• Tidak ada hasil yang ditemukan

TITIS IZATIN BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TITIS IZATIN BAB II"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Hukum Acara Perdata

1. Pengertian dan Bentuk Hukum Acara Perdata

Sebagai bagian dari hukum acara (formeel recht), maka hukum acara perdata mempunyai ketentuan-ketentuan pokok yang bersifat umum dan dalam penerapannya hukum acara perdata mempunyai fungsi untuk mempertahankan, memelihara, dan menegakan ketentuan-ketentuan hukum perdata materil. Oleh karena itu eksistensi hukum acara perdata sangat penting dalam kelangsungan ketentuan hukum perdata materil.

Adapun beberapa pengertian hukum acara perdata menurut beberapa pakar hukum

a. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH

Beliau mengemukakan batasan bahwa hukum acara perdata sebagai rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata (dalam Halim, A. Ridwan. 1996:1).

(2)

Memberi batasan hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata material dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menetukan bagaimana caranyamenjamin pelaksanaan hukum perdata material. Lebih kongkrit lagi dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya, dan pelaksanaan dari pada putusannya (dalam Prastiwi ,Intan Anggrarani, 2017 : 9).

c. Prof. Dr. R. Supomo, SH

Dengan tanpa memberikan suatu batasan tertentu, tapi melalui visi tugas dan peranan hakim menjelaskan bahwasanya dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata (burgerlijk rechtsorde) menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara.

Berdasarkan pengertian–pengertian yang dikemukakan diatas

serta dengan bertitik tolak kepada aspek toeritis dalam praktek peradilan, maka pada asasnya hukum acara perdata adalah :

(3)

orang lain, kemudian dibuatlah surat gugatan sesuai syarat peraturan perundang-undangan;

2) Peraturan hukum yang menjamin, mengatur dan menyelenggarakan bagaimana proses hakim mengadili perkara perdata. Dalam mengadili perkara perdata, hakim harus mendengar kedua belah pihak berperkara (asas Audi Et Alterm Partem). Disamping itu juga, proses mengadili perkara, hakim juga bertitik tolak kepada peristiwanya hukumnya, hukum pembuktian dan alat bukti kedua belah pihak sesuai ketentuan perundang-undangan selaku positif (Ius Constitutum);

3) Peraturan hukum yang mengatur proses bagaimana caranya hakim memutus perkara perdata;

4) Peraturan hukum yang mengatur bagaimana tahap dan proses pelaksanaan putusan hakim (Eksekusi).

2. Asas-asas Hukum Acara Perdata

(4)

disiplin yang mula-mula membentuk ajaran hukum umum (algemene rechtsleer) (dalam Mertokusumo, Sudikno, 2006 : 36).

Terdapat empat elemen substantif dalam asas Hukum Acara Perdata yaitu nilai yang mendasari sistem hukum (philosophic), adanya asas-asas hukum (legal principle), adanya norma atau peraturan perundang-undangan (legal rules) dan yang terakhir adalah masyarakat hukum pendukung sistem tersebut (legal society). Paton menyebutkan sebagai suatu sarana membuat hukum itu hidup, tumbuh dan berkembang ia menunjukkan, bahwa hukum itu bukan sekedar kumpulan dari peraturan-peraturan belaka. Kalau dikatakan, bahwa dengan adanya asas hukum, hukum itu bukan merupakan sekedar kumpulan peraturan-peraturan maka hal itu disebabkan oleh karena asas itu mengandung nilai-nilai tuntutan etis, apabila suatu peraturan hukum dipahami, mungkin tidak akan ditemukan pertimbangan etis di dalamnya dan dapat dirasa adanya petunjuk kearah yang diharapkan selama ini (Artikel Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata, t.t, tersedia di : http://www.bphn.go.id/data/documents/na_ruu_tentang_hukum_acara_pe rdata_(small_claims_court).p df).

Adapun asas-asas hukum acara perdata di Indonesia sebagai berikut (dalam Arrafi, Alfi Yudhistra, 2016 : 12-17) :

(5)

Asas ini merupakan aspek fundamental dalam praktik beracara di persidangan. Karena sebelum Majelis hakim mulai menyidangkan perkara perdata, Majelis Hakim harus menyatakan bahwa persidangan dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. Hal ini berpengaruh terhadap keabsahan dari pada putusan yang akan diputuskan Majelis Hakim dan dapat berpengaruh batalnya putusan demi hukum.

Dalam Pasal 13 ayat (1) sampai dengan ayat (3) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa:

(1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.

(2) Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. (3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Sifat terbukanya pengadilan baik dalam tahap pemeriksaan maupun dalam tahap pembacaan putusan. Apabila putusan diucapkan dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mana akan mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum (Mertokusumo, Sudikno. 2009 : 20).

Secara formil asas ini membuka kesempatan soccial control yang berarti persidangan tidak mempunyai arti apabila

(6)

(http://www.academia.edu/9759643/HUKUM_ACARA_PERDATA ). Namun dikecualikan apabila ditentukan lain oleh Undang-undang atau apabila berdasarkan alasan-alasan yang penting yang dimuat di dalam berita acara yang diperintahan oleh hakim.

Dalam praktiknya, seringkali terjadi kontradiksi. Asas ini kebanyakan dilanggar oleh hakim maupun para pihak beserta kuasa hukumnya, dimana pada saat agenda pembacaan gugatan, surat tidak dibacakan oleh masing-masing pihak tetapi hanya diserahkan langsung kepada hakim seolah-olah telah dibacakan untuk umum (Muljono, Wahju, 2012 : 37). Hal ini tentu berpengaruh terhadap pengunjung yang hadir tidak dapat mengetahui substansi gugatan dari para pihak sehingga pengunjuk tidak lagi dapat mengontrol objektivitas hakim.

2) Hakim Bersifat Pasif (Lijdelijkeheid van de rechter)

(7)

perkara dan dari sisi luas sengketa. Pertama, dari sisi visi inisiatif datangnya perkara, atau tidaknya, gugatan bergantung pada pihak yang berkepentingan yang merasa ataupun dirasa bahwa haknya telah dilanggar orang lain. Apabila tidak diajukannya gugatan oleh para pihak maka tidak ada hakim yang mengadili perkara tersebut (Nemo judex sine actore). Kedua, dari sisi visi luas pokok sengketa, hanya para pihak yang berhak menentukan sehingga hakim hanya bertitik tolak pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak yang bersangkutan (secundum allegat iudicare).

Jika dilihat dalam Pasal 130 HIR atau 154 RBg, para pihak dapat dengan bebas mencabut perkara yang telah diajukan ke pengadilan dan hakim tidak dapat menghalangi. Namun dalam praktiknya, penerapan asas “hakim bersifat pasif” telah mengalami

(8)

Asas hakim pasif memberikan batasan kepada hakim untuk tidak dapat mencegah apabila gugatan tersebut dicabut atau para pihak akan melakukan perdamaian (Pasal 130 HIR) atau hakim hanya mengadili luas pokok sengketa yang diajukan para pihak dan dilarang mengabulkan atau menjatuhkan putusan melebihi dari apa yang dituntut (Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR) (Lilik Mulyadi, 2002 : 18 dalam Prastiwi ,Anggrarani Intan, 2017 : 11). 3) Mendengarkan kedua belah pihak yang berperkara (Audiet Alteram

Partem)

Setiap pihak-pihak yang berperkara harus didengar atau diperlakukan sama serta diberikan kesempatan yang sama untuk membela kepentingan mereka. Hal ini berarti dalam pengajuan alat bukti baik berupa surat, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak yang bersengketa (Mertokusumo,Sudikno, 2009 : 14- 15).

Dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa :

Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”

(9)

memberikan kesimpulan dasar dengan menyatakan salah satu pihak benar tanpa memberi kesempatan kepada pihak lainnya untuk mengemukakan pendapatnya di muka persidangan. Asas ini juga berlaku dalam penerapan beban pembuktian kepada para pihak. Dengan asas Audiet Alteram Partem, hakim haruslah adil dalam membebankan pembuktian agar kesempatan untuk kalah atau menang kedua belah pihak tetap sama tidak pincang (Muljono,Wahju, 2012 : 37).

4) Beracara dikenakan biaya (Nietkosteloze rechtspraak)

(10)

setempat dengan berperkara secara cuma-cuma (prodeo) sebagaimana diatur dalam Pasal 237 HIR atau Pasal 273 RBg yang berbunyi :

“Barang siapa yang hendak berperkara, baik sebagai penggugat maupun tergugat tidak mampu menanggung biayanya, dapat memperoleh izin secara cuma-cuma” .

Namun, hal tersebut berbeda dalam praktiknya dilapangan, yang mana apabila seseorang akan berperkara secara cuma-Cuma (prodeo), para pihak yang bersangkutan harus benar-benar dalam keadaan tidak mampu dengan melampirkan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh Kepala Desa/Lurah serta diketahui oleh Camat tempat para pihak yang bersangkutan tinggal. Selanjutnya pendanaan bantuan hukum ini dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) (Soeroso,R, 2010 : 209 dalam Arrafi, Alfi Yudhistra, 2016 : 15).

5) Putusan Hakim Harus disertai Alasan-alasan

Semua putusan pengadilan haruslah memuat alasan-alasan putusan tersebut secara keseluruhan sebagai dasar pertimbangan untuk mengadili, Pasal 184 HIR ayat (1) atau Pasal 195 ayat (1) RBg. Argumentasai ini dipergunakan oleh hakim sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat, dan juga untuk menunjukkan bahwa dalam pemeriksaannya dilakukan secara obyektif dan fair sehingga putusannya berwibawa bukan karena

(11)

argumentasi dari putusannya yang berdasarkan hukum (ratio legis) (muljono, wahju, 2012 : 38 dalam Arrafi, Alfi Yudhistra, 2016 : 16). 6) Tidak Ada Keharusan Mewakilkan

HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang berkepentingan. Akan tetapi, dalam prakteknya banyak para pihak menginginkan diwakili oleh kuasa atau pengacara dalam hukum acara perdata maka hal tersebut dibolehkan. Dengan demikian hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasa (Mertokusumo, Sudikno, 2009 : 18).

7) Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya ringan

Asas ini tertuang dalam Pasal 2 ayat 4 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman yang berbunyi:

“Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”.

(12)

pemeriksaan yang cepat dengan memperhatikan efisiensi waktu yang digunakan sehingga tidak berimbas pada penumpukan perkara yang masuk akibat terlalu lamanya proses pemeriksaan. Biaya ringan berarti dalam pelaksanaan hukum acara biaya ditekan seminimal mungkin sehingga terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat yang hendak mencari keadilan.

B. Tinjauan Umum tentang Gugatan Sederhana

1. Definisi Gugatan Serhana (Small Claim Court)

Small Claim Court adalah untuk pengadilan yang menyediakan

formalitas bagi masyarakat yang ingin menuntut sejumlah uang tanpa harus menyewa seorang pengacara dan materi gugatannya tidak besar, selain itu pemeriksaan perkaranya yang tidak rumit dan bersifat sederhana yang tidak membutuhkan uang yang banyak seperti mengajukan perkara ke pengadilan umum (Local Courts Act 2007 s35(2), New South Wales Consolidated Acts dalam Tim peneliti pusat Studi Hukum Ekonomi dan Kebijakan Publik).

Menurut Financial, Wikipedia Dictionary, small claims court ; “a special court, semetimes called concillation court, that provides

(13)

Dictionary.Thefreedictionary.com tersedia dalam a href=”http://legaldictionary.thefreedictionary.com/Small+Claims+Court”

>Small Calaim Court</a> diakses 13 Januari 2018).

Berdasarkan Black’s Law Dictionary, small claims court diartikan sebagai suatu pengadilan yang bersifat informal di luar mekanisme pengadilan pada umumnya dengan pemeriksaan yang cepat untuk mengambil keputusan atas tuntutan ganti kerugian atau utang piutang yang nilai gugatannya kecil (Gardner, A. Bryan, 2004). Penyelesaian perkara ini mengharapkan para pihak yang berperkara dapat mengajukan kasusnya sendiri tanpa bantuan dari seorang pengacara. Untuk menunjangnya, hakim didorong melakukan pendekatan yang lebih intensif dalam mengadili dan memutus perkara dengan gugatan kecil (Baldwin, Jhon, 2003 : 20).

Menurut I. P. M. Ranuhandoko (2013 : 501) , "Small Claim Court" adalah Pengadilan perdata yang menangani urusan kecil, Di

Amerika Serikat perkara yang kurang dari $ 100,- (seratus dollar) (Nilai minimun dalam pembatasan gugatan perdata yang dapat diperiksa dengan prosedur gugatan sederhana oleh tiap-tiap negara diberi ambang batas minimum yang berbeda-beda.

(14)

mengambil keputusan atas tuntutan ganti kerugian atau utang piutang yang nilai gugatannya kecil .

Dalam Pasal 1 angka 1 PERMA Nomor 2 tahun 2015 disebutkan Penyelesaian Gugatan Sederhana diartikan sebagai tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materiil paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktiannya sederhana (Wasis Priyanto, pemeriksaan gugatan sederhana (Small

Claim Court) tersedia di

http://pn-sukadana.go.id/webnew/upload/SMALL_CLAIM_COURT_di_Indonesi a.pdf).

Sehingga dari pengertian-pengertian mengenai gugatan sederhana tersebut dapat ditarik suatu gambaran bahwa gugatan sederhana merupakan gugatan perdata dengan nilai gugatan materiil paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktian yang sederhana dengan disertai kekuatan hukum didalamnya, yang mana Small Claim Court memiliki beberapa sifat diantaranya: (a) Informal yang dapat berarti merupakan mekanisme di luar mekanisme peradilan pada umumnya; (b) dilakukan dengan cepat dan efisien (expeditiously); dan (c) tuntutan ganti rugi dengan hitungan yang spesifik (specific monetary amount).

(15)

Small Claim Court didirikan oleh Pengadilan Cleveland pada 1913. Latar belakang sejarah Small Claim Court di Cleveland, adalah ketika gagasan ini muncul sebagai pengadilan pertama yang mengakhiri eksploitasi pada orang miskin dengan menawarkan keadilan yang mengutamakan perdamaiaan di Cleveland sejak kota tersebut tidak memiliki pengadilan itu sendiri, masyarakat Cleveland kemudian menyetujiu rancangan undang-undang yang menjadikan terciptanya gagasan Small Claim Court pada tahun 1913 (Fakhriah, Ela Laela ).

Sedangkan dalam sejarah Small Claim Court menurut Anthony Ross (2007) tentang Small Claim Court, Sejarah Small Claim Court dapat ditelusuri sampai pada tahun 1960,

“The History of the Movement to establish Small Claim Court dates back

to early 1960’s when the Justice of the Peace courts were increasingly

being seen as obsolete.”

artinya Sejarah pergerakan pembentukan Small Claim Court dapat ditelusuri sampai pada tahun 1960 ketika Justice of Peace (Pegawai yang berfungsi seperti Hakim dengan kewenangan yang terbatas untuk mendengarkan perkara perdata, menjaga perdamaian, melakukan tindakan yudisial, mendengar keluhan pidana ringan dan menindak pelanggar hukum lembaga peradilan dilihat semakin ketinggalan jaman.

The idea was to create a court system which would allow people to

(16)

less court where ordinary people could settle their affairs amicably, without expense, delay, technicality or contentiousness, assisted by unified law and simplified procedure that opened the practice of law to the lay man.”

artinya gagasannya adalah untuk menciptakan sebuah sistem peradilan yang memungkinkan orang untuk merepresentasikan diri mereka sendiri. Dengan konsep yang sederhana, informal, peradilan tanpa pengacara, dimana orang-orang biasa dapat menyelesaikan perkara mereka dengan damai, tanpa biaya, tanpa penundaan, secara teknis dan teliti, dibantu dengan peraturan yang terpadu dan prosedur yang disederhanakan yang memudahkan penerapannya bagi orang awam). (Anthony Ross Background on small Claim Court, dapat dilihat di http://legaldictionary. thefreedictionary.com/Justice+of+Peace).

(17)

Di Indonesia sendiri, hukum acara perdata Indonesia yang masih berpegang pada HIR maupun Rbg sebagai hukum positif yang menjadi aturan main penyelesaianan sengketa perdata di pengadilan tidak mengenal penyelesaian sengketa secara cepat maupun singkat sebagaimana yang diberlakukan untuk menyelesaikan perkara pidana dan tata usaha negara, dengan kata lain, HIR maupun Rbg hanya membedakan perkara menjadi gugatan dan permohonan yang ketika diselesaikan melalui pengadilan, untuk sengketa jenis apapun para pihaknya terkait untuk mengikuti prosedur beracara yang sudah ditetapkan. Dengan dikeluarkannya Yurisprudensi MA No. 813 K/SIP/1976 melalui MA tanggal 17 Februari 1976 dipertegas bahwa hukum acara perdata Indonesia tidak mengenal pemeriksaan kilat/singkat (Afrina, Anita :2015 dalam Arrafi, Yudhistira Alfi. 2016 : 28).

(18)

kedudukan PERMA merupakan produk hukum Mahkamah Agung yang legal (Pasare, Alni. 2017 : 94).

Asas sederhana, dalam konteks Peratran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 berkisar dan berintikan pada gugatannya, yakni gugatan sederhana itu sendiri. Merujuk pada ketentuan hukum acara perdata, gugatan sederhana tidak secara jelas diatur, oleh karena gugatan yang dimaksudkan adalah gugatan yang berlaku terhadap perkara apapun tanpa dibedakan secara klasifikasinya.

Achmad Fauzan dan Suhartanto (2008 : 78), menerangkan bahwa tidak ada ketentuan hukum yang mengatur tentang tata cara menyusun atau membuat gugatan yang baik, akan tetapi, dengan memperhatikan ketentuan hukum acara perdata, baik yang diatur dalam HIR/RBg, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) maupun dalam putusan-putusan Mahkamah Agung (Yurisprudensi), ditambah dengan pengalaman praktik, maka setidak-tidaknya akan dapat menghindari kelemahan formal dari gugatan.

(19)

menerbitkan PERMA Small Claim Court ini dalam upaya mewujudkan negara demokrasi modern dan meningkatkan pelayanan terbaik bagi masyarakat pencari keadilan. Melalui berbagai kajian Kelompok Kerja (Pokja) lahirlah PERMA ini untuk diterapkan semua pengadilan, terbitnya PERMA ini juga salah satu cara mengurangi volume perkara di MA. Karena, dalam tiga tahun terakhir MA menerima beban perkara sekitar 12 ribu hingga 13 ribu perkara per tahun, sehingga perkara perdata kecil yang nilai gugatan maksimal Rp200 juta tidak perlu diajukan banding atau kasasi karena putusan pengadilan tingkat pertama sebagai

pengadilan tingkat terakhir

(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55d71ac18056b/urgensi-terbitnya-perma-small-claim-court).

Berkaitan dengan kondisi tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) pada Februari 2015 melakukan survei non-probablilistik terhadap 75 responden yang pernah melakukan penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan. Dari survei yang dilakukan, dapat diketahui hal-hal sebagai berikut:

Tabel 1 : Persepsi Kerumitan Prosedur

Respon Presentase

Rumit 60%

Sangat Rumit 33%

Sederhana 7%

(20)

Sumber : Survei Non-Probabilitas Pokja Gugatan Sederhana MA, 2015.

Tabel 2: faktor Penting untuk dibebani

Respon Presentase

Biaya 66%

Lama waktu Penyelesaian 14% Efektifitas Putusan 5%

Lainnya 15%

(Sumber : Survei Non-Probabilitas Pokja Gugatan Sederhana MA, 2015).

(21)

Kemudian untuk menjawab tantangan waktu selama proses penyelesaian perkara di pengadilan, Mahkamah Agung pernah menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 6 Tahun 1992 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri serta SEMA Nomor 3 Tahun 1998 tentang Penyelesaian Perkara selama paling lama 6 (enam) bulan. Dalam perkembangannya, waktu 6 (enam) bulan tersebut dianggap masih terlalu lama untuk menyelesaikan suatu perkara. MA kemudian menerbitkan kembali SEMA yaitu SEMA Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada 4 (empat) Lingkungan Peradilan yang membatasi waktu penyelesaian perkara pada Pengadilan Tingkat Pertama paling lambat 5 (lima) bulan dan pada Pengadilan Tingkat Banding paling lambat 3 (tiga) bulan. Namun demikian, ketentuan batas waktu tersebut masih dirasakan terlalu lama untuk menyelesaikan perkara perdata dengan nilai perkara yang kecil (Taufik, Giri Ahmad, dkk. 2017 : 49).

3. Kriteria Perkara Gugatan Sederhana (Small Claim Court)

(22)

pihak-pihak penggugat dan tergugat tidak boleh lebih dari satu, kecuali kepentingan hukum yang sama.

Dalam gugatan sederhana baik penggugat maupun tergugat diwajibkan hadir secara langsung dalam persidangan dengan atau tanpa kuasa hukum. Small claim court tidak dapat diterapkan untuk perkara yang tergugatnya tidak diketahui tempat tinggalnya. Persidangan small claim court dipimpin oleh hakim tunggal.

PERMA menyebut dua jenis perkara yang tidak bisa diselesaikan dalam small claim court. Pertama, perkara yang penyelesaian sengketanya dilakukan melalui pengadilan khusus sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kedua, perkara sengketa hak atas tanah.

Terkait jangka waktu, PERMA Nomor 2 Tahun 2015 menetapkan bahwa small claim court berlangsung paling lama 25 hari sejak hari pertama. Dengan jangka waktu yang begitu singkat, PERMA Nomor 2 Tahun 2015 ‘melarang’ para pihak untuk mengajukan tuntutan

provisi, eksepsi, rekonvensi, intervensi, replik, duplik, atau kesimpulan. Tahapan-tahapannya adalah pendaftaran, pemeriksaan kelengkapan berkas, penetapan hakim dan penunjukkan panitera, pemeriksaan pendahuluan, penetapan hari sidang dan pemanggilan para pihak, pemeriksaan sidang dan perdamaian, pembuktian, dan putusan.

(23)

penting karena di tahap ini, hakim berwenang menilai dan kemudian menentukan apakah perkara tersebut adalah gugatan sederhana.

Apabila hakim berpendapat bahwa perkara bukanlah gugatan sederhana, maka dikeluarkan penetapan yang artinya small claim court tidak berlanjut. Atas penetapan hakim ini, tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun kecuali upaya hukum keberatan terhadap putusan tersebut.

Satu hal yang menarik dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2015 adalah kewajiban bagi hakim untuk berperan aktif dalam bentuk memberikan penjelasan mengenai acara gugatan sederhana secara berimbang kepada para pihak; mengupayakan penyelesaian perkara secara damai termasuk menyarankan kepada para pihak untuk melakukan perdamaian di luar persidangan; menuntun para pihak dalam pembuktian; dan menjelaskan upaya hukum yang dapat ditempuh para pihak.

Terkait putusan akhir small claim court, PERMA Nomor 2 Tahun 2015 mengatur bahwa para pihak dapat mengajukan keberatan terhadap putusan hakim tersebut. Upaya keberatan paling lambat tujuh hari setelah putusan diucapkan atau setelah pemberitahuan putusan. Putusan majelis hakim atas keberatan adalah putusan akhir atau bersifat final sehingga tidak tersedia upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali.

(24)

Gugatan sederhana diperiksa dan diputus oleh Hakim Tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan. Adapun tahapan-tahapan dalam penyelesaian Gugatan sederhana ini meliputi:

1) Pendaftaran;

2) Pemeriksaan kelengkapan gugatan sederhana;

3) Penetapan hakim dan penunjukan panitera pengganti; 4) Pemeriksaan pendahuluan;

5) Penetapan hari sidang dan pemanggilan para pihak; 6) Pemeriksaan sidang dan perdamaian;

7) Pembuktian; dan 8) Putusan.

Bagan 1 : Alur Persidangan

9)

10)

Sumber : Arrafi, Alfi Yudhistira. 2016. Pendaftaran

Gugatan

Pemeriksaan kelengkapan Gugatan sederhana

Penetapan hakim dan penunjukan panitera pengganti

Pemeriksaan Pendahuluan Penetapan hari sidang

dan pemanggilan para pihak

Pemeriksaan Sidang dan Perdamaaan

(25)

Hal yang diutamakan dalam PERMA ini adalah penyelesaian gugatan sederhana paling lama 25 (dua puluh lima) hari sejak hari sidang pertama (Ketentuan Pasal 5 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).

Tahap pemeriksaan, penggugat mendaftarkan gugatannya di kepaniteraan pengadilan. Penggugat dapat mendaftarkan gugatan dengan mengisi blanko gugatan yang disediakan di kepaniteraan. Blanko gugatan berisi keterangan mengenai (Ketentuan Pasal 6 PERMA No. 2 Tahun 2015)

1) Identitas penggugat dan tergugat; 2) Penjelasan ringkas duduk perkara; dan 3) Tuntutan penggugat.

Penggugat wajib melampirkan bukti surat yang sudah dilegalisasi pada saat mendaftarkan gugatan sederhana (Ketentuan Pasal 6 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).

Tahap berikutnya adalah penyelesaian kelengkapan gugatan sederhana. Panitera melakukan pemeriksaan syarat pendaftaran gugatan sederhana berdasarkan ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 peraturan ini. Panitera mengembalikan gugatan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Kemudian, pendaftaran gugatan sederhana dicatat dalam buku register khusus gugatan sederhana (Ketentuan Pasal 7 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).

(26)

mampu dapat mengajukan permohonan beracara secara cuma-cuma atau prodeo (Ketentuan Pasal 8 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).

Tahap selanjutnya adalah Penetapan Hakim dan Penunjukan Panitera Pengganti. Ketua pengadilan menetapkan Hakim untuk memeriksa gugatan sederhana. Panitera menunjuk panitera pengganti untuk membantu Hakim dalam memeriksa gugatan sederhana (Ketentuan Pasal 9 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).

Keseluruhan proses pendaftaran gugatan sederhana, penetapan Hakim dan penunjukan panitera pengganti dilaksanakan paling lambat 2 (dua) hari (Ketentuan Pasal 10 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).

Pada Pemeriksaan Pendahuluan, Hakim memeriksa materi gugatan sederhana berdasarkan syarat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 peraturan ini. Hakim menilai sederhana atau tidaknya pembuktian. Apabila dalam pemeriksaan, Hakim berpendapat bahwa gugatan tidak termasuk dalam gugatan sederhana, maka Hakim mengeluarkan penetapan yang menyatakan bahwa gugatan bukan gugatan sederhana, mencoret dari register perkara dan memerintahkan pengembalian sisa biaya perkara kepada penggugat. Terhadap penetapan yang dimaksud diatas, tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun (Ketentuan Pasal 11 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).

(27)

Pada Pasal 13, dalam hal penggugat tidak hadir pada hari sidang pertama tanpa alasan yang sah, maka gugatan dinyatakan gugur. Jika Tergugat tidak hadir pada sidang pertama, maka dilakukan pemanggilan kedua secara patut. Dalam hal tergugat tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka gugatan diperiksa dan diputus secara contradictoir. Terhadap putusan dimana tergugat tidak hadir pada hari sidang kedua, kemudian Hakim memutus perkara tersebut, tergugat dapat mengajukan keberatan (Ketentuan Pasal 13 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).

Hakim yang ditunjuk untuk menyelesaikan gugatan sederhana wajib berperan aktif dalam melakukan hal-hal sebagai berikut:

1) Memberikan penjelasan mengenai acara gugatan sederhana secara berimbang kepada para pihak;

2) Mengupayakan penyelesaian perkara secara damai termasuk menyarankan kepada para pihak untuk melakukan perdamaian di luar persidangan;

3) Menuntun para pihak dalam pembuktian; dan Menjelaskan upaya hukum yang dapat ditempuh para pihak.

Peran aktif sebagaimana disebutkan diatas harus dilakukan dalam persidangan yang dihadiri oleh para pihak (Ketentuan Pasal 14 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).

(28)

Nomor 2 Tahun 2015. Upaya perdamaian dalam perma ini mengecualikan ketentuan yang diatur dalam ketentuan Mahkamah Agung mengenai prosedur mediasi. Dalam hal tercapai perdamaian, Hakim membuat Putusan Akta Perdamaian yang mengikat para pihak. Terhadap Putusan Akta Perdamaian tidak dapat diajukan upaya hukum apapun. Dalam hal tercapai perdamaian di luar persidangan dan perdamaian tersebut tidak dilaporkan kepada Hakim, maka Hakim tidak terikat dengan perdamaian tersebut (Ketentuan Pasal 15 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).

Jika perdamaian tidak tercapai pada hari sidang pertama, maka persidangan dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan dan jawaban tergugat (Ketentuan Pasal 16 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).

Proses pemeriksaan gugatan sederhana, tidak dapat diajukan tuntutan provisi, eksepsi, rekonvensi, intervensi, replik, duplik, atau kesimpulan (Ketentuan Pasal 17 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).

Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan yang berkaitan dengan kebijakan maupun teknis pelaksanaan ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum atau Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI (Ketentuan Pasal 17 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).

(29)

hakim melakukan pemeriksaan pembuktian berdasarkan hukum acara yang berlaku (Ketentuan Pasal 18 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).

Hakim membacakan putusan dalam sidang terbuka untuk umum. Hakim wajib memberitahukan hak para phak untuk mengajukan keberatan (Ketentuan Pasal 19 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).

Putusan dalam gugatan sederhana terdiri dari:

1) Kepala putusan dengan irah-irah yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;

2) Identitas para pihak;

3) Uraian singkat mengenai duduk perkara; 4) Pertimbangan hukum; dan

5) Amar putusan.

Dalam hal para pihak tidak hadir, jurusita menyampaikan pemberitahuan putusan paling lambat 2 (dua) hari setelah putusan diucapkan. Atas permintaan para pihak salinan putusan diberikan paling lambat 2 (dua) hari setelah putusan diucapkan. Panitera pengganti mencatat jalannya persidangan dalam Berita Acara Persidangan yang ditandatangani oleh Hakim dan panitera pengganti (Ketentuan Pasal 20 PERMA Nomor 2 Tahun 2015).

5. Yuridiksi gugatan Sederhana

(30)

gugatan sederhana telah diatur oleh PERMA Nomor 2 Tahun 2015 khususnya Pasal 3 dan Pasal 4 yang sebagai berikut :

Pasal 3 : (1) Gugatan sederhana diajukan terhadap perkara cidera janji dan/atau perbuatan melawan hukum dengan nilai gugatan materil paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);

(2) tidak termasuk dalam gugatan sederhana adalah : a. perkara yang penyelesaiaannya dilakukan

melalui pengadilan khusus sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undanagn; atau b. sengketa hak atas tanah.

Pasal 4 : (1) Para pihak dalam gugatan sederhana terdiri dari penggugat dan tergugat yang masing-masing tidak boleh lebih dari satu, kecuali memiliki kepentingan hukum yang sama.

(2)Terhadap tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya, tidak dapat diajukan gugatan sederhana.

(3) Penggugat dan tergugat dalam gugatan sederhana berdomisili di daerah hukum pengadilan yang sama.

(4) penggugat dan tergugat wajib menghadiri secara langsung setiap persidangan dengan atau tanpa didampingi kuasa hukum.

Namun dalam prakteknya tidak mudah untuk menentukan perkara tersebut adalah murni perkara dengan obyek materi sederhana, contoh dalam sengketa hutang piutang ada jaminan tanah atau gadai tanah. Karena dalam menentukan posisi perkara tiap pihak pasti beda, bisa jadi pihak penggugat menyatakan ini wanprestasi, tetapi tergugat menyatakan sengketa tanah.

(31)

sederhana ataukah melalui proses acara pemeriksaan biasa karena terdapat beberapa kualifikasi agar perkara tersebut masuk dalam kategori gugatan sederhana sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) PERMA Nomor 2 Tahun 2015.

6. Manfaat Gugatan Sederhana (Small Claim Court)

a. Meningkatkan aksesibilitas bagi masyarakat untuk mencapai keadilan 1) Terutama aksesibilitas bagi masyarakat yang tidak mampu; 2) Penyelesaiaan kasus-kasus keseharian yang tidak kompleks; 3) Penyerderhanaan prosedur mengntngkan oang awam/hukum; 4) Menekan kemungkinan perkara yang berlart-larut, bahkan

berlanjut;

5) Mendorong kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan karena sifat peradilan yang efisien dan efektif.

b. Mendorong terwujudnya asas peradilan yang sederhana. 1) Prosedur yang lebih sederhana;

2) Pemeriksaan oleh hakim tunggal;

3) Selaras dengan asas doelmagtigheid (kepatutan) karena menghindari prosedur yang berbelit-belit.

c. Mendorong terwujudnya asas peradilan yang cepat.

d. Memberi kesempatan untuk memilih mekanisme dan yuridksi yang tepat

(32)

f. Mewujudkan keadilan restoraktive dan mempertimbangkan ius contituendum

(http://www.aai.or.id/v3/index.php?option=com_content)

C. Tinjauan Umum tentang Penyelesaian Sengketa

1. Pengertian Sengketa Perdata

Pengerian Sengketa menurut Nurnaningsih Amriani (2012 : 13) adalah perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak dalam perjanjian karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian. Hal yang sama juga disampaikan oleh Takdir Rahmadi (2011: 1) yang mengartikan bahwa konflik atau sengketa merupakan situasi dan kondisi di mana orang-orang saling mengalami perselisihan yang bersifat faktual maupun perselisihan- perselisihan yang ada pada persepsi mereka saja (dalam Prastiwi ,Intan Anggrani, 2017 : 8) .

Sedangkan menurut pengertisan sengketa menurut D. Y Witanto (2012 : 2) adalah pertentangan atau konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat (populasi sosial) yang membentuk oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan (dalam Prastiwi, Intan ,Anggrani, 2017 : 8).

(33)

Pelanggaran hak seseorang itu dapat terjadi karena perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang menimbulkan kerugian bagi orang lain, seperti diatur dalam Undang-undang atau karena wanprestasi, yaitu tidak memenuhi kewajiban dalam pelaksanaan kontrak yang menimbulkan kerugian bagi orang lain. Kerugian yang timbul itu dapat berupa kerugian materil, misalnya kerusakan atas barang atau berupa kerugian imaterial, misalnya kehilangan hak menikmati barang atau pencemaran nama baik. Pelanggaran hak seseorang itu dapat terjadi karena kesengajaan atau karena kelalaian. Pada perkara perdata, inisiatif berperkara datang dari pihak yang dirugikan. Karena itu, pihak yang yang dirugikan mengajukan perkaranya ke Pengadilan untuk memperoleh penyelesaian berupa pemulihan, penggantian kerugian, dan menghentikan perbuatan yang merugikan itu (Abdulkadir, Muhammad. 2008 : 19-20 dalam Prastisi, Intan Anggrarani, 2017 : 8).

2. Penyelesaian sengketa di luar Pengadilan (Nonlitigasi)

(34)

Penyelesaian sengketa secara nonlitigasi bersifat tertutup untuk umum (close door session) dan kerahasiaan para pihak terjamin (confidentiality), proses beracara lebih cepat dan efisien. Proses beracara di luar pengadilan ini menghindari kelambatan yang diakibatkan prosedural dan administratif sebagaimana beracara di pengadilan umum dan win-win solution. Penyelesaian sengketa ini dinamakan sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) (Winarta, Frans Hendra, 2011:9).

Penyelesaian sengketa melalui APS diatur oleh Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Berdasarkan Pasal 1 Angka 10 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mendefinisikan sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan. Adapun penyelesaiannya dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli dan arbitrase.

1) Konsultasi

Konsultasi adalah suatu tindakan yang bersifat “personal”

(35)

Negosiasi adalah suatu proses tawar-menawar atau upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain melalui proses interaksi, komunikasi yang dinamis dengan tujuan untuk mendapatkan penyelesaian atau jalan keluar atas suatu masalah yang sedang berlangsung. Berbeda dengan mediasi, komunikasi yang dilaksanakan dalam proses negosiasi dibangun oleh para pihak tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah.

3) Mediasi

Mediasi merupakan suatu prosedur dimana seseorang atau lebih bertindak sebagai mediator yang sifatnya penengah. Mediator memiliki peran sebagai pihak yang mengawasi jalannya mediasi seperti mengatur perundingan, menyelenggarakan pertemuan, mengatur diskusi, menjadi penengah, merumuskan kesepakatan dalam para pihak, serta membantu para pihak yang bersengketa guna mencapaikesepakatan bersama.

(36)

tahap pelaksanaan mediasi. PERMA Nomor 2 Tahun 2003 memberikan limit waktu yang berbeda antara mediasi yang menggunakan mediator yang disediakan pengadilan dengan mediasi yang menggunakan mediator di luar pengadilan. Mediasi di pengadilan diberikan waktu penyelenggaraan paling lama 22 (dua puluh dua) hari kerja sejak penunjukan mediator, sedangkan mediasi di luar pengadilan berlangsung paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja (Abbas, Syahrizal, 2011 : 332 dalam Silvia, Rohana Fitri, 2017 : 14). 4) Konsolidasi

Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkan kepada suatu komisi orang-orang yang bertugas untuk menguraikan atau menjelaskan fakta-fakta (konsiliator) dimana konsiliator akan membuatkan usulan-usulan untuk suatu penyelesaian namun keputusan tersebut tidak mengikat.

5) Penilaian Ahli

Penilaian ahli atau biasa juga disebut pendapat ahli adalah suatu keterangan yang dimintakan oleh para pihak yang sedang bersengketa kepada seorang ahli tertentu yang dianggap lebih memahami tentang suatu materi sengketa yang terjadi.

6) Adjudiksi

(37)

adjudikasi adalah pengajuan fakta dan bukti dari masing-masing pihak kepada adjudikator, sehingga mampu mempengaruhinya dalam membuat keputusan.

7) Arbritase

Arbitrase adalah bentuk penyelesaian sengketa, dimana para pihak yang bersengketa mengangkat pihak ketiga (arbiter) untuk menyelesaikan sengketa mereka. Keberadaan arbiter harus melalui persetujuan para pihak yang bersengketa. Dalam proses arbitrase keputusan akhir yang diberikan oleh arbiter mengikat para pihak yang bersengketa. Keputusan arbiter yang diambil arbiter bukan didasarkan pada fakta-fakta hukum seperti dalam proses peradilan, tetapi didasarkan pada sejumlah kesepakatan yang terbangun dalam proses arbitrase (Abbas, Syahrizal, 2011 : 332 dalam Silvia, Rohana Fitri, 2017 : 16).

(38)

Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Sedangkan putusan yang dihasilkan oleh APS lainnya bersifat saran yang bisa diterima ataupun ditolak oleh para pihak.

3. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan (Litigasi)

Penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan tunduk terhadap ketentuan hukum acara perdata, yaitu HIR (het Herzienne Indonesisch Reglement), RBg (Rechtsreglement Buitengeweisten), serta peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur mengenai acara perdata. Terdapat 3 (tiga) macam reglemen hukum acara untuk pemeriksaan perkara di muka pengadilan gubernemen pada tingkat pertama, yaitu (Marindowati , dan Nargis, Nilla, 2014 : 2).

a. Reglement op de burgelijke Rechtsvordering (Brv) untuk golongan Eropa yang berperkara di muka Raad van justitie dan residentie gerecht;

b. Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk golongan bumi putera dan timur asing di Jawa dan Madura yang berperkara di muka Landraad; c. Rechtreglement voor de Buitengenwesten (Rbg) untuk golongan bumi

putera dan timur asing di luar Jawa dan Madura yang berperkara di muka Landraad.

(39)

pengadilan, dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata (Projodikoro ,Wirjono, 1992 : 13 dalam dalam Silvia, Rohana Fitri, 2017 : 18). Dengan kata lain Hukum Acara Perdata adalah sekumpulan peraturan yang mengatur cara bagaimana seseorang harus bertindak terhadap orang lain, atau bagaimana seseorang dapat bertindak terhadap Negara atau badan hukum (juga sebaliknya) seandainya hak dan kepentingan mereka terganggu, melalui suatu badan yang disebut badan peradilan, sehingga terdapat tertib hukum. Yang dimaksud dengan peradilan adalah tugas yang dibebankan kepada pengadilan. Tugas utama pengadilan adalah sebagai tempat untuk mengadili atau memberikan putusan hukum dalam perkara-perkara yang diajukan kepadanya (Umar, Said, 2009 : 82).

(40)

golongan rakyat tertentu misalnya kasus perceraian bagi yang beragama islam menjadi kewenangan Peradilan Agama, tindak pidana militer yang menjadi wewenang Peradilan Militer, sengketa administrasi negara atau tata usaha negara yang menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara.

4. Kekuasaan Mengadili

Perkara yang menjadi kompetensi peradilan yang lebih rendah tidak dapat diajukan langsung kepada peradilan yang lebih tinggi. Perkara yang harus diselesaikan terlebih dahulu oleh peradilan tingkat pertama tidak dapat diajukan langsung kepada peradilan banding atau kasasi, demikian juga sebaliknya. Perkara yang menjadi kompetensi peradilan yang lebih tinggi tidak dapat diminta penyelesaiannya kepada peradilan yang lebih rendah.

a. Kompetensi Absolut

Kompetensi absolut adalah wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama maupun dalam lingkungan peradilan yang berbeda.

(41)

Peradilan Tata Usaha Negara kewenangannya terbatas dan tertentu untuk mengadili sengketa Tata Usaha Negara. Sedangkan Peradilan Militer hanya berwenang mengadili perkara pidana yang terdakwanya terdiri dari prajurit TNI berdasarkan pangkat tertentu ( Harahap, M.Yahya, 2008 : 181).

b. Kompetensi Relatif

Kompetensi relatif adalah pembagian kekuasaan mengadili antara badan pengadilan yang serupa yang didasarkan pada tempat tinggal tergugat, jadi kompetensi relatif ini berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan. Kompetensi relatif Pengadilan Negeri hanya terbatas pada daerah hukumnya, di luar itu tidak berwenang (Harahap, M.Yahya, 2008 :181). Sesuai dengan ketentuan Pasal 118 HIR, Pasal 142 RBg, Pengadilan Negeri berwenang memeriksa gugatan yang daerah hukumnya meliputi: a) Tempat tinggal Tergugat, atau tempat Tergugat sebenarnya

berdiam (jikalau Tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya); b) Tempat tinggal salah satu Tergugat, jika terdapat lebih dari

satu Tergugat, yang tempat tinggalnya tidak berada dalam satu daerah hukum Pengadilan Negeri menurut pilihan Penggugat;

(42)

d) Tempat tinggal Penggugat atau salah satu dari Penggugat, dalam hal ini: Tergugat tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak diketahui dimana ia berada;

e) Tergugat tidak kenal. (Dalam gugatan disebutkan terlebih dahulu tempat tinggalnya yang terakhir, baru keterangan bahwa sekarang tidak diketahui lagi tempat tinggalnya di Indonesia);

f) Dalam hal Tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya dan yang menjadi objek gugatan adalah benda tidak bergerak (tanah), maka gugatan diajukan di tempat benda yang tidak bergerak itu berada (Pasal 118 ayat (3) HIR);

g) Untuk daerah yang berlaku RBg, apabila objek gugatan menyangkut benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan ke pengadilan yang meliputi wilayah hukum dimana benda tidak begerak itu berada (Pasal 142 ayat (50) RBg);

Gambar

Tabel 1 : Persepsi Kerumitan Prosedur
Tabel 2: faktor Penting untuk dibebani

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Selanjutnya setelah berlakunya Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum yang

3) Melakukan perubahan kontrak dengan mengurangi pekerjaan pembuatan garasi dan menambahkan pekerjaan penimbunan sesuai hasil perhitungan bersama tim teknis dan

Analisis penangkapan lobster batu hijau (Panulirus homarus) dapat dilihat berdasarkan struktur ukuran dengan menghitung ukuran pertama kali tertangkap, ukuran rata-rata

Biaya Proses Penyelesaian Perkara Yang Tidak Sesuai dengan Ketentuan PERMA Nomor 3 Tahun 2012 tentang Biaya Proses Penyelesaian Perkara dan Pengelolaannya pada Mahkamah Agung

At dahil sila ang ating pag-asa, nararapat lamang na ibigay natin sa kanila ang lahat ng edukasyon na kailangan nila upang maabot nila ang mga pangarap na nais nilang

Hal yang diperlu dipelajari penulis dalam membuat surat penawaran adalah tentang bahasa yang digunakan untuk mengajak klien agar berminat memasang iklan di SKH Jawa

Pembangunan pertanian secara umum telah dan akan terus memberikan kontribusi bagi pembangunan daerah, baik secara langsung dalam peningkatan Produk Domestik Regional Bruto

Dengan rendah hati penulis menyadari bahwa pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki sangat sedikit, namun penulis mencoba mengemukakan sebuah karangan ilmiah