9 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengenalan Bab
Bab ini membahas tentang landasan teori yang digunakan dalam penelitian
ini. Bagian pertama bab ini mambahas tentang definisi fraud kemudian
kelasifikasi fraud dan fraud triangel Bagian kedua bab ini membahas tentang pencucian uang kemudian tahapan pencucian uang dan modus pencucian uang.
Bagian ketiga tentang pendanaan terorisme, bagian selanjutnya membahas tentang
program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Dan bagian
terakhir membahas tentang penelitian terdahulu.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Fraud
2.2.1.1 Definisi Fraud
Fraud memiliki banyak definisi, SE BI (Surat Edaran Bank Indonesia) No.
13/28/DPNP (2011) mendefinisikan fraud sebagai tindakan yang menyimpang
atau membiarkan dengan sengaja dilakukan untuk mengelabui, menipu, atau
memanipulasi Bank, Nasabah, atau pihak lain, yang terjadi dilingkungan Bank
dan/atau menggunakan sarana Bank sehingga mengakibatkan Bank, nasabah, dan
pihak lain menderita kerugian dan/atau pelaku fraud memperoleh keuntungan
10
Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan
beberapa pasal yang mencakup pengertian fraud, yaitu:
1. Pasal 362: Pencurian (definisi KUHP: “mengambil barang sesuatu,
yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum”)
2. Pasal 368: Pemerasan dan Pengancaman (definisi KUHP: “dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang maupun menghapuskan piutang”)
3. Pasal 372: Penggelapan (definisi KUHP: “ dengan sengaja dan melawan
hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan”)
4. Pasal 378: Perbuatan Curang (definisi KUHP: “ dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,
ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang”)
5. Pasal 396: Merugikan pemberi piutang dalam keadaan pailit.
11
7. Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435
yang secara khusus diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
2.2.1.2 Klasifikasi Fraud
The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) atau Asosiasi Pemeriksa Kecurangan Bersertifikat, orgnanisasi ini bertujuan untuk melakukan
pemeriksaan atas kecurangan yang memiliki tujuan memberantas kecurangan,
mengklasifikasikan fraud (kecurangan) dalam beberapa klasifikasi, dan dikenal dengan istilah “Fraud Tree” yaitu sistem klasifikasi mengenai hal-hal yang ditimbulkan oleh kecurangan yang sama (Uniform Occuptional Fraud Classification System). Untuk mempermudah memahaminya perhatikan gamber berikut ini:
12 Gambar 2.1. The Fraud Tree
13
Tiga kategori fraud berdasarkan tingkah lakunya dan penjelasannya tersebut sebagai berikut:
1. Korupsi (Corruption)
Korupsi menurut UU no. 20 (2001) adalah perbuatan yang merugikan
negara atau perekonomian negara dengan tujuan untuk memperkaya diri
sendiri, atau orang lain dengan cara melawan hukum negara.
Korupsi sangat sulit dideteksi karena korupsi dilakukan bersama-sama
oleh pelaku dan partnernya. Kiagatan yang dilakukan bersama-sama ini
mencakup penyalahgunaan wewenang, penyuapan, penerimaan yang tidak
sah atau illegal, dan pemerasan secara ekonomis.
2. Penyalahgunaan Aset (Asset Misappropriation)
Penyalahgunaan aset merupakan kecurangan yang melibatkan aset suatu
perusahaan dan biasa dilakukan oleh karyawan atau pihak lain dalam suatu
organisasi.
Penyalahgunaan Aset ini adalah kejahatan yang sering menjadi penyebab
fraud dan mudah terdekteksi akibat aset bersifat tangible yaitu dapat diukur
dan dihitung.
3. Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud)
Menurut Priantara (2013) dalam Utomo (2018) melakukan tindakan
curang dalam pelaporan keuangan biasanya di dorong oleh tekanan ekspektasi
yang berlebihan terhadap prestasi kinerja manajer.
Kecurangan laporan keuangan termasuk tindakan manajemen untuk
14
memperoleh keuntungan dari pihak lain. Penyajian yang tidak sesuai dengan
prinsip akuntansi biasanya dikatakan dengan windowdressing.
2.2.1.3 Fraud Triangle
Creesy membuat suatu teori bahwa tiga keadaan yang akan ada saat terjadi
kecurangan laporan keuangan yaitu tekanan (Pressure), Kesempatan (opportunity), dan rasionalisasi (rasonalitation)(Utomo, 2018). Ketiga pilar tersebut saling berhubungan untuk membentuk sebuah kecurangan sehingga biasa
disebut dengan Fraud Triangle.
Gambar 2.2 Fraud Triangle
Sumber: Fraud Triangle Theory 1. Tekanan (Pressure)
Elemen pertama dari fraud triangle adalah tekanan. Tekanan sangat berpengaruh pada seseorang untuk melakukan tindakan fraud.
15
Fraud terjadi jika seseorang menerima keharusan dalam bentuk ekonomis dan non ekonomis. Bentuk ekonomis bisa dalam keuangan, gaya hidup
mewah, kecanduan narkoba, dan lain-lain.
Sedangkan bentuk non ekonomis bisa dalam bentuk keharusan dari
manajemen yang membuat seseorang berniat melakukan fraud agar tidak dinilai buruk oleh manajemen.
2. Kesempatan (Opportunity)
Elemen kedua dari fraud triangle adalah kesempatan. Terjadinya fraud jika memiliki peluang. Peluang bisa dalam bentuk sistem pengendalian internal yang lemah, tidak disiplin, tidak adanya audit
internal perusahaan, tata kelola perusahaan yang buruk, dan terbatasnya
regulasi. Elemen yang mudah untuk dikendalikan dari elemen lainnya
karena dapat diminimalisir dengan cara memperbaiki sistem pengendalian
internal, menerapkan prosedur dan kontrol terhadap fraud. 3. Rasionalisasi (Rationalization)
Elemen ketiga dari fraud triangle adalah rasionalisasi. Rasionalisasi adalah sikap untuk membenarkan sesuatu yang dianggap
benar oleh dirinya sendiri agar pihak lain setuju terhadapnya. Rasionalisasi
bisa menjadi fraud akibat pelaku melakukan pembenaran atas perbuatannya karena dianggap tidak melanggar hukum dan tidak
16 2.3 Pencucian Uang
Pencucian uang (money laundering) adalah tindakan yang dilakukan untuk menyembunyikan harta yang dimiliki dengan cara menempatkan, mentransfer,
membelanjakan, menyumbangkan, menukar, dan membawanya keluar negeri atau
tindakan lainnya yang merupakan hasil dari tindak pidana yang dilakukan.
(SEOJK Nomor 32/SEOJK.03/2017)
2.3.1 Tahapan Pencucian Uang
Dalam pencucian uang dapat dikelompokan menjadi 3 kegiatan dengan
penjelasan sebagai berikut:
Gambar 2.3
Tahapan Pencucian Uang
Sumber : SEOJK No. 32 Tahun 2017
a. Penempatan (Placement) adalah cara untuk meletakkan pemindahan terhadap dana yang diperoleh dari hasil tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) lain, atau cara untuk meletekkan uang jenis lain seperti cek, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama
sistem perbankan.
b. Transfer (Layering) adalah usaha yang dilakukan untuk memindahkan harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil dipindahkan pada PJK (Penyedia Jasa Keuangan) lainnya sebagai hasil dari
17
penempatan (placement). Sebagai gambaran dengan melakukan transfer berulang kali.
c. Penggunaan harta kekayaan (Integration) adalah usaha untuk memakai harta kekayaan diperoleh dari hasil tindak pidana yang telah berhasil ditransfer ke
dalam sistem keuangan lain dengan cara penempatan atau transfer sehingga
seakan seperti harta kekayaan yang sah (clean money) atau legal yang digunakan untuk menjalani aktifitas bisnis yang lain atau sebagai sumber pembiayaan
aktifitas kejahatan lagi. Sebagai contoh dengan membuka usaha baru atau
pembelian aset baru.
2.3.2 Jenis-Jenis Pencucian Uang
Pencucian uang memiliki beberapa jenis yang biasa digunakan pelaku
untuk melakukan tindak pidana tersebut, penjelasannya sebagai berikut:
a. Smurfing yaitu dengan cara membagi sumber dana hasil tindak pidana ke beberapa pelaku untuk menghindari pelaporan.
b. Structuring yaitu dengan cara mempecah sumber dana hasil tindak pidana ke beberapa transaksi kecil agar tidak dicurigai pada saat pelaporan
c. U Turn yaitu usaha untuk menghilangkan asal usul tindak kejahatan dengan memutarbalikkan transaksi untuk kemudian dikembalikan ke rekening asalnya.
d. Cucko yaitu dengan cara mengirimkan dana hasil tindak pidana ke pihak ketiga untuk menghilangkan asal usul sumber dana tersebut akan tetapi pihak ketiga
tidak menyadari dana yang dikirimkan merupakan hasil dari tindak pidana.
e. Pembelian aset atau barang mewah yaitu menghilangkan status kepemilikan
18
f. Pertukaran barang (barter) yaitu usaha untuk menghindari penggunaan dana
secara tunai atau instrumen keuangan sehingga tidak dapat terlacak oleh sistem
keuangan.
g. Underground banking atau alternative remittance services yaitu usaha untuk pengiriman uang dengan cara melalui jalur informal yang dilakukan atas dasar
kepercayaan.
h. Penggunaan pihak ketiga yaitu transaksi dilakukan dengan cara menggunakan
identitas pihak ketiga dengan tujuan menghindari pelacakan identitas dari pihak
yang pemilik transaksi merupakan pemilik dana hasil tindak pidana.
i. Mingling yaitu mengabungkan dana hasil dari tindak pidana dengan dana-dana dari hasil aktifitas usaha yang legal dengan tujuan untuk menyamarkan dana-dana
hasil tindak pindan.
j. Penggunaan identitas palsu yaitu dengan cara memalsukan identitas pelaku
untuk menghilangkan jejak pelacakan identitas dan pendektesian lokasi pelaku
pencucian uang.
2.4 Pendanaan Terorisme
Menurut Peraturan Presiden (Perpres) No. 46 (2010) terorisme diartikan
sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang bersifat lintas Negara, terorganisasi
dan mempunyai jaringan luas, sehingga mengancam perdamaian dan keamanan
nasional maupun internasional, oleh karena itu memerlukan penanganan secara
terpusat, terpadu, dan terkoordinasi.
Kegiatan terorisme memilliki kaitan dengan pendanaan terorisme. Sumber
19
narkoba, penggelapan barang dalam jumlah yang sangat banyak dan kejahatan
lainnya yang bisa menjadi sumber dana untuk kegiatan terorisme, selain itu
pendanaan terorisme bisa berasal dari sumber dana yang sah atau legal seperti
melalui sumbangan dana dari organisasi atau perusahaan.
Pendanaan terorisme adalah pemanfaatan dana yang digunakan langsung
atau tidak langsung untuk kegiatan dan operasional terorisme. Pendanaan
terorisme berbeda dengan tindakan pencucian uang tapi kedua kegiatan ini
mengandung kesamaan.
Berbeda dengan tindak pencucian uang yang bertujuan untuk memperkaya
diri sendiri dengan cara menghilangkan asal usul harta tersebut, tindakan
pendanaan terorisme memiliki tujuan untuk membantu seluruh kegiatan
operasional terorisme dengan menggunakan dana hasil kegiatan ilegal dan dana
hasil kegiatan legal.
Pendanaan terorisme menurut Undang – Undang No. 9 Tahun 2013
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme
adalah “Segala perbuatan dalam rangka menyediakan, mengumpulkan,
memberikan, atau meminjamkan Dana, baik langsung maupun tidak langsung,
dengan maksud untuk digunakan dan/atau yang diketahui akan digunakan untuk melakukan kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris.”
2.5 Program Pencucian Uang dan Pencegahaan Terorisme
Dalam upaya untuk mencegah kasus pencucian uang dan pendanaan
terorisme, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan peraturan tentang
20
Pencucian Uang dan pencegahaan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT). OJK
membuat POJK (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan) No. 23/POJK.01/2019
tanggal 30 September 2019 tentang Penerapan Program APU dan PPT (anti
Pencucian Uang dan pencegahan Pendanaan Terorisme) di Sektor Jasa Keuangan.
Berdasarkan POJK tersebut, perlu adanya pengawasan yang berlandaskan
pada pengawasan berbasis risiko (risk based approach) sesuai dengan rekomendasi The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) yang menegaskan dalam pelaksanaan program Anti Pencucian Uang dan
Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT) dalam menyusun kebijakan
dan prosedur diwajibkan mengutamakan pendekatan berbasis resiko.
Berhubungan rekomendasi yang di berikan FATF, POJK harus mengatur
beberapa rekomendasi yang diberikan FATF, akan tetapi tidak dibatasi pada
pengaturan pelaksanaan program APU dan PPT di Sektor Jasa Keuangan berbasi
resiko (risk based approach), sebagai berikut:
1. Keharusan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) melakukan penilaian terhadap risiko
TPPU dan TPPT yang berhubungan dengan nasabah yang menjadi dasar untuk
mengelola dan memitigasi risiko;
2. Penilaian berbasis resiko oleh penyedia jasa keuangan dengan pengaturan CDD
yang sederhana dimungkinkan dilakukan sepanjang:
a. Penilaian resiko memenuhi kriteria untuk nasabah beresiko rendah atau
transaksi yang dilakukan nasabah beresiko rendah secara konsisten, dan
b. Kriteria CDD sederhana dapat mengelola tingkat ancaman yang diberikan
21
3. Kriteria CDD sederhana tidak berlaku pada nasabah yang secara peraturan
perundang-undangan termasuk nasabah atau transaksi yang beresiko tinggi.
4. Pengaturan terhadap Politically Exposed Person (PEP) yang dilakukan dengan cara identifikasi dan verifikasi PEP local, PEP asing, orang yang diberikan
kewenangan untuk menjalan fungsi penting dalam lembaga atau organisasi
internasional, dan anggota keluarga dari PEP.
5. Aturan CCD kepada penerima manfaat dari asuransi jiwa dan produk lain
terkait asuransi, antara lain keharusan untuk dilakukan verifikasi indentitas dari
penerima manfaat pada saat pembayaran klaim asuransi.
6. Aturan bagi Konglomerasi Keuangan (Financial Group) untuk pelaksanaan kebijakan dan prosedur APU dan PPT.
Suhubungan dengan Peraturan OJK No. 23/POJK.01/2019 tanggal 30
September 2019 tentang Penerapan Program APU dan PPT (anti Pencucian Uang
dan pencegahan Pendanaan Terorisme) di Sektor Jasa Keuangan. OJK juga
menerbitkan SEOJK (Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan) No.
32/SEOJK.03/2017 tentang Penerapan Program APU dan PPT (anti Pencucian
Uang dan pencegahan Pendanaan Terorisme) di Sektor Perbankan. Dalam SEOJK
membahas tentang penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan
Pendanaan Terorisme (APU dan PPT) di sektor keuangan. berdasarkan SEOJK
terapat 5 pilar yang wajib dimiliki dan dilaksanakan yaitu pengawasan aktif
Direksi dan Dewan Komisaris, kebijakan prosedur, pengendalian inten, sistem
22
Masing-masing pilar dari program APU dan PPT mempunyai penjelasan.
Berikut merupakan penjelasan mengenai lima pilar dalam Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan No. 32/SEOJK.03/2017.
2.6 Perbedaan Peraturan Lama (POJK No. 12/POJK.01/2017) dengan
Peraturan Baru (POJK No. 23/POJK.01/2019)
TABEL 2.1
Perbedaan POJK No. 12/POJK.01/2017 dengan POJK No. 23/POJK.01/2019
Perubahan POJK Nomor 12/POJK.01/2017
POJK Nomor 23/POJK.01/2019
1 Pasal 1 ayat (7) Pasal 1 ayat (7) “pendanaan
terorisme adalah pendanaan
terorisme sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang yang
mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme.”
Penambahan ayat (7a) dan ayat (7b).
Pasal 1 ayat (7a) “proliferasi senjata pemusnah massal adalah penyebaran senjata nuklir, biologi, dan kimia.
Pasal 1 ayat (7b) “pemblokiran adalah tindakan mencegah pentransferan, pengubahan bentuk, penukaran, penempatan, pembagian, perpindahan, atau pergerakan dana untuk jangka waktu tertentu.
2 Pasal 1 ayat (21) Pasal 1 ayat (21) “korporasi adalah kumpulan orang dan/ atau kelompok yang terorganisasi, baik yang merupakan badan hukum (legal person) maupun bukan badan hukum, antara lain: perusahaan, yayasan, koperasi, perkumpulan keagamaan, partai
politik, lembaga swadaya
masyarakat atau organisasi non
profit, dan organisasi
kemasyarakatan.
Perubahan ayat (21) dan penambahan ayat (21a). Pasal 1 ayat (21) “korporasi adalah kumpulan orang dan/ atau kelompok yang terorganisasi, baik yang merupakan badan hukum (legal person) maupun bukan badan hukum.
Pasal 1 ayat (21a) “financial action task force yang selanjutnya disingkat FATF adalah badan internasional yang bertujuan untuk menetapkan standar internasional dalam pencegahan dan
pemberantasan pencucian uang, pendanaan
terorisme, dan hal lain yang mengancam integritas sistem keuangan internasional
23
Perubahan POJK Nomor 12/POJK.01/2017 POJK Nomor 23/POJK.01/2019
3 Pasal 2 Pasal 2 “PJK wajib
mengidentifikasi, menilai, dan memahami risiko tindak pidana pencucian uang dan/ atau tindak pidana pendanaan terorisme terkait dengan nasabah, negara atau area geografis , produk jasa, transaksi atau jaringan distribusi (delivery channels), termasuk kewajiban untuk:
a. mendokumentasikan penilian risiko
b. mempertimbangkan seluruh
faktor risiko yang relevan sebelum menetapkan tingkat keseluruhan risiko, serta tingkat dan jenis mitigasi risiko yang memadai untuk ditetapkan.
c. mengkinikan penilaian risiko secara berkala
d. memiliki mekanisme yang
memadai terkait penyediaan
informasi penilaian risiko kepada instansi yang berwenang.
Perubahan Pasal 2.
Pasal 2 Ayat 1 “ PJK wajib mengidentifikasi, menilai, dan memahami risiko tindak pidana pencucian uang dan/ atau tindak pidana pendanaan terorisme terkait dengan nasabah, negara atau area geografis , produk jasa, transaksi atau jaringan distribusi (delivery channels).
Pasal 2 Ayat 2 “dalam
melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PJK wajib untuk:
a. mendokumentasikan penilaian resiko.
b. mempertimbangkan seluruh
faktor risiko yang relevan sebelum menetapkan tingkat keseluruhan risiko, serta tingkat dan jenis mitigasi risiko yang memadai untuk ditetapkan.
c. mengkinikan penilaian resiko secara berkala, dan
d. memiliki mekanisme yang
memadai terkait penyediaan
informasi penilaian risiko kepada instansi yang berwenang.
24
Perubahan POJK Nomor 12/POJK.01/2017
POJK Nomor 23/POJK.01/2019
4 Pasal 17
ayat (3)
Pasal 17 ayat (3) “proses verifikasi melalui pertemuan langsung (face to face) sebagaimana dimaksud ayat (2)
dapat digantikan dengan
verifikasi melalui sarana elektronik milik PJK.
Perubahan ayat (3) dan penambahan ayat (3a) dan ayat (3b).
Pasal 17 ayat (3) “ proses verifikasi melalui pertemuan langsung (face to face) sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat digantikan dengan verifikasi melalui sarana elektronik milik PJK atau milik pihak ketiga.
Pasal 17 ayat (3a) “ pihak ketiga sebagaimana dimaksud ayat (3) wajib mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 17 ayat (3b) “ kententuan mengenai persyaratan dan tata cara kerja sama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
5 Pasal 27
ayat (5)
Pasal 27 ayat (5) “kewajiban
melakukan CDD terhadap
pemilik manfaat (beneficial owner) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi calon nasabah, nasabah atau WIC yang memiliki tingkat risiko rendah.
25
Perubahan POJK Nomor 12/POJK.01/2017
POJK Nomor 23/POJK.01/2019
6 Pasal 29 Pasal 29 “kewajiban penyampian
dokumen dan/atau informasi
identitas pemilik atau pengendali akhir pemilik manfaat (beneficial owner) sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (1) huruf b angka 2 tidak berlaku bagi pemilik manfaat (beneficial owner) berupa: a. lembaga negera atau instansi pemerintah
b. perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh negara, atau
c. perusahaan publik atau emiten.
Perubahan Pasal 29.
Pasal 29 “kewajiban penyampian
dokumen dan/atau informasi identitas pemilik atau pengendali akhir pemilik manfaat (beneficial owner) sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 tidak berlaku bagi pemilik manfaat (beneficial owner) beurpa: a. lembaga negara atau intansi pemerintah
b. perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh negara, atau
c. perusahaan publik atau emiten.
7 Pasal 30
ayat (2)
huruf h
Pasal 30 ayat (2) huruf h “tercantumnya calon nasabah,
nasabah, pemilik manfaat
(beneficial owner), atau WIC dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris, atau
Perubahan ayat (2) huruf h.
Pasal 30 ayat (2) huruf h “tercantum calon
nasabah, nasabah, pemilik manfaat
(beneficial owner), atau WIC dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris, dan daftar pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal
26
Perubahan POJK Nomor 12/POJK.01/2017
POJK Nomor 23/POJK.01/2019
8 Pasal 36 Pasal 36 “dalam hal PJK
melakukan hubungan usaha
dengan nasabah dan/atau
melakukan transaksi yang
berasal dari negara berisiko tinggi (high risk countries) yang dipublikasikan oleh FATF
untuk dilakukan langkah
pencegahan (countermeasures), PJK wajib melakukan EDD dengan meminta konfirmasi dan klarifikasi kepada otoritas terkait.
Perubahan Pasal 36.
Pasal 36 “ dalam hal PJK melakukan hubungan usaha dengan nasabah dan/atau melakukan transaksi yang berasal dari negara berisiko tinggi
(high risk countries) yang
dipublikasikan oleh FATF untuk
dilakukan langkah pencegahan
(countermeasures), PJK wajib
melakukan EDD dan meminta
konfirmasi serta klarifikasi kepada otoritas terkait.
9 Pasal 42 ayat (1) dan Pasal 42 ayat (2)
Pasal 42 ayat (1) “PJK wajib menolak melakukan hubungan usaha dengan calon nasabah
dan/atau melaksanakan
transaksi dengan WIC, dalam hal calon nasabah atau WIC: a. tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17, pasal 20, pasal 21, pasal 22, pasal 23, pasal 24, dan pasal 28.
b. diketahui dan/atau patut diduga menggunakan dokumen palsu
c. menyampaikan informasi yang diragukan kebenarannya. d. berbentuk shell bank atau bank umum atau bank umum
Penambahan huruf (e) pada ayat (1) dan perubahan huruf (c) pada ayat (2) di Pasal 42.
Pasal 42 ayat (1) “PJK wajib menolak melakukan hubungan usaha dengan calon nasabah dan/atau melaksanakan transaksi dengan WIC, dalam hal calon nasabah atau WIC:
a. tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 17, pasal 20, pasal 21, pasal 22, pasal 23, pasal 24, dan pasal 28.
b. diketahui dan/atau patut diduga menggunakan dokumen palsu
c. menyampaikan informasi yang diragukan kebenarannya.
d. berbentuk shell bank atau bank umum atau bank umum syariah yang
27
syariah yang mengizinkan
rekeningnya digunakan oleh shell bank.
Pasal 42 ayat (2) “PJK wajib
menolak transaksi,
membatalkan transaksi,
dan/atau menutup hubungan usaha dengan nasabah dalam hal ini:
a. kriteria sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
terpenuhi.
b. memiliki sumber dana
transaksi yang diketahui
dan/atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana, dan/atau
c. calon nasabah atau nasabah terdapat dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris.
mengizinkan rekeningnya digunakan oleh shell bank, dan/atau
e. terdapat dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris, dan/atau daftar pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal.
Pasal 42 ayat (2) “ PJK wajib
menolak transaksi, membatalkan
transaksi, dan/atau menutup
hubungan usaha dengan nasabah dalam hal ini:
a. kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi.
b. memiliki sumber dana transaksi yang diketahui dan/atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana, dan/atau
c. terdapat dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris, dan/atau daftar pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal.
28
Perubahan POJK Nomor 12/POJK.01/2017 POJK Nomor 23/POJK.01/2019
10 Pasal 46 Pasal 46 “(1) PJK wajib memelihara
daftar terduga teroris dan organisasi teroris.
(2) PJK wajib melakukan
identifikasi dan memastikan secara
berkala nama Nasabah yang
memiliki kesamaan nama dan
informasi lain atas Nasabah dengan nama dan informasi yang tercantum dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal terdapat kemiripan nama Nasabah dengan nama yang tercantum dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), PJK wajib memastikan
kesesuaian identitas Nasabah
tersebut dengan informasi lain yang terkait.
(4) Dalam hal terdapat kesamaan
nama Nasabah dan kesamaan
informasi lainnya dengan nama yang tercantum dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PJK wajib segera melakukan pemblokiran secara serta merta dan melaporkannya sebagai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan.
Perubahan pada pasal 46.
Pasal 46 “(1) PJK wajib memelihara daftar terduga teroris dan organisasi
teroris, dan daftar pendanaan
Proliferasi Senjata Pemusnah Massal. (2) PJK wajib melakukan identifikasi dan memastikan secara berkala nama Nasabah yang memiliki kesamaan nama dan informasi lain atas Nasabah dengan nama dan informasi yang tercantum dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris, dan daftar
pendanaan Proliferasi Senjata
Pemusnah Massal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal terdapat kemiripan nama Nasabah dengan nama yang tercantum dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris, dan daftar
pendanaan Proliferasi Senjata
Pemusnah Massal, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), PJK wajib memastikan kesesuaian identitas Nasabah tersebut dengan informasi lain yang terkait.
(4) Dalam hal terdapat kesamaan
nama Nasabah dan kesamaan
informasi lainnya dengan nama yang tercantum dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris, dan daftar
pendanaan Proliferasi Senjata
29
dimaksud pada ayat (1), PJK wajib segera melakukan Pemblokiran secara serta merta.
(5) Dalam hal PJK telah melakukan Pemblokiran secara serta merta terhadap Nasabah yang tercantum dalam daftar terduga teroris dan
organisasi teroris sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), PJK wajib
melaporkannya sebagai laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan.
(6) PJK dilarang menyediakan,
memberikan, atau meminjamkan
Dana kepada atau untuk kepentingan
orang atau Korporasi yang
identitasnya tercantum dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris dan daftar pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal.”
30
Perubahan POJK Nomor 12/POJK.01/2017 POJK Nomor 23/POJK.01/2019 11 Pasal 51 ayat
(1) dan Pasal 51 ayat (3)
Pasal 51 ayat (1) “Bagi Bank yang melakukan kegiatan Transfer Dana baik di dalam wilayah Indonesia maupun secara lintas negara berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Bank Pengirim wajib:
1. memperoleh informasi dan melakukan identifikasi serta verifikasi terhadap Nasabah/WIC pengirim dan/atau Nasabah/WIC penerima, paling kurang meliputi: a) nama Nasabah atau WIC pengirim
b) nomor rekening Nasabah
pengirim
c) alamat Nasabah atau WIC pengirim
d) nomor dokumen identitas, nomor identifikasi, atau tempat dan tanggal lahir dari Nasabah atau WIC pengirim
e) sumber dana Nasabah atau WIC pengirim
f) nama Nasabah atau WIC penerima
g) nomor rekening Nasabah
penerima
h) alamat WIC penerima
i) jumlah uang dan jenis mata uang dan
j) tanggal transaksi
2. menyampaikan informasi
Perubahan ayat (1) dan penambahan ayat (3) pada pasal 51.
Pasal 51 ayat (1) “Bagi Bank yang melakukan kegiatan Transfer Dana baik di dalam wilayah Indonesia maupun secara lintas negara berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Bank Pengirim wajib:
1. memperoleh informasi dan
melakukan identifikasi serta
verifikasi terhadap Nasabah/WIC pengirim dan/atau Nasabah/WIC penerima, paling sedikit meliputi:
a) nama Nasabah atau WIC
pengirim
b) nomor rekening Nasabah
pengirim
c) alamat Nasabah atau WIC pengirim
d) nomor dokumen identitas, nomor identifikasi, atau tempat dan tanggal lahir dari Nasabah atau WIC pengirim
e) sumber dana Nasabah atau WIC pengirim
f) nama Nasabah atau WIC
penerima
g) nomor rekening Nasabah
penerima
h) alamat WIC penerima
i) jumlah uang dan jenis mata uang dan
31
sebagaimana dimaksud pada
angka 1 kepada Bank Penerima dan
3. mendokumentasikan seluruh transaksi Transfer Dana.
b. Bank Penerus wajib
meneruskan pesan dan perintah
Transfer Dana, serta
menatausahakan informasi yang diterima dari Bank Pengirim; c. Bank Penerima wajib memastikan kelengkapan informasi Nasabah
pengirim dan WIC pengirim
sebagaimana dimaksud dalam
huruf a angka 1.”
j) tanggal transaksi
2. menyampaikan informasi
sebagaimana dimaksud pada angka 1 kepada Bank Penerus atau Bank Penerima dan
3. menatausahakan seluruh
transaksi Transfer Dana.
b. Bank Penerus wajib meneruskan pesan dan perintah Transfer Dana, serta menatausahakan informasi yang diterima dari Bank Pengirim atau Bank Penerus lainnya dengan jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun sejak diterimanya perintah Transfer Dana dari Bank Pengirim atau Bank Penerus lainnya dan
c. Bank Penerima wajib
memastikan kelengkapan informasi
Nasabah pengirim dan WIC
pengirim sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1.”
Pasal 51 ayat (3) “Bank Penerima wajib melakukan verifikasi atas identitas dari Nasabah atau WIC penerima dalam hal identitas
tersebut belum diverifikasi
sebelumnya, dan menatausahakan informasi dimaksud sesuai dengan ketentuan penatausahaan dokumen dalam Peraturan OJK ini.”
32
Perubahan POJK Nomor 12/POJK.01/2017
POJK Nomor 23/POJK.01/2019
12 Pasal 54 Pasal 54 “(1) Dalam hal
informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a angka 1 tidak dipenuhi maka Bank Pengirim
wajib menolak untuk
melaksanakan Transfer Dana. (2) Dalam hal Bank Penerus
dan/atau Bank Penerima
menerima perintah transfer dari Bank Pengirim di luar negeri yang tidak dilengkapi dengan
informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a angka 1 maka Bank Penerus dan/atau Bank Penerima dapat:
a. melaksanakan Transfer Dana; b. menolak untuk melaksanakan Transfer Dana atau
c. menunda transaksi Transfer Dana, disertai dengan tindak lanjut yang memadai.
(3) Dalam menentukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Penerus dan/atau Bank Penerima wajib memiliki kebijakan dan prosedur berbasis risiko.
Penambahan ayat (1a) dan ayat (1b). Pasal 54 “(1) Dalam hal informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a angka 1 tidak dipenuhi maka Bank Pengirim wajib menolak untuk melaksanakan Transfer Dana. (1a) Dalam hal Bank Penerus menerima perintah transfer dari Bank Pengirim di luar negeri yang tidak dilengkapi dengan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a angka 1, Bank Penerus wajib melakukan tindakan yang memadai, yang sejalan dengan
straight-through processing, untuk
mengidentifikasi Transfer Dana yang tidak dilengkapi dengan informasi tersebut.
(1b) Dalam hal Bank Penerima
menerima perintah transfer dari Bank Pengirim atau Bank Penerus di luar negeri yang tidak dilengkapi dengan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a angka 1, Bank Penerima wajib melakukan tindakan yang memadai, untuk mengidentifikasi Transfer Dana yang tidak dilengkapi dengan informasi tersebut, yang dapat berupa pemantauan pada saat atau setelah Transfer Dana dilaksanakan. (2) Dalam hal Bank Penerus dan/atau
33
transfer dari Bank Pengirim di luar negeri yang tidak dilengkapi dengan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a angka 1, Bank Penerus dan/atau Bank Penerima dapat: a. melaksanakan Transfer Dana; b. menolak untuk melaksanakan Transfer Dana; atau c. menunda transaksi Transfer Dana, disertai dengan tindak lanjut yang memadai.
(3) Dalam menentukan tindakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Penerus dan/atau Bank Penerima wajib memiliki kebijakan dan prosedur berbasis risiko.
34
Perubahan POJK Nomor 12/POJK.01/2017
POJK Nomor 23/POJK.01/2019
13 Pasal 56 ayat (4)
Pasal 56 ayat (4) “PJK wajib memberikan data, informasi,
dan/atau dokumen yang
ditatausahakan apabila diminta oleh OJK dan/atau otoritas lain yang berwenang.”
Perubahan pasal 54 ayat (4).
Pasal 54 ayat (4) “PJK wajib
memberikan data, informasi,
dan/atau dokumen yang
ditatausahakan, sesegera mungkin dan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak PJK menerima permintaan dari OJK dan/atau otoritas lain yang berwenang.”
14 Pasal 62 ayat (1) huruf d dan Pasal 62 ayat (4)
Pasal 62 ayat (1) “(1) PJK wajib menyampaikan kepada OJK:
a. action plan penerapan
program APU dan PPT paling lambat pada akhir bulan Mei 2017.
b. penyesuaian kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 paling lambat 6 (enam) bulan sejak diberlakukannya Peraturan OJK ini dan
c. laporan rencana kegiatan pengkinian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) huruf b disampaikan setiap tahun paling lambat akhir bulan Desember dan
d. laporan realisasi pengkinian
data sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (4) huruf c
Perubahan Pasal 62 ayat (1) huruf d dan Pasal 62 ayat (4).
Pasal 62 ayat (1) “(1) PJK wajib menyampaikan kepada OJK:
a. action plan penerapan program APU dan PPT paling lambat pada akhir bulan Mei 2017.
b. penyesuaian kebijakan dan
prosedur penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 paling lambat 6 (enam) bulan sejak diberlakukannya Peraturan OJK ini dan
c. laporan rencana kegiatan
pengkinian data sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) huruf b disampaikan setiap tahun paling lambat akhir bulan Desember dan
d. laporan realisasi pengkinian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) huruf c disampaikan
35
disampaikan setiap tahun paling lambat akhir bulan Desember.” Pasal 62 ayat (4) “Kewajiban
PJK untuk menyampaikan
laporan kepada OJK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dapat menjadi bagian dari laporan pelaksanaan tugas Direktur yang
membawahkan fungsi
kepatuhan.”
setiap tahun paling lambat 1 (satu) bulan setelah periode pelaporan berakhir.”
Pasal 62 ayat (4) “Kewajiban PJK untuk menyampaikan laporan kepada OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat menjadi bagian dari laporan pelaksanaan tugas Direktur
yang membawahkan fungsi
36
Perubahan POJK Nomor 12/POJK.01/2017
POJK Nomor 23/POJK.01/2019
15 Pasal 65 ayat (1)
Pasal 65 ayat (1) “PJK yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dan Pasal 63 dikenakan sanksi administratif berupa denda
yaitu kewajiban membayar
sejumlah uang dengan rincian sebagai berikut:
a. sebesar Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah) per hari
keterlambatan per laporan dan
paling banyak sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) bagi PJK berupa bank
umum, perusahaan efek,
perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan
pialang asuransi, DPLK,
perusahaan pembiayaan
infrastruktur, LPEI, perusahaan pergadaian dan manajer investasi atau
b. sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan per laporan dan
paling banyak sebesar
Rp5.000.000,00 (lima juta
rupiah) bagi PJK berupa BPR, BPRS, perusahaan pembiayaan, dan PMV.”
Perubahan Pasal 65 ayat (1).
Pasal 65 ayat (1) “PJK yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dan Pasal 63 dikenai sanksi administratif berupa denda yaitu kewajiban membayar sejumlah uang dengan rincian sebagai berikut:
a. sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan per laporan dan paling banyak sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) bagi PJK berupa bank umum, bank umum syariah, perusahaan efek, perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, DPLK, perusahaan pembiayaan infrastruktur, LPEI, dan manajer investasi atau
b. sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan per laporan dan paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) bagi PJK berupa BPR, BPRS, perusahaan pembiayaan, perusahaan
pialang asuransi, perusahaan
37
Perubahan POJK Nomor 12/POJK.01/2017
POJK Nomor 23/POJK.01/2019
16 Pasal 67 Pasal 67 “(1) PJK yang telah
memiliki kebijakan dan
prosedur penerapan program
APU dan PPT wajib
menyesuaikan kebijakan dan prosedur dimaksud sesuai Peraturan OJK ini, paling lambat 6 (enam) bulan sejak
Peraturan OJK ini
diundangkan.
(2) Bagi LKM dan
penyelenggara layanan pinjam
meminjam uang berbasis
teknologi informasi, ketentuan
pada Peraturan OJK ini
dinyatakan berlaku setelah 4 (empat) tahun terhitung sejak
Peraturan OJK ini
diundangkan.”
Penambahan ayat (3) pada pasal 67.
Pasal 67 “(1) PJK yang telah memiliki kebijakan dan prosedur penerapan program
APU dan PPT wajib menyesuaikan
kebijakan dan prosedur dimaksud sesuai Peraturan OJK ini, paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan OJK ini diundangkan. (2) Bagi LKM dan penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi, ketentuan pada Peraturan OJK ini dinyatakan berlaku setelah 4 (empat) tahun
terhitung sejak Peraturan OJK ini
diundangkan.
(3) PJK yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penerapan program APU dan PPT di sektor jasa keuangan sebelum
berlakunya Peraturan OJK Nomor
12/POJK.01/2017 tentang Penerapan
Program Anti Pencucian Uang Dan
Pencegahan Pendanaan Terorisme Di Sektor Jasa Keuangan, pemeriksaan dan keputusan atas pelanggaran dimaksud didasarkan pada peraturan mengenai penerapan program APU dan PPT yang berlaku pada saat pelanggaran terjadi, dengan pengenaan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 65 dan Pasal 66 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Peraturan OJK ini.”
38 2.7 Penelitian Terdahulu
Penjelasan untuk penelitian terdahulu dilakukan peneliti untuk
mendapatkan informasi dan dapat membandingkan isi dan model yang digunakan
peneliti terhadulu untuk penelitian ini agar peneilitian ini dapat berjalan sesuai
amanah peneliti-peneliti sebelumnya. Berikut pembahasan yang dilakukan peneliti
sebelumnya yang berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan
penelitian ini
Metekohy dan Nurhayati (2012) melakukan penelitian yang berjudul “Efektivitas Prinsip Mengenal Nasabah Pada Bank Sebagai Salah Satu Upaya Mencegah Tindak Pidana Pencucian Uang”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan prinsip mengenal nasabah dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan pencucian uang berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia melalui Peraturan Bank indonesia (PBI) Nomor 3/10.PBI/2001
tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer). Metode pendekatan yang dipakai adalah normatif kualitatif dan deskriptif, yaitu
mengumpulkan data yang diperlukan melalui wawancara, studi lapangan,
menyebarkan kuisioner serta melihat antara peraturan dengan pelaksanaannya.
Hasil dari penelitian tersebut Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah memiliki
dampak kepada individu, negara, serta masyarakat luas. Salah satu dampak yang
ditimbulkan adalah timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi karena para
pelaku tindak pidana pencucian uang lebih tertarik untuk memindahkan dana hasil
tindak pidana pencucian uang ke dalam bentuk investasi sehingga mempengaruhi
39
pencucian uang termasuk kelompok kejahatan kerah putih yang dapat diartikan
keterlibatan pihak-pihak secara stuktural, strata pendidikan, sosial masyarakat,
sehingga tindak pidana pencucian uang ini harus dipandang sebagai suatu
kejahatan yang dapat merusak kewibawaan pemerintah dan masyarakat.
Ediansyah (2013) melakukan penelitian yang berjudul “Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah Sebagai Bentuk Peranan Bank Dalam Mengatasi Tindak
Pindana Pencucian Uang (Money Laudering) Pada PT Bank Negara Indonesia (PERSERO) TBK Cabang Pekanbaru”. Penelitian ini bertujuan untuk membahas tentang pelaksanaan prinsip mengenal nasabah dan hambatan dalam pelaksanaan
prinsip mengenal nasabah sebagai bentuk peranan Bank dalam mengantisipasi
tindak pidana pencucian uang (Money Laundering) pada PT Bank Negara Indoensia (Persero) Tbk Cabang Pekanbaru. Hasil dari penelitian ini berdasarkan
pada buku Kepatuhan BNI yaitu Buku II Indeks: CO-7-07 Bab: IV Halaman: 1 s/d
10 Intruksi: IV/0078/KPN tanggal 09 Agustus 2005 tentang Anti Pencucian Uang
dan Prinsip Mengenal Nasabah dan mengacuh pada Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/21/PBI/2003 untuk menyesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Tindak Pindana Pencucian Uang dalam prinsip mengenah
nasabah dimulai saat nasabah baru yang akan membuka rekening diwajibkan
mengisi seluruh aplikasi pembukaan rekening dan aplikasi KYC (Know Your Customer). Selain itu PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Pekanbaru juga melakukan cleansing data nasabah, melakukan pelaporan pelaksanaan prinsip mengenal nasabah tiap bulannya, membuat sosialisasi prinsip
40
Indonesia, menverifikasi data, pemantauan transaksi nasabah, menjalin kerjasama
dengan aparat penegak hukum dan melaporkan jika terjadinya transaksi keuangan
mencurigakan (suspicious transaction) di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Pekanbaru. Kendala yang dihadapi PT Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk Cabang Pekanbaru, susah melacak tanda-tanda transaksi yang
mencurigakan, karena para pelaku tindak pidana pencucian uang selalu
mengeksploitasi yuridiksi Intenasional, kemudian bank memiliki aturan tentang
menjaga rahasia nasabah yang membuat kesulitan dalam melakukan identifikasi
terhadap nasabah.
Vediani (2016) melakukan penelitian yang berjudul “Penerapan Customer Due Diligence (CDD) Dalam Pencegahan Pendanaan Terorisme Melalui Perbankan”. Penelitian ini bertujuan untuk membahas tentang pelaksanaan Customer Due Diligence pada Bank dan penerapan pencegahan pendanaan terorisme di Bank terhadap kerahasiaan Bank. Metode yang digunakan penelitian
ini adalah metode yuridis normatif dan metode deskriptif analitik, yaitu
melakukan penelitian dengan menggunakan data yang berasal dari sumber data
primer seperti peraturan perudang-undangan dan peraturan lainnya yang dianggap
mempunyai keterkaitan langsung dengan tema penelitian dan data sekunder yang
digunakan seperti jurnal, majalah, koran, pendapat dari para pakar-pakar hukum
dan sebagainya serta berbagai informasi yang relevan untuk mendapatkan
gambaran sistematis dari penelitian ini. Hasil dari penelitian ini adalah
pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan
41
untuk Bank Umum disetiap perbankan, maka dengan dilaksanakan proses
Customer Due Diligence (CDD) di perbankan dapat menghalangi pendanaan terorisme melalui perbankan. Bank memperoleh informasi mengenai nasabah atau
calon nasabah atau Walk In Customer (WIC) melalui sistem Customer Due Diligence (CDD). Tetapi bila terdapat data yang mencurigakan terkait pendanaan terorisme, maka pihak Bank mempunyai keharusan untuk membuat laporan
transaksi ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATIK) sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Peraturan Bank Indonesia (PBI)
Nomor 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Pencucian Uang dan
Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT) Bagi Bank Umum. Bank dapat
menyampingkan prinsip kerahasiaan Bank demi terlaksananya pencegahan
pendanaan terorisme, karena Indonesia menganut teori relatif yaitu adanya alasan
pembenaran untuk mensampingkan kerahasiaan Bank oleh Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pembrantasan Tindak Pidana
Terorisme.
Maulidiyah (2017) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Penilaian
Penerapan Program (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT) Pada
BPR dan BPRS di Wilayah Solo Raya Tahun 2011-2016”. Penelitian ini
bertujuan untuk membahas tentang tingkat pelaksanaan program Anti Pencucian
Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT) pada BPR dan BPRS
di Solo Raya tahun 2011 sampai 2016 yang berpedoman pada Peraturan Bank
42
Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT), Surat
Edaran Bank Indonesia (SEBI) Nomor 12/14/DKBU/2011 dan Surat Edaran Bank
Indonesia (SEBI) Nomor 13/41/INTERN/2011. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode pengumpulan data seperti wawancara dan
dokumentasi penilaian penerapan program Anti Pencucian Uang (APU) dan
Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT) pada BPR dan BPRS di Wilayah Solo
Raya Tahun 2011 sampai 2016. Hasil dari Penelitian ini adalah penerapan
program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di wilyah
Solo Raya terbilang cukup baik, karena rata-rata BPR dan BPRS di wilayah Solo
Raya sudah menerapkan peraturan APU dan PPT seperti PBI Nomor
12/20/PBI/2010 tentang Penerapan Program APU dan PPT, SEBI Nomor
13/14/DKBU/2011, dan SEBI Nomor 13/41/INTERN/2011, dengan 4 aspek
pedoman penerapan APU dan PPT yaitu: (1) Pengawasan Aktif Direksi dan
Dewan Komisaris, (2) Kebijakan dan Prosedur, (3) Pengendalian Intern, dan (4)
Sumber Daya Manusia (SDM) dan Pelatihan.
Rahmawati (2018) melakukan penelitian dengan judul “Analisis
Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Pada PT BPR Insumo Sumberarto Kediri”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam tentang penerapan program anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme pada BPR. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode pengumpulan data seperti wawancara dengan
narasumber dan dokumentasi. Hasil dari penelitian ini bahwa PT BPR Insumo
43
uang dan pendanaan terorisme yang sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Penerapan Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme
Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan
Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT) di Sektor Jasa Keuangan.
Tetapi PT BPR Insumo Sumberarto Kediri sudah menerapkan pemantauan dan
pengkinian data nasabah, pelaporan APU dan PPT kepada PPATK, sudah ada
pemisah fungsi maker, checker, dan signer dalam pengendalian intern, menjaga daftar teroris, dan semua karyawan sudah mengikuti pelatihan APU dan PPT.