalu dengan cepat dan memiliki kesulitan untuk melepaskan diri dari pekerjaannya. Karyawan yang memiliki tingkat penyerapan (absorption) yang tinggi sangat terlibat dalam kegiatan kerjanya sehingga tidak ada hal lain yang penting; pengalaman itu sendiri sangat menyenangkan sehingga orang akan melakukannya bahkan dengan biaya besar, murni demi melakukannya (Mauno, Kinnunen & Ruokolainen, 2007). Sebaliknya, karyawan yang mendapat skor rendah dalam aspek penyerapan (absorption) kurang merasa bahagia atau larut dalam pekerjaannya, mereka juga tidak merasa kesulitan untuk melepaskan pekerjaannya, serta tidak melupakan segala sesuatu di sekitar mereka, termasuk waktu ketika melaksanakan pekerjaannya.
3. Faktor-Faktor yang Mendorong Keterikatan Kerja
Berbagai penelitian sebelumnya telah menunjukkan beberapa faktor yang dapat mendorong munculnya keterikatan kerja. Berikut adalah rangkuman dari yang dapat mempengaruhi munculnya keterikatan kerja dari berbagai penelitian, diantaranya:
a. Faktor Eksternal
1) Job Demand-Resource Model (JD-R Model)
Model job demands-resources (JD-R) membagi karakteristik kerja ke dalam tuntutan pekerjaan (job demands) dan sumber daya pekerjaan (job resources) (Bakker &
Demerouti, 2007). Tuntutan pekerjaan didefinisikan sebagai fitur fisik, psikologis, sosial ataupun organisasi dari suatu pekerjaan yang menuntut keberlangsungan usaha baik secara fisik maupun psikologis dari seorang karyawan yang berdampak dalam pengeluaran fisiologis serta psikologis karyawan tersebut. Sedangkan sumber daya pekerjaan mengacu pada fitur fisik, psikologis, sosial ataupun organisasi dari suatu pekerjaan yang fungsional dimana pekerjaan tersebut menolong pencapaian tujuan bekerja, mengurangi tuntutan pekerjaan serta hal yang berhubungan dengan pengeluaran fisiologis-psikologis, dan menstimulasi pertumbuhan personal, pembelajaran, dan pengembangan (Bakker & Demerouti, 2008). Bakker dan Demerouti (2007) menyatakan sumber daya pekerjaan dapat terletak di level organisasi (misalnya gaji, akses sumber daya, kesempatan karier, dan keamanan kerja), pada level hubungan interpersonal dan sosial karyawan (misalnya, dukungan supervisor dan rekan kerja, serta iklim kelompok), di level organisasi (misalnya kejelasan peran dan partisipasi dalam pengambilan keputusan) dan di level tugas (misalnya keragaman keterampilan, otonomi, umpan balik kinerja, dan signifikansi tugas). Sumber daya pekerjaan telah ditemukan sebagai prediktor terkuat dari keterikatan kerja (Bakker & Demerouti., 2008; Mauno, Kinnunen & Ruokolainen,
2007; Rothmann & Jordaan, 2006; Schaufeli & Bakker, 2004), terutama jika karyawan memiliki tuntutan pekerjaan yang tinggi (Bakker & Demerouti, 2008;
Rothmann & Jordaan, 2006).
2) Organizational Trust
Karyawan akan lebih terlibat dalam pekerjaan mereka jika mereka memiliki kepercayaan organisasi yang lebih tinggi dan iklim kepercayaan dapat memainkan peranan penting dalam meningkatkan keterikatan kerja (Chughtai & Buckley, 2008).
3) Reward
Reward dibedakan menjadi reward yang bersifat moneter dan non-moneter (Manus, Graham, 2003). Reward dapat digunakan untuk memperkuat keterlibatan karyawan terhadap pekerjaan mereka (Scott, 2010). Karyawan akan menunjukkan tingkat keterikatan yang tinggi ketika mereka menerima sejumlah hadiah atau manfaat dari organisasi (Saks, 2006).
4) Persepsi Dukungan Organisasi
Beberapa penelitian secara empiris telah menemukan adanya pengaruh positif antara persepsi dukungan organisasi dan keterikatan kerja karyawan (Kinnunen, Feldt, &
Makikangas, 2008; Sulea, Virga, Maricutoiu, Schaufeli, Dumitru, & Sava, 2012).
Persepsi dukungan organisasi dapat mempengaruhi keterikatan karyawan karena persepsi dukungan organisasi membantu karyawan memenuhi kebutuhan sosial emosional (afiliasi, penghargaan, persetujuan), dan memberi sinyal ketersediaan bantuan saat dibutuhkan. Sehingga ketika karyawan merasa bahwa organisasi memberikan dukungan positif, maka karyawan akan mengarahkan energi pada pekerjaannya.
b. Faktor Internal 1) Personal Resource
Personal Resource merupakan penilaian diri yang positif dan terkait dengan resiliensi dan mengacu pada kemampuan seseorang untuk mengendalikan serta memberikan pengaruh pada lingkungan mereka (Xanthopoulou, Bakker, Demerouti & Schaufeli, 2009). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tingkat psychological capital individu (self-efficacy, harapan, optimisme dan resiliensi) dapat meningkatkan keterikatan kerja dan mengurangi burnout, dan juga menyatakan bahwa karyawan yang terikat lebih mampu mengatasi tuntutan, mencapai tujuan, dan mengungguli karyawan yang tidak terikat (Bakker & Demerouti, 2008; Herbert, 2011; Malinowski
& Lim, 2015; Shoji, Cieslak, Smoktunowicz, Rogala, Benight, & Luszczynska, 2015).
2) Job Crafting
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa job crafting dapat mempengaruhi keterikatan kerja (Tims, Bakker, & Derks, 2013; Petrou, Demerouti & Schaufeli, 2016). Karyawan yang mengatur atau mengelola pekerjaan mereka, mengalami tingkat keterikatan kerja yang lebih tinggi.
B. JOB CRAFTING
1. Definisi Job Crafting
Konsep job crafting pada dasarnya berasal dari ide yang dikemukakan oleh Kulik, Oldham, dan Hackman (1987) yang menyatakan job crafting sebagai inisiatif karyawan dalam mendesain ulang pekerjaannya dengan maupun tanpa keterlibatan manajemen.
Wrzesniewski dan Dutton (2001) mendefinisikan job crafting sebagai bentuk perubahan yang dilakukan karyawan baik secara fisik maupun kognitif dalam melaksanakan tugas serta dalam
hubungan kerja. Perubahan fisik ditandai dengan perubahan dalam bentuk, ruang lingkup atau jumlah pekerjaan dan relasi di tempat kerja, sedangkan perubahan kognitif merupakan perubahan cara seseorang memandang pekerjaannya. Dengan membentuk kembali elemen- elemen yang disebutkan di atas, secara garis besar karyawan dapat membentuk pekerjaan mereka dan lingkungan sosial tempat mereka bekerja.
Menurut Leana, Appelbaum, dan Shevchuk (2009), job crafting memiliki dua jenis:
individual job crafting dan collaborative job crafting. Dalam individual job crafting, karyawan secara aktif membentuk batas-batas tugas mereka dan cara kerja mereka.
Sebaliknya, collaborative job crafting, karyawan bekerja bersama untuk merevisi proses kerja.
Tims, Bakker, dan Derks (2012) mengemukakan bahwa job crafting adalah perubahan atas inisiatif pribadi yang dilakukan oleh karyawan dalam hal mengubah sumber daya pekerjaan dan tuntutan pekerjaan mereka untuk mencapai atau mengoptimalkan tujuan pekerjaan mereka. Konsep job crafting yang dikemukakan oleh Tims, Bakker dan Derks (2012) menggunakan model job demand-resource (JD-R). Model JD-R menyatakan bahwa semua karakteristik pekerjaan dapat dibagi dalam 2 kategori besar yaitu tuntutan pekerjaan atau sumber daya pekerjaan. Menurut Tims, Bakker dan Derks (2012), karyawan dapat terlibat dalam job crafting dalam empat cara, yaitu, dengan meningkatkan sumber daya pekerjaan sosial, meningkatkan sumber daya pekerjaan struktural, meningkatkan tuntutan kerja yang menantang, dan mengurangi tuntutan kerja yang menghambat. Job crafting dianggap sebagai perubahan perilaku yang bersifat aktif dan nyata, oleh sebab itu Tims, Bakker, dan Derks (2012) tidak menyertakan dimensi kognitif dalam konsep job crafting.
Berdasarkan pemaparan definisi di atas, maka diambil kesimpulan bahwa job crafting adalah bentuk perubahan atas insiatif pribadi yang dilakukan karyawan dalam hal mengelola
tuntutan pekerjaan dan sumber daya pekerjaan guna mencapai dan mengoptimalkan tujuan pekerjaan mereka.
2. Dimensi Job Crafting
Tims, Bakker dan Derks (2013) mengemukakan dimensi job crafting, antara lain:
a. Meningkatkan sumber daya pekerjaan struktural (increasing structural job resources), yakni mengoptimalisasi sumber daya dari pekerjaan dengan cara menegaskan pada hal-hal atau atribut yang dianggap karakter inti dari sebuah pekerjaan. Misalnya, kapasitas teknis, profesionalitas, kemauan belajar atau kemampuan mengambil keputusan. Dengan mengoptimalisasi sumber daya pekerjaan struktural karyawan dapat mencapai pengembangan dan pertumbuhan dalam pekerjaannya.
b. Meningkatkan sumber daya pekerjaan sosial (increasing social job resources), yakni mengoptimalisasi sumber daya sosial, atau hubungan-hubungan yang terbangun dalam ruang lingkup pekerjaan. Adanya hubungan atau jejaring di tempat kerja dapat memberikan dukungan kepada karyawan, baik untuk mendapatkan informasi baru, ataupun dalam mengevaluasi pencapaian personal. Meningkatkan sumber daya sosial memiliki dampak lebih besar pada aspek sosial pekerjaan dan karyawan yang melakukannya dapat mencapai tingkat interaksi yang memuaskan. Contoh perilaku dari dimensi ini adalah meminta umpan balik dan coaching dari atasan, meminta saran serta nasihat dari rekan kerja.
c. Meningkatkan tuntutan pekerjaan yang menantang (increasing challenging job demands), adanya tantangan dapat memunculkan upaya-upaya khusus dari karyawan untuk menyelesaikannya. Pekerjaan yang kurang menstimulasi dapat menimbulkan kebosanan sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan ketidakpuasan pada karyawan (Kass, Vodanovich, & Callender, 2001). Oleh sebab itu, penting bagi karyawan untuk
memiliki tingkat job demand yang memadai. Tuntutan pekerjaan yang menantang dapat merangsang karyawan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka atau untuk mencapai tujuan yang lebih sulit (LePine, Podsakoff, & LePine, 2005). Meskipun untuk melakukan tuntutan pekerjaan yang menantang membutuhkan upaya ekstra, namun karyawan cenderung bereaksi positif terhadap jenis tuntutan pekerjaan ini. Karyawan memandang tuntutan pekerjaan yang menantang sebagai mengarah pada keuntungan atau pertumbuhan pribadi ketika mereka mampu mengatasinya. Dimensi tuntutan pekerjaan yang menantang dapat mencakup perilaku, seperti mencari tugas-tugas baru yang menantang di tempat kerja, mencari kesibukan selama satu hari kerja, atau meminta lebih banyak tanggung jawab setelah seseorang selesai dengan tugas yang ditugaskan.
d. Menurunkan/menghindari tuntutan pekerjaan yang menghambat (decreasing hindering job demands), dimensi ini mengacu pada perilaku yang dilakukan karyawan untuk menghindari proses pengambilan keputusan yang sulit, mereduksi potensi beban kerja berlebihan, ataupun meminimalisir kontak atau relasi dengan individu (rekan atau pelanggan) yang bermasalah. Karyawan dapat secara proaktif menurunkan tuntutan pekerjaan ketika mereka merasa bahwa tuntutan pekerjaan mereka sangat tinggi. Paparan berkepanjangan terhadap tuntutan kerja yang tinggi dan kombinasi dengan tingkat sumber daya pekerjaan yang rendah dapat menyebabkan konsekuensi kesehatan yang negatif seperti kelelahan (Bakker, Demerouti &
Euwema, 2005; Schaufeli, Bakker, & Van Rhenen, 2009).
3. Dampak Job Crafting
Job crafting memiliki pengaruh terhadap beberapa variabel, antara lain:
a. Kinerja karyawan
Job crafting memungkinkan karyawan untuk mengoptimalkan tuntutan dan sumber daya yang tersedia bagi mereka yang kemudian mengarahkan mereka untuk memenuhi tujuan spesifik pekerjaan mereka (Tims, dkk., 2013). Karyawan yang mengubah pekerjaannya memiliki kinerja yang lebih tinggi daripada karyawan yang tidak melakukan perubahan dalam pekerjaannya (Tims, dkk., 2013). Karyawan yang siap untuk mengambil tugas tambahan (meningkatkan tuntutan pekerjaan yang menantang) dapat memenuhi kebutuhan psikologisnya yang pada akhirnya dapat memotivasi karyawan tersebut untuk meningkatkan kinerja (Ryan & Deci, 2001).
b. Person-job fit
Literatur menunjukkan bahwa karyawan yang secara proaktif mengubah aspek pekerjaan mereka (job crafting) lebih mungkin mengalami person-job fit. Tims, Derks, Bakker (2016) menyatakan bahwa meningkatkan sumber daya pekerjaan baik sosial maupun struktural, meningkatkan tuntutan pekerjaan yang menantang dan mengurangi tuntutan pekerjaan yang menghambat dapat menghasilkan pekerjaan yang sesuai dengan pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan kebutuhan karyawan. Hal serupa juga ditemukan pada penelitian Chen, Yen dan Tsai (2014) dan Lu, Wang, Lu, Du dan Bakker (2014) yg menemukan bahwa job crafting dapat membentuk person–job fit yang lebih baik dari waktu ke waktu.
c. Komitmen Organisasi
Ghitulescu (2007) menemukan hubungan positif antara job crafting dan komitmen organisasi. Cheng, dkk (2016) juga melakukan penelitian terkait job crafting. Dan komitmen kerja pada pemimpir tur dan menemukan bahwa job crafting memiliki hubungan dengan komitmen organisasi. Lebih lanjut Cheng, dkk (2016) menyatakan job crafting memungkinkan pemimpin tur untuk mengubah tugas dan batasan
relasional pekerjaan mereka untuk menciptakan identitas kerja dan tugas yang bermakna.
d. Keterikatan Kerja
Hakanen, Bakker dan Demerouti (2005) menemukan bahwa, khususnya, kombinasi tuntutan pekerjaan yang tinggi (tekanan kerja, tuntutan emosional) dan sumber daya pekerjaan yang tinggi (variabilitas dalam keterampilan profesional yang dibutuhkan, kontak rekan) dapat memfasilitasi keterikatan kerja. Selain itu, dalam studi di kalangan manajer dan eksekutif perusahaan telekomunikasi Belanda, Schaufeli, Bakker dan Van Rhenen (2009) menemukan bahwa perubahan sumber daya pekerjaan dapat mempredikti keterikatan selama lebih dari satu tahun. Tindakan proaktif oleh individu yang memobilisasi (dan meningkatkan) sumber daya pekerjaan, meningkatkan tuntutan pekerjaan yang menantang dan mengurangi tuntutan pekerjaan yang menghambat akan mengarah pada keterikatan kerja (Bakker, Tims & Derks, 2012; Petrou, Demerouti & Schaufeli, 2015; Tims, Bakker & Derks, 2012; 2013).
C. PERSEPSI DUKUNGAN ORGANISASI 1. Definisi Persepsi Dukungan Organisasi
Persepsi dukungan organisasi diartikan sebagai kepercayaan umum dimana karyawan merasa bahwa kontribusi mereka dihargai oleh organisasi dan organisasi peduli terhadap kesejahteraan mereka (Krishnan & Mary, 2012; Rhoades & Eisenberger, 2002). Persepsi dukungan organisasi merupakan keyakinan karyawan atas sejauh mana organisasi dapat memenuhi kebutuhan sosial-emosional mereka, dan bagaimana organisasi menanggapi peningkatan usaha mereka di tempat kerja (Eisenberger, Huntington, Hutchison & Sowa, 1986).
Teori Dukungan Organisasi merupakan teori dasar dari persepsi dukungan organisasi (Eisenberger, Huntington, Hutchison & Sowa, 1986). Karyawan mencoba menentukan kesediaan organisasi untuk menghargai upaya mereka dan memenuhi kebutuhan mereka dengan membuat kesimpulan tentang tingkat dukungan organisasi yang mereka rasakan (Eisenberger, Huntington, Hutchison & Sowa, 1986). Menurut teori tersebut, karyawan mengembangkan beberapa tingkat persepsi dukungan organisasi berdasarkan perlakuan yang diberikan organisasi terhadap mereka. Baik atau buruknya perlakuan organisasi kepada karyawan akan membuat karyawan tersebut mengatribusikan tentang mengapa organisasi memperlakukan mereka dengan cara tersebut. Karyawan yang menganggap bahwa organisasi memperlakukan mereka dengan baik karena rasa tulus terhadap kesejahteraan mereka karena itu cenderung mengembangkan persepsi dukungan organisasi tinggi.
Teori dukungan organisasi juga sebagian berasal dari teori pertukaran sosial, yang menjelaskan pertukaran barang atau jasa – berwujud atau tidak berwujud – antar individu (Blau, 1964). Individu termotivasi untuk memasuki dan mengembangkan hubungan dengan orang lain ketika hubungan itu menjanjikan sesuatu yang berharga sebagai balasannya (Blau, 1964). Hubungan berkualitas tinggi, saling menguntungkan berkembang dari waktu ke waktu hanya ketika pihak mematuhi norma yang diterima, atau “aturan pertukaran” (Cropanzano &
Mitchell, 2005). Prinsip-prinsip teori pertukaran sosial untuk organisasi dapat diterapkan dengan melihat hubungan kerja sebagai seorang karyawan menawarkan upaya dan kesetiaan dalam pertukarannya untuk mendapatkan imbalan dari organisasi. Imbalan ini dapat berwujud (gaji, manfaat, promosi) atau sosial (pengakuan, dukungan, harga diri). Dengan menawarkan hadiah atau dengan memberikan perlakuan positif kepada karyawan, organisasi dapat meningkatkan persepsi dukungan organisasi karyawan dan memfasilitasi norma timbal balik, yang merupakan harapan sosial bahwa ketika individu menerima perlakuan positif dari orang lain, maka ia harus mengembalikan, atau membalas bantuan tersebut (Gouldner, 1960).
Oleh sebab itu, ketika karyawan merasakan dukungan dari organisasi, maka hal tersebut dapat membuat karyawan terdorong untuk membalas perlakuan baik tersebut dengan cara menunjukkan komitmen dan upaya yang lebih besar pada pekerjaannya.
Berdasarkan penjelasan definisi persepsi dukungan organisasi di atas, maka dapat diambil kesimpulan persepsi dukungan organisasi merupakan kepercayaan umum karyawan atas sejauh mana organisasi memenuhi kebutuhan sosial-emosional karyawan, dan bagaimana organisasi menanggapi peningkatan usaha karyawan di tempat kerja.
2. Aspek Persepsi Dukungan Organisasi
Rhoades dan Eisenberger (2002) mengemukakan bahwa terdapat 2 aspek utama dari persepsi dukungan organisasi yang digunakan dalam pengukuran, yaitu:
a. Penghargaan atas kontribusi karyawan (valuation of employee contribution), yaitu penghargaan perusahaan atau organisasi terhadap upaya yang telah dilakukan karyawan yang mana dapat ditunjukkan melalui pengakuan dan rekognisi, gaji dan promosi, dan aksesn informasi atau bentuk lainnya yang diperlukan bagi karyawan untuk melakukan pekerjaannya dengan baik.
b. Kepedulian terhadap kesejahteraan karyawan (care about employee well-being), kepedulian atau perhatian yang dimaksud dalam aspek ini dapat berupa perhatian terhadap kesejahteraan karyawan, mendengarkan pendapat, saran atau keluhan dari karyawan dan memperhatikan pekerjaan karyawan.
3. Dampak Persepsi Dukungan Organisasi
Persepsi dukungan organisasi memiliki pengaruh terhadap beberapa variabel, antara lain:
a. Intensi turnover
Penelitian Madden, Mathias dan Madden (2015) menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif persepsi dukungan organisasi dengan intensi turnover. Hal ini mendukung penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa perasaan dihargai oleh organisasi yang dirasakan karyawan membuat mereka membalasnya dengan cara yang positif kepada organisasi (Anand, Vidyarthi, Linden & Rosseau, 2010;
Eisenberger, Huntington, Hutchison & Sowa, 1986).
b. Kesejahteraan kerja
Persepsi dukungan organisasi memiliki dampak positif terhadap kesejahteraan kerja karyawan (Imtiaz, Farooq, Hashmi & Aain, 2018). Karyawan yang memiliki persepsi dukungan organisasi positif lebih percaya diri dan termotivasi untuk melakukan pekerjaan mereka masing-masing yang mengarah pada kepuasan. Sehingga ketika karyawan merasa ia didukung oleh organisasi maka ia akan semakin puas pada pekerjaannya (Eisenberger, dkk, 1986).
c. Komitmen kerja
Penelitian Riggle, Solomon dan Artis (2015) menunjukkan bahwa persepsi dukungan organisasi memiliki pengaruh yang kuat terhadap komitmen kerja karyawan. Dengan memenuhi tuntutan sosial-emosional, persepsi dukungan organisasi dapat meningkatkan hubungan karyawan dengan organisasi yang pada akhirnya dapat menghasilkan komitmen organisasi afektif yang unggul (Nica, 2016).
d. Withdrawal behavior
Absensi, sejenis withdrawal behavior, melibatkan karyawan yang kehilangan pekerjaan baik secara sukarela atau tidak sukarela (Eder & Eisenberger, 2008). Studi menemukan persepsi dukungan organisasi sebagai prediktor absensi telah menunjukkan korelasi yang cukup kuat dan negatif di antara mereka (Rhoades &
Eisenberger, 2002). Sehubungan dengan persepsi dukungan organisasi, mereka yang percaya bahwa organisasi mereka peduli dengan mereka cenderung membalas dengan hadir di tempat kerja (Rhoades & Eisenberger, 2002).
e. Keterikatan Kerja
Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan pengaruh persepsi dukungan organisasi terhadap keterikatan kerja (Saks, 2006; Dabke & Patole, 2014; Rhoades &
Eisenberger, 2002; Bano, Vyas & Gupta, 2015). Penelitian telah menunjukkan bahwa karyawan dengan persepsi dukungan organisasi yang tinggi memiliki kecenderungan untuk lebih terikat dengan pekerjaan dan organisasi, sebagai bagian dari norma timbal balik teori pertukaran sosial untuk membantu organisasi mencapai tujuannya (Rhoades, Eisenberger & Armeli, 2001). Ugwu dan Ogwuche (2013) menyelidiki hubungan antara persepsi pelanggaran kontrak psikologis, persepsi dukungan organisasi, dan keterlibatan kerja dengan menggunakan 218 karyawan dari 11 bank komersial di Nigeria. Penelitian tersebut mengidentifikasi hubungan yang signifikan antara persepsi dukungan organisasi dan keterikatan kerja.
D. DINAMIKA ANTAR VARIABEL
1. Pengaruh Job Crafting Terhadap Keterikatan Kerja
Terdapat beberapa hal yang dapat menjadi antesenden dari keterikatan kerja, salah satunya adalah job crafting (De Beer, Tims & Bakker, 2016). Job crafting adalah perilaku
proaktif dan inisiatif personal karyawan. Karyawan yang melakukan job crafting akan menjadi lebih termotivasi untuk menyelesaikan pekerjaan mereka dan menunjukkan keterikatan kerja yang lebih tinggi (Petrou, Demerouti, Peeters, Schaufeli & Hetland, 2012).
Pada dasarnya, job crafting dilakukan karyawan untuk menciptakan kesesuaian yang lebih baik antara tujuan personal dan pekerjaannya. Ketika karyawan memiliki kesesuaian yang baik antara tujuan dan pekerjaannya maka dapat menghasilkan makna kerja yang positif (keterikatan kerja) (Wrzesniewski & Dutton, 2001).
Model JD-R juga dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan job crafting terhadap keterikatan kerja (Tims, Bakker & Derks, 2012). Model JD-R menjelaskan bagaimana kesejahteraan karyawan, yang mana termasuk di dalamnya keterikatan kerja, dapat dibentuk oleh dua set karakteristik pekerjaan, tuntutan pekerjaan (job demand) dan sumber daya pekerjaan (job resource) tertentu (Bakker, Tims, & Derks, 2012). Tuntutan pekerjaan merupakan segala aspek fisik, psikologis, sosial dan organisasi dari suatu pekerjaan yang menuntut kesinambungan upaya dari karyawan yang mana dapat berpengaruh baik bagi fisik maupun psikologis karyawan. Contoh tuntutan pekerjaan adalah beban kerja dan tekanan waktu. Sumber daya pekerjaan merupakan segala aspek fisik, sosial, dan organisasi dari suatu pekerjaan yang dapat membantu karyawan melakukan: (a) fungsional dalam mencapai tujuan kerja; (b) mengurangi tuntutan pekerjaan dan dampaknya secara fisiologis dan psikologis;
serta (c) mendorong perkembangan dan pertumbuhan pribadi karyawan (Demerouti, Bakker, Nachreiner & Schaufeli, 2001). Contoh sumber daya pekerjaan adalah dukungan sosial dan menciptakan otonomi dalam bekerja.
Menurut Bakker, Tims dan Derks (2012), job crafting yang dilakukan karyawan dalam memobilisasi (dan meningkatkan) sumber daya pekerjaan, mengurangi tuntutan pekerjaan yang menghambat, dan meningkatkan aspek pekerjaan yang menantang, akan mengarah pada keterikatan kerja.