• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Memacu Pembentukan Kalus Eksplan Embrio Kedelai (Glycine Max (L.) Merril) Dengan Pemberian Kombinasi 2.4-d Dan Sukrosa Secara Kultur in Vitro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Upaya Memacu Pembentukan Kalus Eksplan Embrio Kedelai (Glycine Max (L.) Merril) Dengan Pemberian Kombinasi 2.4-d Dan Sukrosa Secara Kultur in Vitro"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KEDELAI (Glycine max (L.) Merril) DENGAN PEMBERIAN KOMBINASI

2.4-D DAN SUKROSA SECARA KULTUR IN VITRO

Dieni Fauziyyah, Triani Hardiyati, Kamsinah

Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Jl. Suparno, Karangwangkal Purwokerto E-mail:

kamsinahsalim@yahoo.com (Diterima: 12

Maret 2012 disetujui: 4 Juni 2012)

ABSTRAK

Kultur kalus salah merupakan satu teknik yang digunakan untuk menghasilhan bibit tanaman bebas

penyakit.Pembentukan kalus dapat dipacu dengan penambahan zpt dari golongan auksin seperti 2.4. D

dan penambahan karbohidrat seperti sukrosa.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh

pemberian kombinasi 2.4-D dan sukrosa terhadap pembentukan kalus eksplan embrio kedelai dan

menentukan konsentrasi 2.4-D dan sukrosa yang paling baik untuk memacu pembentukan kalus eksplan

embrio kedelai dalam kultur

in vitro

. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak

Lengkap (RAL) dengan pola faktorial. Faktor 1: 2.4-D yang terdiri atas 4 taraf, yaitu: 0, 5, 10, dan 15

µM. Faktor 2: Sukrosa yang terdiri atas 4 taraf, yaitu: 0, 20, 30, dan 40 g/l. Oleh karena itu diperoleh 16

kombinasi perlakuan, tiap kombinasi perlakuan diulang 3 kali, dengan demikian diperoleh 48 unit

perlakuan. Hasil penelitian selama 6 minggu menunjukkan bahwa perlakuan 2.4-D dan sukrosa mampu

menginduksi kalus eksplan embrio kedelai. Terdapat interaksi antara dua faktor yang dicoba. Kombinasi

perlakuan 2.4-D 5 µM dan sukrosa 20 g/l merupakan kombinasi perlakuan terbaik untuk memacu

pembentukan kalus eksplan embrio kedelai dengan waktu terbentuknya kalus pada hari ke-4 setelah

tanam dan persentase kalus yang terbentuk mencapai 95,83%. Ada dua dua tipe kalus yang terbentuk

yaitu kalus embriogenik 62,50% dan kalus proliferatif 33,33%.

Kata kunci

: kultur kalus, kedelai, embriogenesis somatik, 2.4-D dan sukrosa

ABSTRACT

In Indonesia, soybean demand is very high because several products used it as a raw material, such

as tempe, tofu, sauce, and others. However, this demand cannot be fulfilled because of a low soybean

production due to low quality of the seeds. In order to solve the problem, an invitro culture has been

done. This culture used 2.4-D auxin and sucrose as additional nutrient on the media to promote callus

formation. The purpose of this study was to determine the effect of 2.4-D and sucrose combination on

callus formation and to determine the best concentration of 2.4-D and sucrose for callus formation. The

study was used a Completely Randomized Design (CRD) with factorial pattern. The first factor was

2.4-D concentration with four levels of concentrations

that are: 0, 5, 10, and 15 µM.

Second factor was

ssucrose concentration which was consists of four levels, which are: 0, 20, 30, 40 g / l. A total of 16

treatment combinations were obtained, each treatment combination was repeated for three times results

on 48 units of treatment. The 6 weeks’ observation showed that the addition of 2.4-D and sucrose on the

media were induced soybean callus formation. The treatment combination

of 5 µM 2.4

-D and sucrose

20 g / l was the best combination for the formation of soybean callus. The callus were formed at 4

th

days

after inoculation with the total formation of 95.83%. Two type of callus were obtained that are

embryogenic callus (62.50%) and proliferative callus (33.33%).

Keywords

: callus culture, soybean, somatic embryogenesis, 2.4-D and sucrose

PENDAHULUAN

sebagai bahan baku seperti tempe, tahu, kecap,

Kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap

susu kedelai, kecambah, dan tauco. Produksi

konsumsi kedelai sangat tinggi, hal ini disebabkan

kedelai dalam negeri belum dapat memenuhi

banyak produk olahan yang menggunakan kedelai

permintaan masyarakat sehingga menyebabkan

(2)

meningkatnya impor kedelai. Muslimin dan Ansar

(2010) menyatakan bahwa tingginya impor

kedelai disebabkan berkurangnya produksi dalam

negeri. Adisarwanto dan Wudianto (2002),

kendala utama upaya peningkatan produksi

kedelai antara lain akibat benih yang tersedia

berkualitas rendah, dan pengendalian terhadap

serangan hama dan penyakit tanaman yang belum

memadai (Adisarwanto dan Wudianto (2002).

Salah satu alternatif untuk mengatasi kendala di

atas adalah dengan melakukan perbanyakan

tanaman secara vegetatif melalui teknik kultur

in

vitro

, sebagai contoh kultur kalus.

Kultur kalus merupakan salah satu teknik

kultur

in vitro

yang banyak digunakan untuk

menghasilkan bibit tanaman bebas penyakit.

Terdapat banyak keuntungan dalam penggunaan

kultur kalus, diantaranya dapat diproduksi dalam

jumlah banyak dengan kondisi lingkungan yang

terkontrol, tidak memerlukan lahan yang luas, dan

dapat menghasilkan metabolit yang lebih tinggi

dari tanaman aslinya (Yustina, 2003).

Kalus adalah kumpulan masa sel yang

belum terorganisasi (amorphous) yang terjadi dari

sel-sel jaringan yang membelah diri secara terus

menerus. Secara

in vitro

, kalus dapat terbentuk

pada bekas-bekas luka irisan karena sebagian sel

pada permukaan irisan tersebut akan mengalami

proliferasi (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Adapun tipe-tipe kalus menurut Kesee

et al

.

(1991)

dalam

Sugiyono (1993), yaitu: kalus

embriogenik, kalus proliferatif, dan kalus senesen.

Penggunaan zat pengatur tumbuh (ZPT)

tanaman dalam media kultur

in vitro

merupakan

bagian yang perlu diperhatikan. Jenis ZPT dari

golongan auksin yang sering digunakan adalah

Indole Aceti Acid (IAA), Napthalene Acetic Acid

(NAA) dan 2.4-D (Yuliarti, 2010). Senyawa 2.4-D

yang digunakan pada konsentrasi yang rendah dapat mendorong pembelahan sel, mendorong pertumbuhan tanaman, dan meningkatkan daya kecambah benih (Wattimena, 2001). Selain penambahan ZPT pada media, bahan penting lain yang dibutuhkan untuk pertumbuhan eksplan adalah karbohidrat. Karbohidrat terutama gula, merupakan komponen yang selalu ada dalam media tumbuh. Penggunaan gula jenis sukrosa dalam media tanam diketahui dapat mempengaruhi induksi embrio somatik. Lazzeri et al. (1988) menambahkan bahwa salah satucara untuk mengetahui pengaruh sukrosa terhadap induksi embrio somatik, yaitu dengan cara memodifikasi konsentrasi sukrosa yang berbeda-beda dalam media.

Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui pengaruh pemberian kombinasi

2.4-D dan sukrosa terhadap pembentukan kalus

eksplan embrio kedelai dan menentukan

konsentrasi 2.4-D dan sukrosa yang paling baik

untuk memacu pembentukan kalus eksplan

embrio kedelai dalam kultur

in vitro.

METODE ANALISIS

1. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian

Bahan-bahan

yang

digunakan

dalam

penelitian ini antara lain biji kedelai, alkohol

70%, dan HgCl2 0,2%. Peralatan yang digunakan

dalam penelitian ini antara lain : cawan petri,

timbangan analitik, botol kultur,

beaker glass

,

gelas ukur, botol duran,

Erlenmeyer

,

hot plate

magnetic stirrer

, pH meter,

alumunium foil

,

tissue

, kertas saring, autoklaf, oven,

laminar air

flow

(LAF)

cabinet

, rak kultur, pinset, skalpel,

pipet,

wrapping plastic

, kertas label, mikroskop

stereo,

camera digital

dan alat tulis.

(3)

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium

Fisiologi Tumbuhan Fakultas Biologi Universitas

Jenderal Soedirman Purwokerto pada bulan

April-Desember 2011.

2. Metode Penelitian

Percobaan dilakukan menggunakan metode

eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap

(RAL) dan pola faktorial. Faktor yang dicobakan

terdiri atas konsentrasi 2.4-D (0 µM;5 µM;10 µM;

dan 15 µM) dan konsentrasi Sukrosa (0 g/l; 20 g/l;

30 g/l; dan 40 g/l). Tiap kombinasi perlakuan

diulang sebanyak 3 kali. Parameter yang diamati

meliputi waktu pembentukan kalus, persentase

eksplan membentuk kalus, dan tipe kalus yang

terbentuk.

Data

yang

diperoleh

dianalisis

menggunakan analisis ragam (ANOVA) dan

dilanjutkan dengan uji BNT atau BNJ dengan

tingkat kepercayaan 95% dan 99% untuk

mengetahui perlakuan terbaik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan

hasil

pengamatan

dapat

diketahui bahwa tidak semua eksplan dalam media

perlakuan dapat membentuk kalus. Eksplan dalam

media kontrol tidak dapat membentuk kalus

dengan baik, sedangkan media yang diberi

perlakuan 2.4-D dan sukrosa baik mandiri maupun

yang dikombinasikan dapat membentuk kalus. Hal

ini dapat dipahami karena tanpa adanya

keseimbangan unsur hara dalam media, peran

2.4-D dalam meningkatkan permeabilitas dinding sel,

sintesis protein, dan perbesaran sel tidak dapat

berlangsung dengan optimal (Rahardja, 1994),

selain itu peran sukrosa juga tidak optimal

(Winata, 1988).

1.

Pengaruh kombinasi 2.4-D dan sukrosa

terhadap waktu terbentuknya kalus (hari)

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa

terjadi interaksi antara 2.4-D dan sukrosa

terhadap waktu terbentuknya kalus eksplan

embrio kedelai. Hasil tersebut sesuai dengan

hasil penelitian Gati dan Mariska (1992) yang

menunjukkan bahwa 2.4-D efektif untuk

memacu pembentukan kalus karena aktivitasnya

yang kuat untuk menekan organogenesis serta

menjaga pertumbuhan kalus, sedangkan sukrosa

merupakan sumber energi utama bagi eksplan

untuk tumbuh . Menurut George dan Sherrington

(1984), sukrosa merupakan sumber karbon

penting yang digunakan sebagai penyusun sel.

Dengan demikian, adanya sukrosa yang cukup

dapat mendorong terjadinya pembelahan sel,

pembesaran sel, dan diferensiasi sel secara baik.

Hasil uji beda nyata jujur rataan waktu

terbentuknya kalus dari eksplan (Tabel 1.)

menunjukkan bahwa perlakuan D1G1 (2.4-D 5

µM dan sukrosa 20 g/l) dapat menginduksi

pertumbuhan kalus paling cepat (3,7 hari setelah

tanam).

(4)

Tabel 1. Hasil uji Beda Nyata Jujur (BNJ)

pengaruh interaksi 2.4-D dan sukrosa terhadap

waktu terbentuknya kalus pada eksplan

Perlakuan

Rerata (hari setelah tanam)

D0G0

30,0 a

D3G0

19,0 b

D2G0

16,7 bc

D1G0

14,7 cd

D3G3

14,0 cd

D3G2

12,3 de

D0G3

11,7 def

D2G3

10,3 efg

D3G1

10,3 efg

D0G2

10,0 efg

D2G2

9,0 efgh

D0G1

8,7 fgh

D1G3

8,0 gh

D2G1

6,0 hi

D1G2

5,7 hi

D1G1

3,7 i

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada BNJ 5%.

Perlakuan D1G1 menunjukkan kemunculan

kalus pada 3,7 hst. Hal tersebut terjadi karena

adanya

pemberian

2.4-D

dalam

memacu

pembelahan sel dan sukrosa yang berperan

sebagai penyedia karbohidrat untuk pembentukan

energi yang diperlukan dalam pembelahan sel.

Pemberian 2.4-D 5 µM dan 20 g/l sukrosa

merupakan konsentrasi yang tepat sehingga

memacu pembentukan kalus yang tercepat pada

embrio kedelai. Jika dibandingkan, hasil tersebut

lebih cepat dari pembentukan kalus pada eksplan

Acalypha indica

L. pada media dengan perlakuan

2.4-D 0,5 mg/l dan kinetin 0,5 mg/l yaitu 8 HST

(Rahayu

et

al.

,

2003).

Hardiyati (1999)

menambahkan bahwa pemberian zat pengatur

tumbuh 2.4-D dapat merangsang proliferasi kalus

atau pembelahan sel tanpa terjadi diferensiasi

sehingga sel dirangsang untuk membelah terus menerus menghasilkan sejumlah sel yang sama.

Selama

proses

pembelahan,

sel

membutuhkan energi untuk membentuk kalus.

Pada proses pembelahan sel selalu dibentuk

dinding sel baru yang memisahkan kedua sel

anakan. Demikian juga pada proses pembesaran

sel diperlukan bahan penyusun dinding sel. Oleh

karena itu penambahan sukrosa pada konsentrasi

tertentu dapat meningkatkan pembelahan dan

pembesaran sel, yang berarti meningkatkan

pertumbuhan kalus (Husin

et al.

, 2004). Hasil

penelitian

menunjukkan

sukrosa

dengan

konsentrasi 20 g/l dalam media mendukung

waktu pembentukan kalus. Berbeda dengan

penelitian yang dilakukan oleh Srilestari (2005)

pada eksplan kacang tanah dengan konsentrasi

sukrosa 40 g/l embrio dapat muncul lebih cepat

dibandingkan pada media dengan konsentrasi

sukrosa 20 g/l dan 30 g/l. Hal ini terjadi karena

adanya perbedaan eksplan yang digunakan dalam

kultur

in vitro

. Kesimpulan ini didukung oleh

pernyataan Lazzeri

et al

.(1988) dan Komatsuda

et al

. (1992) bahwa penggunaan sukrosa dalam

media kultur

in vitro

sebesar 6% dapat

menghasilkan

hasil

terbaik

dari

eksplan

kotiledon muda kacang tanah,sementara pada

konsentrasi

yang

lebih

rendah

dapat

menunjukkan hasil terbaik dari eksplan kotiledon

kedelai.

2.

Pengaruh kombinasi 2.4-D dan sukrosa

terhadap

persentase

eksplan

yang

membentuk kalus

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa

interaksi 2.4-D dan sukrosa memberikan

pengaruh

tidak

berbeda

nyata

terhadap

persentase eksplan yang membentuk kalus, tetapi

baik 2.4-D maupun sukrosa secara mandiri

(5)

berpengaruh sangat nyata terhadap persentase

eksplan yang membentuk kalus. Hasil uji beda

nyata terkecil mengenai pengaruh konsentrasi

2.4-D secara mandiri (Tabel 2.) menunjukkan bahwa

perlakuan D1 (2.4-D 5 µM) dapat meningkatkan

persentase kalus yang terbentuk dari eksplan

embrio kedelai. Perlakuan tersebut berbeda nyata

jika dibandingkan dengan kontrol.

Tabel 2. Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT)

rerata

persentase

kalus

embrio

kedelai pada berbagai konsentrasi

2.4-D secara kultur

in vitro

2.4-D(µM)

Rerata persentase kalus

(%)

0

48,96c

5

80,21a

10

68,75b

15

64,58b

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%

Konsentrasi 2.4-D 5 µM (D1) mampu

meningkatkan persentase kalus eksplan embrio

kedelai dengan rerata persentase kalus sebesar

80,21%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

semakin besar konsentrasi 2.4-D yang diberikan,

semakin

menurun

persentase

kalus

yang

terbentuk. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian

Purnamaningsih dan Mariska (2005) dengan

eksplan benih padi pada media MS + 2.4-D 0,5

mg/l + NAA 1 mg/l + BA 1 mg/l mengalami

pertumbuhan kalus lebih cepat dibandingkan pada

media lainnya dengan persentase pembentukan

kalus

sebanyak

92,31%.

Senyawa

2.4-D

merupakan jenis auksin yang berperan dalam

merangsang perbesaran dan pembelahan sel untuk

membentuk kalus. Perbesaran sel disebabkan oleh

meningkatnya daya plastisitas dinding sel dan

terbentuknya

enzim

selulase

yang

dapat

melarutkan selulosa pada dinding sel, sehingga

menyebabkan membran dinding sel lebih mudah

dilalui oleh oksigen, air, dan garam mineral

untuk proses pertumbuhan dan perbesaran sel

(Wilkins, 1970).

Hasil uji beda nyata terkecil pengaruh

berbagai konsentrasi sukrosa secara mandiri

terhadap rataan presentase kalus embrio kedelai

(Tabel

3.)

menunjukkan

bahwa

seluruh

perlakuan yang dicobakan dapat meningkatkan

persentase kalus yang terbentuk dari eksplan

embrio kedelai. Konsentrasi 20 g/l (G1)

memberikan pengaruh berbeda nyata ketika

dibandingkan dengan kontrol (G0), tetapi tidak

berbeda nyata terhadap perlakuan G2 (30 g/l)

dan G3 (40 g/l).

Tabel 3. Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT)

rerata

persentase

kalus

embrio

kedelai pada berbagai konsentrasi

sukrosa secara kultur

in vitro

Sukrosa(g/l)

Reratapersentase kalus

(%)

0

31,25b

20

80,21a

30

76,04a

40

75,00a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%

Peningkatan persentase kalus eksplan

embrio kedelai sudah dapat berlangsung optimal

pada pemberian sukrosa konsentrasi 20 g/l (G1)

dengan rerata persentase kalus sebesar 80,21%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin

besar konsentrasi sukrosa yang diberikan,

semakin

menurun persentase kalus yang

terbentuk, meskipun hasil tersebut tidak berbeda

antara perlakuan G2 dan G3. Hal ini sesuai

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Inayah (2011) pada eksplan kacang tanah

kultivar Jerapah yang dapat mencapai persentase

kalus embriogenik secara optimum pada

(6)

konsentrasi sukrosa 20 g/l. Sukrosa merupakan

salah satu jenis karbohidrat yang sangat berperan

dalam pembelahan dan pertumbuhan sel. Selain

sebagai sumber energi, sukrosa juga merupakan

sumber kerangka karbon bagi berbagai senyawa,

termasuk senyawa dinding sel. Dinding primer sel

yang sedang tumbuh tersusun dari mikrofibril

selulosa

yang

terbenam

dalam

matriks

polisakarida bukan selulosa dan sejumlah protein

(Salisbury and Ross, 1995).

Hasil

penelitian

menunjukkan

bahwa

pemberian perlakuan D1G1 (2.4-D 5 µM; sukrosa

20 g/l) ada kecenderungan merupakan perlakuan

yang terbaik untuk meningkatkan persentase kalus

yang terbentuk dari eksplan embrio kedelai.

Rataan persentase eksplan yang membentuk kalus

pada media D1G1 hingga mencapai 95,83%. Hal

ini sejalan dengan waktu munculnya kalus.

Persentase eksplan yang terbentuk juga berkaitan

dengan waktu terbentuknya kalus, semakin cepat

waktu kalus yang terbentuk pada eksplan, maka

semakin besar pula jumlah persentase kalus yang

terbentuk dari eksplan.

3.

Pengaruh kombinasi 2.4-D dan sukrosa

terhadap tipe kalus yang terbentuk

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan

selama enam minggu diperoleh hasil rerata

persentase eksplan yang membentuk kalus

sebanyak 65,62 % dengan rician sebesar 20,83%

tipe embriogenik, tipe proliferatif sebesar 43,23%

dan tipe senesen sebesar 1,56%. Menurut Kesse

et

al

., (1991)

dalam

Sugiyono, (1993), tipe kalus

embriogenik adalah tipe kalus yang mampu

berkembang ke arah embriogenesis somatik atau

organogenesis somatik. Selain kalus embriogenik,

pada

penelitian

ini

didapatkan

persentase

pembentukan kalus proliferatif yang tinggi

(43,23%). Menurut Nisa dan Rodinah (2005),

kalus proliferatif adalah kalus yang mampu

tumbuh namun tidak mampu berkembang ke

arah organogenesis atau embriogenesis. Kalus

senesen merupakan kalus yang memiliki

pertumbuhan lambat dan tidak menunjukkan

perkembangan dengan ciri-ciri tidak terdapatnya

klorofil, berwarna krem atau cokelat dan selnya

berbentuk polyhedral (Kesse

et al

., 1991

dalam

Sugiyono, 1993).

Hasil pengamatan juga membuktikan

bahwa kombinasi perlakuan yang digunakan

berpengaruh terhadap tipe kalus yang terbentuk.

Tipe kalus embriogenik yang paling banyak

terbentuk yaitu pada perlakuan D1G1 mencapai

62,50%, sedangkan perlakuan D3G1 merupakan

perlakuan terendah yang membentuk kalus

embriogenik yaitu 8,33%. Tipe kalus proliferatif

yang paling banyak terbentuk yaitu pada

perlakuan D3G1 mencapai 70,83%. Sedangkan

perlakuan

D0G1

dan

D3G0

merupakan

perlakuan terendah yang membentuk kalus

proliferatif yaitu 29,17%. Tipe kalus senesen

terbentuk pada perlakuan D0G1, D0G2 dan

D0G3 dengan jumlah persentase kalus senesen

yang terbentuk sebesar 1,56%. Perlakuan D1G1

menunjukkan persentase kalus embriogenik

tertinggi dibandingkan dengan perlakuan D3G1

yang merupakan persentase terendah dalam

membentuk

kalus

embriogenik.

Hal

ini

menunjukan bahwa perlakuan D1G1, relatif

lebih baik pengaruhnya dari pada perlakuan lain

dalam pembentukan kalus embriogenik.

Secara umum waktu terbentuknya kalus

tercepat berkaitan dengan persentase kalus yang

terbentuk. Perlakuan 2.4-D 5 µM dan sukrosa 20

g/l (D1G1) dapat memberikan hasil yang optimal

terhadap waktu terbentuknya kalus yaitu 4 HST

(7)

dengan persentase kalus yang terbentuk mencapai

95,83%, tipe kalus embriogenik yang terbentuk

sebanyak 62,50% dan tipe kalus proliferatif yang

terbentuk sebanyak 33,33%. Hal ini dikarenakan

interaksi antara 2.4-D dan sukrosa dengan

konsentrasi tertentu mampu berlangsung dengan

baik, sehingga dapat memberikan hasil yang

optimal. Menurut Gunawan (1991) kecepatan sel

membelah diri dipengaruhi oleh zat pengatur

tumbuh dalam konsentrasi tertentu, selain itu juga

tergantung pada jenis tumbuhan. Faktor-faktor

lain seperti jenis media, ketersediaan unsur hara

makro/mikro, karbohidrat seperti sukrosa, adanya

bahan tambahan seperti air kelapa dan juga

faktor-faktor fisik seperti cahaya, sterilisasi, suhu, dan

pH media.

KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian yang telah

dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama,

pemberian 2.4-D dan sukrosa yang ditambahkan

ke dalam media tanam mampu memberikan

pengaruh dalam memacu pembentukan kalus dari

eksplan embrio kedelai secara kulturin vitro.

Kedua, pemberian perlakuan 2.4-D dengan

konsentrasi 5 µM dan sukrosa dengan konsentrasi

20 g/l (D1G1) merupakan kombinasi perlakuan

terbaik untuk memacu pembentukan kalus dari

eksplan

embrio

kedelai

dengan

waktu

terbentuknya kalus pada 4 hst dan persentase kalus

yang terbentuk mencapai 95,83%, yang berupa

tipe kalus embriogenik 62,50% dan tipe kalus

proliferatif 33,33%. Oleh karena itu, penerapan

hasil penelitian ini disarankan perlu dilakukan

penelitian lanjutan dengan range konsentrasi

antara

perlakuan

yang

lebih

luas

untuk

mengetahui konsentrasi 2.4-D dan sukrosa yang

paling baik dalam memacu pembentukan kalus

embriogenik guna mendapatkan jumlah kalus

embriogenik yang lebih banyak serta penelitian

sampai tingkat aklimatisasi plantlet yang

dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, T. dan R. Wudianto. 2002.

Meningkatkan Hasil Panen Kedelai di

Lahan Sawah - Kering - Pasang Surut.

Penebar Swadaya, Jakarta.

Gati, E. dan I. Mariska. 1992. Pengaruh auksin

dan sitokinin terhadap kalus

Mentha

piperita

Linn.

Buletin Littri

3: 1-4.

Diakses pada tanggal 28 November

2011.

George, E. F. and P. D. Sherington. 1984.

Plant

Propagation by Tissue Culture

. Eversley

Basingstoke,

Hants. Exegetics Ltd,

England.

Gunawan, L. W. 1991.

Bioteknologi Tanaman

.

Bogor: PAU Bioteknologi IPB.

Hardiyati, T. 1999.Upaya Meningkatkan Kadar

Alkaloid Pada Kultur Kalus

Catharanthus

roseus

Melalui

Penambahan Zat Pengatur Tumbuh

Auksin.

Laporan Hasil Penelitian. Tidak

Dipublikasikan.

Fakultas

Biologi

Universitas

Jenderal

Soedirman,

Purwokerto.

Hendaryono, D. P. S. dan A. Wijayani.1994.

Teknik KulturIn Vitro, Pengenalan dan

Petunjuk Perbanyakan secara Vegetatif.

Kanisius, Yogyakarta.

Husin, A., C. J. Soegihardjo dan S. Wahyuono.

2004.

Pengaruh

Kombinasi

Kadar

Sukrosa dan Kalium Nitrat dalam

Medium

Murashige-Skoog

(MS)

terhadap

Kadar

Atropina

atau

Hiosiamina pada Kultur Kalus

Datura

stramonium

L. Var.

stramonium

.

Jurnal

Sains dan Sibernatika

, Vol. XVII (3):

1-7. Diakses pada tanggal 28 November

2011.

Inayah, T. 2011. Pengaruh Konsentrasi Sukrosa

pada Induksi Embrio Somatik Dua

Kultivar

Kacang

Tanah

(

Arachis

(8)

Tidak

Dipublikasikan. Departemen

Pendidikan Nasio nal F akultas MIPA

Universitas Lampung

, Lampung.

Komatsuda, T., W. Lee. and S. Oka. 1992.

Maturation and Germination of Somatic

Embryos As Affected by Sucrose and

Plant Growth Regulators In Soybeans

Glycine Gracilis

Skvortz and

Glycine Max

(L.) Merr.

Plant Cell, Tissue and Organ

Culture

,28 : 103-113. Kluwer Academic

Publishers, Netherlands. Diakses pada

tanggal 23 Juli 2011.

Lazzeri, P. A., D. F. Hildebrand, J. Sunega, E. G.

Williams, and G. B. Collins. 1988.

Soybean

Somatic

Embryogenesis

:

Interactions Between Sucrose and Auxin.

Plant Cell Rep.

, 7 : 517-520.

Muslimin, L. dan M. Ansar. 2010.

Pengolahan

dan Pemanfaatan Kedelai. Bahan Ajar

Keterampilan Berbasis Teknologi Tepat

Guna. Pendidikan Kesetaraan Program

Paket

C

.

Kementerian

Pendidikan

Nasional, Jakarta.

Nisa, C. dan Rodinah. 2005. Kultur

in vitro

beberapa kultivar buah pisang (

Musa

paradisiaca

L.)

dengan

pemberian

campuran NAA dan kinetin.

Bioscientiae

,

2 (2): 23-36. Diakses pada tanggal 25

November 2011.

Purnamaningsih, R. dan I. Mariska.2005. Seleksi

In Vitro

Tanaman Padi untuk Sifat

Ketahanan terhadap Aluminium.

Jurnal

Bioteknologi Pertanian

, Vol. 10, No. 2,

2005, pp. 61-69. Diakses pada tanggal 25

November 2011.

Rahardja, P. C. 1994.

Kultur In Vitro: Teknik

Perbanyakan Secara Modern

. Penebar

Swadaya, Jakarta.

Rahayu, B., Solichatun dan E. Anggarwulan.

2003.

Pengaruh

Asam

2.4-Diklorofenoksiasetat

(2.4-D)

terhadap

Pembentukan dan Pertumbuhan Kalus

serta Kandungan Flavonoid Kultur Kalus

Acalypha indica

L.

Biofarmasi

1(1): 1-6.

Diakses pada tanggal 25 November 2011.

Salisbury, F. B. and C. W. Ross. 1995.

Fisiologi

Tumbuhan

Jilid III.

Penerbit ITB,

Bandung.

Sugiyono. 1993. Pengaruh Hormon 2.4-D dan

BAP

terhadap

Multiplikasi

Kalus

Purwoceng (

Pimpinella pruatjan

Molkenb) pada Kultur Aseptis.

Skripsi

.

Tidak

Dipublikasikan.

Departemen

Pendidikan Nasional Fakultas Biologi

Universitas Jenderal Soedirman,

Purwokerto.

Wattimena, G. A. 2001.

Zat Pengatur Tumbuh

Tanaman.

Penerbit IPB, Bogor.

Wilkins. 1970.

The Physiology of Plant Growth

and Development.

Mc Graw-Hill, San

Fransisco.

Winata L. 1988.

Teknik Kultur In Vitro

Tumbuhan.

Lab. Kultur In Vitro

Tumbuhan.

Pusat Antar Universitas.

Bioteknologi. IPB, Bogor.

Yuliarti, N. 2010.

KulturIn Vitro Tanaman

Skala Rumah Tangga

. Lily Publisher,

Yogyakarta.

Yustina.

2003.

Kultur Jatingan : Cara

Memperbanyak Tanaman Secara Efisien

.

Agro Medika Pustaka. Jakarta.

Gambar

Tabel  1.  Hasil  uji  Beda  Nyata  Jujur  (BNJ)  pengaruh interaksi 2.4-D dan sukrosa terhadap  waktu terbentuknya kalus pada eksplan
Tabel  2.  Hasil  uji  Beda  Nyata  Terkecil  (BNT)  rerata  persentase  kalus  embrio  kedelai  pada  berbagai  konsentrasi  2.4-D secara kultur in vitro

Referensi

Dokumen terkait

- Evaluasi adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan program. - Program adalah rencana suatu pelaksanaan yang akan

Pringsewu.Populasi penelitian ini adalah seluruh tenaga kesehatan yang memiliki bayi usia 7-24 bulan di wilayah Kabupaten Pringsewu, terdapat 83 ibu bekerja

Technical response sebagai tindakan teknis terhadap voice of customer membantu untuk menjawab dan memenuhi kebutuhan pelanggan, antara lain: desain asbak berbentuk

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah – Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Karya Tulis Ilmiah ini dengan

Dan seperti kita pahami bersama bahwa penghasilan tidak terus menerus akan diterima sepanjang hidup, sebaliknya kebutuhan dan keinginan akan terus ada sepanjang napas masih

Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: (1) Kemampuan tehnik dasar seperti passing bawah siswa putra bola voli tingkat SMK Negeri 1 Panggungrejo

"Status Bunga Bank Konvensional Perspektif Muhammad Sayyid Al-Thanthawi." Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2017.. Isnaeni, Sya