BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Demam Berdarah Dengue
2.1.1 Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD)
Menurut WHO (2005), definisi Demam Berdarah Dengue adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih manifestasi seperti sakit kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan, leukopenia,
trombositopenia (100.000 sel per mm3
Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dan ditularkan melalui nyamuk. Nyamuk yang dapat menularkan penyakit demam berdarah dengue adalah nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus. Virus demam berdarah dengue terdiri dari 4 serotipe yaitu virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Penyakit ini merupakan penyakit yang timbul di negara-negara tropis, termasuk di Indonesia (Depkes RI, 2010).
atau kurang).
2.1.2 Etiologi
Penyakit demam berdarah dengue disebabkan oleh virus Dengue dari genus
Flavivirus, famili Flaviviridae. DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk
Aedes yang terinfeksi virus Dengue. Virus Dengue penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS) termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis) yang sekarang dikenal sebagai
genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. (Depkes RI, 2010).
2.1.3 Patogenesis dan Patofisiologi
Nyamuk mendapatkan virus ini pada saat melakukan gigitan pada manusia (makhluk vertebrata) yang pada saat itu sedang mengandung virus dengue didalam darahnya (viraemia). Virus yang sampai ke dalam lambung nyamuk akan mengalami replikasi (memecah diri), kemudian akan migrasi yang akhirnya akan sampai di kelenjar ludah. Virus yang berada di lokasi ini setiap saat siap untuk dimasukkan ke dalam kulit manusia melalui gigitan nyamuk (Anies, 2006).
Virus dengue masuk kedalam tubuh inang kemudian mencapai sel target yaitu makrofag. Sebelum mencapai sel target maka respon imun non-spesifik dan spesifik tubuh akan berusaha menghalanginya. Aktivitas komplemen pada infeksi virus dengue diketahui meningkat seperti C3a dan C5a mediator-mediator ini menyebabkan terjadinya kenaikan permeabilitas kapiler celah endotel melebar lagi. Akibat kejadian ini maka terjadi ekstravasasi cairan dari intravaskuler ke extravaskuler dan menyebabkan terjadinya tanda kebocoran plasma seperti hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi pleura, asites, penebalan dinding vesica fellea dan syok hipovolemik. Kenaikan permeabilitas kapiler ini berimbas pada terjadinya hemokonsentrasi, tekanan nadi menurun dan tanda syok lainnya merupakan salah satu patofisiologi yang terjadi pada DBD (Depkes RI, 2010).
Menurut WHO (2004), patofisiologi Demam Berdarah Dengue ada dua perubahan yang terjadi yaitu :
a. Meningkatnya permeabilitas pembuluh darah mengakibatkan kebocoran plasma, hipovolemia dan syok. Demam Berdarah Dengue memiliki ciri yang unik karena kebocoran plasma khusus ke arah rongga pleura dan peritoneum
selain itu periode kebocoran cukup singkat (24-48 jam).
b. Hemostasis abnormal terjadi akibat vaskulopati, trombositopenia sehingga terjadi berbagai jenis manifestasi perdarahan.
2.1.4 Gambaran Klinis
Menurut Sudjana (2010), gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase kritis dan fase pemulihan.
a. Pada fase febris, biasanya demam mendadak tinggi 2 – 7 hari, disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi farings dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal.
b. Fase kritis, terjadi pada hari 3 – 7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24 – 48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh lekopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit. Pada fase ini dapat terjadi syok.
c. Fase pemulihan, bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam setelahnya. Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali , hemodinamik stabil dan dieresis membaik.
2.1.5 Klasifikasi Demam Berdarah Dengue
Menurut WHO (2004), derajat penyakit DBD dapat dikelompokkan dalam empat derajat:
a. Derajat I : Demam yang disertai dengan gejala klinis tidak khas, satu-satunya gejala perdarahan adalah hasil uji tourniquet posititf.
b. Derajat II : Gejala yang timbul pada DBD derajat I ditambah terjadinya perdarahan spontan juga terjadi biasanya dalam bentuk perdarahan kulit atau perdarahan lain.
c. Derajat III : Kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan denyut nadi cepat dan lemah, menyempitnya tekanan nadi (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, ditandai kulit dingin dan lembab serta pasien gelisah.
d. Derajat IV : Syok yang sangat berat dengan tekanan darah dan denyut nadi yang tidak terdeteksi.
2.1.6 Siklus Penularan Demam Berdarah Dengue
Nyamuk Aedes betina biasanya akan terinfeksi virus dengue saat menghisap darah dari penderita yang berada dalam fase demam (viremik) akut penyakit. Setelah masa inkubasi ekstrinsik selama 8 sampai 10 hari, kelenjar air liur nyamuk menjadi terinfeksi dan virus disebarkan ketika nyamuk yang infektif menggigit dan
menginjeksikan air liur ke luka gigitan pada orang lain.setelah masa inkubasi pada tubuh manusia selama 3-14 hari (rata-rata 4-6 hari) sering kali terjadi rangkaian mendadak penyakit ini, yang ditandai dengan demam, sakit kepala, mialgia, hilang nafsu makan, dan berbagai tanda serta gejala nonspesifik lain termasuk mual, muntah dan ruam kulit.
Viraemia biasanya ada pada saat atau tepat sebelum gejala awal penyakit dan akan berlangsung selama rata-rata lima hari setelah timbulnya penyakit. Ini merupakan masa yang sangat kritis karena pasien berada pada tahap yang paling infektif untuk nyamuk vektor dan akan berkontribusi dalam mempertahankan siklus penularan jika pasien tidak dilindungi dari gigitan nyamuk (WHO, 2004).
Penularan DBD antara lain dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya, tempat yang potensial untuk penularan penyakit DBD antara lain (Sitio, 2008):
a. Wilayah yang banyak kasus DBD atau rawan endemis DBD.
b. Tempat-tempat umum yang merupakan tempat berkumpulnya orang, orang dating dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue cukup besar seperti sekolah, pasar, hotel, puskesmas, rumah sakit dan sebagainya.
c. Pemukiman baru di pinggir kota, karena dilokasi ini, penduduk umumnya berasal dari berbagai wilayah, maka memungkinkan diantaranya terdapat penderita atau karier yang membawa tipe virus dengue yang berlainan dari masing-masing lokasi asal.
2.2 Virus Dengue
Virus dengue merupakan genus Flavivirus dari keluarga Flaviviridae. Virus yang berukuran kecil (50 nm) ini mengandung RNA berantai tunggal. Virionnya mengandung nukleokapsid berbentuk kubus yang terbungkus selubung lipoprotein. Genome virus dengue berukuran panjang sekitar 11.000 pasangan basa dan terdiri dari tiga gen protein structural yang mengodekan nukleokapsid atau protein inti (core, C), satu protein terikat membran (membrane, M), satu protein penyelubung (envelope, E), dan tujuh gen protein nonstruktural (nonstructural, NS). Selubung glikoprotein berhubungan dengan hemaglutinasi virus dan aktivasi netralisasi.
Virus dengue membentuk kompleks yang khas dalam genus Flavivirus berdasarkan karakteristik antigenic dan biologisnya. Ada empat serotype virus yang kemudian dinyatakan sebagai DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Infeksi yang terjadi dengan serotype manapun akan memicu imunitas seumur hidup terhadap serotype tersebut. Walaupun secara antigenik serupa, keempat serotype tersebut cukup berbeda di dalam menghasilkan perlindungan silang selama beberapa bulan setelah terinfeksi salah satunya.
Virus dengue dari keempat serotype tersebut juga dihubungkan dengan kejadian epidemi demam dengue saat bukti yang ditemukan tentang DHF sanagat sedikit atau bahkan tidak ada. Keempat virus serotype tersebut juga menyebabkna epidemi DHF yang berkaitan dengan penyakit yang sangat berbahaya dan mematikan (WHO, 2004).
2.3 Vektor Penular Demam Berdarah Dengue
Virus dengue ditularkan dari satu orang ke orang lain oleh nyamuk Aedes aegypti dari subgenus Stegomyia. Aedes aegypti merupakan vector epidemik yang paling penting, sementara spesies lain seperti Ae. albopictus, Ae. polynesiensis, anggota kelompok Ae. Scutellaris dan Ae. niveus juga diputuskan sebagai vektor sekunder. Semua spesies tersebut kecuali Aedes aegypti memiliki wilayah penyebarannya sendiri, walaupun mereka merupakan vektor yang sangat baik untuk virus dengue, epidemik yang ditimbulkannya tidak separah yang diakibatkan oleh
Aedes aegypti (WHO, 2004).
Vektor Demam Berdarah Dengue di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti
sebagai vektor utama dan Aedes albopictus sebagai vektor sekunder. Spesies tersebut merupakan nyamuk pemukiman, stadium pradewasanya mempunyai habitat perkembangbiakan di tempat penampungan air/wadah yang berada di permukiman dengan air yang relatif jernih. Nyamuk Ae. aegypti lebih banyak ditemukan berkembang biak di tempat-tempat penampungan air buatan antara lain : bak mandi, ember, vas bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, ban bekas dan sejenisnya di dalam rumah meskipun juga ditemukan di luar rumah di wilayah perkotaan; sedangkan Ae. albopictus lebih banyak ditemukan di penampungan air alami di luar rumah, seperti axilla daun, lubang pohon, potongan bambu dan sejenisnya terutama di wilayah pinggiran kota dan pedesaan, namun juga ditemukan di tempat penampungan buatan di dalam dan di luar rumah. Spesies nyamuk tersebut mempunyai sifat anthropofilik, artinya lebih memilih menghisap darah manusia, di samping itu juga
bersifat multiple feeding artinya untuk memenuhi kebutuhan darah sampai kenyang dalam satu periode siklus gonotropik biasanya menghisap darah beberapa kali (Depkes RI, 2010).
Menurut Anies (2006), orang awam mudah mengenali nyamuk tersebut dengan ciri-ciri umum sebagai berikut:
a. badan kecil, warna hitam dengan bintik-bintik putih b. hidup di dalam dan di sekitar rumah
c. menggigit/mengisap darah pada siang hari
d. senang hinggap pada pakaian yang bergelantungan dalam kamar
e. bersarang dan bertelur di genangan air jernih di dalam dan di sekitar rumah: bak mandi, tempayan, vas bunga, tempat minum burung, perangkap semut 2.3.1 Penyebaran Nyamuk Aedes aegypti
Aedes aegypti tersebar luas di wilayah tropis dan subtropis Asia Tenggara dan terutama di sebagian besar di wilayah perkotaan. Penyebaran Aedes aegypti di pedesaan akhir-akhir ini relatif sering terjadi yang dikaitkan dengan pembangunan sistem persediaan air pedesaan dan perbaikan sistem transportasi. Di wilayah yang agak kering seperti India, Aedes aegypti merupakan vektor perkotaan dan populasinya secara khas berfluktuasi bersama air hujan dan kebiasaan penyimpanan air. Pada negara lain di Asia Tenggara yang curah hujannya melebihi 200 cm per tahun, populasi Aedes aegypti ternyata lebih stabil dan ditemukan di daerah perkotaan, pinggiran kota dan daerah pedesaan. Karena kebiasaan penyimpanan air secara
tradisional di Indonesia, Myanmar dan Thailand, kepadatan nyamuk mungkin lebih tinggi di daerah pinggiran kota daripada di daerah perkotaan (WHO, 2004).
Aedes aegypti tersebar luas baik di rumah-rumah maupun di tempat-tempat umum di Indonesia. Nyamuk ini dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian daerah ±1.000 m dari permukaan air laut. Di atas ketinggian 1.000 m tidak dapat berkembang biak, karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah, sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk tersebut (Depkes RI, 2008).
Ketinggian merupakam faktor yang penting untuk membatasi penyebaran nyamuk Aedes aegypti. Di India, Aedes aegypti dapat ditemukan pada ketinggian yang berkisar dari nol meter sampai 1000 meter di atas permukaan laut. Ketinggian yang rendah (kurang dari 500 meter) memiliki tingkat kepadatan populasi nyamuk sedang sampai berat. Sementara daerah pegunungan (dia atas 500 meter) memiliki populasi nyamuk yang rendah. Di negara-negara Asia Tenggara, ketinggian 1000 sampai 1500 meter di atas permukaan laut tampaknya merupakan batas bagi penyebaran Aedes segypti. Di bagian lain dunia, nyamuk spesies ini dapat ditemukan di wilayah yang jauh lebih tinggi, misalnya di Kolombia sampai mencapai 2200 meter (WHO, 2004).
2.3.2 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti
Menurut Achmadi (2011), pada dasarnya siklus hidup nyamuk berawal dari peletakan telur oleh nyamuk betina. Dari telur muncul fase kehidupan air yang masih belum matang disebut larva yang berkembang melalui empat tahap kemudian bertambah ukuran hingga mencapai kepompong nyamuk dewasa membentuk diri
sebagai betina atau jantan dan tahap nyamuk dewasa muncul dari pecahan di belakang kulit kepompong. Nyamuk dewasa makan, kawin dan nyamuk betina memproduksi telur untuk melengkapi siklus dan memulai generasi baru. Beberapa spesies nyamuk hanya satu generasi per tahun yang lainnya bisa mempunyai beberapa generasi selama musim dengan kondisi iklim yang menguntungkan. Mereka sangat bergantung pada iklim dari kondisi lingkungan lokal terutama suhu dan curah hujan.
Nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna, yaitu: telur - jentik - kepompong - nyamuk. Stadium telur, jentik dan kepompong hidup di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ±2 hari setelah telur terendam air. Stadium jentik biasanya berlangsung 6-8 hari, dan stadium kepompong berlangsung antara 2–4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa selama 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan. (Depkes RI, 2008).
2.3.3 Morfologi Nyamuk Aedes aegypti a. Telur
Telur Aedes berwarna hitam, oval dan diletakkan di dinding wadah air, biasanya di bagian atas permukaan air. Apabila wadah air ini mengering, telur bisa tahan lama selama beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan. Ketika wadah air berisi air kembali dan menutupi seluruh bagian telur, telur itu akan menetas menjadi jentik. wadah air seperti bak mandi jangan hanya dikeringkan airnya saja tetapi di dindingnya pun harus digosok sampai bersih (Anies, 2006).
Telur diletakkan satu per satu pada permukaan yang basah tepat di atas permukaan air. Sebagian besar nyamuk Aedes aegypti betina meletakkan telurnya di beberapa sarang selama satu kali siklus gonotropik. Perkembangan embrio biasanya selesai dalam 48 jam di lingkungan yang hangat dan lembab. Begitu proses embrionasi selesai, telur akan menjalani masa pengeringan yang lama (lebih dari satu tahun). Telur akan menetas pada saat penampung air penuh, tidak semua telur akan menetas pada waktu yang sama. Kapasitas telur untuk menjalani masa pengeringan akan membantu mempertahankan kelangsungan spesies ini selama kondisi iklim buruk (WHO, 2004).
b. Jentik (Larva)
Menurut Depkes RI (2008), ada 4 tingkat (instar) jentik sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut, yaitu:
1) Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm 2) Instar II : 2,5-3,8 mm
3) Instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II 4) Instar IV : berukuran paling besar 5 mm
Larva nyamuk Ae. aegypti tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu-bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini tubuhnya langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat fototaksisnegatif, dan waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan bidang permukaan air.
Lamanya perkembangan larva akan bergantung pada suhu, ketersediaan makanan, kepadatan larva pada sarang. Pada kondisi optimum waktu yang dibutuhkan mulai dari penetasan sampai kemunculan nyamuk dewasa akan berlangsung sedikitnya selama tujuh hari termasuk dua hari untuk masa menjadi kepompong. Akan tetapi pada suhu rendah mungkin akan membutuhkan beberapa minggu untuk kemunculan nyamuk dewasa.
c. Kepompong
Kepompong berbentuk seperti koma. Bentuknya lebih besar namun lebih ramping dibanding jentiknya. Kepompong berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata kepompong nyamuk lain (Depkes RI, 2008).
Kepompong merupakan tahapan yang tidak memerlukan makan namun tidak seperti sebagian besar insekta, kepompong nyamuk berenang sangat aktif dapat berenang dengan mudah saat terganggu. Tahap kepompong pada nyamuk Aedes aegypti umumnya berlangsung selama 2-3 hari. Saat nyamuk akan melengkapi perkembangannya dalam cangkang kepompong, kepompong akan naik ke permukaan dan berbaring sejajar dengan permukaan air untuk persiapan munculnya nyamuk dewasa (Achmadi, 2011).
d. Nyamuk Dewasa
Nyamuk akan mencari pasangan untuk kawin setelah muncul dari kepompong. Setelah kawin, nyamuk siap mencari darah untuk perkembangan telur demi keturunannya. Nyamuk jantan setelah kawin akan istirahat, dia
tidak mengisap darah, tetapi cairan tumbuhan, sedangkan nyamuk betina menggigit dan mengisap darah manusia (Anies, 2006).
Menurut Achmadi (2011), nyamuk dewasa yang baru muncul akan beristirahat untuk periode singkat di atas permukaan air agar sayap-sayap dan badan mereka kering dan menguat sebelum akhirnya dapat terbang. Nyamuk jantan dan betina muncul dengan perbandingan jumlahnya 1:1. Nyamuk jantan muncul satu hari sebelum nyamuk betina, menetap dekat tempat perkembangbiakan, makan dari sari buah tumbuhan dan kawin dengan nyamuk betina yang muncul kemudian. Setelah kemunculan pertama nyamuk betina makan sari buah tumbuhan untuk mengisi tenaga, kemudian kawin dan menghisap darah manusia. Umur nyamuk betinanya dapat mencapai 2-3 bulan. Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti dapat dilihat pada gambar 2.1 di bawah ini:
Gambar 2.1 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti Sumber: Depkes RI
2.3.4 Bionomik Nyamuk Aedes aegypti 1. Perilaku Makan
Aedes aegypti sangat antropofilik walaupun ia juga bisa makan dari hewan berdarah panas lainnya. Nyamuk betina memiliki dua periode aktivitas menggigit, pertama di pagi hari beberapa jam setelah matahari terbit dan sore hari hari selama beberapa jam sebelum gelap. Puncak aktivitas menggigit yang sebenarnya dapat beragam bergantung lokasi dan musim. jika masa makannya terganggu, Aedes aegytpi dapat menggigit lebih dari satu orang. Perilaku ini semakin memperbesar efisiensi penyebaran epidemik. Dengan demikian bukan hal yang luar biasa jika beberapa anggota keluarga yang sama mengalami rangkaian penyakit yang terjadi dalam 24 jam, memperlihatkan bahwa mereka terinfeksi nyamuk infektif yang sama. Aedes aegypti biasanya tidak menggigit di malam hari tetapi akan menggigit saat malam di kamar yang terang (WHO, 2004).
Nyamuk Aedes aegypti jantan mengisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya sedangkan yang betina mengisap darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia daripada binatang (bersifat
antropofilik). Darah (proteinnya) diperlukan untuk mematangkan telur agar jika dibuahi oleh sperma nyamuk jantan, dapat menetas. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk mengisap darah sampai telur dikeluarkan biasanya bervariasi antara 3-4 hari. Jangka waktu tersebut disebut satu siklus gonotropik (gonotropic cycle).
Biasanya nyamuk betina mencari mangsanya pada siang hari. Aktivitas menggigit biasanya mulai pagi sampai petang hari, dengan 2 puncak aktifitas antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00. Tidak seperti nyamuk lain, Aedes aegypti mempunyai kebiasaan mengisap darah berulang kali (multiple bites) dalam satu siklus gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit (Depkes, 2008).
2. Perilaku Istirahat
Aedes aegypti suka beristirahat di tempat yang gelap, lembab dan tersembunyi didalam rumah atau bangunan termasuk di kamar tidur , kamar mandi, maupun di dapur. Nyamuk ini jarang ditemukan di luar rumah, di tumbuhan atau di tempat terlindung lainnya. Permukaan yang nyamuk suka di dalam ruangan adalah di bawah furniture, benda yang tergantung seperti baju, gorden serta di dinding (WHO, 2004).
Setelah mengisap darah, nyamuk ini hinggap (beristirahat) di dalam atau kadang-kadang di luar rumah berdekatan dengan tempat perkembangbiakannya. Biasanya di tempat yang agak gelap dan lembab. Di tempat-tempat ini nyamuk menunggu proses pematangan telurnya (Depkes RI, 2008).
3. Tempat Perkembangbiakan
Menurut Depkes RI ( 2008), tempat perkembangbiakan utama aedes aegypti ialah tempat-tempat penampungan air berupa genangan air yang
tertampung disuatu tempat atau bejana di dalam atau sekitar rumah atau tempat-tempat umum, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Nyamuk ini biasanya tidak dapat berkembang biak di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah. Jenis tempat perkembang-biakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti: drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi/wc, dan ember.
b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti: tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut dan barang-barang bekas (ban, kaleng, botol, plastik dan lain-lain).
c. Tempat penampungan air alamiah seperti: lobang pohon, lobang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bambu. Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan meletakan telurnya di dinding tempat perkembangbiakannya, sedikit di atas permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ±2 hari setelah telur terendam air. Setiap kali bertelur nyamuk betina dapat mengeluarkan telur sebanyak 100 butir. Telur itu di tempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan berbulan-bulan pada suhu -2ºC sampai 42ºC, dan bila tempat-tempat tersebut kemudian tergenang air atau kelembabannya tinggi maka telur dapat menetas lebih cepat.
4. Jarak Terbang
Penyebaran nyamuk Aedes aegypti betina dewasa dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk ketersediaan tempat bertelur dan darah, tetapi tampaknya terbatas sampai jarak 100 meter dari lokasi kemunculan (WHO, 2004).
Pergerakan nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa dan selanjutnya ke tempat untuk beristirahat ditentukan oleh kemampuan terbang nyamuk. Pada waktu terbang nyamuk memerlukan oksigen lebih banyak, dengan demikian penguapan air dari tubuh nyamuk menjadi lebih besar. Untuk mempertahankan cadangan air di dalam tubuh dari penguapan maka jarak terbang nyamuk menjadi terbatas.
Aktifitas dan jarak terbang nyamuk dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu: faktor eksternal dan faktor internal. Eksternal meliputi kondisi luar tubuh nyamuk seperti kecepatan angin, temperatur, kelembaban dan cahaya. Adapun faktor internal meliputi suhu tubuh nyamuk, keadaan energi dan perkembangan otot nyamuk. Meskipun Aedes aeegypti kuat terbang tetapi tidak pergi jauh-jauh, karena tiga macam kebutuhannya yaitu tempat perindukan, tempat mendapatkan darah, dan tempat istirahat ada dalam satu rumah. Keadaan tersebut yang menyebabkan Aedes aegypti bersifat lebih menyukai aktif di dalam rumah. Apabila ditemukan nyamuk dewasa pada jarak terbang mencapai 2 km dari tempat perindukannya, hal tersebut disebabkan oleh pengaruh angin atau terbawa alat transportasi (Sitio, 2008).
2.4 Survei Jentik
Menurut Depkes RI (2008), untuk mengetahui keberadaan jentik Aedes aegypti di suatu lokasi dapat dilakukan survei jentik sebagai berikut:
a. Semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat perkembang-biakan nyamuk Aedes aegypti diperiksa (dengan mata telanjang) untuk mengetahui ada tidaknya jentik.
b. Untuk memeriksa tempat penampungan air yang berukuran besar, seperti: bak mandi, tempayan, drum dan bak penampungan air lainnya. Jika pada pandangan (penglihatan) pertama tidak menemukan jentik, tunggu kira-kira ½ -1 menit untuk memastikan bahwa benar jentik tidak ada.
c. Untuk memeriksa tempat-tempat perkembangbiakan yang kecil, seperti: vas bunga/pot tanaman air/botol yang airnya keruh, seringkali airnya perlu dipindahkan ke tempat lain.
d. Untuk memeriksa jentik di tempat yang agak gelap, atau airnya keruh, biasanya digunakan senter.
Metode survei yang paling umum menggunakan prosedur pengambilan sampel jentik bukan pengumpulan telur atau nyamuk dewasa. Unit pengambilan sampel adalah rumah atau tempat yang secara sistematik akan ditelusuri untuk mencari penampung air. Penampung kemudian diperiksa untuk menentukan keberadaan jentik. Bergantung pada tujuan survey, pencarian akan segera dihentikan begitu jentik Aedes ditemukan atau tetap diteruskan sampai semua penampung diperiksa (WHO, 2004).
Metode survei jentik dapat dilakukan dengan cara (Depkes RI, 2008):
a. Single larva: Cara ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat genangan air yang ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut. b. Visual : Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya jentik di
setiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya.
Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik Aedes aegypti:
a. House Index (HI).
𝐻𝑜𝑢𝑠𝑒 𝑖𝑛𝑑𝑒𝑥 =jumlah rumah ditemukan jentik jumlah rumah yang diperiksa x 100% b. Container Index (CI)
𝐶𝑜𝑛𝑡𝑎𝑖𝑛𝑒𝑟 𝐼𝑛𝑑𝑒𝑥 =jumlah kontainer ditemukan jentikjumlah kontainer yang diperiksa x 100% c. Breteau Index (BI) adalah jumlah kontainer positif perseratus rumah yang
diperiksa.
𝐵𝑟𝑒𝑡𝑒𝑎𝑢 𝑖𝑛𝑑𝑒𝑥 =jumlah rumah ditemukan jentik100 rumah x 100%
d. Angka Bebas Jentik (ABJ)
Angka Bebas Jentik =jumlah rumah ditemukan jentik
Menurut Sari (2012) yang mengutip dari WHO, kepadatan nyamuk dikatakan tinggi dan berisiko tinggi untuk penularan DBD jika HI dan CI ≥ 5% serta nilai BI ≥ 20%. Sedangkan ABJ menurut standar nasional adalah ≥ 95% Tingginya kepadatan populasi nyamuk akan mempengaruhi distribusi penyebaran penyakit DBD.
House index pada umumnya digunakan untuk mengukur penyebaran populasi nyamuk di masyarakat. Ini merupakan indeks yang paling mudah dan cepat untuk mengamati keberadaan jentik. House index juga dapat digunakan untuk menghasilkan indikasi cepat dari penyebaran Aedes aegypti di suatu daerah. Container index
menghasilkan indikasi yang lebih detail dari jumlah populasi nyamuk yang terdapat dalam tempat penampungan air. Sedangkan Breteau index memuat hubungan antara rumah dan penampung positif dan dianggap sebagai indeks yang paling informatif, tetapi sekali lagi, produktivitas penampung tidak termuat. Breteau index digunakan untuk mengukur kepadatan nyamuk.
Walaupun demikian di dalam proses pengumpulan informasi dasar untuk menghitung breteau index akan lebih baik dan memungkinkan untuk mendapatkan profil tentang karakteristik habitat larva jika pencatatan jumlah berbagai tipe penampung yang sangat banyak itu, baik sebagai tempat yang potensial atau yang sebenarnya untuk perkembangbiakan nyamuk dilakukan secara bersamaan (misal, jumlah drum yang positif per 100 rumah, jumlah ban yang positif per 100 rumah, dsb.). Indeks ini khususnya relevan untuk memfokuskan upaya pengendalian pada manajemen atau pemusnahan habitat yang paling umum dan untuk orientasi pesan pendidikan dalam kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat (WHO, 2004).
2.5 Pengendalian Vektor Demam Berdarah Dengue
Menurut Sukowati (2010), beberapa metode pengendalian vektor telah banyak diketahui dan digunakan oleh program pengendalian DBD di tingkat pusat dan di daerah yaitu:
1. Manajemen Lingkungan
Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan untuk mengurangi bahkan menghilangkan habitat perkembangbiakan nyamuk vektor sehingga akan mengurangi kepadatan populasi. Manajemen lingkungan hanya akan berhasil dengan baik kalau dilakukan oleh masyarakat, lintas sektor, para pemegang kebijakan dan lembaga swadaya masyarakat melalui program kemitraan. Sejarah keberhasilan manajemen lingkungan telah ditunjukkan oleh Kuba dan Panama serta Kota Purwokerto dalam pengendalian sumber nyamuk.
2. Pengendalian Biologis
Pengendalian secara Biologis merupakan upaya pemanfaatan agent biologi untuk pengendalian vektor DBD. Beberapa agen biologis yang sudah digunakan dan terbukti mampu mengendalikan populasi larva vektor DB/DBD adalah dari kelompok bakteri, predator seperti ikan pemakan jentik dan cyclop (Copepoda).
a. Predator
Predator larva di alam cukup banyak, namun yang bisa digunakan untuk pengendalian larva vektor DBD tidak banyak jenisnya, dan yang paling
mudah didapat dan dikembangkan masyarakat serta murah adalah ikan pemakan jentik. Di Indonesia ada beberapa ikan yang berkembang biak secara alami dan bisa digunakan adalah ikan kepala timah dan ikan cetul. Namun ikan pemakan jentik yang terbukti efektif dan telah digunakan di kota Palembang untuk pengendalian larva DBD adalah ikan cupang.
Jenis predator lainnya yang dalam penelitian terbukti mampu mengendalikan larva DBD adalah dari kelompok Copepoda atau cyclops, Jenis ini sebenarnya jenis Crustacea dengan ukuran mikro. Namun jenis ini mampu makan larva vektor DBD. Beberapa spesies sudah diuji coba dan efektif, antara lain Mesocyclops aspericornis diuji coba di Vietnam, Tahiti dan juga di Balai Besar Penelitian Vektor dan Reservoir, Salatiga.
b. Bakteri
Agen biologis yang sudah dibuat secara komersial dan digunakan untuk larvasidasi dan efektif untuk pengendalian larva vector adalah kelompok bakteri. Dua spesies bakteri yang sporanya mengandung endotoksin dan mampu membunuh larva adalah Bacillus thuringiensis serotype H-14 (Bt. H-14) dan B. spaericus (BS). Endotoksin merupakan racun perut bagi larva, sehingga spora harus masuk ke dalam saluran pencernaan larva. Keunggulan agent biologis ini tidak mempunyai pengaruh negatif terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran. Kelemahan cara ini harus dilakukan secara berulang dan sampai sekarang masih harus disediakan oleh pemerintah melalui sektor kesehatan. Karena endotoksin berada di
dalam spora bakteri, bilamana spora telah berkecambah maka agent tersebut tidak efektif lagi.
3. Pengendalian Kimiawi
Pengendalian secara kimiawi masih paling populer baik bagi program pengendalian DBD dan masyarakat. Penggunaan insektisida dalam pengendalian vektor DBD bagaikan pisau bermata dua, artinya bisa menguntungkan sekaligus merugikan. Insektisida kalau digunakan secara tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu dan cakupan akan mampu mengendalikan vektor dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan organisme yang bukan sasaran. Penggunaan insektisida dalam jangka tertentu secara akan menimbulkan resistensi vektor.
4. Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat merupakan proses panjang dan memerlukan ketekunan, kesabaran dan upaya dalam memberikan pemahaman dan motivasi kepada individu, kelompok, masyarakat, bahkan pejabat secara berkesinambungan. Program yang melibatkan masyarakat adalah mengajak masyarakat mau dan mampu melakukan 3 M plus atau PSN dilingkungan mereka. Istilah tersebut sangat populer dan mungkin sudah menjadi trade mark bagi program pengendalian DBD, namun karena masyarakat kita sangat heterogen dalam tingkat pendidikan, pemahaman dan latar belakangnya sehingga belum mampu mandiri dalam pelaksanaannya.
Mengingat kenyataan tersebut, maka penyuluhan tentang vektor dan metode pengendaliannya masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat secara berkesinambungan. Karena vektor DBD berbasis lingkungan, maka penggerakan masyarakat tidak mungkin dapat berhasil dengan baik tanpa peran dari Pemerintah daerah dan lintas sektor terkait seperti pendidikan, agama, LSM, dll.
5. Perlindungan Individu
Untuk melindungi pribadi dari risiko penularan virus DBD dapat dilakukan secara individu dengan menggunakan repellent, menggunakan pakaian yang mengurangi gigitan nyamuk. Baju lengan panjang dan celana panjang bisa mengurangi kontak dengan nyamuk meskipun sementara. Untuk mengurangi kontak dengan nyamuk di dalam keluarga bisa memasang kelambu pada waktu tidur dan kasa anti nyamuk. Insektisida rumah tangga seperti semprotan aerosol dan repellent: obat nyamuk bakar, vaporize mats (VP), dan repellent
oles anti nyamuk bisa digunakan oleh individu. Pada 10 tahun terakhir dikembangkan kelambu berinsektisida atau dikenal sebagai insecticide treated nets (ITNs) dan tirai berinsektisida yang mampu melindungi gigitan nyamuk. 6. Peraturan Perundangan
Peraturan perundangan diperlukan untuk memberikan payung hukum dan melindungi masyarakat dari risiko penulan DB/DBD. Seperi telah penulis paparkan diatas bahwa DBD termasuk salah satu penyakit yang berbasis lingkungan, sehingga pengendaliannya tidak mungkin hanya dilakukan oleh
sektor kesehatan. Seluruh negara mempunyai undang-undang tentang pengawasan penyakit yang berpotensi wabah seperti DBD dengan memberikan kewenangan kepada petugas kesehatan untuk mengambil tindakan atau kebijakan untuk mengendalikannya. Dengan adanya peraturan perundangan baik undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan daerah, maka pemerintah, dunia usaha dan masyarakat wajib memelihara dan patuh.
2.6 Pemberantasan Sarang Nyamuk
Menurut Hatang (2010), Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) adalah kegiatan memberantas telur, jentik, dan kepompong nyamuk penular DBD di tempat-tempat perkembangbiakannya. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengendalikan populasi nyamuk Ae. aegypty sehingga penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Tempat-tempat yang menjadi sasaran PSN DBD adalah semua tempat perkembangbiakan nyamuk penular DBD seperti tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, TPA bukan untuk keperluan sehari-hari, dan tempat penampungan air alamiah. PSN DBD dilakukan dengan cara 3M, yaitu:
a. Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak mandi/WC dan drum seminggu sekali
b. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air seperti genntong, tempayan, dan tandon air.
c. Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan.
Selain itu, juga dilakukan langkah-langkah seperti (3M Plus):
a. mengganti air vas bunga, tempat minum burung, atau tempat lain yang sejenis seminggu sekali
b. Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar
c. Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon dengan tanah atau bahan lainnya
d. Menaburkan bubuk larvasida di tempat-tempat yang sulit untuk dikuras atau di daerah yang sulit air.
e. Memelihara ikan pemakan jentik di tempat penampungan air f. Memasang kawat kasa
g. Menghindari kebiasaan menggantung pakaian di dalam kamar h. Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruangan memadai i. Menggunakan kelambu
j. Menggunakan obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk, untuk aktivitas di dalam dan di luar rumah
Kegiatan PSN di dalam rumah dilaksanakan oleh anggota keluarga. Sedangkan PSN di tempat umum ditunjuk oleh pimpinan atau pengelola tempat umum tersebut.
2.7 Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2002), pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu indera pendengaran, penglihatan, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting utnuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Sebelum orang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni:
1. Awareness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu sebuah stimulus (objek).
2. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut, di sini sikap subjek sudah mulai timbul.
3. Evaluation (menimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya, hal ini berarti sikap responden sudah baik.
4. Trial, di mana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai apa yang dikehendaki oleh stimkulus.
5. Adaption, di mana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikap terhadap stimulus.
Sedangkan tingkat pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu:
1. Tahu
Tahu diartikan sebagai mengingat suat materi yang telah dipelajari sebelumnya. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
2. Memahami
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar objek yang diketahui, dan dapat meninterpretasikan materi tersebut secara benar.
3. Aplikasi
Aplikasi yaitu sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. Aplikasi dapat diartikan sebagai penggunaan hokum-hukum, rumus-rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam kontek atau situasi yang lain.
4. Analisis
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu materi atau objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih berkaitan satu sama lainnya, misalnya penggunaan kata kerja.
5. Sintesis
Sintesis yaitu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagianbagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain,
sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun suatu formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada, misalnya dapat menyusun, merencanakan, meringkaskan, menyesuaikan, dsb, terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi
Evaluasi yaitu kemampuan untuk justifikasi atau penilaian terhadap materi atau objek. penialaian-penilaian ini berdasarkan suatu criteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
Pengetahuan dapat diibaratkan sebagai suatu alat yang dipakai manusia dalam memecahkan persoalan yang dihadapinya. Pengetahuan tentang penyakit misalnya dapat bermanfaat bagi seseorang untuk untuk menjaga agar dirinya tidak tertular oleh penyakit tersebut. Pengetahuan pada hakekatnya adalah segenap apa yang diketahui manusia tentang suatu objek tertentu, termasuk didalamnya tentang ilmu. Pengetahuan dapat diperoleh melalui melihat atau mendengar kenyataan, selain itu juga dapat diperoleh melalui pengalaman dan proses belajar dalam pendidikan, baik yang bersifat formal maupun informal.
2.8 Landasan Teori
Kejadian penyakit merupakan hasil hubungan interaktif antara manusia dan perilakunya serta komponen lingkungan yang memliki potensi penyakit. patogenesis penyakit dalam perspektif lingkungan dan kependudukan dapat digambarkan dalam teori simpul (Achmadi, 2011).
1. Simpul 1: Sumber Penyakit
Sumber penyakit adalah titik yang menyimpan atau menggandakan agen penyakit serta mengeluarkan agen penyakit. Agent penyakit adalah komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan penyakit melalui media perantara.
Penyakit DBD disebabkan oleh virus Dengue yang termasuk kelompok B anthropoda borne virus (Arboviruses). dikenal sebagai genus
Flavivirus, famili Flaviviridae dan mempunyai empat jenis serotype, yaitu: DEN-1, DEN–2, DEN–3 dan DEN–4. Keempat serotype virus Dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.
2. Simpul 2: Media Transmisi Penyakit
Ada 5 komponen lingkungan yang dapat memindahkan agent penyakit yang kita kenal sebagai media transmisi penyakit yaitu udara ambient, air, tanah/pangan, binatang/serangga/vektor, dan manusia melalui kontak langsung. Media transmisi tidak akan memiliki potensi penyakit jika di dalamnya tidak mengandung agent penyakit.
Demam Berdarah Dengue ditularkan nyamuk Aedes aegypti maupun
Aedes albopictus. Yang paling berperan dalam penularan penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti karena hidupnya didalam rumah, sedangkan Aedes albopictus hidupnya di kebun-kebun sehingga lebih jarang kontak dengan manusia.
3. Simpul 3: Perilaku Pemajanan/Biomarker
Hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan penduduk berikut perilakunya dapat diukur dalam konsep yang disebut sebagai perilaku pemajanan. Apabila kesulitan mengukur besaran agent penyakit, maka diukur dengan cara tidak langsung yang disebut sebagai biomarker.
Kasus demam berdarah dengue ditandai dengan demam tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali dan sering kali ditandai dengan hemokonsentrasi. Pemeriksaan darah pasien sangat membantu untuk menegakkan diagnosa yang akurat terhadap pasien DBD. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan hematokrit dan nilai hematokrit yang tinggi (sekitar 50 % atau lebih) menunjukkan adanya kebocoran plasma, selain itu hitung trombosit cenderung memberikan hasil yang rendah.
4. Simpul 4: Kejadian Penyakit
Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara penduduk dengan lingkungan yang memliliki potensi bahaya gangguan kesehatan. Manifestasi dampak akibat hubungan antara penduduk dengan lingkungan menghasilkan penyakit pada penduduk.
Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.
Berdasarkan uraian diatas maka sumber penyakit, media transmisi, proses interaksi dengan penduduk, serta outcome penyakit dapat digambarkan sebagai model kejadian penyakit atau paradigma kesehatan lingkungan sebagai berikut :
Gambar 2.2 Landasan Teori Modifikasi Achmadi (2011) Virus Dengue Nyamuk Aedes Pemeriksaan Darah − Sehat − Sakit
Simpul 1 Simpul 2 Simpul 3 Simpul 4
Variabel lain yang berpengaruh :
Keberadaan Jentik, Pengetahuan, Praktik Pemberantasan Sarang
N k Sumber Penyakit Media Transmisi Perilaku Pemajanan/ Kejadian Penyakit
2.9 Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori di atas, maka penelitian ini menggunakan kerangka teori sebagai berikut:
Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian Pengetahuan Praktik Pemberantasan Sarang Nyamuk Kejadian Demam Berdarah Dengue Keberadaan Jentik