i
Strategi Guru Pendidikan Agama Islam (PAI)
dalam Pembentukan Karakter Anak Tunagrahita di
Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB)
Wantuwirawan Salatiga 2016/2017
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Disusun Oleh :
Anggih Ratna Sari
NIM 11112173
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
v
MOTTO
“ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
1. Teruntuk kedua orang tua saya, Ibu Tumiyati dan Bapak Hadi Sukirman yang
senantiasa mendoakan, memotivasi dan membimbing saya
2. Adik saya Oska Mahendra yang senantiasa menghibur dan memberi warna
dalam kehidupan ini
3. Saudara-saudaraku, terimakasih atas do’a, dukungan serta semangat, yang
diberikan selama ini
4. Sahabat-sahabat tercinta khusunya Taufikul Mujib, Istianah Lis Hikmawati,
Ririn Agus Triani, Rose Arianti Abbas, Pawitri, Ratna Sri Wardani, Visi Sofia
yang sudah banyak mendukung saya dalam penyelesaian skripsi ini
5. IMMawan dan IMMawati Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah Kota Salatiga
6. Adik-adik Formapak IAIN Salatiga yang selalu ada dalam keadaan apapun
7. Dosen dan Para Pengajarku, terimakasih atas ilmu yang di sampaikan semoga
bisa bermanfaat bagi kehidupan saya
8. Almamater tercinta Jurusan Pendidikan Agama Islam FTIK IAIN SALATIGA
x
ABSTRAK
Sari, Anggih Ratna. 2017. Strategi Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) Dalam Pembentukan Karakter Anak Tunagrahita di Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) Wantuwirawan Salatiga Tahun Ajaran 2016/2017. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam, Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Achmad Maimun, M.Ag
Kata Kunci: Strategi Guru PAI, Pembentukan Karakter, siswa Tunagrahita
Siswa Tunagrahita merupakan anak yang memiliki kecerdasan dibawah rata-rata anak pada umumnya atau sering disebut dengan retradasi mental. Dengan keadaan seperti itu anak-anak tunagrahita memerlukan pelayannan dan pendidikan yang khusus. Tujuan dari dipilihnya objek, topik dan judul dalam skripsi ini yaitu: 1. Untuk mengetahui karakter siswa tunagrahita SMPLB Wantuwirawan Salatiga, 2. Untuk mengetahuistrategi guru PAI dalam membentuk karakter siswa tunagrahita SMPLB Wantuwirawan Salatiga.
Penelitian atas skripsi ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi dari sumber data. Pihak yang di wawancarai antara lain: guru PAI dan guru kelas SMPLB-C Wantuwirawan Salatiga, kepala sekolah C Wantuwirawan Salatiga, siswa-siswi SMPLB-C Wantuwirawan Salatiga.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN ... ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN ... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vii
ABSTRAK ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
DAFTAR TABEL ... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
E. Kajian Pustaka ... 6
F. Penjelasan Judul ... 9
G. Metode Penelitian ... 12
xii
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Gambaran Umum Guru PAI ... 17
B. Karakter Dan Pembentukannya ... 27
C. Tunagrahita ... 32
D. Strategi Guru PAI dalam Pembentukan Karakter Anak Tunagrahita ... 42
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Gambaran Umum SLB Wantuwirawan Salatiga 1. Sejarah dan Profil SMPLB Wantuwirawan Salatiga ... 46
2. Identitas Sekolah ... 47
3. Visi, Misi, Tujuan SMPLB Wantuwirawan Salatiga ... 47
4. Struktur Organisasi yayasan ... 49
5. Struktur Organisasi SMPLB-C Wantuwirawan Salatiga ... 50
6. Jumlah Guru dan Karyawan ... 51
7. Peserta didik ... 52
8. Sarana dan Prasarana Sekolah ... 53
B. Pembelajaran di SMPLB-C Wantuwirawan Salatiga 1. Kurukulum SMPLB-C ... 55
2. Metode Pembelajaran ... 61
3. Problematika ... 64
BAB IV ANALISI DATA A. Karakter Siswa Tunagrahita ... 68
xiii
C. Faktor Pendukung Dan Penghambat Dalam Pembentukan Karakter 1. Faktor Pendukung ... 77 2. Faktor Penghambat ... 79 BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 81 B. Saran ... 82 DAFTAR PUSTAKA
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
1. NOTA PEMBIMBING SKRIPSI
2. SURAT PERMOHONAN IZIN PENELITIAN
3. SURAT KETERANGAN PENELITIAN
4. PEDOMAN WAWANCARA
5. TRANSKIP WAWANCARA
6. DOKUMENTASI
7. LEMBAR KONSULTASI SKRIPSI
8. KETERANGAN SKK
xv
DAFTAR TABEL
Tabel I Struktur Organisasi Yayasan
Tabel II Struktur Organisasi SMPLB-C Wantuwirawan
Tabel III Struktur Guru dan Karyawan
Tabel IV Peserta didik
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dunia pendidikan adalah dunia yang sangat penting bagi kehidupan
manusia. Pendidikan diharapkan dapat membentuk generasi muda yang
kreatif, inovatif, memiliki pengetahuan dan budi pekerti luhur sehingga
mereka mampu bersaing dalam kehidupan. Pendidikan di Indonesia ada
berbagai mancam tingkat dan jenis yang diperuntukkan bagi anak, dengan
berbagai macam karakteristik dan kemampuan serta kebutuhan yang berbeda.
Begitu juga dengan anak yang berkebutuhan khusus. Anak ini mempunyai
hak untuk memperoleh pendidikan dan memiliki kebutuhan yang berbeda
dengan anak normal lainnya. .
Setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan seperti yang
tercantum dalam UUD’45 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi, “Tiap-tiap warga
negara berhak mendapatkan pembelajaran.”. negara sudah memberi jaminan
kepada semua warga negaranya untuk mendapatkan pendidikan tanpa
terkecuali. Anak berkebutuhan khusus juga memiliki hak untuk memperoleh
pendidikan sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa,
“setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu”. Sedangkan lanyanan pendidikan bagi warga
2
tersebut menyatakan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh
pendidikan layanan khusus. Kelainan yang disandang oleh warga negara
tersebut membutuhkan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan jenis dan
karakteristik masing-masing. Sarana dan prasarana juga harus sesuai dengan
apa yang dibutuhkan oleh anak berkebutuhan khusus serta mengikuti
perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Anak adalah anugerah paling berharga dari Allah Swt yang
merupakan titipan atau amanah, orang tua mempunyai kewajiban untuk
menjaga, mendidik dan mengarahkan mereka sehingga mereka dapat
berkembang secara optimal sekalipun anak tersebut berkebutuhan khusus.
Anak berkebutuhan khusus merupakan sebutan bagi mereka yang memiliki
kekurangan atau mengalami berbagai kelainan dan penyimpangan yang tidak
dialami oleh anak normal pada umumnya. Awalnya bagi orang tua yang
dianugrahi anak berkebutuhan khusus pasti merasakan kekecewaan, rasa malu
dan keputusasaan. Perasaan seperti itu tidak akan merubah keadaan dan tidak
akan membantu anak itu memiliki kemandirian dan mampu mengoptimalkan
kemampuan lainnya. Di sini peran orang tua dituntut sebagai orang pertama
yang memahami keadaan anaknya serta memikirkan masa depan mereka.
Pendidikan karakter merupakan suatu pondasi bangsa yang sangat
penting dan perlu ditanamkan sejak dini kepada anak-anak (Masnur Muslich,
3
anak disekolah. Faktor-faktor resiko tersebut ternyata bukan terletak pada
kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan
bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati
dan kemampuan berkomunikasi (Agus Wibowo, 2012:19-20).
Karakter itu bisa diubah dan dibentuk sedini mungkin, sehingga
strategi guru sangat menentukan dalam proses pembentukan karakter tersebut
selain keluarga dan masyarakat. Anak dengan kelainan/tuna yang secara
jumlah merupakan kaum minoritas juga berhak untuk memperoleh ilmu
pengetahuan dan pendidikan yang bisa menciptakan karakter yang lebih kuat
seperti anak normal lainnya.
Seperti firman Allah swt dalam surat Ar-Ra’d ayat 11:
Artinya: “Baginya manusia ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dare depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
Sekolah Luar Biasa (SLB) adalah sebuah lembaga pendidikan yang
4
lembaga tersebut ada berbagai macam kekurangan atau tuna diantaranya
adalah tunanetra, tunarungu, tunadaksa, tunalaras, tunawicara, dan
tunagrahita. Adapun pengelompokannya pada sekolah luar biasa ini
berdasarkan dengan jenis ketunaannya yaitu: tunanetra (SLB-A), tunarungu
(SLB-B), tunagrahita (SLB-C), tunadaksa (SLB-D), tunalaras (SLB-E),
tunaganda (SLB-G) dan untuk pengelompokan tunawicara dijadikan satu
dengan tunarungu karena biasanya antara gangguan bicara dan pendengaran
terjadi dalam satu keadaan.
Sekolah Luar Biasa (SLB) Wantuwirawan yang berada di kota
Salatiga merupakan contoh lembaga pendidikan formal yang di dalamnya
terdapat pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Di Sekolah Luar Biasa
(SLB) Wantuwirawan terdapat pendidikan untuk anak tunagrahita dari taman
kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Anak tunagrahita memiliki
kemampuan intelektual di bawah rata-rata atau bisa juga disebut retardasi
mental. Tunagrahita ditandai dengan keterbatasan inteligensi dan
ketidakcakapan dalam interaksi sosial (Aqila Smart, 2010:49).
Mengngat pentingnya pendidikan karakter ditanamkan kepada anak
dan tidak ada kata terlambat untuk mendidik karakter seorang anak. Tidak
ada alasan apapun untuk tidak membentuk karakter anak sekalimpun anak
tersebut memiliki keterbatasan fisik atau kelainan lain. Mendidik anak
berkebutuhan khusus tidak semudah mendidik anak yang normal terutama
5
karakter yang baik pada anak berkebutuhan khusus, salah satu upayanya
adalah pendidikan agama.
Seorang guru Pendidikan Agama Islam (PAI) harus mampu
memberikan pemahaman kepada peserta didiknya. Keberhasilan pendidik
dalam memahamkan siswa-siswinya tidak terlepas dari pemilihan strategi
dalam pembelajaran. Penulis merasa tertarik untuk mengetahui strategi guru
pendidikan agama Islam dalam menbentuk karakter anak tunagrahita di
SMP-LB-C Wantuwirawan karena pada masa inilah anak-anak mulai labil dalam
bertindak.
Dari uraian di atas kiranya perlu dilakukan penelitian mengenai
pembentukan karakter anak berkebutuhan khusus terutama anak tunagrahita,
sehingga penulis memilih judul skripsi “Strategi Guru Pendidikan Agama
Islam (PAI) dalam Pembentukan Karakter Anak Tunagrahita di
Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) Wantuwirawan
Salatiga Tahun Ajaran 2016/2017”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah karakter siswa tunagrahita Sekolah Menengah Pertama
Luar Biasa (SMPLB) Wantuwirawan Salatiga?
2. Bagaimana strategi guru Pendidikan Agama Islam dalam membentuk
karakter siswa tunagrahita Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa
6
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan diadakannya penelitian
ini adalah:
1. Untuk mengetahui karakter siswa tunagrahita Sekolah Menengah
Pertama (SMPLB) Wantuwirawan Salatiga.
2. Untuk mengetahui strategi guru Pendidikan Agama Islam dalam
membentuk karakter siswa tunagrahita Sekolah Menengah Pertama Luar
Biasa (SMPLB) Wantuwirawan Salatiga.
D. Manfaat Penelitian
Hasil peneitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis. Adapun manfaat penelitian tersebut yaitu:
1. Secara Teoritis
Untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang
pembentukan karakter pada anak tuna grahita, serta strategi guru
Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam membentuk karakter anak
berkebutuhan khusus (ABK)
2. Secara Praktis
a. Sekolah: Dapat menjadi sumbangan alternatif pemikiran atau acuan
mengenai pembentukan karakter pada anak berkebutuhan khusus
(ABK).
b. Guru PAI: Dapat mengetahui strategi yang dapat dilakukan guru PAI
dalam pembentukan karakter siswa tuna grahita di Sekolah
7
E. Kajian Pustaka
Berdasarkan pada penelusuran tentang kajian pustaka yang pernah
diteliti oleh peneliti sebelumnya adalah sebagai berikut:
1. Skripsi Septine Dwi Ningsih Maryani jurusan Pendidikan Agama Islam,
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga yang berjudul
“Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Pada Anak Berkebutuhan
Khusus Tunagrahita Ringan di SMPLB Negeri Salatiga Tahun Ajaran
2015/2016”. Penelitian ini meneliti tentang bagaimana pembelajaran
PAI yang diterapkan pada kelas tunagrahita ringan di SMPLB Negeri
Salatiga, faktor apa saja yang mendukung dan menghambat pelaksanaan
pembelajaran PAI pada kelas Tunagrahita ringan di SMPLB Negeri
Salatiga, dan bagaimana solusi yang diberikan dari SMPLB Negeri
Salatiga untuk menghadapi hambatan dalam implementasi pembelajaran
PAI kelas Tunagrahita ringan.
Hasil dari penelitian ini adalah (1) Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam pada Kelas Tunagrahita Ringan di SMPLB Negeri Salatiga
menggunakan berbagai metode yang digunakan antaranya metode
ceramah, tanya jawab, drill, demonstrasi, serta pemberian tugas.
Metode-metode tersebut disesuaikan kondisi peserta didik yang mempunyai
ketunaan. Sebagian besar penyampaian materi dengan bantuan berbagai
media pendukung seperti gambar, video, dan suara. Yang dapat
mempermudah dalam menerima pelajaran. Selain itu dengan cara
8
yang telah diajarkan gurunya. (2) faktorpendukung ialah alat-alat peraga
yang telah tersedia sehingga dapat mendukung pelaksanaan
pembelajaran, sekolah dan guru yang selalu sabar dan telaten serta
senantiasa menambah wawasan sehingga dapat memberikan pelayannan
yang jauh lebih baik untuk siswa-siswanya. Sedangkan faktor
penghambat pelaksanaan pembelajaran PAI pada anak tunagrahita ringan
di SMPLB Negeri Salatiga ialah keterbatasan intelektual siswa dalam
mengikuti pembelajaran. Banyak juga yang jarang masuk sekolah
sehingga akan sangat menghambat perkembangan dirinya, jumlah guru
yang kurang memadai juga menjadi tantangan tersendiri dalam
pelaksanaan pembelajaran PAI. (3) Solusi yang dilakukan untuk
menghadapi hambatan tersebut adalah dengan segera mencari guru
tambahan sehingga untuk pelaksanaan pembelajaran PAI akan lebih baik
lagi. Mengulang-ulang penyampaian materi juga membantu siswa
menghadapi kesulitan dalam belajar. Penggunaan metode yang
disesuaikan dengan kondisi siswa juga menjadi solusi yang baik,
sehingga siswa akan menerima pelajaran dengan hati lapang karena
sesuai dengan keinginan dan kemampuan.
2. Skripsi Siti Mu’asyaroh jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas
Tarbiyah dan Ilamu Keguruan IAIN Salatiga yang berjudul “ Penanaman
Nilai-Nilai Pendidikan Islam oleh Orang Tua Pada Siswa Tunagrahita
SMPLB Negeri Salatiga”. Penelitian ini meneliti tentang nilai-nilai
9
SMPLB Negeri Salatiga, bagaimana metode penanaman nilai-nilai
pendidikan Islam oleh orang tua pada siswa Tunagrahita SMPLB Negeri
Salatiga dan faktor penghambat dan pendukung dalam penanaman
nilai-nilai pendidikan Islam oleh orang tua pada siswa tunagrahita SMPLB
Negeri Salatiga.
Hasil penelitian ini adalah (1) Nilai-nilai pendidikan Islam yang
ditanamkan orang tua pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga
sudah berdasarkan ajaran pokok nilai-nilai pendidikan Islam yang
meliputi nilai pendidikan akidah, ibadah, akhlak dan kemasyarakatan. (2)
Metode yang digunakan oleh orang tua siswa tunagrahita SMPLB Negeri
Salatiga adalah metode keteladanan, pembiasaan, nasehat, pengawasan
dan hukuman. (3) dalam proses penanaman nilai-nilai pendidikan Islam
oleh orang tua pada siswa tunagrahita SMPLB Negeri Salatiga
dipengaruhi beberapa faktor penghambat dan pendukung. Ketidak
sabaran orangtua yang belum mengerti sepenuhnya dengan keterbatasan
anak, keterbatasan intelegensi anak, kepribadian anak yang susah diatur
dan sifat malas anak dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam.
Sedangkan faktor pendukungnya adalah motivasi yang kuat dari orang
tua siswa , kesabaran dan ketelatenan dalam mendidik, perhatian dan kasi
sayang yang besar dari keluarga dan orang tua, kepribadian anak yang
sudah tumbuh sifat kemandirian dan mudah diatur, lingkungan
masyarakat yang masih menjunjung tinggi tradisi Islam, lingkungan
10
masyarakat, dan lingkungan sekolah yang masih terdapat kegiatan
keagamaan.
Dari hasil penelusuran kajian pustaka di atas, peneliti belum
menemukan kasus yang sama dengan kasus yang peneliti tulis ini, baik dari
judul maupun isinya. Untuk itu peneliti merasa tertarik untuk meneliti tentang
strategi guru pendidikan agama Islam dalam peembentukan karakter anak
tunagrahita di SMPLB-C Wantuwirawan Salatiga.
F. Penjelasan Judul
Sebagai langkah untuk menghindari kesalahan penafsiran dalam
memahami judul yang penulis bahas, dan memberikan pengertian dalam
ruang lingkup penenlitian, adapun penjelasan judul dalam penelitian ini
sebagai berikut:
1. Strategi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, strategi adalah rencana
yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus (KBBI,
2005: 1092).
Dihubungkan dengan belajar mengajar, strategi bisa diartikan
sebagai pola umum kegiatan guru dan murid dalam perwujudan kegiatan
belajar mengajar untuk mencapai tujuab yang telah digariskan (Abu
Ahmadi, 2005: 11)
2. Guru Pendidikan Agama Islam (PAI)
Guru dalam arti jawa adalah seseorang yang harus digugu dan
11
disampaikan olehnya senantiasa dipercaya dan diyakini sebagai
kebenaran. Ditiru artinyaseorang guru menjadi suri tauladan bagi semua
muridnya baik dari cara berpikir, bicara hingga cara berperilaku
sehari-hari (Dariyanto, 2013: 8).
Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam
menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati
sampai mengimani ajaran agama Islam dibarengi dengan tuntunan untuk
menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan
kerukunan antar umat beragama sampai terwujud kesatuan dan persatuan
bangsa (Majid, 2005:130).
Guru pendidikan agama Islam adalah seorang yang profesional
yang harus memiliki pengetahuan yang luas, sikap yang baik, bisa
dijadikan suri tauladan bagi muridnya dan bertanggung jawab untuk
membimbing dan menbina akhlak anak didik.
3. Karakter
Menurut Thomas Lickona (1992:22), karakter merupakan sifat
alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral. Sifat alami itu
dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik,
jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain, dan karakter mulia
lainnya (Agus Wibowo, 2012:32).
4. Siswa Tuna Grahita
Siswa menurut UU RI No. 20 tahun 2013 pasal 1 ayat 4 adalah
12
proses pendidikan pada jalur dan jenjang jenis pendidikan tertentu.
Sedangkan, Tunagrahita merupakan istilah yang digunakan untuk
menyebut anak atau orang yang memiliki kemampuan intelektual di
bawah rata-rata atau bisa juga disebut dengan retardasi mental (Aqila
Smart, 2010:49).
Jadi siswa tunagrahita adalah anak yang memiliki kemampuan di
bawah rata-rata (retradasi mental) yang sedang mengikuti proses
pendidikan untuk bisa mengembangkan diri mereka pada jenjang
pendidikan tertentu.
G. Metode Penelitian
Pada bagian ini akan diuraikan hal-hal yang mendasari pada penelitian
ini yaitu: jenis penelitian, subjek dan tempat penelitian, sumber data, teknik
pengumpulan data, metode analisis, tahap penelitian.
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif, yaitu penelitian
yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami
oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll.,
secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2011: 6).
Pada bagian ini peneliti mengumpulkan data yang telah didapat di
13
Luar Biasa (SMPLB) Wantuwirawan Salatiga kemudian ditelaah satu
demi satu.
2. Subjek dan tempat penelitian
Subjek penelitian yang dimaksud adalah sumber data di mana
peneliti dapat mendapatkan data yang diperlukan. Dalam hal ini yang
menjadi subjek penelitian adalah guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di
Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB)-C Wantuwirawan
Salatiga.
Tempat penelitian adalah Sekolah Menengah Pertama (SMPLB)-C
Wantuwirawan Salatiga.
3. Teknik pengumpulan data
Dalam rangka untuk memperoleh data serta membantu
mempermudah jalanya penelitian, penulis menggunakan metode
pengumpulan data. Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan metode
wawancara, observasi, dan dokumentasi.
a. Metode wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percaakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu
(Moleong,2011: 186). Metode ini digunakan untuk memperoleh
informasi secara langsung dari informan yang dikehendaki dengan cara
14
Dalam penelitian ini yang diwawancarai adalah kepala sekolah,
siswa, guru pendidikan agama Islam dan guru kelas di SMPLB-C
Wantuwirawan Salatiga.
b. Metode observasi
Observasi atau pengamatan adalah suatu teknik atau cara
mengumpulkan data dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap
kegiatan yang sedang berlangsung (Sukmadinata, 2006: 220).
Metode ini digunakan untuk mengamati secara langsung
karakter siswa tuna grahita SMPLB Wantuwirawan dan strategi guru
PAI dalam membentuk karakter siswa tuna grahita SMPLB
Wantuwirawan.
c. Metode dokumentasi
Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, dan
sebagainya (Arikunto, 2006: 67).
Dalam penelitian ini, metode dokumentasi digunkan untuk
mengumpulkan data tentang sekolah luar biasa secara historis, letak
geografis, struktur organisasi dan daftar nama anak-anak SMPLB
Wantuwirawan Salatiga.
4. Analisis data
Analisis data kualitatif (Bodgan & Biklen, 1982) adalah upaya
15
memisahkannya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskanya,
mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain
(Moleong, 2011: 248).
Rumusan tersebut dapat ditarik garis bawah atau dapat
disimpulkan, bahwa analisis data bermaksud mengorganisasikan data.
Data yang terkumpul terdiri dari catatan lapangan, arsip Sekolah
Menengah Pertama Luar Biasa Wantuwirawan Salatiga.
5. Tahap penelitian
a. Kegiatan yang meliputi, izin observasi dari IAIN Salatiga kepada
Kepala Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Wantuwirawan
Salatiga.
b. Kegiatan lapangan yaitu penulis melakukan penelitian secara langsung
di lokasi penelitian dengan mewawancarai responden dan melihat
secara seksama lebih detail berbagai hal yang berkaitan dengan
penelitian.
c. Verifikasi data untuk membuat kesimpulan-kesimpulan sebagai
deskriptif penemuan dalam penelitian dan menyusun laporan ahir.
H. Sistematika Penulisan Skripsi
Secara garis besar, penulisan skripsi ini terbagi menjadi lima pokok
pikiran yang masing-masing termuat dalam bab yang berbeda-beda. Berikut
16
BAB I. Pendahuluan, berisi tentang latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penjelasan judul, metode penelitian
dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II. Kajian pustaka, berisi tentang gambaran umum guru PAI
meliputi pengertian guru Pendidikan Agama Islam (PAI), peran dan tugas
guru Pendidikan Agama Islam (PAI), syarat dan tanggung jawab guru PAI.
Pengertian karakter dan pembentukannya. Kemudian dijelaskan tentang
pengertian anak tunagrahita, klasifikasi tunagrahita, karakteristik tunagrahita,
faktor penyebab tnagrahita.
BAB III. Laporan hasil penelitian. Bab ini akan menjelaskan tentang
hasil penelitian yang meliputi gambaran umum tentang SMPLB-C
Wantuwirawan Salatiga. Pembelajaran di SMPLB-C Wantuwirawan Salatiga
meliputi kurikulum yang di gunakan, metode guru dan problematika yang
dihadapi di SMPLB-C Wantuwirawan Salatiga.
BAB IV. Analisis data. Pembahasan dalam bab ini adalah analisis
data tentang karakter siswa tunagrahita, strategi guru Pendidikan Agama
Islam ( PAI) dalam membentuk karakter siswa tunagrahita SMPLB-C
Wantuwirawan Salatiga, faktor pendukung dan penghambat pembentukan
karakter siswa SMPLB-C Wantuwirawan Salatiga.
BAB V. Penutup. Meliputi kesimpulan dari penelitian, saran dan kata
17
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Gambaran Umum guru PAI
Guru memegang peran penting dalam upaya membentuk karakter
siswa melalui pengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan.
Kinerja guru pada dasarnya menyangkut seluruh aktifitas yang dilakukan
dalam mengemban amanat dan tanggung jawabnya dalam mendidik,
mengajar, membimbing dan mengarahkan siswa-siswi dalam mencapai
tingkat kedewasaan masing-masing. Profesional seorang guru tentunya
dituntut oleh beberapa pihak yang selalu mendukung keberadaan guru.
Seorang pendidik atau guru agama yang profesional adalah pendidik yang
memiliki suatu kemampuan dan keahlian dalam bidang kependidikan
keagamaan sehingga mampu untuk melakukan tugas, peran dan fungsinya
sebagai pendidik dengan kemampuan maksimal (Mukhtar, 2003:85-86).
Berarti dalam praktiknya seorang pendidik dituntut untuk
melaksanakan tugasnya secara maksimal sehingga profesionalitas seorang
pendidik dapat tercapai. Tidak lain figur guru PAI yang senantiasa
menanamkan kepribadian peserta didik menuju kepribadian jiwa Islami,
haruslah menjadi guru yang profesional baik dalam rangka pembelajaran
18
1. Pengertian guru PAI
Guru merupakan elmen penting dalam sebuah sistem pendidikan.
Ia merupakan ujung tombak, proses belajar siswa sangat dipegaruhi oleh
bagaimana siswa memandang guru mereka (Jamaludin, 2002:36) guru
yang ideal dan bermutulah yang menjadi berhasil atau tidaknya proses
belajar. Menurut UU RI No.14 Th. 2005, guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, menilai dan mengevaluasi pesrta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, dasar dan menengah.
Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam
menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami dan menghayati
hingga mengimani, bertakwa dan berakhlak mulia dalam mengamalkan
ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Qur’an dan
Al-Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan serta
penggunaan pengalaman. Disertai dengan tuntunan untuk menghormati
penganut agama laindalam hubungannya dengan kerukunan antar umat
beragama dalam masyarakat hingga terwujud kesatuan dan persatuan
bangsa (Kurikulum PAI).
Menurut Zakiyah Darajat (1987:87), Pendidikan agama Islam
adalah suatu usaha membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa
dapat memahami kandungan ajaran Islam secara menyeluruh,
menghayati makna tujuan yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta
19
Tayar Yusuf (1986:35) mengartikan Pendidikan Agama Islam
sebagai usaha sadar generasi tua untuk mengalihkan pengalaman,
pengetahuan, kecakapan dan ketrampilan kepada generasi muda agar
kelak menjadi manusia muslim, bertakwa kepada Allah Swt, berbudi
pekerti luhur dan berkepribadian yang memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran agama Islam dalam kehidupannya. Sedangkan
menurut A. Tafsir, Pendidikan Agama Islam adalah bimbingan yang
diberikan seseorangagar ia berkembangsecara maksimal sesuai dengan
ajaran Islam (Abdul Majid, 2012:12)
Azizy (2002) mengemukakan bahwa esensi pendidikan yaitu
adanya proses transfer nilai, pengetahuan dan ketrampilan dari generasi
tua kepada generasi muda agar generasi muda mampu hidup. Oleh karena
itu, ketika kita menyebut pendidikan Islam, maka akan mencangkup dua
hal yaitu : pertama, mendidik siswa untuk berperilaku sesuai dengan
nilai-nilai akhlak Islam. Kedua, mendidik siswa-siswi untuk mempelajari
materi ajaran Islam.
Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam itu secara
keseluruhannya terliput dalam lingkup Al-Qur’an dan Al-Hadits,
keimanan, akhlak, fiqih/ibadah dan sejarah sekaligus menggambarkan
bahwa ruang lingkup Pendidikan Agama Islam mencangkup keserasian,
keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah Swt, diri
20
Pendidikan Agama Islam merupakan usaha sadar yang dilakukan
pendidik dalam mempersiapkan peserta didik untuk meyakini,
memahami dan mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran atau pelatihan yang telah direncanakan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa
pengertian guru PAI adalah orang yang mengajar mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam di sekolah dan mengupayakan perkembangan
potensi siswa agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.
2. Peran dan Tugas Guru Pendidikan Agama Islam
Unsur inti yang sangat esensial dalam pendidikan adalah pendidik
(guru) dan peserta didik (murid). Tanpa adanya kedua unsur tersebut
maka tidak ada yang namanya kegiatan belajar mengajar. Guru yang
berperilaku mengajar secara profesional dan efektif akan menghasilkan
perilaku belajar yang efektif dan pada gilirannya akan menghasilkan
keluaran (hasil belajar) yang bermutu (Mohamad Surya, 2006:23)
Untuk menghasilkan peserta didik yang bermutu peran guru
dalam penanaman, pemahaman dan pelaksanaan ilmu pengetahuan
sangatlah dibutuhkan. Dalam hal ini guru mata pelajaran PAI juga
mempunyai beberapa peran yang signifikan tentunya dalam lingkup
sekolah maupun luar sekaolah. Pembentukan karakter siswa salah
satunya adalah guru dan peran guru didalamnya turut membangun agar
tujuan dari pendidikan dapat tercapai dengan kualitas pendidikan
21
Secara umum peran serta guru dalam kaitannya dengan mutu
pendidikan sekurang-kurangnya dapat dilihat dari empat dimensi yaitu
guru sebagai pribadi, guru sebagai unsur keluarga, guru sebagai unsur
pendidikan, guru sebagai unsur masyarakat (Mohamad Surya, 2006:45).
1) Guru sebagai pribadi, kinerja peran guru dalam kaitan dengan mutu
pendidikan tentunya harus dimulai dari dirinya sendiri. Sebagai
pribadi, guru mempunyai perwujudan diri dengan seluruh
karakteristik yang dimiliki oleh guru sebagai pendidik. Karena
kepribadian merupakan landasan utama bagi guru. Hal ini
mengandung makna bahwa seorang guru harus mampu mewujudkan
pribadi yang efektif untuk dapat melaksanakan fungsi dan tanggung
jawabnya sebagai guru. Dan guru PAI dalam praktiknya harus bisa
menjadi suri tauladan yang baik, apalagi dalam kehidupan
kesehariannya guru PAI harus berfungsi sebagai pribadi yang bisa
memberikan keteladanan khususnya interaksi dalam sekolah.
Karena, perkataan dan ucapan akan tidak ada artinya jika tidak
diaplikasikan dalam bentuk tingkah laku (Khoiron Rosyadi,
2004:187).
2) Peran guru dikeluarga , dalam kaitannya dengan keluarga guru
merupakan unsur keluarga sebagai pengelola (suami atau istri),
sebagai anak dan sebagai pendidik dalam keluarga. Hal ini
22
keluarga yang kokoh sehingga menjadi fondasi bagi kinerjanya
dalam melaksanakan fungsi guru sebagai unsur pendidikan.
3) Peran guru di sekolah, peran guru dalam sekolah menjadi acuan
penentu keberhasilan pendidikan. Sebagaimana mestinya dalam
pendidikan guru memiliki peran sebagai sumber belajar, fasilitator,
pengelola, pembimbing dan motivator.
4) Peran guru di masyarakat, dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara secara keseluruhan, guru merupakan unsur
strategis sebagai anggota, agen dan pendidik masyarakat. Sebagai
anggota masyarakat guru berperan sebagai teladan bagi masyarakat
disekitarnya baik dikehidupan pribadi maupun keluarganya
(Mohamad Surya, 2006:46-47). Melihat fenomena tersebut guru PAI
dalam kehidupan masyarakat kan lebih berperan karena pribadi yang
mengarah pada jiwa beragama dituntut menjadi guru pribadi dan
kelompoknya, peran serta penanaman keberagamaan Islami akan
menjadi hal yang konkrit sebagai kewajiban guru PAI dalam
interaksi kehidupan di masyarakat.
Selain mempunyai peran seorang guru PAI juga mempunyai tugas
yang harus dilakukan untuk pengembangan mutu pendidikan peserta
didik. Guru memiliki banyak tugas yang apabila kita kelompokan
terdapat tiga jenis tugas guru yakni tugas dalam bidang profesi, tugas
dalam bidang kemanusiaan dan tugas dalam bidang kemasyarakatan
23
Menurut Koestiyah N.K bahwa guru dalam mendidik anak didik
bertugas untuk :
a. Menyerahkan kebudayaan kepada peserta didik berupa kepandaian,
kecakapan dan pengalaman-pengalaman
b. Membentuk kepribadian anak yang harmonis sesuai etika dan dasar
negara kita
c. Menyiapkan anak menjadi warga negara yang baik
d. Sebagai perantara dalam belajar. Didalam proses belajar guru
hanya menjadi perantara, anak harus berusaha sendiri mendapatkan
suatu pengertian sehingga timbul perubahan dalam pengetahuan,
tingkah laku dan sikap
e. Guru sebagai penghubung antara sekolah dan masyarakat
f. Guru sebagai penegak disiplin, guru menjadi contoh dalam segala
hal, tata tertib dapat berjalan bila guru dapat menjalaninya dahulu
g. Guru sebagai administrator dan manajer
h. Pekerjaan guru sebagai profesi
i. Guru sebagai perencana kurikulum
j. Guru sebagai pemimpin, guru mempunyai kesempatan dan
tanggung jawab dalam banyak situasi untuk membimbing anak
kearah pemecahan soal, membentuk keputusan dan menghadapkan
anak-anak pada problem
k. Guru sebagai sponsor dalam kegiatan anak-anak (Siti Asdiqoh,
24
Selain tugas-tugas guru yang telah dijelaskan di atas, tugas utama
seorang guru PAI adalah menyempurnakan, membersihkan, membawa
hati manusia untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. Jika
seorang guru PAI belum mampu membawa anak didiknya mencapai
keterbiasaan dalam melakukan ibadah, meski prestasi akademis dapat
mencapai nilai luar biasa, hal itu belum bisa dikatakan berhasil
sepenuhnya. Karena keberhasilan tingkat pemahaman keagamaan tidak
berhenti hanya sampai pada perolehan nilai akademis saja. Lebih dari itu
haruslah mampu mencapaitingkat kebiasaan dimana seseorang siswa
menganggap melakukan ibadah itu kebutuhan yang tanpa keterpaksaan.
Salah satu ayat al-Qur’an yang mengingatkan tentang tugas dan
tanggung jawab sebagai pendidik antara lain adalah Q.S an-Nisa/4 : 9
Artinya: “dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.” (QS. An-Nisa/4: 9)
Dalam ayat di atas diungkapkan bahwa salah satu tugas dan
tanggung jawab pendidik adalah mempersiapkan para peserta didik agar
25
3. Syarat dan Tanggung Jawab Guru Pendidikan Agama Islam Soejono (1982) menyatakan bahwa syarat guru adalah sebagai berikut:
a. Dewasa, tugas mendidik adalah tugas yang amat penting karena
menyangkut nasib seseorang. Oleh karena itu tugas itu harus
dilakukan secara bertanggung jawab. Itu hanya dapat dilakukan oleh
orang yang sudah dewasa, anak-anak tidak dapat dimintai
pertanggung jawaban. Di negara kita, seseorang dianggap dewasa
sejak ia berusia 18 tahun atau sudah kawin. Menurut ilmu
pendidikan adalah 21 tahun bagi laki-laki dan 18 tahun bagi
perempuan
b. Sehat Jasmani dan Rohani, jasmani yang tidak sehat akan
menghambat pelaksanaan pendidikan, bahkan dapat membahayakan
anak didik bila mempunyai penyakit menular. Dari segi rohani,
orang gila berbahaya juga bila ia mendidik.
c. Tenaga Ahli, hal ini penting sekali bagi pendidik, termasuk guru.
Orang tua di rumah sebenarnya perlu sekali mempelajari teoro-teori
ilmu pendidikan. Dengan pengetahuan itu diharapkan akan lebih
berkemampuan menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya di
rumah.
d. Berkesusilaan dan Berdedikasi tinggi.
Syarat guru di atas merupakan syarat umum seorang guru.
Seorang guru agama haruslah memiliki syarat yang harus dipenuhi yang
26
adalah memiliki pribadi mukmin, muslim dan muhsin. Kedua, taat untuk
menjalankan agama (menjalankan syari’at islam, dapat memberikan
contoh tauladan yang baik pada anak didiknya). Ketiga, memiliki jiwa
pendidik dan rasa kasih sayang kepada anak didiknya dan ikhlas jiwanya.
Keempat, mengetahui dasar-dasar ilmu pengetahuan tentang keguruan
terutama digdagtik dan metodik. Kelima, mengetahui ilmu pengetahuan
agama. Keenam, tidak mempunyai cacat jasmani dan rohani (Zuhairini,
1983:36)
Selain syarat yang harus dipenuhi, seorang guru juga harus
memiliki tanggung jawab. Guru adalah orang yang bertanggung jawab
dalam mencerdaskan kehidupan anak didik, sosial guru adalah orang
yang memiliki tugas dan tanggung jawab membentuk karakter generasi
bangsa. Ditangan para gurulah tunas bangsa ini terbentuk sikap dan
moralitas sehingga mampu memberikan yang terbaik untuk anak negeri
ini. Menjadi tanggung jawab guru untuk memberikan sejumlah norma
kepada anak didik agar tahu mana perbuatan yang susila dan asusila,
mana berbuat yang bermoral dan amoral. Semua norma itu tidak mesti
harus guru berikan di kelas, di luar kelaspun sebaiknya guru contohkan
sikap, tingkah laku dan perbuatan (Siti Asdiqoh, 2013:17)
B. Karakter dan Pembentukannya 1. Pengertian Karakter
Pengertian karakter menurut pusat bahasa Depdiknas adalah
27
tabiat, temperamen, watak. Griek mengemukakan bahwa karakter dapat
didefinisikan sebagai panduan daripada segala tabiat manusia yang
bersifat tetap, sehingga menjadi tanda yang khusus untuk membedakan
orang yang satu dengan yang lain. Kemudian Leonardo A. Sjiamsuri
dalam bukunya Kharisma Versus Karakter yang dikutip Damanik mengemukakan bahwa karakter merupakan siapa anda sesungguhnya.
Batasan ini menujukkan bahwa karakter sebagai identitas yang dimiliki
seseorang yang bersifat menetap sehingga seseorang atau sesuatu itu
berbeda dari yang lain (Zubaedi, 2011:9).
Sebagai aspek kepribadian karakter merupakan cerminan dari
kepribadian secara utuh dari seseorang mentalitas, sikap, dan perilaku.
Karakter selalu berkaitan dengan dimensi fisik dan psikis individu.
Karakter bersifat kontekstual dan kultural. Karakter bangsa merupakan
jati diri bangsa yang merupakan kumulasi dari karakter-karakter warga
masyarakat suatu bangsa. Hal ini sesuai dengan pendapat Endang
Ekowarni (2010) bahwa karakter merupakan nilai dasar perilaku yang
menjadi acuan tata nilai interaksi antar manusia (Zubaedi, 2011:10).
Karakter mengacu pada serangkaian sikap, perilaku, motivasi, dan
ketrampilan. Karakter meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan
hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti kritis dan alasan moral,
perilaku seperti jujur dan bertanggung jawab, mempertahankan
prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal
28
efektif dalam berbagai keadaan. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku
manusia yang berhubungan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama
manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran,
sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat (Zubaedi, 2011:10).
Dalam tulisan bertajuk Urgensi Pendidikan Karakter, Prof. Suyanto, Ph.D menjelaskan bahwa karakter adalah cara berpikir
danberperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan
bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa
membuat keputusan dan siap mempertanggung jawabkan keputusannya.
Berbeda dengan Suyatno, Tadkiroatun Musfiroh (2008), memandang
karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku
(behaviour), motivasi (motivations), dan ketrampilan (skills). Karakter sebenarnya berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau
menandai, dan menfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan
itu dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Itulah sebabnya orang yang
tidak jujur, rakus, kejam, dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang yang
berkarakter jelek. Sebaliknya orang yang perilakunya sesuai dengan
kaidah moral disebut sebagai orang yang berkarakter mulia (Agus
29
2. Proses Pembentukan Karakter
Pengembangan karakter merupakan proses seumur hidup.
Pengembangan karakter anak merupakan upaya yang perlu melibatkan
semua pihak, baik keluarga inti, kakaek-nenek, sekolah, masyarakat dan
pemerintah. Oleh karena itu, ke empat koridor ini harus berjalan secara
integrasi (Zubaedi, 2011:143-144).
1. Lingkungan Keluarga
Keluarga sebagai basis pendidikan karakter, maka tidak salah kalau
krisis karakter yang terjadi di Indonesia sekarang ini dapat dilihat
sebagai salah satu cerminan gagalnya pendidikan karakter di keluarga.
Keluarga adalah komunitas pertama dimana manusia sejak usia dini,
belajar konsep baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan
salah. Dengan kata lain dikeluargalah seseorang dapat mempelajari
tentang tata nilai atau moral. Pendidikan di keluarga ini akan
menentukan seberapa jauh seorang anak dalam prosesnya menjadi
orang yang lebih dewasa, memiliki komitmen terhadap nilai moral
tertentu seperti: kejujuran, kedermawanan, kesederhanaan, dan
menentukan bagaimana mereka melihat dunia sekitarnya (Zubaedi,
2011:144). Pola asuh atau parenting style adalah salah satu faktor yang secara signifikan terut membentuk karakter anak. Pendidikan
dalam keluarga adalah pendidikan utama dan pertama bagi anak, yang
tidak bisa digantikan oleh lembaga pendidikan manapun. Oleh karena
30
sebuah comunity of learner tentang pendidikan anak, serta sangat
diperlukan menjadi sebuah kebijakan pendidikan dalam membentuk
karakter bangsa secara berkelanjutan (Agus Wibowo, 2012: 106).
Beberapa hal yang mempengaruhi karakter anak dari lingkungan
keluarga antara lain:
a. Sikap orang tua terhadap anak
b. Iklim emosi dalam keluarga
c. Nilai-nilai kultural
d. Status sosial ekonomi keluarga
e. Status keluarga dalam kelompok, sebagai minoritas atau
mayoritas
f. Jumlah anggota keluarga
g. Kedudukan anak dalam keluarga
2. Kakek dan nenek
Peranan kakek dan nenek. Kakek nenek memiliki peranan vital dalam
kehidupan cucu. Mereka memiliki tugas spesifik yang vital bagi
kehidupan cucu. Menurut Ruth Wertheimer, peran vital kakek nenek
terhadap kehidupan cucu dilaksanakan dengan menjalankan
tugas-tugas instrumental dan simbolik. Tugas instrumental mencakup semua
bantuan praktis dari para kakek nenek kepada anak cucu, seperti:
pemeliharaan anak, dukungan finansial, dll. Menurut Dr. Ruth
Wertheimer, kakek nenek sekurang-kurangnya berperan dalam empat
31
Para kakek nenek menjadi sumber pengetahuan sejarah bagi keluarga,
yang dapat membuat masa lalu hidup kembali. Hal itu dilakukan lewat
dokumentasi, catatan harian, cerita dan kenangan masa lalu seperti
foto atau lagu lagu kenangan. Kedua, sebagai mode. Satu dari hadiah terbesar yang dapat diberikan para kakek nenek kepada cucu adalah
suatu model yang dapat dipelajari dan ditiru. Suatu model vital yang
dapat diberikan oleh para kakek nenek adalah mengenai kebanggaan
kita terhadap warisan agama dan etnik kita sendiri. Ketiga, sebagai
teacher (guru). Peran paling kuno para kakek nenek yang meneruskan pengetahuan dan pengalaman yang telah diperoleh di hidupnya.
Keempat, sebagai confinant (orang kepercayaan). Kepercayaan angat vital untuk setiap hubungan. Kadang-kadang seorang anak ingin
mencurahkan sesuatu kepada orang kepercayaannya selain orang tua.
Dalam hal ini kakek nenek bisa berperan sebagai confinant (Zubaedi,
2011: 151-152).
3. Lingkungan Sekolah
Lingkungan Sekolah mempunyai peran yang sangat strategis dalam
membentuk manusia yang berkarakter. Agar pendidikan karakter
berjalan baik memerlukan pemahaman yang cukup dan konsisten oleh
seluruh personalia pendidikan. Di sekolah, kepala sekolah, pengawas,
guru dan kariyawan harus memiliki persamaan persepsi tentang
pendidikan karakter bagi pesrta didik. Di sekolah, pendidik
32
berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Merujuk Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 Pasal 1, semua tenaga
kependidikan baik yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor,
pamong belajar, widyaswara, tutor, instrukter, fasilitator, dan sebutan
lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan mempunyai tugas dalam mendidik
karakter.
4. Lingkungan Masyarakat
C. Tunagrahita
1. Pengertian
Anak-anak dalam kelompok di bawah normal dan atau lebih
lamban dari pada anak normal, baik perkembangan sosial maupun
kecerdasannya disebut anak terbelakang mental, istilah resminya di
Indonesia disebut anak tunagrahita (PP No.72 Tahun 1991). Dalam
kamus besar bahasa Indonesia kata “tuna” diartikan sebagai luka, rusak,
kurang, atau tidak memiliki. Tunagrahita adalah sebutan bagi anak-anak
yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata anak normal pada
umumnya.
Tunagrahita adalah anak yang secara signifikan memiliki
kecerdasan di bawah rata-rata anak pada umumnya dengan disertai
hambatan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sekitarnya. Mereka
mengalami keterlambatan dalam segala bidang dan itu bersifat permanen.
33
dengan akademik, kurang dapat berpikir abstrak dan pelik (Nunung
Aprianto, 2012:21).
Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak
yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Dalam
kepustakaan asing digunakan istilah-istilah mental retasdation, mentally retarded, mental deficiency, mental defective, dan lain sebagainya. Istilah tersebut sesungguhnya mempunyai arti yang sama yang menjelaskan
kondisi anak yang kecerdasannya jauh dibawah rata-rata dan ditandai
oleh keterbatasan intelegensi dan ketidak cakapan dalam interaksi sosial.
Anak tunagrahita atau dikenal juga dengan istilah keterbelakangan
mental karena keterbatasan kecerdasannya mengakibatkan dirinya sukar
untuk mengikuti program pendidikan disekolah umum, oleh karena itu
anak-anak tunagrahita membutuhkan layanan pendidikan secara khusus
yakni disesuaikan dengan kemampuan anak tersebut (Sutjihati Somantri,
2006:103).
Tunagrahita merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut
anak atau orang yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-rata
atau bisa juga disebut dengan retardasi mental. Tunagrahita ditandai
dengan keterbatasan inteligensi dan ketidakcakapan dalam interaksi
sosial (Aqila Smart, 2010:49)
Manusia yang terlahir dalam keadaan normal pada umumnya
dapat bermanfaat bagi orang lain, namun tidak menutup kesempatan bagi
34
mental, intelektual, sesungguhnya masih ada potensi yang dapat digali
dan dikembangkan melalui pendidikan. Karena sesungguhnya status
tunagrahita merupakan takdir dari Allah SWT. Seperti ayat Allah di surat
At-tiin ayat 4:
Artinya: “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-tiin : 4)
2. Klasifikasi anak tunagrahita
Klasifikasi anak tunagrahita penting dilakukan karena anak
tunagrahita memiliki perbedaan individual yang sanagat bervariasi.
Klasifikasi untuk anak tunagrahita sangat bermacam-macam sesuai
dengan disiplin ilmu maupun perubahan pandangan terhadap keberadaan
anak tunagrahita. Pengklasifikasian yang telah lama dikenal dalah debil
untuk anak tunagrahita ringan, imbesil untuk anak tunagrahita sedang,
dan idiot untuk anak tunagrahita berat dan sangat berat (Nunung
Aprianto, 2012:30). Klasifikasi tersebut sekarang telah jarang digunakan
karena terlalu mempertimbangkan kemampuan akademik seseorang.
Klasifikasi yang digunakan sekarang adalah klasifikasi yang
dikemukakan oleh AAMD (American Association on Mentally Deficiency) sebagai berikut:
35
d. Profound Mental Retardation (tunagrahita sangat berat) IQ nya 25 kebawah (Hallahan dalam Wardani, dkk, 2002:6.4).
Klasifikasi yang digunakan di Indonesia saat ini sesuai dengan PP
No 72 Tahun 1991 adalah:
a. Tunagrahita Ringan (IQ 50-70)
Mereka yang termasuk dalam kelompok ini meskipun kecerdasannya
dan adaptasi sosialnya terhambat, namun mereka mempunyai
kemampuan untuk berkembang dalam bidang pelajaran akademik,
penyesuainan sosial dan bekerja.
b. Tunagrahita Sedang (IQ 30-50)
Mereka yang termasuk dalam kelompok tunagrahita sedang memiliki
kemampuan intelektual umum dan adaptasi perilaku di bawah
tunagrahita ringan. Mereka dapat belajar ketrampilan sekolah untuk
tujuan-tujuan fungsional, dan dapat sebagai pekerja dengan bantuan.
c. Tunagrahita Berat dan Sangat Berat (IQ Kurang dari 30)
Anak ynag tergolong dalam kelompok ini pada umumnya hampir
tidak memiliki kemampuan untuk dilatih mengurus diri sendiri,
melakukan sosialisasi dan bekerja.
Pengklasifikasian anak tunagrahita untuk keperluan pembelajaran
sebagai berikut: (Nunung Aprianto, 2012:31-32)
a. Educable merupakan anak pada kelompok ini masih mempunyai
kemampuan dalam akademik setara dengan anak regular pada kelas
36
b. Trainable merupakan anak yang mempunyai kemampuan dalam
mengurus diri sendiri, pertahanan diri dan penyesuaian sosial, sangat
terbatas kemampuanya untuk mendapat pendidikan secara akademis.
c. Custodia merupakan anak yang mendapatkan pelatihan-pelatihan
khusus dan terus menerus untuk dapat melatih dasar-dasar menolong
diri sendiri dan kemampuan yang bersifat komunikatif.
Pengklasifikasian bagi anak yang menyandang tunagrahita,
dengan tujuan memudahkan guru dalam menggunakan strategi
pembelajaran didalam kelas, sehingga mempermudah jalannya proses
belajar mengajar.
3. Karakteristik anak tunagrahita a. Karakteristik Umum
Depdiknas (2003) mengemukakan bahwa karakteristik anak
tunagrahita yaitu penampilan fisik tidak seimbang, tidak dapat
mengurus diri sendiri sesuai dengan usianya, perkembangan
bicara/bahasanyaterhambat, kurang perhatian pada lingkungan,
koordinasi geraknya kurang dan sering mengeluarkan ludah tanpa
sadar.
James D Page yang dikutip oleh Suhaeri H.N (Amin: 1995)
menguraikan karakteristik anak tunagrahita sebagai berikut:
37
Kapasitas belajarnya sangat terbatas terutama untuk hal-hal yang
abstrak. Mereka lebih banyak belajar dengan cara membeo
(rote-learning) bukan dengan pengertian.
b) Sosial.
Dalam pergaulan mereka tidak dapat mengurus, memelihara, dan
memimpin diri. Ketika masih kanak-kanak mereka harus dibantu
terus menerus, disingkirkan dari bahaya dan diawasi waktu
bermain dengan anak lain.
c) Fungsi-fungsi mental lain.
Mengalami kesukaran dalam memusatkan perhatian, pelupa dan
sukar mengungkapkan kembali suatu ingatan. Mereka mnghindari
berpikir, kurang mampu membuat asosiasi dan sukar membuat
kreasi baru.
d) Dorongan dan emosi.
Perkembangan dan dorongan emosi anak tunagrahita
berbeda-beda sesuai dengan tingkat ketunagrahitaan masing-masing.
Kehidupan emosinya lemah, mereka jarang menghayati perasaan
bangga, tanggung jawab dan hak sosial
e) Organisme.
Struktur dan fungsi organisme pada anak tunagrahita umumnya
kurang dari anak normal. Dapat berjalan dan berbicara lebih tua
dari pada anak normal. Sikap dan gerakannya kurang indah,
38
b. Karakteristik Khusus
Wardani, dkk (2002) mengemukakan karakteristik anak
tunagrahita menurut tingkat ketunagrahitaannya sebagai berikut:
a) Karakteristik Tunagrahita Ringan
Meskipun tidak dapat menyamai anak normal yang seusia
dengannya, mereka masih dapat belajar membaca, menulis dan
berhitung sederhana. Kecerdasannya berkembang dengan
kecepatan antara setengah dan tigaperempat kecepatan anak
normal dan berhenti pada usia meda. Mereka dapat bergaul dan
mempelajari pekerjaan yang hanya memerlukan semi skilled.
Pada usia dewasa kecerdasannya mencapai tingkat usia anak
normal 9 dan 12 tahun.
b) Karakteristik Tunagrahita Sedang
Anak tunagrahita sedang hampir tidak bis mempelajari
pelajaran-pelajaran akademik. Namun mereka masih memiliki potensi
untuk mengurus diri sendiri dan dilatih untuk mengerjakan
sesuatu secara rutin, dapat dilatih berkawan, mengikuti kegiatan
dan menghargai hak orang lain. Sampai batas tertentu mereka
selalu membutuhkan pengawasan, pemeliharaan dan bantuan
orang lain. Setelah dewasa kecerdasan mereka tidak lebih dari
anak normal usia 6 tahun.
39
Anak tunagrahita berat dan sangat berat sepanjang hidupnya akan
selalu tergantung pada pertolongan dan bantuan orang lain.
Mereka tidak dapat memelihara diri sendiri dan tidak dapat
membedakan bahaya dan bukan bahaya. Mereka juga tidak dapat
bicara, kalaupun bicara hanya mampu mengucapkan kata-kata
atau tanda sederhana saja. Kecerdasan walaupun sampai usia
dewasa berkisar seperti anak usia paling tinggi 4 tahun.
c. Karakteristik pada Masa Perkembangan
Pengenalan ciri-ciri pada perkembangan ini penting karena
segera dapat diketahui tanpa mendatangkan ahli terlebih dahulu.
Beberapa ciri yang dapatdijadikan indikator adanya kecurigaan
berbeda dengan anak pada umumnya menurut Triman Prasadio
(Wardani,dkk, 2002) adalah sebagai berikut:
a) Masa bayi
Walaupun saat ini sulit untuk segera membedakannya tetapi para
ahlimengemukakan bahwa ciri-ciri bayi tunagrahita adalah:
tampak mengantuk saja, apatis, tidak pernah sadar, jarang
menangis, kalau menangis terus menerus, terlambat duduk, bicara
dan berjalan.
b) Masa kanak-kanak
Pada masa ini tunagrahita sedang mudah dikenali daripada
tunagrahita ringan. Karena anak tunagrahita sedang mulai
40
kepala kecil dan lain-lain. Tetapi anak tunagrahita ringan (yang
lamban) memperlihatkan ciri-ciri: mereaksi cepet tapi tidak tepat,
tampak aktif sehingga memberi kesan pintar, pemusatan perhatian
sedikit, hiperaktif, bermain dengan tangannya sendiri, cepat
bergerak tanpa berpikir dahulu.
c) Masa sekolah
Masa ini merupakan masa yang penting untuk diperhatikan
karena biasanya anak tunagrahita langsung masuk sekolah dan
ada di kelas-kelas sd biasa. Ciri-ciri yang mereka munculkan
adalah sebagai berikut: adanya kesulitan belajar hampir pada
semua mata pelajaran (membaca, menulis, dan berhitung),
prestasi yang kurang, kebiasaan kerja tidak baik, perhatian yang
mudah beralih, kemampuan motorik yang kurang, perkembangan
bahasa yang jelek,kesulitan menyesuaikan diri.
d) Masa puber
Perubahan yang dimiliki remaja tunagrahita sama halnya dengan
remaja biasanya. Pertumbuhan fisik berkembang normal, tetapi
perkembangan berpikir dan kepribadiannya berada dibawah
usianya. Akibatnya ia mengalami kesulitan dalam pergaulan dan
mengendalikan diri.
4. Faktor penyebab tunagrahita
Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan seseorang menjadi
41
penyebab menjadi beberapa kelompok yaitu endogen dan eksogen.
Faktor endogen merupakan faktor yang letaknya pada sel keturunan,
sedangkan faktor eksogen merupakan faktor dari luar keturunan seperti
infeksi dan virus yang menyerang otak, benturan, radiasi dan lain
sebagainya (Nunung Aprianto, 2012:38). Faktor-faktor yang lain adalah:
a. Faktor keturunan
b. Gangguan metabolisme gizi
c. Infeksi dan keracunantrauma dan zat radioaktif
d. Masalah pada kelahiran
e. Faktor lingkungan (sosial budaya)
Penyebab tuna grahita (Aqila Smart, 2010:52-53) adalah sebagai
berikut:
a. Anomali genetic atau kromosom:
Down syndrome,tristomi pada kromosom 2
Fragile X syndrome, malformasi kromosom X, yaitu ketika kromosom X terbelah dua. Mayoritas laki-laki dan sepertiga dari
populasi penderita mengalami RM sedang.
Recessive gene disease, salah mengarahkan pembentukan enzime sehingga mengganggu proses metabolisme.
b. Penyakit infeksi, terutama pada trimester pertama karena janin belum
memiliki sistem kekebalan dan merupakan saat kritis bagi
perkembangan otak.
42
d. Prematuritas merupakan bayi yang lahir sebelum waktunya (kurang
dari 9 bulan)
e. Bahan kimia yang berbahaya, keracunan pada ibu berdampak pada
janin, atau polutan lain yang terhirup oleh anak.
D. Strategi Guru Dalam Pembentukan Karakter Anak Tunagrahita
Kata strategi berasal dari bahasa Yunani, “strategos” yang berasal dari kata Stratos yang berarti militer dan Ag yang artinya memimpin (Purnomo, 1996:8). Secara bahasa, strategi bisa diartikan sebagai siasat, kiat,
trik, atau cara. Sedang secara umum strategi adalah suatu garis besar haluan
dalam bertindak untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Anak penyandang tunagrahita memang sedikit berbeda dengan anak
yang memiliki kebutuhan khusus lainnya. Pada anak tunagrahita mereka lebih
membutuhkan perhatian yang lebih dalam pengenalan dan pemahaman akan
sesuatu. Oleh karena itu, bagi anak penyandang tunagrahita dibutuhkan
pendekatan yang berbeda antara lain:
1. Occuppasional Therapy (Terapi Gerak)
Terapi ini diberikan untuk mereka para penyandang anak tunagrahita
agar dapat melatih secara utuh fungsi gerak tubuh mereka (gerak kasar
dan gerak halus) karena kebanyakan dari mereka masih merasa kesulitan
untuk menggerakan dengan baik seluruh anggota tubuh mereka.
Keterbatasan kemampuan otak membuat mereka menjadi sulit untuk
43
Terapi ini akan sangat membantu mereka untuk berlatih menggerakan
tubuhnya.
2. Play Therapy (Terapi Bermain)
Terapi yang diberikan bagi anak-anak penyandang tunagrahita adalah
dengan cara bermain karena hal tersebut dapat membantu anak
penyandang tunagrahita menangkap dengan mudah sesuatu benda yang
menjadi metode mereka belajar.
3. Activity Daily Living (ADL) atau Kemampuan Merawat Diri
Untuk memandirikan anak-anak penyandang tunagrahita, tentu bukan
merupakan persoalan yang simpel. Akan tetapi, hal yang perlu untuk
diperhatikan adalah dengan memberikan kesempatan anak tersebut
melakukan segala sesuatu (yang tidak bahaya) sendiri. Anak belajar
untuk dapat mandiri. Belajar dapat mengembangkan potensi yang ada
dalam dirinya masing-masing. Dengan demikian, anak anak tersebut juga
dapat belajar cara mempertahankan dirinya dari segala kemungkinan
yang akan datang.
4. Life Skill (Ketrampilan Hidup)
Keterampilan bagi anak yang memiliki kebutuhan khusus termasuk juga
pada anak penyandang tunagrahita merupakan bekal yang cukup penting
bagi mereka karena dengan adanya bekal ketrampilan tersebut, membuat
44
5. Vocational Therapy (Terapi Bekerja)
Selain diberikan sebuah keterampilan, anak penyandang tunagrahita juga
diberikan bekal latihan bekerja. Dengan adanya bekal tersebut
diharapkan anak-anak penyandang tunagrahita juga dapat bekerja dan
hidup mandiri (Aqila Smart, 2010: 100-101)
Selain dengan pendekatan diatas, seorang guru juga perlu untuk
memahami karakter spesifik mereka supaya dapat menyusun program
pembelajaran sesuai dengan kebutuhan mereka karena salah satu strategi
pembentukan karakter salah satunya juga dengan strategi pembelajaran.
Siswa tunagrahita pada umumnya kurang cerdas, mudah lupa, kurang mampu
untuk mengikuti alur yang logis, sulit menguasai konsep-konsep, mempunyai
hambatan yang diakibatkan oleh faktor genetika serta lingkungan, kegiatan
fisik dan mental tidak mencapai kapasitas maksimal (Bandi Delphie,
2006:65).
Sehubungan dengan kesulitan yang dialami oleh anak penyandang
tunagrahita, maka sasaran pembelajaran harus selaras dengan keterampilan
berikut ini (Bandi Delphie, 2006:66) :
1. Berbahasa, baik dalam mengekspresikan maupun memahami ucapan
sederhana, bagi beberapa siswa terdapat kemunduran atau gangguan
berbahasa seperti terbatasnya kosa kata, hilang beberapa kata, dan lain
45
2. Gerakan, pembelajaran dapat dilakukan melalui pola gerak dalam
permainan sederhana yang bersifat terapeutik (penyembuhan perilaku
non adaptif).
3. Kegiatan hidup sehari-hari, seperti berpakaian, merawat diri, menjaga
diri, dan kepandaian rumah tangga.
4. Keterampilan dasar kegiatan akademik, misalnyacara menggunakan
pensil, crayon, pulpen, gunting, dan sejenisnya.
5. Ketrampilan untuk dapat hidup bermasyarakat, misalnya dapat bekerja
sama dalam kelompok.
Dalam pembentukan karakter anak tunagrahita yang paling ditekankan
adalah pendekatan kepada anak. Sebagai pendidik harus bisa mengetahui
karakter anak terlebih dahulu supaya bisa masuk untuk membentuk karakter