• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PELAKSANAAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DALAM PEMBERDAYAAN PENDIDIKAN ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI PELAKSANAAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DALAM PEMBERDAYAAN PENDIDIKAN ISLAM"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM PEMBERDAYAAN PENDIDIKAN ISLAM

Oleh: Nur Munajat*

Abstrak

Dikotomi sistem pengelolaan pendidikan Islam oleh Depdiknas dan Departemen Agama dan dengan diberlakukannya Undang-undang RI No 22 Th. 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah RI No. 25 Th. 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom merupakan salah satu faktor penyebab kurang optimalnya kinerja sekolah maka diterapkannya manajemen berbasis sekolah (MBS) dalam pemberdayaan pendidikan Islam merupakan suatu keharusan yang perlu segera dilakukan. Esensi MBS adalah otonomi sekolah plus pengambilan keputusan partisipatif. Tujuan MBS adalah untuk memandirikan/memberdayakan sekolah. Stategi pelaksanaan MBS dapat diurutkan sebagai berikut: mensosialisasikan konsep MBS, melakukan analisis sasaran, mengidentifikasikan fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran, melakukan analisis SWOT, menyusun rencana sekolah, mengimplementasikan rencana sekolah dan merumuskan sasaran baru.

A. Pendahuluan

Malik Fadjar berpendapat bahwa berbicara masalah pendidikan sama pentingnya dengan berbicara tentang kehidupan itu sendiri. Tidak berbicara masalah pendidikan berarti tidak menganggap penting arti kehidupan.1 Mastuhu menegaskan bahwa suatu debat akademik mengenai masalah pendidikan tidak akan pernah selesai.

Krisis multidimensional yang mendera bangsa Indonesia lima tahun terakhir dan belum dapat diprediksikan kapan akan berakhir, mendorong masyarakat untuk mencari akar penyebabnya. Dalam upaya

* Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

1 Malik Fajar, pada acara Ceramah Ilmiah tentang Kebijakan Pendidikan Nasional PTAIN di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Selasa, 22 Januari 2002.

(2)

mencari akar penyebab krisis multidimensional tersebut kesalahan selalu ditujukan kepada pemerintahan Orde Baru yang sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Berikutnya kritikan tajam dialamatkan pada bidang politik, ekonomi, hukum dan pendidikan termasuk di dalamnya pendidikan Islam sebagai sub sistem pendidikan nasional. Pendidikan Islam dianggap banyak mengalami kegagalan karena tidak mampu menghasilkan orang-orang yang mempunyai ilmu pengetahuan yang tinggi sekaligus berahklak mulia, jujur, amanah dan seterusnya.

Fazlur Rahman menegaskan bahwa ada empat problema pokok yang dialami oleh pendidikan Islam yaitu pertama, problem ideologi di mana umat Islam tidak dapat mengaitkan ideologi Islam dengan kehidupan nyata, akibatnya kehidupan umat Islam tidak termotifasi untuk belajar dan bekerja keras. Kedua, problem dikotomi sistem pendidikan Islam yang membedakan sistem pendidikan agama dengan sistem pendidikan umum, sistem pendidikan tradisional keagamaan oleh pesantren dan madrasah menghasilkan alumni yang selalu tertinggal dalam persaingan global, sebaliknya sistem pendidikan umum yang bersifat modern sekular hanya dapat menghasilkan orang-orang yang intelek tetapi kropos hatinya. Ketiga, problem bahasa di mana umat Islam lemah dalam bahasa pergaulan dan bahasa ilmu pengetahuan internasional sehingga umat Islam sulit menerima kemajuan ilmu pengetahuan dari luar. Keempat, problem metode pendidikan yang selama ini lebih ditekankan pada metode pengulangan dan metode hafalan sehingga tidak memberi kesempatan siswa untuk lebih bersifat kritis dan inovatif.2 Dari problema dikotomi sistem pendidikan tersebut juga memunculkan dualisme sistem pengelolaan pendidikan yang ada di Republik Indonesia yaitu adanya dua departemen yang membina pendidikan Islam yaitu Depdiknas yang membina pendidikan umum seperti SD, SLTP, SMU, SMK, dan Perguruan Tinggi umum sedangkan, Departemen Agama membina pendidikan Islam yang meliputi Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, PTAIN dan PTAIS serta Pesantren.

(3)

Adanya dualisme sistem pendidikan tersebut menurut H.A.R. Tilaar tidak hanya menimbulkan overlaping dan misinvesment dalam bidang pendidikan tetapi juga akan menghambat tercapainya tujuan pendidikan nasional, sehingga hal ini patut segera dicarikan jalan keluarnya.3

Era reformasi telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam berbagai kehidupan termasuk pendidikan. Salah satu perubahan yang sedang digulirkan saat ini adalah manajemen negara, yaitu dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis daerah. Secara resmi, perubahan ini telah diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang kemudian diikuti dengan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi.

Konsekuensi logis dari diberlakukannya undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut adalah bahwa manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi. Kerena itu, manajemen pendidikan berbasis pusat yang selama ini telah dipraktekkan perlu diubah menjadi manajemen pendidikan berbasis sekolah.

Selain alasan normatif, kenyataan-kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa manajemen berbasis pusat yang selama ini dipraktekkan memiliki banyak kelemahan, antar lain keputusan yang tidak relevan dengan kebutuhan sekolah, birokrasi yang terlampau panjang dan tidak memberdayakan sekolah. Sehingga perubahan manajemen pendidikan dari berbasis pusat menuju berbasis sekolah perlu segera dilaksanakan.

Perubahan dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah merupakan proses panjang dan melibatkan banyak pihak yang membutuhkan penyesuaian-penyesuaian dalam berbagai bidang yang diantaranya akan dibahas dalam makalah ini.

3 H.A.R. Tilaar, Beberapa Agneda Reformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Tera Indonesia, 1999), p. 190.

(4)

B. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah

Manajemen berbasis sekolah berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan. Berbasis berarti “berdasarkan pada”.

Sekolah adalah suatu organisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertugas memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik atas dasar ketentuan yang bersifat legalistik dan profesionalistik. Dari uraian tersebut dapat dirangkum bahwa “manajemen berbasis sekolah“ adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara otonomis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam pengambilan keputusan (partisipatif).4

David menegaskan bahwa esensi dari MBS adalah otonomi sekolah plus pengambilan keputusan partisipatif.5 Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan atau kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka atau tidak tergantung.6 Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.

Untuk mencapai otonomi sekolah, diperlukan suatu proses yang disebut “desentralisasi”. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dari pemerintah propinsi ke kabupaten, dari pemerintah

4 Slamet PH, “Manajemen Berbasis Sekolah”, Jurnal Pendidikan dan

Kebudayaan, No. 027, Tahun VI, November 2002, p. 609.

5 Jane L. David, “Sinthesis of Research on School Based Management”,

Journal of Educational Leadership, Vol. 46, Number 8, Mei 1989.

6 DPR RI, UU RI No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, (Jakarta: DPR RI, 2000).

(5)

kabupaten ke sekolah, dan bahkan dari sekolah ke guru, tetapi harus tetap dalam kerangka pendidikan nasional.

Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pendidikan yang diatur secara sentralistik menghasilkan fenomena-fenomena seperti berikut: lamban berubah atau adaptasi, bersifat kaku, orientasinya sangat normatif karena terlalu banyak lapis-lapis birokrasi, dan uniformitas yang memasung kreativitas. Oleh karena itu, desentralisasi bukan lagi merupakan hal yang penting untuk diterapkan, tetapi sudah merupakan keharusan. dengan desentralisasi maka 1) fleksibilitas pengambilan keputusan sekolah akan berkembang, sehingga keputusan dapat dibuat sedekat mungkin dengan kebutuhan sekolah. (2). Akuntabilitas terhadap masyarakat (warga sekolah, orang tua peserta didik, publik dan pemerintah meningkat; dan (3) kinerja sekolah akan meningkat.

Adapun pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu cara pengambilan keputusan dengan menciptakan lingkungan yang terbuka dan demokratis warga sekolah didorong untuk terlibat secara langsung dalam pengambilan keputusan yang akan mendukung tercapainya tujuan pendidikan. Dengan pengertian di atas, maka pengembangan manajemen berbasis sekolah semestinya mengakar di sekolah. Untuk itu, penerapan manajemen berbasis sekolah memerlukan konsolidasi manajemen sekolah.

C. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah

Manajemen berbasis sekolah bertujuan untuk memberdayakan sekolah terutama sumber daya manusiannya (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat sekitarnya), melalui pemberian kewenangan, fleksibilitas, dan sumber daya lain untuk memecahkan persoalan yang dihadapi oleh sekolah.

Ciri-ciri sekolah yang “berdaya” pada umumnya adalah tingkat kemandirian tinggi dan tingkat ketergantungan rendah; bersifat adaptif dan antisipatif/proaktif sekaligus memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi, bertanggung jawab terhadap hasil sekolah, memiliki kontrol yang kuat, komitmen yang tinggi pada dirinya, dan ditandai oleh pencapaian prestasi yang tinggi..

(6)

Sedangkan bagi sumber daya manusia sekolah yang berdaya, pada umumnya memiliki ciri-ciri: bertanggung jawab, pekerjaannya memiliki kontribusi, tahu posisinya, memiliki kontrol terhadap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan bagian hidupnya.

D. Pergeseran Pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah

Seiring berlakunya Undang-undang No. 22 Th. 1999 tentang Otonomi Daerah dan bukti-bukti empirik tentang kurang efektif dan efisiensinya manajemen berbasis pusat, maka Departemen Pendidikan Nasional melakukan penyesuaian-penyesuaian, salah satunya adalah melakukan pergeseran pendekatan manajemen, yaitu dari pendekatan manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah, seperti dilukiskan pada gambar.

Pergeseran pendekatan manajemen pendidikan: dari berbasis pusat menuju berbasis sekolah:

Manajemen Berbasis Pusat Menuju Manajemen Berbasis Sekolah

Subordinasi Otonomi

Pengambilan Keputusan Terpusat Pengambilan Keputusan Partisipatif

Ruang Gerak Kaku Ruang Gerak Luwes

Pendekatan Birokratik Pendekatan Profesionalisme

Sentralistik Desantralistik

Diatur Motivasi Diri

Over Regulasi Deregulasi

Mengontrol Mempengaruhi

Mengarahkan Memfasilitasi

Menghindari Resiko Mengolah Resiko

Gunakan Uang Semuanya Gunakan Uang Seefisien Mungkin

Individual Cerdas Teamwork Kompak dan Cerdas

Informasi Terpribadi Informasi Terbagi

Pendelegasian Pemberdayaan

Organisasi Hierarkis Organisasi Datar

Sumber : Slamet PH, 2000

E. Karakteristik Pendidikan Islam.

Beberapa karakter sistem pendidikan Islam menurut Muhammad Hamid al-Affandi antara lain:

(7)

1. Pendidikan Islam berupaya membentuk kepribadian yang sempurna dan mendidik manusia dalam berbagai aspeknya dengan pendidikan yang berlangsung seumur hidup

2. Pendidikan Islam pada masa sekarang ini, dan masa-masa yang akan datang, selalu memperhatikan persoalan-persoalan dunia dan akhirat secara seimbang dan proporsional.

3. Pendikan Islam berupaya untuk menanamkan keimanan yang kokoh, memperbaiki perilaku manusia, memperkaya ilmu pengetahuan, mendorong implementasi dan aktualisasi ilmu yang telah dipelajari mereka, serta mengaitkan antara iman, ilmu, dan amal.

4. Pendidikan Islam sangat memperhatikan hubungan batin (psikologi) antara pendidik dan anak didik sehingga memudahkan proses penanaman nilai-nilai keimanan dan kejujuran.

5. Pendidikan Islam senantiasa mengharuskan kepada para pendidik untuk selalu melakukan persiapan yang baik dan mengajarkan materi yang benar.

6. Pendidikan Islam sangat mendorong manusia untuk mempergunakan potensi akal dan daya analisa serta menghapuskan sikap apriori (taqlid buta), dan stagnasi berfikir dalam menghadapi teori dan pandangan yang keliru dan sesat, baik dalam materi keimanan, ilmu pengetahuan dan materi-materi lain.

7. Pendidikan Islam menjelaskan suatu metode agar kita mampu mengaitkan secara benar antar keimanana kepada Allah dengan fenomena-fenomena alam, masyarakat dan seluruh manusia.

8. Pendidikan Islam menanamkan kepada anak didik tentang landasan pokok untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup, tata cara beriman kepada Allah, mewujudkan persatuan, menegakkan hukum dan peraturan di tengah perpecahan sebagian umat manusia, dan memberikan harapan ditengah keputusasaan manusia 9. Pendidikan Islam mengajarkan tentang keutamaan akhlak karimah

dan tanggung jawab manusia kepada Allah.

10. Pendidikan Islam mengajarkan manusia untuk mempergunakan kekuatan dan kemampuannya dalam menyempurnakan dan mempertinggi status kemanusiannya.

(8)

11. Pendidikan Islan mendorong kepada anak didik agar memiliki sifat-sifat utama, seperti takut kepada Allah, berjihad di jalan-Nya, senantiasa memperkaya keilmuannya dengan ilmu pengetahuan umum.

12. Pendidikan Islam menegaskan kepada manusia agar selalu berbuat baik dan memberikan manfaat kepada dirinya, keluarga, masyarakat, dan mahkluk lain.

13. Pendidikan Islam berupaya membentuk manusia beriman dan berbuat baik yang mengetahui hakekat hidup serta mendayagunakan kehidupannya.

14. Pendidikan Islam mengukur keimanan, akhlak dan ilmu seseorang dengan bukti amal perbuatannya.

15. Pendidikan Islam tidak hanya mengutamakan hafalan tetapi juga bagaimana menerapkan amal saleh bagi individu, keluarga, masyarakat dan manusia pada umumnya.

16. Pendidikan Islam mengutamakan iman dan keutamaan serta mengintegrasikan dalam hidup yang diridhoi Allah SWT.

17. Pendidikan Islam berpedoman pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah sebagai landasan proses belajar mengajarnya.7

F. Model Manajemen Berbasis Sekolah Dalam Pemberdayaan Sekolah/Madrasah

Model manajemen berbasis sekolah berikut ini merupakan model yang memiliki cir-ciri universal, sehingga setiap sekolah/madrasah yang akan mengadopsi model ini perlu menyesuiakannya denga karakteristik sekolah/madrasah masing-masing. Model ini pada dasarnya ditampilkan menurut pendekatan berpikir sistem yaitu output-proses-input. Urutan ini dipilih dengan alasan bahwa setiap kegiatan sekolah akan dilakukan, termasuk melakukan analisis SWOT.

7 Moh. Hamid al-Affandi, “Esensi Pendidikan Islam”, Jurnal Lektur, Seri IV, Tahun 1996, IAIN Sunan Gunung Jati, p. 24-26.

(9)

1. Output

Output sekolah diukur dengan kinerja sekolah/madrasah. Kinerja sekolah/madrasah adalah pencapaian prestasi yang dihasilkan oleh proses/perilaku sekolah.

Kinerja sekolah dapat diukur dari efektifitasnya, kualitasnya, produktifitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya dan moral kerjanya.

a. Efektifitas

Efektifitas adalah ukuran yang menyatakan sejauh mana sasaran kualitas,kuantitas dan waktu telah tercapai. Efektifitas merupakan hasil nyata dibagi hasil yang diharapkan.

Kualitas adalah gambaran menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan atau yang tersirat.

b. Produktifitas

Produktifitas adalah hasil perbandingan output dibagi input. Baik output maupun input adalah dalam bentuk kuantitas. Kuantitas input berupa tenaga kerja, modal, bahan, dan energi. Kuantitas output dapat berupa jumlah barang atau jasa tergantung jenis pekerjaannya

c. Efisiensi

Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu efisinsi internal dan efisiensi eksternal. Efisiensi internal menunjuk kepada hubungan antara output pendidikan (pencapaian belajar) dan input (sumber daya) yang menghasilkan output pendidikan.8 Efisiensi internal biasanya diukur dengan biaya efektifitas. Setiap penilaian biaya efektifitas selalu memerlukan dua hal yaitu penilaian ekonomi untuk mengukur biaya input dan penilaian hasil belajar (prestasi belajar, lama belajar, angka putus sekolah). Sedang efisiensi eksternal adalah hubungan antara biaya yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan komulatif (individual, sosial, ekonomi dan non ekonomi) yang didapat setelah lulus

(10)

sekolah/madrasah. Analisis biaya manfaat merupakan alat utama untuk mengukur efisiensi eksternal.

d. Inovasi

Inovasi adalah proses yang kreatif dalam mengubah input, proses dan output agar dapat sukses dalam menanggapi dan mengantisipasi perubahan-perubahan internal, maupun eksternal di sekolah.

e. Kualitas kehidupan kerja

Kualitas kehidupan kerja adalah kinerja sekolah yang ditunjukkan oleh ukuran tentang bagaimana warga sekolah merasakan pekerjaannya, kemanfaatnya, kondisi kerjannya, peluang untuk maju, pengembangan, kepastian, keselamatan dan keamanan serta imbalan jasanya.

f. Moral kerja

Moral Kerja adalah tingkat baik buruknya warga sekolah terhadap pekerjaannya yang ditunjukkan oleh etika kerjanya, kedisiplinannya, kejujurannya, kerajinannya, komitmennya, tanggung jawabnya, hubungan kerjannya, daya adaptasi dan antisipasinya, motivasi kerjanya dan jiwa kewirausahaanya.

Untuk meningkatkan prestasi pendidikan Islam perlu ditingkatkan kinerja sekolah dengan cara menyesuaikan tugas tenaga kependidikan sesuai dengan keahliannya selaras dengan peringatan Rasulullah SAW: “Jika suatu pekerjaan diserahkan orang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya”.9

2. Proses

Proses merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input. Sedang sesuatu yang merupakan hasil proses disebut output. Dalam proses pendidikan disekolah paling tidak meliputi empat proses, pertama proses pengambilan keputusan, kedua proses

9 Ismail SM, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), p. 340.

(11)

pengelolaan kelembagaan, ketiga proses pengelolaan program dan

keempat belajar mengajar.

a. Proses Pengambilan Keputusan

Proses pengambilan keputusan partisipatif merupakan salah satu inti manajemen berbasis sekolah. Esensi proses pengambilan keputusan partisipatif adalah untuk mencari wilayah kesamaan antar kelompok-kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah (stakeholder) yaitu kepala sekolah, guru, siswa, orang tua siswa, yayasan dan pemerintah.10 Wilayah kesamaan inilah yang menjadi modal dasar untuk menumbuhkan rasa memiliki bagi semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah dan ini dapat dilakukan secara efektif melalui pelibatan semua kelompok kepentingan dalam pengambilan keputusan. Ada empat petunjuk untuk mengidentifikasi pengambilan keputusan yang harus melibatkan kelompok kepentingan, yaitu relevansi, kompetensi, yurisdiksi dan kompatibilitas tujuan. Pertama adalah tingkat relevansinya. Sekiranya keputusan yang akan diambil relevan dengan kebutuhan kelompok kepentingan tertentu (kelompok yang akan terkena dampak keputusan), maka pengambilan keputusan sebaiknya melibatkan kelompok kepentingan tersebut. Kedua, adalah uji keahlian artinya kelompok kepentingan yang akan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan harus memiliki keahlian yang dapat disumbangkan dalam pemecahan masalah yang terkait dengan kepentingannya.

Ketiga adalah uji yurisdiksi. Sekolah didirikan untuk menjalankan fungsinya melalui struktur hirarkis karena itu memang harus ada batas-batas yurisdiksi yang tidak semua kelompok kepentingan harus terlibat dalam pengambilan keputusan. Pelibatan yang tidak proporsional secara yurisdiksi cenderung akan membuat frustasi dan kemarahan yang tidak mendasar. Keempat, uji kompatibilitas tujuan. Apabila kompatibilitas tujuan dari semua kelompok

10 Cangeni, et.al., Participative Management, (New York: Philosophical Liberary, 1984), p. 163.

(12)

kepentingan diinginkan maka pelibatan mereka dalam pengambilan keputusan sangat diperlukan.

Proses pengelolaan pendidikan Islam hendaklah didasarkan atas asas musyawarah sesuai dengan prinsip pendidikan Islam “Suruhlah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS An-Nahl : 125) b. Pengelolaan Kelembagaan

Adanya dikotomi pengelolaan Pendidikan Islam oleh Depdiknas dan Departemen Agama hendaklah dimanfaatkan semaksimal mungkin dan digunakan sebagai motivasi untuk segera mewujudkan manajemen berbasis sekolah demi pemberdayaan sekolah yang mandiri dan otonom.

Sekolah/madrasah sebagai lembaga pendidikan harus dikelola secara profesional agar menjadi “sekolah belajar” yang mampu menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya. Menurut Bovin untuk menjadi “sekolah belajar”, maka sekolah harus:

1) Memberdayakan sumberdaya manusianya seoptimal mungkin 2) Memfasilitasi warga sekolahnya untuk belajar terus dan belajar

kembali

3) Mendorong kemandirian setiap warganya. 4) Memberikan tanggung jawab kepada warganya

5) Mendorong setiap warganya mempunyai akuntabilitas terhadap hasil kerjanya

6) Mendorong adanya teamwork yang kompak dan cerdas bagi setiap warganya

7) Merespon secara cepat terhadap pelanggan

8) Mengajak warganya untuk menjadikan sekolah costumer focus

9) Mengajak warganya untuk siap terhadap perubahan.

10) Mendorong warganya untuk berfikir secara sistem dalam cara berfikir, cara mengelola maupun cara menganalisa sekolah 11) Mengajak warganya untuk komitmen terhadap keunggulan

kualitas

12) Mengajak warganya untuk melakukan perbaikan secara terus menerus.

13) Melibatkan warganya secara total dalam penyelenggaraan sekolah.

(13)

c. Proses Pengelolaan Program11

Pengelolaan program merupakan pengkoordinasian dan penyerasian program sekolah yang meliputi :

1) Perencanaan, pengembangan dan evaluasi program sekolah. 2) Pengembangan kurikulum.

3) Pengembangan proses belajar mengajar

4) Pengelolaan sumber daya manusia/tenaga kependidikan. 5) Pelayanan siswa

6) Pengelolaan fasilitas. 7) Pengelolaan keuangan. 8) Perbaikan program

9) Pembinaan hubungan antara sekolah dan masyarakat d. Proses belajar mengajar

Proses belajar mengajar merupakan pemberdayaan pelajar yang dilakukan melalui interaksi perilaku mengajar baik di dalam maupun di luar kelas. Karena proses belajar mengajar merupakan pemberdayaan pelajar, maka penekanannya bukan sekedar penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos), tetapi merupakan internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam sebagai muatan nurani yang dihayati dan diamalkan oleh pelajar (etos). Proses belajar mengajar yang efektif semestinya menumbuhkan daya kreasi, daya nalar, rasa ingin tahu, inovatif dan demokratis serta mendorong adanya eksperimen untuk menemukan hal yang baru.

Proses belajar dalam pendidikan Islam juga perlu menerapkan metode yang mengembangkan daya kritis dan kreatif yang berupa metode pemecahan masalah, pengayaan pengalaman spiritual,

kuantum learning, dan metode yang lain yang dapat mengembangkan kecerdasan emosi dan spiritual.12

11 Bovin, Towards a Learning Organization, (Geneva: International Labour Office, 2000), p. 56.

12 Abdul Munir Mulkhan, “Refleksi Humanisasi tauhid dalam Reformasi Ontologis Pendidikan Islam”,dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Vol. 2, No. 1, Juli 2001, p. 17.

(14)

3. Input.

Input adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Input tidak harus berupa barang akan tetapi dapat berupa perangkat dan harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses. Komponen input dalam pendidikan antara lain:

a. Visi

Setiap sekolah/Madrasah yang akan menerapkan MBS harus memiliki visi. Visi adalah wawasan yang menjadi sumber arahan bagi sekolah yang digunakan untuk memandu perumusan misi sekolah. Dengan kata lain visi adalah gambaran masa depan yang diinginkan oleh sekolah agar sekolah yang bersangkutan dapat dijamin kelangsungan hidup dan perkembangannya.

b. Misi.

Misi adalah tindakan untuk merealisasikan visi sehingga visi harus mengakomodasi semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah/madrasah sehingga misi dapat diartikan sebagai tindakan untuk memenuhi masing-masing kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah. Dalam merumuskan misi harus mempertimbangkan tugas pokok sekolah dan berbagai kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah.

c. Tujuan

Tujuan merupakan penjabaran misi. Tujuan merupakan apa yang akan dicapai oleh sekolah dan kapan tujuan tersebut akan dicapai. Tujuan dirumuskan untuk tiga tahun kedepan

d. Sasaran.

Sasaran adalah penjabaran tujuan, yaitu sesuatu yang akan dicapai oleh sekolah dalam jangka waktu satu tahun, satu catur wulan, atau satu bulan. Agar sasaran dapat dicapai dengan efektif maka sasaran harus dibuat spesifik, terukur, jelas kriterianya disertai indikator yang rinci.

Visi, misi tujuan dan sasaran pendidikan Islam perlu dikaji ulang dan disesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern dengan tetap berdasar pada Qur’an dan Al-Sunnah sehingga diharapkan pendidikan Islam dapat menghasilkan

(15)

lulusan yang mempunyai ilmu pengetahuan yang tinggi dan kepribadian Islami yang sempurna.13

e. Struktur Organisasi

Mengingat fungsi dasar sekolah berubah maka struktur organisasi harus disesuaikan dengan ciri otonomi pendidikan dan pengambilan keputusan partisipatif.

f. Input Manajemen.

Kepala sekolah mengatur sekolah berdasarkan input manajemen yang menurut Purnomosidi dijelaskan bahwa input manajemen terdiri dari :

1) Tugas

Kepala sekolah harus jelas dalam memberikan tugas kepada bawahan disertai fungsi, wewenang, tanggung jawab dan hak. 2) Rencana

Rencana mengandung isi deskripsi kegiatan untuk keperluan penyelenggaraan rencana dalam pendidikan adalah dalam bentuk rencana pengembangan sekolah.

3) Program

Program adalah alokasi sumber daya ke dalam kegiatan-kegiatan menurut jadwal waktu dan menunjukkan tata laksana yang sinkron. 4) Ketentuan-ketentuan.

Input manajemen yang berupa ketentuan-ketentuan menyangkut masalah kualifikasi, spesifikasi, metode, prosedur, perundang-undangan dan aturan main yang perlu diadakan agar pengembangan sekolah berjalan lancar dalam mencapai tujuan. 5) Pengendalian.

Kepala sekolah perlu melakukan pengendalian dan pengawasan untuk memastikan efektifitas dan efisiensi dalam proses pencapaian tujuan.

g. Sumber Daya

Sumber daya merupakan jenis input penting yang diperlukan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sumber daya dapat dikelompokan menjadi sumberdaya manusia yang terdiri dari

(16)

kepala sekolah, guru, siswa dan tenaga kependidikan yang lain serta sumber daya material yang terdiri dari peralatan, perlengkapan, sumber daya alam keuangan dan perangkat-perangkat yang lainnya.

Inti dari MBS adalah pemberdayaan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu dan kemandirian sekolah dan inti dari pemberdayaan sekolah adalah pemberdayaan sumber daya manusia. Menurut Kindervatter pemberdayaan diartikan sebagai peningkatan pemahaman manusia untuk meningkatkan kedudukannya di masyarakat. Peningkatan kedudukan itu meliputi kondisi-kondisi:

1) Meningkatkan akses sumber daya manusia sehingga mampu menghasilkan dana yang lebih besar .

2) Daya pengungkit dengan meningkatnya pemberdayaan sumber daya manusia akan meningkat daya tawar kolektifnya.

3) Terbukanya berbagai peluang untuk memilih.

4) Meningkatnya status citra diri, kepuasan diri, perasaan positif dan meningkatnya identitas budaya.

5) Meningkatnya kemampuan refleksi kritis dalam pemecahan masalah.

6) Adanya legitimasi dari para ahli yang membenarkan bahwa lembaga atau sumber daya manusia tersebut dapat memenuhi tuntutan masyrakat.

7) Meningkatnya standar mutu pelayanan yang diberikan kepada orang lain.

8) Meningkatnya kreativitas dan inovasi serta pandangan positif terhadap diri dan lingkungannya.14

Delapan tolok ukur dapat digunakan sebagai indikator untuk menilai berhasil atau tidaknya pemberdayaan lembaga/sumber daya manusia dalam bidang pendidikan, sehingga dalam dunia pendidikan para personil pendidikan seperti kepala sekolah, guru, siswa dan tenaga kependidikan lainnya dapat dikembangkan

14 Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), p. 31.

(17)

kemampuannya dengan mengacu pada indikator pemberdayaan tersebut.

F. Strategi Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah dalam Pemberdayaan Sekolah/Madrasah.

Pada dasarnya, mengubah pendekatan manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah bukanlah merupakan one-shot and quick-fix, akan tetapi merupakan suatu proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua unsur yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan persekolahan. Oleh karena itu, strategi utama yang perlu ditempuh dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah adalah sebagai berikut:

1. Mensosialisasikan konsep manajemen berbasis sekolah keseluruh warga sekolah, yaitu guru, siswa, wakil-wakil kepala sekolah, konselor, karyawan dan unsur-unsur terkait lainnya (orangtua murid, pengawas, wakil Kandep, wakil Kanwil, dsb.) melalui seminar, diskusi, forum ilmiah, dan media massa. Hendaknya dalam sosilisasi ini juga dibaca dan dipahami sistem, budaya, dan sumber daya sekolah yang ada secermat-cermatnya dan direfleksikan kecocokannya dengan sistem, budaya, dan sumber daya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan manajemen berbasis sekolah

2. Melakukan analisis situasi sekolah dan luar sekolah yang hasilnya berupa tantangan nyata yang harus dihadapi oleh sekolah dalam rangka mengubah manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah. Tantangan adalah selisih (ketidaksesuaian) antara keadaan sekarang (manajemen berbasis pusat) dan keadaan yang diharapkan (manajemen berbasis sekolah). karena itu besar kecilnya ketidak sesuaian antara keadaan sekarang (kenyataan) dan keadaan yang diharapkan (idealnya) memberitahukan besar kecilnya tantangan (loncatan).

3. Merumuskan tujuan situasional yang akan dicapai dari pelaksanaan manajemen berbasis sekolah berdasarkan tantangan nyata yang dihadapi (butir 2). Segera setelah tujuan situasional ditetapkan, kriteria kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya ditetapkan. Kriteria inilah yang akan digunakan sebagai standar atau kriteria

(18)

untuk mengukur tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya.

4. Mengindentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan, maka perlu diidentifikasi fungsi-fungsi mana yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Fungsi-fungsi yang dimaksud meliputi antara lain: pengembangan kurikulum, pengembangan tenaga kependidikan dan non kependidikan, pengembangna siswa, pengembangan iklim akademik sekolah, pengembangan hubungan sekolah-masyarakat, pengembangan fasilitas, dan fungsi-fungsi lain. 5. Menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya

melalui analisis SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity, and Threat).

Analisis SWOT dilakukan dengan maksud mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional yang ditetapkan. Berhubung tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat kesiapan masing-masing faktor yang terlibat pada setiap fungsi, maka analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal. Tingkat kesiapan harus memadai, artinya, minimal memenuhi ukuran kesiapan yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional, yang dinyatakan sebagai: kekuatan, bagi faktor yang tergolong internal; peluang bagi faktor yang tergolong eksternal. Sedang tingkat kesiapan yang kurang memadai, artinya tidak memnuhi ukuran kesiapan dinyatakan bermakna: kelemahan, bagi faktor yang tergolong internal; dan ancaman, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal. 6. Memilih langkah-langkah pemecahan (peniadaan) persoalan, yakni

tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Selama masih ada persoalan, yang sama artinya dengan ada ketidaksiapan fungsi, maka tujuan situasional yang telah ditetapkan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, agar tujuan situasional tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah ketidaksiapan fungsi menjadi kesiapan fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya disebut langkah-langkah pemecahan

(19)

persoalan, yang hakekatnya merupakan tindakan megatasi makna kelemahan dan/atau ancaman, agar menjadi kekuatan dan/atau peluang, yakni dengan memanfaatkan adanya satu/atau lebih faktor yang bermakna kekuatan dan/atau peluang.

7. Berdasarkan langkah-langkah pemecahan persoalan tersebut, sekolah bersama-sama dengan semua unsur-unsurnya membuat rencana untuk jangka pendek, menengah, dan panjang, beserta program-programnya untuk merealisasikan rencana tersebut. Sekolah tidak selalu memiliki sumber daya yang cukup untuk melaksanakan manajemen berbasis sekolah idealnya. Sehingga perlu dibuat skala prioritas untuk rencana jangka pendek menengah dan panjang.

8. Melaksanakan program-program untuk merealisasikan rencana jangka pendek manajemen berbasis sekolah. Dalam pelaksanaannya semua input yang diperlukan untuk berlangsungnya proses (pelaksanaan) manajemen berbasis sekolah harus siap. Jika input tidak siap/tidak memadai, maka tujuan situasional tidak akan tercapai. Yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan adalah pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, dan pengelolaan proses belajar mengajar.

9. Pemantauan terhadap proses dan evaluasi terhadap hasil manajemen berbasis sekolah perlu dilakukan. Hasil pantauan proses dapat digunakan sebagai umpan balik bagi perbaikan penyelenggaraan dan hasil evaluasi dapat digunakan untuk mengukur tingkat tercapainya tujuan situasional yang telah dirumuskan. Demikian kegiatan ini dilakukan secara terus-menerus, sehingga proses dan hasil manajemen berbasis sekolah dapat dioptimalkan.15

G. Penutup

Mengubah manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah (transisi) merupakan proses yang panjang dan melibatkan banyak pihak. Transisi ini memerlukan

(20)

penyesuaian, baik sistem (struktur)nya, kulturnya, maupun figurnya, dengan tuntutan-tuntutan baru manajemen berbasis sekolah. Oleh karena itu, kita tidak bermimpi bahwa perubahan ini akan berlangsung sekali jadi dan baik hasilnya. Dengan demikian, fleksibilitas dan eksperimentasi-eksperimentasi yang menghasilkan kemungkinan-kemungkinan baru dalam penyelenggaraan manajemen berbasis sekolah perlu didorong.

Azyumardi Azra mencotohkan bahwa Pendidikan Islam yang dikelola dengan baik juga dapat menjadi sekolah unggulan yang sangat diminati oleh masyarakat seperti beberapa sekolah yang menggunakan sistem broarding school yang dalam istilah lain adanya santrinisasi siswa misalnya dalam sekolah Al Azhar, SMU Madania, SMU Islam Cendekia, Madrasah Pembangunan IAIN Jakarta dan MIN I Malang.

(21)

Daftar Pustaka

Affandi, Moh. Hamid, “Essensi Pendidikan Islam”, Jurnal Lektur Seri IV Tahun 1996, IAIN Sunan Gunung Djati Cirebon.

Azra Azyumardi, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Baily, William J., School Site Management Applied. Lancaster-Basel: Technomic Publishing, co. inc., 1999.

Direktorat Dikmenum., Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas, 2000.

Bovin, Olle., Towards A Learning Organization. Geneva: International Labour Office, 2000.

Cangeni, Joseph P., Casamirir J. Kowalski and Jeffy C. Claypoool,

Participative Management, New York: Philosophical Library, 1984.

David, Jane L., “Synthesis of Research on School Based Management”, dalam Jurnal Educational Leadership, Volume 46, Number 8, May 1989).

Dewan Perwakilan Rakyat.,Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat. 1999.

Dewan Perwakilan Rakyat, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat, 2000.

Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (buku 1), Jakarta: Direktorat Pendidikan Menegah Umum, Departemen Pendidikan Nasional, 2000. Ismail SM, Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

(22)

---, Pendidikan Islam, Demokrasi dan Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002.

Mulkhan, Abdul Munir, “Refleksi Humanisasi Tauhid dalam Reformasi Ontologis Pendidikan Islam”, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Vol. 2, No. 1, Juli 2001.

Slamet., “Menuju Pengelolaan pendidikan Berbasis Sekolah”, Makalah Seminar dan Temu Alumni Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta dengan Tema “Pendidikan yang Berwawasan Pembebasan: Tantangan Masa Depan”, 27 Mei 2000, Yogyakarta. ………, “Manajemen Berbasis Sekolah”, Jurnal Pendidikan dan

Kebudayaan No. O27 Tahun VI November 2000.

Sumarno dkk., “Otonomi Pendidikan”, Kertas Kerja yang Dibahas di Unversitas Negeri Yogyakarta dalam Rangka Memeberi Masukan kepada Menteri Pendidikan Nasional, (tidak dipublikasikan), 2000. Sutrisno, “Problem-problem Pendidikan Islam”, Jurnal Ilmu Pendidikan

Islam, Vol. 2, No. 1 Juli 2001.

Tilaar H.A.R, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional, Jakarta: Indonesia Tera, 1999.

Referensi

Dokumen terkait

Secara umum, MPMBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, serta mendorong pengambilan keputusan

MBS dapat diartikan sebagai model pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggungjawab) lebih besar terhadap sekolah, memberikan

Konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan model pengelolaan sekolah yang mem- berikan otonomi (kewenangan dan tanggungjawab) yang lebih besar kepada sekolah, karena

Model MBS di indonesia disebut Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah

Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan model pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggungjawab) lebih besar kepada sekolah, memberikan

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia menyebut MBS dengan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah yang diartikan sebagai “model manajemen yang memberikan otonomi

MBS memberikan kebebasan dan kewenangan yang luas pada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya

Dalam bentuk manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS), MBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan