• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahasa, Sastra, dan Kearifan Lokal di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bahasa, Sastra, dan Kearifan Lokal di Indonesia"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

DI INDONESIA

Heddy Shri Ahimsa-Putra*)

Abstrak

Dalam artikel ini dikemukakan definisi penulis tentang konsep kearifan lokal dan kearifan tradisional. Dengan menggunakan definisi kearifan lokal sebagai dasar pembahasan, penulis mencoba mengungkap berbagai kearifan lokal dalam bahasa Jawa dan sastra Jawa, Babad Tanah Jawi. .HDULIDQ ORNDO \DQJ GLNHWHPXNDQ DQWDUD ODLQ DGDODK D VLVLSDQ ³-in-´ dalam bahasa Jawa, yang jika dimanfaatkan untuk bahasa Indonesia akan dapat mengatasi beberapa masalah dalam penerjemahan kata-kata tertentu bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia; (b) beberapa istilah po-kok dalam falsafah seni tari Jawa; (c) kemampuan nalar Jawa menyatukan dua perangkat pandangan hidup dan nilai-nilai yang berbeda; (d) nilai budaya untuk me-nyelesaikan sengketa.

Kata kunci: kearifan lokal, kearifan tradisional, tari srimpi

1. Pengantar

Bergantinya pemerintahan Orde Baru dan krisis ekonomi di Indonesia di akhir tahun 1990an telah melahirkana beberapa perubahan penting di Indonesia, yang bibit-bibitnya sebenarnya sudah terlihat pada tahun-tahun sebelumnya. Perubahan-perubahan tersebut antara lain adalah: (1) bergantinya paradigma sistem pemerintahan, yakni dari paradigma yang sentralistis (memusat) menjadi paradigma yang desentralistis (mendaerah); (2) munculnya kesadaran akan perlunya dimensi kebudayaan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di Indonesia; (3) munculnya kesadaran akan perlunya diperhatikan dan diberdayakan kembali kearifan-kearifan tradisional atau lokal yang dimiliki oleh berbagai komunitas dan sukubangsa di Indonesia; (4)

1) Artikel ini merupakan revisi dari makalah yang disampaikan dalam seminar nasional ³%DKDVD

Indonesia dan BDKDVD 'DHUDK GDODP .RQWHNV .HQGRQHVLDDQ ,,´, diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi NTB, di Mataram, Lombok, 17--18 Juni 2009.

(2)

menguatnya kesadaran akan perlunya pluralitas sosial-budaya masyarakat Indonesia dilestarikan (Ahimsa-Putra, 2007).

Perubahan yang relevan dengan pembicaraan di sini adalah perubahan yang ketiga yang berkaitan dengan kearifan lokal. Salah satu arus pemikiran yang semakin naik popularitasnya di kalangan ilmuwan sosial-budaya serta kalangan LSM di Indonesia dalam lima belas tahun terakhir ini adalah pandangan yang menekankan pada perlunya menggali kearifan-kearifan lokal di Indonesia untuk dijadikan dasar bagi pembangunan dan pengembangan masyarakat yang lebih sustainable, lebih lestari, dalam berbagai situasi dan kondisi. Kesadaran akan perlunya kearifan lokal mendapat perhatian yang lebih besar dari para ilmuwan dipicu antara lain oleh wacana global tentang kegagalan pembangunan di negara-negara dunia ketiga, oleh semakin merosotnya kualitas lingkungan alam, oleh semakin cepatnya proses kepunahan pengetahuan-pengetahuan yang menjadi basis adaptasi berbagai komunitas lokal, serta oleh semacam romantisme budaya dan kebutuhan akan adanya jatidiri di tengah arus globalisasi (Ahimsa-Putra, 2008b). Seiring dengan itu muncullah kebutuhan akan pengetahuan yang tepat dan mendalam mengenai berbagai kearifan lokal, guna dijadikan dasar bagi perencanaan pembangunan di masing-masing daerah.

Sayangnya, niat baik ini tidak mudah untuk diwujudkan karena ada sejumlah kendala. Pertama, berbagai kearifan lokal ini masih belum

VHSHQXKQ\D GLNHWDKXL NDUHQD PDVLK ³WHUSHQGDP´ GDODP EXGD\D GDQ

kehidupan sehari-hari masyarakat. Padahal, revitalisasi atau pemanfaatan kearifan lokal hanya akan dapat dilakukan apabila kearifan itu sendiri telah diketahui dan dipahami dengan baik. Kedua, upaya mengetahui atau menggali kearifan lokal ini hanya akan dapat dilakukan secara sistematis dan efisien jika kearifan lokal itu sendiri sudah cukup jelas maknanya,

(3)

dan ini menuntut adanya sebuah definisi yang dapat disepakati bersama tentang DSD \DQJ GLPDNVXG VHEDJDL µNHDULIDQ ORNDO¶ Ketiga, pengetahuan dan pemahaman yang baik mengenai kearifan lokal hanya akan dapat diperoleh apabila penelitian mengenai kearifan lokal dilakukan dengan menggunakan metode dan prosedur yang tepat.

Dalam tulisan ini saya mencoba untuk menunjukkan bahwa sebagian kearifan lokal ini sebenarnya tersimpan dalam bahasa dan sastra (tertulis maupun lisan) suatu masyarakat. Hal ini berarti bahwa dengan menganalisis bahasa dan sastra ini akan dapat diungkapkan berbagai kearifan lokal suatu masyarakat, yang kemudian akan dapat direvitali-sasi untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Pertanyaannya kemudian adalah: apa yang dimaksud dengan kearifan lokal? Bagaimana menganalisis bahasa dan sastra untuk mendapatkan kearifan lokal tersebut? Inilah beberapa pertanyaan yang akan berusaha dijawab dalam tulisan ini.

Untuk mengungkap kearifan lokal yang terdapat dalam bahasa di sini digunakan cara analisis komponen, yang memilah-milah sebuah unit kebahasaan menjadi unsur-unsur yang membentuknya, dan analisis semantik, yang ditujukan untuk mengetahui makna-makna kata-kata dalam bahasa lokal yang terdapat pada suatu lapangan tertentu. Analisis hermeneutik, tafsiriah, digunakan untuk dapat memberikan tafsir yang sesuai terhadap wacana atau episode karya sastra yang dihadapi.

2. Pembahasan

2.1 Kearifan Tradisional, Kearifan Kini, dan Kearifan Lokal

Kearifan lokal sebagai sebuah konsep ilmiah sering disamakan dengan kearifan tradisional. Padahal keduanya jelas berbeda. Sebuah kearifan lokal, belum tentu merupakan kearifan tradisional. Demikian

(4)

pula, sebuah kearifan tradisional belum tentu merupakan sebuah kearifan lokal. $SD \DQJ GLPDNVXG GHQJDQ µNHDULIDQ WUDGLVLRQDO¶ GDQ DSD \DQJ GLPDNVXG GHQJDQ µNHDULIDQ ORNDO¶"

Setahu saya sampai saat ini belum ada definisi yang cukup memuaskan mengenai kearifan lokal dan kearifan tradisional. Sejumlah definisi memang telah dikemukakan tetapi masing-masing mengandung kelemahan tertentu yang tidak dapat saya bahas di sini. Saya akan membahas pengertian dua istilah tersebut dari segi bentukan bahasanya terlebih dahulu, kemudian makna kata-kata yang ada di situ2), dan kemudian memberikan definisi serta penjelasannya (lihat Ahimsa-Putra, 2008).

2.1.1 Kearifan Tradisional dan Kearifan Kini

)UDVD µNHDULIDQ WUDGLVLRQDO¶ WHUGLUL GDUL NDWD EHQGD GDQ NDWD VLIDW .DWD VLIDW GL VLWX DGDODK µWUDGLVLRQDO¶ \DQJ PHQHUDQJNDQ NDWD µNHDULIDQ¶ .DWD µNHDULIDQ¶ VHQGLUL EHUDVDO GDUL NDWD VLIDW µDULI¶ \DQJ EHUDVDO GDUL

bahasa Arab (?), yang artin\D WLGDN ODLQ DGDODK µWDKX¶ GDQ µPHQJHWDKXL¶ 'DUL NDWD LQL GDODP EDKDVD ,QGRQHVLD GLSHUROHK NDWD µPHQJDULIL¶ \DQJ EHUDUWL µPHQJHWDKXL¶ µPHPDKDPL¶ -DGL µNHDULIDQ¶ VHEHQDUQ\D GDSDW NLWD

DUWLNDQ VHEDJDL µSHQJHWDKXDQ¶ .HDULIDQ WUDGLVLRQDO WLGDN ODLQ DGDODh

µSHQJHWDKXDQ WUDGLVLRQDO¶

$NDQ WHWDSL GDODP EDKDVD ,QGRQHVLD NDWD µDULI¶ MXJD PHPLOLNL PDNQD \DQJ OHELK OXDV \DQJ PHQFDNXS SHQJHUWLDQ µELMDNVDQD¶ NDUHQD

µDULI¶ MXJD GDSDW EHUPDNQD µFHUGLN SDQGDL¶ µELMDNVDQD¶ µEHULOPX¶

µ%LMDNVDQD¶ GDODP EDKDVD,QGRQHVLD EHUDUWL µVHODOX PHQJJXQDNDQ EXGLQ\D

2) Penjelasan dari segi bentukannya dan makna kata saya ambil dari Kamus Umum Bahasa Indonesia oleh W.J.S.Poerwadarminta, yang diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, De-partemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan diterbitkan oleh Balai Pustaka (1985).

(5)

SHQJDODPDQQ\D GDQ SHQJHWDKXDQQ\D ¶ 6HODLQ LWX PDNQD µELMDNVDQD¶ MXJD GDSDW NLWD NHWDKXL GDUL NDWD WXUXQDQQ\D µNHELMDNVDQDDQ¶ .DWD LQL GLDUWLNDQ DQWDUD ODLQ VHEDJDL ³NHSDQGDLDQ PHQJJXQDNDQ DNDO EXGL´

³SLPSLQDQ GDQ FDUD EHUWLQGDN´ GDQ ³NHFDNDSDQ EHUWLQGDN ELOD

PHQJKDGDSL RUDQJ ODLQ NHVXOLWDQ GVE ´ 3RHUZDGDUPLQWD

-DGL µELMDNVDQD¶ GDSDW NLWD DUWLNDQ VHEDJDL ³FDNDS DWDX SDQGDL GDODP PHQJDWDVL NHVXOLWDQ´

Berkenaan dengan kesulitan yang ada hubungannya dengan orang

ODLQ µELMDNVDQD¶ GL VLQL MXJD PHQJDQGXQJ DUWL GDSDW PHQ\HOHVDLNDQ

persoalan tanpa menyakiti (fisik ataupun perasaan) orang lain tersebut, sedang berkenaan dengan kesulitan yang ada hubungannya dengan

OLQJNXQJDQ ILVLN µELMDNVDQD¶ GL VLWX PHQJDQGXQJ SHQJHUWLDQ GDSDW

menyelesaikan persoalan tanpa menimbulkan kerusakan fisik atau

NHUXJLDQ PDWHULDO ,QLODK \DQJ ELDVD GLPDNVXG VHEDJDL ³SHQ\HOHVDLDQ \DQJ ELMDNVDQD´ DWDX ³SHQ\HOHVDLDQ VHFDUD EDLN GDQ EHQDU´ 'LNDWDNDQ µEDLN¶ NDUHQD Widak merugikan atau menyakiti pihak lain, tidak merusak

OLQJNXQJDQ GDQ GLNDWDNDQ µEHQDU¶ NDUHQD SHUVRDODQQ\D NHPXGLDQ ELVD

selesai.

Atas dasar pembahasan di atas, kita dapat mendefinisikan

µNHDULIDQ¶ sebagai µperangkat pengetahuan dan praktek-praktek untuk

menyelesaikan persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi dengan cara

\DQJ EDLN GDQ EHQDU¶ 6D\D JXQDNDQ NDWD µSHUDQJNDW¶ GL VLQL XQWXN

PHQXQMXNNDQ EDKZD µSHQJHWDKXDQ¶ WHUVHEXW WHUGLUL GDUL EHUEDJDL XQVXU

dan membentuk suatu kesatuan. Saya tidak menJJXQDNDQ NDWD µVLVWHP¶

karena konsep ini saya anggap tidak terlalu cocok untuk apa yang saya

PDNVXGNDQ .DWD µSHUDQJNDW¶ set) saya anggap lebih cocok, karena di situ terkandung pengertian : (a) adanya unsur-unsur; (b) adanya hubungan antarunsur tetapi tidak bersifat empiris; (c) hubungan

(6)

antarunsur juga tidak mekanis ataupun fungsional; (d) membentuk suatu kesatuan tanpa harus ada batas-batas empiris yang jelas untuk satuan ini. Tiga unsur yang terakhir (b), (c) dan (d) adalah yang membuat konsep

µSHUDQJNDW¶ EHUEHGD GHQJDQ NRQVHS µVLVWHP¶ $KLPVD-Putra, 2008). .DWD EHULNXWQ\D DGDODK µWUDGLVLRQDO¶ .DWD LQL EHUDVDO GDUL EDKDVD

Inggris, traditional \DQJ DUWLQ\D µEHUNDLWDQ DWDX DGD KXEXQJDQQ\D GHQJDQ WUDGLVL¶3) .DWD µWUDGLVL¶ GDODP EDKDVD ,QGRQHVLD GDSat dianggap berasal dari bahasa Belanda, traditie, atau dari bahasa Inggris, tradition. Jika kata tersebut dianggap berasal dari bahasa Inggris (yang maknanya saya kira tidak akan terlalu berbeda dengan makna traditie dalam bahasa Belanda), maka kata tradition mempunyai banyak arti. Beberapa di

DQWDUDQ\D DGDODK ³The action of handing over (something material) to

another´ ³Delivery esp. oral delivery of information or instruction´ ³The act of transmitting or handing down or fact being handed down, from one to another or from generation to generation´ ³transmission of statements, beliefs, rules, customs or the like, esp. by word of mouth, or by practice without writing´ ³That which is thus handed down´

³a statement, belief or practice transmitted (esp. orally) from generation to generation.´ ³A long established and generally accepted custom, or method of procedure, having almost the force of a law´

'DUL EHEHUDSD PDNQD GL DWDV NLWD PHOLKDW EDKZD µWUDGLVL¶ DWDX

tradition bisa berarti (a) suatu tindakan, bisa pula berarti (b) sesuatu yang

GLNHQDL WLQGDNDQ WHUVHEXW 6HEDJDL D WLQGDNDQ µWUDGLVL¶ EHUDUWL

³PHPEHULNDQ VHVXDWX \DQJ EHUVLIDW PDWHULHO NHSDGD \DQJ ODLQ´

³SHPEHULDQ LQIRUPDVL DWDX LQVWUXNVL´ ³WLQGDNDQ PHPLQGDKNDQ atau

3) Uraian tentang makna kata tradition dan traditional dalam bahasa Inggris saya ambil dari The Shorter Oxford English Dictionary on Historical Princiles, edisi ke III, Clarendon Press, Oxford (1973).

(7)

memberikan dari satu orang ke orang lain, dari satu generasi ke generasi

\DQJ ODLQ ³SHPLQGDKDQ DWDX SHPEHULDQ SHUQ\DWDDQ NHSHUFD\DDQ DWXUDQ

kebiasaan atau sejenisnya, terutama dari mulut ke mulut (secara lisan)

DWDX GHQJDQ SUDNWHN WDQSD WXOLVDQ´

6HEDJDL E VHVXDWX \DQJ GLNHQDL WLQGDNDQ µWUDGLVL¶ EHUDUWL ³VHVXDWX \DQJ GLZDULVNDQ´ ³VXDWX SHUQ\DWDDQ NHSHUFD\DDQ DWDX SUDNWHN

\DQJ GLSLQGDKNDQ GLZDULVNDQ GDUL JHQHUDVL NH JHQHUDVL´ ³VXDWX DGDW

-istiadat atau metode prosedur yang sudah lama mapan dan diterima umum, yang kekXDWDQQ\D KDPSLU VHSHUWL KXNXP´ Selanjutnya, traditional GDODP EDKDVD ,QJJULV EHUDUWL ³%HORQJLQJ WR FRQVLVWLQJ LQ RU RI WKH QDWXUH RI WUDGLWLRQ KDQGHG GRZQ E\ RU GHULYHG IURP WUDGLWLRQ´ DWDX ³WHUPDVXN DWDX PHPLOLNL VLIDW seperti tradisi; diturunkan atau berasal

GDUL WUDGLVL´ 'DUL EHUEDJDL DUWL PHQJHQDL tradition tersebut saya merasa

EDKZD µWUDGLVL¶ GDODP EDKDVD ,QGRQHVLD ELDVDQ\D GLDUWLNDQ VHEDJDL ³VXDWX

kebiasaan yang sudah turun-temurun atau diwariskan dari generasi ke

JHQHUDVL´ $KLPVD-Putra, 2007).

Dengan memperhatikan makna dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tersebut, kita dapat dengan lebih seksama mendefinisikan tradisi sebagai sejumlah kepercayaan, pandangan, nilai-nilai dan berbagai praktek yang diwariskan dari generasi ke generasi tidak melalui tulisan (biasanya secara lisan atau lewat contoh tindakan), yang diterima oleh suatu masyarakat atau komunitas sehingga menjadi mapan dan mempunyai kekuatan seperti hukum. 'DUL DUWL LQL LVWLODK µWUDGLVLRQDO¶ GDSDW NLWD DUWLNDQ ³\DQJ WHODK GLZDULVNDQ GDUL JHQHUDVL NH JHQHUDVL GDQ GLWHULPD ROHK XPXP´ ³'LWHULPD ROHK XPXP´ GL VLQL DUWLQ\D GLPHQJHUWL

dipahami artinya dan disetujui, disepakati oleh banyak orang pelaksanaan atau penerapannya dalam kehidupan sehari-KDUL ³0HPSXQ\DL NHNXDWDQ VHSHUWL KXNXP´ DUWLQ\D SHODQJJDUDQ DWDX SHQRODNDQ DWDV NHSHUFD\DDQ

(8)

pandangan, nilai-nilai dan praktek yang telah disepakati akan dapat menyebabkan diterapkannya hukuman-hukuman tertentu kepada individu pelanggar atau penolaknya.

Selain itu, -walaupun tidak sepenuhnya tepat- µWUDGLVLRQDO¶ MXJD VHULQJ GLSHUWHQWDQJNDQ GHQJDQ D µPRGHUQ¶ PDVD NLQL NRQWHPSRUHU

E µ%DUDW¶ GDQ F XQLYHUVDO 2OHK NDUHQD LWX µWUDGLVLRQDO¶ NDGDQJ

-NDGDQJ GLDUWLNDQ VHEDJDL ¶NXQR¶ µWLGDN PRGHUQ¶, dan karena itu pula

VHULQJ GLDVRVLDVLNDQ GLKXEXQJNDQ GHQJDQ µNHWLQJJDODQ ]DPDQ¶ µWLGDN

PDMX¶ µWLGDN PHQDULN¶ Kadang-NDGDQJ SXOD µWUDGLVLRQDO¶ GLNDLWNDQ

GHQJDQ µGXQLD 7LPXU¶ \DQJ EHUODZDQDQ GHQJDQ µGXQLD %DUDW¶

µ7UDGLVLRQDO¶ MXJD VHULQJNDOL GLKXEXQJkan dengan sesuatu yang bersifat

µORNDO¶ VHKLQJJD NHPXGLDQ GLSHUWHQWDQJNDQ GHQJDQ VHVXDWX \DQJ EHUVLIDW µXQLYHUVDO¶

Berdasarkan atas berbagai makna dari kata-NDWD µDULI¶ µWUDGLVL¶

GDQ µWUDGLVLRQDO¶ GL DWDV NLQL NLWD GDSDW PHQGHILQLVLNDQ kearifan

tradisional sebagai perangkat pengetahuan dan praktek pada suatu komunitas untuk menyelesaikan secara baik dan benar persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi, serta diperoleh dari generasi-generasi sebelumnya secara lisan atau melalui contoh tindakan, yang memiliki kekuatan seperti hukum maupun tidak /HELK GDUL LWX NDWD µNHDULIDQ¶ MXJD GDSDW GLDUWLNDQ VHEDJDL µNHPDPSXDQ XQWXN PHQJDPELO WLQGDNDQ \DQJ EDLN GDQ EHQDU¶ .HPDPSXDQ WHUVHEXW SDGD GDVDUQ\D DGDODK SHQJHWDKXDQ

untuk menentukan tindakan-tindakan yang dipandang tepat, guna menyelesaikan masalah-masalah tertentu.

Kearifan tradisional berbeda dengan kearifan masa kini (kontemporer). Kearifan masa kini atau kearifan kini dapat didefinisikan sebagai perangkat pengetahuan dan praktek pada suatu komunitas untuk menyelesaikan secara baik dan benar persoalan dan/atau kesulitan yang

(9)

dihadapi, yang diperoleh dari komunitas, masyarakat atau suku-bangsa lain di masa kini, baik secara lisan atau melalui contoh tindakan, yang memiliki kekuatan seperti hukum maupun tidak.

2.1.2 Kearifan Lokal

Kearifan tradisional dan kearifan kini berbeda dengan kearifan lokal. Pada kearifan lokal penekanan diberikan pada tempat, lokalitas, dari kearifan tersebut, sehingga kearifan lokal tidak harus merupakan sebuah kearifan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal bisa merupakan kearifan yang belum lama muncul dalam suatu komunitas, sebagai hasil dari interaksinya dengan lingkungan alam dan interaksinya dengan masyarakat dan budaya lain. Oleh karena itu kearifan lokal tidak selalu bersifat tradisional, karena dia dapat mencakup kearifan masa kini, dan karena itu pula bisa lebih luas maknanya daripada kearifan tradisional. Untuk membedakan kearifan lokal yang baru saja muncul dalam suatu komunitas dengan kearifan lokal yang sudah lama dikenal komunitas tersebut, kita dapat menyebutnya

³NHDULIDQ NLQL´ ³NHDULIDQ EDUX´ ³NHDULIDQ NRQWHPSRUHU´ GDQ ³NHDULIDQ

WUDGLVLRQDO´ GDSDW SXOD NLWD VHEXW ³NHDULIDQ GXOX´ DWDX ³NHDULIDQ ODPD´

Kearifan lokal mencakup berbagai pengetahuan, pandangan, nilai serta praktek-praktek dari sebuah komunitas baik yang diperoleh dari generasi-generasi sebelumnya dari komunitas tersebut, maupun yang didapat oleh komunitas tersebut di masa kini, yang tidak berasal dari generasi sebelumnya, tetapi dari berbagai pengalaman di masa kini, ter-masuk juga dari kontaknya dengan masyarakat atau budaya lain. Oleh karena itu kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai perangkat pengetahuan dan praktek-praktek pada suatu komunitas -baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalamannya

(10)

berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya- untuk me-nyelesaikan secara baik dan benar persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi, yang memiliki kekuatan seperti hukum maupun tidak.

Atas dasar uraian di atas dapat kita peroleh skema kearifan sebagai berikut.

Kearifan Lokal

--- | | v v

Kearifan Tradisional Kearifan Kontemporer ( Kearifan Dulu) (Kearifan Kini) ( Kearifan Lama) (Kearifan Baru)

Mengingat bahwa konsep kearifan lokal merupakan konsep yang lebih luas, yang bisa mencakup kearifan tradisional maupun kearifan di masa kini, maka istilah kearifan lokal inilah yang sebaiknya digunakan dalam wacana ilmiah tentang kebudayaan dan pembangunan. Selain itu konsep kearifan lokal juga dapat menghindarkan kesan bahwa kearifan

WHUVHEXW PDVLK ³WUDGLVLRQDO´ DWDX NXQR \DQJ PXGDK PHQLPEXONDQ NHVDQ

negatif, yang dapat membuat orang tidak begitu berminat untuk menggali dan memahami pengetahuan-pengetahuan lokal yang ada dalam masyarakat mereka.

'DODP NDLWDQQ\D GHQJDQ µNHEXGD\DDQ¶ µNHDULIDQ ORNDO¶ VHEDJDL

perangkat pengetahuan dengan sendirinya merupakan bagian dari kebudayaan yang bersifat abstrak. µ.HDULIDQ ORNDO¶ MXJD PHUXSDNDQ

perangkat simbol. Simbol-VLPERO LQL ELVD EHUPDNQD µEDLN¶ µSRVLWLI¶ ELVD

SXOD µWLGDN EDLN¶ µQHJDWLI¶ 'L ,QGRQHVLD µNHDULIDQ ORNDO¶ MHODV

PHPSXQ\DL PDNQD SRVLWLI NDUHQD µNHDULIDQ¶ VHODOX GLPDNQDL VHFDUD µEDLN¶ DWDX µSRVLWLI¶ 3HPLOLKDQ NDWD LQL VHQGLUL -disadari atau tidak- merupakan sebuah strategi untuk membangun, menciptakan citra yang

(11)

GLPDNQDL VHFDUD SRVLWLI 'HQJDQ PHQJJXQDNDQ LVWLODK µNHDULIDQ ORNDO¶ -sadar atau tidak- RUDQJ ODQWDV EHUVHGLD PHQJKDUJDL µSHQJHWDKXDQ

WUDGLVLRQDO¶ µSHQJHWDKXDQ ORNDO¶ ZDULVDQ QHQHN-moyang dan kemudian

bersedia bersusah-payah memahaminya untuk bisa memperoleh berbagai kearifan yang ada di situ, yang mungkin relevan untuk kehidupan manusia di masa kini dan di masa yang akan datang.

Di mana kearifan-kearifan lokal ini tersimpan? Bagaimana cara menemukan atau menggalinya? Sebagian kearifan ini tersimpan dalam bahasa dan sastra (lisan dan tertulis) suatu masyarakat.

2.2. Bahasa dan Kearifan Lokal

Kearifan lokal ini tidak harus berupa pengetahuan yang disadari. Dia bisa berupa unsur-unsur budaya lokal yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah. Potensi unsur budaya lokal untuk menyelesaikan masalah ini mungkin sama sekali tidak diketahui oleh masyarakat pendukung budaya itu sendiri. Tugas para ilmuwan budayalah untuk dapat mengungkapkan potensi tersebut dan menunjukkan sumbangannya bagi penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi.

Di sini diberikan dXD EXDK FRQWRK GDUL ³NHDULIDQ ORNDO´ \DQJ

tersimpan dalam bahasa lokal, yang saya kira potensinya tidak disadari atau belum diketahui oleh masyarakat pemilik bahasa itu sendiri. Kearifan lokal ini dapat memberikan sumbangan penting bagi pengembangan budaya Indonesia, khususnya bahasa Indonesia.

2.2.1 6LVLSDQ ³-LQ´ 'DODP %DKDVD 'DHUDK

Dalam bahasa daerah di Indonesia (seperti bahasa-bahasa Minahasa dan bahasa Jawa, dan mungkin pada beberapa bahasa daerah yang lain)

(12)

GLNHQDO DGDQ\D VLVLSDQ µ-LQ¶ \DQJ WLdak terdapat dalam bahasa Indonesia,

\DQJ EHUDVDO GDUL EDKDVD 0HOD\X 'DODP SDQGDQJDQ VD\D VLVLSDQ ³-in-´

merupakan sebuah potensi budaya, sebuah kearifan lokal yang tidak disadari potensinya, namun dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah dalam penerjemahan. Jika disepakati dan dimanfaatkan dengan baik, potensi ini akan dapat membuat bahasa Indonesia menjadi lebih berkembang, dan juga membuatnya lebih berakar pada bahasa daerah yang bukan-Melayu. Saya akan memberikan contoh dari apa yang saya alami dan kemudian lakukan4).

Ketika saya mulai memperkenalkan paradigma strukturalisme Lévi-Strauss di Indonesia, salah satu kesulitan utama saya antara lain adalah mengIndonesiakan beberapa konsep atau istilah yang sudah begitu umum digunakan dalam bahasa Inggris. Dua di antaranya adalah istilah signified dan signifier. Sebenarnya sudah ada padanan kata bahasa Indonesia untuk dua istilah tersebut -yakni petanda dan penanda-, tetapi cukup sulit bagi saya untuk menerima petanda sebagai terjemahan dari signified. Dalam pemahaman saya, signified DGDODK ³\DQJ GLWDQGDL´

sedang kata petanda OHELK PHQJDFX SDGD ³\DQJ PHQDQGDL´ DWDX SHODNX

sebagaimana halnya kata petembak, pebola, petinju, pedayung, dan sebagainya.

Sementara itu dalam bahasa daerah seperti bahasa Jawa ada

VLVLSDQ ³-in-´ \DQJ GDODP SHQJJXQDDQQ\D PHQXQMXN SDGD NHLQJLQDQ

untuk memberikan tindakan tertentu pada suatu obyek, seperti misalnya kata tinendang (t-in-endang), kineplak (k-in-eplak), ji-niwit (j-in-iwit), jinambak (j-in-DPEDN 6LVLSDQ ³-in´ GL VLQL VHWLGDN-tidaknya menun-jukan adanya suatu obyek yang ingin dikenai tindakan tertentu. Di sini

4)Saya minta maaf jika dalam hal ini saya berbeda pendapat dengan teman-teman saya yang ahli bahasa, yang lebih mengetahui tentang seluk-beluk perbahasaan.

(13)

VLVLSDQ ³-in-´ PHPEHULNDQ PDNQD SDVLI SDGD VHVXDWX \DQJ GHNDW GHQJDQ PDNQD DNKLUDQ ³-HG´ GDODP EDKDVD ,QJJULV VHSHUWL signified, wanted, worshiped dan VHEDJDLQ\D 'HQJDQ PHQJDPELO VHEDJLDQ PDNQD VLVLSDQ µ

-in-µ GDODP EDKDVD -DZD \DQJ PXQJNLQ MXJD DGD GDODP EDKDVD GDHUDK

\DQJ ODLQ PDND µVLJQLILHG¶ NHPXGLDQ GDSDW GLWHUMHPDKNDQ PHQMDGL

µWLQDQGD¶ W-in-anda).

'HQJDQ PHPDQIDDWNDQ VLVLSDQ µ-in-µ WHUVebut maka bahasa Indonesia akan memiliki beberapa keuntungan. Pertama, bahasa Indonesia dapat menjadi lebih produktif karena bahasa Indonesia akan mudah menciptakan kata-kata baru dengan makna yang baru, yang lebih praktis daripada kata-kata yang sudah ada sebelumnya. Sebagai contoh, kata signified dalam bahasa Inggris kemudian dapat diterjemahkan

PHQMDGL µWLQDQGD¶ GDQ LQL OHELK SUDNWLV GDULSDGD µ\DQJ GLWDQGDL¶ 3ROD SHQDPEDKDQ VLVLSDQ µ-in-µ LQL GDSDW GLWHUDSNDQ SDGD NDWD-kata yang kurang lebih sejenis.

Kedua, bahasa Indonesia juga dapat menjadi lebih logis dan

NRQVLVWHQ 'HQJDQ PHPDQIDDWNDQ VLVLSDQ µ-in-µ PDND DZDODQ µSH-µ GDSDW

digunakan hanya untuk pelaku, sehingga bisa diperoleh kata-kata dengan

DZDODQ µSH-µ WDQSD VHQJDX GDQ DZDODQ µSH-µ GHQJDQ sengau, jika

dihubungkan dengan kata lain. Seperti misalnya, petembak dan penembak, petinju dan peninju, pebalap dan pembalap, petuduh dan penuduh, petuntut dan penuntut, dan seterusnya. Dua kata yang berpasangan ini mempunyai makna yang berbeda. Kelompok yang

SHUWDPD NDWD GHQJDQ DZDODQ µSH-µ WDQSD VHQJDX EHUDUWL µRUDQJ \DQJ

PHPSXQ\DL SHNHUMDDQ VHEDJDL¶ SURIHVL VHGDQJ NHORPSRN NHGXD NDWD

GHQJDQ DZDODQ µSH-µ GHQJDQ VHQJDX EHUDUWL µRUDQJ \DQJ PHODNXNDQ

tindakan¶ 6HPHQWDUD LWX GHQJDQ VLVLSDQ µ-in-µ NLWa bisa memperoleh kata-kata, tinembak (yang ditembak), tininju (yang ditinju), pinukul (yang

(14)

dipukul), tinuduh (yang dituduh), tinuntut (yang dituntut) dan seterusnya. Dengan demikian bahasa Indonesia akan menjadi lebih kaya, sekaligus juga bisa lebih praktis dalam penggunaan sejumlah kata di dalamnya. Mungkin akan ada yang mengatakan bahwa kata-kata tersebut terdengar aneh dan tidak lazim, sehingga kurang setuju dengan

SDQGDQJDQ GL DWDV 0HQJHQDL DODVDQ ³WHUGHQJDU DQHK´ KDO LWX NDUHQD

kata-kata tersebut masih baru dan kita belum terbiasa. Jika sudah lama, kita akan terbiasa juga nantinya, dan kemudian dapat menerimanya. Banyak sekali kata-kata baru dalam bahasa Indonesia sekarang ini yang tidak ada dan tidak biasa di tahun 1970an. Misalnya saja kata-kata: swalayan, canggih, kudapan, nirlaba, pesohor dan sebagainya. Kini, kata-kata ini sudah biasa kita dengar, dan akhirnya dapat kita terima.

Mungkin juga ada yang berpendapat bahwa hal seperti itu menyalahi kaidah dalam bahasa Melayu. Masalahnya adalah: apakah kita tidak boleh memanfaatkan potensi-potensi kebahasaan yang ada dalam bahasa daerah yang lain untuk mengatasi masalah-masalah tertentu dalam bahasa Indonesia, yang tidak dapat dipecahkan lewat bahasa Melayu? Mestinya sangat boleh, dan sangat dianjurkan, dan potensi yang dimanfaatkan tersebut mestinya juga bukan hanya pada tataran lexicon saja, tetapi juga pada tataran tata bahasa. OleK NDUHQD LWXODK VLVLSDQ µ

-in-µ yang ada dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia perlu dimanfaatkan.

Itulah kearifan lokal yang terdapat dalam bahasa, pada tataran yang tidak disadari oleh para pendukung bahasa itu sendiri. Para peneliti bahasa dapat mengungkapkan hal-hal semacam ini, dan para pembuat kebijakan dalam bidang bahasa dapat memanfaatkan data kebahasaan ini untuk membantu mereka menyelesaikan masalah-masalah kebaha-saan. Apa yang saya sampaikan di atas hanyalah sebuah pemikiran atau

(15)

masukan. Apa-kah masukan tersebut akan diterima, itu terserah kepada pihak-pihak yang lebih mempunyai wewenang.

Ada baiknya diingat di sini bahwa -sebagaimana telah diajarkan oleh de Saussure (1967)-, dalam bahasa tidak pernah ada hubungan intrinsik antara tinanda dengan petanda atau penandanya.. Hubungan di antara keduanya bersifat arbitrair (arbitrary), semena-mena dan didasarkan pada kesepakatan (consensus). Oleh karena itu, kalau kita memang sepakat dengan pendapat di atas, maka jadilah. Kesepakatan tersebut saya kira akan banyak membawa manfaat untuk bahasa Indonesia, karena dengan begitu kita akan memperoleh daftar kata baru dalam bahasa Indonesia, yang jika dimanfaatkan dapat menghemat ruang, dan juga menguatkan prinsip keajegan dalam berbahasa, yang berarti juga keajegan dalam berfikir.

Berikut adalah beberapa contoh kata yang dibentuk dengan sisipDQ DZDODQ µ-in-µ GDQ PDNQDQ\D

(16)

Kata Dasar

Pelaku Tindakan

Profesi Dikenai Tindakan

Ajak Ajar Ancam Arah Bakar Buru Busuk Cabut Cari Cegah Tabrak Taruh Tembak Teliti Tinju Daki Darat Duduk Ganti Gubah pengajak pengajar pengancam pengarah pembakar pemburu pembusuk pencabut pencari pencegah penabrak - penembak peneliti peninju pendaki pendarat penduduk pengganti penggubah - - - - pebakar peburu pebusuk pecabut pecari pecegah petabrak petaruh petembak peteliti petinju pedaki - - - pegubah

inajak = yang diajak inajar = yang diajar inancam = yang diancam inarah = yang diarahkan binakar = yang dibakar binuru = yang diburu binusuk = yang dibusukkan cinabut = yang dicabut cinari = yang dicari cinegah = yang dicegah tinabrak = yang ditabrak tinaruh = yang ditaruh tinembak = yang ditembak tineliti = yang diteliti tininju = yang ditinju dinaki = yang didaki dinarat = yang didarati dinuduk = yang diduduki ginanti = yang diganti ginubah = yang digubah

'DQ VHWHUXVQ\D«««««««««««

Mungkin juga usulan seperti di atas telah pernah diajukan oleh pakar bahasa yang lain. Seandainya demikian, maka masukan saya ini dapat dianggap sebagai penguatan atas masukan sebelumnya itu, tetapi kalau masukan seperti itu belum pernah ada, maka masukan ini memang merupakan hal yang baru, dan sebaiknya dapat dipertimbangkan tentang diterima-tidaknya.

(17)

2.2.2 Istilah-istilah dalam Kesenian

Kearifan lokal yang terdapat dalam bahasa juga tersimpan dalam istilah-istilah bahasa daerah, yang tidak selalu dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kosa-kata bahasa daerah ini dapat dimanfaatkan untuk menerjemahkan kata-kata asing yang mungkin tidak ada padan katanya dalam bahasa Melayu. Jika tidak, kata-kata ini sendiri sebenarnya juga mengandung pengetahuan-pengetahuan tertentu yang khas, milik pemakai bahasa tersebut, yang biasanya tidak terdapat dalam perangkat pengetahuan masyarakat yang lain. Sebagai contoh saya akan mengambil istilah-istilah yang terdapat dalam khasanah seni tari, khususnya tari Jawa.

Salah satu tari yang populer di kalangan orang Jawa adalah tari Srimpi. Dalam pandangan orang Jawa, tarian ini merupakan ekspresi, wujud, dari keseimbangan antara baik dan buruk, gelap dan terang, bumi dan langit. Srimpi LWX VHQGLUL EHUPDNQD ³HPSDW DUDK PDWD DQJLQ´ 6XKDUWR

1995). Tarian srimpi merupakan simbol dari empat arah mataangin tersebut, yakni: utara, selatan, timur dan barat, serta simbol dari empat unsur yang universal, yaitu: api, udara, air dan tanah. Dari sini kita bisa mengerti mengapa empat penari srimpi mengenakan pakaian yang seragam (sama) dan mereka terlibat dalam konflik simbolis yang tidak dimenangkan oleh siapapun karena semuanya memiliki kekuatan yang sama. Seimbang.

Seorang penari srimpi yang memahami filosofi tarian ini harus

EHUXVDKD XQWXN PHQJJXQDNDQ NRQVHS µNHVHLPEDQJDQ¶ -DZD VHEDJDL

sumber kekuatannya ketika menari, sehingga tujuan seseorang menari bukanlah untuk mencapai kehebatan dalam menari atau menjadi lebih baik daripada penari yang lain, tetapi untuk terus-menerus memperdalam kemampuan mengekspresikan diri. Bahkan ketika dia telah menjadi

(18)

seorang penari yang mahir, inipun tetap perlu terus dilakukan (Suharto, 1995). Mungkin karena maknanya yang dalam inilah maka tari srimpi ini dulu rasanya begitu populer.

Selanjutnya model empat yang manunggal di atas juga terdapat dalam konsep orang Jawa tentang joged Mataram yang menurut pangeran Suryobrongto mengandung empat prinsip dasar, yakni:(1) sawiji (perhatian memusat, konsentrasi); (2) greget (dinamika dalam, tanpa kekasaran); (3) sengguh (yakin pada diri-sendiri, tanpa disertai kesombongan); ora mingkuh (disiplin, pantang mundur). Empat prinsip ini merupakan unsur-unsur dari joged Mataram pada bidang wirasa, yang jika digambarkan akan tampak seperti berikut.

Diagram I: Bagian-bagian Wirasa Joged Mataram. ora mingkuh

| | | |

sengguh --- joged Mataram --- sawiji |

| | | greget

Model semacam ini juga terdapat dibalik definisi Suryadiningrat mengenai tari yang menurut beliau mencakup tiga elemen: (1) wiraga, yang artinya keseluruhan gerak tubuh penari; (2) wirama, yaitu iringan untuk tarian berupa suara gamelan dan iramanya, dan (3) wirasa, yaitu harmoni antara ekspresi wajah atau simbol, dan makna dari tarian itu sendiri. Pada bidang wirama terdapat dua elemen, yakni: (a) ungel, suara gamelan (misalnya dari instrumen bonang, saron dan sebagainya), dan (b)

(19)

wirama, irama gamelan (misalnya cepat atau lambat). Pada bidang wirasa juga terdapat dua elemen, yakni: (a) pasemon atau lambang, dan (b) pikajeng, yaitu makna atau maksud dari tarian.

Dua elemen tersebut ungel dan wirama, pasemon dan pikajeng- ditafsirkan oleh Suharto sebagai wujud dari oposisi berpasangan: yang terbatas dan yang tidak terbatas, atau mikrokosmos dengan makrokosmos. Ungel merupakan sesuatu yang tidak terbatas, sedang irama terbatas. Pada tataran wirasa, elemen pasemon merupakan yang terbatas. Pasemon adalah ekspresi wajah, yang dalam tari Yogyakarta dianggap sebagai sesuatu yang terbatas, karena penari tidak diperbolehkan memperlihatkan perasaan mereka, situasi dalam diri mereka, lewat wajah mereka. Dasar pandangannya adalah, perasaan yang kuat akan dengan sendirinya terekspresikan, terwujud, dalam wajah dan gerak (Suharto, 1995 :16). Jika unsur-unsur yang berlawanan namun berpasangan tersebut digambarkan dengan menggunakan model seperti di atas, maka akan diperoleh diagram sebagai berikut.

Diagram II: Unsur-unsur Pembentuk Joged Mataram wirama ungel /

| / | / | /

irama --- wiraga --- pasemon / |

/ | / |

/ pikajeng wirasa

(Sumber: Suharto, 1995: 22, dengan sedikit perubahan dari penulis). Dari paparan di atas terlihat bahwa istilah-istilah lokal, yang merupakan unsur-unsur dasar bahasa lokal, mencerminkan khasanah

(20)

pengetahuan tertentu. Istilah-istilah dalam dunia tari Jawa di atas mencerminkan kearifan lokal Jawa, filosofi Jawa, pandangan hidup orang Jawa, mengenai tari-menari. Tari-menari dalam pandangan orang Jawa ternyata bukan hanya suatu kegiatan melakukan gerakan-gerakan tanpa makna. Tari-menari bagi orang Jawa dapat ditafsirkan sebagai kegiatan melakukan gerakan-gerakan yang dapat mewujudkan, mengekspresikan rasa atau keinginan, dalam kerangka suatu pandangan hidup tertentu. Filsafat Jawa tentang tari yang tersimpan di balik berbagai kata-kata Jawa mengenai tari tersebut tentu dapat menjadi inspirasi bagi para penata tari (koreografer). Dengan memahami filsafat tari tersebut para penata tari dapat saja menciptakan komposisi-komposisi tari baru yang didasarkan pada filsafat tari di atas. Mereka juga dapat menjalan-kan profesi sebagai penari dengan menggunakan pandangan-pandangan hidup dan kearifan yang ada dalam filsafat tari tersebut sebagai landasannya.

2.3 Sastra dan Kearifan Lokal

Selain dalam bahasa, kearifan lokal juga tersimpan dalam karya-karya sastra lokal, baik yang lisan maupun tertulis. Sering dikatakan bahwa sastra merupakan gambar cermin dari masyarakat, terutama masyarakat pemilik sastra tersebut, sehingga mempelajari sastra, mulai dari mantra, pantun, peribahasa, hingga cerita rakyat dan novel, akan sangat membantu kita memahami pola pikir masyarakat atau berbagai kejadian dalam kehidupan masyarakat tersebut. Di sini saya mencoba menunjukkan bahwa dalam sastra tradisional kita dapat menemukan kearifan-kearifan lokal tertentu, yang belum tentu dapat kita temukan di tengah-tengah kehidupan sehari-hari mereka. Sastra tradisional tersebut adalah Babad Tanah Jawi.

(21)

Jika kita membaca kitab klasik Babad Tanah Jawi ini misalnya, akan kita temukan di dalamnya berbagai berbagai ceritera menarik tentang tokoh-tokoh yang terkenal seperti Prabu Brawijaya II, Prabu Brawijaya IV, Sunan Ngampel, Sunan Geseng, maupun tokoh yang tidak begitu terkenal, seperti misalnya Ki Ajar Wilis, Putri Tanusekar, Murjangkung, Raden Jaka Dilah, dan sebagainya. Juga berbagai peristiwa bersejarah yang menarik, yang tidak semuanya terasa masuk akal, jika dipahami dengan kerangka berfikir orang sekarang. Salah satu episode yang menarik dalam Babad tersebut adalah episode pertemuan Sunan Kalijaga dengan Prabu Darmakusuma, atau Yudhistira, raja Amarta, putra sulung dalam keluarga Pandawa.

2.3.1 Babad Tanah Jawi: Episode Prabu Darmakusuma dan Sunan Kalijaga

Episode ini diawali dari upaya para wali di Jawa untuk membangun sebuah masjid, yang kini menjadi masjid yang terkenal, masjid Demak (lihat Santoso, 2003). Atas an-juran Sunan Giri para wali mendapat tugas untuk menyediakan empat sokoguru untuk masjid tersebut, yang tentu saja memerlukan kayu yang besar. Sunan Kalijaga, salah se-orang wali, kemudian pergi ke hutan. Ketika ia berjalan-jalan di hutan mencari kayu ter-sebut, beliau bertemu dengan seorang laki-laki dan perempuan.

6XQDQ .DOL EHUWDQ\D ³6LDSDNDK WXDQ GDQ DSDNDK NHSHUOXDQ WXDQ

tinggal di hutaQ EHODQWDUD LQL"´

Orang laki-ODNL LWX PHQMDZDE ³6D\D DGDODK 3UDEX 'DUPDNXVXPD UDMD

Amerta. 6LDSDNDK WXDQ"´

6XQDQ .DOL EHUNDWD GHQJDQ OHPEXW ³6D\D DGDODK 6HK 0DOD\D 0HQJDSD WXDQ WLGDN PDX SXODQJ NH VRUJD"´

(22)

3UDEX 'DUPDNXVXPD PHQMDZDE ³6D\D EHOXP GDSDW moksa, karena saya

PHPSXQ\DL VHEXDK MLPDW EHUXSD ³6XUDW .DOLPDVDGD´ .DWD %DWDUD *XUX

kalau saya belum dapat membaca kitab itu, saya tak dapat moksa. Kelak akan ada orang yang bernama Seh Malaya yang dapat membaca surat itu. Kalau anda dapat membacanya, betul-betullah anda Seh Malaya. Kalau tidak, anda hanyalah orang yang mengaku-DNX VDMD´

6XQDQ .DOL EHUWDQ\D ³%ROHKNDK KDPED PHOLKDW NLWDE .DOLPDVDGD LWX"´

Kitab itu diberikan kepada Sunan Kali. Sudah barang tentu Sunan Kali dapat membacanya, karena Kalimasada itu pada hakekatnya adalah

³NDOLPDK V\DKDGDK´

6XQDQ .DOL EHUNDWD ³$SDNDK WXDQNX KHQGDN PHQJDQXW .DOLPDVDGD LQL" .DOLPDVDGD LWX LOPX GDUL +\DQJ 6XNVPD \DQJ GLDQXW ROHK SDUD ZDOL´

Prabu Darmakusuma menjawab bahwa ia dan isterinya ingin menganut Kalimasada itu. Diajarilah Prabu Darmakusuma dan isterinya membaca kalimah syahadat, dan Islamlah mereka. Setelah mereka Islam, mereka

GDSDW PDWL GHQJDQ WHQDQJ GDQ GLNXEXUNDQ GL WHQJDK KXWDQ´ (Santoso,

2003: 92)

Episode di atas tentu dapat ditafsirkan dari berbagai sudut pandang. Seorang ilmuwan budaya yang meneliti tentang kearifan lokal dalam sastra tidak akan meremehkan atau menyangkal cerita di atas. Yang penting baginya bukanlah soal benar-tidaknya ceritera tersebut (karena benar dan tidaknya ceritera tersebut bersifat relatif), tetapi sebuah pendapat, sebuah teori bahwa sebuah ceritera pada dasarnya mencerminkan suatu pola pikir tertentu, karena sebuah ceritera adalah produk imajinasi manusia, produk pikiran manusia. Yang muncul dalam pikirannya kemudian adalah pertanyaan-pertanyaan: apakah ada kearifan tertentu di balik ceritera itu? Seperti apa kearifan tersebut? Mengenai apa kearifan itu kira-kira?.

Dengan cara analisis tertentu (lihat Ahimsa-Putra, 2007: 358) kisah di atas dapat ditafsirkan sebagai wujud dari upaya pikiran orang

(23)

Jawa untuk menghubungkan dua perangkat pengetahuan, pandangan hidup dan sistem nilai yang unsur-unsurnya sebenarnya sulit, bahkan hampir tidak mungkin didamaikan. Sosok Sunan Kalijaga di situ dapat ditafsirkan sebagai representasi perangkat pandangan dan nilai Islam, sedang sosok prabu Yudhistira dengan istrinya dapat ditafsirkan sebagai representasi perangkat pengetahuan dan nilai pra-Islam, atau Hindu-Buddha (Ahimsa-Putra, 2007: 358). Dengan cara pandang seperti ini kisah Sunan Kalijaga dan Prabu Yudisthira di atas dapat ditafsirkan sebagai simbolisasi dari peralihan pandangan dan kehidupan orang Jawa, dari budaya pra-Islam ke budaya Islam dengan cara sukarela. Melalui ceritera seperti di atas orang Jawa berhasil menciptakan sebuah tirai ilusi bagi diri mereka sehingga dua perangkat pengetahuan dan sistem nilai tersebut menjadi tampak berhubungan satu sama lain, memiliki kesinambungan dan terasa tidak berlawanan.

Selanjutnya kita juga dapat menafsirkan bahwa kisah di atas menunjukkan suatu kearifan lokal, kearifan orang Jawa, untuk memahami sebuah proses perubahan kebudayaan, sebuah proses pergantian pandangan hidup dan sistem nilai. Dengan menciptakan ceritera seperti itu, orang Jawa lantas dapat menciptakan sebuah tirai budaya yang dapat mereka gunakan untuk memandang hidup dan kehidupan mereka dengan cara yang baru (Ahimsa-Putra, 2007: 371-372). Inilah kearifan lokal mereka. Sebuah kearifan tentang cara merajut sebuah ilusi kolektif, sebuah dunia imajiner yang -bagaikan sebuah jaring- dapat mencegah kolektivitas mereka berantakan berkeping-keping tanpa sebuah ikatan (Ahimsa-Putra, 2008).

(24)

2.3.2 Babad Tanah Jawi: Episode Sunan Kalijaga, Katak dan Ular Contoh yang lain adalah episode pertemuan Sunan Kalijaga dengan katak dan ular. Bagian ini dapat ditafsirkan sebagai menyimpan sebuah kearifan yang begitu tersembu-nyi, sehingga tidak mudah diketahui. Alkisah, setelah Sunan Kalijaga bertemu prabu Darmakusuma dan isterinya, serta mengIslamkan keduanya, beliau berjalan kembali di hutan untuk mencari kayu besar yang akan dijadikan salah satu sokoguru masjid yang akan dibangun.

³6XQDQ .DOL EHUMDODQ WHUXV PHOLKDW-lihat pohon jati yang besar, tinggi

dan lurus. Tiba-tiba terdengar suara katak berulang-ulang, dan ketika ia menoleh, dilihatnya seekor katak sedang hendak ditelan oleh seekor ular.

6XQDQ NDOL EHUNDWD ³KXX KXX´ Ular itu melepaskan mangsanya, yang

cepat-FHSDW ODUL PHQJKLQGDU 8ODU EHUNDWD NHSDGD 6XQDQ .DOL ³6HGDQJ

kami hendak menelan katak itu, tuanNX EHUNDWD ³KXX«KXX´ DSDNDK LWX

DUWLQ\D"´ ³6D\D KHQGDN PHQJDWDNDQ ³ + X-OXQHQ WHODQODK ´ 8ODU

tak menjawab lagi, lalu pergi.

Kemudian katak yang tertolong dari bahaya maut itu datang untuk mengucapkan terima NDVLK ³7XDQNX KDPED PHQJXFDSNDQ EDQ\D k-banyak terimakasih atas pertolongan tuanku itu Tapi bolehkah hamba

PHQJHWDKXL DSD DUWL NDWD ³KXX«KXX´ \DQJ WXDQ XFDSNDQ LWX"´ 6XQDQ

.DOL EHUNDWD ³$NX KHQGDN PHQJDWDNDQ K XFXOQDD K XFXOQDD ´ OH

-SDVNDQODK OH-SDVNDQODK«

.DWDN EHUNDWD ³+DPED PHUDVa sangat berhutang budi kepada tuanku.

Oleh karena itu hamba berjanji akan membawa kayu yang tuanku pilih

LWX NH NRWD %LQWDUD ELOD WHODK VLDS´ 6XQDQ .DOL PHQMDZDE

³7HULPDNDVLK«NDWDN«´ 6DQWRVR -94)

Sebuah fragmen yang aneh tetapi sangat menarik, yang mungkin

DNDQ PHPEXDW VHEDJLDQ RUDQJ EHUNDWD ³$K LWX NDQ FXPD GRQJHQJ PDQD PXQJNLQODK PDQXVLD ELVD EHUELFDUD GHQJDQ ELQDWDQJ´ 7HUOHSDV GDUL

benar-tidaknya kisah itu, yang perlu direnungkan adalah nilai-nilai apa yang ada di balik ceritera tersebut, yang mungkin masih relevan dengan

(25)

kehidupan kita sekarang, sehingga kita akan dapat mengupayakan reaktualisasinya.

Dari sudut pandang tertentu, kisah Sunan Kalijaga di atas dapat ditafsirkan sebagai sebuah ajaran tentang cara menyelesaikan sebuah perselisihan, sebuah pertikaian yang tidak seimbang antara pihak yang sangat kuat dan sangat lemah, namun dengan hasil yang dapat diterima oleh semua pihak, atau dengan istilah sekarang win-win solution. Penyelesaian semacam ini memungkinkan pihak yang berselisih sama-sama merasa tidak kalah, tidak kehilangan muka, dan karena itu lantas dapat diterima oleh kedua belah pihak (Ahimsa-Putra, 2009).

Mungkin ada yang tidak setuju dengan tafsir ini, dan justru berpendapat bahwa Sunan Kalijaga dalam kLVDK LWX WDPSDN ³EHUPXND GXD´ DWDX mencla-mencle. Pendapat seperti ini tidak salah. Akan tetapi, atas dasar pendapat seperti itupun tidak berarti bahwa apa yang telah dilakukan oleh Sunan Kalijaga adalah hal yang buruk dalam konteks ceritera di atas, karenD ³EHUPXND GXD´ GL VLWX WLGDN XQWXN PHQJDGX -domba atau menimbulkan perselisihan, tetapi justru untuk menyelamatkan pihak yang lemah, tanpa membuat pihak yang lebih kuat merasa dirugikan atau kehilangan muka. Apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dapat ditafsirkan sebagai sebuah tindakan yang didasarkan pada nilai-nilai (a) bahwa menyelesaikan sengketa antara pihak yang lemah dengan pihak yang lebih kuat adalah perbuatan yang baik, yang perlu dilakukan; (b) bahwa pertolongan sebaiknya diberikan dengan cara yang dapat membuat kedua pihak yang bersengketa merasa diuntungkan atau minimal tidak merasa dirugikan oleh yang menengahi sengketa. Inilah kearifan lokal yang dapat kita tangkap dari episode di atas (Ahimsa-Putra, 2009).

(26)

3. Penutup

Analisis atas bahasa daerah dan sastra daerah tradisional di atas menunjukkan bahwa dalam bahasa dan sastra daerah tersebut terdapat berbagai kearifan lokal yang dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah-masalah praktis, seperti penerjemahan kata-kata asing ke dalam bahasa Indonesia, di samping kearifan-kearifan lokal yang dapat menjadi sumber inspirasi penciptaan karya-karya seni tertentu atau menawarkan cara-cara penyelesaian masalah-masalah sosial tertentu. Bahasa dan sastra daerah di Indonesia yang begitu banyak merupakan khasanah pengetahuan yang pasti menyimpan ba-nyak sekali kearifan-kearifan lokal yang lain. Adalah tugas para ilmuwan sosial-budaya untuk mengungkap berbagai kearifan tersebut, menunjukan manfaatnya bagi peningkatan kualitas kehidupan manusia, dan menyajikannya kepada masyarakat sedemikian rupa agar mudah dipahami dan dimanfaatkan. Tantangan besar yang dihadapi oleh para ilmuwan sosial-budaya di sini adalah menentukan dan membangun metode analisis yang dapat digunakan untuk mengungkap kearifan-kearifan lokal pada tataran fonem, morfem, leksikon, dari berbagai bahasa daerah yang ada di Indonesia. Analisis komponen seperti di atas hanyalah salah satu contoh kecil dan sederhana dari metode analisis linguistik yang dapat diterapkan. Tantangan berikutnya adalah menentukan dan mengembangkan metode analisis hermeneutik yang dapat menghasilkan tafsir yang pas untuk wacana-wacana yang berhasil dihimpun. Walaupun analisis hermeneutis di atas tampak sudah sesuai, namun metode seperti itu masih perlu diuraikan dengan lebih rinci agar tahap-tahapnya dapat diikuti dengan mudah oleh peneliti-peneliti yang lain.

Persoalannya sekarang adalah: apakah bahasa-bahasa lokal yang ada telah berhasil dihimpun, kemudian disusun secara sistematis dan

(27)

dianalisis? Apakah seluruh sastra lokal yang ada telah berhasil dihimpun, didokumentasikan secara rapi dan sistematis, dan kemudian dianalisis? Apakah analisis-analisis yang ditujukan untuk mengungkapkan berbagai kearifan lokal di dalamnya juga telah dilakukan? Tidak ada yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini kecuali para ahli bahasa, sastra dan ahli kebudayaan Indonesia pada umumnya.

Daftar Pustaka

Ahimsa-Putra, H.S.. 2000a. Bahasa Jawa dan Bahasa Ratahan di Tengah Arus Perubahan. Makalah seminar.

_________. E ³,VODP -DZD GDQ -DZD ,VODP 6LQNUHWLVDVL $JDPD GL

-DZD´ Tembi 1 Thn.I: 10-19.

_________. 2002a. Potensi Budaya Lokal Sebagai Sumber Penataan Sosial. Makalah Temu Budaya

_________. 2004a. Kearifan Tradisional dan Lingkungan Sosial. Makalah seminar.

BBBBBBBBB E ³(WQRVDLQV 0HQJXQJNDS 3HQJHWDKXDQ 0DV\DUDNDW

3HGHVDDQ´ Dinamika Pedesaan dan Kawasan 4 (4): 34-45.

_________. 2005. Kearifan Tradisional dan Lingkungan Fisik. Makalah lokakarya.

BBBBBBBBB ³(WQRVDLQV (WQRWHN GDQ (WQRDUW Paradigma

Fenomenologis Untuk 5HYLWDOLVDVL .HDULIDQ /RNDO´ GDODP

Kemajuan Terkini Riset Universitas Gadjah Mada, Jumina dan Danang Parikesit (eds.). Yogyakarta: LPPM-UGM.

BBBBBBBBB D ³.DWD 3HQJDQWDU´ GDODP Kearifan Tradisional

Masyarakat Pedesaan dalam Pemeliharaan Lingkungan Alam, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

(28)

Jakarta: Direktorat Jenderal Seni dan Film, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

_________. 2008b. Ilmuwan Budaya dan Revitalisasi Kearifan Lokal: Tantangan Teoritis dan Metodologis. Pidato Ilmiah Dies Natalis Fakultas Ilmu Budaya, UGM

_________. 2008c. Nilai-nilai Luhur Budaya Jawa: Tantangan Dalam Reaktualisasinya Pidato Ilmiah Dies Natalis Fakultas Sastra dan Seni, Universitas Negeri Sebelas Maret.

_________. 2008d. Nilai Budaya Lokal di Era Global: Tantangan dan Peluang. Makalah Dialog Budaya.

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Santoso, S. 2003. Babad Tanah Jawi (Galuh-Mataram). Surakarta: STSI Surakarta.

Suharto, B. 1995. ³-DYDQHVH 'DQFH &RVPRORJ\ DQG $HVWKHWLFV´ GDODP

Traditional Theatre in Southeast Asia, C.S.Pong (ed). Singapore: UniPresSPAFA.

Gambar

Diagram I:  Bagian-bagian  Wirasa  Joged  Mataram.
Diagram II:  Unsur-unsur Pembentuk Joged Mataram

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan pada siklus II pertemuan pertama 85% dan pertemuan kedua 95% dengan kategori baik sekali.Berdasarkan keterangan di atas hasil penelitian menunjukkan seluruh

Dalam bagian ini akan coba dikaji beberapa teori utama tentang manajemen persedian, pertama teori tentang jasa itu sendiri dan kedua yaitu teori-teori yang menjawab tiga pertanyaan

Kata kunci: metode inkuiri, metode inkuiri terbimbing, prestasi belajar, kemampuan berpikir kritis, kemampuan berpikir kritis kategori kognitif, mata pelajaran

Dalam Islam, kelangkaan sifatnya relatif bukan kelangkaan yang absolut dan hanya terjadi pada satu dimensi ruang dan waktu tertentu dan kelangkaan tersebut timbul

upacara / pada peringatan hari Kemerdekaan republik Indonesia / di kantor walikota Yogyakarta //. Para peserta paskibra yang berjumlah 35 orang tersebut / berasal dari dua puluh

“skripsi ini saya persembahkan untuk Papa dan kakek saya tercinta yang skr berada disisi Tuhan, untuk Mama saya, untuk paman saya Ali Cahyadi dan Tante saya Kwa Ai Phio yang

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif-analitik dengan diawali penjabaran latar belakang masalah berupa kebutuhan sebuah bangunan stadion di Kota Kediri dan

Journal of English Educators Society is specific journal than another one, because it discusses about Thai Students’ writing skill, and Journal Pedagogia discuss about