• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekonstruksi Tari Tradisi Zapin 12 Kuala Kampar Di Sanggar Panglima Kota Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan Riau.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rekonstruksi Tari Tradisi Zapin 12 Kuala Kampar Di Sanggar Panglima Kota Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan Riau."

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

REKONSTRUKSI TARI TRADISI ZAPIN 12 KUALA KAMPAR

DI SANGGAR PANGLIMA KOTA PANGKALAN KERINCI

KABUPATEN PELALAWAN RIAU

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat

Guna Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Strata Dua (S2) Program Studi Pendidikan Seni

OLEH :

DYAN INDAH PURNAMA SARI 1302245

SEKOLAH PASCASARJANA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENI

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

(2)

REKONSTRUKSI TARI TRADISI ZAPIN 12 KUALA KAMPAR DI SANGGAR PANGLIMA KOTA PANGKALAN KERINCI KABUPATEN

PELALAWAN RIAU

Oleh

Dyan Indah Purnama Sari S.Pd. Universitas Islam Riau, 2011

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd)

pada Program Studi Pendidikan Seni Sekolah Pascasarjana

© Dyan Indah Purnama Sari Universitas Pendidikan Indonesia

2015

Hak Cipta dilindungi undang-undang

(3)

HALAMAN PENGESAHAN TESIS

DYAN INDAH PURNAMA SARI 1302245

REKONSTRUKSI TARI TRADISI ZAPIN 12 KUALA KAMPAR DI SANGGAR PANGLIMA

KOTA PANGKALAN KERINCI KABUPATEN PELALAWAN RIAU

Disetujui dan disahkan oleh pembimbing:

Pembimbing,

Dr. Desfina, M.Hum. NIP. 19610220 199003 2 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pendidikan Seni SPs. UPI

(4)

DYAN INDAH PURNAMA SARI 1302245

REKONSTRUKSI TARI TRADISI ZAPIN 12 KUALA KAMPAR DI SANGGAR PANGLIMA

KOTA PANGKALAN KERINCI KABUPATEN PELALAWAN RIAU

Tesis ini telah di pertanggungjawabkan di depan TIM Penguji pada hari Senin, 30 Juni 2015, pukul 11.00 s/d 12.00 WIB di Ruang Sidang nomor 41, lantai 2, Gedung Sekolah Pascasarjana UPI

TIM Penguji:

Penguji I

Prof. Dr. Hj. Tati Narawati, S. Sen., M. Hum NIP. 19521205 198611 2 001

Penguji II

Dr. Tri Karyono, M.Sn. NIP. 19661107 199402 1 001

Penguji III

(5)

REKONSTRUKSI TARI TRADISI “ZAPIN 12 KUALA KAMPAR” DI SANGGAR PANGLIMA

KOTA PANGKALAN KERINCI, KABUPATEN PELALAWAN RIAU

Dyan Indah Purnama Sari Mahasiswa Magister S2

Pendidikan Seni Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia

ABSTRAK

Zapin 12 Kuala Kampar adalah Zapin milik masyarakat Melayu Kampar yang mendiami pulau Penyalai dan hidup sejak zaman kerajaan Pelalawan berjaya, bahkan ketika masa penjajahan Belanda Zapin 12 masih ditarikan di berapa wilayah pesisir Sungai Pelalawan. Saat ini, Zapin 12 mengalami masa hibernasi panjang hingga hampir mengalami kepunahan. Sanggar Panglima adalah wadah kreatifitas seni yang berperan penting dalam upaya melestarikan Zapin 12. Pola pelestarian Zapin 12 adalah melalui proses rekonstruksi namun sebelumnya didekonstruksi terlebih dahulu, kemudian barulah menyusun kembali bentuk yang tidak terstruktur tersebut menjadi bagian yang utuh dan terstruktur, setelah itu Zapin 12 disajikan dengan menggunakan metode pelatihan di Sanggar Panglima. Menurut Bambang, Rekonstruksi adalah salah satu upaya dalam meremajakan kembali seni tradisi, sedangkan menurut Sedyawati untuk menjaga kelangsungan hidup tari dari masa kemasa diperlukan upaya pembinaan tari tradisional, yang antara lain berupa pelatihan tari. Penelitian kualitatif ini menggunakan metode Sejarah, karena upaya merekonstruksi seni tradisi sama artinya dengan melacak keberadaan sejarah asal mula tari Zapin 12 ini. Penelitian rekonstruksi yang mengikutsertakan Sanggar tari di dalamnya adalah sebuah bentuk penelitian kreatif dengan mengfungsikan dirinya sebagai mediator sejarah. Ada upaya untuk kebutuhan dan tujuan yang sama dari rekonstruksi dan metode pelatihan ini, yakni sama-sama bertujuan menjaga seni tradisi dari kepunahan, khususnya Zapin 12.

(6)

RECONSTRUCTION OF DANCE TRADITION “ZAPIN 12 KUALA KAMPAR” IN SANGGAR PANGLIMA

PANGKALAN KERINCI, PELALAWAN RIAU

Dyan Indah Purnama Sari Mahasiswa Magister S2

Pendidikan Seni Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia

ABSTRACT

Zapin 12 Kuala Kampar is a Zapin have Kampar Malay’s people property that inhabit the island Penyalai and lived since the days of empire Palalawan prevail, even when the Dutch colonial period Zapin 12 still danced. Zapin 12 experienced a long period of hibernation until almost to extinction. Sanggar Panglima is a place of creativity studio art plays an important role in preserving Zapin 12. Zapin 12 before going on deconstruction reconstructed first, then reconstruct the shape unstructured become an integral part and a structured, after the Zapin 12 presented using training methods from Sanggar Panglima. According to Bambang, reconstruction is one of the efforts in rejuvenating the traditional art, while according Sedyawati dance to maintain viability over time, development efforts required of traditional dance, which include dance training. This qualitative study using the methods of History, as an attempt to reconstruct the traditional arts is tantamount to track the whereabouts of the historical origin of this dance Zapin 12. Research reconstruction involving dance studio in it is a form of creative research with the functioning of himself as a mediator history. There are attempts to the same needs and goals of reconstruction and the training methods, which are equally aimed at keeping traditional art of extinction, especially Zapin 12.

(7)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... Error! Bookmark not defined.

ABSTRAK ... Error! Bookmark not defined.

ABSTRACT ... Error! Bookmark not defined.

KATA PENGANTAR ... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR ISI ... 1

DAFTAR TABEL ... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR BAGAN ... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR FOTO ... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR LAMPIRAN ... Error! Bookmark not defined.

BAB I PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined.

A. Latar Belakang Penelitian ... Error! Bookmark not defined.

B. Rumusan Masalah ... Error! Bookmark not defined.

C. Tujuan Penelitian ... Error! Bookmark not defined.

D. Manfaat Penelitian ... Error! Bookmark not defined.

BAB II LANDASAN TEORETIS ... Error! Bookmark not defined.

A. Konteks Zapin 12 ... Error! Bookmark not defined.

B. Interaksi Sosial Zapin 12 di Masyarakat Kuala Kampar . Error! Bookmark not defined.

C. Dekonstruksi ke Rekonstruksi Tari Zapin 12 ... Error! Bookmark not defined.

D. Sanggar Tari Panglima ... Error! Bookmark not defined.

E. Teori Pewarisan ... Error! Bookmark not defined.

F. Tinjauan Pustaka ... Error! Bookmark not defined.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... Error! Bookmark not defined.

A. Rancangan Penelitian ... Error! Bookmark not defined.

B. Subjek Penelitian dan Lokasi Penelitian ... Error! Bookmark not defined.

C. Instrumen Penelitian... Error! Bookmark not defined.

D. Tekhnik Pengumpulan Data ... Error! Bookmark not defined.

(8)

F. Jenis dan Sumber Data ... Error! Bookmark not defined.

G. Agenda Penelitian ... Error! Bookmark not defined.

H. Struktur Organisasi Tesis ... Error! Bookmark not defined.

BAB IV PEMBAHASAN ... Error! Bookmark not defined.

A. Latar Belakang Zapin 12 ... Error! Bookmark not defined.

1. Etnografi Kecamatan Pangkalan Kerinci dan Kecamatan Kuala Kampar Error! Bookmark not defined.

2. Zapin di Nusantara ... Error! Bookmark not defined.

3. Zapin 12 di Kuala Kampar ... Error! Bookmark not defined.

4. Eksistensi dan Fungsi Tari Tradisi Zapin 12 Kuala Kampar ... Error! Bookmark not defined.

B. Rekonstruksi Tari Tradisi Zapin 12 ... Error! Bookmark not defined.

1. Alasan dilakukan Rekonstruksi Zapin 12 Error! Bookmark not defined.

2. Proses Dekonstruksi ke Rekonstruksi Zapin 12 .... Error! Bookmark not defined.

3. Interpretasi Zapin 12 di Sanggar Panglima ... Error! Bookmark not defined.

C. Hasil Rekonstruksi Zapin 12 ... Error! Bookmark not defined.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... Error! Bookmark not defined.

A. Simpulan ... Error! Bookmark not defined.

B. Saran, Implikasi dan Rekomendasi ... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined.

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Rioh atau Riau konon berasal dari sebuah peristiwa ketika didirikannya sebuah negeri baru di sungai Carang untuk dijadikan pusat kerajaan. Hulu sungai

dari pusat kerajaan yang kemudian bernama Ulu Riau. Setelah Riau menjadi

sebuah negeri, maka Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, dinobatkan menjadi

sultan Riau pertama pada tahun 1722. Setelah itu Riau digunakan sebagai

petunjuk satu dari 4 daerah utama kerajaan yakni Johor, Pahang, Riau, dan

Lingga. Sejarah tersebut yang menjadi bukti sebuah korelasi Zapin yang memiliki

kaitan erat terhadap 4 daerah utama kerajaan Melayu (Hamidy, 1990: hlm. 1)

Riau sebagai negeri Melayu adalah negeri yang kaya akan kebudayaan.

Hal ini terbukti dengan adanya bermacam suku, adat istiadat, dan kebudayaan

dengan daya tarik kesenian yang beraneka ragam. Keragaman budaya dan adat

istiadat itulah khasanah budaya bangsa hasil cipta dan karsa leluhur yang sangat

tinggi nilainya, yang tak dapat diukur dengan nilai materi. Warisan budaya daerah

yang berupa adat, tradisi dan kesenian, sebagai bagian dari khasanah budaya

bangsa, sudah waktunya dan selayaknya dilestarikan. Tradisi atau kebiasaan

dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak

lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya

dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling

mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke

generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu

tradisi dapat punah. Pengertian lain tradisi adalah adat istiadat atau kebiasaan

yang turun-temurun yang masih dijalankan di masyarakat. Dalam masyarakat

muncul semacam penilaian bahwa cara- cara yang sudah ada merupakan cara

yang terbaik untuk menyelesaikan persoalan (Rendra, 2002: hlm. 20)

Tradisi merupakan roh dari sebuah kebudayaan, tanpa tradisi tidak

mungkin suatu kebudayaan akan hidup dan langgeng, melalui tradisi hubungan

antar individu dengan masyarakatnya bisa harmonis, dengan tradisi sistem

kebudayaan akan menjadi kokoh. Bila tradisi dihilangkan maka ada harapan suatu

(10)

dari kebudayaan dan salah satu kekayaan yang dimiliki negara ini, dalam kesenian

terdapat nilai-nilai estetika dan nilai-nilai kehidupan masyarakat setempat.

Kesenian juga dapat memiliki kaitan erat satu sama lain, seperti agama, ekonomi,

struktur sosial dan lain-lainnya (Sedyawati, 2006: hlm. 24). Kesenian tradisi

merupakan kesenian warisan dari para leluhur di suku bangsa Indonesia. Warisan

ini harus diberikan secara turun temurun, dari generasi ke generasi, terutama bagi

generasi muda.

Salah satu yang menjadi bagian dari tradisi adalah tari. Tari adalah salah

satu pernyataan budaya, oleh karena itu maka sifat, gaya dan fungsi tari selalu tak

dapat dilepaskan dari kebudayaan yang menghasilkannya. Kebudayaan di dunia

ini begitu banyak coraknya, bahkan di Indonesia saja sudah begitu beraneka

ragamnya. Perbedaan sifat dan ragam tari dalam berbagai kebudayaan ini bisa

disebabkan oleh banyak hal seperti: lingkungan alam, perkembangan sejarah,

sarana komunikasi dan temperamen manusianya, yang kesemuanya itu akan

membentuk suatu citra kebudayaan yang khas. Hidup dan tumbuhnya tari sangat

erat berkaitan dengan citra masing-masing kebudayaan (Sedyawati, 2006: hlm.

24). Begitu pula dengan kesenian tradisi yang sudah hidup lama di Riau, baik

daerah pesisir maupun daerah daratan. Kesenian tradisi tersebut adalah Zapin.

Kebudayaan peninggalan leluhur yang telah menjadi jati diri masyarakat Riau ini

lahir dan berkembang di kalangan masyarakat manapun. Daratan dan pesisir

memiliki Zapinnya masing-masing. Semua memiliki fakta dan sejarah yang

berbeda-beda.

Di Nusantara, Zapin dikenal dalam 2 jenis, yaitu Zapin Arab yang

mengalami perubahan secara lambat dan masih dipertahankan oleh masyarakat

turunan Arab. Jenis kedua adalah Zapin Melayu yang ditumbuhkan oleh para ahli

lokal, dan disesuaikan dengan lingkungan masyarakatnya. Apabila Zapin Arab

hanya dikenal satu gaya saja, maka Zapin Melayu sangat beragam dalam gayanya.

Begitu pula sebutan untuk tari tersebut tergantung dari bahasa atau dialeg lokal

dimana dia tumbuh dan berkembang. Sebutan Zapin umumnya dijumpai di

Sumatera Utara dan Riau, sedangkan di Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu

menyebutnya Dana. Julukan Bedana terdapat di Lampung, sedangkan di Jawa

(11)

Jepin atau Japin, di Sulawesi disebut Jippeng, dan di Maluku lebih akrab

mengenal dengan nama Jepen (Ibnur, 2010: hlm.13-14).

Penelitian ini penulis mengangkat salah satunya yakni Zapin Melayu

yang berasal dari daerah Riau. Masuknya tari Zapin di Nusantara diawali dengan

masuknya kebudayaan agama Islam dari Arab. Kebudayaan Arab ketika itu

merupakan kebudayaan pendatang yang mencoba berinteraksi dengan kebudayaan

sekitar. Hasil dari proses interaksi ini menjadi sebuah perpaduan atau akulturasi

antara budaya Melayu dan budaya Arab yang kemudian terbentuklah tari Zapin ini

yang diterima oleh kedua masyarakat pendukung kebudayaan. Akulturasi dari dua

budaya ini masih terdapat unsur sukuisme yang kental terhadap kebudayaan

mereka. Masyarakat pribumi yang pada umumnya merupakan masyarakat Melayu

menerima tari Zapin sebagai tari perpaduan antara Arab dan Melayu, akan tetapi

lebih memunculkan sisi Melayu dibandingkan nuansa Arab. Begitulah hingga saat

ini tari Zapin Melayu tumbuh di masyarakat Melayu hingga sampai saat ini di

seluruh pelosok Nusantara.

Sejarah kedatangan Zapin di pesisir Riau tepatnya di kerajaan Siak Sri

Indrapura, Zapin yang saat ini menarik perhatian saya adalah Zapin 12 yang

berasal dari Desa Tenggalai Kuala Kampar Kab. Pelalawan yang konon katanya

merupakan peninggalan kerajaan Pelalawan. Zapin yang hidup di pesisir ataupun

daratan Pelalawan mendapat pengaruh besar dari Kesultanan Siak Sri Indrapura.

Bila merujuk kepada catatan-catatan yang ada pertuturan orang tua-tua Pelalawan,

terutama kerabat dekat rajanya, maka masuknya Zapin ke Pelalawan terjadi pada

tahun 1798 masehi ketika penabalan Said Abdurrahman ibnu Said Osman

Syahabuddan menjadi Sultan Pelalawan, sebagai adik kandung Syarif Ali Sultan

Siak masa itu, upacara penabalan dilakukan menurut adat istiadat Siak dan

Pelalawan. Salah satu acaranya adalah persembahan tari Zapin yang sengaja

dibawa dari Siak. Para pezapin ini kemudian menetap di Pelalawan. Sejak itulah

Zapin mulai diajarkan, kemudian berkembang di kerajaan Pelalawan. Ketika

kerajaan Pelalawan masih berdiri, setidak-tidaknya setiap minggu ada

persembahan tari Zapin di istana rajanya. Bahkan setelah kerajaan itu berakhir

(12)

sampai raja Pelalawan terakhir, Assyaidissyarif Tengku Said Harun Ibnu Sultan

Hasyim, mangkat pada tahun 1959 (Efendi, 2000:20)

Catatan sejarah kerajaan Pelalawan yang ditulis oleh beberapa orang besar

kerajaaan atau penulis-penulis tempatan berdasarkan dari penuturan raja-raja

Pelalawan dan sumber lain, terdapat petunjuk yang menyebutkan bahwa Zapin

yang masuk ke Pelalawan pada tahun 1798 Masehi, dibawa oleh Sultan Said

Abdurrahman bin Said Osman dari Siak ketika penobatan menjadi Sultan

Pelalawan (1798-1822 Masehi). Adapun masa sebelumnya, belumlah diketahui

apakah Zapin sudah ada di Pelalawan atau tidak. Dahulu walaupun Zapin lebih

banyak ditarikan di kalangan istana raja atau kediaman orang-orang besar

kerajaan atau di kediaman para bangsawan, namun seluruh lapisan masyarakat

diberitahu dan dibolehkan hadir, bahkan sering pula diselenggarakan memang

untuk kepentingan mereka (Efendi, 2000:17-18)

Berdasarkan sejarah kehadirannya di tanah Pelalawan, Zapin 12 berada di

puncak istana, namun ia pun mendapat kedudukan terhormat dalam kehidupan

masyarakat. Zapin sering ditampilkan di istana, di kediaman orang-orang besar

kerajaan atau di rumah-rumah bangsawan atau dalam upacara-upacara terhormat, maka menjadi “Penzapin” merupakan impian banyak orang. Hal inilah yang menyebabkan generasi mudanya berlomba belajar Zapin dan berupaya menjadi “Penzapin” agar dapat tampil di istana atau di dalam majelis terhormat itu (Efendi, 2000: hlm. 25-27).

Pada zaman kerajaan Pelalawan Zapin begitu terhormat dan menjadi

sebuah kewajiban bagi kaum mudanya untuk menarikan Zapin tersebut, namun

saat ini kekhawatiran muncul ketika generasi muda saat ini sama sekali tidak

mengetahui keberadaan Zapin 12 dari Pelalawan tersebut. Disinilah sanggar seni

sebagai pendidikan non formal berperan penting dalam proses pewarisan. Sama

halnya dengan Zapin Bengkalis maupun Zapin Siak, Zapin 12 adalah Zapin tua

yang sudah lama dan menetap di daerah Riau, hanya saja kedatangannya di

Pelalawan dibawa masuk oleh salah satu keluarga kerajaan Siak Sri Indrapura

yang mendirikan kerajaan di Pelalawan. Jika Zapin Bengkalis dan Zapin Siak

memiliki ciri khas baik dalam bentuk, ragam maupun struktur begitu pula dengan

(13)

Zapin kini semakin bermetamorfosa, karena Zapin kini bukan hanya milik

kerajaan atau gaya hidup kerajaan lagi, namun Zapin kini lebih bersifat merakyat

bagi seluruh hajatan, seperti kenduri, pernikahan, atau sunatan. Secara historis

dahulu sebelum Zapin berkembang di daerah asalnya Siak Sri Indrapura, Gambus

dan Zapin sering dipertunjukan di lingkungan istana, walaupun pertunjukan itu

tidak pernah dibatasi untuk lingkungan istana sendiri. Setelah revolusi anti istana

tahun 1945 di Sumatera, Zapin tetap akrab di kalangan masyarakat pada

umumnya. Hal ini menunjukan tradisi telah meraih simpati dari masyarakat

bahkan sebelum terjadinya penurunan kekuasaan dan derajat Sultan di Sumatera

Timur, Zapin kemudian menjadi tradisi rakyat bersamaan dengan hilangnya

kekuasaan kerajaan Melayu (Md Noor, 1993:27).

Menurut sumber, Zapin 12 ini sudah lama tidak ditarikan oleh ketiga

pewaris tua, ada beberapa gerak ataupun ragam dari ke 12 ragam yang luput dari

ingatan mereka, walaupun mereka masih memiliki catatan tua yang di dalamnya

terdapat satu persatu penjelasan mengenai ragam-ragam gerak dari Zapin 12 itu.

Karena sebab tersebut penulis beserta beberapa seniman tari ingin menarik ulur,

mencoba menyatukan yang terpisah atau terlupa dalam sebuah bentuk karya tari

Zapin 12 yang akan mengalami revitalisasi atau sebuah penggalian dalam bentuk

usaha penyusunan kembali tubuh Zapin 12 yang terpisah-pisah. Konsep

revitalisasi untuk melestarikan kesenian yang akan punah seperti Zapin 12

memang sudah terbukti sangat sulit sekali. Apalagi sumber yang ditemukan hanya

berupa sumber lisan dan prakira. Namun walaupun demikian kesenian tari tradisi

Zapin 12 ini masih terbilang sangat beruntung, meskipun tari ini sudah lama tidak

ditampilkan dimanapun. Penarinya masih ada beberapa walaupun sudah sangat

tua dan sangat sulit untuk menghafal kembali gerak per ragam, bahkan masih ada

beberapa saksi hidup dan saksi sejarah diluar pelaku.

Tari Zapin 12 telah mengalami masa hibernasi yang sangat lama, hampir

punah karena hanya sesekali bahkan nyaris tidak pernah lagi ditarikan, namun hal

tersebut dicegah cepat dikarenakan keinginan dari Rudi Jansafni yang mengingat

kembali kegiatannya ketika kecil. Semasa kanak-kanak dia pernah menarikan tari

Zapin 12, ingat namun geraknya tidak lagi diingatnya. Berawal dari keinginannya

(14)

mengangkat kembali Zapin 12. Keinginannya hanya ingin tari tradisi asli Kuala

Kampar kembali hidup dan beradaptasi dengan masyarakat sekitar, dan seniman

di Riau mengetahui bahwa masih ada tari tradisi Zapin lain di daerah Pelalawan.

Metode yang penulis gunakan dalam meneliti Zapin 12 ini adalah metode

historis yang terdiri dari empat tahapan yakni, heuristic, kritik, interpretasi dan

historiografi dan rekonstruksi sebagai pisau bedahnya lalu kenapa yang digunakan

rekonstruksi? Hal tersebut disebabkan oleh keberadaan tari Zapin 12 yang sempat

menghilang, tidak terstruktur dan tidak mendapatkan penerus warisan seni tradisi

ini sehingga tari Zapin 12 ini mendekati kepunahan. Bentuk ragam Zapin 12

sudah tidak terstruktur rapi lagi, jadi selain merekonstruksi tari, peneliti juga

berusaha merekonstruksi pemikiran orang-orang tua zaman dulu yang terkesan

lupa akan tari tradisi ini. Pada masanya Zapin 12 berjaya dalam kegiatan-kegiatan

kesenian, baik untuk hiburan maupun seni ritual semata. Saat ini Zapin 12 ingin

kembali dibangunkan oleh pemuda-pemudi yang mencintai tradisinya melalui

cara menyusun kembali informasi lisan mengenai history dan keberadaan Zapin

tersebut serta menstrukturkan (Rekonstruksi) kembali tarian tersebut sebagaimana

bentuk aslinya.

Rekonstruksi tari adalah salah satu metoda yang digunakan dalam proses

pembangunan kembali sebuah bentuk koreografi, yang mengulas dan menyusun

tari secara bertahap dari awal hingga akhir, baik itu meregenerasi struktur

bangunan tarinya ataupun teori-teori yang membantu bangkitnya karya seni itu,

maka Rekonstruksi adalah upaya atau metoda kritis menstrukturkan kembali

berbagai bangunan teori atau karya-karya lewat elemen, struktur, infrastruktur

maupun konteksnya. Lebih dari itu, kekuatan-kekuatan yang berperan pada

konsep yang bersangkutan akan diungkap kembali segala atributnya, dikupas

habis, dilacak asal usul dan perkembangannya, dicari keterkaitannya dengan

konsep-konsep lain, digelar kemungkinan-kemungkinan posisi maupun

kontribusinya terhadap segala hal. Semua proses tersebut dimaksudkan untuk

membangun kembali karakteristik tubuh asli tarian tersebut.

Proses Rekonstruksi ini melibatkan Sanggar Panglima yang mana Sanggar

Panglima adalah sebagai salah satu sanggar yang pertama kali dibangun oleh

(15)

dijadikan wadah proses transformasi kesenian dari 2 generasi yang berbeda. Lalu

muncul pertanyaan kenapa harus Sanggar Panglima yang menjadi tempat

terjadinya proses rekonstruksi ini? Hal tersebut dikarenakan inisiatif dari Rudi

Jansafni dan Yuwaidah anggota Sanggar Panglima sekaligus keponakan dari H.

Basri (selaku salah seorang generasi tua yang masih menguasai tari Zapin 12 ini)

dalam meneruskan pewarisan dan pelaku seni tari tradisi Zapin 12 ini sebagai

kesenian Pelalawan yang patut dilestarikan.

Permasalahan banyak timbul ketika Rudi Jansafni beserta istri berusaha

meneruskan harta warisan daerahnya kepada remaja muda di Sanggar Panglima,

mulai dari kendala saat transfer gerak antara sang pewaris kepada generasi muda

di Sanggar Panglima, sehingga secara langsung maupun tidak langsung terjadi

perubahan dari bentuk dan struktur gerak tari tersebut, belum ditambah dengan

pewaris tua yang terkesan lupa bentuk gerak dan ragamnya, walaupun mereka

memiliki catatan ragam-ragam gerak tari tradisi Zapin 12 ini. Ironisnya, Tari

tradisi Zapin 12 ini belum ditemukan pada tulisan khusus yang mendeskripsikan

tari ini, baik berupa artikel maupun buku atau penelitian. Padahal sebuah

penulisan atau pendokumentasian tari tradisi sangat dibutuhkan sebagai salah satu

bentuk pelestarian kebudayaan. Ditambah lagi dengan perkembangan kurikulum

kesenian di sekolah telah memasukan tari daerah setempat sebagai materi ajar.

Jika dilakukan penelitian terhadap Tari Zapin 12 ini tentu dapat membantu banyak

kalangan. Disamping berdampak pada bentuk pelestarian budaya agar tidak

punah, penelitian ini juga berguna dalam memperkenalkan tarian ini secara luas

ke masyarakat khususnya di sekolah-sekolah. Pada akhirnya kendala-kendala

tersebut diminimalisir oleh penulis selaku perantara, Rudi Jansafni beserta istri

yang menjadi koreografer di sanggar tersebut. Sampai saat ini pun proses

Rekonstruksi tersebut masih berjalan dengan kendala dan hambatan yang dilalui

(Wawancara Rudi, 10 April 2015).

Sanggar Panglima adalah salah satu pendidikan luar sekolah yang menjadi

tempat terjadinya proses Rekonstruksi dan pewarisan seni tradisi yang hampir

punah ini. Penari atau lebih tepatnya peserta didik tari dari pendidikan nonformal

Sanggar Panglima yang telah memiliki banyak prestasi dalam bidangnya ini, tidak

(16)

Remaja-remaja peserta didik Sanggar Panglima yang sudah hidup dan

berkembang di era tekhnologi modern juga tidak menyepelekan ataupun

membuang muka untuk tahu dan mencintai Zapin 12 sebagai tari tradisi warisan

daerah mereka.

Rudi Jansafni selain sebagai pemusik di Sanggar Panglima beliau juga

cucu dari H. Basri sang pewaris tari Zapin 12, maka proses pewarisan di dalam

proses rekonstruksi dapat dilakukan secara Horizontal maupun Vertikal. Vertikal

diturunkan melalui garis keluarga, sedangkan horizontal diturunkan melalui

komunitas atau sanggar yang memiliki rasa kecintaan akan khasanah budaya

sendiri. Sanggar Panglima secara langsung dan tidak langsung bersinggungan

langsung dengan kedua garis pewarisan tersebut, karena Rudi Jansafni beserta istri

berperan sebagai mediator antara bapak H. Basri, dan Rusli sebagai pewaris tua

dan Sanggar Panglima sebagai pewaris mudanya.

Dari hasil penelitian pertama yang dilaksanakan pada tanggal 1 Desember

sampai 5 Desember dengan tempat Sanggar Panglima, dan kediaman Yuwaidah

sebagai pentransfer gerak sekaligus koreografer dan Rudi Jansafni suami dari

Yuwaidah, pemusik dan juga perantara dan pencetus munculnya kembali Zapin 12

ini. Melihat dari kondisi dan keadaan di lapangan penulis banyak menemukan

banyak temuan-temuan masalah. Berawal dari masalah inilah penulis mulai

mencari titik fokus yang akan penulis angkat disini. Sampai saat ini proses

pewarisan dalam bentuk rekonstruksi ini masih berlangsung walaupun

tersendat-sendat dan tidak tau akan sampai berapa lama proses ini berlangsung dikarenakan

banyak kendala yang menghambat berjalannya proses rekonstruksi tersebut.

Penelitian awal yang berlangsung di awal Desember kemarin, ada sebuah

penemuan unik yang terjadi. Namun masih dalam penelitian apakah akan terus

berlangsung seperti itu atau akan ada perubahan lagi dalam proses berikutnya ini.

Yuwaidah mengatakan yang namanya belajar tradisi itu sulit, menghafal gerak

bagaimana caranya agar bisa dihafal lalu bagaimana caranya agar bisa di transfer

ke penari-penari muda di Sanggar Panglima. Keterbatasan waktu dan media yang

menjadi penghambat dalam pencapaian ketercapaian proses pewarisan ini, namun

untuk menghindari terjadanya kepunahan tari tradisi Zapin 12 ini Yuwaidah dan

(17)

generasi muda yang akan menjadi generasi tua kelak dan kembali meneruskan

proses regenerasi tersebut. Generasi muda disini adalah remaja-remaja yang aktif

membudayakan dirinya sendiri untuk suka dan cinta terhadap kesenian tradisi

daerah setempat, termasuklah tari tradisi Zapin 12 ini.

Menurut Mohammad Ali dan Mohammad Asrori (dalam Pemilasari,

2013:4) mengatakan fase remaja merupakan fase perkembangan yang tengah

berada pada masa amat potensial, baik dilihat dari aspek kognitif, emosi maupun

fisik. Di masa remaja selalu banyak ditemukan kreativitas tinggi yang terkadang

tidak ditemukan pada orang-orang dewasa. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh

Sanggar Panglima, tingkat kreativitas dan kemauan yang tinggi yang mampu

mendorong para peserta didik remaja ini untuk meneruskan tradisi Zapin 12yang

hampir punah karena menurut narasumber hanya tertinggal 3 orang penerus yakni

Abdul Kari, H. Basri, dan Rusli yang sudah berusia 60-70 tahun.

Ada beberapa alasan, mengapa dilakukannya penelitian ini:

Pertama, penelitian ini dilakukan bermula dari kegelisahan peneliti yang

prihatin terhadap tari tradisi yang telah lama hidup dan berkembang di Riau

punah. Tidak hanya Zapin 12 tari tradisi yang masih hidup namun terpuruk, tetapi

banyak kesenian tradisi yang lainnya yang mengalami hal serupa. Hanya saja

ketika penulis bertandang ke Sanggar Panglima Kota Pengkalan Kerinci

Kabupaten Pelalawan Riau. Disanalah penulis merasakan hal yang sama dengan

salah seorang keturunan dari pewaris tari tradisi Zapin 12 tersebut. Maka

dipilihlah rekonstruksi sebagai pisau bedah dalam memecahkan masalah

keberadaan tari tradisi Zapin 12 ini. Agar posisinya dan bentuknya yang

menghilang difikiran masyarakat kembali dalam bentuk utuh seperti sediakala.

Kedua, mengapa harus di Sanggar Panglima? Hal tersebut dikarenakan

keinginan penulis yang ingin meneliti system pembelajaran di pendidikan luar

sekolah seperti halnya Sanggar Panglima ini. Sanggar Panglima termasuk

kedalam jenis pendidikan nonformal dan biasanya didirikan secara mandiri

ataupun perorangan dengan kondisi yang berbeda ditiap sanggar baik tempat,

fasilitas belajar maupun sarana pendukung. Selain itu di Sanggar Panglima terjadi

proses pewarisan atau transfer gerak dari generasi yang berbeda, antara pak Basri

(18)

Sanggar Panglima lalu Yuwaidah mentransfer kembali kepada penari-penari muda

di Sanggar Panglima tersebut. Proses pembelajaran bisa dilakukan secara

langsung maupun tidak langsung. Sehingga disinilah awalnya proses Rekonstruksi

terjadi secara kreatif, baik dari Yuwaidah, dari penari maupun dari saya sendiri

sebagai observer.

Ketiga, dengan menggabungkan antara proses Rekonstruksi dengan

menginterpretasi dan mengkreasikan tari Zapin 12 melalui metode pelatihan hasil

rekonstruksi di Sanggar Panglima maka terbentuklah sebuah penelitian yang

bertujuan melestarikan kesenian tradisi khusunya tari tradisi Zapin 12 ini. Ruang

kajian yang ingin diteliti disini berupa penggalian tari Tari Zapin 12 dengan cara

di rekonstruksi (dekonstruksi terlebih dahulu) untuk mengetahui structural kondisi

dan eksistensi tari ini dimasa lalu, kemudian setelah didapat hasil dari

rekonstruksi ini barulah diimplementasikan kepada generasi muda di Sanggar

Panglima. Tahap awal dari ketercapaian penelitian ini adalah dengan tersusun

kembali tarian tersebut lalu diterapkan ke pendidikan non-formal di Sanggar

Panglima, walaupun tidak secara keseluruhan ragam yang diberikan karena

kondisi waktu dan kondisi. Melalui penelitian ini banyak hal yang diharapkan,

antara lain, melestarikan kesenian tradisi, membangkitkan kembali minat generasi

muda terhadap seni tradisi, meregenerasi seni tradisi, mentransformasi seni tradisi,

merevitalisasi seni tradisi, menerapkan tari Zapin 12 tidak hanya di Sanggar

Panglima namun keseluruh wilayah di Pelalawan, bahkan menjalin hubungan baik

antara generasi tua dan generasi muda sang pewaris seni tradisi ini.

Sebagai generasi muda penerus Bangsa hendaknya kita bangga karena

telah ikut serta dalam membudayakan budaya daerah sendiri, di luar gemparnya

berita kesenian negara kita diklaim oleh negara lain. Berawal dari kegelisahan

Rudi Jansafni sebagai keturunan secara vertical dari penerus tari ini, mengenai

ketakutan akan punahnya tari Zapin 12, saya menyambung tangan menanggapi

untuk menggali serta meneliti secara dalam tentang keberadaannya, sistem

transfer geraknya dan proses Rekonstruksi yang terjadi di pendidikan luar sekolah

(19)

PANGKALAN KERINCI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU” ini

saya berharap dapat membantu menjaga eksistensi dari tari Zapin 12 ini. Tari

Zapin 12 ini adalah salah satu seni tradisi yang membudaya di daerah sekitar,

sudah seharusnyalah kita sebagai generasi penerus menyambut dengan hangat

untuk kembali menggali tari tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat diidentifikasi batasan masalah

dalam penelitian ini, antara lain:

1. Latar Belakang dan eksistensi tari tradisi Zapin 12 Kuala Kampar yang

belum terjamah oleh khalayak dan seniman-seniman Riau dan masih

dalam proses adaptasi terhadap lingkung seni Riau, kesulitan dalam

melacak sejarah lahirnya tari ini juga merupakan masalah yang tidak bisa

dihindari.

2. Pewaris tari tradisi Zapin 12 Kuala Kampar yang hanya tersisa 3 orang

lagi yang mana usia dari ketiga pewaris ini ini sudah menginjak usia 60-70

tahun, namun belum ada inisiatif untuk segera diwariskan.

3. Tari tradisi Zapin 12 yang akan mengalami perubahan esensi dalam proses

rekonstruksi, baik secara sengaja maupun tanpa disengaja. Oleh karena itu

didalam proses rekonstruksi ini dibutuhkan sebuah pisau bedah yang

sangat tajam untuk membedah, melihat dan mengetahui sejarah, unsur,

fungsi, keberadaan, bentuk, ragam, struktur, upaya, hambatan dan

sistemnya.

4. Sanggar Panglima sebagai salah satu wadah pendidikan nonformal yang

memiliki inisiatif untuk menyambung lingkaran pewarisan tari tradisi

Zapin 12 Kuala Kampar ini agar tidak terputus namun memiliki beberapa

keterbatasan.

5. Proses Rekonstruksi di Sanggar Panglima menggunakan rekonstruksi

Zapin 12 lalu diterapkan ke pendidikan nonformal dengan metode

pelatihan (Trainee) dan berbagai media,karena proses ini masih dalam

proses penerapan, banyak kendala dan belum diketahui tingkat

(20)

kendala dalam proses pewarisan ini. Seharusnya tari tradisi Zapin 12

Kuala Kampar tidak mengalami perubahan dalam bentuk dan strukturnya

namun terjadi perubahan dari bentuk dan strukturnya. Maka timbullah

pertanyaan apa faktor penyebab berubahnya lalu apa upaya yang

dilakukan.

Berdasarkan batasan masalah yang diuraikan tersebut, penulis menarik 3

rumusan masalah yakni:

1. Bagaimanakah latar belakang tari tradisi Zapin 12 pada masyarakat

Melayu Kampar kecamatan Kuala Kampar Kabupaten Pelalawan Riau?

2. Bagaimanakah proses rekonstruksi tari tradisi Zapin 12 Kuala Kampar

Kabupaten Pelalawan Riau?

3. Bagaimanakah hasil rekonstruksi Zapin 12 Kuala Kampar di Sanggar

Panglima kota Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan Riau?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum dari pencapaian penelitian ini adalah: penelitian ini dapat

dijadikan sebagai acuan kepada pendidikan atau instansi terkait dalam memelihara

seni budaya tradisi daerah setempat (Pelalawan, Riau). Melalui proses

rekonstruksi dan penerapannya di Sanggar Panglima diharapkan sebagai langkah

baru untuk mengangkat dan melestarikan kesenian tari tradisi sebagai seni budaya

Indonesia yang berharga.

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui latar belakang tari tradisi Zapin 12 pada masyarakat

Melayu Kampar kecamatan Kuala Kampar Kabupaten Pelalawan Riau?

2. Untuk mengetahui proses rekonstruksi tari tradisi Zapin 12 Kuala

Kampar di Kabupaten Pelalawan Riau?

3. Untuk mengetahui hasil rekonstruksi Zapin 12 Kuala Kampar di Sanggar

(21)

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:

1. Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk menambah wawasan dan

pengetahuan yang berkaitan dengan proses penerapan hasil rekonstruksi

tari tradisi Zapin 12 Kuala Kampar Pelalawan Riau.

2. Bagi program studi Pendidikan Seni Sekolah Pasca Sarjana, Universitas

Pendidikan Indonesia, tulisan ini berguna sebagai salah satu kajian ilmiah

bagi dunia akademik yang bersifat ilmu murni terapan, khususnya di

lembaga pendidikan seni.

4. Bagi ilmu pengetahuan, manfaat yang dapat dipetik dari penelitian ini

adalah untuk memberikan sumbangan kepada dunia ilmu pengetahuan

khususnya di bidang seni murni dan terapan.

5. Untuk mendokumentasikan dan mengiventariskan Seni tari tradisi Zapin

12 Kuala Kampar Pelalawan Riau yang dapat dijadikan pedoman bagi

generasi muda khususnya Sanggar Panglima sebagai generasi pencipta

seni.

6. Untuk memperkenalkan pada masyarakat luas secara tertulis tentang

(22)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Metode penelitian adalah alat untuk memecahkan permasalahan yang

hendak diteliti guna mendapatkan data yang akurat dan benar. Pendekatan dan

metode merupakan hal yang penting dan diperlukan dalam suatu penelitian

dengan tujuan sebagai panduan bagi seorang penulis. Suatu penelitian akan efektif

dalam mencapai tujuan yang diharapkan apabila pemilihan dan penggunaan

pendekatan dan metode dilakukan secara tepat. Metode penelitian kualitatif adalah

metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang

alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai

instrumen kunci, tekhnik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi

(penggabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih

menekankan makna daripada generalisasi. Metode penelitian kualitatif ini sering

disebut metode penelitian naturalistic karena penelitiannya dilakukan pada kondisi

yang alamiah (natural setting) (Sugiyono, 2007: hlm. 1).

Proses penelitian ini dimulai dengan menyusun asumsi dasar dan aturan

berfikir yang digunakan dalam penelitian. Asumsi dan aturan berfikir tersebut

selanjutnya diterapkan secara sistematik dalam pengumpulan argumentasi

mengenai data yang diajukan. Penelitian kualitatif, proses pengumpulan dan

pengolahan data dapat menjadi sangat peka dan pelik, karena informasi yang

dikumpulkan dan diolah harus tetap objektif dan tidak dipengaruhi oleh peneliti

sendiri. Alasan penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif salah

satunya adalah adanya interaksi diantara realitas. Memaknai kegiatan ini, peneliti

hendaknya berinteraksi dengan responden, antara lain dengan menginterview atau

mengobservasi dalam latar alamiah, agar memperoleh pemahaman emik (menurut

persepsi mereka, bukan persepsi peneliti) ihwal kepercayaan, tujuan, dan alat

untuk mencapai tujuan itu. Penelitian seperti ini pas dengan paradigma

naturalistic yang memadukan asumsi dan adanya saling pengaruh antara peneliti dan responden.

(23)

hilangnya sejarah melalui beberapa tahapan kerja tertentu, urutan atau tahapan

dalam metode sejarah dikemukakan oleh Gottschalk dalam Hamid (2011, hlm.

42-43) sebagai berikut: (1) pengumpulan objek yang berasal dari zaman itu dan

pengumpulan bahan-bahan tercetak, tertulis, dan lisan yang boleh jadi relevan, (2)

menyingkirkan bahan-bahan (bagian-bagian daripadanya) yang tidak otentik, (3)

menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya mengenai bahan-bahan yang

otentik, dan (4) menyusun kesaksian yang dapat dipercaya itu menjadi suatu kisah

atau penyajian yang berarti. Ismaun (2007:34) mengemukakan bahwa “Metode

sejarah ialah rekonstruksi imajinatif tentang gambaran masa lampau

peristiwa-peristiwa sejarah secara kritis dan analitis berdasarkan bukti-bukti dan data

peninggalan masa lampau yang disebut sumber sejarah.” Adapun menurut Louis

Gottschalk menyatakan bahwa metode sejarah disini adalah proses menguji dan

menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau” (Gottschalk,

1985 hlm. 32).

Metode penelitian sejarah adalah metode atau cara yang digunakan sebagai

pedoman dalam melakukan penelitian peristiwa sejarah dan permasalahannya.

Dengan kata lain, metode penelitian sejarah adalah instrumen untuk

merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past actuality) menjadi sejarah

sebagai kisah (history as written). Dalam ruang lingkup Ilmu Sejarah, metode

penelitian itu disebut metode sejarah. (Basri, 2006 hlm. 13) Kedua pendapat

tersebut dapat disimpulkan, bahwa dalam melakukan metode sejarah secara umum

harus memperhatikan empat tahap, yaitu proses pengumpulan sumber, kritik

sumber, penafsiran (interpretasi), dan penulisan sejarah. Sebagaimana menurut

pendapat Hellius Sjamsuddin, jika diklasifikasikan keempat metode sejarah

tersebut dapat dibagi menjadi tiga tahap yakni:

1. heuristic (pengumpulan sumber), tahap ini bertujuan mengumpulkan data berupa sumber sejarah (tulisan, lisan, benda).

Heuristik (heuristics) atau dalam bahasa Jerman Quellenkunde,

adalah kegiatan mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-data,

atau materi sejarah, atau evidensi sejarah.( Carrard dalam Sjamsudding,

2012, hl. 67). Tahap heuristic ini banyak menyita waktu, biaya, tenaga,

(24)

sumber-sumber sejarah terdiri atas arsip, dokumen, buku, majalah/jurnal, surat

kabar, dan lain-lain adalah tahap pengumpulan segala sumber yang dapat

dijadikan sumber sejarah. Peneliti harus dapat memilih dan memilah

sumber-sumber terpercaya dan sumber mana yang dapat dijadikan sumber

sejarah. Hamid mengemukakan bahwa “segala sesuatu yang langsung atau

tidak langsung menceritakan kepada kita tentang suatu kenyataan atau

kegiatan manusia pada masa lalu (past actually) disebut sumber sejarah.”

Sumber sejarah dapat diklasifikasikan sumber antara lain, untuk

kepentingan praktis sumber-sumber dapat dibagi secara garis besar atas

peninggalan-peninggalan (relics atau remains) dan catatan-catatan

(records)

1. Peninggalan-peninggalan (relics atau remains) – (pelantar fakta yang

tidak direncanakan)

a. peninggalan-peninggalan manusia, surat, sastra, dokumen-dokumen,

catatan bisnis, dan sejumlah inskripsi tertentu.

b. Bahasa, adat-istiadat dan lembaga-lembaga.

c. Alat-alat dan artifak-artifak lainnya.

2. Catatan-catatan (records) – (pelantar fakta yang direncanakan)

a. Tertulis

Kronik, annal, biografi, genealogi. Memoir, catatan harian.

Sejumlah inskripsi tertentu b. Lisan

Balada, anekdot, cerita, saga. Fonograf dan tape recording c. Karya seni

Potret, lukisan-lukisan sejarah, patung, mata uang, dan medali.

Sejumlah film tertentu, kineskop, dll.

Selanjutnya, sumber lisan yang terdiri dari dua kategori untuk sumber

(25)

a. Sejarah lisan (oral history), ingatan lisan (oral reminiscence) yaitu

ingatan tangan pertama yang dituturkan secara lisan oleh orang-orang

yang diwawacara oleh sejarwan.

b. Tradisi lisan (oral tradition) yaitu narasi dan deskripsi dari orang-orang

dan peristiwa-peristiwa pada masa lalu yang disampaikan dari mulut

ke mulut selama beberapa generasi.

Ada enam langkah penelitian sejarah menurut Wood Gray :

a. memilih suatu topic yang sesuai

b. mengusut semua evidensi (bukti) yang relevan dengan topic

c. membuat catatan tentang itu apa saja yang dianggap penting dan

relevan dengan topic yang ditemukan ketika penelitian sedang

berlangsung (misalnya dengan menggunakan system cards).

d. Mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah dikumpulkan

(kritik sumber)

e. Menyusun hasil-hasil penelitian (catatan fakta-fakta) kedalam

suatu pola yang benar dan berarti yaitu sistematika tertentu yang

telah disiapkan sebelumnya.

f. Menyajikan dalam suatu cara yanag dapat menarik perhatian dan

mengkomunikasikannya kepada para pembaca sehingga dapat

dimengerti sejelas mungkin (wood Gray dalam Sjamsuddin, 2012.

Hlm 70)

Di penelitian ini dalam mengambil data, peneliti menggunakan

sumber dokumenter berupa rekaman dan foto-foto yang sezaman dan

sumber tulisan berupa buku-buku literatur yang relevan dengan kajian.

Selain itu, penulis mencari dan mengumpulkan narasumber yang menjadi

pelaku dan saksi sejarah Tari tradisi Zapin 12 di Kuala Kampar.

Responden yang dikumpulkan yaitu para ketua adat, pelaku seni tua,

pelaku seni muda, musisi tradisi, dan seniman-seniman Zapin tradisi yang

masih ada. Pengumpulan sumber-sumber tertulis dilakukan dengan

melakukan kunjungan ke perpustakaan-perpustakaan antara lain

perpustakaan UPI, perpustakaan FPIPS UPI, perpustakaan Pascasarjana

(26)

Yogyakarta, perpustakaan UGM, perpustakaan Riau dan toko buku online

serta toko buku Palasari. Penulis membaca dan mengkaji buku-buku yang

secara langsung ataupun tidak langsung berhubungan dengan

permasalahan yang dikaji yaitu tentang “Rekonstruksi Tari Tradisi Zapin

12 Kuala Kampar di Sanggar Panglima Kota Pangkalan Kerinci

Kabupaten Pelalawan Riau”. Terutama buku-buku yang berkaitan dengan

Ilmu Sejarah, Rekonstruksi, Dekonstruksi, Seni Tradisi, Seni Pertunjukan,

Antropologi, Sosiologi. Pelatihan serta Tesis-tesis yang relevan dengan

penelitian yang dikaji.

Pengumpulan data literatur yang pertama penulis lakukan adalah

mendatangi kediaman dari narasumber pertama ataupun responden

pendukung yang beralamat di Kota Pangkalan Kerinci yang dilakukan

pada tanggal 25-27 November 2014. Hari itu data yang didapati adalah

berupa informasi awal mengenai keberadaan Zapin 12, dari kunjungan

pertama ini lah diketahui bahwa ada sebuah kesenian tradisi milik Kab.

Pelalawan yang berda diambang kepunahan. Interaksi yang tidak terlalu

lama ini menyimpulkan bahwa seharusnya memang harus diadakan

penelitian rekonstruksi ini agar Zapin 12 kembali ke lingkungan seni

Pelalawan Riau.

Berikutnya pada tanggal 10 Desember 2014, tempat lain yang

dikunjungi adalah perpustakaan Riau. Buku-buku yang penulis temukan di

antaranya buku menemukan buku-buku yang berkaitan dengan Zapin,

yakni 1. Zapin Melayu Nusantara; 2. Jagad Melayu Dalam Lintasan

Budaya di Riau; 3. Aspek-Aspek Dasar Koreografi Kelompok; 4.

Zapin/Gambus di Wilayah Kabupaten Deli-Serdang (Sumatra Utara);

2 Februari - 15 April 2015 ada beberapa buku yang mendukung

penelitian ini diambil dari perpustakaan UPI dan juga perpustakaan FPIPS

yakni 1. Study Kasus Sanggar Seni Jaran Bodhag “Sri Manis” Kota

Probolinggo; 2. Sanggar Seni Tradisi Sebagai Wahana Pewarisan Budaya

Lokal; 3. Pendidikan Seni Tari; 4. Tari Tinjauan dari Berbagai Seni; 5.

Pokoknya BHMN; 6. Pokoknya Kualitatif. Dasar-Dasar Merancang

(27)

Metodologi Sejarah; 9. Ilmu Pengantar Sejarah. Ditempat ini pula

buku-buku ilmu sejarah yaitu Pengantar Belajar Sejarah sebagai Ilmu karya

Ismaun dan Metodologi Sejarah karya Hellius Sjamsuddin didapatkan.

Pada buku-buku ini dipaparkan mengenai metodologi penelitian sejarah.

Hal ini sangat mendorong penulis dalam melakukan penelitian karena

didalamnya dijelaskan mengenai langkah-langkah melakukan penelitian

sejarah.

Lalu pada tanggal 28-30 April 2015, perpustakaan yang dikunjungi

adalah perpustakaan UGM, ISI Yogyakarta dan ISI Surakarta, adapun

referensi yang berhasil dikumpulkan antara lain, 1. Tesis yang berjudul

“Rekonstruksi tari Bedhaya Dirada Meta Surakarta”; 2. Penelitian yang

berjudul “Rekonstruksi tari Beksan Wireng Karna Tinanding, Yogyaarta”;

3. Buku Etnokoreologi, 4. Buku Seni Rupa dan Arkeologi, 5. Man People

Desmon Morris dan lain-lain. Pada tanggal 3-10 Maret 2015 ada beberapa

buku yang diambil dari perpustakaan ISBI Bandung yakni 1. Buku Seni

Pertunjukan Indonesia; 2. Panduan Rekonstruksi Seni Tradisi; 3. Notasi

Laban; 4. Aspek-aspek Dasar Koreografi Kelompok; 5. Seni dalam ritual

Agama dan lain sebagainya.

Buku-buku di atas menjadi acuan atau landasan berfikir seperti

yang telah dijelaskan sebelumnya sangat bermanfaat bagi penulis. Namun,

pada umumnya buku-buku tersebut tidak menjelaskan secara menyeluruh

terhadap permasalahan yang diambil dalam penulisan tesis ini.

Pembahasan sumber literatur tersebut hanya menguraikan Latar belakang

Zapin 12 di Kabupaten Pelalawan pada awal muncul, jaman penjajahan

dan pada awal kemerdekaan Indonesia ditambah dengan

perkembangannya di dunia seni Riau saat ini. Selain literatur, penulis

menggunakan studi dokumentasi dalam penelitian tesis ini.

Penulis mengadakan kunjungan pada tanggal 21 Mei 2015

terhadap H. Basri, Rusli serta Bahtiar yang bertempat tinggal di pulau

Penyalai yang letaknya sangat jauh dari pusat kota, karena harus melalui

jalur sungai untuk sampai ketujuan. Di sini penulis mendapatkan foto

(28)

permasalahan penelitian. Hal ini bisa berupa rekaman sezaman dan

foto-foto se zaman. Berdasarkan wawancara singkat mengenai Zapin 12, yang

dapat dijadikan sebagai sumber lisan yang nantinya akan menerangkan

permasalahan yang berhubungan dengan penelitian. Hal ini disebabkan

sumber lisan dapat membantu menjawab kekurangan dari sumber literatur

yang didapakan sebelumnya.

2. kritik sumber (eksternal/bahan dan internal/isi), tahap ini bertujuan untuk

menentukan otensitas dan kredibilitas sumber sejarah.

- Kritik eksternal: Otentitas dan integritas

Sebagaimana yang disarankan oleh istilahnya, kritik eksternal ialah

cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek “luar”

sumber sejarah. Sebelum semua kesaksian yang berhasil dikumpulkan

oleh sejarawan dapat digunakan untuk merekonstruksi masa lalu, maka

terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaaan yang ketat.

- Kritik internal

Kebalikan dari kritik eksternal, kritik internal sebagaimana yang

disarankan oleh istilahnya menekankan aspek “dalam” yaitu “isi” dari

sumber: kesaksian (testimoni). Setelah fakta kesaksian (fact of testimoni)

ditegakkan melalui kritik eksternal, tiba giliran sejarawan untuk

mengadakan evaluasi terhadap kesaksian itu. Ia harus memutuskan apakah

kesaksian itu dapat diandalkan (reliable) atau tidak. Keputusan ini

didasarkan atas penemuan dua penyidikan (inkuiri).

Dengan demikian kritik sumber ditujukan untuk menguji kebenaran

akta/evidensi setelah melalui berbagai penelurusan kritik, analisis, dan

perbandingan antara sumber-sumber sejarah yang diperoleh. Untuk

menguji kebenaran kesaksian yang dituturkan pelaku dan saksi sejarah

mengenai ”Rekonstruksi Tari Tradisi Zapin 12 Kuala Kampar di Sanggar

Panglima Kota Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan Riau”, diperlukan

kriteria-kriteria tertentu dan kredibilitas kesaksian. Kredibilitas saksi dapat

dilihat dari usia saksi, ingatan saksi, kejujuran saksi, apakah saksi sezaman

dengan peristiwa yang terjadi, biografi saksi, pendidikan, dan pengetahuan

(29)

dan saksi sejarah koperasi Sejahtera yang sezaman dengan tahun kajian.

Teknik yang digunakan penulis untuk memperoleh informasi/berita dari

narasumber yaitu teknik wawancara. Teknik wawancara merupakan suatu

hal yang penting dalam pengumpulan sumber lisan, karena penulis dapat

berdialog dan memperoleh informasi langsung dari narasumber mengenai

peristiwa sejarah yang terjadi.

Teknik wawancara yang digunakan penulis terdiri dari dua

langkah, yaitu wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur.

Wawancara terstruktur merupakan wawancara yang dilakukan dengan

narasumber dengan mengajukan pertanyaan dari daftar pertanyaan yang

telah dipersiapkan penulis sebelumnya. Adapun wawancara tidak

terstruktur yaitu wawancara yang dilakukan dengan narasumber dengan

mengajukan pertanyaan tambahan di luar daftar pertanyaan yang telah

disusun penulis. Pertanyaan tambahan ini muncul saat berlangsung

wawancara dan terdapat informasi baru dari narasumber. Penulis

melakukan teknik wawancara kepada pelaku/saksi sejarah yang masih

hidup. Wawancara dilakukan dengan menggunakan alat bantu yaitu alat

perekam guna merekam semua informasi yang diperoleh dari narasumber

saat wawancara berlangsung dan daftar pertanyaan. Narasumber yang

dikumpulkan penulis berjumlah 8 orang yakni, pelaku kesenian tradisi

Zapin 12 ada tiga orang, dua orang lagi narasumber yang berhubungan

dengan Zapin di Nusantara dan di Riau, mediator sebagai narumber awal

ada dua orang, dan untuk narasumber yang berkenaan dengan rekonstruksi

ada 3 orang.

Deskripsi biografi pelaku seni yang berkenaan dengan Zapin 12

adalah, pertama H. Basri yang saat ini berusia 60 tahun, lahir di Pangkalan

Tanduk, 31-12-1955, agama Islam, karenahampir 100% agama yang

dianut masyarakat Melayu Kampar di kepulauan Penyalai adalah agama

Islam. Pekerjaan H. Basri adalah pedagang, alamat rumah H. Basri di

Pasar Minggu, Kel. Teluk Dalam pulau Penyalai Kecamatan Kuala

(30)

tangan sejarah pertama yang masih menarikan Zapin 12. Dahulunya beliau

menarikan Zapin 12 ini berdua dengan alm. Istri beliau.

Narasumber atau responden selanjutnya adalah Rusli, Rusli adalah

abang kandung dari H. Basri yang sama-sama lahir di Pangkalan Tanduk,

25-1-1948, artinya saat ini usia Rusli adalah 62 tahun. Agama yang dianut

oleh Rusli juga sama denga H. Basri yakni agama Islam. Rusli bekerja

sebagai wiraswasta yang beralamat di Parit Mawar, RT 03 RW 07.

Peranan Rusli dalam penelotian ini adalah sebagai sumber primer atau

tangan sejarah pertama yang masih menarikan Zapin 12, Rusli abang dari

H. Basri, yang dahulunya selain menarikan berdua istrinya, beliau jga

sering kali menarikan Zapin 12 bersama H. Basri. Narasumber berikutnya

adalah Bahtiar Mustapa yang lahir di Dedap, 8-5-1948 dan saat ini berusia

sama dengan Rusli yakni 62 tahun. Agama yang dianut oleh Bahtiar adalah

Islam. Bahtiar adalah pensiunan perangkat Kecamatan Kuala Kampar,

sehingga melalui beliaulah informasi data mengenai Kuala Kampar

didapati. Bahtiar tinggal Parit Mawar, RT 01 RW 05. Peranan Bahtiar pada

penelitian ini adalah sebagai Sumber primer atau tangan sejarah pertama

yang juga merupakan orang tua dari Rudi Jansafni dan Hidayatusolihin

musisi dan juga penari penerus Zapin 12 yang aktif di Sanggar Panglima.

Dari beliau banyak data didapat berupa sejarah , keberadaan masuk Zapin

12, lingkungan masyarakat Melayu Kampar di Kuala Kampar dan juga

etnografi Kuala Kampar yang berhubungan dengan hadirnya Zapin 12.

Beliau adalah pensiunan perangkat desa. Masih ada beberapa narasumber

lain yang berkaitan dengan penelitian ini namun tidak dapat dijelaskan satu

persatu karena data biografi pendukung penelitian ini telah ada

lampirannya.

3. Penulisan Sejarah : Historiografi (Penafsiran, Penjelasan, Penyajian), tahap

ini bertujuan untuk memisah dan menggabungkan atau mensintesakan

fakta sejarah berdasarkan subjek kajian.

“Historiografi atau penulisan sejarah ialah cara untuk

merekonstruksi suatu gambaran masa lampau berdasarkan data yang

(31)

Historiografi adalah “pelukisan sejarah, gambaran sejarah tentang peristiwa yang terjadi pada waktu yang lalu” (Ismaun, 2005 hlm. 28).

Tahap ini merupakan tahap terakhir dari penelitian yang memaparkan dan

melaporkan seluruh hasil penelitian dalam bentuk tulis ilmiah. Sjamsuddin

(2007 hlm. 156) mengatakan bahwa “historiografi adalah penulisan yang

utuh berupa suatu sintesis hasil penelitian atau penemuan sejarah”. Bukan

hanya keterampilan teknis penggunaan kutipan dan catatan, akan tetapi

dengan penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisisnya juga.

Dalam tahap historiografi seorang peneliti dituntut untuk memiliki

kemampuan berfikir secara kronologis agar deskripsi peristiwa yang

disajikan memiliki ketersambungan satu sama lain. Penulisan sejarah

mengenai ”Rekonstruksi Tari Tradisi Zapin 12 Kuala Kampar di Sanggar

Panglima Kota Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan Riau” disusun

secara sistematis menurut urutan waktu dan berdasarkan metodologi

keilmuan yang telah dilakukan. Penulisan tersebut dideskripsikan

berdasarkan fakta-fakta yang telah dikritik dan diinterpretasi sebelumnya.

Penulisan tersebut dipaparkan dalam bentuk laporan ilmiah yang memiliki

sistematis tersendiri berdasarkan rumusan permasalahan yang telah

disusun.

Menghimpun sumber-sumber sejarah adalah suatu keharusan

dalam proses rekonstruksi. Untuk membantu metode sejarah dalam

mengumpulkan data dan mencari alternatif untuk menjangkau

sumber-sumber sejarah yakni melalui ilmu bantu sejarah antara lain: arkeologi,

oorkondoleer, filologi, paleografi, kronologi, numismatic, genealogi, etnografi, demografi, ilmu hokum, dan geografi. Ilmu bantu sejarah yang

berkenaan dengan penelitian rekonstruksi ini adalah arkeologi (karena

sejarah masa lampau menghasilkan artefak berupa tarian yang hampir

punah), kronologi (karena sejarah masa lampau hingga saat ini

membutuhkan sebuah perhitungan waktu/periodesasi dari masa ke masa,

genealogi (karena penelitian ini membahas mengenai garis keturunan), dan

etnografi (yakni karena penenlitian ini juga membicarakan lingkungan

(32)

Ada dua kajian dalam penelitian ini, pertama mendekonstruksi

Zapin 12 lalu merekonstruksi sebuah tari tradisi setelah direkonstruksi tari

tersebut diimplementasikan ke Sanggar Panglima, yang mana Sanggar

Panglima adalah salah satu pendidikan nonformal. Berdasarkan focus

permasalahan yang diteliti, maka dalam implementasi hasil rekonstruksi

tari Zapin 12 ini akan dilaksanakan dari perencanaan atau perancangan

penelitian, dalam hal ini persiapan dalam segala hal, dari instrumen,

dokumen dan semua yang diperlukan untuk menunjang penelitian ini,

kemudian penelitian dilaksanakan berdasarkan rancangan penelitian yang

sudah dibuat.

Dalam penelitian kerangka tesis ini data diambil langsung dari

lapangan yaitu di Sanggar Panglima Kota Pangkalan Kerinci Kabupaten

Pelalawan, di kota Pekanbaru dan juga di desa Tenggalai Kuala Kampar,

dengan objek menyusun kembali seni tradisi yang hampir punah melalui

proses pembelajaran di dalam pendidikan luar sekolah yang bertujuan

untuk memberi gambaran tentang sesuatu yang ada dalam “Rekonstruksi

Tari Tradisi Zapin 12 Kuala Kampar di Sanggar Panglima Kabupaten

Pelalawan”. Uraian singkat berdasarkan teori, pendekatan dan konsep,

digunakan untuk mencapai tujuan dilakukannya rekonstruksi tari tradisi

Zapin 12 yang kemudian diimplementasikan di Sanggar Panglima dapat

diproyeksikan pada kerangka berpikir disajikan dalam bentuk bagan di

bawah ini.

a. Interpretasi merupakan kemamapuan sejarawan untuk menafsirkan

fakta-fakta yang teruji lantas menyusunnya ke dalam sebuah narasi.

Interpretasi ditujukan untuk mengkaji relasi antar fakta yang telah diuji

sebelumnya. Menurut Sjamsuddin ada dua cara dalam melakukan

penafsiran peristiwa sejarah, yang pertama cara penafsiran menurut

determinisme. Penafsiran ini menekankan pada faktor keturunan (fisik-biologis-rasial) dan lingkungan fisik (geografis). Adapun cara yang

kedua adalah cara penafsiran menurut kemauan bebas manusia serta

kebebasan manusia dalam mengambil keputusan. Sudut pandang ini

(33)

peranan manusia itu sendiri, baik secara langsung maupun tidak

langsung.

Peneliti menggunakan pemikiran sejarah yang deterministik dalam

melakukan penafsiran terhadap fakta-fakta sejarah. Pemikiran sejarah

yang deterministik ini menolak semua penyebab yang berdasarkan

kebebasan manusia dalam menentukan dan mengambil keputusan

sendiri. Pemikiran ini lebih berpendapat bahwa sebenarnya manusia

ditentukan oleh kekuatan yang berada di luar dirinya seperti yang

diungkapkan oleh Romein dan Lucey dalam Sjamsuddin (2007: 163)

bahwa“tenaga-tenaga atau kekuatan yang berada di luar diri manusia

berasal dari dunia fisik seperti faktor geografi, etnologi,

faktor-faktor dalam lingkungan sosial budaya manusia seperti sistem budaya

dan sosial”.

Dengan begitu, melalui pendekatan interdisipliner maka akan

memudahkan penulis dalam menjelaskan permasalahan Zapin 12 yang

dikaji. Ilmu sosial yang digunakan penulis dalam pendekatan ini adalah

ilmu Sosiologi dan Antropologi. Penulis menggunakan konsep-konsep

Sosiologi dan Antropologi untuk mengkaji permasalahan yang

berhubungan dengan tema penelitian. Misalnya, dari konsep Sosiologi

penulis menggunakan konsep hubungan antar masyarakat. Dari

konsep Antropologi, Penulis menggunakan konsep kebudayaan.

Melihat deskripsi di atas, dapat digarisbawahi bahwa yang perlu

diperhatikan dalam melakukan kritik eksternal sumber lisan adalah

berkaitan siapa orang yang memberikan kesaksian, apakah orang

tersebut sezaman dengan tahun yang dikaji, apakah orang tersebut

benar-benar mengetahui fakta sejarah, bagaimana dengan kondisi fisik

(misalnya berupa kemampuan ingatan) orang tersebut. Cara lain yang

digunakan dalam melakukan kritik eksternal adalah dengan

mengidentifikasi narasumber. Apakah narasumber tersebut

(34)

b. Penjelasan (Eksplanasi), dalam pembahasan mengenai metodologi

sejarah, penjelasan merupakan salah satu pusat utama yang menjadi

sorotan. Masalah penjelasan sejarah merupakan topic yang hangat

diperdebatkan khususnya oleh ahli filsafat sejarah.

Sebenarnya kata kerja “menjelaskan” dari bahasa Inggris to explain

(menjadi: “penjelasan”, eksplanasi, explanation) digunakan dalam arti

biasa oleh D.H Fischer yaitu:membuat terang, jelas, dan dapat

dimengerti”

c. Penyajian (Ekspose, Darstellung), dalam penulisan sejarah, wujud dari

penulisan (historiografi) itu merupakan paparan, penyajian, presentasi,

atau penampilan (eksposisi) yang sampai kepada dan dibaca oleh para

pembaca atau pemerhati sejarah. Paling tidak secara bersamaan

digunakan tiga bentuk tekhnik dasar tulis menulis sebagai wahana

yaitu deskripsi, narasi, dan analisis.

Ketika sejarawan menulis, ada dua dorongan utama yang

menggerakkannya yakni: (1) mencipta ulang (re-create); (2)

menafsirkan (interpret) serta menjelaskan (explain). Dorongan pertama

menuntutnya membuat deskripsi dan narasi, sedangkan dorongan kedua

menuntutnya membuat analisis (Tosh dalam Sjamsuddin, 2012, hlm.

185).

Sehubungan dengan tekhnik deskripsi, narasi dan analisis,

sebenarnya sebagian terbesar sejarawan dalam berkarya dalam

karya-karya mereka itu “bercerita”, akan tetapi sejarah yang diceritakan oleh

para sejarawan itu, menurut ahli filsafat sejarah Arthur C. Danto adalah

“cerita-cerita yang sbenarnya”. Mereka berusaha sebaik-baiknya untuk

menceritakan cerita-cerita sebenarnya menurut topic-topik atau

masalah-masalah yang mereka pilih (Fischer dalam Sjamsuddin, 2012:

hlm. 186). Hanya saja tekhnik deskripsi-narasi ini sering kali dikaitkan

dengan bentuk atau model “sejarah lama” (old story), sedangkan

tekhnik analisis-kritis dikaitkan dengan bentuk atau model “sejarah

baru” (new history) yang dianggap lebih ilmiah. (Himmelfarb dalam

(35)

Bagan 3.1 Kerangka Berpikir (Sumber: Kreasi Peneliti, 2015)

B. Subjek Penelitian dan Lokasi Penelitian

1. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah H. Basri, Rusli, Yuwaidah, dan Sanggar

Panglima, yang memiliki fokus penelitian terhadap Rekonstruksi tari tradisi Zapin

12 Kuala Kampar. Proses Rekonstruksi ini terjadi karena ketertarikan kembali

Rudi Jansafni terhadap kesenian tradisi daerahnya yang ia ketahui tari tersebut

hanya tinggal 2 orang tua saja yang bisa menguasainya, mereka adalah H. Basri

dan Bapak Rusli. Apalagi ketika diketahui tari tersebut sampai saat ini belum

diwariskan dalam arti kata generasi muda di masyarakat setempat tidak

mengetahui bahkan hampir acuh tak acuh terhadap kesenian tradisi yang telah Metode Historis

(36)

hadir di pelalawan semenjak Zaman Kerajaan Pelalawan. Selain peneliti,H. Basri

dan Rusli, ada Rudi, Yuwaidah, seluruh anggota Sanggar tari Panglima dan bapak

bahtiar sebagai responden atau subjek pendukung dalam penelitian ini. Banyak

ketertarikan yang terdapat dalam Subjek penelitian ini, mulai dari keberadaan

Zapin 12 yang hampir punah, lalu ketiga generasi tua yang sudah mencapai usia

70 tahun, proses penyusunan kembali gerak dan struktur Zapin 12 dan proses

pelatihan yang terjadi di Sanggar Panglima dengan segala kekurangan, kendala

dan hambatannya.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terletak di Kabupaten Pelalawan adalah Pangkalan

Kerinci dengan luas 12.490,42 km2. Proses Rekonstruksi tari tradisi Zapin 12

Kuala Kampar yang terjadi di 3 lokasi berbeda dan memiliki jarak yang berjauhan

namun masih dalam wilayah Riau. Ke 3 lokasi tersebut adalah Sanggar Panglima

berada di Kabupaten Pelalawan, lalu di kota Pekanbaru dan terakhir di desa

Tenggalai Kecamatan Kuala Kampar Pelalawan. Sanggar Panglima yang

bertempat di Jalan Ananda, kecamatan Pangkalan Kerinci, Kota Pangkalan

Kerinci, Kabupaten Pelalawan. Pekanbaru mengikuti objek yang diteliti, ada 2

tempat yang sering peneliti jadikan tempat untuk proses Rekonstruksi yakni

Taman Budaya Provinsi Riau dan Sekretariat Sanggar Tameng Sari Dance

Company, dan desa Tenggalai yang terdapat di kepulauan Penyalai Kecamatan

Kuala Kampar tepatnya di kediaman bapak Bachtiar ayahanda dari Rudi Jansafni.

Kabupaten Pelalawan adalah salah satu kabupaten hasil dari pemekaran

Kabupaten Kampar pada tanggal 12 oktober 1999.

Gambar

Tabel 3.1 Variable matriks pengumpulan data
Tabel 3.2 Agenda Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Dalam sebuah manajemen obyek daya tarik pada sebuah wisata religi dalam pengelolaan dan untuk peningkatan pelayanan terhadap para peziarah tidak lepas dengan yang

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwasanya dari kedua usaha peternakan ayam pedaging yang ada di Desa Ratna Chaton Kecamatan Seputih Raman, keduanya

menyebutkannya (cerita atau peristiwa itu terjadi dalam waktu yang tidak tertentu). Rangkaian peristiwa tidak mungkin terjadi jika dilepaskan dan perjalanan

Peningkatan Kemampuan Penalaran dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif.. Tesis pada PPs UPI Bandung:

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. Dependent

Kegiatan penetapan pejabat publik yang telah dilakukan oleh DPR RI melalui Komisi terkait selama 2014-2016, antara lain penetapan: Kantor Akuntan Publik, Calon Kapolri,

dilakukan untuk menganalisis pengaruh pencucian membran dan menentukan tegangan optimum pada proses elektrodialisis dalam pengolahan air payau menjadi air tawar dilihat dari

untuk menjaga kebersihan kelas setiap hari siswa mengerjakan ..... upacara