• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK SEWA MENYEWA TANAH DALAM PRODUKSI BATU BATA DI DESA KARANGDUREN KECAMATAN KEBONARUM KABUPATEN KLATEN SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK SEWA MENYEWA TANAH DALAM PRODUKSI BATU BATA DI DESA KARANGDUREN KECAMATAN KEBONARUM KABUPATEN KLATEN SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh :

AHMAD HANAFI ZAKARIYA

214 11 006

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

(2)

i

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh :

AHMAD HANAFI ZAKARIYA

214 11 006

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

(3)
(4)
(5)
(6)

v

“Belajar dari masa lalu, hidup untuk hari ini, berharap untuk

hari esok. Yang penting kita tidak

pernah berhenti bertanya.”

Albert Einstein

(7)

vi

Bapak dan ibu ku tercinta, yang telah banyak menyalurkan

pemberian dari Allah serta telah sering merepotkan kalian. Maaf

telah lama menunggu untuk ini.

(8)

vii

Dengan segala rahmat dan ridho dari Allah subhanahuwata’ala yang telah memberikan ilmu dan keajaibannya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Rasulullah, Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wasallam yang telah membimbing ke shirotol

mustaqim.

Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar sarjana hukum. adapun judul skripsi ini adalah “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK SEWA MENYEWA

TANAH DALAM PRODUKSI BATU BATA DI DESA KARANGDUREN KECAMATAN KEBONARUM KABUPATEN KLATEN”.

Penulisan skripsi ini tidak lepas dari berbagai pihak yang telah memberikan dukungan moril maupun materiil. Dengan penuh kerendahan hati,

penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. H. Rahmad Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga

2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Akademik.

3. Ibu Evi Ariyani, M.H. selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Syariah IAIN Salatiga.

(9)

viii

kepada penulis hingga studi ini dapat selesai.

6. Bapak dan ibu pegawai kelurahan Karangduren serta warga masyarakat di Desa Karangduren yang telah ikut membantu dalam proses penelitian skripsi ini.

7. Kedua orang tua penulis yang tak henti-hentinya memberikan dukungan, semangat dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa

suatu halangan.

8. Kakak, adik, om, bulek dan segenap keluarga penulis yang senantiasa memberikan motivasi pada penulis untuk menyelesaikan skripsi.

9. Sejawat-sejawat MAPALA MITAPASA serta FORSA MITAPASA yang telah membantu membangun karakter serta pemikiran penulis.

10.Warga serta pengasuh Pondok pesantren al-Islah Tingkir Lor, warga PKM 1 IAIN Salatiga, Crew Its’milk Salatiga yang telah memberikan begitu banyak pengalaman serta tempat berteduh bagi penulis yang bodoh ini.

11.Teman-teman Bidikmisi IAIN Salatiga, Ikamaksuta Salatiga, teman-teman HES, dan semua pihak yang tidak bisa penuliskan satu per satu, yang telah

menjadi teman penulis dalam kehidupan di Salatiga ini.

Semoga alam mereka diterima sebagai ibadah oleh Allah SWT serta mendapatkan balasan yang berlipat ganda lebeih dari apa yang mereka berikan

(10)
(11)

x

Kecamatan Kebonarum Kabupaten Klaten. Skripsi, Fakultas Syari’ah. Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah (Muamalah). Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing : Prof. Dr. H. Muh Zuhri, M.A. Kata Kunci : Hukum Islam, Sewa Menyewa, Tanah, Produksi Batu Bata

Sewa menyewa atau di dalam Fiqh disebut Ijarah adalah akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Sewa menyewa tanah di Desa Karangduren terjadi karena kebutuhan pembuat batu bata untuk produksi sedangkan pemilik tanah yang tidak memiliki waktu untuk mengelola tanahnya sendiri. Dalam prakteknya sewa menyewa ini mengalami penyimpangan, dimana pihak penyewa mengambil material tanah untuk bahan baku pembuatan tanah, sedangkan pada hakikatnya sewa menyewa adalah jual beli atas manfaat suatu objek tanpa adanya pemindahan hak kepemilikan (objek akad tidak boleh rusak/berkurang zatnya). Penelitian tentang terjadinya akad sewa menyewa tanah di Desa Karangduren Kecamatan Kebonarum Kabupaten Klaten dalam produksi batu bata ini ditujukan pada kedua belah pihak yang melakukan perjanjian dan akad yang membangun terjadinya perjanjian ini. Adapun permasalahan yang akan dikaji yakni : Bagaimana pelaksanaan perjanjian sewa menyewa tanah dalam produksi batu bata di Desa Karangduren Kecamatan Kebonarum Kabupaten Klaten. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap praktek sewa menyewa tersebut. Bagaimana bentuk akad yang sesuai untuk perjanjian sewa menyewa tersebut.

(12)

xi

(13)

xii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Kegunaan Penelitian ... 4

E. Tinjauan Pustaka ... 4

F. Definisi Operasional ... 6

G. Metode Penelitian ... 7

(14)

xiii

1. Al- Qur’an ... 15

2. Hadits Nabi ... 18

3. Ijma’ ... 21

4. Kaidah Fiqh ... 21

C. Rukun dan Syarat ... 22

1. Rukun Ijarah ... 22

2. Syarat Ijarah ... 24

D. Hak dan Kewajiban Para Pihak ... 27

E. Batal dan Berakhirnya Perjanjian ... 28

F. Multi Akad ... 29

1. Pengertian Multi Akad (Al-‘Uqud Al- Murakkabah) ... 29

2. Hukum Multi Akad ... 30

3. Batasan dan Standar Multi Akad ... 32

BAB III PELAKSANAAN SEWA MENYEWA TANAH DALAM PRODUKSI BATU BATA DI DESA KARANGDUREN KECAMATAN KEBONARUM KABUPATEN KLATEN A. Gambaran Umum Geografis dan Demografis Desa ... 38

1. Batas-batas wilayah ... 38

(15)

xiv

B. Pelaksanaan Sewa Menyewa Tanah dalam Produksi Batu

Bata ... 41 1. Sejarah Singkat Batu Bata ... 41 2. Terjadinya Akad Sewa Menyewa dan Sebab-sebab

Terjadinya Sewa Menyewa ... 44 3. Penentuan Harga Sewa Menyewa Dalam Sewa Menyewa

di Lapangan ... 47 4. Resiko dalam Pelaksaan Sewa Menyewa Serta Pasca

Masa Sewa Berakhir ... 48

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SEWA MENYEWA

TANAH DALAM PRODUKSI BATU BATA ... 51

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 59 B. Saran ... 60

(16)

xv 2. Surat penunjukan pembimbing Skripsi 3. Surat ijin penelitian

4. Lembar konsultasi Skripsi

5. Peta Wilayah Desa Karangduren

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam menjalani kehidupan, manusia tidak akan lepas dari hubungan antar manusia. Selain hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia juga harus menjalani hubungan antara manusia dengan manusia

dan manusia dengan alam.

Dalam hubungan manusia dengan manusia Islam menyebutnya

dengan Muamalah. Di dalam Mualamah ini banyak aturan serta ajaran yang telah diatur dalam syari’ah, yaitu salah satunya tentang Ijarah atau sewa-menyewa.

Terdapat beberapa pendapat tentang pengertian Ijarah. Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqh Syafi’i, berpendapat bahwa

Ijarah berarti upah-mengupah. Sedangkan Kamaludin A. Marzuki sebagai penerjemah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan Ijarah dengan sewa-menyewa, (Suhendi, 2014:113)

Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang menurut bahasanya ialah al-‘iwadh yang dalam bahasa Indonesia berarti ganti atau upah. Sedangkan

(18)

Ijarah sebagai sewa-menyewa, yang diartikan dengan pengambilan manfaat dengan jalan penggantian.

Masyarakat di Desa Karangduren Kecamatan Kebonarum Klaten telah banyak yang mempraktikkan atau menerapkan hubungan

sewa-menyewa ini. Salah satu objek sewa-sewa-menyewanya adalah sewa-sewa-menyewa tanah. Sewa-menyewa tanah di sini bukanlah sewa-menyewa untuk ditanami atau pun bercocok tanam, tetapi sewa-menyewa tanah yang

digunakan untuk memproduksi batu bata. Sedangkan tanah yang biasa untuk produksi adalah lahan tanah persawahan. Sebenarnya lahan

persawahan di desa tersebut tidaklah kekurangan air untuk irigasi cocok tanam padi. Tetapi terjadinya sewa-menyewa ini dikarenakan faktor keahlian pembuat batu bata yang tidak bisa produksi dikarenakan

kekurangan lahan, bahkan tidak mempunyai lahan. Disisi lain, terdapat orang yang mempunyai lahan tetapi tidak bisa untuk memanfaatkan lahan

yang ia miliki. Disebabkan oleh kurangnya waktu ataupun keahlian untuk mengolah lahan tersebut agar menjadi lahan yang bermanfaat. Disinilah terjadinya kejadian saling menguntungkan, antara orang yang mempunyai

keahlian dengan orang yang mempunyai lahan.

Dalam prakteknya, objek yang disewakan diambil materialnya oleh

(19)

pemindahan hak kepemilikan, Imtiyanah (2015) mengartikan objek akad tidak boleh rusak/berkurang zatnya.

Berangkat dari paparan latar belakang tersebut, penulis bermaksud untuk mengkaji pelaksanaan pratek sewa menyewa di Desa Karangduren

Kecamatan Kebonarum Kabupaten Klaten. Penulis melakukan kajian dari sudut pandang hukum islam, maka penulis melakukan penelitian dan

penulisan skripsi dengan judul : “TINJAUAN HUKUM ISLAM

TERHADAP PRAKTEK SEWA MENYEWA TANAH DALAM PRODUKSI BATU BATA DI DESA KARNGDUREN KECAMATAN

KEBONARUM KABUPATEN KLATEN”.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut maka kami merumuskan beberapa permasalahan:

1. Bagaimana pelaksanaan perjanjian sewa menyewa tanah dalam produksi batu bata di Desa Karangduren Kecamatan Kebonarum Kabupaten Klaten?

2. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap praktek sewa menyewa tersebut?

(20)

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka kami bertujuan :

1. Untuk mendeskripsikan perjanjian yang terjadi dalam sewa menyewa tanah untuk produksi Batu Bata di Desa Karangduren Kecamatan

Kebonarum Kabupaten Klaten.

2. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam terhadap praktek perjanjian sewa menyewa tersebut.

3. Untuk mengetahui jenis akad yang sesuai dengan pelaksanaan perjanjian sewa menyewa tanah tersebut.

D. Kegunaan Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam memberkan kontribusi

pemikiran bagi khasanah ilmu pengetahuan hukum Islam, khususnya mengenai masalah sewa menyewa.

2. Penelitian ini dapat menjadi gambaran untuk pembaca terutama masyarakat dalam melihat praktek ber-muamalah mereka apakah sudah selaras dengan tuntunan agama Islam atau belum.

E. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan penelusuran penulis, terdapat beberapa penelitian karya ilmiah yang sudah membahas tentang sewa menyewa tanah. Salah satu karya yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sewa

(21)

Kabupaten Temanggung Jawa Tengah” oleh saudari Imtiyanah, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Karya ini membahas tentang

akad perjanjian yang digunakan dalam sewa menyewa tanah untuk produksi batubata. Imtiyanah menyimpulkan bahwa dalam praktek sewa

menyewa tanah di Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung terdapat dua sewa menyewa tanah, yang pertama sewa menyewa tanah untuk peroduksi batu bata saja, dan pengambilan material tanah dari luar tanah sewa. Dan

juga ada sewa menyewa tanah sekaligus pengambilan material batu bata dari tanah tersebut. Sedangkan akad yang digunakan dalam sewa menyewa

tanah tersebut juga terdapat dua akad. Yang pertama akad sewa menyewa murni, karena lahan yang digunakan sebagai lahan produksi saja. Sedangkan yang kedua adalah multi akad al-uqud al-mujtamiah. Dimana

dalam prateknya terdapat akad jual beli tetapi tidak menghilangkan akad sewa menyewanya. Dan menurut Imtiyanah akad yang berlangsung dalam

pratek kejadian ini adalah sah, karena telah memenuhi ketentuan akad secara khusus maupun umum.

Dan juga skripsi yang berjudul tinjauan “Hukum Islam Terhadap

Praktek Sewa Tanah Pembuatan Batubata Merah (Sudi Kasus Di Desa Kebasen Kecamatan Kebasen Kabupaten Banyumas)” yang di tulis oleh

Hawa Santika, Fakultas Syari’ah IAIN Purwokerto. Karya ilmiyah ini juga membahas tetang bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pratek sewa menyewa lahan untuk pembuatan batubata. Berdasarkan kesimpulan

(22)

perjanjian sukarela dan tidak ada paksaan, dan telah sesuai dengan adat istiadat disana. Namun karena penelitian dilakukan berdasarkan hukum

Islam, peneliti pun menemukan bahwa praktek sewa menyewa ini tidak sesuai dengan kaedah hukum Islam. Karena terdapat pengambilan material

atau zat objek sewa yang mengakibatkan kerusakan yang fatal terhadap objek tersebut. Adanya kerusakan objek yang ditimbulkan oleh penyewa tanah secara sengaja hal tersebut mengakibatkan fasakh

(rusak/pembatalan) pada akad sewa yang berlangsung karena hal tersebut telah melanggar Syari’at Islam.

F. Definisi Operasional

1. Sewa Menyewa (Ijarah). Menurut Kamaludin A. Marzuki sebagai

penerjemah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq, menjelaskan makna Ijarah dengan Sewa Menyewa. Ijarah menurut Sayyid Sabiq ialah

suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian (Suhendi, 2014:115).

2. Produksi

Hal menghasilkan barang-barang pembuatan, penghasian; apa yang dihasikan (diperbuat).

3. Batu bata

Batu bata merupakan salah satu bahan material sebagai bahan pembuat dinding. Batu bata terbuat dari tanah liat yang dibakar

(23)

4. Hukum Islam

Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan atau Sunnah

Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam. (Syarifuddin, 2005:9)

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan field research dengan

meggunakan pendekatan kualitatif yaitu melakukan pembahasan terhadap kenyataan atau data yang ada dalam praktek. Yang kemudian akan dihubungkan dengan pendekatan secara langsung

terhadap penelitian. Jenis penelitian ini merupakan penelitian studi lapangan dengan metode penellitian yang dilakukan yaitu

penelitian kualitatif yang bersifat yuridis sosiologis, yang bertujuan untuk memaparkan tentang sewa menyewa lahan tanah untuk produksi batubata.

2. Kehadiran Peneliti

Peneliti bertindak sebagai instrumen pengumpul data yang mana peneliti melakukan wawancara dan melakukan observasi serta menganalisis hasil data-data yang dihasilkan. Dalam

(24)

bertindak sebagai peneliti sekaligus pengamat. Kehadiran peneliti disini diketahui statusnya oleh subjek yang diteliti.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di Desa Karangduren Kecamatan Kebonarum Kabupaten Klaten Jawa Tengah.

4. Subjek dan Informan Penelitian

Subjek penelitian adalah pemillik tanah dan pembuat batu bata.

5. Sumber Data

Jenis data yang peneliti gunakan :

a. Data Primer

Data yang diperoleh muerupakan sebuah keterangan atau

hasil yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan. Dalam hal ini adalah data yang didapat dari hasil wawancara dari subjek yang diteliti serta pengamatan di lokasi penelitian. Objek

wawancara yaitu aparatur desa, dan kedua belah pihak yang melakukan akad (penyewa dan pemilik tanah).

b. Data Sekunder

Data ini merupakan data pendukung dari data primer. Data sekunder adaah data yang diperoleh peneliti dari sumber

(25)

Mu’amalah, Fatwa MUI tentang Ijarah, buku tentang akad, dan

lain sebagainya.

6. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan: a. Wawancara

Wawancara dilakukan secara mendalam (in-depth) serta

terbuka. Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi

dari seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu. Wawancara yang digunakan dengan mengunakan dua tahap, pertama peneliti

melakukan deskripsi dan orientasi awal tentang masalah dan subyek yang dikaji. Kedua melakukan wawancara mendalam

sehingga menemukan informasi lebih banyak dan penting sampai menemukan titik jenuh (Maslikhah, 2013:321).

Wawancara yang digunakan dengan model wawancara

terbuka, artinya informan dapat mengungkapkan beberapa upaya yang dilakukan dalam pengaplikasian materi-materi dan

gagasan-gagasan yang muncul dalam diri serta hambatan-hambatan yang diprediksi. Dalam hal ini wawancara dilakukan kepada kedua belah pihak yang melakukan akad, yaitu

(26)

b. Observasi

Observasi dilakukan secara langsung untuk melihat serta menganalisis hasil dari wawancara serta hasil analisa dari

referensi-referensi.

7. Analisis Data

Pada analisa data, data yang terkumpul selanjutnya dilakukan penyusunan serta perbaikan dari hasil wawancara serta

observasi.

Proses analisis data sebagaimana penelitian kualitatif, maka digunakan teknik analisis data dengan reduksi data, penyajian data,

dan verifikasi. Reduksi data (data reduction) yaitu proses pemilihan, pemusatan pada penyederhanan, abstraksi, dan

transformasi data kasar yang diperoleh dari lapangan. Penyajian data (data disply) yaitu deskripsi kumpulan informasi tersusun yang memungkinkan untuk melakukan penarikan kesimpulan dan

pengambilan tindakan. Penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing and ferification) dari permulaan pengumpulan

(27)

(Maslikhah, 2013:323). Pada prinsipnya, proses proses ini bertujuan agar data yang di analisis telah akurat.

8. Pengecekan Keabsahan Data

Pengecekan keabsahan data yang digunakan didasarkan pada empat kriterian yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability) dan

kepastian (confirmability). Uji derajat kepercayaan (credibility) dilakukan dengan cara pembuktian apakah yang diamati oleh

peneliti benar-benar sesuai dengan apa yang sesungguhnya terjadi secara wajar dilapangan. Untuk melakukan uji kepercayaan (credibility) ini dilakukan observasi secara terus menerus.

Keteralihan (transferability) membuat uraian laporan atas data yang ditemukan secara khusus dengan jelas ditulis sehingga dapat

dipahami oleh pembaca. Kebergantungan (dependability) dilakukan untuk mengurangi kesalahan-kesalahan dalam mengumpulkan, menginterpretasi temuan dan laporan hasil

penelitian denga cara menentukan dependent auditor (konsultan peneliti). Kepastian (confirmability) dlakukan untuk mengetahui

apakah data yang diperoleh memenuhi obyektifitas atau tidak. Untuk melakukan uji confirmability ini dilakukan dengan cara melakukan konfirmasi apakah pandangan, pendapat, dan penemuan

(28)

Oleh karena itu, data yang sudah dikumpulkan dikonfirmasikan dengan para ahli yang membidanginya.(Maslikhah, 2013:323-324)

H. Sistemtika Penulisan

Sistematika pembahasan dalam Skripsi ini terdiri dari lima BAB yakni : Bab I Pendahuluan. Merupakan pijakan bagi penulis dalam menentukan garis-garis besar dalam penulisan. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah

untuk menjelaskan faktor-faktor yang menjadi dasar atau mendukung timbulnya masalah dalam objek yang diteliti dan memperjelas alasan-alasan

mengapa masalah tersebut dipandang penting untuk deteliti. Kemudian dianjutkan dengan rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika

penulisan.

Bab II pembahasan, menguraikan gambaran umum tentang sewa

menyewa, jual beli dan multi akad dalam Islam. Bab ini akan menguraikan pengertian sewa menyewa dan jual beli, dasar hukum, syarat dan rukun, hak dan kewajiban para pihak, serta berakhirnya perjanjian. Bab ini juga berisi

mengenai pengertian multi akad dan kedudukannya dalam hukum Islam.

Bab III. Pembahasan dalam bab ini menerangkan tentang pelaksanaan

sewa menyewa tanah dalam peroduksi batu bata di Desa Karangduren Kecamatan Kebonarum Kabupaten Klaten. Bab ini berisi tentang gambaran umum geografis, sejarah adanya peroduksi baru bata, terjadinya akad sewa

(29)

Bab IV menguraikan tentang analisis hukum Islam terhadap praktik sewa menyewa tanah dalam produksi batu bata di Desa Karangduren Kecamatan

Kebonarum Kabupaten Klaten. Bab ini merupakan inti dalam pembahasan Skripsi, di dalamnya meliputi analisis hukum islam terhadap praktik sewa

menyewa yang terjadi, analisis yang ditinjau dari berbagai aspek. Aspek-aspek tersebut meliputi para pihak yang melakukan akad, pernyataan para pihak dalam akad, objek akad, tujuan akad dan berakhirnya akad tersebut.

Bab V merupakan bab penutup. Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran dari uraian yang dikemukakan dalam penyusunan skripsi ini. Bab ini juga

(30)

BAB II

SEWA MENYEWA TANAH

A. Pengertian Sewa Menyewa

Hubungan antar sesama manusia berkaitan dengan harta dan kepemilikan tersebut, dalam fiqh disebut dengan Fiqh Muamalah. Ruang lingkup pembahasan fiqh muamalah melingkupi dalam banyak hal, seperti

jual-beli (al-bai‟), gadai (ar-rahn), pemindahan utang (hiwalah), dsb,- dan salah satunya adalah sewa-menyewa.

Dalam Fiqh Muamalah, sewa menyewa disebut dengan istilah Ijarah. Terdapat dua pengertian tentang Ijarah. Yaitu Ijarah yang di artikan sebagai upah-mengupah dan Ijarah yang berarti sewa-menyewa.

Namun demikian, disini penulis mengambil arti Ijarah sebagai sewa-menyewa. Ini di dasarkan pada pendapat Kamaludin A. Mardzuki sebagai

penerjemah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq yang menjelaskan Ijarah dengan sewa-menyewa. (Suhendi, 2014:113)

Al-Ijarah (ةراجلإا ) berasal dari kata al-Ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-„Iwadh yang arti dalam bahasa Indonesianya ialah ganti dan upah. Sedangkan menurut istilah al-Ijarah ialah menyerahkan

(31)

Dalam buku Fiqh Mualamah karya Prof. Dr. H. Hendi Suhendi (2014:114), beliau menukil pengertian Ijarah menurut Hanafiyah, bahwa

Ijarah ialah

ةٍ تَ تَققْ تَ فِ قْ فِ قْ تَ يُ قْ فِقيُ دٌ قْع

فِ قْ تَ قْاا تَ فِ ةٍةتَ قْ يُ قْعتَ ةٍ تَ تَ يُ قْ تَ

ةٍ قْ تَ فِ فِةتَ فِج تَ قْ يُ قْاا

“Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan

disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan”.

Menurut Andri Soemitra dalam bukunya, akad ijarah yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah,

sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. (2009:391)

Dalam Fatwa Dewan Syaria‟ah Nasioanal (DSN) No.

09/DSN-MUI/IV/200 juga tercantumkan, bahwa kebutuhan masyarakat untuk memperoleh suatu barang sering memerlukan pihak lain melalui akad

Ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa, tanpa diikuti dengan

pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa sewa-menyewa adalah pemindahan kepemilikan sementara atas manfaat dengan

imbalan. Jadi dalam hal ini zat atau bentuk dari benda tersebut tidak berkurang sama sekali, dengan kata lain dengan terjadinya sewa-menyewa

(32)

sewa menyewa merupakan suatu perjanjian yang berunsurkan kepemilikan manfaat atau biaya sebagai pengganti dari pihak lain.

B. Dasar Hukum

Pada dasarnya hukum dalam ber-muamalah dalam syariat islam hukum aslinya adalah boleh (mubah), selama belum ada peraturan yang melarangnya. Sewa-menyewa juga mempunyai peranan penting bagi

kehidupan bermasyarakat, guna meringankan salah satu pihak atau saling meringankan antar sesama, serta termasuk salah satu bentuk perilaku

tolong menolong yang dianjurkan dalam agama. Maka dari itu sewa-menyewa boleh dilakukan tetapi bukan dalam hal yang merugikan atau yang diharamkan oleh agama. Dalam fiqh dasar hukum diperbolehkannya

akad sewa menyewa di ambil dari al-Qur‟an, as-Sunnah, dan Ijma‟ para ulama.

Adapun dasar hukum dalam sewa-menyewa adalah sebagai berikut:

1. Al-Qur’an

Firman Allah dalam surat Az-Zukhruf ayat 32, yang berbunyi:

(33)

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah

menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan

dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas

sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat

mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih

baik dari apa yang mereka kumpulkan.(QS. Az-Zukhruf : 32) Ayat ini memerintahkan kepada manusia agar saling tolong menolong dan membantu antar sesama.

Dalam Surat al-Baqarah ayat 233, yang berbunyi :

tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran

menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan

Ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

(QS. Al-Baqarah : 233)

Ayat tersebut berisi tentang pemberian upah kepada seseorang yang memberikan jasa kepada kita dengan pemberian upah yang sepantasnya dan sepadan dengan apa yang ia kerjakan.

(34)

.... Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu,

maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah

di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik;....(QS. At-Talaq : 6) Dalam ayat 6 surat at-Talaq di atas menjelaskan bahwa dalam pemberian upah ataupun dalam perjanjian sewa menyewa,

biaya yang dikenakan baiknya dimusyawarahkan dan disepakati antara kedua belah pihak, agar tidak terjadi sesuatu yang

merugikan salah satu pihak.

Firman Allah dalam surat al-Qasas ayat 26-27 :

(35)

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku

ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena

sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk

bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat

dipercaya".(26) Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku

bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua

anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan

tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah

(suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati

kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-

orang yang baik".(27) (QS. Al-Qasas : 26-27)

Ketiga ayat tersebut menjelaskan tentang memberikan upah kepada seseorang yang telah memberikan jasa kepada kita.

Pemberian upah atas jasa adalah perintah dari Allah yang telah di tuliskan dalam al-Qur‟an. Atas hukum dasar inilah akad Ijarah diperbolehkan dalam kehidupan.

2. Hadits Nabi

(36)

فِ تَ اتَ تَ فِ قْرنَّلاا تَ فِ قْ فِااتَ نَّ اا تَ تَ اتَ فِ تَ قْرتَ قْاا فِ قْ يُ انَّ يُ

“Kami pernah menyewankan tanah dengan (bayaran) hasil

pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal

tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan

emas dan perak.”

Hadits riwayat Ibn Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda:

يُهيُاتَ تَ نَّــفِ تَ قْ تَأ تَــقْ تَا يُ تَ قْجتَأ تَ قْ فِجتَاقْا ا يُ قْ تَأ

.

“Berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya.”

Dan juga, hadits riwayat „Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa‟id al-Khudri, Nabi SAW bersabda:

يُ تَ قْجتَأ يُهقْ فِ قْ يُ قْ تَف ارً قْ فِجتَأ تَ تَجقْ تَ قْ ا فِ تَ

.

“Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.”

Suhendi (2014:116) dalam bukunya juga mencantumkan Hadits

yang diriwayat oleh Bukhari dan Muslim :

يُ تَ قْجتَأ تَاانَّ يُلاا فِ قْ اتَ قْمفِ تَ قْ فِا

“Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya

kepada tukang bekam itu.”

(37)

جأ اا لاا أ م ا م ه الله ص اا أ

“Sesungguhnya Nabi Muhammad pernah berbekam dan

memberikan kepada tukang bekam upahnya.” (Syarifuddin,

2003:217)

Hadits di atas menjelaskan tentang pemberian upah kepada

pekerja yang membantu atau menyewakan jasa kepada seseorang. Pemberian upah merupakan suatu kewajiban atas si pengguna jasa. Dengan demikian pekerja akan senang dengan pekerjaanya, begitu

pula dengan si penyewa. Upah selain sebagai tanda jasa juga merupakan tanda terimakasih atas pertologan dari pekerja karena

dengan demikian akan ada rasa saling tolong menolong antar sesama dan juga adanya tali silaturahmi yang terjalin.

Hadits Nabi riwayat Tirmidzi dari „Amr bin „Auf:

ارً اتَ تَ نَّـتَ تَأ قْ تَأ رًلَّ تَلَتَ تَانَّ تَ ارًلقْ يُص نَّلَّفِإ تَ فِ فِ قْ يُ قْاا تَ قْ تَ دٌلفِئاتَج يُحقْ ُّ اتَا

ارً اتَ تَ نَّـتَ تَأ قْ تَأ رًلَّ تَلَتَ تَانَّ تَ رًاطقْ تَش نَّلَّفِإ قْمفِهفِط يُ يُش تَ تَ تَ يُ فِ قْ يُ قْااتَ

.

“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali

perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan

yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat

mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau

(38)

Hadits tersebut menjelaskan tentang diperbolehkannya suatu perjanjian. Perjanjian tersebut sah apabila tidak bertentangan

dengan etika yang ada. Perjanjian yang mengharamkan yang halal ataupun menghalalkan yang haram adalah tidak boleh, karena itu

jelas bertentangan dengan etika dan ajaran agama. Syarat-syarat yang digunakan akadalah yang telah disebutkan di dalam al-Qur‟an dan hadits ataupun yang telah ditetapkan di dalam syari‟at agama.

3. Ijma’

Ijma ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa.

(Fatwa DSN MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 hal. 3) 4. Kaidah Fiqh

Di dalam Fatwa Dewan Syari‟ah Nasioanal (DSN) MUI tentang

Pembiayaan Ijarah disebutkan kaidah Fiqh tentang sewa menyewa, yaitu:

اتَهفِ قْ فِ قْلتَ تَ تَ دٌـقْ فِاتَ ُّليُ تَ قْ تَأ نَّلَّإ يُ تَ اتَ فِ قْلإا فِت تَلَتَ اتَ يُ قْاا فِف يُـقْصتَاتَا

.

Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali

ada dalil yang mengharamkannya.”

فِحفِااتَ تَ قْاا فِ قْ تَج تَ تَ دٌانَّ تَعيُ فِ فِ اتَقتَ قْاا يُءقْرتَ

Menghindarkan mafsadat (kerusakan, bahaya) harus didahulukan

(39)

Segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan berekonomi adalah diperbolehkan, kecuali terdapat dalil atau

perintah diharamkan. Jadi sewa menyewa adalah boleh, tetapi jika terdapat sesuatu yang haram atau dilarang maka akad sewa

menyewa juga terkena hukum haram atau tidak boleh. Sewa menyewa juga dianjurkan selama itu membawa manfaat dan kebaikan bagi seseorang.

C. Rukun dan Syarat Ijarah

Transaksi Ijarah dalam pelaksanaannya akan sah apabila terpenuhi rukun dan syaratnya.

1. Rukun Ijarah

Rukun merupakan suatu ketentuan yang harus dipenuhi di dalam melakukan ibadah atau pekerjaan/perbuatan. Bila rukun tidak

terpenuhi maka perbuatan tersebut tidak sah atau batal menurut hukum. Begitu juga di dalam melaksanakan akad sewa menyewa. Dalam akad sewa menyewa (Ijarah) terdapat rukun-rukun yang harus

terpenuhi, yaitu: a. Shigat Ijarah

(40)

“Aku terima sewa mobil tersebut dengan harga demikian setiap

hari”.

b. Orang yang menyewakan / Mu‟jir

Mu‟jir adalah orang yang memberikan upah dan atau yang

menyewakan.

c. Orang yang menyewa / Penyewa / Musta‟jir

Musta‟jir adalah orang yang menerima upah atau yang menyewa

sesuatu.

d. Ujrah atau imbalan atau upah, disyaratkan diketahui jumlahnya

oleh kedua belah pihak dalam sewa-menyewa.

e. Ma‟jur

Yaitu Objek transaksi atau objek yang disewakan, baik dalam

bentuk tenaga atau benda. (Syarifuddin, 2003:218) Benda yang disewakan adalah benda yang bermanfaat.

Secara garis besar, rukun Ijarah dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga), yaitu :

a. „Aqidaini

„Aqidain yaitu dua orang yang melakukan akad. Dalam hal ini

ialah orang yang menyewakan (Mu‟jir) dan orang yang menyewa (Musta‟jir).

(41)

Ma‟qud „Alaih ialah manfaat dari objek yang dipersewakan serta

upah/biaya dalam sewa menyewa.

c. Ijab Qabul

Ialah akad sewa-menyewa dan dinyatakan sah. Yaitu Sighat atau

ikrar yang menyatakan akad sewa menyewa antara kedua belah pihak yang berakad dan dinyatakan sah menurut hukum.

2. Syarat Ijarah

Syarat adalah suatu ketentuan atau keadaan yang harus

terpenuhi dalam melakukan ibadah atau pekerjaan/perbuatan, dan jika syarat tersebut tidak terpenuhi maka ibadah / perbuatan tersebut akan dianggap tidah sah dan cacat menurut hukum. Dalam akad sewa

menyewa ini adapun syarat-syarat yang harus terpenuhi yaitu : Syarat yang berkenaan dengan „Aqidain atau pelaku transaksi.

Disyaratkan pada Mu‟jir dan Musta‟jir adalah baligh, berakal, cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta) dan saling meridhai. Sebagaimana Firman Allah SWT. dalam surat an-Nisa

(42)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling

memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,

kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan

suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu

membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha

Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa : 29)

Bagi orang yang berakad ijarah juga disyaratkan mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan sempurna sehingga

dapat mencegah terjadinya perselisihan. (Suhendi, 2014:117) Syarifuddin (2003) juga menambahkan, syarat orang yang melakukan transaksi ialah mereka yang bebas dalam bertindak

dalam arti tidak dalam paksaan, sehingga akad yang dilakukan oleh anak-anak atau orang gila atau orang yang terpaksa, tidak

sah transaksinya.

Adapun syarat dalam objek atau barang yang disewakan.

Disyaratkan pada barang yang disewakan:

 Hendaklah barang yang jadi objek akad sewa-menyewa

dapat dimanfaatkan kegunaanya.

 Hendaklah benda yang menjadi objek sewa-menyewa dapat

(43)

 Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang

mubah (boleh) menurut Syara‟ bukan hal yang dilarang (diharamkan).

 Benda yang disewakan disyaratkan kekal „ain (zat)-nya

hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam

akad. (Suhendi, 2014:118)

Adapun syarat sahnya sewa-menyewa menurut pendapat Sayyid Sabiq

yaitu :

1. Kerelaan kedua belah pihak yang meakukan akad;

2. Mengetahui dengan sempurna manfaat yang diakadkan, sehingga mencegah terjadinya perselisihan;

3. Hendaknya barang yang menjadi obyek transaksi (akad) dapat

dimanfaatkan kegunaanya menurut kriteria dan syara‟;

4. Dapat diserahkan sesuatu yang disewakan berikut kegunaan

(manfaat);

5. Bahwa manfaat adalah hal yang mubah, bukan yang diharamkan; 6. Bahwa imbalan itu harus berbentuk harta yang mempunyai nilai

jelas diketahui baik dengan menyaksikan atau dengan menginformasikan ciri-cirinya.

(44)

Yang menyewakan wajib mempersiapkan barang yang disewakan untuk dapat digunakan secara optimal oleh penyewa. Penyewa wajib

menggunakan barang yang disewakan menurut syarat-syarat akad atau menurut kelaziman penggunaannya. Penyewa juga wajib menjaga barang

yang disewakan agar tetap utuh. (Karim, 2010:138).

Dan apabila terjadi kerusakan atau dalam hal perawatan, Karim dalam bukunya (2010:138) meyatakan, secara prinsip tidak

bolehdinyatakan dalam akad bahwa penyewa bertanggungjawab atas perawatan karena ini berarti penyewa bertanggungjawab atas jumlah yang

tidak pasti (gharar). Oleh karena itu, ulama berpendapat bahwa bila penyewa dimint untuk melakukan perawatan, ia berhak untuk mendapatkan upah atau biaya yang wajar untuk pekerjaanya. Dan atau,

sebagian ulama berpendapat harga sewa dapat dikurangkan dengan biaya untuk perbaikan.

Jika ijarah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan, jika barang itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah benda tetap

(„Iqar), ia wajib menyerahkan kembali dalam keadaan kosong,jika barang

sewaan itu tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan

(45)

mengembalikan untuk menyerahterimakannya, seperti barang titipan (Suhendi, 2014:123).

E. Batal dan Berakhirnya Perjanjian

Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang mewajibkan

fasakh.

Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut:

1. Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa

2. Rusaknya barang yang desewakan.

3. Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, jika terdapat kejadian diluar kehendak penyewa/Mu‟jir, seperti dicuri

atau bencana alam.

Sedangkan berakhirnya perjanjian apabila :

1. Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan.

2. Berakhirnya masa yang telah ditentukan dalam akad.

F. Multi Akad

1. Pengertian Multi Akad (Al-‘Uqud Al Murakkabah)

Multi dalam bahasa Indonesia berati (1) banyak; (2) berlipat

(46)

akad berganda atau akad yang banyak, lebih dari satu. Sedangkan menurut istilah fiqh, kata multi akad merupakan terjemahan dari kata

Arab yaitu al-„uqud al-murakkabah yang berarti akad ganda (rangkap). Al-uqud al murakkabah. Kata „aqd secara etimologi artinya

mengokohkan, mengadakan perjanjian. Sedangkan secara terminologi „aqd berarti mengadakan perjanjian atau ikatan yang mengakibatkan

munculnya kewajiban.

Kata al-murakkabah (murakkab) secara etimologi berarti

al-jamu‟ (mashdar), yang berarti pengumpulan atau penghimpunan. Kata

murakkab sendiri berasal dari kata “rakkaba-yurakkibu-tarkiban” yang mengandung arti meletakkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga menumpuk, ada yang di atas ddan ada yang di bawah.

Menurut Nazih Hammad dalam buku Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga Keuangan Syariah Di Indonesia

karya Hasanudin (2009), akad murakkab adalah: “Kesepakatan dua ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari suatu akad.”

(47)

“Himpunan beberapa akad kebendaan yang dikandung oleh akad –

baik secara gabungan maupun secara timbal balik- sehingga seluruh

hak dakn kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai akibat hukum dari satu akad.”

2. Hukum Multi Akad

Status hukum multi akad belum tentu sama dengan status

hukum dari akad-akad yang membangunnya. Seperti contoh akad bai‟ dan salaf yang secara jelas dinyatakan keharamannya oleh Nabi saw.

Akan tetapi jika kedua akad itu berdiri sendiri-sendiri , maka baik akad bai‟ maupun salaf diperbolehkan. Artinya, hukum multi akad tidak bisa semata dilihat dari hukum akad-akad yang membangunnya.

Dengan kata lain, hukum akad-akad yang membangun tidak secara otomatis menjadi hukum dari multi akad.

Mengenai status hukum multi akad, ulama berbeda pendapat terutama berkaitan dengan hukum asalnya. Perbedaan ini menyangkut apakah multi akad sah dan diperbolehkan atau batal dan dilarang

untuk dipraktikkan. Mengenai hal ini ulama berada dalam dua pendapat tersebut; memperbolehkan dan melarang.

Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama Syafi‟iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum

multi aad sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Bagi yang

(48)

dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengkaramkan atau membatalkannya.

Hukum asal dari syara‟ adalah bolehnya melakukan transaksi multi akad, selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan

sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang diharamkan

menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan

akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati.

Allah telah menjelaskan yang haram secara rinci,karenanya setiap akad yang dinyatakan haram harus jelas keharamannya seperti

apa dan bagaimana. Tidaklah boleh mengharamkan yang telah dihalalkan oleh Allah atau dimaafkan, begitu pula tidak boleh

menghalalkan yang telah diharamkan oleh-Nya.

3. Batasan dan Standar Multi Akad

Para ulama membolehkan praktik multi akad bukan berarti membolehkan secara bebas, tetapi ada batasan-batasan yang tidak

boleh dilewati. Karena batasan ini akan menyebabkan multi akad menjadi dilarang. Dikalangan ulama, batasan-batasan ini ada yang disepakati dan diperselisihkan. Secara umum, batasan yang disepakati

(49)

a. Multi akad dilarang karena nash agama

Dalam hadis, Nabi secara jelas menyatakan tiga bentuk

multi akad yang dilarang, yaitu multi akad dalam jual beli (ba‟i) dan pinjaman, dua akad jual beli dalam satu akad jual beli dan dua

transaksi dalam satu transaksi dalam sebuah hadis disebutkan:

ـ م ه الله ص الله ل ر ه

“Rasulullah saw melarang jual beli dan pinjaman.” (HR

Ahmad dari Abu Hurairah r.a.,)

Suatu akad dinyatakan boleh selama objek, harga, dan waktunya diketahui oleh kedua belah pihak. Jika salah satu di

antaranya tidak jelas, maka hukum dari akad itu dilarang.

Imam asy-Syafi‟i memberi contoh, jika seseorang hendak membeli rumah dengan harga seratus, dengan syarat dia

meminjamkan (salaf) kepadanya seratus, maka sebenarnya akad jual beli itu tidak jelas apakah dibayar dengan seratus atau lebih.

Sehingga harga dari akad jual beli itu tidak jelas, karena seratus yang diterima adalah pinjaman („ariyah). Sehingga penggunaan manfaat dari seratus tidak jelas; apakah dari jual beli atau

pinjaman.

Ibnu Qayyim berpendapat bahwa Nabi melarang multi akad

(50)

untuk menghindari terjurumus kepada riba yang diharamkan. Hal itu terjadi karena seseorang meminjamkan (qardh) seribu, lalu

menjual barang yang bernilai delapan ratus dengan harga seribu. Dia seolah memberi seribu dan barang seharga delapan ratus agar

mendapatkan bayaran dua ribu. Di sini ia memperoleh kelebihan dua ratus.

Selain multi akad antara salaf dan jual beli yang

diharamkan, ulama juga sepakat melarang multi akad antara berbagai jual beli dan qardh dalam satu transaksi. Semua akad

yang mengandung unsur jual beli dilarang untuk dihimpun dengan qardh dalam satu transaksi, seperti antara ijarah dan qardh, salam dan qardh, sharf dan qardh, dan sebagainya.

Meski penggabungan qardh dan jual beli ini dilarang, namun menurut al-„Imrani tidak selamanya dilarang.

Penghimpunan dua akad ini diperbolehkan apabila tidak ada syarat di dalamnya dan tidak ada tujuan untuk melipatkan harga melalui

qardh. Seperti seseorang yang memberikan pinjaman kepada orang lain, lalu beberapa waktu kemudian ia menjual sesuatu kepadanya padahal ia masih dalam rentang waktu qardh tersebut. Yang

demikian hukumnya boleh. Sedangkan larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam satu akad jual beli didasarkan pada hadis Nabi yang berbunyi : “Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah saw

(51)

b. Multi akad sebagai hilah ribawi

Multi akad yang menjadi hilah ribawi dapat terjadi melalui kesepakatan jual beli „inah atau sebaliknya dan hilah riba fadhl.

1) Al-„Inah

Contoh „inah yang dilarang adalah menjual sesuatu dengan harga seratus secara cicil dengan syarat pembeli harus menjualnya kembali kepada penjual dengan harga delapan

puluh secara tunai. Pada transaksi ini seolah ada dua akad jual beli, padahal nyatanya merupakan hilah riba dalam pinjaman

(qardh), karena objek akad semu dan tidak faktual dalam akad ini. Sehingga tujuan dan dan manfaat dari jual beli yang ditentukan syariat tidak ditemukan dalam transaksi ini.

2) Hilah riba fadhl

Hal ini terjadi apabila seseorang menjual sejumlah (misalnya 2kg beras) harta ribawi dengan sejumlah harga (misalnya Rp 10.000) dengan syarat bahwa ia –dengan harga

yang sama (Rp 10.000)- harus membeli dari pembeli tadi sejumlah harta ribawi sejenis yang kadarnya lebih banyak

(misalnya 3kg) atau lebih sedikit (misalnya 1kg). Transaksi seperti ini adalah model hilah riba fadhl yang diharamkan.

Transaksi seperti ini dilarang didasarkan atas peristiwa

(52)

transaksi kurma kualitas sempurna satu kilo dengan kurma kualitas rendah dua kilo, dua kilo dengan tiga kilo dan

seterusnya. Praktik seperti ini dilarang Nabi saw, dan beliau mengatakan agar ketika menjual kurma kualitas rendah dibayar

dengan harga sendiri, begitu pula ketika membeli kurma kualitas sempurna juga dengan harga sendiri.

c. Multi akad menyebabkan jatuh ke riba

Setiap multi akad yang mengantarkan pada yang haram,

seperti riba, hukumnya haram, meskipun akad-akad yang membangunnya adalah boleh. Penghimpunan beberapa akad yang hukum asalnya boleh namun membawanya kepada yang dilarang

menyebabkan hukumnya menjadi dilarang.

d. Multi akad terdiri dari akad-akad yang akibat hukumnya saling bertolak belakang atau berlawanan

Kalangan ulama Malikiyah mengharamkan multi akad

antara akad-akad yang berbeda ketentuan hukumnya dan atau akibat hukumnya saling berlawanan atau bertolak belakang.

Larangan ini didasari atas larangan Nabi menggabungkan akad salaf dan jual beli. Dua akad ini mengandung hukum yang berbeda. Jual beli adalah kegiatan muamalah yang kental dengan

(53)

adalah kegiatan sosial yang mengedepankan aspek persaudaraan dan kasih sayang serta tujuan mulia. Karena itu, ulama Malikiyah

melarang multi akad dari akad-akad yang berbeda hukumnya, seperti antara jual beli dengan jua‟alah, sharf, musaqah, syirkah,

qiradh, atau nikah.

Keharaman multi akad pada dasarnya disebabkan oleh tiga hal: dilarang agama atau hilah karena dapat menimbulkan ketidakpastian (gharar)

dan ketidakjelasan (jahalah), menjerumuskan ke praktik riba, dan multi akad yang menimbulkan akibat hukum yang bertentangan pada objek

yang sama. Dengan kata lain, multi akad yang memenuhi prinsip syariah adalah multi akad yang memenuhi standar atau dhawabith sebagaimana telah dikemukakan.1

1

Hasanudin, Multi Akad Dalam Transaksi Kontemporer Pada Lembaga Keuangan Syariah dalam

(54)

BAB III

PELAKSANAAN SEWA MENYEWA TANAH DALAM PRODUKSI BATU

BATA DI DESA KARANGDUREN KECAMATAN KEBONARUM

KABUPATEN KALATEN

A. Gambaran Umum Geografis dan Demografis

1. Batas-batas Wilayah

Desa Karangduren merupakan salah satu dari 7 (tujuh) desa di Kecamatan Kebonarum Kabupaten Klaten. Desa Karangduren

sendiri mencakup 19 dukuh dengan 12 RW dan 32 RT. Adapun batas-batas wilayah untuk Desa Karangduren yaitu Sebelah Utara : Kecamatan Karangnongko

Sebelah Selatan : Desa Menden

Sebelah Barat : Kecamatan Jogonalan

Sebelah Timur : Desa Malangjiwan

Jarak dari pusat kota Klaten dengan Desa Karangduren kurang lebih 6,20 km. Sedangkan jarak Desa Karangduren dengan

jalan raya Solo-Jogja kurang lebih adalah 4,5 km.

2. Iklim dan Cuaca

Secara tipografi wilayah Desa Karangduren berada diantara lereng Gunung Merapi dan pegunungan Seribu. Bisa dikatakan

(55)

Dengan ketinggian antara 500-600 mdpl (meter di atas permukaan laut). 60% lebih wilayah Desa Karangduren berupa hamparan

lahan persawahan. Dan sisanya adalah lahan pemukiman dan lainnya.

Keadaan iklim di wilayah Karangduren termasuk iklim tropis dengan musim hujan dan musim kemarau silih berganti sepanjang tahun, temperatur udara rata-rata 28°- 30° Celcius

dengan kecepatan angn rata-rata sekitar 153 mm setiap bulannya dengan curah hujan tertinggi bulan Januari (350 mm) dan curah

hujan terendah bulan Juli (8 mm).

3. Kependudukan

Jumlah penduduk di Desa Karangduren sampai pada awal tahun 2017 mencapai 3275 jiwa, yang terdiri dari 1558 jiwa

penduduk laki-laki dan 1717 jiwa penduduk perempuan. Rata-rata penduduknya bersuku jawa asli.

4. Kondisi Sosial Ekonomi

Kondisi sosial ekonomi masyarakat di Desa Karangduren di

dominasi dari sektor pertanian. Sektor pertanian ini paling banyak di kerjakan oleh masyarakat dikarenakan memang wilayah Karangduren sebagian besar adalah persawahan. Selain sektor

(56)

Sebanyak 60 persen penduduk desa bekerja di sektor pertanian dan peternakan, dan sebanyak 10 persen di sektor

perdagangan, kemudian lainnya di sektor jasa dan lainnya.

Sedangkan untuk fasilitas pendidikan di wilayah Desa

Karangduren terdapat 2 unit Sekolah Dasar (SD), dan 1 TK (taman Kanak-kanak). Dan untuk fasilitas kesehatan sendiri hanya terdapat posyandu pada tiap dukuh.

5. Kondisi Sosial Keagamaan

Mayoritas penduduk Desa Karangduren adalah pemeluk agama Islam, yaitu mencapai 94,6 persen atau sebanyak 3099 jiwa. Sedangkan agama Katholik sebanyak 2,45 persen (80 jiwa),

Kristen 1,3 persen (43 jiwa), Hindu 1,6 persen (53 jiwa).

Sementara tempat ibadah yang berada di Desa Karangduren

sebagai sarana beribadah umat beragama masih tergolong sedikit. Berikut tabel tempat ibadah di Desa Karangduren.

No Tempat Ibadah Jumlah

1. Masjid 6

2. Mushola 11

(57)

Meskipun penduduk yang beragama Islam di Desa Karangduren terbilang banyak, tetapi yang mengerti syariat atau

ajaran agama Islam hanya beberapa saja. Jadi bisa disebut penduduk di Desa Karangduren yang beragama Islam mayoritas

hanya Islam abangan. Walaupun demikian, pengamalan ajaran Islam di Desa Karangduren juga tetap berjalan dengan baik. Seperti adanya pengajian-pengajian, pengajian rutinan, adanya Taman

Pendidikan Al-Qur‟an bagi anak-anak dan remaja.

B. Pelaksanaan Sewa Menyewa Tanah dalam Produksi Batu Bata

1. Sejarah Singkat Tentang Batu Bata

Batu bata merupakan salah satu bahan material sebagai

bahan pembuat dinding. Batu bata terbuat dari tanah liat yang dibakar sampai berwarna kemerah-merahan.

Kira-kira dimulai pada 800 B.C di Mesopotamia, manusia menemukan pertama kali bahwa tanah liat dapat dibentuk dan di jemur untuk menghasilkan bahan bangunan. Menara Babel di

bangun dengan menggunakan bata yang di jemur. Batu bata juga banyak digunakan di daerah Timur Tengah, Afrika Utara dan

Amerika Tengah dan Utara. Pada peradaban Babylonia (4000 B.C) terdapat lembah antara sungai Tigris dan sungai Efrat, lumpur tebal dan tanah liat dari sungai-sungai ini sangat cocok untuk pembuatan

(58)

peradaban tersebut. Kerajaan dan kuil di bangun dari bata jemur, dan permukaannya menggunakan bata berlapis/kilap. Penggalian

akhir-akhir ini di Mesir, menunjukkan bahwa pada masa Mesir kuno telah digunakan bata yang dijemur dan yang dibakar

menggunakan tungku untuk pembangnan rumah dan tempat suci. Orang Roma juga menyebar luaskan penggunaan bata, antara lain pembuatan bata masuk ke Inggris setelah serangan Roma pada 54

SM, seperti untuk pembangunan Kastil Colchester yang dibangun dari 1080 bata bekas. Sekarang kastil ini dipakai sebagai museum

sejarah. Bata Roma memiliki ketebalan yang sangat tipis dibanding dengan panjangnya. Dimana bata-bata tersebut diletakkan di atas lapisan mortar yang tebal. Setelah kejatuhan/runtuhnya Roma pada

410M, maka seni membuat bata tersebut hilang diseluruh Eropahingga awal dari abad ke-14. Industri bata kembali marak

setelah Flemish masuk ke Inggris pada abad teresebut dan kemudian, keahlian ini masuk ke Australia bersama Pembangunan Pertama (The First Fleet).

Bangunan-banguan bata yang pertama di benua Amerika Utara di bangun pada tahun 1633 di pulau Manhattan dengan

menggunakan bata-bata yang diimpor dari Belanda dan Inggris. Bagaimanapun juga pemanfaatannya baru maksimal hingga ditemukan pembakaran bata dengan tungku yang menghasilkan

(59)

operasikan di Amerika Serikat adalah sekitar tahun 1650. Bata-bata yang dihasilkan pada masa lampau mungkin agak sulit untuk

deikenali karena spesifikasi yang sangat berbeda. Misalnya bata dari Assyria, ditengah Mesopotamia beratnya lebih dari 18

kilogram, atau bata dengan bentuk segitiga digunakan untuk membangun Koloseum Roma.1

Batu bata terbagi dalam dua jenis, yaitu

a. Batu bata tanah liat, terbuat dari tanah liat dengan 2 kategori yaitu bata biasa dan bata muka.

 Bata biasa, memiliki permukaan dan warna yang tidak

menentu, bata ini digunakan untuk dinding dengan

menggunakan morta (campuran semen) sebagai pengikat. Bata jenis ini sering disebut sebagai bata merah.

 Bata muka, memiliki permukaan yang baik dan licin

dan mempunyai warna dan corak yang seragam. Disamping digunakan sebagai dinding juga digunakan sebagai penutup dinding dan sebagai dekorasi.

b. Batu bata pasir – kapur, sesuai dengan namanya batu bata ini dibuat dari campuran kapur dan pasir dengan perbandingan 1:8

1

(60)

serta air yang dicampurkan kealam campuran sehingga membentuk batu bata.2

Dan di Desa Karangduren ini, para pembuat batu bata memproduksi batu bata yang berjenis batu bata tanah liat yang bata

biasa dan bata muka.

2. Terjadinya Akad Sewa Menyewa dan Sebab-sebab Terjadinya

Sewa Menyewa

Akad sewa menyewa atau Ijarah telah sering dilakukan

sejak jaman Rasulullah SAW. Selain untuk membantu dan tolong menolong antar sesama, akad ini juga bermanfaat untuk memperbaiki perekonomian masyarakat. Bahkan sekarang ini

sudah banyak masyarakat yang mengaplikasikan akad ini pada kehidupan mereka, baik secara formal ataupun non formal. Tak

terkecuali masyarakat di Desa Karangduren, Kecamatan Kebonarum Kabupaten Klaten.

Masyarakat di Desa Karangduren menggukan akad sewa

menyewa untuk memproduksi batu bata merah. Pemahaman tentang akad sewa menyewa di sini sebagai jual beli tanah untuk

produksi batu bata. Berbeda dengan pemahaman jual beli biasanya, karena menurut mereka jika jual beli tanah adalah jual beli tanah

2

(61)

dengan sertifikatnya beserta berpindahnya hak kepimilikan juga, sedangkan mereka yang memproduksi batu bata hanya mengambil

sebagian tanah (zat) untuk produksi batu bata.

Terdapat tiga macam sewa dalam sewa menyewa tanah

untuk produksi batu bata yang berlangsung di masyarakat Desa Karangduren. Yang pertama yaitu menyewa tanah hanya untuk tempat produksi batu bata tanpa mengambil volume tanah yang

diperuntukkan untuk membuat batu bata. Jadi pemilik lahan hanya menyewakan untuk tempat produksi saja, sedangkan material dan

bahan produksi di ambil dari lahan lain. Yang kedua yaitu pembuat batu bata hanya mengambil volume tanah yang diperuntukkan untuk memproduksi batu bata. Pihak penyewa menyewa tanah

untuk di ambil materialnya atau volume tanah yang disewakan sebagai bahan produksi batu bata. Yang ketiga pembuat batu bata

menyewa tanah untuk tempat produksi sekaligus volume tanah yang di ambil untuk produksi batu bata.

Proses kesepakatan perjanjian dalam sewa menyewa ini

dilaksanakan secara kekeluargaan. Perjanjian dihadiri oleh pihak penyewa dan pemilik lahan, terkadang terdapat saksi tetapi juga

terkadang tanpa saksi. Mereka hanya menggunakan prinsip kepercayaan, karena sudah sering bertemu dan juga tidak takut akan di bohongi. Sedangkan perjanjian hitam di atas putih sendiri

(62)

tetangga bahkan saudara sendiri. Jadi kepercayaan yang dijadikan dasar perjanjian disini.

Terjadinya sewa menyewa tanah untuk produksi batu bata ini dilatarbelakangi terutama dari faktor ekonomi. Dimana

penyewa membutuhkan lahan sedangkan tidak mempunyai lahan yang cukup untuk produksi. Biasanya penyewa merupakan seorang buruh lepas yang tidak mempunyai pekerjaan serta dari kalangan

masyarakat ekonomi dan pendidikan rata-rata kebawah. Mereka lebih memilih untuk memproduksi batu bata dari pada bekerja di

pabrik karena dianggap lebih menguntungkan bagi mereka. Sedangkan pemilik lahan sendiri biasanya mempunyai lahan sawah lebih dari satu petak. Selain untuk menolong sesama, pemilik lahan

biasanya juga memilih lahannya untuk disewa karena lebih mudah dan irit biaya dari pada ditanami padi. Selain itu, terdapat juga

pemilik lahan yang tidak mempunyai waktu untuk menggarap lahan sawahnya sendiri karena mereka sudah mempunyai pekerjaan, seperti guru, PNS atau pekerja kantoran sehingga lebih

(63)

3. Penentuan Harga Sewa Menyewa dalam Praktik Sewa

Menyewa Dilapangan

Dalam menentukan harga sewa tanah para pelaku sewa menyewa menggunakan adat istiadat dan harga pasar yang ada di

masyarakat. Biasanya harga tanah dihitung per m³ (meter kubik), penyewa membayar dengan seberapa luas dan kedalaman tanah yang akan di ambil untuk produksi. Harga tanah per m³-nya

dihargai Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) sampai Rp. 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) tergantung dari

kesepakatan dari kedua belah pihak.

Terdapat sitem pembayan lain selain di atas. Yaitu dengan sistem bagi hasil yang telah di sepakati oleh kedua belah pihak

pada awal perjanjian. Sistem bagi hasil disini yaitu pembayaran sewa dilakukan setelah batu bata terjual. Besarnya pembayaran

sebesar 10% (sepuluh persen) dari hasil jual batu bata. Sehingga besarnya harga sewa tergantung dari banyaknya batu bata terjual.

Dengan sistem pembayaran bagi hasil tersebut, pemilik

tanah mendapatkan hasil sewa yang tidak bisa di pastikan, karena batu bata tidak terjual setiap bulannya. Dalam produksi batu bata,

(64)

4. Resiko dalam Pelaksanaan Sewa Menyewa serta Pasca Masa

Sewa Berakhir

Pengertian resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian, jika ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak

yang menimpa benda yang dimaksud dalam perjanjian.

Pengertian di atas menunjukkan persoalan resiko itu berpangkal pada terjadinya peristiwa di luar kesalahan salah satu

pihak yang mengadakan perjanjian. Di dalam hukum perjanjian hal tersebut dianamakan keadaan memaksa (overmacht atau force

majeure).

Jika melihat kedalam peraturan di negeri ini, persoalan resiko juga telah tercantum dalam Bagian Umum Buku ke III,

pasal 1237 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi : “Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang

tertentu, maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang”. Kata tangungan dalam pasal ini sama dengan resiko. Sedangkan untuk resiko dalam perjanjian

sewa menyewa sendiri terdapat dalam pasal 1553 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi : “Jika selama waktu sewa,

barang yang dipersewakan itu musnah di luar kesalahan salah satu pihak, maka perjanjian sewa menyewa gugur demi hukum”. Dan

(65)

-masing pihak idak dapat menuntut sesuatu apa pun kepada pihak lainnya.

Salah satu contoh overmacht yang terjadi dalam perjanjian sewa menyewa ini adalah keadaan dimana tanah yang di

perjanjikan tidak sesuai atau tidak cocok untuk produksi batu bata. Maka pengemban resiko dari masalah ini ada pihak penyewa tanah. Selain itu, resiko lain yang mungkin terjadi adalah

wanprestasi atau ingkar janji terhadap perjanjian. Wanprestasi adalah resiko yang paling rawan terjadi dalam persoalan perjanjian,

terlebih dalam perjanjian yang tidak terdapat bukti hitam di atas putihnya (surat perjanjian).

Dalam penelitian yang peneliti lakukan, tidak di temukan

adanya problematika atau masalah dalam pelaksanaan sewa menyewa tanah. Narasumber menjelaskan, kalaupun ada

permasalahan mereka menyelesaikannya melalui musyawarah secara kekeluargaan. Namun demikian, beberapa narasumber mengeluhkan jangka sewa yang terlalu lama, sehingga

menghambat rencana pihak pemilik tanah untuk bercocok tanam padi.

Setelah masa sewa selesai, tanah yang telah digunakan sebagai produksi batu bata tersebut masih bisa di gunakan kembali. Tanah yang terkeruk akibat pengambilan zat nya tersebut biasanya

(66)

sebelum digunakan kembali sebagai ladang sawah. Terkadang juga masyarakat menggunakannya sebagai kolam ikan, ditanami

sayursayuran dan lainnya. Setelah berjarak beberapa bulan, tanah yang tadinya digunakan sebagai lahan produksi akan digunakan

(67)

BAB IV

ANALISIS DATA PELAKSANAAN AKAD SEWA MENYEWA

TANAH UNTUK PRODUKSI BATU BATA

Dalam pelaksanaannya, sewa tanah yang dijadikan produksi batu bata ini sangat membantu bagi masyarakat. Dengan tuntutan kebutuhan ekonomi yang meningkat mereka bisa mencari rezeki lewat produksi ini. Sewa menyewa atau

dalam fiqh disebut dengan ijarah telah banyak dilakukan di kalangan masyarakat, tetapi dalam pelaksanaannya belum tentu sesuai dengan Syariat Islam karena

keterbatasan pengetahuan yang dimiliki. Akad ijarah lebih dikenal dalam praktik transaksi dalam Lembaga Keuangan Islam atau Syariah, tetapi tidak dipungkiri akad ini juga berkembang dalam kehidupan masyarakat awam.

Berdasarkan paparan data hasil penelitian pada bab III, peneliti mencoba menganalisis tentang pelaksanaan sewa menyewa tanah untuk produksi batu bata

di Desa Karangduren Kecamatan Kebonarum Kabupaten Klaten, antara lain: Pertama, merujuk pada kaidah dasar mu’amalah yaitu :

اَهِوْيِرْحَت ىَلَع ُلْيِلَد ُّلُدَي ْىَأ ّلّإ ةَحاَبِلإا ِت َلََهاَعُوْلا يِف ُلْصَلأا

“Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”

Kaidah ini berarti bahwa pada dasarnya umat islam diberi kelonggaran untu melakukan segala jenis transaksi, selama tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syariah. Termasuk dalam hal sewa menyewa tanah ini, maka

(68)

Dalam buku panduan ujian Komprehensif yang diterbitkan oleh lembaga STAIN Salatiga juga disebutkan, dalam hal ber-muamalah terdapat

batasan-batasan minimal yang harus terpenuhi, yaitu :

1. Objek akad adalah sesuatu yang dihalalkan

Sebagaimana hadits Nabi :

ىَلَع َىىُوِلْسُولاَو اًهاَرَح َّلَحَأ ْوَأ ًلّ َلََح َمَّرَح اًحْلُص َّلِّا َيْيِوِلْسُولا َيْيَب ٌزِئاَج ُحْلَّصلا

اًهاَرَح َّلَحَأ ْوَأ ًلّ َلََح َمَّرَح اًطْرَش ّلِّا ْنِهِطوُرُش

“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali

perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang

haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka

kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan

yang haram,” ( HR. Tirmidzidari „Amr bin „Auf)

2. Pihak-pihak terkait harus saling menyepakati

Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa’ : 29

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganah kamu saling

Referensi

Dokumen terkait

cerevisiae ​dapat tumbuh pada medium yang mengandung air gula dengan konsentrasi tinggi.. cerevisiae ​ merupakan golongan khamir yang mampu memanfaatkan senyawa gula

Skripsi, Jakarta: Program Studi Pendidikan Ekonomi, Konsentrasi Pendidikan Administrasi Perkantoran, Jurusan Ekonomi dan Administrasi, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri

Di samping itu, pengamatan dan analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran uang (M2) merupakan variabel kunci bagi otoritas moneter untuk menetapkan

Ketika pemerintah menerapkan liberalisasi perdagangan beras maka pasar beras Indonesia terintegrasi dengan pasar beras internasional dan harga beras dalam negeri akan

perataan laba dengan perusahaan yang tidak melakukan bahwa mempunyai. reaksi pasar

Pegawai yang tidak masuk kerja, terlambat masuk bekerja, dan atau.. pulang sebelum waktunya tanpa alasan yang sah dianggap tidak

Hasil penelitian Ayem dan Nugroho (2016) yang menguji tentang pengaruh profitabilitas, struktur modal, kebijakan dividen, dan keputusan investasi terhadap nilai

Pada tahap persiapan, praktikan menyiapkan seluruh kebutuhan dan administrasi yang diperlukan untuk mencari tempat PKL. Dimulai dengan pengajuan surat permohonan PKL