• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

112 BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Film dokumenter Jember menyajikan diskursus visual sebagai ruang kontestasi dan negosiasi subaltern. Pertanyaan mengenai posisi dan suara subaltern kerap dicermati sebagai yang mencoba bangkit dan melakukan resistensi dari subordinasi elit. Subaltern terus dikonstruksi dalam ruang sosial yang dinamis dan pergerakannya memunculkan interpretasi yang beragam pula. Interseksi dan jalinan isu lokal dan global menjadi rantai permasalahan isu pembangunan dan identitas yang kompleks.

Seperti halnya dideskripsikan dalam bab dua yang menjelaskan representasi subaltern, terdapat tiga jalur diskursus yang disebut sebagai konstruksi identitas subaltern, yaitu kuasa pengetahuan NGO, universitas yang berisi intelektual akademisi, dan intelektual kaum muda yang mengikuti kompetisi film dokumenter melalui Eagle Award Documentary Competition (EADC). Ketiga jalur tersebut memperlihatkan kecenderungan tentang bangun identitas subjek Jember sebagai petani yang berkaitan dengan tiga hal, yaitu politik, religiusitasnya (keislamannya) dan Sang Liyan. Merujuk subjek dan simbol keagaman yang dikenakan maupun ditampilkan dalam frame-frame dokumenter mana saja serasa melihat subalternitas yang tersamar dalam kerangka pikir, balutan simbol dan kehadiran yang lain.

Lugu, pekerja keras dan sederhana sebagai ciri rural melekat dalam imej petani yang disodorkan film dokumenter Jember produksi ketiga jalur kuasa pengetahuan tersebut. Kemudian penampilan petani yang berkerudung dan berkopyah mempererat jalinan moral religi dengan dimunculkannya masjid dalam kebanyakan dokumenter yang diproduksi. Sementara itu, relasi petani dengan di luar dirinya dipertontonkan sebagai yang didominasi dan mendominasi. Hal ini didasarkan pada aturan main dan kontur kapitalisme yang tidak mulus namun berkembang yang melanda jantung-jantung rural. Kekuasaan dalam konteks ini menjadi percepatan diskursus perihal resistensi dan formasi subaltern.

(2)

113 Dengan demikian pembacaan dan pembicaraan mengenai visualitas subjek yang membentuk formasi subaltern dalam dokumenter Jember dapat dipertimbangkan dalam tiga hal. Pertama, petani dan politik. Kedua, petani dan keislaman dan yang ketiga adalah petani dan Sang Liyan. Persoalan yang muncul dalam diskursus petani dan politik adalah dekonstrusi dalam dokumenter Pendidikan Demokrasi Rakyat yang memunculkan subalternitas pada level yang berbeda. Subjek petani yang hidup dalam lingkup rural dimana pandangan tentang kehidupan rural dikonstruksi menjadi sederhana selama ini kemudian didekonstruksi menjadi cara pandang yang urban. Petani dalam lingkup kehidupan rural dilihat sebagai subjek lugu berpendidikan rendah sehingga tidak memahami politik dalam artian demokrasi. Rezim Orde Baru selama ini merujuk demokrasi dengan menggunakan istilah pesta pemilihan umum. Kegagalan dokumenter ini merujuk hal yang sama, bahwa demokrasi adalah persoalan memilih (menentukan pilihan bagi pemimpin) dengan segala proses teknisnya saja.

Sementara itu, subjek lugu dengan pendidikan rendah dan tidak paham politik didekonstruksi menjadi petani yang paham politik dan mempunyai pendidikan tinggi (melalui sosok Ir. Agus Salim, calon Kades Pancakarya). Selain itu ditambahkan bahwa sosok Agus Salim sebagai representasi petani yang pulang ke asal, mengerti kebutuhan dan kehidupan petani Jember sehingga dianggap cocok sebagai pemimpin petani. Selanjutnya dalam Tembakau Segurat Sejarah, petani dimunculkan sebagai yang menuntut hak atas tanah dan hak untuk menanam tembakau. Persoalan artikulasi dan afiliasi gerakan petani muncul dalam spanduk latar ketika petani menceritakan ketergantungan pada tanaman tembakau dalam dokumenter Tembakau Segurat Sejarah. Dokumenter menjadi alat yang mendorong petani bersuara.

Sementara itu, sosok petani dalam dokumenter Dari Kopi Sampai Ngopi divisualisasi sebagai petani kopi lokal yang sedang memperjuangkan posisinya ditengah ketenaran produk kopi. Sayangnya, dokumenter tersebut memuat jukstaposisi isu pemberdayaan petani dalam struktur naratif dan visualitas yang lebih didominasi oleh elit intelektual, baik pemerintah, akademis maupun kaum muda. Petani menjadi subaltern yang disingkirkan dari wacana utama kapitalisasi

(3)

114 kopi yang seakan tidak disadari. Petani disingkirkan dari arus wacana produksi dan penikmatan kopi yang hari ini diakuisisi oleh industri dan diakui sebagai produk kapitalis.

Sebagai representasi EADC, film dokumenter JFC Merajut Impian Di Atas Catwalk Jalanan dan Para Harimau Yang Menolak Punah disebut sebagai yang memberikan corak penting bangun subaltern dalam isu kebudayaan dan pembangunan. JFC (Jember Fashion Carnaval) dihadirkan sebagai bentuk kebudayaan baru yang berhasil menawarkan wajah baru Jember yang membuka peluang mengikutsertakan Jember dalam peta politik identitas nasional dan global. Sedangkan Para Harimau Yang Menolak Punah melihat ruang perebutan sumber daya ekonomi berupa tambang emas sebagai masuknya kapitalis dan menahan pergerakannya melalui isu ekologi.

Masih dalam bab dua yang berbicara tentang representasi subaltern, isu sumber daya ekonomi dan ekologi menjadi salah satu diskursus utama yang diketengahkan menjadi polemik pembangunan di Jember dan dikaitkan dengan kemunculan dokumenter yang menjadi bahasan penulisan ini. Keinginan begerak dari struktur masyarakat agraris menjadi masyarakat berbasis agro-industri dengan menggantungkan pada masuknya kapital dan teknologi menjadikan Jember sebagai wilayah yang dipertanyakan kapasitasnya untuk menjembatani permasalahan industri. Misalnya, yang digambarkan oleh dokumenter Seribu Jadi Satu Save Gumuk mengenai perubahan pola pemukiman penduduk dengan masuknya bisnis real estate. Konsekuensi yang harus ditanggung dan dipertimbangkan adalah degradasi ekologi akibat penggalian tanah gumuk untuk keperluan pembangunan rumah tinggal yang diprakasai oleh developer perumahan dan disambut oleh pemilik gumuk. Isu ini menjadi sorotan dalam dokumenter tersebut.

Imej petani Jember muncul sebagai kelas pekerja Islami yang dikonstruksi merupakan pekerja keras. Dan di sisi lain didekonstruksi untuk tidak sekedar pasrah dan menyerah kepada takdir. Bentuk usaha berlambang Islam kembali diwujudkan dalam Istighosah sebagai doa perlawanan terhadap tambang dalam Para Harimau Yang Menolak Punah. Sementara tanpa bantuan lembaga manapun

(4)

115 dan label apapun, petani Pace menyuarakan penolakan tambangnya melalui jalur birokrasi yang hingga kini tidak mendapat pejelasan hukum apapun. Di sisi lain, kehadiran Sang Liyan mengitari persoalan eksploitasi tambang emas yang sudah ada sebelumnya. Bentuk pembatasan berupa tanah air adalah benteng terakhir yang juga dipencudangi dengan munculnya masyarakat pro tambang.

Bab ketiga mendiskusikan bagaimana realitas visual subaltern menjadi refraksi yang dideskripsikan sebagai percabangan keberagaman realitas yang menjadi diskursus lain disamping diskursus utama tentang penolakan tambang. Dalam konteks ini, subaltern hadir sebagai yang aktif dalam persebaran diskursus apapun. Refraksi atau keterpencaran realitas dilihat sebagai yang memungkinkan munculnya paradoks dalam dokumenter Para Harimau Yang Menolak Punah. Refraksi ini antara lain dapat dicermati dalam penyajian narasi visual mengenai sumber daya ekonomi dan degradasi ekologi yang menempatkan subaltern sebagai penentang kapitalis dan pemerintah. Namun di sisi lain subaltern turut menikmati momen kasus mengambang tersebut dengan menyisipkan kepentingannya sendiri melalui suara elit ataupun yang lain.

Refraksi berikutnya dijelaskan dalam posisi subjek film yang carut marut dan saling bersinggungan posisi dan kepentingannya. Beberapa subjek tampak sejalan dengan misi utama penolakan tambang dan terlihat vis a vis dengan pihak-pihak yang dituduh memiliki kepentingan berlawanan. Keunggulan mengamati beroperasinya refraksi adalah memungkinkan altrnatif pembacaan visual yang berbeda sehingga ketika didukung oleh metode dekonstruksi, opsi analisis menjadi semakin terbuka. Dalam konteks mendiskusikan posisi subaltern, penyamaran dan pertautan kepentingan subaltern dapat ditelanjangi dalam metodenya membagi diri melalui peristiwa baik penolakan tambang, abstain, maupun diam-diam mengafirmasi kepentingan tambang. Pergolakan ini dieksplorasi pada isu Islam dan konflik pertambangan dimana Islam menjadi identitas sekaligus kendaraan kepentingan subaltern.

Negosiasi sebagai salah satu mata pisau yang plastis membuahkan ruang ketiga menjadi pembahasan pada bab empat. Analisis temuan visual menunjukkan munculnya ruang ketiga yang didiami dan ditumbuhkan subaltern sebagai praktik

(5)

116 kultural dan formasi penyuaraannya. Subaltern dalam wilayah ini diperhitungkan sebagai yang aktif dan mampu memanfaatkan posisi dirinya dalam mengartikulasikan hasratnya. Pembahasan mengenai hasrat ekonomi tersembunyi subaltern menjadi hal lain yang mengganggu dalam konstruksi posisi subordinat mereka. Hal ini membuka asumsi pemikiran lain bahwa subaltern dapat menegosiasikan posisi sebagai yang memiliki taktik dalam memperjuangkan kepentingan ekonominya dengan memanfaatkan relasinya dengan Sang Liyan.

Sementara itu, dalam ruang ketiga subaltern juga dipikirkan munculnya mitos virtual Harimau Jawa. Subaltern mendorong kapabilitasnya menciptakan ruang baru yang dapat menopang gagasannya melalui mitos virtual. Subaltern memahami bahwa penyelamatan ekologi dari dampak eksploitasi tambang perlu dilakukan dengan cara baru, yang sama sekali berbeda dengan tradisi mitos lisan. Melalui permainan kepercayan terhadap eksistensi Harimau Jawa yang masih kabur, subaltern menggunakan taktik wilayah pengkaburan yang serupa untuk menunjukkan eksistensi Harimau Jawa melalui imej jejak Harimau dan bekas goresan pada batang pohon dalam ruang virtual. Pemanfaatan teknologi kamera yang terhubung dengan satelit (GPS) memapankan sekaligus mempertanyakan eksistensi Harimau Jawa dalam batasan terjauh imajinasi.

Islam menjadi identitas yang melekat pada subaltern sebagai yang aktif dalam ruang ketiga. Konstruksi kedekatan Islam dengan isu eksploitasi tambang dapat dilihat sebagai bentuk politik identitas subaltern. Simbolisasi dan praktik religiusitas Islam yang melekat pada masyarakat Pace menimbulkan interpetasi keterlibatan politik identitas dalam ranah permasalahan tambang, semisal pemakaian peci dan pelaksanaan istighosah. Islam juga menjadi artikulasi organisasi agama seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang disebut berpartisipasi atau menyikapi permasalahan tambang emas di Jember. Agenda politis dengan demikian tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan Islam yang melekati maupun dilekati subaltern guna mencapai posisi dalam isu tambang.

Di luar itu, gagasan tentang paradoks posisi dan kepentingan subaltern seakan menyatu dan tersamar bersama taktik mereka. Paradoks ini terlihat terutama dari pemosisian Liyan atau yang disebut sebagai pendatang atau orang di

(6)

117 luar dirinya (dalam kajian film dokumenter Para Harimau Yang Menolak Punah seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa penggunaan konsep subaltern didasarkan pada relasi sosialnya). Pendatang sebagai pekerja tambang dianggap ilegal (karena bekerja di tambang yang juga dianggap ilegal) diperlakukan sebagai viktim sekaligus dikriminalisasi. Pendatang diperlukan sebagai penyamaran hasrat ekonomi yang sebenarnya dipuja.

Paradoks tersebut menggarisbawahi apa yang diajukan sebagai bentuk insureksi dan pengkhianatannya. Persembunyian subaltern di dalam ruang ketiga baik dikondisikan maupun hadir sebagai konsekuensi diseminasi interpretasi merupakan celah pendobrakan terhadap dominasi dan hegemoni kelompok superordinat atau elit. Dengan begitu semakin menegaskan posisi subaltern dalam diskursus kuasa pengetahuan sebagai yang terbuka dan cair. Penempatan subaltern dalam ruang ketiga inilah yang kemudian memunculkan cara pandang baru dengan membentuk kebenaran baru, neo- vérité.

5.2 Refleksi Riset

Riset ini memiliki limitasi terkait pembacaan teks yang belum sempurna. Dalam hal ini yang dimaksud adalah argumentasi pemosisian dan interpretasi terhadap apa yang dimaksudkan sebagai teks dan bagaimana mempertemukan arah posisi riset dan metodologi yang tepat. Riset ini berjalan pada apa yang disebut sebagai fragmentasi ekperimen ketika dihadapkan dengan ruang representasi visual dan pertanyaan-pertanyaan imajinatif yang mungkin memerlukan pembacaan yang lebih canggih pada ruang realitas sosial yang berbeda.

Sementara, penelusuran studi mengenai kompleksitas isu subaltern dalam jejaring permasalahan ekonomi, ekologi dan identitas belum terjangkau sepenuhnya. Hal tersebut merupakan penundaan posisi subaltern yang menunggu pertanyaan-pertanyaan riset selanjutnya. Isu dinamika subaltern dalam lingkup lokal perlu dijelaskan pada tingkat yang lebih luas semisal hubungannya dengan ruang lingkup kebangsaan (nationhood) nasional dan globalisme. Sedangkan permasalahan sumber daya ekonomi dan manusia yang bergerak pada konstruksi pemikiran kontemporer harus segera dihadapi dan diselidiki lebih lanjut.

(7)

Referensi

Dokumen terkait

Upaya untuk mengatasi hal tersebut kami mengikuti sosialisasi BOS ditingkat kecamatan dan meminta bantuan dari UPTD untuk dibimbing dalam pembuatan RKAS sehingga

Pada gambar 4.5 menunjukkan bahwa pada penelitian ini formulasi edible film dari campuran 3g tepung tapioka, 3 ml kitosan 2%, 1 ml gliserin, dan 1 g ektrak kulit

caesaria. Penelitian pada tahun 2001, persalinan di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan sebanyak 290 kasus dengan 69 kasus tindakan sectio caesaria. Sedangkan di Rumah Sakit

Autisme berdasarkan Individuals with Disabilities Education (IDEA) yang dikutip oleh Rahardja (2006) adalah kelainan perkembangan yang secara signifikan berpengaruh

Dalam penelitian ini, penulis menerapkan pembelajaran dengan menggunakan modul kimia inovatif berbasis model pembelajaran Problem Based Learning bertujuan untuk

 Sistem Satelit Lingkungan Operasional Berorbit Polar Nasional adalah suatu sistem satelit yang akan digunakan untuk memantau kondisi lingkungan global, dan

Maka dari model regresi ini dapat disimpul- kan bahwa corporate governance (kepemilikan institusional, kualitas audit, komisaris independen, komite audit), profitabilitas

Berdasarkan hasil penelitian, dalam naskah cerita Makyong Wak Prambun, dari 29 butir tunjuk ajar Melayu 19 butir di antaranya terkandung dalam dialog-dialog yang ada pada