• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR RISIKO KEJADIAN SCABIES DI RUMAH SAKIT UMUM ANUTAPURA PALU (RISK FACTORS SCABIES AT GENERAL HOSPITAL ANUTAPURA PALU)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKTOR RISIKO KEJADIAN SCABIES DI RUMAH SAKIT UMUM ANUTAPURA PALU (RISK FACTORS SCABIES AT GENERAL HOSPITAL ANUTAPURA PALU)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

40 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...

FAKTOR RISIKO KEJADIAN SCABIES DI RUMAH SAKIT

UMUM ANUTAPURA PALU

(RISK FACTORS SCABIES AT GENERAL HOSPITAL ANUTAPURA PALU)

Adhar Arifuddin*,Herman Kurniawan**, Fitriani***

* Bagian Epidemiologi, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan ** Bagian Promosi Kesehatan, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu

kesehatan Universitas Tadulako, Jl. Soekarno Hatta KM 9, Palu, 94116, Indonesia. E-mail: fitrianiapril1304@gmail.com

*** Bagian Epidemiologi, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan

ABSTRACT

Scabies is a contagious skin disease caused by sarcoptes scabiei and can cause skin irritation. Globally, every year there are 300 million cases of scabies and in Indonesia 4.60% - 12.95% ranks three of the 12 most skin diseases. This study aimed to determine the incidence of risk factors Scabies at General Hospital Anutapura Palu. The research method uses analytic observational case control approach. Scabies is a case of patient samples and control samples is not Scabies patients with a ratio of 1: 2. The number of samples is 174 consisting of 58 sample cases and 116 control samples. Sampling with accidental sampling. Data were analyzed by OR the significance limit (α = 5%). The results showed gender (OR = 1.879 at 95%, CI 0.987 to 3.576), knowledge (OR = 1.358 at 95%, CI 0.661 to 2.791), personal hygiene (OR = 2.275 at 95%, CI 1.107 to 4.676) and contact history (OR = 7.291 at 95%, CI 2.904 to 18.307) Scabies is a risk factor with OR> 1. Men are expected to be able to prevent the transmission of scabies , to the public in order to increase knowledge about Scabies , improving personal hygiene and avoid contact with the patient so as to prevent the occurrence Scabies Scabies.

(2)

41 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... ABSTRAK

Scabies merupakan penyakit kulit menular yang disebabkan oleh sarcoptes scabiei dan dapat menyebabkan iritasi kulit. Secara global setiap tahun terdapat 300 juta kasus Scabies dan di Indonesia 4,60% - 12,95% menduduki urutan ke tiga dari 12 penyakit kulit terbanyak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko kejadian Scabies di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu. Metode penelitian menggunakan observasional analitik dengan pendekatan case control. Sampel kasus adalah penderita Scabies dan sampel kontrol adalah bukan penderita Scabies dengan perbandingan 1:2. Jumlah sampel yaitu 174 yang terdiri dari 58 sampel kasus dan 116 sampel kontrol. Pengambilan sampel dengan accidental sampling. Data dianalisis dengan uji OR pada batas kemaknaan (α=5%). Hasil penelitian menunjukan jenis kelamin (OR = 1,879 pada 95%, CI 0,987-3,576), pengetahuan (OR = 1,358 pada 95%, CI 0,661-2,791), personal hygiene (OR = 2,275 pada 95%, CI 1,107-4,676) dan riwayat kontak (OR = 7,291 pada 95%, CI 2,904-18,307) merupakan faktor risiko kejadian Scabies dengan nilai OR>1. Diharapkan laki-laki untuk dapat mencegah penularan Scabies, kepada masyarakat untuk dapat meningkatkan pengetahuan tentang Scabies, meningkatkan personal hygiene dan menghindari kontak dengan penderita Scabies sehingga dapat mencegah kejadian Scabies.

Kata Kunci : Scabies, Faktor Risiko

PENDAHULUAN

Scabies merupakan penyakit kulit menular yang disebabkan oleh sarcoptes scabiei dan dapat menyebabkan iritasi kulit. Parasit ini menggali parit-parit di dalam epidermis sehingga menimbulkan gata-gatal dan merusak kulit penderita. Penyakit Scabies pada umumnya menyerang individu yang hidup berkelompok seperti masyarakat yang tinggal ditempat padat penduduknya[1].

Tingginya kepadatan hunian dan kontak fisik antar individu memudahkan transmisi dan investasi tungau Scabies.

Oleh karena itu, prevalensi Scabies tinggi umumnya ditemukan di lingkungan dengan kepadatan penghuni dan kontak interpersonal tinggi seperti penjara, panti asuhan, dan pondok pesantren. Namun, Scabies sering diabaikan karena tidak mengancam jiwa sehingga prioritas penanganannya rendah, sebenarnya Scabies kronis dan berat dapat menimbulkan komplikasi berbahaya. Scabies banyak menyerang masyarakat di negara berkembang. Faktor yang berperan tingginya prevalensi Scabies di negara berkembang terkait dengan

(3)

42 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... kemiskinan, rendahnya tingkat

kebersihan, akses air sulit dan kepadatan hunian[2].

Badan Kesehatan Dunia menganggap penyakit Scabies sebagai pengganggu dan perusak kesehatan. Scabies bukan hanya sekedar penyakitnya orang miskin karena penyakit Scabies masa kini telah merebak menjadi penyakit kosmopolit yang menyerang semua tingkat sosial. Scabies merupakan satu dari enam penyakit kulit terbesar yang lazim pada penduduk miskin, seperti dilaporkan dalam Buletin Organisasi Kesehatan Dunia pada bulan Februari 2009, angka kejadian tertinggi terdapat pada suku-suku asli di Australia, Afrika, Amerika Selatan dan negara berkembang lainnya di dunia[3].

Scabies merupakan masalah kesehatan secara global, karena 300 juta kasus terjadi setiap tahunnya di dunia. World Health Organization (WHO) menyatakan Scabies merupakan salah satu dari enam penyakit parasit epidermal kulit yang angka kejadiannya terbesar di dunia. Insiden di Amerika hampir mencapai 1 juta kasus per tahun. Rata-rata prevalensi kejadian Scabies di Inggris adalah 2,27 per 1000 orang

(laki-laki) dan 2,81 per 1000 orang (perempuan), dimana 1 dari 1000 orang datang ke pusat-pusat kesehatan dengan keluhan gatal yang menetap[4].

Scabies merupakan penyakit kulit endemis di wilayah beriklim tropis dan subtropis, seperti Afrika, Amerika selatan, Karibia, Australia tengah, Australia selatan dan Asia. Prevalensi Scabies pada anak berusia 6 tahun di daerah kumuh Bangladesh adalah 23-29% dan Kamboja 43%. Studi di rumah kesejahteraan Malaysia tahun 2010 menunjukkan prevalensi Scabies 30% dan Timor Leste prevalensi Scabies 17,3%[2]. Prevalensi Scabies di Brazil (Amerika Selatan) mencapai 18%, Benin (Afrika Barat) 28,33%, kota Enugu (Nigeria) 13,55% dan Pulau Pinang (Malaysia) 31%. Scabies lebih sering terlihat pada anak laki-laki (50%) dibandingkan anak perempuan (16%)[5].

Indonesia mempunyai prevalensi Scabies cukup tinggi dan cenderung tinggi pada anak-anak sampai dewasa[6]. Menurut data Departemen Kesehatan Republik Indonesia prevalensi Scabies di puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 2008 adalah 5,6%-12,95% dan Scabies

(4)

43 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit

kulit tersering[7].

Berdasarkan data Departemen Kesehatan kasus Scabies di Indonesia tahun 2012 sebesar 4,60-12,95% dan Scabies menduduki urutan ke tiga dari 12 penyakit kulit terbanyak. Masalah ini dominan terjadi pada anak-anak, karena individu tersebut belum mampu secara mandiri melakukan kebersihan diri dan kebersihan lingkungan. Anak-anak senang bermain dengan teman-temannya tanpa memperhatikan kebersihan diri, sehingga memungkinkan terjadinya penularan penyakit melalui kontak langsung seperti berjabat tangan, kurangnya perhatian dalam hal membersihkan diri atau mandi, serta bermain di area yang kurang bersih[3].

Kasus Scabies di Sulawesi Tengah tahun 2012 berdasarkan data profil dinas kesehatan yaitu 655 kasus dengan Case Fatality Rate (CFR) 0,2% dan pernah terjadi 1 kasus kematian Scabies[8]. Pada tahun 2013 kasus Scabies di Sulawesi Tengah yaitu 3779 kasus dan berdasarkan tabel lampiran profil dinas kesehatan Propinsi Sulawesi Tengah telah terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) Scabies di

desa Silondoa dengan 52 orang, desa Kayulompa terdapat 29 orang, Puskesmas Batui/Bugis, Batui, Tolando, Balantang dengan 88 orang penderita, Lawanga, Kasintuwu, Bonesompe, Tegal Rejo dan Madale terdapat 200 orang penderita[9].

Prevalensi penyakit Scabies di kota Palu pada tahun 2012 yaitu 1066 kasus. Kasus pada laki-laki yaitu 53% lebih tinggi dibanding perempuan 47%. Tahun 2013 kasus Scabies meningkat menjadi 2293, lebih tinggi pada laki-laki yaitu 51% dibanding perempuan 49%. Pada tahun 2014 kasus Scabies yaitu 2527 kasus, pada laki-laki lebih tinggi yaitu 53% dibanding perempuan yaitu 47%[10].

Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu, menunjukan bahwa Scabies merupakan salah satu penyakit yang masuk 10 besar di bagian Poliklinik Kulit dan Kelamin. Scabies selalu menduduki urutan pertama dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2014. Jumlah kasus Scabies pada tahun 2012 yaitu 236 kasus (32,8%), tahun 2013 yaitu 327 kasus (47,2%) dan tahun 2014 yaitu 290 (41,1%)[11].

(5)

44 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... Scabies berhubungan dengan jenis

kelamin, yaitu prevalensinya lebih tinggi pada laki-laki dan laki-laki lebih berisiko terinvestasi Scabies dibandingkan perempuan. Prevalensi Scabies pada laki-laki (57,4%) lebih tinggi dibandingkan perempuan (42,9%)[2]. Pengetahuan merupakan salah satu faktor penyebab Scabies, terutama seseorang yang memiliki pengetahuan kurang. Hasil penelitian Setyowati (2014), menunjukkan bahwa responden yang memiliki pengetahuan kurang tentang penyakit Scabies yaitu sebanyak 74,5%, sedangkan yang memiliki pengetahuan baik sebanyak 19,7%.

Personal hygiene merupakan faktor yang berperan dalam penularan Scabies. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ria (2014) menunjukkan bahwa terdapat 58,7% orang memiliki personal hygiene kurang dan 41,3% orang dengan personal hygiene cukup. Terdapat 37 orang dengan hygiene perorangan kurang yang menderita Scabies sebanyak 49,2% dan tidak menderita Scabies sebanyak 9,5%, dari 26 orang dengan hygiene perorangan cukup menderita Scabies

sebanyak 20,6% dan tidak menderita Scabies sebanyak 20,6%.

Riwayat kontak merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi kejadian Scabies, dimana pada kelompok kasus, 96,2% diantaranya pernah kontak dengan penderita Scabies dan 3,8% orang tidak pernah kontak dengan penderita Scabies, tetapi menderita Scabies. Kontak dengan penderita Scabies berisiko tertular Scabies 48 kali dibandingkan mereka yang tidak ada kontak dengan penderita[14]. Berdasarkan data kejadian penyakit Scabies yang masih tinggi maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian epidemiologi observasional analitik dengan pendekatan case control study (Kasus kontrol). Penelitian ini dilaksanakan di bagian Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Anutapura Palu pada bulan Mei sampai dengan Juni tahun 2015. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien rawat

(6)

45 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... jalan yang berkunjung di bagian

Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Anutapura Palu. Besar sampel minimal pada penelitian ini adalah sebanyak 58 reponden untuk kelompok kasus dan 116 responden untuk kelompok kontrol dengan perbandingan 1 : 2 dan total keseluruhan 174 responden. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara sampling Aksidental (accidental sampling) yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti, dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui cocok sebagai sumber data. Setiap sampel dipilih berdasarkan umur sebagai matching, dengan umur yang ditentukan, sampai besar sampel dibutuhkan terpenuhi.

HASIL PENELITIAN

Risiko Jenis Kelamin TerhadapScabies

Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 1 diperoleh responden laki-laki lebih banyak pada kelompok kasus yaitu 36 responden (62,1%) dibanding pada kelompok kontrol yaitu 54 responden (46,6%). Responden perempuan pada kelompok kasus lebih sedikit yaitu 22

responden (37,9%) dibanding kelompok kontrol yaitu 62 responden (53,4%). Hasil uji statistik didapat nilai OR yaitu 1,879 pada CI 95% (0,987-3,576), artinya risiko jenis kelamin laki-laki untuk menderita Scabies adalah 1,879 kali lebih besar dibanding dengan perempuan, namun tidak signifikan.

Risiko Pengetahuan Terhadap Scabies

Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 1 diperoleh responden yang mempunyai pengetahuan kurang lebih banyak pada kelompok kasus yaitu 44 responden (75,9%) dibanding pada kelompok kontrol yaitu 81 responden (69,8%). Responden yang mempunyai pengetahuan cukup lebih sedikit pada kelompok kasus yaitu 14 responden (24,1%) dibanding kelompok kontrol yaitu 35 responden (30,2%). Hasil uji statistik didapat nilai OR yaitu 1,358 pada CI 95% (0,661-2,791), artinya risiko responden dengan pengetahuan kurang untuk menderita Scabies adalah 1,358 kali lebih besar dibanding responden dengan pengetahuannya cukup, namun tidak signifikan.

(7)

46 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...

Risiko Personal Hygiene Terhadap

Scabies

Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 1, diperoleh responden yang mempunyai personal hygiene kurang, lebih banyak pada kelompok kasus yaitu 45 responden (77,6%) dibanding kelompok kontrol yaitu 70 responden (60,3%). Responden yang mempunyai personal hygiene cukup lebih sedikit pada kelompok kasus yaitu 13 responden (22,4%) dibanding kelompok kontrol yaitu 46 responden (39,7%). Hasil uji statistik didapat nilai OR yaitu 2,275 pada CI 95% (1,107-4676), artinya risiko responden dengan personal hygiene kurang untuk menderita Scabies adalah 2,275 kali lebih besar dibanding responden dengan personal hygiene cukup dan signifikan.

Risiko Riwayat Kontak Terhadap

Scabies

Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 1, diperoleh responden yang mempunyai riwayat kontak lebih banyak pada kelompok kasus yaitu 52 responden (89,7%) dibanding kelompok kontrol yaitu 63 responden (54,3%). Responden yang tidak mempunyai riwayat kontak

lebih sedikit pada kelompok kasus yaitu 6 responden (10,3%) dibanding kelompok kontrol yaitu 53 responden (45,7%). Hasil uji statistik didapat nilai OR yaitu 7,291 pada CI 95% (2,904-18,307), artinya risiko responden dengan riwayat kontak untuk menderita Scabies adalah 7,291 kali lebih besar dibanding dengan responden yang tidak mempunyai riwayat kontak dan signifikan.

PEMBAHASAN

Risiko Jenis Kelamin Terhadap

Scabies

Jenis kelamin merupakan salah satu determinan yang mempengaruhi kejadian Scabies. Hasil uji statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) yaitu 1,879 lebih besar dari 1, hal ini menunjukan bahwa jenis kelamin merupakan faktor risiko kejadian Scabies atau laki-laki berisiko 1,879 kali lebih besar menderita Scabies dibandingkan perempuan. Nilai lower limit dari uji statistik yaitu 0,987 dan

(8)

47 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... upper limit yaitu 3,576, karena nilai

lower limit <1 maka hasil analisis tidak signifikan. Variabel jenis kelamin tidak signifikan, karena dari tingkat pengetahuan tidak terlalu terlihat perbedaan antara responden laki-laki dan perempuan. Terdapat 36,2% laki-laki dan 35,6% perempuan mempunyai pengetahuan kurang, dimana 21,3% laki-laki dan 23% perempuan tidak mengetahui bagian tubuh yang sering tertular Scabies, 29,3% laki-laki dan 30,5% tidak mengetahui bahwa dengan saling bertukar pakaian dapat tertular Scabies, 25,3% laki-laki dan 24,7% perempuan tidak mengetahui cara mencegah penyakit Scabies. Selain itu, responden laki-laki dan perempuan hampir sama mempunyai personal hygiene kurang. Terdapat 35,1% laki-laki dan 31% perempuan mempunyai personal hygiene kurang, dimana 24,7% laki-laki dan 23% perempuan pernah memakai pakaian temannya dan 37,9% laki-laki dan 36,2% perempuan mengganti pakaian setelah berkeringat.

Hasil penelitian ini sejalan dengan Ratnasari (2014), menunjukan ada hubungan antara jenis kelamin dengan

kejadian Scabies dengan nilai chi-square p = 0,048. Laki-laki lebih berisiko terinvestasi Scabies dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan responden perempuan lebih memperhatikan kesehatan kulit dibandingkan laki-laki, karena responden laki-laki mempunyai tingkat pendidikan rendah, sehingga memiliki kesadaran rendah mengenai pentingnya hygiene pribadi. Hygiene pribadi yang buruk berperan penting dalam penularan penyakit Scabies. Penelitian lain yang sejalan yaitu penelitian Al Audhah (2012), secara statistik laki-laki lebih berisiko 24 kali lebih besar dibanding perempuan, disebabkan karena kebanyakan laki-laki menggunakan air berasal dari irigasi yang tidak diolah dengan baik. Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan Admadinata (2014), hasil analisis diperoleh nilai uji chi-square dengan p value = 0,607 artinya tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian Scabies, dimana laki-laki dan perempuan tidak terlalu terlihat perbedaan dalam hal personal hygiene.

Scabies lebih berisiko pada laki-laki dibanding perempuan, karena pada

(9)

48 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... laki-laki Scabies biasanya terdapat pada

area genitalia. Area genitalia merupakan lokasi lesi tersering, karena tungau Scabies lebih mudah membuat terowongan pada stratum korneum yang lembab dan tersembunyi. Salah satu bentuk Scabies yaitu Scabies noduler. Scabies yang sering terdapat pada daerah tertutup, terutama pada genitalia laki-laki, inguinal dan aksila.

Berdasarkan hasil penelitian ini dari 90 responden berisiko tinggi, terdapat 36 responden (62,1%) yang menderita Scabies. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan dari responden mengenai Scabies, dimana terdapat 51,7% responden tidak mengetahui penyebab Scabies, 36,1% tidak mengetahui gejala Scabies dan 37,9% tidak mengetahui cara penularan Scabies. Selain itu, responden cenderung kurang memperhatikan kebersihan diri, dimana terdapat 39,7% responden melakukan kebiasaan berganti-gantian menggunakan sabun dengan keluarga, 50% pernah menggunakan sabun mandi temannya, 37,9% pernah bertukar pakaian dengan temannya dan 39,7% melakukan kebiasaan meminjamkan pakaian kepada

temannya, 58,6% menggunakan handuk bersama keluarga dan 39,7% meminjamkan handuk kepada temannya. Praktik tukar menukar barang atau benda akan memudahkan penularan Scabies secara tidak langsung antara penderita Scabies dengan yang tidak menderita Scabies. Benda atau barang yang digunakan menjadi media transmisi tungau sarcoptes scabiei untuk berpindah tempat[15]. Responden yang mempunyai keluarga penderita Scabies sebanyak 26 responden (59,1%) dan teman penderita Scabies sebanyak 23 responden (52,3%). Responden yang pernah tidur bersama dengan keluarganya penderita Scabies sebanyak 43,1%, pernah bersentuhan kulit dengan keluarganya penderita Scabies sebanyak 50% dan pernah bersentuhan kulit dengan temannya penderita Scabies sebanyak 48,3%. Sesuai dengan teori yang diungkapkan Handoko (2007), bahwa transmisi tungau biasanya terjadi melalui kontak langsung misalnya tidur bersama dan bersentuhan kulit dengan penderita Scabies.

Responden risiko tinggi, namun tidak menderita Scabies berjumlah 54 responden (46,6%). Hal ini disebabkan

(10)

49 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... 52,8% responden berusia dewasa

sehingga tidak mudah terpapar Scabies. Scabies merupakan penyakit yang menyerang semua kelompok umur namun umumnya lebih sering menyerang usia anak-anak dan remaja.

Kasus Scabies pada responden risiko rendah berjumlah 22 responden (37,9%). Kurangnya personal hygiene dari responden merupakan salah satu penyebabnya, dimana terdapat 25,9% perempuan menggunakan sabun secara bergantian dengan keluarganya, 25,9% meminjamkan pakaian kepada temannya, 22,4% pernah memakai pakaian temannya, 36,2% menggunakan handuk bergantian dengan keluarga dan 24,1% meminjamkan handuk kepada temannya. Sering berganti-gantian menggunakan benda yang sama dengan penderita memudahkan penularan kutu sarcoptes scabiei secara tidak langsung. Selain itu, penularan Scabies bisa melalui kontak langsung yaitu terdapat 19 responden (86,4%) mempunyai keluarga penderita Scabies dan 12 responden (54,5%) mempunyai teman penderita Scabies. Responden perempuan yang kontak dengan penderita Scabies yaitu

melakukan kebiasaan tidur bersama dengan keluarganya sebanyak 25,9%, tidur bersama temannya sebanyak 24,1%, pernah bersentuhan kulit dengan keluarganya sebanyak 32,8% dan 20,7% responden pernah bersentuhan kulit dengan temannya.

Risiko Pengetahuan Terhadap Scabies

Pengetahuan merupakan determinan yang mempengaruhi kejadian Scabies. Hasil uji statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) yaitu 2,791 lebih besar dari 1, hal ini menunjukan bahwa pengetahuan merupakan faktor risiko kejadian Scabies, atau responden dengan pengetahuan kurang 2,791 kali lebih besar menderita Scabies dibandingkan responden dengan pengetahuan cukup. Nilai lower limit dari uji statistik yaitu 0,661 dan upper limit yaitu 2,791, karena nilai lower limit <1 maka hasil analisis tidak signifikan. Variabel pengetahuan tidak signifikan karena responden laki-laki dan perempuan hampir sama mempunyai pengetahuan kurang mengenai Scabies yaitu sebanyak 36,2% pada laki-laki dan 35,6% perempuan. 21,3% responden laki-laki dan 23% perempuan tidak

(11)

50 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... mengetahui bagian tubuh yang sering

tertular Scabies, 29,3% laki-laki dan 30,5% tidak mengetahui bahwa dengan saling bertukar pakaian dapat tertular Scabies, 25,3% laki-laki dan 24,7% perempuan tidak mengetahui cara mencegah penyakit Scabies.

Hasil analisis penelitian ini sejalan dengan penelitian Aminah (2015), hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian Scabies. Responden yang memiliki tingkat pengetahuan baik tidak satupun menderita Scabies. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,001 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian Scabies, karena masyarakat tidak mengetahui bahwa kejadian Scabies dipengaruhi oleh kontak langsung yaitu dari faktor kebersihan kulit, tangan dan kuku, rambut dan kebersihan badan serta dipengaruhi oleh kontak tidak langsung yaitu kelembaban, suhu, penyediaan air dan pajanan sinar matahari.

Penelitian lain yang sejalan yaitu penelitian Ria (2014), hasil uji chi-square diperoleh nilai p = 0,022 berarti kurang dari α = 0,05, bahwa ada hubungan antara

pengetahuan dengan kejadian Scabies. Hal ini disebabkan karena sebagian responden tidak memahami apa saja yang berkaitan dengan penyakit Scabies, baik kondisi lingkungan tempat berkembang biak kutu sarcoptes scabiei, cara penularan dan pencegahannya. Sejalan dengan penelitian Anggraeni (2014), bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan responden dengan kejadian Scabies, diperoleh nilai p = 0,013 dan nilai OR= 3,182, disebabkan karena responden kurang mengetahui dan memahami penyakit Scabies, cara penularannya dan cara pencegahannya. Namun, tidak sejalan dengan penelitian Lathifa (2014), sebagian responden mengalami suspect Scabies memiliki pengetahuan tinggi yaitu sebesar 75%, sedangkan hasil uji statistik didapatkan p-value sebesar 0,762 (p>0,05), artinya pada α = 5% didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan suspect Scabies, karena mereka selalu berusaha mencari tahu hal-hal mengenai Scabies.

Tingkat pengetahuan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sehari-hari dalam praktik kebersihan diri sehingga

(12)

51 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... seseorang yang memiliki tingkat

pengetahuan rendah cenderung tidak memperhatikan personal hygiene. Scabies merupakan penyakit yang sangat terkait dengan kebersihan diri, karena kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai faktor penyebab dan bahaya penyakit Scabies, mereka menganggap bahwa Scabies tidak membahayakan jiwa. Selain itu rendahnya pengetahuan masyarakat tentang cara penyebaran dan pencegahan Scabies menyebabkan angka kejadian Scabies tinggi pada kelompok masyarakat[17].

Penelitian ini menunjukan bahwa dari 125 responden berisiko tinggi, terdapat 44 responden (75,9%) penderita Scabies. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan responden tentang Scabies, dimana 63,8% responden tidak mengetahui penyebab dari Scabies, 41,4% tidak mengetahui gejala Scabies, 29,3% tidak mengetahui bagian tubuh yang sering tertular Scabies, 51,7% tidak mengetahui cara penularan Scabies, 53,4% tidak mengetahui saling bertukar pakaian dengan penderita Scabies dapat tertular dan 50% tidak mengetahui cara mencegah Scabies. Hal

ini sesuai dengan teori Muzakir (2008), kurangnya pengetahuan mengenai Scabies dapat menyebabkan cepatnya penularan Scabies di masyarakat.

Responden risiko tinggi, namun tidak menderita Scabies berjumlah 81 responden (69,8%). Hal ini disebabkan karena kebanyakan responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 55,8%. Responden mempunyai personal hygiene baik, dimana terdapat 45,7% responden tidak berganti-gantian menggunakan sabun, 43,5% tidak berganti-gantian menggunakan pakaian sama dengan keluarganya dan 45,7% responden tidak pernah meminjamkan pakaian sama temannya.

Kasus Scabies pada responden risiko rendah dalam penelitian ini berjumlah 14 responden (24,1%), disebabkan karena kurangnya personal hygiene dari responden. Terdapat 17,2% responden sering berganti-gantian menggunakan sabun dengan keluarganya, 20,7% pernah menggunakan sabun temannya, 19% responden pernah meminjamkan pakaian kepada temannya dan 17,2% pernah meminjamkan handuk kepada temannya. Berganti-gantian menggunakan barang

(13)

52 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... atau benda yang sama akan memudahkan

untuk tertular penyakit Scabies.

Risiko Personal Hygiene Terhadap

Scabies

Personal hygiene adalah suatu tindakan memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Hasil uji statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) yaitu 2,275 lebih besar dari 1, hal ini menunjukan bahwa personal hygiene merupakan faktor risiko kejadian Scabies atau responden dengan personal hygiene kurang 2,275 kali lebih besar menderita Scabies dibandingkan responden dengan personal hygiene cukup. Nilai lower limit dari uji statistik yaitu 1,107 dan upper limit yaitu 4,676, karena nilai lower limit <1 maka hasil analisis signifikan. Hal ini disebabkan karena responden yang mempunyai personal hygiene kurang lebih banyak yaitu 66,1% dibanding responden personal hygiene cukup yaitu sebanyak 33,9%.

Penelitian ini sejalan dengan Putri (2011), menunjukan bahwa ada hubungan bermakna antara hygiene perseorangan dengan kejadian Scabies dengan nilai p

sebesar 0,001 (p < 0,05). Hygiene perseorangan merupakan salah satu usaha untuk mencegah kejadian Scabies, karena media transmisi tungau sarcoptes scabiei berpindah tempat melalui penularan secara langsung maupun tak langsung. Pada hygiene perseorangan kurang penularan Scabies lebih mudah terjadi. Melakukan kebiasaan seperti kebiasaan mencuci tangan, mandi menggunakan sabun, menganti pakaian dan pakaian dalam, tidak saling bertukar pakaian, kebiasaan keramas menggunakan shampo, tidak saling bertukar handuk dan kebiasaan memotong kuku, dapat mengurangi risiko tertular Scabies. Penelitian lain yang sejalan yaitu penelitian Anggraeni (2014), ada hubungan antara hygiene perorangan dengan kejadian Scabies, dimana diperoleh nilai p-value = 0,024 dan OR = 2,829 kali, hal ini disebabkan karena kebiasaan responden tidur bersama penderita Scabies, saling meminjam pakaian, memakai handuk secara bersama dan tidak adanya perbedaan mencuci pakaian penderita Scabies dengan yang bukan pederita Scabies. Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan Al

(14)

53 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... Audhah (2012) yaitu tidak terdapat

hubungan antara personal hygiene dengan kejadian Scabies didapatkan nilai

OR= 3,3 dengan CI 95%

(0,83<OR<13,25). Tidak terdapat hubungan antara personal hygiene dengan kejadian Scabies, karena dipengaruhi oleh faktor lain yaitu faktor lingkungan, dimana air yang digunakan untuk mandi dan mencuci bukan merupakan air yang diolah menjadi air bersih. Selain itu, dipengaruhi oleh tingkat sosial ekonomi responden rendah. Penelitian lain yang tidak sejalan yaitu penelitian Desmawati (2015), berdasarkan hasil uji statistik chi-square didapatkan p value = 0.781 > (0.05), berarti Ho ditolak sehingga tidak ada hubungan antara personal hygiene dengan kejadian Scabies. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya Scabies, dan faktor lain adalah tingkat pendidikan.

Penelitian ini menunjukan bahwa dari 115 responden berisiko tinggi, terdapat 45 responden (77,6%) menderita Scabies. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan responden mengenai personal hygiene. Terdapat

48,3% responden menggunakan sabun yang sama dengan keluarganya, 67,2% pernah menggunakan sabun temannya, 51,7% pernah menggunakan pakaian sama dengan keluarganya, 58,6% pernah meminjamkan pakaian kepada temannya, 41,4% pernah memakai pakaian temannya, 76% menggunakan handuk sama dengan keluarganya dan 55,2% pernah meminjamkan handuk kepada temannya. Kebiasaan menggunakan barang sama dengan penderita akan memudahkan tertular penyakit Scabies melalui kontak tak langsung, sesuai dengan teori yang diungkapkan Mansyur (2007), penularan Scabies secara tidak langsung dapat melalui perlengkapan tidur, pakaian atau handuk, alat mandi yang digunakan bergantian dengan penderita Scabies.

Responden risiko tinggi, namun tidak menderita Scabies berjumlah 70 responden (60,3%), disebabkan karena responden dalam penelitian ini lebih banyak jenis kelamin perempuan yaitu 52,9%. Terdapat 38,8% responden tidak bergantian menggunakan sabun dengan keluarganya dan 36,2% responden tidak pernah memakai pakaian temannya.

(15)

54 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... Kasus Scabies risiko rendah

berjumlah 13 responden (22,4%), disebabkan karena pengetahuan responden masih kurang mengenai Scabies dan adanya riwayat kontak dengan penderita, dimana terdapat 19% responden tidak mengetahui penyebab Scabies, 17,2% tidak mengetahui cara penularan Scabies, 15,5% tidak mengetahui cara memutus rantai penularan Scabies dan 13,8 tidak mengetahui cara mencegah Scabies. Responden yang mempunyai keluarga dan teman penderita Scabies sebanyak 9 orang (15,5%), dimana 17,2% responden tidur bersama keluarganya penderita Scabies, 15,5% responden pernah tidur bersama temannya penderita Scabies, 17,2% responden bersentuhan kulit dengan keluarganya penderita Scabies dan 19% responden pernah bersentuhan kulit dengan temannya penderita Scabies.

Risiko Riwayat Kontak Terhadap

Scabies

Penularan Scabies melalui kontak langsung yaitu dengan cara tidur bersama, berjabat tangan dan bersentuhan

kulit dengan penderita Scabies. Hasil uji statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) yaitu 7,291 lebih besar dari 1, hal ini menunjukan bahwa riwayat kontak merupakan faktor risiko kejadian Scabies atau responden yang mempunyai riwayat kontak dengan penderita Scabies 7,291 kali lebih besar menderita Scabies dibandingkan responden yang tidak mempunyai riwayat kontak. Nilai lower limit dari uji statistik yaitu 2,904 dan upper limit yaitu 18,307, karena nilai lower limit <1 maka hasil analisis signifikan, karena lebih banyak responden yang pernah kontak dengan penderita yaitu 66,1% dibanding yang tidak pernah kontak dengan penderita yaitu 33,9%.

Penelitian ini sejalan dengan Al Audhah (2012), responden yang pernah kontak dengan penderita Scabies sebanyak 109 orang (48,2%) dan 117 orang (51,8%) tidak pernah kontak serta 2 orang (3,8%) tidak pernah kontak dengan penderita Scabies tetapi menderita Scabies. Pada kelompok kontrol 115 orang (66,1%) diantaranya tidak pernah kontak dengan penderita sehingga tidak menderita Scabies, tetapi

(16)

55 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... ada 59 orang (33,9%) pernah kontak

dengan penderita Scabies dan tidak menderita Scabies. Kontak dengan penderita Scabies berisiko tertular Scabies 48 kali dibandingkan mereka yang tidak pernah kontak dengan penderita. Hal ini menunjukan ada hubungan antara riwayat kontak dengan kejadian Scabies didapatkan nilai OR = 48,7 (CI 95% = 11,5<OR<207,3). Hal ini karena kebiasaan responden mandi bersama, bermain bersama, tidur bersama secara statistik bermakna terhadap penularan Scabies.

Penularan Scabies melalui kontak fisik dengan penderita Scabies. Seringkali berpegangan tangan dalam waktu sangat lama merupakan penyebab umum terjadinya penyebaran penyakit ini. Tidur bersama dan berhimpitan dengan penderita Scabies memberikan kesempatan untuk kontak langsung maupun tidak langsung dengan penderita Scabies. Penularan Scabies melalui kontak langsung terjadi ketika penderita bersentuhan kulit dengan anggota keluarganya, akibat tidur berhimpitan tungau sarcoptes scabiei yang ada pada permukaan kulit penderita Scabies akan

berpindah ke kulit keluarganya. Penularan secara tidak langsung yaitu pada saat tidur bersama dan berhimpitan dengan penderita Scabies dapat menular melalui alas tidur dan selimut yang digunakan secara bersama-sama[22].

Penelitian ini menunjukan bahwa dari 115 responden berisiko tinggi, terdapat 52 responden (89,7%) menderita Scabies. Hal ini karena 45 orang (77,6%) mempunyai keluarga penderita Scabies dan 29 orang (50%) mempunyai teman penderita Scabies, dimana 69% responden tidur bersama keluarganya penderita Scabies, 67,2% responden pernah tidur dengan temannya penderita Scabies, 79,3% responden bersentuhan kulit dengan keluarganya penderita Scabies dan 62,1% responden pernah bersentuhan kulit dengan temannya penderita Scabies. Sesuai dengan teori menyebutkan bahwa transmisi tungau Scabies biasanya terjadi melalui kontak langsung misalnya tidur bersama dan bersentuhan kulit dengan penderita Scabies[16].

Responden risiko tinggi, namun tidak menderita Scabies dalam penelitian ini berjumlah 63 responden (54,3%),

(17)

56 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... disebabkan karena 41,4% responden

tidak pernah tidur bersama dalam waktu lama dengan temannya penderita Scabies dan 29,3% responden tidak bersentuhan kulit dengan temannya penderita Scabies. Selain itu, dipengaruhi oleh pengetahuan responden yang cukup yaitu 33,6% responden mengetahui cara penularan Scabies dan 35,5% responden mengetahui cara memutus rantai penularan Scabies.

Kasus Scabies risiko rendah terdapat 6 responden (10,3%), karena kurangnya pengetahuan mengenai Scabies. Terdapat 10,3% responden tidak mengetahui bahwa dengan saling menukar pakaian dapat tertular penyakit Scabies, 8,6% responden tidak mengetahui cara memutus rantai penularan Scabies dan 8,6% responden tidak mengetahui cara mencegah penyakit Scabies. Hal ini sesuai dengan teori Anggaraeni (2014), tingkat pengetahuan yang rendah tentang Scabies, cara penularan dan pencegahannya berisiko menderita Scabies dibandingkan dengan tingkat pengetahuan cukup.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu, didapatkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Jenis kelamin merupakan faktor risiko kejadian Scabies di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu. Laki-laki mempunyai risiko 1,879 lebih besar menderita Scabies dibanding perempuan.

2. Pengetahuan merupakan faktor risiko kejadian Scabies di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu. Pengetahuan kurang mempunyai risiko 1,358 lebih besar menderita Scabies dibanding pengetahuan cukup.

3. Personal hygiene merupakan faktor risiko kejadian Scabies di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu. Personal hygiene kurang mempunyai risiko 2,275 lebih besar menderita Scabies dibanding personal hygiene cukup.

4. Riwayat kontak merupakan faktor risiko kejadian Scabies di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu. Pernah kontak langsung dengan penderita Scabies mempunyai risiko 7,291

(18)

57 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... menderita Scabies dibanding tidak

pernah kontak dengan penderita.

SARAN

1. Diharapkan kepada laki-laki agar dapat mencegah penularan Scabies dengan meningkatkan Personal hygiene.

2. Perlunya dilaksanakan penyuluhan kesehatan tentang Scabies untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat terutama penyebab Scabies, cara penularannya, gejala-gejala yang timbul dan cara pencegahannya.

3. Diharapkan kepada seluruh masyarakat agar selalu meningkatkan kebersihan diri dengan tidak berganti-gantian menggunakan barang atau benda yang sama dengan penderita Scabies untuk mencegah penularan penyakit Scabies.

4. Diharapkan kepada masyarakat agar dapat menghindari kontak langsung yaitu dengan tidak bersentuhan kulit dan tidur bersama penderita Scabies.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rahariyani, Dwi, Loetfia, 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan System Integumen. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

2. Ratnasari, F.A, Saleha, Sungkar. 2014. Prevalensi Scabies dan Faktor-Faktor Yang Berhubungan di Pesantren X, Jakarta Timur. Jurnal FkuiVol. 2, No. 1, Hal 251-256. 3. Anggraeni, Reni. 2014. Hubungan

Pengetahuan dan Hygiene Perorangan Dengan Kejadian Scabies Di Desa Wombo Mpanau Kecamatan Tanantovea Kabupaten Donggala. Karya Tulis Ilmiah Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Palu.

4. Griana, Pramesti. 2013. Scabies : Penyebab, Penanganan Dan Pencegahannya. El-Hayah Vol. 4, No.1, Hal. 37-46.

5. Sistri, Yulia. 2013. Hubungan Personal hygiene dengan Kejadian Scabies di Pondok Pesantren As-Salam Surakarta 2013. Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.

(19)

58 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... 6. Akmal, C.S, Rima.S & Gayatri. 2013.

Hubungan Personal Hygiene dengan Kejadian Scabies Di Pondok Pendidikan Islam Darul Ulum, Palarik Air Pacah, Kecamatan Koto Tangah Padang Tahun 2013. Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(3). 7. Azizah, N.I, Widyah,Setiyowati.

2011. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Pemulung Tentang Personal Hygiene Dengan Kejadian Scabies Pada Balita Di Tempat Pembuangan Akhir Kota Semarang. Jurnal Akademi Kebidanan Abdi Husada Semarang, Vol.1/ No.1. 8. Anshayari. 2012. Profil Dinas

Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. UPT Surveilans Data dan Informasi Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. Palu.

9. , 2013. Profil Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. UPT Surveilans Data dan Informasi Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. Palu.

10.Fitri, 2015. Data Penyakit Dinas

Kesehatan Kota Palu. Pengelola

SP2TP. Palu.

11.Lamadjido, Reni. 2015. Profil RSU Anutapura. Rekam medik RSU Anutapura. Palu.

12.Setyowati, D., & Wahyuni. 2014. Hubungan Pengetahuan Santriwati Tentang Penyakit Scabies Dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Scabies di Pondok Pesantren. Gaster Vol. 11 No. 2, Hal 25-37.

13.Ria & Darwis. 2014. Kejadian Scabies Pada Anak Usia Sekolah. Journal Of Pediatric Nursing Vol. 1(3), Pp. 137-142.

14.AL audhah, N, Siti, R. & Agnes, S. 2012. Faktor Risiko Scabies Pada Siswa Pondok Pesantren (Kajian di pondok pesantren Darul Hijrah, kelurahan Cindai Alus, kecamatan Martapura, kabupaten Banjar, provinsi Kalimantan Selatan). Jurnal epidemiologi dan penyakit bersumber binatang, Vol. 4 No.1, Hal 14-22. 15.Harahap, Marwali. 2000. Ilmu

Penyakit Kulit. Hipokrates. Jakarta. 16.Handoko RP. Scabies. Dalam:

Djuanda A, Hamzah A, Aisah S, editor. 2007. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi 5. Balai Penerbit

(20)

59 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ... Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta.

17.Aminah, Hendra & Maya. 2015. Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Kejadian Scabies. Artikel Penelitian J MAJORITY, Volume 4 Nomor 5, Hal. 54-59.

18.Lathifa, Mushallina. 2014. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Suspect Scabies Pada Santriwati Pondok Pesantren Modern Diniyyah Pasia, Kecamatan Ampek Angkek, Kab. Agam, Sumatera Barat Tahun 2014. Skripsi FKIK UIN Hidayahtullah. Jakarta.

19.Muzakir. 2008. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit Scabies Pada Pesantren di Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007. Tesis Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatra Utara Medan. 20. Putri, Ardana S.S.B, & Ani,

Margawati. 2011. Hubungan Higiene Perseorangan, Sanitasi Lingkungan Dan Status Gizi Terhadap Kejadian Scabies Pada Anak. Artikel Penelitian

Karya Tulis Ilmiah Fk UNDIP.

Semarang.

21.Desmawati, Ari, P.D . & Oswati, H. 2015. Hubungan Personal Hygiene Dan Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Scabies Di Pondok Pesantren Al-Kautsar Pekanbaru. JOM Vol 2 No 1, Hal. 628-637. 22.Aina, F.A.I, Ibrohim, & Endang

Suarsini. 2013. Hubungan Antara Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS) Dengan Timbulnya Penyakit Skabies Di Wilayah Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan. Jurnal Universitas Negeri Malang.

Referensi

Dokumen terkait

Data dikumpulkan dengan kuesioner yang telah dibuat sebelumnya oleh peneliti yang berisi pertanyaan mengenai responsivs (responsivs), jaminan (assurance), bukti fisik

Menurut peneliti bahwa dilihat dari hasil penelitian dan analisis menunjukkan adanya hubungan yang berarti antara pola asuh ibu dengan perilaku sulit makan pada

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian POC limbah industri tahu berpengaruh nyata pada parameter tinggi bibit, jumlah daun, panjang akar, berat basah dan berat

The thesis outlined in this report is a pre-feasibility study of the potential to use waste-to-energy technology in the region Kutai Kartanegara, Borneo, Indonesia.. The project

Adapun hasil penelitian ini antara lain nilai kurs tidak berpengaruh signifikan terhadap return saham pada perusahaan perbankan, tingkat inflasi berpengaruh

Menurut informasi dari tokoh masyarakat, PLN dalam waktu beberapa tahun ke depan belum mempunyai rencana mensuplai energi listrik untuk masyarakat di Kampung Sadatar

Menimbang bahwa setelah Majelis menghitung ulang, memeriksa dan meneliti bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon II maupun dokumen yang diajukan