12 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini membahas beberapa hal, yaitu: a) Pedagogical Content Knowledge (PCK); b) Kompetensi guru SMP; c) Pelatihan; d) Modul pelatihan; e) Penelitian dan pengembangan R&D; f) penelitian yang relevan; dan g) kerangka berpikir.
2.1 Pedagogical Content Knowledge (PCK)
2.1.1 Hakikat Pedagogical Content Knowledge (PCK)
Pedagodical Content Knowledge (PCK) atau pengetahuan konten pedagogik, pertama kali di kenalkan oleh Shulman pada tahun 1986. Menurut Shulman (1986:7), pengetahuan konten dan pengetahuan pedagogik harus dipadukan dalam pembelajaran untuk menciptakan pengetahuan baru, yaitu Pedagodical Content Knowledge (PCK). Gumilar (2016: 6) mengemukakan bahwa PCK merupakan pengetahuan yang harus dipahami oleh seorang guru karena, seorang guru harus familiar dengan konsep alternatif dan kesulitan yang akan dihadapi siswa yang beragam latar belakang serta dapat mengorganisasikan, menyusun, menjalankan
13
dan menilai materi subjek, yang seluruhnya itu terangkum dalam PCK. Sedangkan, Widodo (2013: 3) berpendapat PCK merupakan konsep berpikir yang memberikan pengertian bahwa untuk mengajar tidak cukup hanya memahami konten materi (knowing) tetapi juga cara mengajar (how to teach). Guru harus mempunyai pengetahuan mengenai peserta didik, kurikulum, strategi instruksional, assessment sehingga dapat melakukan transformasi knowledge dengan efektif. Gumilar (2016: 6) mengemukakan bahwa di dalam PCK, konten merupakan pengetahuan yang semestinya dikuasai oleh pengajar mencakup fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori. Sedangkan, pedagogi berarti cara-cara yang dapat dilakukan untuk membantu siswa belajar dan memecahkan problem.
Widodo (2013: 4) berpendapat mengenai salah satu faktor yang memungkinkan untuk meningkatkan keefektifan guru yaitu dengan memperkaya PCK mereka, dengan cara memadukan antara content knowledge dan pedagogical knowledge yang dibangun dari waktu ke waktu dan pengalaman, sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan guru yang profesional. Dalam
14
pandangan konstruktivis, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan semata, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Atas dasar nilah, maka seorang guru harus memiliki pengetahuan konten dan pedagogi (Pedagogic Content Knowledge).
2.1.2 Komponen Pedagogical Content Knowledge (PCK) Menurut Anwar (2010:1) terdapat 7 komponen Pedagogical Content Knowledge (PCK). Adapun komponen tersebut, yaitu:
Komponen PCK Elemen PCK
Pengetahuan tentang materi
Isi dari ilmu pengetahuan, praktek ilmiah, sifat alami dari ilmu pengetahuan, proses ilmiah Pengetahuan
tentang tujuan
Literatur dalam ilmu pengetahuan, penerapan dalam kehidupan sehari-hari, pemahaman yang terintegrasi
Pengetahuan tentang siswa
Tingkat perbedaan, kebutuhan, minat, pengetahuan dasar, kemampuan, kesulitan belajar
Pengetahuan tentang kurikulum
Standar kompetensi, kompetensi dasar, koneksi antara pelajaran dengan unit, pengorganisasian khusus dalam pelajaran,keputusan tentang apa yang harus diajarkan, desain yang fleksibel Pengetahuan
mengajar
Berbagai metode mengajar, cara membangkitkan motivasi, kemampuan menyeleksi kegiatan yang efektif
Pengetahuan tentang
penilaian/evaluasi
Cara penilaian, kemampuan memimpin diskusi siswa dan bertanya, pemberian umpan balik Pengetahuan
tentang sumber
Bahan, multimedia, fasilitas lokal, teknologi yang ada di laboratorium, majalah ilmu
15
daya pengetahuan
Tabel 2.1.
Komponen Pedagogical Content Knowledge (PCK) Berdasarkan komponen PCK yang di kemukan oleh Anwar (2010:1), dalam penelitian ini komponen-komponen tesebut, dibagi kedalam kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional.
KOMPETENSI KOMPONEN PCK INDIKATOR Kompetensi Pedagogik Pengetahuan tentang kurikulum Kurikulum Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Pengetahuan mengajar Pemberian motivasi Proses dan peran pembelajaran Pengetahuan tentang
penilaian atau evaluasi
Alat evaluasi Pengetahuan tentang sumberdaya Sumber materi Alat peraga Pengetahuan tentang peserta didik Respon peserta didik Kesulitan belajar Kompetensi Profesional Pengetahuan tentang tujuan Aplikasi dalam kehidupan sehari-hari Pengetahuan tentang materi Penguasaan materi Tabel 2.2.
Komponen Pedagogical Content Knowledge (PCK) Yang Dibagi Kedalam Dua Kompetensi
16
Menurut Ball, dkk., (2008:5) PCK terdiri dari 3 komponen yaitu Knowledge Content of Students (KCS), Knowledge Content of Teaching (KCT) dan Knowledge of Curriculum (KC).
1. Knowledge Content of Students (KCS)
Ball menjelaskan bahwa KCS merupakan gabungan dari pengetahuan tentang siswa dan pengetahuan tentang matematika. Dengan kata lain, KCS merupakan Pengetahuan guru tentang proses berpikir siswa dalam konten matematika tertentu. Misalnya, guru harus mengetahui bagian-bagian khusus dari konsep matematika tertentu yang paling sering terjadi miskonsepsi matematika pada siswanya. Selain itu, guru harus memiliki kemampuan memprediksi dan menganalisis proses berpikir siswa.
2. Knowledge Content of Teaching (KCT)
KCT merupakan gabungan dari pengetahuan tentang mengajar dan matematika. Dengan kata lain pengetahuan ini berbicara tentang bagaimana sebaiknya
17
satu konsep matematika dijelaskan melalui pendekatan yang tepat. Tentu hal ini berkaitan dengan KCT agar segala hambatan belajar siswa dapat diminimalisir.
KCT merespresentasikan pengetahuan tentang konten dan pengajaran. Pengetahuan tentang macam-macam strategi mengajar matematika baik dari tahap persiapan, pembelajaran maupun penilaian. Pada tahap persiapan (teaching plan) guru dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang beragam model pembelajaran yang cocok dengan konten dan konteks matematika tertentu termasuk memberi apresepsi yang tepat. Pada tahap pengajaran (teaching act) guru dituntut untuk memiliki pengetahuan bagaimana menerapkan model dan pendekatan yang telah dipersiapkan sebelumnya dapat terlaksana dengan baik. Pengetahuan seorang guru tentang beragam strategi mengembangkan kemampuan berpikir siswa bisa terlihat dari bagaimana proses pembelajaran berlangsung. Selanjutnya pengetahuan yang wajib dimiliki seorang guru adalah pengetahuan dalam bidang
18
assessment. Hal ini selain berkaitan dengan tugas seorang guru memberikan penilaian terhadap siswa, guru juga wajib memenuhi tuntutan profesi untuk memberikan penilaian yang sesuai dengan kurikulum
3. Knowledge of Curriculum (KC)
KC merupakan pengetahuan guru tentang kurikulum yang merupakan dasar penting bagi seorang guru untuk memahami tugas dan perannya. KC ini mencerminkan seberapa jauh guru mengenal perangkat kurikulum yang menjadi pedoman dalam mengajar. KC merepresentasikan bagaimana guru memahami kurikulum, dalam hal ini kurikulum pendidikan matematika. Pengetahuan guru tentang kurikulum ini meliputi bagaimana memahami tujuan pendidikan matematika dan memahami undang-undang guru.
2.1.3 Hubungan Antara Konten dan Pedagogik
Pedagogical Content Knowledge (PCK) merupakan irisan antara pengetahuan materi dan pengetahuan pedagogik guru (Gambar 2.1). Sehingga, dapat dikatakan bahwa Pedagogical
19
Content Knowledge (PCK) merupakan pengetahuan khusus yang dimiliki oleh guru tentang bagaimana strategi mengajarkan konten tertentu kepada siswa. Seorang guru harus menguasai pengetahuan dalam melakukan pembelajaran secara seimbang, antara pengentahuan materi pelajaran dan pengetahuan pedagogi. Kedua pengetahuan tersebut dipadukan menjadi sebuah pengetahuan baru yang di kenal dengan Pedagogical Content Knowledge (PCK).
Gambar 2.1
Diagram Pedagogical Content Knowledge (PCK) Sumber: Shulman‘s (1986)
Content Knowledge (CK) merupakan salah satu pengetahuan yang ada di dalam Pedagogical Content Knowledge (PCK). Pengetahuan merupakan salah satu komponen yang
20
penting dari profesionalisme guru. Pengembangan kompetensi profesional tidak hanya sekedar melibatkan pengetahuan saja. Tetapi, juga melibatkan keterampilan, sikap, dan motivasi juga berkontribusi pada penguasaan materi belajar mengajar (OECD, 2017:3). Content knowledge merupakan kompetensi profesional guru. Menurut PP No. 74 tahun 2008, kompetensi profesional yaitu kemampuan guru dalam menguasai pengetahuan bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya yang diampunya yang sekurang-kurangnya meliputi 1). Penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan kelompok mata pelajaran yang akan diampu; 2). Konsep dan metode disiplin keilmuan; 3). teknologi atau seni yang relevan yang secara konseptual dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran dan kelompok matapelajaran yang akan diampu.
Aminah (2014:56) berpendapat bahwa seorang guru harus memiliki pengetahuan pedagogi, dimana pengetahuan pedagogi merupakan jenis pengetahuan yang unik untuk guru dan didasarkan pada cara guru dalam mengajarkan apa yang akan di
21
ajarkan. Pengetahuan pedagogi guru meliputi semua pengetahuan kognitif yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan belajar dan mengajar yang efektif (OECD, 2107:4). Selain itu, Suminawati (2018: 3) berpendapat bahwa Pedagogical Knowledge (PK) berkaitan dengan cara dan proses mengajar yang meliputi pengetahuan tentang manajemen kelas, tugas, perencanaan pembelajaran dan pembelajaran siswa. Oleh karena itu, Pedagogical Knowledge (PK) sangat identik dengan kompetensi pedagogik guru. Pedagogical Knowledge (PK) merupakan kompentesi yang harus dimiliki oleh seorang guru yang harus terus dikembangkan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan.
Menurut PP No. 74 Tahun 2008 kompetensi pedagogik guru, yaitu merupakan kemampuan pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi: 1). pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; 2). pemahaman terhadap peserta didik; 3). pengembangan kurikulum atau silabus; 4). perancangan pembelajaran; 5). pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; 6). pemanfaat teknologi pembelajaran; 7).
22
evaluasi hasil belajar; 8). serta pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasi berbagai potensi yang dimilikinya.
2.2 Kompetensi Guru SMP
2.2.1 Hakikat Kompetensi Guru SMP
Kompetensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu kewenangan (kekuasaan) untuk memutuskan atau menentukan sesuatu. Menurut Sagala (2011:23), kompetensi merupakan peleburan dari pengetahuan (daya pikir), sikap (daya kalbu), dan keterampilan (daya pisisk) yang yang di wujudkan dalam bentuk perbuatan. Sedangkan, menurut UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 1, ayat 10, disebutkan “Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan”. Dari beberapa pendapat tersebut, kompetensi merupakan perpaduan dari aspek pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang dimiliki oleh guru untuk dapat melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Kompetensi tersebut merupakan konsep kompetensi guru secara
23
umum, sehingga guru pada jenjang SMP juga harus memiliki kompetensi tersebut.
Seorang guru harus mampu dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya untuk mencerdaskan dan memajukan generasi penerus bangsa. Oleh karena itu, sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2005 Pasal 8 menyatakan bahwa seorang guru wajib memilki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi yang dimaksudkan dalam pasal 8 tersebut tertuang pada Pasal 10 ayat (1) yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadaian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. 2.2.2 Kompetensi Yang Harus Dimiliki Guru
Pemerintah telah mengatur standar kompetensi yang harus di miliki oleh seorang guru, peraturan tersebut tertuang dalam PP R.I, nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, BAB VI, pasal 28 ayat 3, bahwa ada empat kompetensi: 1) Kompetensi kepribadian; 2) Kompetensi profesional; 3) Kompetensi sosial; dan 4) Kompetensi pedagogik
24
Mulyasa (2008:75) menjabarkan kompetensi yang harus dimiliki guru sebagai berikut:
1. Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir a dikemukakan bahwa kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai kompetensi yang dimilikinya.
2. Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir b kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
3. Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir c kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing
25
peserta didik memennuhi standar kompetensi yang ditetapkan.
4. Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir d Kemampuan sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Standar kompetensi seorang guru telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesi Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Adapun standar kompetensi inti yang harus dimiliki seorang guru matematika pada jenjang SMP, yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.3
Standar Kompetensi Guru Matematika SMP
No Kompetensi Inti Guru
Kompetensi Pedagogik
1. Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, dan intelektual.
2. Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik.
3. Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu.
26
5. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran.
6. Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.
7. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik.
8. Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar
9. Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran.
10. Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
Kompetensi Kepribadian
11. Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia.
12. Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat.
13. Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa.
14. Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri.
15. Menjunjung tinggi kode etik profesi guru. Kompetensi Sosial
16. Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi.
17. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat.
18. Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya.
19. Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.
Kompetensi Profesional
20. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu.
21. Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu.
22. Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif.
27
23. Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif
24. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri.
Berdasarkan tabel standar kompetensi guru matematika SMP kompetensi yang akan ditingkatkan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.4
Kompetensi Inti Guru SMP Yang Akan Ditingkatkan
No Kompetensi Inti Guru
Kompetensi Pedagogik
2. Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik.
4. Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik. Kompetensi Profesional
20. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu.
22. Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif. 2.3 Pelatihan
2.3.1 Hakikat Pelatihan
Mawardi (2013:3) berpendapat bahwa Pelatihan merupakan modifikasi perilaku sistematis melalui pembelajaran, yang terjadi sebagai hasil dari pendidikan, pengembangan pembelajaran, dan pengalaman yang direncanakan. Noe (2010:351) pelatihan merupakan upaya yang direncanakan oleh suatu lembaga pendidikan untuk mempermudah pembelajaran
28
tentang kompetensi-kompetensi yang berkaitan dengan pekerjaan, yang meliputi pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku. Sedangkan, Mawardi (2013: 3) berpendapat bahwa pelatihan merupakan salah satu fungsi manajemen yang perlu dilaksanakan secara terus menerus dalam rangka pembinaan ketenagaan suatu organisasi. Program pelatihan tidak hanya penting bagi individu, tetapi juga lembaga atau organisasi dan hubungan manusiawi dalam kelompok kerja. Pelatihan merupakan upaya investasi sumber daya manusia dalam sebuah lembaga.
Menurut Noe (2010:351), pelatihan guru adalah upaya yang direncanakan untuk meningkatkan penguasaan kompetensi guru yaitu penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Mawardi (2013: 4) mengemukakan pelatihan bagi guru bertujuan agar guru: (1) mampu memperbaiki kinerjanya. Guru yang memiliki kinerja kurang atau tidak memuaskan dapat disebabkan kurangnya pengetahuan, keterampilan dan sikap terhadap bidang pekerjaannya; (2) dapat memuthakhirkan keahliannya sejalan dengan kemajuan teknologi dan dapat menerapkannya dalam
29
dalam pekerjaan sehari-hari; (3) membekali guru baru agar kompeten dalam pekerjaan, karena seringkali guru baru tidak menguasai keahlian dan kemampuan yang dibutuhkan dalam menjalankan tugas-tugasnya; (4) membantu memecahkan masalah yang dihadapi guru dalam menjalankan tugasnya, sehingga program pelatihan hendaknya dilandasi pada kebutuhan guru; (5) mengembangkan karier guru.
2.3.2 Langkah-langkah Pelatihan
Pelatihan sebagai sebuah konsep bertujuan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan seseorang (sasaran didik). Perkembangan pelatihan (capacity building, empowering, training dll) saat ini tidak hanya terjadi pada dunia usaha, akan tetapi pada lembaga-lembaga profesional tertentu model pelatihan berkembang pesat sesuai dengan kebutuhan belajar, proses belajar (proses edukatif), assessment, sasaran, dan tantangan lainnya dalam dunia global (Kamil, 2010: 1). Salah satu pelatihan yang dikemukakan Goad dalam Nedler (1982:11) memiliki lima (5) langkah pokok, yaitu: 1) analisis kebutuhan pelatihan (analyze to determine training requirement); 2) desain pendekatan
30
pelatihan (design the training approach); 3) pengembangan materi pelatihan (develop the training materials); 4) pelaksanaan pelatihan (conduct the training); 5) evaluasi dan perbaikan pelatihan (evaluate and update the training).
31 2.4 Modul Pelatihan
2.4.1 Hakikat Modul Pelatihan
Aditia (2013:6) mengemukakan bahwa modul merupakan alat atau sarana pembelajaran yang berisi materi, metode, batasan-batasan materi pembelajaran, petunjuk kegiatan belajar, latihan dam cara mengevaluasi yang dirancang secara sistematis dan menarik, untuk mencapai kompetensi yang di harapkan dan dapat digunakan secara mandiri. Departemen Pendidikan Nasional dalam bukunya “Teknik Belajar dengan Modul, (2002:5), mendefinisikan modul sebagai suatu kesatuan bahan belajar yang disajikan dalam bentuk “self- instruction”, artinya bahan belajar yang disusun di dalam modul dapat dipelajari siswa secara mandiri dengan bantuan yang terbatas dari guru atau orang lain. Sedangkan menurut, Hernawan (2017:2) modul pelatihan merupakan satu unit program pembelajaran yang terrencana, didesain guna membantu peserta mencapai tujuan pelatihan. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka modul pelatihan merupakan perangkat pembelajaran untuk yang telah disusun secara terrencana serta didesain secara efisien dan efektif
32
sehingga, dapat dipelajari secara mandiri guna mencapai tujuan pelatihan yang telah ditetapkan.
Rahdianyanta (2017:1-2) mengemukakan tujuan dari penulisan modul, adapun tujuan tersebut yaitu sebagai berikut: 1. Memperjelas dan mempermudah penyajian pesan agar tidak
terlalu bersifat verbal;
2. Mengatasi keterbatasan waktu, ruang, dan daya indera, baik siswa atau peserta diklat maupun guru/instruktur;
3. Dapat digunakan secara tepat dan bervariasi;
4. Meningkatkan motivasi dan gairah belajar bagi siswa atau peserta diklat;
5. Mengembangkan kemampuan peserta didik dalam berinteraksi langsung dengan lingkungan dan sumber belajar lainnya;
6. Memungkinkan siswa atau peserta diklat belajar mandiri sesuai kemampuan dan minatnya;
7. Memungkinkan siswa atau peserta diklat dapat mengukur atau mengevaluasi sendiri hasil belajarnya;
33 2.4.2 Komponen Modul Pelatihan
Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2002:21-26) satu modul dibuat untuk mengajarkan suatu materi yang spesifik supaya peserta belajar mencapai kompetetensi tertentu. Struktur penulisan suatu modul sering dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian pembukaan, bagian inti dan bagian penutup. Bagian pembukaan berisi judul, daftar isi, peta informasi, daftar tujuan kompetensi dan tes awal. Bagian inti berisi pendahuluan atau tinjauan umum materi, hubungan dengan materi, uraian materi, penugasan dan rangkuman. Sedangkan, bagian penutup berisi yaitu glossary, tes akhir dan indeks.
Menurut Daryanto (2013: 25) yang menjadi komponen modul yaitu:
1. Bagian awal, yang terdiri dari halaman sampul, kata pengantar, daftar isi, peta kedudukan modul, dan glosarium.
2. Pendahuluan, yang terdiri dari standar kompetensi, deskripsi tentang nama dan ruang lingkup isi modul, waktu yang dipersyaratkan untuk mempelajari modul
34
tersebut, prasyarat atau kemampuan awal yang dipersyaratkan untuk mempelajari modul, petunjuk penggunaan modul, tujuan akhir yang hendak dicapai, dan cek penugasan standar kompetensi.
3. Pembelajaran, terdiri dari komponen tujuan yang harus dikuasai untuk satu kesatuan kegiatan belajar, uraian materi yang berisi uraian pengetahuan tentang kompetensi yang sedang dipelajari, rangkuman tentang kegiatan pengetahuan yang terdapat pada uraian materi, tugas yang berisi instruksi untuk penguatan pemahaman terhadap konsep yang dipelajari, tes untuk mengetahui sejauh mana penguasaan hasil belajar yang telah dicapai dan sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan berikutnya, serta lembar kerja.
4. Evaluasi 5. Kunci jawaban 6. Daftar pustaka
Berdasarkan hakikat modul, tujuan penulisan modul dan komponen modul maka modul PCK ini akan disusun secara
35
terrencana serta didesain secara efisien dan efektif sehingga, diharapkan dapat dipelajari secara mandiri dan mudah dipahami untuk mencapai tujuan pelatihan yang telah ditetapkan. Adapun komponen modul pelatihan PCK yang akan di susun oleh peneliti terdiri dari lima bagian yaitu: (1) bagian awal yang terdiri dari halaman judul, kata pengantar, daftar isi dan glosarium; (2) bagian pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan, peta kompetensi, ruang lingkup, dan petunjuk penggunaan modul; (3) bagian pembelajaran berisi kegiatan pembelajaran yang terdiri dari pengantar, kompetensi dasar, indikator pencapaian, tujuan pembelajaran, uraian materi, aktivitas pembelajaran, latihan atau tugas, rangkuman, tes formatif, umpan balik dan tindak lanjut dan kunci jawaban; (4) bagian evaluasi yang terdiri dari tes dan kunci jawaban; (5) bagian akhir yang terdiri dari penutup, daftar pustaka.
2.5 Penelitian Dan Pengembangan R&D
Sugiyono (2010:407) mengemukakan bahwa pengembangan atau Research and Development (R&D) adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk
36
tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut. Penelitian pengembangan memiliki beberapa model yang digunakan untuk melakukan penelitian pengembangan. Adapun beberapa model tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. Model Four-D
Model Four-D dikemukakan oleh Thiagarajan, Semmel, dan Semmel pada tahun 1974. Awalnya Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (1974) memodifikasi model ini menjadi empat tahap, yaitu: analysis, design, evaluation, dan dissemination. Setelah mengalami proses pengembangan dalam pelatihan, model ini disebut model Four-D yang meliputi empat tahap: define, design, develop, dan disseminate (Rochmat, 2011:2).
1) Tahap definisi (define)
Pada tahapan ini meliputi lima fase yaitu: (1) analisis awal-akhir (front- end analysis); (2) analisis pembelajar (learner analysis); (3) analisis tugas (task analysis); (4) analisis konsep (concept analysis); dan
37
(5) tujuan-tujuan instruksional khusus (specifying instructional objectives).
2) Tahap desain (design)
Pada tahapan ini meliputi empat fase yaitu: (1) mengkonstruksi tes beracuan-kriteria; (2) pemilihan media (media selection); (3) pemilihan format (format selection); dan (4) desain awal (initial design).
3) Tahap pengembangan (develop)
Pada tahapan ini meliputi dua fase yaitu: (1) penilaian ahli (expert appraisal); dan (2) pengujian pengembangan (developmental testing).
4) Tahap penyebaran (dissemination)
Pada tahapan ini meliputi tiga fase yaitu: (1) pengujian validitas (validating testing); (2) pengemasan (packaging); dan (3) difusi dan adopsi (diffusion and adoption).
38
Borg & Gall (1983:775) mengembangkan 10 tahapan dalam penelitian pengembangan atau R&D. Adapun tahapan-tahapan tersebut, yaitu:
1) Research And Information Collecting,
Pada tahapan peneliti melakukan studi literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji, pengukuran kebutuhan, penelitian dalam skala kecil, dan persiapan untuk merumuskan kerangka kerja penelitian;
2) Planning,
Peneliti menyusun rencana penelitian yang meliputi merumuskan kecakapan dan keahlian yang berkaitan dengan permasalahan, menentukan tujuan yang akan dicapai pada setiap tahapan, desain atau langkah-langkah penelitian dan jika mungkin/diperlukan melaksanakan studi kelayakan secara terbatas;
39
Pada tahapan ini peneliti mengembangkan bentuk permulaan dari produk yang akan dihasilkan. Termasuk dalam langkah ini adalah persiapan komponen pendukung, menyiapkan pedoman dan buku petunjuk, dan melakukan evaluasi terhadap kelayakan alat-alat pendukung. Contoh pengembangan bahan pembelajaran, proses pembelajaran dan instrumen evaluasi;
4) Preliminary Field Testing
Peneliti melakukan uji coba lapangan awal dalam skala terbatas, dengan melibatkan 1 sampai dengan 3 sekolah, dengan jumlah 6-12 subyek. Pada langkah ini pengumpulan dan analisis data dapat dilakukan dengan cara wawancara, observasi atau angket;
5) Main Product Revision,
Tahapan ini yang dilakukan yaitu melakukan perbaikanterhadap produk awal yang dihasilkan berdasarkan hasil ujicoba awal. Perbaikan ini sangat mungkin dilakukan lebih dari satu kali, sesuai dengan
40
hasil yang ditunjukkan dalam ujicoba terbatas, sehingga diperoleh draft produk (model) utama yang siap diuji coba lebih luas.
6) Main Field Testing,
Tahap ini biasanya disebut ujicoba utama yang melibatkan khalayak lebih luas, yaitu 5 sampai 15 sekolah, dengan jumlah subyek 30 sampai dengan 100 orang. Pengumpulan data dilakukan secara kuantitatif, terutama dilakukan terhadap kinerja sebelum dan sesudah penerapan ujicoba. Hasil yang diperoleh dari ujicoba ini dalam bentuk evaluasi terhadap pencapaian hasil ujicoba (desain model) yang dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dengan demikian pada umumnya langkah ini menggunakan rancangan penelitian eksperimen;
7) Operational Product Revision,
Pada tahap ini melakukan perbaikan atau penyempurnaan terhadap hasil ujicoba lebih luas, sehingga produk yang dikembangkan sudah
41
merupakan desain model operasional yang siap divalidasi;
8) Operational Field Testing
Pada tahapan ini merupakan langkah uji validasi terhadap model operasional yang telah dihasilkan. Dilaksanakan pada 10 sampai dengan 30 sekolah melibatkan 40 samapi dengan 200 subyek. Pengujian dilakukan melalui angket, wawancara, dan observasi dan analisis hasilnya. Tujuan langkah ini adalah untuk menentukan apakah suatu model yang dikembangkan benar-benar siap dipakai di sekolah tanpa harus dilakukan pengarahan atau pendampingan oleh peneliti/pengembang model;
9) Final Product Revision
Peneliti melakukan perbaikan akhir terhadap model yang dikembangkan guna menghasilkan produk akhir (final);
42
Tahapan terakhir dari model ini yaitu menyebarluaskan produk/model yang dikembangkan kepada khalayak/masyarakat luas, terutama dalam kancah pendidikan. Langkah pokok dalam fase ini adalah mengkomunikasikan dan mensosialisasikan temuan/model, baik dalam bentuk seminar hasil penelitian, publikasi pada jurnal, maupun pemaparan kepada skakeholders yang terkait dengan temuan penelitian.
3. Model Sugiyono
Langkah-langkah penelitian dan pengembangan menurut Sugiyono (2010:408-427) yaitu sebagai berikut.
1) Potensi Dan Masalah
Penelitian selalu bermula dari adanya potensi atau masalah. Potensi merupakan segala sesuatu yang jika didayagunakan akan mempunyai nilai tambah. Masalah juga dapat diubah menjadi sebagai potensi, apabila peneliti bisa mendayagunakan masalah tersebut. Masalah akan terjadi bila ada penyimpangan,
43
antara yang diharapkan dengan yang keadaan terjadi. Masalah ini bisa diatasi melalui R & D yaitu dengan cara menelitinya, sehingga bisa ditemukan suatu model, sistem atau pola penanganan terpadu yang efektif yang bisa dipakai untuk mengatasi masalah tersebut. Potensi dan masalah yang dikemukakan dalam suatu penelitian haruslah ditunjukkan dengan data yang empirik.
2) Pengumpulan Data
Mengumpulkan berbagai informasi dan studi literatur yang bisa dipakai sebagai bahan guna merencanakan membuat produk tertentu yang diharapkan bisa mengatasi masalah tersebut. Studi ini ditujukan guna menemukan konsep - konsep maupun landasan teoretis yang bisa memperkuat suatu produk, khususnya yang berhubungan dengan produk pendidikan, misal produk yang berbentuk program, model, sistem, software, pendekatan, dan sebagainya. Di lain pihak melalui studi literatur ini akan mengkaji
44
ruang lingkup suatu produk, keluasan penggunaan, kondisi - kondisi pendukung supaya produk bisa dipakai atau diimplementasikan secara optimal, serta keterbatasan dan keunggulan nya. Studi literatur juga dibutuhkan guna mengetahui langkah-langkah yang paling tepat dalam mengembangkan produk tersebut. 3) Desain Produk
Produk yang dihasilkan dari suatu penelitian R & D ini ada banyak sekali jenisnynya. Untuk menghasilkan sistem kerja baru, maka haruslah dibuat rancangan kerja baru berdasarkan penilaian terhadap system kerja lama, sehingga bisa ditemukan kelemahan-kelemahan terhadap sistem tersebut. Disamping itu, perlu dilakukan penelitian terhadap unit lain yang dipandang sistem kerjanya baik. Selain itu, harus dilakukan pengkajian terhadap referensi mutakhir yang berkaitan dengan sistem kerja yang modern beserta indikator sistem kerja yang bagus. Hasil akhir dari kegiatan ini biasanya berupa desain
45
produk baru yang telah lengkap dengan spesifikasinya. Desain ini masih bersifat hipotetik, karena efektivitasnya masih belum terbukti, dan baru bisa diketahui setelah melewati pengujian-pengujian. Desain produk haruslah diwujudkan kedalam bentuk gambar atau bagan, sehingga bisa dipakai sebagai pegangan guna menilai dan membuatnya, serta akan memudahkan pihak lain untuk lebih memahaminya. 4) Validasi Desain
Validasi desain adalah suatu proses kegiatan yang bertujuan untuk menilai apakah rancangan produk, dalam hal ini sistem kerja baru secara rasional akan lebih efektif dari yang lama atau tidak. Dikatakan secara rasional, karena validasi pada tahap ini masih bersifat penilaian berdasarkan pemikiran rasional, belum berdasarkan pada fakta lapangan. Validasi produk bisa dijalankan dengan cara menghadirkan beberapa tenaga ahli atau pakar yang sudah berpengalaman memberikan penilaian terhadap
46
produk baru yang dirancang tersebut. Setiap pakar diminta untuk memberikan nilai desain baru tersebut, sehingga langkah selanjutnya bisa diketahui kekuatan dan kelemahannya. Validasi desain bisa dijalankan pada sebuah forum diskusi. Sebelum berdiskusi, peneliti mempresentasikan proses penelitian sampai ditemukan desain tersebut, beserta dengan keunggulannya.
5) Revisi Desain
Sesudah desain produk jadi, divalidasi melalui diskusi bersama para pakar dan para ahli lainnya. Maka akan bisa diketahui kelemahan-kelemahannya. Kelemahan tersebut kemudian dicoba untuk dikurangi dengan jalan memperbaiki desain tersebut. Yang bertugas memperbaiki desain adalah peneliti yang akan menghasilkan produk tersebut.
6) Ujicoba Produk
Desain produk yang sudah dibuat tidak dapat langsung diujicobakan terlebih dahulu. Akan tetapi
47
haruslah dibuat terlebih dahulu, hingga menghasilkan produk, dan produk itulah yang diujicobakan.
7) Revisi Produk
Pengujian produk terhadap sampel yang terbatas tersebut dapat menunjukkan bahwa kinerja sistem kerja baru ternyata yang lebih baik bila dibandingkan dengan sistem yang lama. Perbedaan yang sangat signifikan, sehingga sistem kerja baru tersebut bisa diterapkan atau diberlakukan.
8) Ujicoba Pemakaian
Setelah pengujian terhadap produk yang dihasilkan sukses, dan mungkin ada revisi yang tidak begitu penting, maka langkah berikutnya yaitu produk yang berupa sistem kerja baru tersebut diberlakukan atau diterapkan pada kondisi nyata untuk ruang lingkup yang luas. Dalam pengoperasian sistem kerja baru tersebut, tetap harus dinilai hambatan atau kekurangan yang muncul guna dilakukan perbaikan yang lebih lanjut.
48 9) Revisi Produk
Revisi produk ini dilaksanakan, bila dalam perbaikan pada yang kondisi nyata terdapat kelebihan dan kekurangan. Dalam uji pemakaian produk, sebaiknya pembuat produk selaku peneliti selalu mengevaluasi bagaimana kinerja dari produknya dalam hal ini yaitu sistem kerja.
10)Produksi Massal
Pada tahap pembuatan produk masal ini dilaksanakan bila produk yang telah diujicobakan dinyatakan efektif serta layak untuk diproduksi secara masal.
2.6 Penelitian Yang Relevan
Penelitian mengenai Pedagogical Contet Knowledge (PCK) telah di lakukan sebelumnya oleh beberapa peneliti. Adapun penelitian mengenai PCK yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
Penelitian Giarti (2016) dengan judul Pengembangan Modul Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah Berbasis Andragogi
49
Berbantuan CSM MOODLE, menyimpulkan bahwa pengembangan modul pelatihan dapat meningkatkan kompetensi guru, hal ini terlihat pada meningkatnya nilai peserta sebelum pelatihan (pre-test) dibandingkan dengan setelah pelatihan (post-test) dengan nilai kompetensi hasil pelatihan peseta mencapai 65 (pre-test) dan 81 (post-test). Selain itu, pelatihan yang efektif adalah pelatihan yang dapat mengembangkan modul pelatihan dengan baik.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Budiyono dkk (2014: 7) tentang Pengembangan Bahan Pelatihan Desain Sistem Pembelajaran Bagi Guru Bahasa Indonesia SMA menunjukkan hasil bahwa Bahan Pelatihan DSPGBI-SMA dapat memandu guru secara efektif dalam pembuatan produk DSP yang dapat diterapkan di kelas. Hal itu terlihat dari adanya perningkatan kualitas portofolio DSP yang dihasilkan guru setelah menggunakan modul. Sehingga, melalui modul pelatihan yang diberikan kepada guru dapat meningkatkan kompetensi pedagogik dan pada akhirnya juga akan meningkatkan kompetensi profesional.
50
Penelitian Sumarah (2017) dengan judul Pengembangan Modul Pelatihan Model Pembelajaran Van Hiele Dalam Konteks Pendidikan Karakter Guru SD menunjukkan hasil bahwa kualitas modul yang dihasilkan mendapatkan nilai rata-rata dari para validator sebesar 3.34 (dari total nilai 4) yang berarti baik, sehingga layak untukdipublikasikan. Hasil ujicoba modul kepada 9 guru SD juga menegaskan jika modul tersebut membantu mereka memahami model pembelajaran van Hiele. Maka, dapat disimpulkan bahwa modul pelatihan sangat membantu guru didalam memahami materi tertentu.
Penelitian Resbiantoro (2015) dengan judul Pengembangan Modul Pedagogical Content Knowledge Fisika Pada Materi Hukum Gravitasi Newton Untuk SMA Kelas XI, menyimpulkan bahwa modul pedagogical content knowledge (PCK) pada materi hukum gravitasi Newton yang dikembangkan layak digunakan oleh guru dan calon guru untuk menunjang proses pembelajaran ditinjau dari komponen isi, bahasa, penyajian, dan kegrafikan. Modul ini memberikan alternatif referensi untuk guru dan calon guru dalam melaksanakan
51
pembelajaran. Modul ini juga bisa menjadi acuan untuk pengembangan modul pada pokok bahasan lain.
Penelitian Susilowati (2015) dengan judul Analisis PCK Guru IPA SMP Kelas VIII Dalam Implementasi Kurikulum 2013, menyimpulkan bahwa dalam merencanakan pembelajaran, guru IPA menggunakan RPP yang sudah disusun dari MGMP dan disesuaikan lagi dengan waktu tiap sekolah. Guru sudah mengembangkan kreatifitasnya dalam proses pembelajaran. Aspek kreatifitas yang muncul antara lain visualisasi dan relating. Kegiatan pembelajaran dilakukan dengan pendekatan sainstifik, dan sudah menuntun siswa untuk mencari tahu, tetapi tahap identifikasi masalah belum di munculkan. Keterpaduan IPA sudah dimunculkan tetapi masih terkendala dengan faktor pemguasaan ilmu sesuai dengan latar belakang keilmuan guru.
Penelitian Margiyono (2011) dengan judul Deskripsi PCK Guru Pada Bahasan Tentang Bilangan Rasional, menyimpulkan bahwa keunikan materi bilangan rasional merupakan tantangan bagi guru dan guru wajib memiliki kompetensi pedagogik dan profesioanl untuk menghadirkan pembelajaran yang dapat
52
mencapai tujuan yang di harapkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari sisi pedagogical content guru menguasai kurikulum, guru menyadari bahwa materi ini sulit diterima siswa, namun demikian masih kesulitan merencanakan dan melaksanakan pembelajarannya. Content knowledge guru tidak terbedakan berdasarkan kualifikasi akademik tetapi penguasaan guru tentang bilangan rasional tidak sejalan dengan hasil belajar siswa. Kompetensi pedagogik yang masih belum optimal adalah penguasaan tentang mengajar dan pemahaman tentang kebutuhan siswa. Guru masih belum menggunakan metode-metode pembelajaran yang dapat lebih memotivasi siswa belajar bilangan rasional dan penguasaan materi prasayarat yang lemah oleh siswa belum menjadi perhatian guru. Diharapkan hasil penelitian ini dapat membantu guru matematika mengevaluasi pembelajaran sebagai bagian dari upaya meningkatkan prestasi belajar siswa.
Berdasarkan, penelitian yang di lakukan sebelumnya mengenai PCK, penelitian ini berbeda dengan penelitian yang di lakukan oleh Susilowati dan Margiyono mendeskripsikan PCK yang dimiliki guru dan calon guru. Berikutnya,
Penelitian-53
penelitian tersebut sangat berbeda dengan penelitian yang di lakukan oleh Resbiantoro yang mengembangakan Modul PCK pada matapelajaran Fisika. Sedangkan penelitian yang di lakukan oleh Giarti, Budiyono dan Sumarah mengenai penelitian pengembangan modul pelatihan. Penelitian tersebut hampir sejalan dengan penelitan ini, dimana peneliti akan mengembangkan modul pedagogical content knowledge dalam peningkatan kompetensi pedagogik guru matematika Sekolah Menengah Pertama. PCK merupakan pengetahuan yang harus dipahami oleh seorang guru, dimana guru harus mampu mempadukan pengetahuan konten dan pengetahuan pedagogik dalam pembelajaran untuk menciptakan pengetahuan baru. 2.7 Kerangka Berpikir Penelitian
Potensi yang dimiliki guru matematika SMP di Kota Salatiga yaitu memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum Sarjana (S1) program studi matematika, sehingga guru-guru tersebut sudah memiliki pengetahuan yang kuat terkait materi matematika. Tetapi, pada kenyataannya guru-guru tersebut masih memiliki praktik mengajar yang kurang. Tidak semua
54
materi matematika dapat diajarkan kepada siswa menggunakan metode yang sama karena, setiap materi memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Pemahaman guru terkait Pedagogical Content Knowledge (PCK) juga masih kurang. Padahal Pedagogical Content Knowledge (PCK) merupakan pengetahuan dan elemen penting yang mutlak harus dikuasai oleh guru dalam rangka meningkatkan kualitas guru. Oleh karena itu, akan di kembangkan modul pelatihan PCK dalam meningkatkan kompetensi profesional dan kompetensi pedagogik guru. Model pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu model Sugiyono dengan mengambil sampai enam tahapan. Di mulai dari adanya masalah, pengumpulan data, desain produk, validasi desain, revisi desain dan uji coba produk terbatas. Berikut bagan kerangka penelitian ini.
55