• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek Kardiotoksik Antihistamin Terfenadin pada Pengobatan Rhinitis Alergika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Efek Kardiotoksik Antihistamin Terfenadin pada Pengobatan Rhinitis Alergika"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

230

19

Efek Kardiotoksik Antihistamin Terfenadin pada

Pengobatan Rhinitis Alergika

Hijra Novia Suardi

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

*Corresponding Author: hijra_novia@yahoo.com

Abstrak

Terfenadin merupakan antagonis reseptor histamin H1 (AH1) generasi terbaru yang banyak digunakan dalam pengobatan rhinitis alergika karena memiliki sifat farmakokinetik yang lebih menguntungkan, yaitu tidak memiliki efek sedatif karena distribusinya yang sedikit pada susunan saraf pusat. Tetapi, metabolisme terfenadin oleh sitokrom P-450 isoenzym CYP3A4 dengan mudah dihambat oleh berbagai penghambat enzim mikrosomal hati, seperti antibiotik eritromisin dan antifungal ketokonazol, yang menyebaban tingginya konsentrasi terfenadin pada plasma sehingga menimbulkan pemanjangan interval QT yang mengakibatkan aritmia jantung yang disebut Torsades de Pointes. Terfenadin sangat potensial menimbulkan efek kardiotoksik ketika diberikan dalam dosis yang lebih tinggi dari pada yang direkomendasikan maupun dalam kombinasi dengan penghambat enzim mikrosomal, karena itu pemberian terfenadin harus memperhatikan berbagai macam faktor.

Kata kunci: anti histamin, terfenadin, torsades de pointes

Pendahuluan

Antagonis reseptor histamin H1 (AH1) sangat banyak digunakan dalam pengobatan alergi akut dengan gejala rhinitis, urtikaria dan konjungtivitis. Efek antihistamin H1 berkaitan dengan kemampuannya untuk menekan gejala yang timbul akibat pelepasan histamin setelah

(2)

231

terjadinya reaksi antigen-antibodi.(1) Antihistamin H1 terbukti

mempunyai peran lebih baik sejak diperkenalkannya AH1 generasi terbaru, seperti loratadin, setirizin, dan terfenadin yang memiliki sifat farmakokinetik yang lebih menguntungkan. Sifat farmakokinetika yang lebih baik pada generasi baru ini adalah tidak adanya efek sedatif terutama disebabkan distribusinya yang kecil pada sistem saraf pusat. Obat ini sulit menembus sawar darah otak sehingga efek samping sedasi yang timbul sangat jauh berkurang dibandingkan efek sedasi pada antihistamin generasi pertama (klorfenamin, prometazin, dll). Selain itu,

obat ini juga tidak memiliki efek antimuskarinik.(1,2)

Popularitas antihistamin non sedatif tersebut berubah setelah diketahui bahwa beberapa AH1 generasi baru tersebut, yaitu terfenadin dan astemizol memiliki efek terhadap jantung. Dilaporkan bahwa metabolisme terfenadin dengan mudah dihambat oleh beragam penghambat enzim mikrosomal hati, baik obat atau makanan/ minuman, yang menyebabkan tingginya konsentrasi terfenadin pada plasma sehingga dapat menimbulkan aritmia yang mematikan, yang sering

disebut Torsades de Pointes.(2)

Kombinasi antihistamin H1 dengan obat yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung (dekongestan oral), seperti pseudoefedrin, dapat meningkatkan efektivitas dalam memperbaiki gejala rhinitis alergika. Tetapi risiko timbulnya efek samping terutama pada penderita dengan

penyakit jantung juga semakin meningkat.(3) Saat ini, kombinasi kedua

obat tersebut di Indonesia masih beredar dalam bentuk fixed doses

regiment, misalnya kombinasi terfenadin dengan pseudoefedrin, yang hingga sekarang masih digunakan secara luas di masyarakat.

(3)

232

dokter-dokter di Amerika Serikat tentang efek samping potensial bila terfenadin dikombinasikan dengan antibiotik eritromisin atau antifungal seperti kotokonazol. Tetapi, kematian akibat aritmia jantung pada pasien

yang mengkonsumsi terfenadin masih terus dilaporkan.(4) Karena potensi

terjadinya interaksi obat sangat tinggi pada terfenadin, maka pada tahun 1998 FDA menyerukan penghentian distribusi dan penarikan obat-obat

yang mengandung terfenadin dari pasar Amerika Serikat.(5,6) Penarikan

obat ini diikuti oleh beberapa negara lain, seperti Inggris dan Kanada. Di Indonesia sendiri sampai saat ini terfenadin masih diijinkan beredar, sehingga para klinisi yang masih menggunakan obat dengan kandungan

terfenadin harus benar-benar mengetahui faktor-faktor yang

meningkatkan risiko timbulnya efek samping yang berbahaya dan merugikan pasien.

Sifat Farmakokinetik Terfenadin

Struktur kimia terfenadin berupa gugus arylalkylamine yang

bersifat hidrofilik, tidak dapat melintasi sawar darah otak, sehingga tidak memiliki efek sentral (sedatif). Derivat butilamin heterosiklis ini adalah suatu prodrug, dengan khasiat antihistamin yang menyerupai klorfeniramin. Obat ini memiliki onset kerja sesudah 1 jam dan bertahan

selama 12-24 jam.(1)

Terfenadin diabsorbsi dengan baik, tetapi meskipun begitu,

senyawa ini juga mengalami extensive first-pass metabolism.

Metabolisme obat ini terjadi dihati oleh sistem enzim sitokrom P-450, terutama isoenzim CYP3A4, menjadi metabolit aktifnya, antara lain terfenadin-carboxylate dengan waktu paruh 17 jam. Metabolisme obat

(4)

233

gugus t-butyl. Jalur dealkilasi akan membentuk azacyclonol, sedangkan

jalur hidroksilasi akan membentuk hydroxyterfenadine, yang selanjutnya

mengalami oksidasi dengan asam karboksilat sehingga membentuk

metabolit aktif carboxy-terfenadine (fexofenadin), merupakan

antihistamin yang aktif secara biologi. Ekskresi berlangsung lewat tinja

(60%) dan urin (40%).(7)

Mekanisme Kardiotoksik Terfenadin

Perhatian pada saat ini sedang difokuskan pada obat-obat yang menyebabkan pemanjangan interval QT pada elektrokardiogram, terutama terhadap kelompok obat antagonis reseptor H1. Pemanjangan interval QT yang signifikan mungkin berhubungan dengan gangguang denyut jantung dan menyebabkan terjadinya aritmia jantung yang sangat

fatal yang disebut Torsade de Pointes (TdP).(8,9)

Kanal ion adalah molekul yang paling sering menjadi target bagi obat-obat yang menyebabkan pemanjangan interval QT, dengan memanfaatkan keterlibatan kanal ion pada aktivitas listrik jantung. Telah dibuktikan bahwa hERG (human ether a-go-go-related gene), yaitu suatu protein kanal ion merupakan target primer dari obat yang dapat menginduksi terjadinya TdP. hERG adalah suatu gen pada kanal kalium protein yang mengatur repolarisasi kalium, karena itu kanal kalium tersebut sering disebut kanal hERG. Tampaknya semua obat non-kardiak yang berpotensi menimbulkan TdP berinteraksi dengan hERG (gambar 4).(8,9)

Contoh klasik obat tersebut adalah terfenadin. Hanya beberapa tahun setelah penggunaannya secara luas ditemukan bahwa ternyata terfenadin berhubungan dengan pemanjangan interval QT yang

(5)

234

menyebabkan TdP dan sudden cardiac death. Efek samping ini muncul

diperkirakan karena interaksi terfenadine dengan kanal hERG yang

menyebabkan penghambatan pompa kalium.(9,10) Interval QT

menggambarkan waktu yang dibutuhkan selama siklus denyut jantung, yang terdiri dari depolarisasi dan repolarisasi. Pemanjangan interval QT pada orang normal yang mendapat terfenadin pada dosis terapeutik hanya sedikit, sekitar 6 msec. Tetapi pemanjangan interval QT akan sangat meningkat pada pemberian terfenadin dosis tinggi atau pada pasien yang

mengalami gagal jantung.(9)

Pada beberapa studi ditemukan bahwa eritromisin dan ketokonazol yang diberikan bersamaan dengan terfenadin dapat menghambat metabolisme terfenadin dan menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi plasma terfenadin, sehingga pada titik tertentu akan menimbulkan pemanjangan interval QT. Meningkatnya plasma level parent drug terfenadin akan menyebabkan terjadinya gangguan konduksi jantung melalui blokade pompa kalium pada membran sel

miokard. Kondisi ini mengganggu repolarisasi jantung yang

mengakibatkan perpanjangan interval QT yang cukup signifikan

sehingga menimbulkan TdP.(4,11) Diduga hal ini disebabkan karena

ketokonazol dan eritromisin merupakan penghambat sitokrom P-450 isoenzym CYP3A4 (inhibitor enzim CYP3A4) sehingga meng-induksi

supresi enzim mikrosomal yang memetabolisme terfenadin.(7) Selain

eritromisin dan ketokonazol, terfenadin juga dapat menyebabkan gangguan irama jantung bila diberi bersamaan dengan klaritromisin, anti jamur lain yang sering digunakan, seperti itrakonazol, dan minuman

seperti grapefruit juice. Kesemuanya ini dapat meningkatkan plasma

(6)

235

kondisi sebagaimana berikut(12,13) :

• Pasien yang sedang mengkonsumsi obat-obat yang berhubungan

dengan aritmia jantung atau obat lain yang memiliki risiko pemanjangan QT interval, seperti: quinidin, amiodaron, haloperidol, disopiramid, ibutilide, dsb.

• Pasien yang memiliki penyakit jantung / abnormalitas irama jantung

sebelum penggunaan terfenadin

• Pasien dengan kondisi yg menyebabkan perubahan kinetik obat,

misal : usia, gangguan hati dan ginjal.

Evidence-Based Medicine Terfenadin

FDA’sAdverse Drug Reaction Spontaneous Reporting System melaporkan bahwa antara Mei 1985 hingga April 1992 didapatkan 25 laporan kasus kejadian TdP dengan riwayat terfenadin yang diresepkan sebelumnya. Duapuluh satu kasus (84%) memiliki satu atau lebih faktor yang dapat menyebabkan peningkatan konsentransi plasma terfenadin (misalnya, overdosis, terapi makrolide atau imidazol, dan riwayat penggunaan alkohol berat). Tiga kasus lainnya adalah pasien dengan umur lebih dari 69 tahun, sedangkan 1 kasus lainnya mengkonsumsi 240

mg terfenadin perhari selama 21 hari.(15)

Pada tahun 1994, dipublikasi suatu laporan kasus dari India pada anak laki-laki umur 6 tahun dengan berat-badan 15 kg yang mengalami urtikaria. Pasien diterapi dengan terfenadin sirup 15 mg yang diberikan dua kali sehari. Tetapi, secara tidak sengaja ternyata pasien mengkonsumsi 30 mg terfenadin dua kali sehari sehingga mencetuskan

terjadinya episode ventrikular takikardi akibat dosis yang berlebihan.(14).

(7)

236

keadaan normal terfenadin yang tidak dimetabolisme (parent drug terfenadine) tidak dapat dideteksi didalam serum, atau hanya sekitar < 5 ng/ml. Hal ini terjadi karena terfenadin mengalami metabolisme lintas

pertama yang luas di hati.(14) Honig dkk melakukan studi efek

ketokonazol terhadap farmakokinetik terfenadin pada 6 dewasa sehat yang diberikan ketokonazol 200 mg dua kali sehari bersamaan dengan pemberian 60 mg terfenadine dua kali sehari. Subjek dimonitor secara

intensif selama 72 jam dan diukur kadar terfenadin pada trough level.

Sebelum pemberian ketokonazol, ternyata konsentrasi terfenadin serum yang diukur tidak dapat terdeteksi pada 5 orang subjek. Tetapi, setelah pemberian ketokonazol, pada subjek tersebut kadar terfenadin yang tidak dimetabolisme meningkat hingga melebihi 5 ng/ml. Pemanjangan interval QT terjadi pada semua subjek, dan pemanjangan itu berkaitan

erat dengan konsentrasi terfenadin.(16)

Meskipun begitu, ada beberapa studi yang melaporkan tidak terjadinya efek samping yang mengancam jiwa pada pemberian terfenadin. Misalnya, pada studi yang dilakukan oleh Delgado, dkk (1999) pada 80 orang anak usia 5-12 tahun yang menderita rhinitis alergika dengan riwayat atopi. Empat puluh orang anak yang memiliki rhinitis alergika disertai sinusitis dibagi dalam 4 subkelompok yang masing-masing diberikan antihistamin generasi kedua, yaitu terfenadin, astemizol, loratadin, dan setirizin dalam dosis yang direkomendasikan bersamaan dengan eritromisin. Sedangkan sisanya dibagi dalam 4 kelompok lain yang masing-masing diberi antihistamin seperti diatas tanpa pemberian eritromisin. Terapi ini diberikan selama 14 hari. Ternyata, pada studi ini ditemukan bahwa terfenadin dan agen AH1 lainnya, yang diberikan bersama eritromisin tidak menyebabkan

(8)

237

timbulnya efek samping terhadap jantung. Meskipun tampak perbedaan signifikan secara statistik bahwa pemberian terfenadin bersamaan dengan eritromisin menyebabkan pemanjangan interval QT, tetapi tidak

menyebabkan efek kardiotoksik yang bermakna secara klinik.(17)

Sementara itu, di Indonesia sendiri pernah dilakukan studi oleh Nahrawi dkk yang berkaitan dengan pemberian kombinasi terfenadin dengan dekongestan oral (pseudoefedrin) pada 77 anak berusia 6-15 tahun yang menderita rhinitis alergika. Studi ini dilakukan untuk melihat efikasi dan efek keamanan kombinasi ini, temasuk terhadap jantung. Hasil studi ini memperlihatkan bahwa kombinasi kedua obat ini ternyata efektif dalam mengobati rhinitis alergika. Selain itu, pada pemeriksaan elektrokardiogram tidak ditemukan pula adanya perbedaan pada interval

Q-T sebelum dan sesudah pengobatan.(18)

Pencegahan Efek Kardiotoksik Terfenadin

Terfenadin sangat potensial menimbulkan cardiac toxicity dan

sudden death ketika diberikan dalam dosis yang lebih tinggi daripada dosis yang direkomendasikan maupun dalam kombinasi dengan ketokonazol atau eritromisin. Meskipun begitu, obat yang memiliki kandungan terfenadin masih beredar di Indonesia. Karena itu, untuk mencegah terjadinya komplikasi terfenadin, maka direkomendasikan

beberapa langkah berikut: (4,15)

• Dosis terfenadin tidak boleh melebihi 60 mg oral 2 x sehari pada

dewasa atau 2 mg/kgbb perhari pada anak.

• Terfenadin tidak boleh diresepkan pada pasien yang menerima

makrolide, antijamur, antiaritmia, dan obat psikotik.

(9)

238

terfenadin, karena juice tersebut dapat mempengaruhi

metabolisme terfenadin.

• Terfenadin sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang

mengkonsumsi alkohol dalam jangka waktu panjang, karena pada pasien tersebut risiko terjadinya gangguan fungsi hati meningkat sehingga dapat menghambat metabolisme terfenadin.

• Terfenadin sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan

penyakit gangguan hati karena dapat menurunkan metabolisme terfenadin.

• Penggunaan terfenadin pada pasien lanjut usia sebaiknya dibatasi.

Kesimpulan

Pemberian terfenadin dosis terapi bersama ketolonazol, itrakonazol atau antibiotik golongan makrolid seperti eritromisin, dapat mengakibatkan terjadinya perpanjangan interval QT dan mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel (torsades de pointes) yang berakibat fatal. Keadaan ini disebabkan karena obat-obat di atas menghambat metabolisme terfenadin oleh enzim CYP3A4 sehingga terjadi peningkatan kadar terfenadin didalam darah. Karena itu, terfenadin

dikontraindikasikan pemberiannya pada pasien yang mendapat

ketokonazol, itrakonazol, atau antibiotik golongan makrolid, dan juga pada pasien dengan penyakit hati. Demikian pula dengan jus grapefruit yang juga menghambat CYP3A4 dan meningkatkan kadar terfenadin plasma secara bermakna.

(10)

239 Daftar Pustaka

1. Brunton L, Parker K, Blumenthal D, Buxton L. Autacoids: Drug

Therapy of Inflammation. In: eds. Goodman&Gilman’s Manual of Pharmacology and Therapeutics. International edition. New York: Mc Graw-Hill. 2007. p. 401-15

2. Katzung BG, Parmley WW. Histamin, Serotonin, dan Alkaloid Ergot.

Dalam: ed. Sjabana D, dkk. Katzung BG (ed). Basic and Clinical Pharmacology. Jilid 1. Jakarta: Salemba Medika. 2001. Hal: 475-83

3. Suyoko EMD. Medikamentosa. Dalam: Akib AAP, Munasir Z,

Kurniati N. ed. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak. Edisi Kedua. Jakarta. Balai Penerbit IDAI. 2007. hal: 421-43

4. Dover. Cardiac Toxicity of Terfenadine. Journal Watch Dermatology.

May-1993

5. Seldane. MedWatch. Available in: www.rxlist.com/seldane-drug.htm.

Accessed at oct 15th 2008.

6. FDA Talk Paper. Seldane and Generic Terfenadine Withdrawn from

Market. 27 Feb 1998.

7. Jones BC, Hyland R, Ackland M, et al. Interaction of Terfenadine and

Its Primary Metabolite with Cytochrome P450 2D6. Drug Metabolism and Disposition Journal. 1998:26 (9): 875-82.

8. Miller N. Fair of Face, Foul of Heart-Cardiotoxicity & Drug

Development. Bremans Limited. 2005

9. Roden DM. Drug Induced Prolongation of the QT interval. N Eng J

Med. 2004. 350:1013-22

10.Crumb WJ. Loratadine Blockade of K+ Channels in Human Heart:

Comparison with Terfenadine under Physiological Conditions. JPET. 2000. Vol 292. vol 1: 261-4.

11.Scheife RT, Cramer WR. Clinical Reviews: Sedatif and

Cardiovascular Profile of Newer Antihistamines. American Society of Consultant Pharmacist. Boston. 1996

12.Stern M. Terfenadine: Is it Unsave?. Asthma & Allergy Information

& Research. 2000.

13.Paakkari I. Cardiotoxicity of New Antihistamines and Cisapride.

Toxicol lett. Feb-2002; 127(1-3). 279-84.

14.Pohjola-Sintonen S, Viitasalo M, Toivonen L, Neuvonen P.

Itraconazole Prevents Terfenadine Metabolism and Increased Risk of Torsades de Pointes Ventricular Tachycardia. Eur J Clin Pharmacol. 1993. 45:191-193.

(11)

240

Polymorphous Ventricular Tachycardia. India Paediatrica J. Vol 32. Oct-1995.

16.Goldsobel AB. Mechanism of Cardiotoxic Actions of Terfenadine.

Pediatrics J. 1994; 94; 252.

17.Delgado LF, Pferferman A, Sole D, Naspitz CK. Evaluation of the

Potential Cardiotoxicity of the Antihistamines Terfenadine,

Astemizol, Loratadine, and Cetirizine in Atopic Children. Ann Allergy Asthma Immunol J. 1999. Nov; 83(5):422.

18.Nahrawi, Munasir Z, Abdul L. Efektivitas dan Keamanan Kombinasi

Terfenadin dan Pseudoefedrin pada Anak Rinitis Alergika. Sari Pediatri. 2008. vol 9.No 5:299-307.

Referensi

Dokumen terkait

1) Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan. Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau penyelenggaraan pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat

Selain itu, perhitungan harga pokok produksinya pun masih belum tepat karena biaya bahan baku langsung belum dihitung berdasarkan standar yang spesifik dan

Tujuan penelitian ini untuk memperoleh persamaan matematik dari hubungan antar variabel waktu, suhu dan kekerasan dan menjawab pertanyaan apakah hubungan antar

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur anatomi skeleton aksial meliputi vertebrae, karapaks dan plastron kura-kura brazil ( Trachemys scripta

Dari hasil analisis sekuens nukleotida gen N dan asam amino protein N dapat disimpulkan adanya perbedaan sekuens asam amino pada epitop sel T sitotoksik (52-59) antara virus

Pengusahaan dan pemanfaatan minyak serta sumber daya energi lainnya secara tidak bertanggung jawab dan pembuangan Limbah secara sembarangan , akan mengakibatkan pencemaran

Jika hasil kali ketiga bilangan tersebut adalah 216, suku pertama dan suku ketiga barisan tersebut berturut-turut adalah.. E-book ini hanya untuk

Dari beberapa pendapat yang dikemukan oleh para ahli di atas bahwa kompetensi guru dan fasilitas belajar adalah komponen penting dalam menunjang keberhasilan program