• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Latar Belakang - Wahyu Azizah BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "A. Latar Belakang - Wahyu Azizah BAB I"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Remaja adalah masa perkembangan transisi antara masa anak-anak

dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan

sosial-emosional (Santrock, 2007). Wong (2009) menyatakan usia remaja sekitar 11

sampai 12 tahun dan berakhir pada usia 18 sampai 20 tahun. Hurlock (2008)

membagi masa remaja menjadi dua yaitu masa remaja awal (13 hingga 16

atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun).

Towsend (2009) mengatakan usia remaja adalah 12 sampai 20 tahun.

Para ahli perkembangan membedakan masa remaja menjadi periode

awal dan periode akhir. Masa remaja awal terjadi perubahan di otak yang

memungkinkan kemajuan dalam berfikir, perubahan fisik yang signifikan,

mulai ada ketertarikan pada lawan jenis. Sedangkan masa remaja akhir

kurang lebih terjadi pada pertengahan dasawarsa yang ke dua dari kehidupan.

Minat karir, pacaran, dan eksplorasi identitas sering kali lebih menonjol pada

masa remaja akhir dibandingkan dengan masa remaja awal. Tercapainya

tumbuh kembang yang optimal tergantung pada potensi biologik. Tingkat

tercapainya potensi biologik seorang remaja merupakan hasil interaksi antara

faktor genetik dan lingkungan biofisikopsikososial.

(2)

pubertas ini lebih mengarah pada perubahan fisik. Perubahan ini yang sering

menimbulkan masalah pada remaja, perubahan fisik yang dialami remaja

mempengaruhi keadaan psikologis seperti perubahan fisik yang terjadi

berkaitan dengan masalah penampilan. Permasalahan yang muncul pada diri

remaja dapat juga dipengaruhi oleh kurangnya komunikasi dengan orang tua.

Hal ini dikarenakan kurang adanya keterbukaan antara orang tua dengan

remaja dan kurangnya pengetahuan yang dimiliki orang tua atau terhambat

oleh sopan santun atau rasa malu.

Kesenjangan yang sering berkembang antara remaja awal dan orang

tua menghalangi remaja awal bertanya mengenai perubahan yang terjadi pada

tubuhnya. Perubahan yang terjadi dapat mempengaruhi kepercayaan diri

remaja, karena kurangnya informasi yang diterima. Hal ini sebagai akibat dari

ketidakmatangan sosial dan kognitif (daya pikir) mereka, dihubungkan

dengan perkembangan fisik yang lebih awal.

Masa remaja adalah usia dimana individu berinteraksi dengan

masyarakat. Seorang remaja menurut (Sarwono, 2006) harus memiliki

interaksi sosial yang baik dengan lingkungannya. Interaksi sosial di kalangan

remaja yaitu interaksi yang terjadi antara remaja dengan teman sebaya,

remaja dengan lingkungan keluarga dan remaja dengan orang tua.

Lingkungan keluarga adalah faktor utama yang sangat dibutuhkan oleh anak

dalam proses perkembangan sosialnya yaitu kebutuhan akan rasa aman,

(3)

keluarga (Ali & Asrori, 2012). Selain keluarga remaja juga sangat perlu untuk

berinteraksi dengan orang lain.

Interaksi sosial adalah titik awal berlangsungnya suatu peristiwa

sosial. Menurut (Kolopaking dkk, 2003), interaksi sosial merupakan

hubungan antara orang peroangan, antara kelompok-kelompok manusia,

maupun antara orang-perorangan dengan kelompok manusia. Kontak antara

orang-perorang menurut Rakhmat (2004) dapat dikatakan sebagai kegiatan

komunikasi interpersonal, hubungan beberapa orang yang terjadi diantara

mereka dapat dikatakan sebagai komunikasi kelompok. kontak sosial dapat

berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu (a) antara orang perorangan, misalnya

antara seorang santri dengan temannya, (b) antara orang perorangan dengan

suatu kelompok, misalnya antara seorang santri dengan keluarganya, dan (c)

antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya, misalnya antara kelompok

santri asal dengan ustad/ustadzah.

Dalam berkomunikasi tentunya seseorang harus memiliki kemampuan

komunikasi. Hal ini merupakan hal penting bagi seseorang dan terutama

untuk remaja. kemampuan komunikasi adalah kemampuan seseorang dalam

penyampaian informasinya dengan menggunakan bahasa yang dapat diterima

dan memadai secara umum (Kridalaksana, 2000). Remaja yang memiliki

kemampuan komunikasi yang baik mampu mengatasi dan mengarahkan

dirinya, memperhatikan dunia luar. Kemampuan komunikasi yang dimiliki

oleh remaja harus dikembangkan sehingga remaja memiliki kemampuan

(4)

Aspek- aspek komunikasi menurut De Vito (2011) meliputi

keterbukaan, empati, sikap suportif, perasaan positif dan kesetaraan.

Keterbukaan menunjukkan keinginan untuk membuka diri atau berbagi

infomasi yang biasanya ditutupi oleh seseorang, Empati dimaksudkan

kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain atau mencoba

merasakan apa yang sedang dialami oleh orang lain. Sikap suportif dapat

menciptakan suasana sehingga individu menjadi bebas dan tidak malu dalam

mengungkapkan perasaan. Perasaan positif dalam hal ini memberikan

penghargaan yang positif untuk seseorang atau orang lain dengan

memberikan respon yang positif. Komunikasi akan berlangsung efektif jika

situasi yang diciptakan antara pembicara dan pendengar sejajar.

Dalam proses pembentukan kemampuan komunikasi remaja

dibutuhkan dukungan. Santrock (2006) mengemukakan bahwa dukungan

sosial adalah sebuah informasi atau tanggapan dari pihak lain yang disayangi

dan dicintai yang menghargai dan menghormati dan mencakup suatu

hubungan komunikasi dan situasi yang saling bergantung. (Sarwono, 2006),

seorang remaja harus memiliki interaksi sosial yang baik dengan

lingkungannya. Interaksi sosial di kalangan remaja yaitu interaksi yang terjadi

antara remaja dengan teman sebaya, remaja dengan lingkungan keluarga dan

remaja dengan orang tua. Lingkungan keluarga adalah faktor utama yang

sangat dibutuhkan oleh anak dalam proses perkembangan sosialnya yaitu

kebutuhan akan rasa aman, dihargai, disayangi, diterima dan kebebasan untuk

(5)

Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Molaei Fini dan Shikhi

(2015). Dengan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

kemampuan komunikasi dan kesehatan mental dengan prestasi kerja staf

Melli Bank of Bandar Abbas pada tahun 2005. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa ada hubungan yang signifikan antara kemampuan komunikasi (p =

0,001) dimensi kesehatan mental (p = 0,001) prestasi kerja. Oleh karena itu,

keterampilan komunikasi dan dimensi kesehatan mental merupakan indikator

yang baik untuk menjelaskan prestasi kerja para staf .

Seiring dengan masa perkembangannya, remaja memiliki tugas

perkembangan yang mana dituntut untuk mempersiapkan diri dalam

memasuki masa tersebut agar remaja dapat memiliki keutuhan pribadi dalam

arti yang seluas-luasnya (Sarwono, 2011). adanya perubahan tugas yang

dialami masa perkembangan ini menjadikan beban dalam kehidupannya.

Sebagaimana dinyatakan oleh Sofia (2009) bahwa pertumbuhan fisik masa

remaja akan diikuti oleh adanya gejolak dan permasalahan baik secara medis

maupun psikososial. Gejolak dan permasalahan ini dapat disebabkan oleh

kondisi remaja yang sedang mencari jati diri terhadap norma-norma baru

yang berlaku di dalam lingkungannya.

Mengembangkan jati diri remaja salah satunya dapat dikembangkan

melalui proses pendidikan. Pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003 Pasal

13 ayat 1 dinyatakan bahwa jalur pendidikan terdiri dari pendidikan formal,

non-formal dan informal. Pondok pesantren adalah salah satu lembaga

(6)

Secara umum pondok pesantren dibagi menjadi dua yaitu pondok

pesantren tradisional (salafi) dan pondok pesantren modern (khalafi). Pondok

Pesantren tradisional mengajarkan pengajaran kitab-kitab Islam klasik tanpa

mengajarkan pengajaran pengetahuan umum, sedangkan pesantren modern

telah memasukkan pengajaran pengetahuan umum dalam lingkungan

pesantren dengan sistem pendidikan klasikal (Dhofier, 2011).

Pondok Pesantren Darul Mujahadah merupakan pondok Pesantren

modern. Sistem pendidikan yang diajarkan tentang kitab-kitab klasik dan juga

mengajarkan pengajaran pengetahuan umum seperti mata pelajaran ilmu

pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial. Selain sistem pengajaran,

Pondok Darul Mujahadah mengajarkan penguasaan bahasa lisan yang

dipraktekkan untuk kehidupan sehari-hari seperti diwajibkan untuk

menggunakan bahasa Inggris dan Arab selama satu minggu secara bergantian.

Remaja yang tinggal di Pondok Pesantren atau tidak tinggal di

Pesantren keduanya sama-sama memiliki syarat mutlak untuk terjadinya

interaksi sosial yaitu adanya interaksi sosial atau adanya komunikasi.

Interaksi sosial tidak hanya dengan anggota keluarga, tetapi juga terjadi

dengan orang lain di luar keluarga seperti teman atau masyarakat sekitar

tempat tinggal. Di lingkungan Pondok Pesantren para santri dapat melakukan

kontak sosial dan komunikasi dengan sesama santri, pengurus pesantren, dan

ustad/ustadzah. Hal ini sama seperti remaja yang tinggal bersama keluarga.

Menurut penlitian oleh Pratama (2013) tentang pola komunikasi bagi

(7)

menunjukan bahwa 1) pola komunikasi antar individu di dalam komunitas

pondok pesantren An-Nawawi berpengaruh besar dengan dilatar belakangi

oleh pendidikan kyai dan para pengasuhnya, 2) faktor pendukung a) adanya

penerapan tauladan yang baik dari pendiri pondok , dukungan dari pengasuh,

hubungan baik antar pengasuh dan orang tua wali, dan adanya kritikan yang

bersifat membangun dan saran dari setiap kalangan b) sikap yang kurang

dewasa, komunikasi yang terbatas, perbedaan budaya, santri yang terasa asing

dengan tradisi dan peraturan-peraturan, dan salah dalam pergaulan.

Menurut observasi pada remaja dipondok dan yang tinggal di luar

pondok, remaja yang tinggal bersama keluarga sudah terbiasa beradaptasi

dengan remaja tanpa ada batas dan peraturan, mereka lebih mempunyai

banyak pengalaman dalam berinteraksi dengan orang lain. Berbeda dengan

remaja yang tinggal di Pondok Pesantren, mereka cenderung jika keluar

pondok merasa mempunyai keterbatasan komunikasi dengan remaja diluar

Pondok Pesantren, mereka merasa malu dan menganggap kehidupan mereka

berbeda dengan remaja yang tinggal dirumah. Remaja yang tinggal di pondok

mereka hanya merasa nyaman jika berbicara dengan teman sebaya

dipondoknya. Jadi santri memiliki kecenderungan memiliki rasa tidak

percaya diri untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Di Pondok Pesantren Darul Mujahadah Margasari terdapat berbagai

kegiatan yang mana melatih kemampuan komunikasi seperti muhadatsah

(percakapan) setiap satu minggu dua kali, mukhadoroh (perkumpulan)

(8)

menggunakan bahasa Arab dan Inggris setiap harinya, begitu pun dengan

perlombaan yang diadakan di Pondok. Namun tidak banyak santri yang

merasa dirinya tidak percaya diri dan sangat membutuhkan dukungan orang

yang disayanginya seperti keluarga dan teman dekatnya di Pondok akan tetapi

dukungan keluarga tidak bisa mereka dapatkan setiap hari dikarenakan

mereka tidak tinggal bersama keluarga.

Remaja akan merasa minder, kurang percaya diri jika merasa ada

kekurangan yang ada pada dirinya. Jika hal ini terjadi pada mereka bisa

menimbulkan keinginan untuk menutup diri, selain karena konsep diri yang

negatif timbul dari kurangnya kepercayaan kepada kemampuan mereka

sendiri. Orang yang tidak menyenangi dirinya sendiri merasa bahwa dirinya

tidak akan mampu mengatasi persoalan. Hal ini timbul karena kurangnya

komunikasi dengan orang tua atau orang dewasa lain dalam memecahkan

masalahnya.

Walaupun remaja yang tinggal dipondok tidak tinggal dengan orang

tuanya akan tetapi mereka bisa berinteraksi dengan teman-teman,

ustad/ustadzah, serta pengasuh pondok lainnya. Oleh karena itu untuk dapat

mengatasi ketakutan dan kegalauan atas semua perubahan baik fisik maupun

psikis, serta mampu melaksanakan tugas perkembangan pada masa remaja,

hendaknya remaja mampu mengenali, memahami, menerima keadaan dirinya,

yang tentunya sangat membutuhkan pengertian dan dukungan dari pihak

(9)

Menurut penelitian oleh Nurjanah (2011) hasil penelitian menunjukan

bahwa identitas diri remaja meningkat sebanyak 5,13 poin ( pvalue< 0,05)

pada kelompok intervensi setelah mendapatkan terapi generalis dan

keterampilan sosial yang dilakukan dalam 5 sesi. Penelitian ini

merekomendasikan perlunya terapi generalis dan keterampilan sosial untuk

meningkatkan pencapaian identitas diri remaja. Kenaikan poin yang

menunjukan pencapaian identitas diri ditunjukan pada kelompok yang

diberikan terapi generalis dan latihan keterampilan sosial. oleh karena itu

terapi generalis dan pelatihan ketrampilan sosial perlu dilakukan untuk

pencapaian identitas diri.

Fateme Nequee, dkk (2013) melakukan penelitian pada SMA di kota

Mahallat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sepuluh sesi pelatihan

keterampilan yang efektif dalam meningkatkan kemampuan orang (P

<0/0001) Dengan kata lain; metode ini bisa meningkatkan keterampilan sosial

yang positif dan mengurangi keterampilan negatif di kalangan mahasiswa.

Temuan mengungkapkan bahwa lokakarya diterapkan pada kelompok

eksperimen (30 = n) telah efektif. Membandingkan skor pre-test dan post-test

dari kelompok eksperimen dan membandingkan dengan kelompok kontrol

menunjukkan peningkatan yang signifikan. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa metode pelatihan keterampilan sosial meningkat keterampilan sosial

yang positif dan penurunan keterampilan sosial negatif dalam kelompok

(10)

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada

tanggal 2 Oktober 2016 Di Pondok Pesantren Darul Mujahadah Margasari

pada santri dan ustadzah melalui wawancara, didapatkan permasalahan yang

ada di pondok pesantren tersebut diantaranya terdapat santri yang ketika

berbicara dengan ustad/ustdzah menunduk seperti tidak berani menatap

wajah, dan juga terdapat santri yang memiliki ketidak percayaan diri santri

dalam menunjukan kemampuan karena di pondok pesantren tersebut banyak

kegiatan yang membutuhkan kepercayaan diri diantaranya latihan berpidato

setiap seminggu satu kali, muhadatsah (percakapan) setiap seminggu dua

kali, dari tiga santri yang diwawancarai terdapat dua santri yang mengatakan

jika ada masalah ia lebih nyaman bercerita dengan temannya dan satu santri

memilih untuk tidak cerita dengan teman atau ustadzahnya, ia lebih memilih

untuk memceritakannya dengan orang tuanya, bermain peran dalam kegiatan

lomba drama bahasa dan lain sebagainya. Selain peneliti mendapatkan

informasi dari pengasuh pondok pesantren peneliti pun mengobservasi

keseharian remaja, dan peneliti sebagai alumni pondok pesantren Darul

Mujahadah oleh karena itu peneliti mengambil permaslaahan yang ada

dipondok. Berdasarkan permasalahan diatas dapat disimpulkan bahwa santri

yang memiliki ketidak percayaan diri dalam berkomunikasi membutuhkan

pelatihan keterampilan sosial terhadap kemampuan komunikasi bagi remaja

(11)

Dari latar belakang yang telah dipaparkan peneliti diatas maka peneliti

tertarik untuk melakukan pelatihan keterampilan sosial terhadap kemampuan

komunikasi pada remaja di Pondok Pesantren Darul Mujahadah.

B. Rumusan Masalah

“Apakah ada pengaruh pelatihan keterampilan sosial terhadap kemampuan

komunikasi pada remaja di pondok pesantren Darul Mujahadah ? “

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis

pengaruh pelatihan keterampilan terhadap kemampuan komunikasi pada

remaja di pondok pesantren Darul Mujahadah

2. Tujuan Khusus

a. Mendeskripsikan karakteristik remaja di pondok pesantren Darul

Mujahadah

b. Mendeskripsikan kemampuan komunikasi remaja kelompok

intervensi dan kontrol sebelum dilakukan pelatihan keterampilan

sosial pada kelompok intervensi.

c. Mendeskripsikan kemampuan komunikasi remaja kelompok

intervensi dan kontrol sesudah dilakukan pelatihan keterampilan

sosial pada kelompok intervensi.

d. Menganalisa perbedaan pelatihan keterampilan sosial terhadap

kemampuan komunikasi remaja pada kelompok intervensi dan

(12)

e. Menganalisa pengaruh pelatihan keterampilan sosial terhadap

kemampuan komunikasi remaja.

D. Manfaat Penelitian

a. Bagi santri

Untuk meningkatkan kemampuan komunikasi pada santri di Pondok

pesantren Darul Mujahadah.

b. Bagi peneliti

Dapat menambah wawasan tentang pengaruh keterampilan social

terhadap kemampuan komunikasi pada remaja

c. Bagi pengasuh

Diharapkan bagi pengasuh pondok pesantren Darul mujahadah dapat

memberikan motivasi dan dukungan kemampuan komunikasi terhadap

remaja di pondok.

d. Bagi profesi keperawatan

Untuk menjadikannya sebagai dasar pertimbangan dalam menetapkan

standar asuhan dan standar praktek keperawatan pada klien yang

mempunyai kekurangan dalam berkomunikasi.

E. Keaslian Penelitian

1. Nurjanah, S. (2011) dengan judul “Pengaruh terapi generalis dan

ketrampilan sosial terhadap pencapaian identitas diri remaja panti

asuhan di kabupaten banyumas” Penelitian desain quasi

experimentalwith pre-post test control group melibatkan remaja usia

(13)

kelompok intervensi dan 30 orang control ) yang dipilih dengan

purposive sampling. Hasil penelitian menunjukan identitas diri

remaja meningkat sebanyak 5,13 poin ( p value < 0,05) pada

kelompok interveni setelah mendapatkan terapi generalis dan

keterampilan sosial. Penelitian ini merekomendasikan perlunya

terapi generalis dan keterampilan sosial untuk meningkatkan

pencapaian identitas diri remaja.

Persamaan dengan penelitian di atas yaitu sama-sama memberikan

keterampilan sosial pada remaja. perbedaan dengan penelitian diatas

yaitu responden yang diteliti oleh Nurjanah (2011) adalah remaja

panti asuhan, sedangkan responden dalam penelitian ini remaja

pondok pesantren.

2. Pangesti, M. (2016) dengan judul “Konseling Behavior dan

Pelatihan Keterampilan Sosial untuk Meningkatkan Interaksi Sosial

pada Pasien Skizofrenia” Dalam penelitian ini menggunakan studi

kasus. Pengumpulan data dengan menggunakan wawancara dan

observasi serta pemberian alat tes berupa grafis, SSCT, WWQ, TAT,

dan WAIS. SSCT yaitu salah satu test kepribadian non verbal yang

bersifat proyektif. Subjek penelitian seorang laki-laki berusia 31

tahun yang mengalami gangguan skizofrenia. TAT ialah test

proyeksi dalam yang pelaksanaannya subjek diberi 31 kartu dan

dibagikan lalu subjek diperintahkan untuk menganalisis isi gambar

(14)

dan test performance, test ini dapat digunakan pada subjek yang

mempunyai keterbatasan bicara. WWQ adalah salah satu test

intelegence yang termasuk test individual dan test dengan

menggunaka verbal dan non verbal. Intervensi yang diberikan

sebanyak tujuh sesi. Hasil intervensi yang dilakukan menunjukan

dampak positif pada diri subjek. Subjek dapat menyapa walaupun

subjek masih merasa ragu ketika pertama kali memulai menyapa

orang lain dan subjek juga dapat berbicara dengan orang lain dan

mampu bernteraksi dengan orang lain.

Persamaan dengan peneliti di atas yaitu sama-sama memberikan

terapi keterampilan sosial. perbedaan dengan penelitian di atas yaitu

responden dan desain penelitian.

3. Hapsari, M.I, Hasanat, N.UI. (2010) dengan judul “ efektifitas

pelatihan ketrampilan sosial pada remaja dengan gangguan

kecemasan sosial” penelitian ini dilakukan terhadap 16 remaja (12

perempuan dan 4 laki-laki) 8 subjek sebagai kelompok eksperimen

dan 8 sebagai kelompok kontrol. hasil penelitian setalah 6 bulan

pelatihan ada perbedaan tingkat gangguan kecemasan social

berdasarkan skor Skala Kecemasan Sosial Remaja (SKSR)

digunakan dalam pengukuran pra perlakuan, segera sesudah

perlakuan dan 6 bulan setelah perlakuan. pada kelompok

eksperimen, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol

(15)

kelompok eksperimen menunjukkan penurunan yang signifikan

dibandingkan kelompok kontrol. jadi pelatihan ketrampilan sosial

efektif untuk menurunkan tingkat gangguan kecemasan sosial pada

kelompok usia remaja.

Persamaan dengan peneliti di atas yaitu sama-sama memberikan

terapi keterampilan sosial. perbedaan dengan penelitian di atas yaitu

variabel dan desain penelitian.

4. Pratama, R.J. (2013) dengan judul “pola komuniikasi bagi santri di

lingkungan pondok pesantren an-nawawi berjan purworejo jawa

tengah” dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik

pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara dan

dokumentasi. Analisis datanya menggunakan deskriptif. Subjek

penelitian ini sebanyak 16 subjek yang terdiri dari pimpinan pondok

an-nawawi 3 ustad dan 2 ustadzah serta 5 santriwati dan 5 santriwan.

Hasil penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa 1) pola

komunikasi antar individu di dalam komunitas pondok pesantren

An-Nawawi berpengaruh besar dengan dilatar belakangi oleh

pendidikan kyai dan para penagsuhnya 2) faktor pendukung a)

adanya penerapan tauladan yang baik dari pendiri pondok ,

dukungan dari pengasuh, hubungan baik antar pengasuh dan orang

tua wali, dan adanya kritikan yang bersifat membangun dan saran

(16)

terbatas, perbedaan budaya, santri yang terasa asing dengan tradisi

dan peraturan- peraturan, dan salah dalam pergaulan.

Persamaan dengan peneliti diatas ialah variabel serta tempat

penelitian dipondok pesantren. perbedaan dengan peneliti di atas

adalah desain penelitian dan subjek penelitian.

5. Nequee, F., Rahmani, A., Jadidoleslam, S., & Rahimi, A. (2013)

dengan judul “ the effectiveness of social skill training on

communication empowering deprived students“ dalam penelitiannya

mengungkapkan melakukan penelitian kepada siswa SMA di kota

Mahallat dipilih secara acak dengan metode clustering dan

dievaluasi dengan menggunakan keterampilan sosial persediaan

pelatihan (Indrebitzen dan Foster, 1992). Menurut sejumlah

keterampilan sosial Inventory dibagi menjadi dua kelompok yaitu

kelompok intervensi dan kelompok control, Anggota kelompok

evaluasi sebelum dan setelah 10 sesi pelatihan. ANCOVA digunakan

untuk perbandingan kelompok pre-test dan post-test. Secara umum,

hasil penelitian menunjukkan bahwa metode pelatihan keterampilan

sosial meningkat, keterampilan sosial yang positif dan penurunan

keterampilan sosial negatif dalam kelompok intervensi. Persamaan

dengan peneliti diatas ialah sama-sama melakukan pelatihan

keterampilan sosial. perbedaan dengan peneliti di atas adalah desain

(17)

6. Molaei Fini, F., Shikhi Fini, AA (2015) dengan judul “A Study on

the Relationship between Communication Skills and Mental Health

and Job Performance” dalam penelitiannya mengungkapkan

melakukan penelitian di karyawan kerja staf Melli Bank of Bandar

Abbas pada tahun 2005. Populasi penelitian meliputi 560 subyek.

Ukuran sampel yang dipilih menggunakan rumus Cochran, yang

sama dengan 142 subjek. Sampel penelitian dipilih secara acak.

Penelitian diperlukan data dikumpulkan dengan menggunakan

metode lapangan. Spreitzer Psychological Pemberdayaan Angket

(1990), Mental Kuesioner Kesehatan (SCL 90 R) dan Komunikasi

Keterampilan Angket merupakan data alat koleksi penelitian. Uji

regresi multivariat digunakan untuk menguji hipotesis penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan

antara kemampuan komunikasi (p = 0,001) dan dimensi kesehatan

mental (p = 0,001) dan prestasi kerja. Oleh karena itu, keterampilan

komunikasi dan dimensi kesehatan mental merupakan indikator yang

baik untuk menjelaskan prestasi kerja para staf .

Persamaan dengan peneliti diatas ialah variabel. perbedaan dengan

Referensi

Dokumen terkait

daun majemuk yang sudah membuka. Pada waktu itu belum ada daun majemuk semai D. falcatus yang sudah membuka. Pada umur 25 hari daun majemuk D. Pada pangkal dan ujung tangkainya

Tabel 2 menunjukkan bahwa perusahaan cenderung untuk mempromosikan karyawan kontrak daripada karyawan tetap, berdasarkan hal tersebut karyawan tetap merasa tidak

In the interwar period special role in the process of clergy’s education in the Orthodox Church played College of Orthodox Theology at the University of Warsaw. The ba- sis for

Berdasarkan hasil wawancara dengan guru tentang definisi metode pengajaran, persepsi dari ketiga guru partisipan sesuai dengan teori Muslich 2010 dan Raharjo 2012 yang

Hasil ini menunjukkan bahwa primer YNZ-22 merupakan genetic marker yang terbaik untuk menganalisa keragaman genetik ikan kerapu macan, karena primer inilah yang

• Dari tulisannya tersebut kita melihat bahwa pada awal abad pertama setelah masehi, Pliny berhasil mengidentifikasi adanya bahaya debu di tempat kerja dan menuliskan

Metodologi penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dan pengambilan sampel dengan teknik sensus sampling pada 75 orang aparat pengawas intern