• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK DESENTRALISASI, DARI PEMEKARAN WILAYAH DI ERA REFORMASI VERSUS KESEJAHTERAAN MASYARAKAT. Oleh : Joko Tri Nugraha, S.Sos, M.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POLITIK DESENTRALISASI, DARI PEMEKARAN WILAYAH DI ERA REFORMASI VERSUS KESEJAHTERAAN MASYARAKAT. Oleh : Joko Tri Nugraha, S.Sos, M."

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK DESENTRALISASI, DARI PEMEKARAN

WILAYAH DI ERA REFORMASI VERSUS

KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Oleh :

Joko Tri Nugraha, S.Sos, M.Si

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN

PENDIDIKAN TINGGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA

UNIVERSITAS TIDAR

2015

(2)

1

Politik Desentralisasi, Dari Pemekaran Wilayah di Era Reformasi

Versus Kesejahteraan Masyarakat

Oleh : Joko Tri Nugraha, S.Sos, M.Si1 jokotri.nugraha@gmail.com

Ringkasan

Pemekaran daerah pada dasarnya merupakan efek samping yang logis dari kebijakan desentralisasi. Cepatnya pertumbuhan daerah administratif baru di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota terjadi karena saat ini lebih banyak sumberdaya yang telah dialihkan oleh pemerintah pusat ke daerah. Jika dilakukan dengan landasan berpikir yang benar, pemekaran ditujukan untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik karena administrasi pemerintahan akan lebih dekat kepada rakyat di daerah. Namun di dalam praktik di Indonesia yang mengemuka adalah sentimen primordial, syahwat elit lokal yang menginginkan jabatan baru, keuntungan politis maupun keuntungan materi, yang kebetulan berimpit dengan kepentingan para perumus kebijakan di pusat sehingga merekapun kurang tegas dalam mewujudkan moratorium pemekaran.

Kata Kunci : daerah otonom, moratorium, pemekaran wilayah

A. Pendahuluan

Makalah ini merupakan tinjauan gambaran umum pemekaran wilayah beberapa daerah di era reformasi (sejak tahun 1999 hingga sekarang) ini, permasalahan yang dihadapi serta beberapa alternatif pemecahan masalah. Saya menilai, bahwa pemekaran wilayah di Indonesia secara besar-besaran, sehingga berubah menjadi semacam “industri” bahkan “bisnis” pemekaran saat ini, tidak sepenuhnya didasari oleh pandangan-pandangan normatif teoritis seperti halnya yang tersurat dalam peraturan pemekaran wilayah atau dalam teori-teori desentralisasi yang dikemukakan oleh banyak pakar.

Idealnya, tujuan pemekaran wilayah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengembangkan dan memperkokoh demokrasi lokal, memaksimalkan akses publik ke pemerintahan, mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya, menyediakan pelayanan publik sebaik dan seefisien mungkin. Sayangnya, untuk konteks negara kita yang terjadi justru sebaliknya, tujuan-tujuan politis pragmatis seperti untuk merespons

1

(3)

2 separatisme agama dan etnis, membangun citra rezim sebagai rezim yang demokratis, memperkuat legitimasi rezim yang berkuasa dan juga karena self interest dari para aktor (baik daerah dan pusat), merupakan faktor-faktor yang lebih dominan. Politisasi dan pragmatisme dalam pemekaran wilayah seperti itulah yang pada akhirnya menimbulkan banyak persoalan bahkan komplikasi di daerah-daerah pemekaran induk dan juga di pusat (Turner dan Hulme, 1997).

Sebagaimana kita ketahui secara geografis, Indonesia adalah negara yang berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa dan bersifat majemuk dalam hal etnis, bahasa daerah, agama, budaya, geografi, demografi dan lain-lain. Dari salah satu pendapat, terdapat sekitar 656 suku di seluruh nusantara di mana 1/6 di antaranya (sekitar 109 suku) tinggal di Indonesia Barat (Jawa dan Sumatra) dan selebihnya di Indonesia Timur menurut pembagian garis

Wallace (Tomagola, 2006).

Pengelompokan etnis tersebut seringkali bertindihan dengan pengelompokan agama. Sebagai contoh, etnis Ambon pada umumnya beragama Kristen dan etnis Bugis sebagian besar beragama Islam. Sehubungan dengan itu, maka kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah masa reformasi merupakan kebijakan yang tepat untuk merespon keberagaman tersebut. Pemekaran wilayah merupakan salah satu aktualisasi dari kebijakan itu yang terbukti kemudian peluang ini banyak ditangkap dan dimanfaatkan oleh daerah dan elit-elitnya (Ratnawati, 2009).

Hanya yang perlu diperhatikan dan direnungkan dalam pemekaran wilayah ini adalah apakah benar bahwa pemekaran memang sejalan dengan tujuan desentralisasi untuk memakmurkan dan mensejahterahkan rakyat serta meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah? Jika jawabannya masih tidak, inilah momentum yang tepat untuk mengkaji dan mengevaluasi kembali pemekaran wilayah seraya mengutamakan kepentingan bangsa yang jauh lebih besar.

(4)

3

B. Inkonsistensi Moratorium Pemekaran

Pemekaran daerah pada dasarnya merupakan efek samping yang logis dari kebijakan desentralisasi. Cepatnya pertumbuhan daerah administratif baru di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota terjadi karena saat ini lebih banyak sumberdaya yang telah dialihkan oleh pemerintah pusat ke daerah. Kebijakan desentralisasi yang mengakibatkan pemekaran daerah, sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di berbagai negara, misalnya Canada, Rusia, Nigeria, Pakistan dan sebagainya. Masalahnya, pemekaran daerah yang terjadi di Indonesia saat ini adalah kurang rasional dan dilandasi dengan pertimbangan yang lemah (Ferrazi, 2008).

Pasca reformasi, laju pemekaran daerah di Indonesia begitu cepat sehingga sulit untuk dikendalikan. Dalam kurun waktu 10 tahun (1999-2009) saja, tercatat terdapat tambahan sebanyak 205 daerah otonom baru (DOB) hasil pemekaran dan jumlah ini dipastikan bertambah karena aspirasi pemekaran juga terus berkembang.

Laju pertumbuhan DOB ini ternyata berbanding terbalik dengan kondisi sebelum diberlakukan otonomi daerah. Sejak negara kita merdeka hingga tahun 1999, Indonesia hanya memiliki 319 daerah otonom. Artinya, selama 54 tahun pemerintah telah berhasil menekan laju pembentukan daerah otonom baru. Dengan demikian, sistem sentralisasi yang diterapkan juga membuat aspirasi pemekaran daerah menjadi tersumbat, karena semua urusan pemerintahan didominasi oleh kepentingan pusat.

Data yang dirilis oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN), selama 11 tahun era otonomi daerah telah terbentuk sekitar 205 DOB. Jika ditambah dengan 1 provinsi dan 4 kabupaten yang baru disahkan pemerintah beberapa waktu yang lalu, maka saat ini Indonesia memiliki 529 daerah yang terdiri dari 34 provinsi, 402 kabupaten dan 93 kota. Jumlah ini masih bisa bertambah, jika permohonan untuk membentuk daerah baru semuanya diluluskan, mengingat saat ini di Kementerian Dalam Negeri telah menanti usulan 33 provinsi baru serta 150 calon kabupaten dan kota. Ke depan, akan

(5)

4 muncul daerah otonom baru dan tentu saja akan semakin sulit dikendalikan secara administratif (Nugraha, 2012).

Ironisnya, kebijakan moratorium yang telah dicanangkan oleh pemerintah justeru diingkari sendiri. Buktinya, Senin, 3 Februari 2014 pemerintah dan Komisi II DPR tetap membahas usulan pembentukan daerah otonom baru (DOB). Setelah 19 usulan DOB, kali ini ada 65 usulan DOB dibahas dalam rapat kerja komisi II dengan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Dari 65 usulan DOB, 57 diantaranya usulan pembentukan kabupaten dan kota serta 8 usulan pembentukan provinsi baru. Ke delapan provinsi itu adalah Tapanuli, Kepulauan Nias, Pulau Sumbawa, Kapuas Raya, Bolaang Mongondow Raya, Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Barat Daya (Nugraha, 2014).

C. Mengapa Pemekaran?

Maraknya pemekaran wilayah ini di satu pihak perlu disyukuri karena memberikan tempat bagi aspirasi, keberagaman dan otonomi lokal sesuatu hal yang diabaikan di masa orde baru. Jika dilihat dari konsep tata pemerintahan (governance), sebenarnya pemekaran daerah ditujukan untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik dengan asumsi administrasi pemerintahan akan lebih dekat dengan masyarakat di daerah. Sayangnya, dalam praktek di negara kita justru yang lebih mengemuka adalah sentimen primodial, kepentingan elit lokal yang menginginkan jabatan baru, keuntungan politis maupun keuntungan materi yang berkaitan juga dengan kepentingan para perumus kebijakan di pusat. Kepentingan pribadi elit lokal ini tercermin nyata dari keinginan untuk menjabat di birokrasi lokal atau DPRD, ingin lepas dari himpitan ”penindasan” kelompok etnis atau agama lain, ingin membangun kembali sejarah kekuasaan aristrokrasi lama yang pernah pudar di masa orde baru, sehingga seringkali mereka pun kurang tegas untuk melakukan moratorium pemekaran (Djohan dalam Piliang dan Mubarak, 2006).

Pembentukan DOB pada umumnya terjadi karena didorong rasa sentimen primordial warga di daerah yang justru dimanfaatkan oleh elit politik lokal untuk kepentingan pribadinya. Biasanya alasan yang sering

(6)

5 dikemukakan untuk mengajukan pemisahan daerah adalah unsur sejarah, adat-istiadat, bahasa dan karakter etnis yang berbeda. Dalam situasi seperti ini elit politik lokal, bupati atau anggota dewan mendorong upaya pembentukan daerah baru dengan menebar janji mengenai pentingnya identitas baru, perbaikan kondisi ekonomi daerah serta peningkatan kualitas pelayanan publik.

Di jajaran pemda, ternyata pemekaran juga mendapat dorongan yang kuat. Mengapa? Karena banyak yang melihat peluang, adanya jabatan baru jika daerah baru yang diimpikan tersebut terbentuk. Dengan dasar PP No. 41 tahun 2007 yang memungkinkan daerah membentuk struktur organisasi baru yang sesuai dengan kebutuhan daerah, akan terbuka kemungkinan adanya kenaikan eselon pejabat daerah segera setelah provinsi atau kabupaten dan kota itu terbentuk.

Pola yang sering terjadi dalam pembentukan kabupaten baru ialah adanya kecamatan yang warganya merasa tersisih dari derap pembangunan di kabupaten induk. Ketika kabupaten pemekaran terbentuk, para pejabat di kecamatan tersebut praktis akan mendapatkan manfaat karena kenaikan eselon. Sekalipun masih berdomisili di kabupaten induk, mereka tetap ingin menjadi pejabat di kabupaten baru karena iming-iming tunjangan jabatan baru.

Selanjutnya bagaimana dengan kalangan swasta? Terbentuknya daerah baru akan banyak memberi berkah karena banyak proyek dari anggaran pemerintah. Setelah kabupaten baru terbentuk, tentunya prasarana yang harus tersedia adalah kantor-kantor pemda baru, gedung DPRD baru. Semuanya harus dibangun dikompleks pemda dengan akses jalan dan kelengkapan infrastruktur pendukungnya seperti listrik, air minum dan telepon. Inilah kesempatan bagi rekanan swasta yang bergerak di bidang konstruksi. Daerah baru berarti peluang untuk menangkap proyek fisik dari anggaran pemerintah. Ketika menerima usulan daerah untuk membentuk kabupaten baru, kebanyakan elit politik pun di pusat cenderung menyetujui usulan tersebut tanpa pertimbangan yang matang. Pada saat para anggota DPR membahas RUU pemekaran, elit politik dan pejabat daerah sudah menyetor uang kepada

(7)

6 mereka. Substansi yang mengkaji pemekaran sesuai PP No. 78 tahun 2007 acapkali diabaikan. Dengan begitu banyaknya pihak yang cenderung mendorong pembentukan daerah baru, di daerah maupun di pusat, maka menjadi semakin sulit untuk mengerem kebijakan pemekaran. Suara tentang pentingnya moratorium pemekaran hanya terdengar samar-samar di antara para pakar, akademisi atau unsur-unsur LSM di daerah yang prihatin dengan semakin buruknya kualitas pelayanan publik di daerah.

D. Beberapa Permasalahan Daerah Pemekaran

LIPI dalam studinya di wilayah Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Jawa Barat dan Banten, Sulawesi Utara dan Gorontalo serta Maluku menyimpulkan bahwa kesejahteraan masyarakat justru mengalami penurunan setelah pemekaran wilayah. Cerita-cerita sukses tentang pemekaran memang cenderung kurang bila dibandingkan dengan realita banyaknya permasalahan yang terjadi di daerah-daerah pemekaran. Beberapa contoh permasalahan itu misalnya (Pamungkas, 2007):

1. Konflik dengan kekerasan

Salah satu contoh kasusnya adalah Kabupaten Polewali-Mamasa yang dimekarkan pada 2002 menjadi Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa di Provinsi Sulawesi Barat. Konflik yang terjadi di Kecamatan Aralle, Tebilahan dan Mambi (ATM). Ketiga kecamatan ini menolak bergabung dengan Kecamatan Mamasa. Konflik dengan kekerasan juga terjadi dalam pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat. 2. Menurunnya jumlah penduduk dan PAD secara drastis

Salah satu contoh kasusnya adalah kasus Kabupaten Aceh Utara sebelum pemekaran penduduknya berjumlah 970.000 jiwa. Setelah pemekaran (menjadi Kota Bireuen, Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara) penduduknya tinggal 420.000. Pembentukan Kota Singkawang menyebabkan Kabupaten Bengkayang banyak kehilangan penduduknya karena bermigrasi ke Kota Singkawang. Selain itu, Bengkayang juga menderita karena menurunnya secara drastis PAD daerah tersebut pasca ditinggalkan oleh Singkawang.

(8)

7 3. Menyempitnya luas wilayah dan beban daerah induk

Contoh kasusnya adalah Kabupaten Halmahera Barat, yang setelah pemekaran wilayahnya menyempit secara drastis, saat ini dibebani oleh pembiayaan daerah-daerah baru di Kabupaten Halmahera Utara, Halmahera selatan dan Kepulauan Sula.

4. Perebutan wilayah dan masalah ibukota pemekaran

Kasus ini terjadi misalnya antara Pemda Kampar dan Pemda Rokan Hulu yang memperebutkan tiga desa, yaitu Tandun, Aliantan dan Kabun. Konflik mengenai ibukota pemekaran terjadi, misalnya di Kabupaten Banggai (Sulawesi Tengah).

5. Perebutan aset

Kasus ini pernah terjadi di Kabupaten Nunukan yang dimekarkan pada tahun 1999 yang kemudian berebut gedung dan peralatan dengan kabupaten induknya (Kabupaten Bulungan). Masalah ini juga terjadi antara kota Lhokseumawe (kota pemekaran) dengan Kabupaten Lhoksukon di Aceh (daerah induk).

E. Penutup

Kajian akademis mengenai pemekaran wilayah perlu dilakukan secara serius dan komprehensif karena akan terkait dengan konseptualisasi reformasi kewilayahan (administrative reform atau territorial reform) yaitu manajemen tentang ukuran, bentuk dan hierarkhi unit-unit pemerintahan daerah untuk mencapai tujuan-tujuan administrasi dan politik suatu negara (Ferrazzi, 2008).

Di samping itu, studi mengenai pemekaran wilayah juga penting untuk menyempurnakan konsep otonomi daerah dan pembangunan bangsa yang multikultural di Indonesia. Selanjutnya semangat “nasionalisme lokal” atau segregasi lokal perlu dikelola oleh pusat dengan bijak, sehingga tidak menjadi ancaman bagi nation building dan integrasi nasional (Bertrand, 2004).

Upaya menghentikan pemekaran benar-benar membutuhkan komitmen elit politik yang kuat. Pengalaman desentralisasi di Negeria menunjukkan bahwa perubahan konstitusi pun tidak bisa menghentikan pemekaran karena

(9)

8 insentif bagi elit politik yang begitu besar dari terciptanya daerah baru. Untuk di Indonesia, sebagian pihak bahkan mengusulkan agar kewenangan DPR dalam meratifikasi undang-undang tentang pembentukan daerah baru dipertimbangkan kembali.

Instrumen yang paling mudah untuk digunakan adalah membuat supaya dana perimbangan yang diberikan kepada daerah bisa menghambat usulan pemekaran. Selama ini, DAU (Dana Alokasi Umum) selalu diberikan dengan proporsi yang sama bagi semua daerah. Akibatnya, di samping DAU tidak bisa mengatasi kesenjangan horizontal antar daerah, dana ini juga mendorong pemekaran. Andaikata pemberian DAU diberikan secara netral, bahwa daerah pemekaran akan mendapat jumlah DAU yang dibagi dari daerah induknya, para pejabat pemda dan elit lokal akan berpikir ulang untuk memekarkan diri. Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk menerapkan moratorium pemekaran wilayah antara lain:

Pertama, melakukan pendidikan politik di antara rakyat di daerah. Pendidikan politik seperti ini merupakan upaya yang paling mendasar dan akan menghasilkan pengaruh yang berkelanjutan. Semua warga diyakinkan agar dapat menahan diri supaya tidak hanya mengedepankan kepentingan sempit seperti etnisitas, sejarah masa lalu, sentimen adat dan sebagainya. Sebaliknya, warga perlu terus didorong untuk mementingkan hal-hal yang substansial dalam otonomi daerah seperti tingkat kemakmuran rakyat yang merata, pelayanan publik yang efisien dan sebagainya, sehingga mereka tidak akan begitu mudah untuk kepentingan-kepentingan yang sempit.

Kedua, melakukan strategi pembangunan yang lebih merata sehingga masyarakat tidak memiliki perasaan tertinggal yang berujung pada tuntutan untuk memekarkan diri.

Ketiga, penggunaan instrumen finansial, terutama DAU dan DAK untuk mendorong agar para pejabat pemda lebih mengedepankan efisiensi dan efektivitas dalam pelayanan publik ketimbang sentimen identitas kedaerahan. Seandainya kriteria tentang jumlah penduduk masih belum bisa diterima oleh para politisi di daerah, kriteria obyektif lain yang terkait dengan pelayanan publik, misalnya pemenuhan standar pelayanan minimal (SPM),

(10)

9 analisis biaya efektivitas (cost effectiveness) dengan terciptanya daerah baru atau kondisi riil kemakmuran yang dapat diukur dengan berbagai macam indikator seperti pendidikan, kesehatan dan penyediaan infrastruktur layanan.

Keempat, pertimbangan politis dalam mengevaluasi aspirasi dari berbagai daerah yang menuntut pemekaran hendaknya diimbangi dengan pertimbangan teknokratis disertai argumen empiris yang kuat. Ini harus dilakukan untuk mengurangi masih banyaknya wacana tentang pemekaran di dalam draft RUU yang dibahas oleh para anggota DPR. Sebaliknya, perlu diupayakan agar kemungkinan penggabungan wilayah administratif jika pemda terbukti belum mampu menyelenggarakan pelayanan publik harus lebih dikedepankan.

Kelima, pemerintah harus mengambil pendekatan yang komprehensif terhadap kinerja pemekaran supaya benar-benar memasukkan kemakmuran rakyat di daerah sebagai kriteria pokok. Hal ini tidak mungkin dilakukan secara sepihak oleh pemerintah atau kementerian dalam negeri saja. Pemerintah harus merangkul elit politik di jajaran pemda, para anggota DPRD, DPD dan DPR serta mengambil kebijakan dengan dasar rasional seperti telah ditemukan dari banyak hasil studi.

(11)

10

Daftar Pustaka

Bertrand, Jacques. 2004. Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia, Cambridge: University Press. Jakarta.

Djohan, Djohermansyah. 2006. Mengkaji Kembali Konsep Pemekaran Daerah Otonom, Yayasan Harkat Bangsa-Partnership, Jakarta.

Ferrazzi, Gabriele. 2008. International Experiences in Territorial Reform-Implications for Indonesia, USAID Democratic Reform Support Program (DRSP).

Nugraha, Joko Tri. 2012. Kolom Opini: Pemekaran Vs Kesejahteraan, dimuat di Harian Satelit Pos, 25 November 2012.

Nugraha, Joko Tri. 2014. Kolom Wacana: Inkonsistensi Moratorium Pemekaran Daerah, dimuat di Harian BERNAS JOGJA, 3 Juni 2014.

Piliang, Indra J. dan M. Zaki Mubarak. 2006. Blue Print Otonomi Daerah Indonesia, Yayasan Harkat Bangsa-Partnership, Jakarta.

Pramusinto, Agus dan Erwan Agus Purwanto. 2009. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik, Gava Media, Yogyakarta.

Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2007 Tentang Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.

Ratnawati, Tri. 2009. Pemekaran Daerah, Politik Lokal & Beberapa Isu Terseleksi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Tomagola, Tamrin Amal. 2006. Pengelolaan Potensi Konflik Komunal Dalam Pemekaran Daerah, Makalah Halaman 3, Jakarta.

Turner, Mark dan David Hulme. 1997. Administration and Development, Macmillan Press, Ltd.

UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Wibawa, Samodra. 2009. Administrasi Negara Isu-Isu Kontemporer, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Loyalitas toko adalah loyalitas nasabah dalam mengunjungi suatu took dimana disuatu nasabah biasa membeli merek produk yang diinginkan. Sehingga nasabah enggan berpindah ke toko

maka perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk melihat pengaruh penggunaan fotobioreaktor, baik fotobioreaktor terkontrol (FK) maupun fotobioreaktor tanpa kontrol (FTK) dengan

Kedudukan PPNS dalam sistem peradilan pidana dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara

- Variabel - Sampel yang - Sampel yang Menumbuhkan terikat: diteliti diteliti adalah Kecerdasan Multiple - Penelititan: siswa Majemuk Multiple Intelligences Kuantitatif, berprestasi

Metode bagian adalah pendekatan mengajar yang efektif untuk memudahkan siswa memahami suatu gerakan teknik dasar dengan cara memilah – milah sehingga menjadi

JPU terdakwa terbukti melakukan tindak pidana melawan korban sesuai dengan fakta-fakta yang tertera dalam dakwaan, terdakwa tidak menyesali perbutannya, karena sebelumnya

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengungkapan etika bisnis (business ethics disclosure) di dalam laporan tahunan perusahaan- perusahaan di Indonesia,

Beberapa saran yang dapat diajukan peneliti untuk mengoptimalkan pemanfaatan model project based learning berbantuan media virtual yaitu: (1) kemampuan awal hendaknya