• Tidak ada hasil yang ditemukan

KLAUSULA BAKU TENTANG PEMBERIAN KUASA DIHUBUNGKAN DENGAN HUKUM POSITIF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KLAUSULA BAKU TENTANG PEMBERIAN KUASA DIHUBUNGKAN DENGAN HUKUM POSITIF"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.24 1

KLAUSULA BAKU TENTANG PEMBERIAN KUASA DIHUBUNGKAN DENGAN HUKUM POSITIF

Dika Ratu Marfu’atun1

1Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Painan Email: ratudikamarfuatun@gmail.com

Abstrak

Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Dalam pembuatan klausula baku terdapat syarat-syarat yang bertujuan untuk memberikan perlindugan terhadap konsumen dan pelarangan pemberian kuasa secara sepihak dari konsumen kepada pelaku usaha. Beberapa peraturan perundang- undangan mengatur tentang pemberian kuasa dalam kalusula baku salah satunya yaitu Pasal 1792 KUHPerdata, Pasal 18 UUPK dan Pasal 22 POJK Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier sehingga memperoleh gambaran tentang klausula baku tentang pemberian kuasa dihubungkan dengan hukum positif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kuasa merupakan suatu perjanjian, yaitu persetujuan kedua belah pihak. Perjanjian dikatakan sah apabila memenuhi syarat- syarat sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata yakni sepakat, cakap, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal, tetapi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Kata Kunci: Klausula Baku, Pemberian Kuasa, Hukum Positif

(2)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.24 2

A. PENDAHULUAN

Pemberian kuasa adalah suatu perbuatan hukum yang bersumber pada persetujuan atau perjanjian yang sering kita lakukan dalam kehidupan sehari- hari, oleh karena bermacam- macam alasan, di samping kesibukan sehari-hari sebagai anggota masyarakat yang telah maju (modern), sehingga tindakan memberi atau menerima kuasa, perlu dilakukan untuk menyelesaikan salah satu atau beberapa masalah tertentu.

Pemberian kuasa juga bisa diartikan sebagai suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kuasa kepada pihak yang lain (penerima kuasa), yang menerimanya untuk atas namanya sendiri atau tidak menyelenggaraka satu perbuatan hukum atau lebih untuk yang memberi kuasa itu. Pemberian kuasa dalam ketentuan pencantuman klausula baku pada prinsipnya diperbolehkan tetapi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang- undangan seperti tercantum dalam

Pasal 18 ayat (1) huruf d UUPK menyatakan bahwa:

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran”.

Penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan, tujuan dari larangan pencantuman klausula baku yaitu bahwa larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak, karena pada dasarnya, hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Dalam hal ini setiap pihak yang mengadakan perjanjian bebas membuat perjanjian sepanjang isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban umum (lihat Pasal 1337 KUHPerdata). Artinya bahwa klausula baku tentang pemberian kuasa diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

(3)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.24 3

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk membuat jurnal dengan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana ketentua klausula baku tentang pemberian kuasa dihubungkan denan hukum positif?

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier sehingga memperoleh gambaran tentang klausula baku tentang pemberian kuasa dihubungkan dengan hukum positif.

B. PEMBAHASAN

Pengertian klausula baku terdapat dalam Pasal 1 angka 10 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan: “Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat- syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.

Klausula baku pada dasarnya dapat diberlakukan dalam perjanjian kredit, tetapi harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah Pasal 1792 KUHPerdata, Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemberian Konsumen, serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pasal 22 POJK Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Klausula baku yang tercantum dalam perjanjian kredit tentu harus disesuaikan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, ketentuan tersebut salah satunya tertuang dalam Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebagai berikut:

Pasal 18

1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

(4)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.24 4

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.

Penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa: “Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak”.Bentuk perjanjian kredit perbankan adalah berbentuk perjanjian standar yang syarat-syaratnya ditentukan oleh pihak bank. Pasal 18 ayat (1) UUPK memberikan syarat-syarat pembuatan klausula baku yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Pasal 18 ayat (1) huruf d UUPK dinyatakan

(5)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.24 5

pelarangan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha secara sepihak baik langsung maupun tidak langsung.

Perjanjian harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dan asas-asas yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, seperti halnya asas kebebasan berkontrak yang dasar hukumnya terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang artinya para pihak dalam perjanjian diberi hak untuk membuat dan mengatur sendiri isi dari perjanjian namun harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, selama tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, dan perjanjian tersebut dilakukan dengan itikad baik. Melalui asas kebebasan berkontrak, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan, selama prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang.

Perjanjian yang didalamnya terdapat klausula baku pada dasarnya bertujuan untuk mempemudah para pihak yang bertransaksi, karena akan sulit bila Bank harus melakukan negosiasi tentang isi perjanjian pada setiap orang yang hendak menjadi debitur, selain menguras tenaga dan pikiran juga akan memakan waktu yang cukup lama. Dalam kontrak baku telah diuraikan secara jelas tentang hak maupun kewajiban dari masing-masing pihak. Masalah akan timbul apabila dalam prakteknya pihak bank justru memanfaatkan hal tersebut untuk menekan debitur dengan membuat klausula yang memberatkan debitur yang kemudian mengakibatkan ketidakseimbangan posisi tawar-menawar diantara mereka, dalam hal ini Bank berada dalam posisi kuat karena memiliki dana yang dibutuhkan, sedangkan debitur berada dalam posisi lemah lemah karena berkedudukan sebagai pihak yang harus menandatangani perjanjian kredit dikarenakan kebutuhan akan kredit.

Pemberian kuasa diatur dalam Pasal 1792 KUHPerdata, yang menyebutkan pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa. Undang- Undang Perlindungan Konsumen bertujuan untuk melindungi kepentingan konsumen agar konsumen mendapatkan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi. Kesadaran, kemampuan, dan kemandirian nasabah debitur untuk melindungi diri dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan dan memahami klausula-klausula baku yang tercantum dalam perjanjian kredit sehingga nasabah debitur mengetahui dengan jelas apa saja yang menjadi hak dan kewajibannya.

(6)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.24 6

Pelaku usaha dalam menentukan ketentuan dan syarat dalam perjanjian kredit harus taat pada aturan Undang-Undang perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat (1) tentang ketentuan pencantuman klausula baku agar tidak menimbulkan kerugian pada nasabah. Pelaku usaha harus memperhatikan hak hak para nasabah, tetapi dalam prakteknya pelaku usaha tidak menaati aturan Undang-Undang perlindungan Konsumen.

Pasal 18 ayat (1) Undang- Undang Perlindungan Konsumen, bahwasanya pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran

Klausula baku dalam perjanjian kredit bank yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen khususnya Pasal 18 yang mengatur tentang klausula baku, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan klausula baku adalah setiap peraturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih

(7)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.24 7

dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, berdasarkan hal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa klausula tersebut membebankan kewajiban-kewajiban kepada nasabah debitur yang bertujuan untuk melindungi kepentingan kreditur. Sejak nasabah berhubungan dengan bank pertama kali, hubungan tersebut dirasa tidak imbang. Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi nasabah melalui ketentuan mengenai tata cara pencantuman klausula baku yang ketentuan dan syarat- syaratnya telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha kemudian dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Otorotas Jasa Keuangan (OJK) juga mengatur tentang pelarangan pemberian kuasa secara sepihak yang kemudian tertuang dalam POJK Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Pasal 22, yang menyatakan:

Pasal 22:

1. Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menggunakan perjanjian baku, perjanjian baku tersebut wajib disusun sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2. Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk digital atau elektronik untuk ditawarkan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan melalui media elektronik.

3. Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang digunakan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen;

b. menyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh Konsumen atas produk dan/atau layanan yang dibeli;

c. menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh Konsumen, kecuali

(8)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.24 8

tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan perundang- undangan;

d. mengatur tentang kewajiban pembuktian oleh Konsumen, jika Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen, bukan merupakan tanggung jawab Pelaku Usaha Jasa Keuangan;

e. memberi hak kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk mengurangi kegunaan produk dan/atau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi obyek perjanjian produk dan layanan;

f. menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam masa Konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang dibelinya; dan/atau

g. menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen secara angsuran.

Pemberian Kredit menurut Undang-Undang Perbankan adalah salah satu kegiatan usaha yang sah bagi Bank Umum dan Perkreditan Rakyat. Kedua jenis bank tersebut merupakan badan usaha penyalur dana kepada masyarakat dalam bentuk pemberian kredit di samping lembaga keuangan lainnya dimna ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Undang-undang tersebut menetapkan “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

Berdasarkan pengertian kredit yang ditetapkan oleh undang-undang sebagaimna tersebut di atas, suatu pinjam-meminjam uang akan digolongkan sebagai kredit perbankan sepanjang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut.

1. Adanya penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang;

(9)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.24 9

2. Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain;

3. Adanya kewajiban melunasi utang;

4. Adanya jangka waktu tertentu;

5. Adanya pemberian bunga kredit.

Kelima unsur yang terdapat dalam pengertian kredit sebagaimana yang disebutkan di atas harus dipenuhi bagi suatu pinjaman uang untuk dapat pula digunakan untuk kegiatan perutangan lainnya di masyarakat, hendaknya untuk istilah kredit dalam kegiatan perbankan selalu dikaitkan dengan pengertian yang ditetapkan oleh ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan yang memuat unsur-unsur kredit,yaitu terdiri dari:

1. Kepercayaan yaitu kredit diberikan atas dasar kepercayaan;

2. Waktu maksudnya adalah kredit selalu ada jangka waktunya;

3. Risiko yaitu setiap kredit selalu mengandung unsur risiko;

4. Prestasi adalah kredit mengandung prestasi berupa pembayaran bunga.

Bank harus merasa yakin bahwa fasilitas kredit yang diberikan kepada calon penerima kredit benar-benar akan kembali. Hal tersebut dikarenakan bank ingin memperkecil adanya risiko yang timbul. Keyakinan tersebut diperoleh dari hasil penilaian kredit sebelum kredit tersebut disalurkan. Penilaian kredit oleh bank dapat dilakukan dengan berbagai cara untuk mendapatkan keyakinan tentang calon debiturnya, seperti melalui prosedur penilaian yang benar Penilaian yang dilakukan oleh bank tersebut sesuai dengan prinsip kehati-hatian guna mengurangi adanya risiko yang akan timbul dikemudian hari.Perwujudan dari pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam rangka pemberian kredit tercermin dalam kriteria-kriteria yang dinamakan “The Five C’s Principle of Credit Analysis”.

Adapun penjelasan tentang analisis dengan 5C adalah sebagai berikut:

1. Character, yang bermakna watak, sifat, kebiasan debitur (pihak yang berutang) sangat berpengaruh pada pemberian kredit. Kreditur dapat meneliti apakah calon debitur tersebut masuk dalam Daftar Orang Tercela (DOT) atau tidak. Untuk itu kreditur juga dapat meneliti biodatanya dan informasi dari lingkungan usahanya. Informasi dari lingkungan usahanya dapat diperoleh dari supplier dan customer dari debitur. Selain itu

(10)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.24 10

dapat pula di peroleh dari informasi Bank Sentral, namun tidak dapat diperoleh dengan mudah oleh masyarakat umum, karena informasi tersebut hanya dapat diakses oleh pegawai bank bidang perkreditan dengan menggunakan password dan computer yang terhubung secara on-line dengan Bank Sentral. Agar selain memeriksa dokumen formal yang menyertai kredit, juga perlu diketahui pula track record dari permohonan kredit dari berbagai yang dapat dijadikan referensi oleh analis kredit bank;

2. Capacity adalah berhubungan dengan kemampuan seorang debitur untuk mengembalikan pinjaman. Untuk mengukurnya, kreditur dapat meneliti kemampuan debitor dalam bidang manajemen, keuangan, pemasaran, dan lain-lain;

3. Capital, melihat banyaknya modal yang dimiliki oleh debitor atau melihat berapa banyak modal yang ditanamkan debitur dalam usahanya, kreditur menilai modal debitur tersebut. Semakin banyak modal yang ditanamkan, debitur akan dipandang semakin serius dalam menjalankan usahanya;

4. Colateral, jaminan yang digunakan untuk berjaga-jaga seandainya debitur tidak dapat mengembalikan pinjamannya. Biasanya nilai jaminan lebih tinggi dari jumlah pinjaman. Bank harus pandai menilai atau melakukan taksasi harta kekayaan yang dimiliki oleh calon debitur yang akan dijadikan jaminan. Agar bank tidak mendapatkan kerugian akibat dari debitur yang tidak bisa mengembalikan dana tersebut. Biasanya nilai jaminan atau agunan lebih besar dari utang atau kredit yang diberikan oleh debitur;

5. Condition of Economy, dilihat dari keadaan perekonomian disekitar tempat tinggal calon debitur juga harus diperhatikan untuk memperhitungkan kondisi ekonomi yang akan terjadi di masa datang. Kondisi ekonomi yang perlu diperhatikan antara lain masalah daya beli masyarakat, luas pasar, persaingan, perkembangan teknologi, bahan baku, pasar modal, dan lain sebagainya.

Berkenaan dengan sistem dan asas-asas hukum perjanjian, dikatakan bahwa Hukum Perjanjian menganut “sistem terbuka.“ Artinya hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-Pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap (optional law), artinya Pasal-Pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh para pihak yang membuat suatu perjanjian. Sistem terbuka yang

(11)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.24 11

juga mengandung “asas kebebasan berkontrak“, yang lazim disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya“. Dengan menekankan pada kata semua, maka Pasal tersebut seolah-olah menyatakan kepada masyarakat bahwa diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (tentang apa saja) dan perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya.

Pada prinsip nya secara hukum positif bahwa tidak dibenarkan apapun bentuknya klausula baku yang menyalahi Undang-Undang Perlindungan Konsumen , tapi untuk hal seperti ini sudah menjadi kebiasaan karena demi kemudahan konsumen, karena sistem pembayaran kredit nya langsung di debet melalui rekening konsumen dan selama tidak ada keberatan dari konsumen. Hal yang terjadi seperti ini sebenarnya dibenturkan antara azas kemanfaatan konsumen dan dari hukum positif karena cacat hukum dan batal demi hukum.

C. PENUTUP

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Ketentuan klausula baku tentang pemberian kuasa dihubungkan dengan hukum positif dalam hal ini Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya diperbolehkan bahwa pemberian kuasa merupakan suatu perjanjian, yaitu persetujuan kedua belah pihak. Perjanjian dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata yakni sepakat, cakap, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal, tetapi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sedangkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan tidak mengatur secara khusus mengenai pemberian kuasa secara sepihak tetapi lebih ke unsur kepercayaan serta mengatur tentang pemberian kredit.

(12)

Doi Artikel : 10.46306/rj.v2i1.24 12

DAFTAR PUSTAKA

Celina Tri Siwi Kristiyanti. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika, 2017.

Djaja S.Meliala, Pemberian Kuasa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Bandung,:Tarsito, 1982.

H.P. Panggabean. Praktik Standaard Contract (Perjanjian Baku) dalam Perjanjian Kredit Perbankan. Bandung: Alumni, 2012.

Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit (termasuk hak tanggungan) menurut Hukum Indonesia, Bandung:Citra Aditya Bakti, 2013.

Untung H. Budi. Kredit Perbankan di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2005.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

POJK Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Sentosa Sembiring, “Arti Penting Jaminan dalam Pemberian Kredit dalam Transaksi Bisnis Perbankan”, Gloria Juris, Volume 7, nomor 1, Januari-April 2007.

Referensi

Dokumen terkait

Beban yang menjadi gangguan pada sistem pengaturan level air steam drum berupa laju aliran uap yang keluar

Pertama, pemberian kondisi berupa asumsi tidak terjadi gangguan hubung singkat, sehingga tampilan kondisi instalasi kelistrikan ―sistem aman‖, ditekankan kepada observasi

Strategi adaptasi wanita Islam terhadap kehidupan keluarga suami tercermin dalam proses belajar berbahasa Bali, mengolah dan mengonsumsi makanan Bali, membuat banten ,

Ekonomis, hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan dan data promosi pariwisata, penambahan area atau destinasi pariwisata bagi Kawasan Pantai Utara Bali

Adanya konflik dalam lingkungan belajar anak baik itu konflik dengan guru atau teman.. Ketika sudah masuk pada jam akhir subjek AB selalu bermain dengan teman

Dari tujuh indikator yang dikemukakan oleh Gibson Strategi dan kebijakan yang ditetapkan sudah bejalan baik hanya saja kejelasan tujuannya tidak pada pokok dasar

Direktorat Jenderal Pajak melihat pentingnya instrumen derivatif ini untuk mod- ernisasi ekonomi Indonesia, dan kemudian memberi ”masukan” yang pada akhirnya ”masukan”

Aktivitas antimikroba pada ekstrak daging gonggong Bintan rebus bercangkang tebal yang mengandung protein histon sebagai pangan favorit di Bintan memiliki kemampuan