• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2. Landasan Teori. bertarung. Mereka adalah kelas yang memiliki hak-hak istimewa yang masih memiliki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 2. Landasan Teori. bertarung. Mereka adalah kelas yang memiliki hak-hak istimewa yang masih memiliki"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 2 Landasan Teori

2.1 Konsep Bushi

Bushi (武士) atau yang disebut Buke (武家) secara harfiah memliki arti ksatria yang

bertarung. Mereka adalah kelas yang memiliki hak-hak istimewa yang masih memiliki garis keturunan dengan orang-orang yang menjadikan pertarungan sebagai pekerjaan mereka. Kelas ini pada mulanya adalah orang-orang yang direkrut pada masa peperangan. Orang-orang terbaik yang mampu bertahan kemudian membentuk suatu keluarga yang akhirnya menjadi kelas tersendiri yang disebut dengan kaum samurai. Muncul untuk menyatakan kehormatan serta keistimewaannya, yang sesuai dengan besar tanggung jawab (Nitobe, 1991:7). Sementara itu, yang dimaksud dengan Bushi menurut Shimura (1990) adalah :

[ 武士] 一般には武芸を習い、軍事に携わる者を広く指すが、武 士を武 技を職能として生活する職農民と捉える立場からは平安 後期に登場し江戸時代まで存続した社会層をいう。さむらい。も ののふ。武者。武人。続紀八 「文人―は国家の重んずる所」。 平家「―ども散々に射奉る」 Terjemahan:

Bushi : Pada umumnya, ditunjukkan secara luas kepada orang-orang

yang mempelajari seni militer dan turut serta menjadi prajurit. Namun, istilah bahwa bushi adalah kaum petani yang hidup sebagai ahli militer, muncul pada akhir zaman Heian, dan menjadi sebuah kelas masyarakat yang berkelanjutan sampai zaman Edo. Disebut juga samurai. Musha. Bujin. Dalam Zoku kihaci (nama buku), “Bushi berarti orang yang mengutamakan nasionalisme”. Sedangkan dalam Heike tertulis “para bushi seringkali memanah”.

(2)

2.2 Konsep Bushido Menurut Inazo Nitobe

Bushido adalah sebuah kode etik tentang moral yang harus dipatuihi oleh para ksatria (samurai) dalam kehidupan sehari-hari dan pekerjaan. Bushido bukanlah aturan yang tertulis, selain itu Bushido juga bukanlah hasil dari sebuah pikiran satu orang saja. Dalam Bushido terdapat tujuh nilai yang menjadi intinya, yaitu Gi(keadilan/Budi),

Yuu(Keberanian), Jin(kebajikan), Rei(Rasa hormat/Kesopanan), Makoto(Kejujuran),

Meiyo(kehormatan), Chuugi(kesetiaan)

2.2.1Gi (義 - Keadilan)

Gi adalah ajaran yang paling penting dalam Bushido. Berikut adalah yang dianggap Nitobe dapat menggambarkan Gi. Gi adalah kemampuan untuk memutuskan sebuah tindakan berdasarkan suatu alasan tanpa keraguan, berkorban ketika harus berkorban, menyerang jika harus menyerang (Nitobe, 1991:23). Gi bagaikan tulang yang memberikan bentuk dan kestabilan. Seperti halnya tanpa tulang, kepala tidak dapat bersandar kepada tulang, baik tangan dan kaki tidak dapat digerakkan. Demikian halnya samurai tanpa Gi, meskipun memiliki bakat atau kepandaian akademik, seseorang tidak akan benar-benar menjadi samurai (Nitobe, 1991:23-24). Agar dapat melaksanakan tugasnya, seorang samurai juga memerlukan keberanian, karena itu Nitobe (1991) mangatakan bahwa Gi berpasangan dengan Yuu.

2.2.2 Yuu (勇 - keberanian)

Aspek spiritual dari Yuu adalah ketenangan, seorang pemberani akan selalu tenang, tidak panik oleh serangan yang tiba-tiba. Tak ada yang dapat menggangu ketenangan

(3)

hati dan jiwanya. Diakui sebagai yang sungguh hebat, karena tetap adapat menguasai diri walaupun bahaya atau kematian mengancam dirinya. Menurut Nitobe (1991:29), keberanian adalah melakukan hal yang benar atau yang seharusnya dilakukan. Nitobe (1991:30) juga mengutip ucapan Pangeran Mito yang mendefinisikan keberanian sebagai beriku, “tetap hidup ketika harus tetap hidup, dan mati ketika harus mati adalah keberanian yang sesungguhnya.” Keberanian hampir dianggap tidak perlu diperhitungkan dalam kebajikan kecuali jika keberadaannya ditunjukan pada Gi. Setiap tindakan yang berdasarkan Yuu, harus tertuju pada Gi, sebab menembus segala macam bahaya sambil mempertaruhkan nyawa sendiri tanpa tujuan jelas hanya akan menjadi hal yang sia-sia. Dalam Yuu, bukan hanya keberanian saja tetapi juga terhadap ketahanan. Seorang samurai harus bisa menahan rasa sakit atau apapun yang menyiksa dirinya baik secara fisik maupun mental.

2.2.3 Jin (仁 - Kebajikan)

Cinta , kemurahan hati , kasih sayang kepada sesama, simpati dan rasa mengasihi, selalu diakui sebagai kebajikan tertinggi, yang tertinggi dari seluruh bagian jiwa manusia (Nitobe, 1991:36). Kebajikan merupakan kebaikan yang lembut dan keibuan. Jika kebenaran yang tulus dan keadilan yang tegas dapat dihubungkan dengan sifat yang jantan, maka kebajikan memiliki kelembutan dan keyakinan seperti sifat kewanitaan. Namun demikian, bagi seorang samurai perasaan ini tidak boleh berlebihan karena akan membuatnya menjadi lemah. Seperti yang dikatakan Masamune dalam Nitobe (1991:41) bahwa kebenaran yang berlebihan akan menjadi kaku; kebajikan yang diluar batas akan tenggelam dalam kelemahan “Bushi no nasake” --kelembutan seorang ksatria--

(4)

memiliki bunyi yang terdengar mulia dalam hati kita yang paling dalam; bukan berarti rasa kasihan seorang samurai berbeda pada dasarnya dengan mahluk lain, tapi karena rasa kasihan diterapkan dimana rasa kasihan bukanlah dorongan asal-asalan, tapi dimana itu didorong dengan kekuatan untuk menolong atau membunuh (Nitobe, 1991:42). Mencius dalam Nitobe (1991:43) mengatakan bahwa kesulitan dan penderitaan adalah sumber dari Jin. Oleh karena itu , orang yang memiliki Jin, memiliki perhatian terhadap orang yang kesulitan. Kebaikan kepada yang lemah, yang tertindas atau yang terluka, selalu diartikan sebagai secara tidak langsung menjadi samurai

2.2.4 Rei (礼 - Rasa Hormat/Kesopanan)

Sikap sopan terhadap orang yang di atas kita atau orang lain harus dilakukan dengan dasar rasa hormat dan tidak boleh berlebihan. Rei yang berlebihan hanyalah kepalsuan belaka. Rei menuntut rasa hormat terhadap orang kain dalam bentuk yang dapat dilihat oleh mata. Di kalangan samurai, Rei mengatur agar para samurai menghomati tuannya. Untuk menghormati tuannya, seorang samurai merendahkan dirinya. Karena itu samurai tidak boleh sombong ataupun membanggakan dirinya. Dalam hakikat tertinggi , Rei hampir mendekati cinta. Rei itu tahan terhadap penderitaan yang panjang, tidak merasa iri hati, tidak membanggakan diri, tidak sombong, tidak mencari keuntungan sendiri, tidak mempengaruhi orang lain, tidak merencanakan hal yang jahat (Nitobe, 1991:50). Kesopanan menajadi sebuah prestasi besar, jika berperan tidak lebih hanya untuk menanamkan keindahan dalam tingkah laku; tapi tidak hanya disitu saja fungsinya. Untuk merendah hati, dan dilakukan dengan perasaan lembut terhadap perasaan sesama, selalu menjadi sebuah ungkapan indah dari simpati yang dibutuhkan yaitu kita harus

(5)

menangis dengan mereka yang menangis dan bersukacita dengan mereka yang bersukacita.

2.2.5 Makoto (誠 - Kejujuran)

Tanpa Makoto (kejujuran dan ketulusan), Rei hanyalah aksi belaka, demikian pula dengan Rei yang berlebihan merupakan kebohongan belaka. Berbohong atau berdalih dianggap sama seperti seorang pengecut (Nitobe, 1991:62). Kaum samurai memahami bahwa kelasnya yang menempati possisi tertinggi dalam masyarakat menuntut kejujuran yang tinggi melebihi kaum pedagang atau kaum petani. Bushi ni ichigon, ucapan seoramg samurai, dapat menjadi jaminan terhadap apa yang dikatakan dan apa yang akan dia lakukan sehingga tidak memerlukan bukti tertulis apapun (Nitobe,1991:62). Karena itu samurai membuat janji, mereka menganggap janji itu sendiri sebagai sesuatu yang dapay mencoreng kehormatan mereka (Nitobe, 1991:63). Berbohong tidak dianggap sebagai dosa, tetapi hanya dikatakan sebagai kelemahan, dan hal itu merupakan sesuat yang sangat tidak terhormat (Nitobe, 1001:71).

2.2.6 Meiyo (名誉 - Kehormatan)

Rasa akan kehormatan (Meiyo), yang secara tidak langsung menyatakan sebuah kesadaran hidup dari harga diri yang pribadi dan bernilai, selalu menjadikan gambaran seorang samurai yang terlahir dan terdidik untuk menghargai kewajiban dan hak-hak dari profesi mereka, sebuah tiang penopang keistimewaan samurai. Akan tetapi, meskipun memiliki keistimewaan, samurai tidak boleh sembarangan mangatas namakan Meiyo dan menyerang orang karena masalah yang kecil, sebab hal itu bukanlah

(6)

mempertahankan kehormatan melainkan hanyalah hati yang sempit. Mudah marah karena hal yang sepele dicemooh dengan sebutan tan’ki (cepat marah). Mencius mengatakan bahwa marah karena hasutan yang sepele tak pantas bagi seorang pemimpin, tetapi marah karena suatu alasan yang besar adalah hal yang tepat (Nitobe, 1991:77). Perbuatan yang berlebihan terhadap nilai-nilai kehormatan diimbangi dengan kuat oleh ajaran kemurahan hati dan kesabaran. Karenanya samurai harus memiliki daya tahan dan toleransi.

Para samurai perrcaya bahwa kehormatan yang didapat sewaktu muda akan terus bertumbuh seiring berjalannya waktu , karena itu samurai-samurai muda rela menjalani kesulitan separti apapun ayau menjalani ujian sukar yang penuh penderitaan mental dan fisik. Hal ini mereka lakukan bukan hanya untuk kehormatan tetapi juga untuk menghindari rasa malu demikian besarnya bagaikan sebilah pedang yang tergantung diatas kepala setiap samurai. Bagi samurai, rasa malu ibarat luka pada pohon yang akan terus membesar seiring waktu.

2.2.7 Chuugi (忠義 - Kesetiaan)

Kesetiaan pribadi adalah pelekatan moral hadir di antara segala rupa kondisi dari manusia. Namun, hanya dalam etika kehormatan keksatriaan bahwa kesetiaan menganggap yg tertinggi penting. Nilai Chuugi menghapus privasi di kalangan bushi. Para samurai harus melupakan kepentingan pribadinya, tindakannya haru sesuai dengan apa yang diperintahkan tuannya. Sama halnya dengan ketika orang hidup demi negara dan mati demi negara. Meskipun tidak ingin melakukannya, tetapi tetap harus menjalankannya. Karena itu dapat dikatakan bahwa Chuugi berarti hidup dan mati demi

(7)

atasan. Seorang samurai diharuskan hidup dan mati demi tuannya. Pendidikan dan pelatihan samurai secara utuh dilakasanakan sebenar-benarnya dalam menganggap “hidup” sebagai “melayani sang Tuan” dan semua kesempurnaannya dibentuk dengan penuh penghormatan.

2.3 Teori tokoh menurut Nurgiyantoro

Istilah ‘tokoh’ menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Seperti yang dikatakan Jones dalam Nurgiyantoro (2007:165), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang sesorang yang digambarkan dalam cerita.

Stanton dalam Nurgiyantoro (2007:165) mengungkapkan, penggunaan istilah “karakter” (character) sendiri dalam berbagai literatur bahasa inggris mengarah pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh tersebut. Dengan demikian, karakter dapat berarti ‘pelaku cerita’ dan dapat pula berarti ‘perwatakan’. Penyebutan nama tokoh tertentu, tidak jarang langsung mengisyaratkan kepada kita perwatakan yang dimilikinya.

Dengan demikian, Character dapat berarti ‘pelaku cerita’ dan dapat pula berarti ‘perwatakan’. Penyebutan nama tokoh tertentu, tak jarang, langsung mengisyaratkan kepada kita perwatakan yang dimilikinya.

Tokoh cerita (character), menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2007:165), adalah orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh

(8)

pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Untuk kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu dilakukan berdasarakan kata-kata (verbal) dan tingkah laku lain (non-verbal). Pembedaan antara tokoh yang satu dengan yang lain lebih ditentukan oleh kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik. Dengan demikian, istilah ‘penokohan’ lebih luas pengertiannya daripada ‘tokoh’ dan ‘perwatakan’ sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelikisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.

Nurgiyantoro (2007:177) juga mengungkapkan bahwa tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Misalnya aja pembedaan antara tokoh utama dan tokoh tersebut tak sama. Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Disebut sebagai tokoh utama cerita (central character, main character). Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritannya. Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadia maupun yang dikenai kejadian. Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, tokoh utama sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian dan konflik pening yang mempengaruhi perkembangan plot.

Tokoh-tokoh cerita sebagaimana dikemukakan diatas tidak serta merta hadir kepada pembaca. Mereka memerlukan ‘sarana’ yang memungkikan kehadirannya.

(9)

Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik dilakukan secara tak langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta perilaku tokoh (Nurgiyantoro, 2007:198).

Berbagai teknik dalam pengagamnbaran teknik dramatik: 1. Teknik cakapan

Percakapan yang dilakukan oleh (baca:diterapkan pada) tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk mengambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Percakapan yang baik, mencerminkan sifat kedirian tokoh pelakunya (Nurgiyantoro, 2007:201).

2. Teknik Tinglah laku

Jika teknik cakapan dimaksudkan untuk menunjuk tingkah laku verbal yang terwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menyarankan pada tindakan yang bersifat non-verbal, fisik. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dalam banyak dapat dipandang sebagai menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan sifat-sifat kehadirannya (Nurgityantoro, 2007:203).

3. Teknik Pikiran dan Perasaan

Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas di dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang (sering) dipikirkan dan dirasakan oleh tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya juga (Nurgiyantoro, 2007:204).

(10)

2.4 Teknik Montase

Istilah montase berasal dari perfilman, yang berarti memilah-milah, memotong, serta menyambung-nyambung (pengambilan) gambar sehingga menjadi satu keutuhan. Teknik Montase di dalam bidang perfilman mengacu pada kelompok unsur yang digunakan untuk memperlihatkan antar hubungan atau asosiasi gagasan, misalnya pengalihan imaji yang mendadak atau imaji yang tumpang-tindih satu dan lainya.

Teknik ini kerap digunakan untuk menciptakan suasan melalui serangkaian impresi dan observasi yang diatur secara tepat. Teknik ini digunakan dalam penyajian eka cakapdalaman karena pikiran-pikiran yang susul-menyusul di dalamnya kadang-kala tidak selalu berada dalam urutan logis. Kebinungan dan kekesalan yang mungkin timbul dalam diri pembaca dapat merasakan kekacauan dalam diri tokoh. Teknik montase dapat pula menyajikan kesibukan latar misalnya hiruk-pikuk kota besar) atau suatu kekalutan (misalnya kekalutan pikiran) atau aneka tugas soeang tokoh (secara simultan dan dinamis). Melaui teknik ini dapat direkam sikap kaotis yang menguasai kehidupan kota besar yang dirasakan penghuninya.

Referensi

Dokumen terkait

MLM yang baik biasanya bergabung dalam APLI (Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia). Setiap perusahaan yang ingin bergabung dalam APLI, diteliti dulu apakah memenuhi

Menurut Kartika Nuringsih (2005) dan Anggie Noor Rachmad dan Dul Muid (2013) menyatakan bahwa kepemilikan manajerial memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap

Selain menghadirkan Xpander dan melakukan peluncuran kepada masyarakat Semarang dan Jawa Tengah, dalam pameran ini PT MMKSI juga menghadirkan 9 unit display dan 4 unit

Pada Gambar 8 terlihat ada tiga variasi pengukuran kecepatan linier solution shaker yaitu pengukuran kecepatan ketika tanpa beban, pengukuran kecepatan dengan beban 50 g dan

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan faktor praktik pencegahan dan kondisi lingkungan rumah dengan kejadian malaria di Desa Jatirejo Kecamatan

Target penerimaan perpajakan pada APBN tahun 2013 ditetapkan sebesar Rp1.193,0 triliun, terdiri atas pendapatan pajak dalam negeri sebesar Rp1.134,3 triliun

1) SK Menkes No. 262/Menkes/Per/VII/1979, tentang perhitungan kebutuhan tenaga berdasarkan perbandingan antara jumlah tempat tidur yang tersedia di kelas rumah sakit tertentu

Tavip Tria Candra,