• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFFECT OF DIFFERENT DENSITY ON THE RATE OF MANGROVE CRAB (Scylla Paramamosain) MOLTING MASS-REARED IN CAGE.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFFECT OF DIFFERENT DENSITY ON THE RATE OF MANGROVE CRAB (Scylla Paramamosain) MOLTING MASS-REARED IN CAGE."

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

125

PENGARUH PENGKAYAAN Artemia spp. DENGAN KOMBINASI MINYAK KEDELAI DAN MINYAK IKAN SALMON TERHADAP PERTUMBUHAN DAN TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP

LARVA KEPITING BAKAU (Scylla paramamosain)

EFFECT OF DIFFERENT DENSITY ON THE RATE OF MANGROVE CRAB (Scylla Paramamosain) MOLTING MASS-REARED IN CAGE.

Noviati Rohmatul Khasanah, Boedi Setya Raharjda dan Yudi Cahyoko.

Fakultas Perikanan dan Kelautan - Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo – Surabaya 60115 Telp. 031-5911451

Abstract

Mud crab (Scylla paramamosain) is one of the marine animals that have economic value and high nutritional ie, containing 47.5% protein and 11.20% fat. Taste the delicious crab causes the market demand and foreign demand is increasing the availability of seed on an ongoing basis. Availability krustacea this experience because it still relies on resistance from the wild, so the required mass-seeding efforts. This effort has run into difficulty due to low survival rates and slower growth in larval stadia due to the low quality of feed given. Artemia spp. a feed that contains complete nutrition, so, very well used as a natural food crab. Artemia spp. have a deficiency in essential fatty acid content. Essential fatty acids in krustacea are: linoleic, linolenic, DHA and EPA that are required in an enrichment of Artemia spp. because of Artemia spp. is non-selective filter feeder. Enrichment of Artemia spp. can be done using the oil-rich salmon for the content of DHA and EPA as well as content-rich soy oil linoleic acid and linolenic acid. The purpose of this study was to determine the growth and survival rates of larvae of mud crab (S. paramamosain) after fed Artemia spp. enriched with a combination of soybean oil and salmon oil. The method used is an experimental method with a Completely Randomized Design (CRD) of three replications and seven treatments. The treatments used were A (control), B (egg yolks 100%), C: (salmon oil 100%), D (salmon fish oil 75% soybean oil + 25%), E (salmon fish oil 50% soybean oil + 50%), F (salmon fish oil 25% + 75% soybean oil), G (100% soybean oil). The main parameters observed is the growth and survival rates. Parameters was observed support the development of the larvae and water quality (temperature, salinity, pH, dissolved oxygen and ammonia). Analysis of data analysis using a Varian (ANAVA) and if there is a difference in treatment, then using Duncan Multiple Test distance. The results showed that mud crab larvae (S. paramamosain) after nauplius fed Artemia spp. enriched with a combination of soybean oil and salmon oil influence significantly different (p <0.05) on the growth and survival rates of larval mud crab.

(2)

PENDAHULUAN

Kepiting bakau (Scylla paramamosain) merupakan salah satu hewan laut yang memiliki nilai ekonomi dan gizi yang tinggi. Karim (2005) mengemukakan bahwa daging kepiting bakau mengandung 47,5% protein dan 11,20% lemak. Karim (2006) menyatakan permintaan semakin meningkat sehingga menuntut ketersediaan benih. Ketersediaan benih mengalami hambatan, sehingga diperlukan upaya pembenihan secara massal (Kanna, 2002).

Yunus dkk. (1996) mengemukakan bahwa masalah yang dihadapi oleh usaha pembenihan kepiting bakau adalah rendahnya tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan yang lambat pada stadia larva disebabkan rendahnya mutu pakan yang diberikan. Sirait (1997) menyatakan pakan alami yang diberikan pada larva kepiting zoea tiga adalah Artemia spp.

Watanabe dan Kiron (1994) menyatakan menyatakan bahwa Artemia spp. memiliki kandungan nutrien yang lengkap dan memiliki sifat non selective filter feeder yaitu, mengambil semua makanan yang ada disekelilingnya tanpa seleksi akan tetapi, memiliki kandungan asam lemak essensial yang rendah sehingga perlu dilakukan penambahan. Asam lemak yang essensial bagi krustacea yaitu 18:2n-6 (linoleat), 18:3n-3 (linolenat), 20:5n-3 (eicosapentaenoic), dan 20:6n-3 (docosahexaenoic)(Karim, 1998). Asam lemak essensial merupakan sumber penting sebagai penunjang pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup larva kepiting bakau.Mursitorini (2006) menyatakan kadar asam lemak essensial 1% dari pakan dapat meningkatkan pertumbuhan larva kepiting bakau.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Arulvasu dan Munuswamy (2009) bahwa penelitian pengkayaan Artemia spp. dengan minyak kedelai dan minyak ikan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kelangsungan hidup pada ikan guppy (Poecilia latipinna), dibanding dengan Artemia spp. tanpa penambahan pengkayaan. Pengkayaan Artemia spp. dengan asam lemak n-3 HUFA berupa emulsi ICES yang mengandung DHA dan EPA memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup pada larva kepiting bakau (Karim, 2006). Oleh sebab itulah, penelitian tentang pengkayaan Artemia spp. dengan kombinasi minyak kedelai dan minyak ikan salmon terhadap

(3)

127

pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup larva kepiting bakau (S. paramamosain) ini dilakukan.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan:

Apakah ada pengaruh terhadap pertumbuhan larva kepiting bakau (S. paramamosain) setelah diberi pakan nauplius Artemia spp. yang diperkaya

dengan kombinasi antara minyak kedelai dan minyak ikan salmon?; Apakah ada

pengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup larva kepiting bakau (S. paramamosain) setelah diberi pakan nauplius Artemia spp. yang diperkaya

dengan kombinasi antara minyak kedelai dan minyak ikan salmon?; Berapakah kombinasi dosis yang tepat untuk larva kepiting bakau (S. paramamosain) setelah diberi pakan nauplius Artemia spp. yang diperkaya dengan minyak kedelai dan minyak ikan salmon?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: Mengetahui pengaruh pertumbuhan, pengaruh tingkat kelangsungan hidup dan mengetahui dosis kombinasi yang tepat untuk larva kepiting bakau (S. paramamosain) setelah diberi pakan nauplius Artemia spp. yang diperkaya dengan kombinasi antara minyak kedelai dan minyak ikan salmon.

Manfaat yang diharapakan dapat memberikan informasi mengenai pengkayaan nauplius Artemia spp. dengan kombinasi minyak ikan salmon dan minyak kedelai sehingga dapat mengoptimalkan pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau (S. paramamosain).

METODOLOGI Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 sampai November 2011 di UPT Budidaya Air Laut Situbondo, Kembangsambi, Situbondo, Propinsi Jawa Timur. Analisis proksimat Artemia spp. yang telah diperkaya dengan minyak ikan dan minyak kedelai di Laboratorium Pakan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya.

(4)

Bahan Pakan dan Alat Penelitian Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan adalah larva kepiting bakau (S. paramamosain) stadia zoea tiga berjumlah 1050 ekor yang berasal dari

penetasan larva kepiting bakau sendiri di Hatchery UPT Budidaya Air Laut Situbondo Jawa Timur.

Bahan Pakan

Bahan pakan yang digunakan dalam penelitian adalah Artemia spp. merek Dolphin. Pakan yang diberikan adalah nauplius Artemia spp. yang telah diperkaya dengan kombinasi antara minyak kedelai dan minyak ikan salmon yang telah diemulsi dengan telur ayam dan minyak ikanselama enam jam sebanyak 300.000 individu/L. Kepadatan larva nauplius Artemia spp. yang diberikan pada larva kepiting adalah 5000 individu/L air media (Karim, 2006).

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: bak berwarna biru dengan volume 22 L sebanyak 21 buah, 7 toples 10 L untuk kultur nauplius Artemia spp., selang aerasi, batu aerasi, T aerasi, spidol, tali rafia, selang plastik, mangkok plastik, mixer, saringan Artemia spp. berupa plankton net, ember plastik volume 2 L, gelas ukur volume 100 mL, timbangan digital, cawan petri, pipet, mikroskop, blower, plastik biru, mikroskop dan kamera digital.

Metode Penelitian Rancangan penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 7 perlakuan dan 3 kali ulangan.

Perlakuan yang digunakan adalah A : nauplius Artemia spp. tanpa pengkayaan (kontrol), B : nauplius Artemia spp. diperkaya dengan kuning telur 100%, C : nauplius Artemia spp. diperkaya dengan kombinasi minyak ikan salmon 100%, D : nauplius Artemia spp. diperkaya dengan kombinasi minyak ikan salmon 75% + minyak kedelai 25%, E : nauplius Artemia spp. diperkaya

(5)

129

dengan kombinasi minyak ikan salmon 50% + minyak kedelai 50%, F : nauplius Artemia spp. diperkaya dengan kombinasi minyak ikan salmon 25% + minyak kedelai 75%, G : nauplius Artemia spp. diperkaya dengan minyak kedelai 100%.

Pemeliharaan Larva Kepiting Bakau Zoea Tiga sampai Megalopa

Larva kepiting dimasukkan dalam 21 bak pemeliharaan bervolume 22 L yang diberi air 10 L, setiap bak berisi 5 individu/L. Setiap hari dilakukan penyifonan dan ganti air sebanyak 25% dari volume total. Pegamatan suhu dilakukan tiga kali sehari dan salinitas sekali sehari, sedangkan pengamatan oksigen terlarut, ammoniak dan pH dilakukan tiga hari sekali. Pakan berupa Artemia spp. yang telah diperkaya dengan minyak kedelai dan minyak ikan salmon selama enam jam diberikan sekali dalam sehari dengan kepadatan 5000 individu/L (Karim, 2006). Pengamatan panjang harian dilakukan setiap hari sampel secara acak setiap ulangan satu sampel mengunakan mikroskop. Penghitungan jumlah larva yang diteliti pada tiap perlakauan dilakukan pada awal dan akhir penelitian guna mengetahui tingkat kelangsungan hidup larva kepiting bakau selama pemeliharaan.

Parameter

Parameter yang diamati pada penelitian ini meliputi parameter utama dan parameter penunjang. Parameter utama dalam penelitian ini adalah pertumbuhan panjang mutlak dan tingkat kelangsungan hidup.

Pertumbuhan panjang mutlak larva kepiting bakau dapat dihitung dengan rumus (Serang, 2006) :

L = Lt-Lo Keterangan :

L = Pertumbuhan panjang mutlak (mm)

Lt = Pertumbuhan panjang mutlak rata-rata pada akhir penelitian (mm) Lo = Pertumbuhan panjang mutlak rata-rata pada awal penelitian (mm)

Kelangsungan Hidup (Survival Rate /SR) merupakan persentase kepiting yang hidup pada akhir pemeliharaan. Kelangsungan hidup dapat dihitung dengan rumus (Huynh dan Foteder, 2004) sebagai berikut:

Jumlah kepiting yang dipanen

(6)

Jumlah kepiting yang ditebar Keterangan:

SR adalah tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau (%) No adalah jumlah benih kepiting pada awal penelitian (ekor)

Nt adalah jumlah benih kepiting bakau yang hidup pada akhir penelitian (ekor)

Parameter Penunjang dalam penelitian ini adalah suhu yang diukur dengan termometer, salinitas dengan refraktometer, pH dengan pH indikator, amoniak dengan amoniak test kit serta Oksigen terlarut (DO) dengan DO test kit.

Analisis Data

Data hasil penelitian akan dianalisis dengan menggunakan uji ANAVA (Analysis of Variance), yang dilanjutkan uji jarak berganda Duncan’s untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan (Kusriningrum, 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Pertumbuhan panjang mutlak larva kepiting bakau

Grafik pertumbuhan panjang mutlak larva kepiting bakau stadia zoea tiga sampai megalopa pada tiap perlakuan selama 9 hari pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Grafik pertumbuhan panjang mutlak larva kepiting bakau stadia zoea tiga sampai megalopa pada tiap perlakuan selama 9 hari pemeliharaan.

Grafik di atas menunjukkan bahwa terdapat penambahan panjang larva kepiting seiring dengan berjalannya waktu pemeliharaan pada tiap-tiap perlakuan selama 9 hari pemeliharaan dan berbeda nyata antar perlakuan (p<0,05).

(7)

131

Pertumbuhan panjang mutlak larva kepiting bakau pada tiap perlakuan selama 9 hari pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pertumbuhan panjang mutlak larva kepiting bakau stadia zoea tiga sampai megalopa pada tiap perlakuan selama 9 hari pemeliharaan.

Perlakuan L ± SD (mm) A 0% (Kontrol) 2,087c±0,0061 B 0,6 KT 2,353b±0,0105 C 100% MI 0,6 KT 3,017a±0,0064 D 75% MI 25% MK 0,6 KT 3,053a±0,0116 E 50% MI 50% MK 0,6 KT 2,953a±0,0105 F 25% MI 75 MK 0,6 KT 2,423b±0,0061 G 100% MK 0,6 KT 2,387b±0,0061 Keterangan KT : Kuning telur MI : Minyak ikan MK : Minyak kedelai

L : Pertumbuhan panjang mutlak

a, b, c :Superskip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)

:Superskip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05)

Berdasarkan uji jarak berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) diketahui bahwa pertumbuhan panjang mutlak tertinggi adalah perlakuan D yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan C dan E (p>0,05). Perlakuan D, C dan E berbeda nyata dengan perlakuan A, B, F, G (p<0,05). Perlakuan B tidak berbeda nyata dengan perlakuan F dan G (p>0,05). Perlakuan B, F dan G berbeda nyata dengan perlakuan A (p<0,05).

Tingkat kelangsungan hidup larvakepiting bakau

Diagram batang kelangsungan hidup larva kepiting bakau stadia zoea tiga sampai megalopa pada tiap perlakuan selama 9 hari pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 2.

(8)

Gambar 2. Diagram rata-rata tingkat kelangsungan hidup larva kepiting bakau stadia zoea tiga sampai megalopa pada tiap perlakuan selama 9 hari pemeliharaan.

Diagram di atas menunjukkan bahwa kelangsungan hidup larva kepiting bakau berbeda nyata antar perlakuan (p<0,05). Kelangsungan hidup larva kepiting bakau pada tiap perlakuan selama 9 hari pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kelangsungan hidup larva kepiting bakau stadia zoea tiga sampai megalopa pada tiap perlakuan selama 9 hari pemeliharaan.

Perlakuan SR (%) ± SD Transformasi√y±SD A 0% (Kontrol) 15,33c ±1,1547 3,9138±0,1491 B 0,6 KT 31,33b ±1,1547 5,5969±0,1037 C 100% MI 0,6 KT 42,66a ±3,0550 6,5292±0,0901 D 75% MI 25% MK 0,6 KT 39,33 a ±3,0550 6,2684±0,2452 E 50% MI 50% MK 0,6 KT 38,00 a ±2,0000 6,1629±0,1005 F 25% MI 75 MK 0,6 KT 33,33 b ±1,1547 5,7729±0,5142 G 100% MK 0,6 KT 32,00 b ±2,0000 5,6550±0,5142 Keterangan KT : Kuning telur MI : Minyak ikan MK : Minyak kedelai

SR : Tingkat kelangsungan hidup

a, b, c :Superskip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)

: Superskip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05)

Berdasarkan uji jarak berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) diketahui bahwa tingkat kelangsungan hidup tertinggi adalah perlakuan C yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan D dan E (p>0,05). Perlakuan C, D dan E berbeda nyata dengan perlakuan A, B, F dan G (p<0,05). Perlakuan B tidak berbeda nyata dengan perlakuan G dan F (p>0,05). Perlakuan B, F dan G berbeda nyata dengan perlakuan A (p<0,05).

(9)

133

Kualitas air merupakan faktor penting dari pemeliharaan larva kepiting karena kualitas air yang baik akan menunjang pertumbuhan optimal dan kelangsungan hidup dari larva kepiting bakau. Salah satu faktor penunjang pada penelitian ini adalah kualitas air yang meliputi pengukuran suhu, salinitas, pH, kandungan oksigen terlarut dan amonnia. Hasil dari pengukuran suhu berkisar antara 29,0-31,0ºC, salinitas 30 ppt, pH berkisar 7, oksigen terlarut 5 mg/liter dan amoniak 0,25 mg/liter.

Pembahasan

Pertumbuhan merupakan perubahan ukuran panjang dalam kurun waktu tertentu (Rusdi dan Karim, 2006). Faktor-faktor yang berpengaruh dalam variasi pertumbuhan kepiting adalah faktor dalam dan faktor luar (Hariati, 1989). Faktor luar yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan adalah pakan (Serang, 2006). Kepiting memperoleh energi melalui pakan yang dikonsumsi dan digunakan untuk berbagai aktifitas termasuk untuk keperluan osmoregulasi (Karim, 2005).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah 9 hari pemeliharaan adanya peningkatan panjang mutlak larva kepiting bakau pada tiap perlakuan. Adanya pertumbuhan larva kepiting bakau ini berarti bahwa energi yang dikonsumsi melebihi energi yang diperlukan untuk kebutuhan pokok dan aktivitas tubuh lainnya. Berdasarkan analisis statistik data pertumbuhan panjang mutlak larva kepiting bakau menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05) antar perlakuan. Pertumbuhan panjang mutlak terendah pada perlakuan A yaitu, nauplius Artemia spp. tanpa pengkayaan (kontrol) dengan rata-rata pertumbuhan L=2,087 mm. Komposisi nutrisi hasil analisis bahan pakan berdasarkan bahan kering, perlakuan A menghasilkan pakan dengan protein 45% dan lemak 13% lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya sedangkan kebutuhan lemak pada pakan larva kepiting bakau berkisar 15-20% (Sheen, 2000). Rendahnya pertumbuhan ini disebabkan oleh kandungan nutrisi nauplius Artemia spp. tanpa pengkayaan tidak dapat memenuhi nutrisi yang dibutuhkan oleh larva kepiting bakau.

Pertumbuhan panjang mutlak tertinggi pada perlakuan D, nauplius Artemia spp. diperkaya dengan minyak ikan salmon75%+minyak kedelai 25% dengan rata-rata pertumbuhan L=3,053. Tingginya pertumbuhan ini disebabkan

(10)

oleh kandungan pakan berupa nauplius Artemia spp. dengan penambahan minyak ikan salmon 75%+minyak kedelai 25% dapat memenuhi nutrisi yang dibutuhkan oleh larva kepiting bakau. Komposisi nutrisi hasil analisis bahan pakan berdasarkan berat kering 100%, hasil protein 57,1053% dan lemak 22,338%, mampu memenuhi kebutuhan nutrisi larva kepiting bakau dikarenakan jumlah tersebut melebihi jumlah protein dan lemak yang dibutuhkan larva kepiting bakau sehingga, kelebihan tersebut digunakan untuk pertumbuhan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Lovell (1988) bahwa kebutuhan energi untuk metabolisme harus dipenuhi terlebih dahulu dan apabila berlebihan maka digunakan untuk pertumbuhan.

Proses pertumbuhan tersebut terjadi karena kandungan lemak ikan salmon pada Artemia spp, yang telah diperkaya minyak ikan salmon mengandung DHA dan EPA sedangkan minyak kedelai mengandung linoleat dan linolenat. Protein yang terdapat pada Artemia spp. yang telah dilakukan pengkayaan tersebut akan berubah menjadi asam amino. Asam-asam lemak essensial dan asam amino tersebut beroksidasi menghasilkan asetil Ko-A kemudian diproses dalam silklus asam sitrat dilanjutkan dalam transpor elektron yang menghasilkan ATP/sumber energi. Energi tersebut digunakan sebagai proses metabolisme. Hasil metabolisme tersebut dimanfaatkan sebagai penganti jaringan yang rusak, pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup.

Tingkat Kelangsungan hidup adalah perbandingan antara jumlah individu yang hidup pada akhir percobaan dengan jumlah individu yang hidup pada awal percobaan (Amry, 2002). Faktor yang mempengaruhi Kelangsungan hidup adalah kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan (Sukoso, 2002). Kualitas pakan dilihat berdasarkan kandungan nutrisi yaitu protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral (Shuanglin, 2002).

Hasil analisis statistik data kelangsungan hidup larva kepiting bakau menunjukkan hasil yang berbeda nyata ( P< 0,05) antar perlakuan. Hal ini diduga karena pengaruh kombinasi pengkayaan minyak ikan salmon dan minyak kedelai terhadap Artemia spp. yang berbeda, sehingga nilai nutrisi yang diperoleh masing-masing perlakuan berbeda. Tingkat kelangsungan hidup terendah terdapat pada perlakuan A (SR=15,11%) yang berbeda nyata dengan perlakuan B, C, D, E, F,

(11)

135

dan G. Hal tersebut dikarenakan kurangnya kandungan nutrisi pada perlakuan A yang tanpa pengkayaan minyak ikan dan minyak kedelai karena kebutuhan nutrisi yang tidak dapat terpenuhi tersebut dapat memicu terjadinya defisiensi pada larva

sehingga memicu kematian masal. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Effendy dkk. (2005) menyatakan bahwa kekurangan nutrisi pada fase

pemeliharaan larva dapat menyebabkan kematian massal. Tingkat kelangsungan hidup tertinggi larva kepiting bakau terdapat pada perlakuan C (SR=41,78%) tidak berbeda nyata dengan perlakuan D (SR=39,56%) dan perlakuaan E (SR=38,22%). Hal ini diperkuat oleh hasil analisis bahan pengkaya berdasarkan berat kering 100%, dengan kadar protein kasar, lemak kasar, imbangan energi, dan energi yang dapat dicerna keseluruhan hasilnya hampir sama akan tetapi, berbeda nyata dengan perlakuan F (SR=33.33%), G (SR=32,44%), dan B (31,11%) karena kandungan lemak yang terdapat pada perlakuan tersebut lebih sedikit yaitu antara 18-20% meskipun imbangan energi, dan energi yang dapat dicerna hampir sama.

Perlakuan C menggunakan kombinasi minyak ikan salmon 100% dari total dosis 0,6 ml/L, minyak ikan salmon mengandung DHA dan EPA sebagai bahan pengkaya terbukti lebih mampu menghasilkan kelangsungan hidup yang paling tinggi dikarenakan menghasilkan lemak yang paling tinggi yaitu 23,2333% yang terbukti pada hasil proksimat analisis bahan pakan berdasarkan berat kering 100%, namun hasil proteinnya lebih sedikit dibandingkan protein pada perlakuan B akan tetapi, perlakuan C memiliki imbangan energi yang lebih stabil. Hal ini menunjukkan bahwa pengkayaan Artemia spp. pada larva kepiting bakau dengan menggunakan kuning telur dan minyak kedelai tidak dapat menunjukkan tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan minyak ikan salmon yang mengandung DHA dan EPA sebagai bahan pengkaya. Hal tersebut didukung pula oleh pernyataan Takeuchi (1992) bahwa larva kepiting bakau memerlukan EPA untuk kelangsungan hidup dan DHA untuk pertumbuhan.

Tingkat kelangsungan hidup rendah dan kecepatan pertumbuhan akan

menurun apabila kondisi lingkungan dan nutrisi tidak sesuai (Wickins dan Lee, 2002). Pakan alami merupakan faktor penting dalam

(12)

seperti suhu, salinitas pH, oksigen terlarut dan amoniak sangat menentukan pertumbuhan dan kelangsungan hidup krustacea (Gusrina, 2008). Suhu dapat mempengaruhi berbagai fungsi metabolisme dari organisasi akuatik seperti perkembangan embrionik, pertumbuhan dan nafsu makan kepiting bakau (Serang, 2006).

Pada penelitian ini hasil pengamatan suhu berkisar antara 29,0-31,0ºC. Hasil pengamatan tersebut sesuai dengan pernyataan Juwana (2003), menyatakan suhu yang optimal untuk pemeliharaan larva kepiting bakau ada pada suhu antara 28-31ºC. Salinitas pada penelitian berkisar antara 30 ppt. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Giri et al. (2003) yang menyatakan bahwa salinitas yang layak untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting bakau adalah 30-33 ppt. Nilai pH pada penelitian ini adalah 7. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Juwana (2003), larva kepiting bakau dapat hidup baik dengan kisaran pH antar 7-7,7. Kandungan oksigen terlarut pada penelitian berkisar pada 5,0 mg/liter. Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Chien (1992) yaitu kandungan oksigen terlarut yang optimum bagi kepiting adalah di atas 4 mg/liter. Kandungan amoniak pada penelitian ini berkisar antara 0,25 mg/liter. Amoniak akan bersifat akut pada kisaran 1.0-1,5 mg/liter Nana dan Putra (2008).

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Pertumbuhan larva kepiting bakau (S. paramamosain) setelah diberi pakan nauplius Artemia spp. yang diperkaya dengan minyak kedelai dan minyak ikan salmon menunjukkan pengaruh nyata (1), Tingkat kelangsungan hidup larva kepiting bakau (S. paramamosain) setelah diberi pakan nauplius Artemia spp. yang diperkaya dengan minyak kedelai dan minyak ikan salmon menunjukkan pengaruh nyata (2), Dosis yang tepat untuk pertumbuhan larva kepiting bakau (S. paramamosain) terdapat pada perlakuan D (3,053 mm) yaitu dengan perlakuan kombinasi minyak ikan salmon 75% dan minyak kedelai 25 %, sedangkan untuk

(13)

137

tingkat kelangsungan hidup dosis yang tepat terdapat pada perlakuan C (41,78%) yaitu dengan perlakuan kombinasi minyak ikan salmon 100% (3).

Saran

Berdasarkan hasil penelitian pada pertumbuhan larva kepiting bakau (S. paramamosain) disarankan menggunakan kombinasi minyak ikan salmon 75% dan minyak kedelai 25 %, sedangkan tingkat kelangsungan hidup disarankan menggunakan kombinasi minyak ikan salmon 100% guna memperoleh hasil yang optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Arulvasu, C and N, Munuswamy. 2009. Survival, Growth and Composition of Poecilia latipinna Fry Fed Enrich Artemia Naupli. Current Science. University of Madras, India. 245 : 487-578.

Amry. 2002. Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla Serrata) yang Dipelihara dalam Kurungan di Laut. Lutjanus, Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan, 7 (2): 130-137.

Chien, Y.H. 1992. Water Quality Requirement and Management for Marine Shrimp Culture. Journal of World Aquaculture Society. P. 144-156.

Effendy, S., Sudirman., Faidar., E. Nurcahyono. 2005. Perbandingan Teknik Ablasi Tangkai Mata pada Penampakan Reproduksi Kepiting Rajungan (Portunus pelagicus Linn). Skripsi. Takalar. hal 2-7.

Giri, N. A., K. Suwiryo., I . Rusdi., dan M. Marzuqi. 2003. Kandungan Lemak Pakan Optimal untuk Pembenihan kepiting bakau (Scylla paramamosain). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 9(4): 19-41.

Gusrina. 2008. Budidaya Ikan Jilid 2. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. hal 167-324.

Hariati, A. M. 1989. Makanan Ikan. UNIBRAW / LUW / Fisheries Product Universitas Brawijaya. Malang. hal 21-35.

Huynh, M.S. and R. Fotedar. 2004. Growth, Survival, Hemolymph Osmolality

and Organosomatic Indices of the Western King Prawn (Penaeus laticulatus Kihinouye, 1896) Reared at Different Salinities.

Aquaculture, 234: 601-614.

Juwana, S. 2003. Kriteria optimum untuk pemeliharahaan rajungan (Portunus pelagicus). 2. Pengaruh pencahayaan dan diet formulasi Oseanologi dan Limnologi di Indonesia No. 35: 37-50.

(14)

Kanna, I. 2002. Budidaya Kepiting Bakau. Kanisius. Yogyakarta. hal 24-25.

Karim, M. Y. 2005. Kinerja Pertumbuhan Kepiting Bakau Betina (Scylla serrata Forsska) pada Berbagai Salinitas Media dan Evaluasinya

pada Salinitas Optimum Dengan Kadar Protein Pakan Berbeda. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 75 hal.

Karim, M. Y. 1998. Aplikasi Pakan Alami (Brachionus Plikatilis dan Nauplius Artemia) Yang Diperkaya dengan Asam Lemak Omega-3 dalam Pemeliharaan Larva Kepiting Bakau (Scylla serrata). Tesis. Progam pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 95 hal.

Karim, M. Y., 2006. Respon Fisiologis Larva Kepiting Bakau (Scylla serrata) Yang Diberi Nauplius Artemia Hasil Bioenkapsulasi Dengan Asam Lemak Hufa. Jurnal Protein, XIII (1): 1-7.

Kusriningrum, R. S. 2008. Perancangan Percobaan. Airlangga University Press. Surabaya. Hal 43-98.

Lovell, T. 1988. Nutrition and Fedding of Fish. Van Nostrand Reinhold. New York. 27 pp.

Mursitorini, E. 2006. Pengaruh Pengkayaan Artemia spp. dengan EPA dan DHA terhadap pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup larva rajungan. Skripsi. Teknologi Instititut Pertanian Bogor. Bogor. 35 hal.

Nana, S.S dan U. Putra. 2008. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam Kegiatan Perikanan Budidaya. Diktat Apresiasi Tenaga Pendamping Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Air Payau Takalar, Sulawesi Selatan. 40 hal.

Rusdi, I. dan M. Y. Karim. 2006. Salinitas Optimum bagi Sintasan dan pertumbuhan Crablet Kepiting Bakau (Scylla paramamosain). Jurnal Sains & Teknologi, Volume 6 No. 3. Hal 149-157.

Serang, M. S., 2006. Pengaruh Kadar Protein dan Rasio Energi Protein Pakan

Berbeda Terhadap Kinerja Pertumbuhan Benih Rajungan (Portunus pelagicus). Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 59 hal.

Sheen, S. 2000. Dietary Cholesrerol Requirement of Juvenile Mud Crab Scylla Serrata. Aquaculture, 189:277-285.

Shuanglin, D. 2002. Protein Restriction With Subsquent Realimention on Growth Performance of Juvenile Chinese Shrimp (Fenneropenaeus chinensis). Jurnal Aquaculture, 210:343-358.

(15)

139

Sirait, J.M. 1997. Kualitas Habitat Kepiting Bakau, Scylla serata, S. oceanic dan S. transquebarica di Hutan Mangrove RPH Cibuaya, Karawang. Skripsi. Fakultas Perikanan IPB. 104 hal.

Sukoso. 2002. Pemanfaatan Mikroalga dalam Industri Pakan Ikan. Agritek YPN. Jakarta. hal 56-70.

Watanabe, T. and V. Kiron, 1994. Prospect in Larval Fish Dietetics. Review, Aquaculture, 124 : 223-251.

Wickins, J.F and D.O.C. Lee. 2002. Crustacean Farming, Ranching and Culture. Blackwell Science. Oxford. 446 p.

Yunus, K. Suwirya, Kasprijo, dan I. Setyadi. 1996. Pengaruh Pengkayaan Rotifer (Brachionus plicatilis) Dengan Menggunakan Minyak Hati Ikan Cod terhadap Sintasan Larva Kepiting Bakau (Scylla serrata). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, II (3) : 38-45.

Gambar

Grafik pertumbuhan panjang mutlak  larva  kepiting bakau  stadia zoea tiga  sampai  megalopa  pada  tiap  perlakuan  selama  9  hari  pemeliharaan  dapat  dilihat  pada Gambar 5
Tabel  1.  Pertumbuhan  panjang  mutlak  larva  kepiting  bakau  stadia  zoea  tiga  sampai megalopa pada tiap perlakuan selama 9 hari pemeliharaan
Gambar  2.  Diagram  rata-rata  tingkat  kelangsungan  hidup  larva  kepiting  bakau stadia zoea tiga sampai megalopa pada tiap perlakuan selama 9  hari pemeliharaan

Referensi

Dokumen terkait

REKRUTMEN DAN SELEKSI CALON KARYAWAN PT PERKEBUNAN NUSANTARA XIV TAHUN 2018.. BIDANG STUDI:

Kritik lain yang dialamatkan kepada Azami adalah bahwa Azami ternyata tidak masuk ke jantung perdebatan diskursif yang berkembang di Barat, sehingga gagal mererspons

Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan tersebut, maka salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan

Sedangkan menurut Abdul Chaer (1984:7), idiom adalah satuan bahasa (entah berupa kata, frasa, maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat “ditarik” dari kaidah umum gramatikal

For movers, we computed the diff erence between the predicted value of hourly earnings in the origin country capital and destination city; for stayers, we com- puted the diff

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah menganugerahkan rahmat dan hidayah-Nya, shalawat dan salam juga tidak lupa saya haturkan kepada Nabi Muhammad

Saya mengesahkan bahawa satu Jawatankuasa Peperiksaan Tesis telah berjumpa pada untuk menjalankan peperiksaan akhir bagi Farah Hanan binti Aminallah bagi menilai tesis beliau

Metode pengumpulan untuk data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan studi kepustakaan artinya penelitian yang dilakukan untuk memperoleh data