• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Karakteristik Pohon Yang Digunakan Dalam Aktivitas Harian

Siamang (

Symphalangus syndactylus syndactylus

Rafles, 1821) di

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Lampung

Jani Master

1)

, M. Kanedi

1)

, Sugeng P. Harianto

2)

Maya D. Prasetyaningrum

3)

,

Anton Nurcahyo

3)

1

Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung, 2Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Pertanian Universitas Lampung, 3Wildlife Conservation Society Indonesia Program

Email : jani_master@yahoo.co.id

Abstract. We do the research to the trees used by Sympalangus syndactylus in Way Canguk research area, Bukit Barisan Selatan National Park, for about six months. The result of observation showed he differences of character from the trees used by Sympalangus syndactylus, trees used for sleeping, calling, and counter call are about 39 meters tall on the average, the trees that are used to move are 25 meters tall and the trees that are used to eat have no special character. Besides, the variety of the trees do not become the main priority, except those which are used as food resource.

Kata Kunci: Siamang, Aktivitas Harian, Karakteristik Pohon, Habitat

PENDAHULUAN

Siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan salah satu primata yang termasuk dalam jenis hewan dilindungi berdasarkan undang-undang No.5 tahun 1990 dan PP No.7 tahun 1999, termasuk dalam Appendix I, CITES (2000 IUCN). keberadaan satwa tersebut di alam semakin terancam akibat perburuan liar serta terganggunya ekosistem hutan. Mittermeier & Cheney (1987) melaporkan bahwa faktor utama penyebab kelangkaan primata adalah rusaknya habitat.

Siamang merupakan satwa arboreal, sebagai satwa arboreal siamang sangat membutuhkan tumbuh-tumbuhan, terutama pohon sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas hariannya seperti mencari makan, istirahat, berpindah (travelling) dan bersuara (calling). Siamang cenderung selektif dalam memilih tumbuhan dan bagiannya sebagai tempat beraktivitas (McGraw, 2000).

Makalah ini mencoba menggambarkan karakteristik tumbuhan yang dipilih siamang sebagai tempat melakukan aktivitas hariannya. Selain itu untuk

mengetahui jenis-jenis tumbuhan dan bagian tumbuhan yang sering digunakan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini mengamati empat kelompok siamang di areal penelitian Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, selama kurang lebih enam bulan. Total individu yang diamati berjumlah 15 ekor, terdiri dari tujuh ekor jantan dan sembilan ekor betina dengan berbagai kelas umur.

Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap, pertama yaitu pengamatan harian siamang yang dilakukan dengan metode focal time sampling yang dilakukan dengan selang waktu 15 menit sejak pagi hari pukul 06.30 WIB atau saat siamang mulai aktif hingga satwa tersebut mulai tidur pada pukul 17.00 WIB. Pengamatan harian dilakukan guna mengetahui koordinat dan kondisi pohon yang dimanfaatkan oleh siamang. Tahap kedua adalah pencatatan karakter pohon meliputi jenis pohon, tinggi puncak, tinggi bebas cabang, diameter dan lebar kanopi.

(2)

HASIL DAN PEMBAHASAN Total pohon yang digunakan oleh siamang selama diamati berjumlah 1005 pohon berasal dari 216 spesies. Pohon dengan tinggi lebih dari 31 meter merupakan pohon yang paling umum digunakan oleh siamang (67,36%). Pohon tersebut memiliki tinggi rata-rata 37,44 m, tinggi bebas cabang rata-rata 20,30 m, lebar tajuk rata-rata 18,42 m, tebal tajuk rata-rata 16,48 meter dan diameter setinggi dada (DBH) rata-rata 60,53 cm (tabel 1). Terkecuali Ficus spp, karena DBH untuk jenis Ficus spp tidak diukur. Pohon terendah yang dimanfaatkan siamang memiliki tinggi 7 meter yang dimanfaatkan daunnya sebagai sumber makan yaitu jenis Polyalthia grandiflora, sedangkan pohon tertinggi mencapai 65 meter yang dimanfaatkan sebagai tempat tidur serta bersuara (calling) yaitu dari jenis Pterospermum javanicum.

Setiap fungsi pohon memiliki karakter yang berbeda, yang meliputi tinggi pohon, tinggi bebas cabang, lebar tajuk dan diameter . Pada makalah ini pembahasan akan ditekankan pada tinggi pohon karena tinggi adalah karakter yang paling mudah untuk dibedakan. Tinggi pohon juga memiliki korelasi positif terhadap karakter lainnya, seperti tinggi bebas cabang, lebar tajuk dan besarnya diameter setinggi dada (DBH).

Pohon yang digunakan untuk tidur merupakan pohon besar dengan tinggi puncak rata-rata 46,08 meter (SD=8,13), tinggi bebas cabang 25,51 meter (SD=6,83), lebar canopi 21,47 meter (SD=8,18) dan tebal canopi 20,12 meter (SD=7,49). Pohon terendah memiliki tinggi 30 meter (Dialium platysepalum), pohon tertinggi 65 meter (Pterospermum javanicum) dan spesies yang paling sering digunakan adalah Ficus altisima. Pohon yang umum digunakan memiliki tinggi

antara 41 – 50 meter. Karakter lain dari pohon tidur siamang adalah tidak memiliki liana dan bukan pohon yang sedang berbuah.

Pohon untuk bersuara (calling) siamang memilih pohon dengan ketinggian antara 31- 40. Lebar tajuk dari pohon dengan kriteria tersebut adalah 21-30 meter dan tebal tajuk adalah 11-20 meter. Pohon tertinggi sebagai tempat bersuara adalah 65 meter dan yang terendah 17 meter.

Sedangkan pohon yang digunakan untuk berpindah memiliki tinggi yang beragam, mulai dari 8 meter hingga 57 meter, namun yang umum digunakan untuk berpindah baik pada hutan primer maupun sekunder adalah pohon dengan tinggi antara 11 hingga 20 meter dengan tinggi batang bebas cabang antara 1 hingga 10 meter dan lebar tajuk antara 1 hingga 10 meter. Rata-rata tinggi puncak pohon untuk berpindah sebesar 25 meter (SD=10) dengan tinggi bebas cabang 12 meter (SD=7), lebar tajuk 10 meter (SD=7) dan tebal tajuk 12.47 meter (SD=6,79). Hampir setengah (46,97%) dari seluruh spesies pohon yang diamati digunakan oleh siamang untuk berpindah dan spesies yang umum digunakan adalah Strombosia javanica. Tabel 1. Rata-rata tinggi puncak, tinggi bebas

cabang dan lebar tajuk pohon yang digunakan untuk oleh siamang berdasarkan fungsinya Fungsi Rata-rata (meter) Tinggi Puncak Tinggi Bebas Cabang Tebal Kano pi Lebar Kano pi Tidur 46,08 25,51 20,12 21,47 Calling 39,18 21,67 17,51 19,33 Travelli ng 25,00 12,00 10,00 12,47

(3)

Pohon Tidur

Siamang cenderung selektif dalam memilih tumbuhan dan bagiannya sebagai tempat beraktivitas (McGraw, 2000), pohon dengan tinggi lebih dari 31 meter merupakan pohon yang paling umum digunakan oleh siamang dalam melakukan aktivitas hariannya. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa terdapat perbedaan karakter dari pohon yang digunakan oleh siamang (gambar 1).

Pohon dengan tinggi puncak antara 41 – 50 meter merupakan pohon yang umum digunakan sebagai tempat untuk tidur oleh siamang. Karakter pohon tidur yang tinggi dan memiliki tajuk yang besar (21 – 30 meter) memberikan rasa aman bagi siamang terhadap gangguan predator dan membantu siamang dalam mengamati teritorinya (Baren, 2002) karena pohon-pohon tinggi tersebut memiliki tajuk lebar tetapi terbentuk dari lapisan yang tidak kontinyu. Selain itu sinar matahari seharian penuh dapat langsung mengenai pohon tempat tidur yang tinggi, sehingga akan mengurangi perkembangbiakan bakteri dan parasit di pohon tempat tidur siamang (Bismark, 1984).

Ranting merupakan bagian pohon yang paling sering digunakan saat tidur sebesar

(72,72%) dibandingkan cabang sekunder (17,04%) dan cabang utama (10,22%) sedangkan batang pohon dan liana tidak pernah digunakan untuk tidur. Karakter lainnya yaitu ada tidaknya buah, selama diamati hanya 22,64% dari seluruh pohon tidur siamang yang merupakan pohon yang sedang berbuah. Digunakannya pohon yang tidak berbuah agar siamang terhindar dari gangguan hewan pemakan buah lainnya maupun predator.

Siamang jarang sekali menempati satu pohon tempat tidur yang sama lebih dari dua malam berturut-turut, selain untuk menghindari gangguan predator hal tersebut juga dapat menghindari penyakit yang bersumber dari parasit atau bakteri yang berkembang biak pada kotoran yang dikeluarkan siamang saat bangun tidur (Bismark, 1984).

Pohon Calling

Sama halnya dengan pohon untuk tidur siamang, pohon yang dijadikan sebagai tempat bersuara (calling) juga merupakan pohon yang tinggi dan besar yakni antara 31 – 40 meter. Pohon tertinggi untuk bersuara adalah 65 meter dan yang terendah 17 meter, Pohon yang rendah biasanya

10 20 30 40 Ting gi Poh on (m)

Pohon Tidur Pohon Calling Pohon Traveling

Skala

= 10 x 10 meter

Gambar 1. Sketsa ukuran tinggi puncak, bebas cabang dan lebar kanopi pohon yang digunakan siamang

(4)

Sama halnya dengan pohon untuk tidur siamang, pohon yang dijadikan sebagai tempat bersuara (calling) juga merupakan pohon yang tinggi dan besar yakni antara 31 – 40 meter. Pohon tertinggi untuk bersuara adalah 65 meter dan yang terendah 17 meter, Pohon yang rendah biasanya digunakan untuk memulai calling, setelah itu siamang berpindah ke pohon yang lebih tinggi. Siamang bersuara pada pohon yang tinggi agar suara yang dikeluarkannya dapat terdengar jauh (Gittins dan Raemaekers, 1980).

Sebanyak 10 % dari pohon calling merupakan pohon berbuah selebihnya adalah pohon yang tidak berbuah dan dekat dengan pohon berbuah (gambar 2). Hal ini untuk menghindari rontoknya buah karena ayunan saat calling. Sepuluh persen pohon berbuah yang digunakan untuk bersuara

(calling) memiliki karakter yang sama dengan pohon tidak berbuah yaitu memiliki tinggi lebih dari 31 meter. Dipilihnya pohon tersebut sebagai tempat bersuara karena letaknya berada pada daerah tepi teritori siamang sehingga perlu dipertahannkan dengan cara bersuara pada pohon yang sedang berbuah tersebut.

Pohon counter caling merupakan pohon yang dekat dengan pohon buah (66,67%) dan siamang tidak pernah melakukan counter calling pada pohon berbuah. Digunakannya pohon yang dekat dengan pohon berbuah untuk counter calling, karena biasanya pohon yang sedang berbuahlah yang menjadi pemicu counter calling, dan siamang akan mempertahankan pohon buah tersebut agar tidak direbut oleh kelompok lain (Kinnaird et al, 2002)

Gambar 2. Persentase calling dan counter call pada pohon berbuah, tidak berbuah dan dekat pohon berbuah

(5)

Semua bagian pohon dalam counter calling dan calling dipergunakan oleh siamang. Karakter lain yaitu lokasi pohon yang digunakan, hampir seluruh (90%) pohon untuk calling dan counter calling terdapat pada daerah tepi dari teritori siamang, hal ini berkaitan dengan fungsi dari bersuara sebagai salah satu cara untuk mempertahankan daerah teritorinya.

Pohon Travelling

Berbeda dengan pohon tidur dan bersuara, pohon yang digunakan sebagai sarana untuk berpindah (travelling) memiliki tinggi yang beragam, mulai dari 8 meter hingga 57 meter, namun yang umum digunakan untuk berpindah adalah pohon dengan tinggi antara 11 hingga 20 meter dengan tinggi batang bebas cabang antara 1 hingga 10 meter dan lebar tajuk antara 1 hingga 10 meter.

Menurut Baren (2002) siamang di TNBBS memanfaatkan strata pohon di ketinggian 10 hingga 25 meter dalam pergerakannya, hal ini mungkin disebabkan kondisi pohon yang ada di TNBBS memiliki tajuk yang rapat antara satu pohon dan pohon yang lainnya pada ketinggian tersebut. Markhamah (2007) juga menyatakan bahwa siamang secara umum lebih sering melakukan perpindahan dari satu pohon ke pohon lain pada jarak kurang dari satu meter, selain itu meskipun dalam aktivitas hariannya siamang banyak berada pada strata atas, ternyata untuk berpindah siamang lebih banyak menggunakan strata tengah.

Digunakannya strata tengah saat berpindah karena tajuk pohon-pohon pada strata tersebut terbentuk oleh cabang lateral yang saling bersinggungan. Hal ini memudahkan siamang untuk berpindah dari satu pohon ke pohon lain.

Karakter lain dari pohon yang digunakan untuk berpindah adalah adanya liana. Lebih dari setengah (67,52% ) pohon yang digunakan untuk berpindah terdapat liana pada tajuk maupun batangnya, hal ini

disebabkan liana dapat membantu atau mempermudah siamang untuk berpindah dari tajuk pohon yang satu ke tajuk pohon lainnya.

Fungsi Lainnya

Fungsi lain pohon bagi siamang adalah sebagai sumber makan dan penampung air untuk minum. Tidak ada karakter khusus untuk pohon makan, siamang akan menggunakan pohon dengan berbagai karakter asalkan terdapat makanan pada pohon tersebut. Menurut Bismark (1984) jika ada beberapa pohon yang berbuah pada teritorinya, siamang akan berusaha mengunjungi seluruh pohon tersebut. Namun pada penelitian ini pendapat tersebut tidak terbukti karena tidak semua pohon berbuah didatangi siamang dalam satu hari.

Untuk mencukupi kebutuhan air selain dari buah siamang memperoleh air untuk minum dari air yang tergenang pada percabangan pohon yang membentuk cekungan atau air yang terdapat di pohon yang berlubang. Pohon yang digunakan untuk minum biasanya adalah pohon dengan ukuran DBH cukup besar yaitu rata-rata sebesar 54,36 cm (SD=27), hal ini akan berkaitan dengan celah atau cekungan pada pohon yang memiliki DBH besar akan lebih banyak menampung air dibandingkan pohon yang memiliki DBH kecil. Tinggi pohon sumber air berkisar antara 21 hingga 30 meter dengan rata-rata tinggi sebesar 28,76 meter (SD=7,92). Tinggi batang bebas cabang antara 11 hingga 10 meter dengan rata-rata sebesar 14,63 meter (SD=5,55).

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pohon yang digunakan oleh siamang sebagai tempat tidur, calling, dan travelling memiliki karakteristik yang berbeda untuk masing-masing fungsi tersebut.

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada Wildlife Conservation Society Indonesia Program yang telah membiayai penelitian ini sehingga penelitian ini dapat berlangsung sebagaimana diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Baren, Oki. 2002. Positional Mode Dalam Kelompok Umur – Jenis Kelamin pada Siamang (Hylobates syndactylus) di Way Canguk Taman Nasional Bukit Barisan Selatan propinsi Lampung. (Skripsi). Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Lampung. Lampung Bismark, M. 1984. Biologi dan Konservasi

Primata di Indonesia. Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor.

Eisenberg, J.F. 1981. Techniques for the Study of Primate Population Ecology. National Academy Press. Washington D.C.

Gittins, S.P. and J.J.Raemakers. 1980. Siamang, Lar, and Agile Gibbon. In D.J. Chivers (Ed). Malayan Forest Primates. Plenum press London.

Kinnaird, M., T. O‘Brien, A. Nurcahyo, M. Prasetyaningrum. 2002. Intergroup Interactions and the Role of Calling

Among Siamangs. Abstract on IPS Proceeding. WCS-IP. Indonesia.

Markhamah, S. 2007. Pola pPergerakan Siamang (Hylobates syndactylus) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. (Skripsi). Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. McGraw, W.S. 2000. Positional Behavior

of Cercophiteus Petaurista. International journal of Primatol. Vol 21 No: 1

Mittermeier, R.A.; Cheney, D.L. Conservation of primates and their habitats. Pp. 477-490 in Primate Societies. B.B. Smuts: D.L. Cheney; R. Seyfarth; R.W. Wrangham; T.T. Struhsaker, eds. Chicago, Chicago University Press, 1987.

Sunarto. 1999. Laporan Perkembangan Studi Dampak Kebakaran hutan 1997 di TNBBS. Dalam: WCS-IP. 1999. Laporan Hasil Penelitian TNBBS Juli 1997-1999. Wildlife Conservation Society – Indonesia Program. Bogor. Wildlife Conservation Society – Indonesia

Program. 2001. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Dalam ruang dan Waktu. Laporan Hasil Penelitian 2000 – 2001. PHKA/WCS-IP. Bogor.

Gambar

Gambar  1.    Sketsa  ukuran  tinggi  puncak,  bebas  cabang  dan  lebar  kanopi  pohon  yang  digunakan  siamang
Gambar 2.   Persentase calling dan counter call pada pohon berbuah, tidak berbuah dan dekat  pohon berbuah

Referensi

Dokumen terkait

Kesulitan ini menimbulkan gagasan untuk melakukan penelitian perbaikan pengkalusan padi, agar akurasi inisiasi kalus lebih tinggi, sehingga eksplan untuk

Keberhasilan proses dan hasil pembelajaran akuntansi di kelas XI IPS 1 SMA Negeri 3 Sukoharjo melalui model pembelajaran berbasis projek(Project Based Learning)

Akan tetapi Kota Probolinggo yang masuk dalam peta tapal kuda dimana daerah tapal kuda dalam pemilihan umum PKB yang keluar sebagai suara terbanyak, hal yang ini tidak

Rancangan Undang-Undang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Filipina mengenai Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 81/ Menkes/ SK/ I/ 2004 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan Sumber Daya Manusia Kesehatan di tingkat Provinsi, Kabupaten/

dapat menjelaskan peranan mikroflora rongga mulut pada organ- organ bibir, mukosa mulut, lidah, palatum, faring dan faring Metoda : Kuliah, diskusi. Media

Beberapa peneliti telah melakukan penelitian untuk memecahkan masalah konvergensi prematur pada GA, diantaranya yaitu GA dengan Multi-Parent Crossover yang

Selain itu dilakukan pelatihan dan percontohan dengan cara memperagakan/ mempercontohkan bagaimana cara pembuatan sirup markisa yang dimulai dari pemilihan buah yang