• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perlindungan Pekerja Migran Indonesia"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA

Hartono Widodo R. Jossi Belgradoputra

Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana E-mail: hartonowidodo55@gmail.com

ABSTRAK

Sudah selayaknya, negara memberikan jaminan atas hak, kesempatan, dan memberikan perlindungan bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan uang layak, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan. Selama ini Pemerintah masih terkesan kurang serius menangani perlindungan pekerja migran, sehingga bermunculan kasus perdagangan manusia, perbudakan, kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia. Penelitian Hukum ini merupakan penelitian hukum normatif, yang membahas mengenai penerapan perlindungan pekerja migran Indonesia sebelum, selama, dan setelah bekerja di luar negeri dan perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. perlindungan pekerja migran Indonesia dapat terlaksana secara maksimal, sepanjang pihak yang terkait sungguh-sungguh menjalankan aturan perundang-undangan yang telah disepakati.

Kata Kunci: perlindungan pekerja, migran, tenaga kerja Indonesia. ABSTRACT

As appropriate, the State guarantees rights, opportunities, and provides protection for every citizen without discrimination to get a decent job and income, both at home and abroad in accordance with expertise, skills, talents, interests, and abilities. During this time, the Government still seems less serious in dealing with the protection of migrant workers, resulting in cases of human trafficking, slavery, forced labor, victims of violence, abuse, crimes of human dignity and dignity, and other treatments that violate human rights. This Legal Research is normative legal research, which discusses the application of the protection of Indonesian migrant workers before, during, and after working abroad and the protection provided by Law Number 18 Year 2017 replacing Law Number 39 Year 2004 concerning Placement and Protection of Indonesian Workers Abroad. The protection of Indonesian migrant workers can be exercised to the fullest extent possible, as long as the relevant parties strictly comply with the agreed rules.

(2)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Seperti kita ketahui, pekerja migran Indonesia adalah setiap warga negara Indonesia yang akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Republik Indonesia. Jumlah pekerja migran Indonesia yang resmi kurang lebih 708.141 pekerja, bahkan data dari World Bank pada tahun 2017 terdapat 9 (sembilan) juta pekerja migran Indonesia yang ditempatkan di luar negeri. Jumlah tersebut belum termasuk pekerja migran Indonesia yang tidak tercatat yang semakin meningkat. Hal ini akan menimbulkan berbagai permasalahan ketenagakerjaan sekaligus keimigrasian. Bank Indonesia mencatat penerimaan uang dari pengiriman antar negara (remittance) yang berasal dari tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri pada tahun 2018 mencapai US$10,8 miliar atau sekitar Rp151 triliun (asumsi kurs Rp14.000,00 per dolar Amerika Serikat). Pada tahun 2018, jumlah tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri mencapai 3,65 juta orang.

Beberapa permasalahan hukum akan bermunculan apabila pekerja migran Indonesia di luar negeri tidak diberikan suatu perlindungan. Dimulai dari sebelum bekerja, pekerja migran wajib diberikan perlindungan sejak pendaftaran sampai pemberangkatan. Bahkan perlindungan diberikan setelah bekerja yaitu keseluruhan aktivitas untuk memberikan perlindungan sejak pekerja migran Indonesia dan anggota

keluarganya tiba di debarkasi di Indonesia hingga kembali ke daerah asal, termasuk pelayanan lanjutan menjadi pekerja produktif. Bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan payung hukum dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2007 di samping

adanya ratifikasi atas International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Worker and Members of Their Families (Konvensi Internasional mengenai perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya) melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012.

Menurut Bayu Dwi Anggono, hukum menghadirkan diri dalam wujud kaidah yang disebut kaidah hukum (rechtsnorm,

legal norm), yang penampilannya dapat berbentuk tertulis (dirumuskan dalam rangkaian kata-kata yang tertata sesuai dengan sintaksis yang berlaku) maupun tidak tertulis (yang tampil dalam wujud perulangan perilaku yang sama tiap terjadi situasi yang sama). Bentuk penampilan kaidah hukum itu disebut aturan hukum (rechtsregel, legal rule). Kaidah hukum adalah ketentuan yang bermuatan keharusan bagi orang untuk, dalam situasi kemasyarakatan tertentu, melakukan perbuatan tertentu atau larangan melakukan perbuatan tertentu karena tuntutan keadilan menghendaki hal itu, yang dapat dipaksakan secara sah.1

Sedangkan batasan ruang lingkup berlakunya hukum perburuhan seperti yang dikatakan J.H.A Logeman dan dikutip

(3)

Aloysius Uwiyono, bahwa “Lingkup laku berlakunya suatu hukum adalah suatu keadaan/bidang di mana kaidah hukum itu berlaku” Menurut teori ini, lingkup laku Hukum Perburuhan berkaitan dengan 4 (empat) hal, yaitu: Lingkup Laku Pribadi (Personengebied), Lingkup Laku

Menurut Waktu (Tijsgebied), Lingkup

Laku Menurut Wilayah (Ruimtegebied), dan Lingkup Laku Menurut Hal Ihwal (Zaaksbied).2

Selanjutnya beberapa asas yang memberikan penguatan dalam perlindungan pekerja migran Indonesia, antara lain:

1. Asas keterpaduan, yaitu perlindungan pekerja migran Indonesia harus mencerminkan keterpaduan dan sinergitas seluruh pemangku kepentingan terkait;

2. Asas persamaan hak, bahwa calon pekerja migran Indonesia dan/atau pekerja migran Indonesia mempunyai hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak;

3. Asas pengakuan atas martabat dan hak asasi manusia, bahwa perlindungan pekerja migran Indonesia harus mencerminkan penghormatan terhadap keberadaan manusia sebagai

makhluk Tuhan Yang Maha Esa demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;

4. Asas demokrasi, bahwa pekerja migran Indonesia diberikan perlakuan dan hak yang sama dalam mengemukakan

pendapat, berserikat, dan berkumpul; 5. Asas keadilan sosial, dalam

perlindungan pekerja migran Indonesia dilakukan dengan menekankan kepada aspek pemerataan, tidak diskriminatif, dan keseimbangan antara hak dan kewajiban;

6. Asas kesetaraan dan keadilan gender, suatu keadaan pada saat perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak asasi dan potensinya untuk bekerja di luar negeri;

7. Asas non diskriminasi, bahwa perlindungan pekerja migran Indonesia dilakukan tanpa adanya pembedaan perlakuan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnis, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik;

8. Asas anti perdagangan manusia, adalah tidak adanya tindakan perekrutan,

pengangkutan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan calon

pekerja migran Indonesia atau pekerja migran Indonesia dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang

(4)

yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan calon pekerja migran Indonesia atau pekerja migran Indonesia tereksploitasi; 9. Asas transparan, bahwa perlindungan

pekerja migran Indonesia dilakukan secara terbuka, jelas, dan jujur;

10. Asas akuntabilitas, setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggaraan perlindungan pekerja migran Indonesia harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; dan

11. Asas berkelanjutan, bahwa perlindungan pekerja migran Indonesia harus memenuhi seluruh tahapan perlindungan yang meliputi sebelum, selama, dan setelah bekerja untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam seluruh aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun masa yang akan datang.

Seperti disinggung Adnan Hamid dalam konteks hukum dan ketatanegaraan, bekerja merupakan hak individu dan hak warga negara sebagaimana telah jelas dicantumkan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupannya yang layak.” Hak tersebut dinyatakan dengan tegas dalam berbagai produk hukum dan ketentuan hukum di tingkat nasional, bahkan diatur dalam kaidah-kaidah internasional, misalnya:3

1. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, Pasal 23 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk memperoleh pekerjaan, bebas memilih pekerjaan, syarat-syarat yang adil, dan menyenangkan dari suatu lingkungan pekerjaan dan mendapat perlindungan dari pengangguran.”;

2. Deklarasi Philadelphia (1944), ILO memberikan perlindungan hak-hak pekerja migran;

3. Konvensi ILO No. 97/1949 tentang Migrasi untuk Bekerja (Migration for Employment Convention);

4. Konvensi ILO No. 143/1975 tentang

Pekerja Migran (Migrant Workers

Convention); dan

5. Deklarasi ILO tentang Prinsip-Prinsip Fundamental dan Hak-Hak Saat Bekerja (1998) menyatakan bahwa “Seluruh anggota ILO, termasuk Indonesia, wajib menegakkan kesamaan hak pekerja atas perlindungan dan pengakuan tanpa memandang status dan sektor ekonomi.”

Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah penerapan perlindungan pekerja migran

Indonesia sebelum, selama, dan setelah bekerja?

2. Dapatkah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 melindungi pekerja migran Indonesia di luar negeri?

(5)

PEMBAHASAN

Erman Rajagukguk mengemukakan, bangsa-bangsa dari yang sekarang disebut negara-negara maju melaksanakan pembangunannya melalui tiga tahap

satu demi satu: unifikasi, industrialisasi, dan kesejahteraan sosial. Unifikasi akan

menciptakan stabilitas politik, suatu prasyarat yang diperlukan dalam memasuki tahap industrialisasi. Industrialisasi yang mendorong akumulasi modal dan pertumbuhan ekonomi adalah prasyarat untuk mencapai kesejahteraan sosial. Negara-negara berkembang membantah asumsi tersebut, tanpa kecuali, ingin mencapai tiga tahap sekaligus atau dalam waktu yang bersamaan. Indonesia kini tidak jauh dari pendirian di atas. Dalam waktu yang sama, bangsa ini sedang menghindarkan disintegrasi, memulihkan ekonomi, dan mendorong kesejahteraan sosial. Mencapai tiga tujuan sekaligus tidaklah mudah. Dalam kaitannya dengan tenaga kerja, bagaimana mendorong pertumbuhan ekonomi dan dalam waktu yang sama memberikan kesejahteraan kepada para pekerja, antara lain dengan upah yang memadai.4

Menyinggung tentang penerapan perlindungan pekerja migran Indonesia sebelum, selama, dan setelah bekerja, di samping juga kemampuan ketentuan hukum pendukungnya, akan kembali kepada persoalan apakah undang-undang yang mengatur telah benar-benar dibuat serta dilaksanakan untuk kepentingan

tersebut. Belum lagi aturan hukum itu berhadapan dengan perkembangan yang sangat cepat di semua bidang, tidak saja hukum, namun aspek ekonomi serta sosial.

Satjipto Rahardjo, menggambarkan bahwa pada dasarnya hukum atau perundang-undangan memiliki kecenderungan memihak golongan tertentu “Keadaan dan susunan masyarakat modern yang mengenal pelapisan yang makin tajam menambah sulitnya usaha untuk mengatasi kecenderungan hukum atau perundang-undangan untuk memihak tersebut.” Dalam suasana kehidupan sosial yang demikian itu, mereka yang dapat bertindak efektif adalah orang yang dapat mengontrol institusi-institusi ekonomi dan politik dalam masyarakat. Oleh karena itu, sulit untuk ditolak bahwa perundang-undangan itu lebih menguntungkan pihak yang makmur, yaitu mereka yang lebih aktif melakukan kegiatan-kegiatan politik.5

Bayu Dwi Anggono menegaskan, bahwa untuk menghindari pembentukan undang-undang yang memiliki kecenderungan memihak dan menguntungkan pihak/kelompok berkuasa,

dan untuk menghindari pembentukan undang-undang yang represif dan mengancam kebebasan warga negara, serta untuk menjamin efektif berlakunya suatu undang-undang, maka pembentuk undang-undang harus memperhatikan dan memedomani prinsip-prinsip atau asas-asas tertentu dalam membentuk undang-undang. Pandangan Abeer Bashier

4. Aloysius Uwiyono, Hak Mogok di Indonesia (Jakarta: Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Program Pascasarjana, 2001), hlm. vii.

(6)

Dababneh dan Fid Ahmad Al-Husban, terkait pentingnya penggunaan asas-asas atau prinsip-prinsip tertentu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah:6

The public authority specialized in legislation must comply with a set of principle and criteria that constitutes a complete and integrated group designed for the enactment of legislations that are characterized with universality and intellectivity on the one hand, and on the other must comply with the higher and more supreme legislations in conformity with the principle of hierarchy of the legal rules and the principle of the supremacy of the law.”

Kelemahan-kelemahan yang terjadi di dalam praktik ternyata cukup tinggi, sehingga memang diperlukan sebuah ketentuan hukum yang baru menggantikan peraturan sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Dewasa ini peran pemerintah daerah dalam memberikan perlindungan kepada pekerja migran Indonesia dilakukan mulai dari desa, kabupaten/kota, dan provinsi, sejak sebelum bekerja sampai setelah bekerja. Pemerintah daerah berperan mulai dari

pemberian informasi permintaan (job

order) yang berasal dari perwakilan Republik Indonesia, pemberi kerja, dan mitra usaha di luar negeri. Pemerintah daerah memberikan layanan terpadu satu

atap serta memfasilitasi keberangkatan dan kepulangan pekerja migran Indonesia. Pekerja migran Indonesia yang diberangkatkan harus memiliki kompetensi atau keahlian. Begitu juga pada pekerja migran Indonesia setelah bekerja, pemerintah daerah bekerja sama dengan pemerintah pusat memberikan pelatihan kewirausahaan kepada pekerja migran Indonesia purna dan keluarganya.

Calon serta pekerja migran Indonesia memiliki hak, yaitu mendapatkan pekerjaan di luar negeri dan memilih pekerjaan sesuai dengan kompetensinya, dapat memperoleh akses peningkatan kapasitas diri melalui pendidikan dan pelatihan kerja, memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja, tata penempatan, dan kondisi kerja di luar negeri. Di samping itu, memperoleh pelayanan yang profesional dan manusiawi serta perlakuan tanpa diskriminasi pada saat sebelum bekerja, selama, dan setelah bekerja, dapat menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianut, juga memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di negara tujuan penempatan dan/atau kesepakatan kedua negara dan/atau perjanjian kerja.

Selain itu, memperoleh perlindungan dan bantuan hukum atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia dan di negara tujuan penempatan. Di dalam perjanjian kerja juga wajib dijelaskan adanya hak dan kewajiban kepada pekerja migran

(7)

Indonesia, sehingga yang bersangkutan dapat memahaminya. Hal yang tidak kalah penting adalah memperoleh akses berkomunikasi dan menguasai dokumen perjalanan selama bekerja. Sering terjadi dalam berbagai kasus bahwa dokumen perjalanan tidak berada di tangannya.

Selanjutnya, hak berserikat dan berkumpul di negara tujuan penempatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara tujuan penempatan. Hal yang sangat penting adalah memperoleh jaminan perlindungan keselamatan dan keamanan kepulangan ke daerah asal dan/ atau memperoleh dokumen dan perjanjian kerja calon pekerja migran Indonesia dan/ atau pekerja migran Indonesia.

Sedangkan kewajiban pekerja migran Indonesia antara lain, yaitu menaati peraturan perundang-undangan, baik di dalam negeri maupun di negara tujuan penempatan, juga menghormati adat-istiadat atau kebiasaan yang berlaku di negara tujuan penempatan. Perjanjian kerja yang telah dibuat harus ditaati dan dilaksanakan, serta melaporkan kedatangan, keberadaan, dan kepulangannya kepada perwakilan Indonesia di negara tujuan penempatan.

Perlindungan sebelum bekerja bagi pekerja migran Indonesia dapat dilihat dari segi administratif serta adanya perlindungan yang bersifat teknis, paling sedikit meliputi: pemberian sosialisasi dan diseminasi informasi, peningkatan kualitas calon melalui pendidikan dan pelatihan kerja, jaminan sosial, fasilitas pemenuhan

hak calon pekerja migran Indonesia, penguatan peran pegawai fungsional pengantar kerja, pelayanan penempatan di layanan terpadu satu atap penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia, serta pembinaan dan pengawasan. Hal yang perlu diperhatikan adalah permintaan pekerja migran Indonesia tersebut harus berasal dari perwakilan Indonesia di negara tujuan penempatan atau mitra usaha di negara tujuan penempatan dan/atau calon pemberi kerja, baik perseorangan maupun badan usaha asing di negara tujuan penempatan. Di samping itu, informasi

tersebut harus diverifikasi oleh atase

ketenagakerjaan dan/atau pejabat dinas luar negeri yang ditunjuk.

Secara garis besar, perlindungan selama bekerja meliputi: adanya pendataan dan pendaftaran oleh atase ketenagakerjaan atau pejabat dinas luar negeri yang ditunjuk, pemantauan dan evaluasi terhadap pemberi kerja, pekerjaan, dan kondisi kerja, memfasilitasi pemenuhan hak pekerja migran Indonesia, memfasilitasi penyelesaian kasus ketenagakerjaan, juga pemberian layanan jasa ke konsuler, pendampingan mediasi, advokasi, dan pemberian bantuan hukum berupa pemberian fasilitas jasa advokat oleh pemerintah pusat dan/atau perwakilan Indonesia serta perwalian sesuai dengan hukum negara setempat, dan memfasilitasi repatriasi. Tentu saja perlindungan dimaksud dilakukan dengan tidak mengambil alih tanggung jawab pidana dan/atau perdata pekerja migran Indonesia dan dilaksanakan sesuai dengan

(8)

ketentuan perundang-undangan, hukum negara tujuan penempatan, serta hukum dan kebiasaan internasional.

Selanjutnya, perlindungan setelah bekerja meliputi: fasilitas kepulangan sampai daerah asal, penyelesaian hak pekerja migran Indonesia yang belum terpenuhi, fasilitas pengurusan pekerja migran Indonesia yang sakit dan meninggal dunia, rehabilitasi sosial dan reintegrasi sosial dan pemberdayaan pekerja migran Indonesia dan keluarganya. Perlindungan terakhir ini dilakukan oleh pihak pemerintah pusat bersama-sama dengan pemerintah daerah.

Kepulangan pekerja migran Indonesia dapat terjadi karena berakhirnya perjanjian kerja, cuti, pemutusan hubungan kerja sebelum masa perjanjian kerja berakhir, mengalami kecelakaan kerja dan/atau sakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan pekerjaan lagi, mengalami penganiayaan atau tindak kekerasan lainnya, terjadi perang, bencana alam, atau wabah penyakit di negara tujuan penempatan, deportasi oleh pemerintah negara tujuan penempatan, meninggal dunia di negara tujuan penempatan, dan/atau sebab lain yang menimbulkan kerugian pekerja migran Indonesia.

Berdasarkan data yang ada, lebih dari 75 persen pekerja migran asal Indonesia adalah wanita. Ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya partisipasi wanita sebagai pekerja migran:7

1. Pendapatan suami yang tidak cukup untuk menghidupi keluarga;

2. Tekanan keluarga, terhadap anak perempuan, misalnya, yang dianggap sebagai sumber pendapatan yang dapat diandalkan bagi keluarga melalui kiriman wesel (remittances); 3. Wanita dan gadis dipersiapkan untuk

menjadi pekerja migran, menyusul ketiadaan peran alternatif yang mungkin di kampungnya, kecuali di wilayah perkotaan sebagai pembantu rumah tangga;

4. Janda, cerai, atau sendirian yang memiliki peluang ekonomi yang terbatas di kampungnya; dan

5. Migrasi merupakan substitusi perceraian di masyarakat yang melarang atau tidak menerima perceraian.

Perlindungan pekerja migran Indonesia dalam uraian di atas masih terdapat kekurangan terutama pada penegakan hukumnya. Walaupun ketentuan perundang-undangan telah disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017, tetapi sudah dapat dibaca bahwa persoalan mendasar tidak adanya konsekuensi dalam penegakan hukum, sehingga rasa keadilan masih belum terasa. Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 ini pun perlu segera diterbitkan paling lama 2 (dua) tahun sejak undang-undang ini diundangkan. Keterlambatan pengundang-undangan peraturan pelaksanaan akan membuat aturan hukum bagi pekerja migran Indonesia menemui kendala. Oleh karena melalui penegakan hukum

(9)

konvensional tidak mungkin berjalan seperti diinginkan, maka perlu terobosan baru melalui pendekatan hukum progresif.

Menurut Yudi Kristiana, hukum progresif menjadi pilihan yang menarik dalam penegakan hukum, karena penegak hukum diberi ruang yang luas untuk berkreativitas, mengambil inisiatif, dan memaknai hukum sesuai dengan tujuan hukum dan masyarakat. Penegak hukum

akan mengalami kebebasan cara berfikir

hukum yang selama ini membelenggu dalam pencapaian tujuan hukum. Dalam perspektif hukum progresif, meskipun hukum tidak dapat melepaskan diri dari ciri normatif sebagai rules, tetapi hukum juga sebagai suatu perilaku (behavior). Artinya, walaupun bekerjanya hukum harus dibingkai dengan peraturan perundang-undangan yang terangkai dalam sebuah sistem, namun manusia penegak hukumlah yang akan menggerakkan peraturan itu. Walau bagaimanapun, peraturan itu hanya kata-kata dan rumusan di atas kertas yang nyaris tidak berdaya sama sekali sehingga sering disebut sebagai black letter law,

law on paper, atau law in the books. Hukum hanya dapat menjadi kenyataan dan terwujud apabila ada campur tangan penegak hukum untuk menggerakkannya.8

Selanjutnya Jamal Wiwoho mengemukakan, pandangan model hukum progresif menurut Satjipto Rahardjo, merupakan suatu penjelajahan suatu gagasan yang berintikan 9 (sembilan) pokok pikiran sebagai berikut:9

1. Hukum menolak tradisi analytical

jurisprudence atau rechts dogmatic dan berbagi paham atau aliran seperti legal realism, frelerechtlehre, sociological jurisprudence, interressenjurisprudenz

di Jerman, teori hukum alam, dan

critical legal studies;

2. Hukum menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melaui institusi-institusi kenegaraan; 3. Hukum progresif ditujukan untuk

melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum;

4. Hukum menolak status quo, serta

tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani melainkan suatu institusi yang bermoral;

5. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia bahagia;

6. Hukum progresif adalah, “Hukum yang pro rakyat” dan “hukum yang pro keadilan”;

7. Asumsi dasar hukum progresif adalah bahwa, “Hukum adalah untuk manusia” bukan sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki serta bukan manusia yang dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam sistem hukum;

8. Yudi Kristiana, “Dari Peleburan untuk Keadilan,” dalam Pemikiran Hukum Spiritual Pluralistik, Sisi Lain Hukum Yang Terlupakan, Sulaiman (ed) (Yogyakarta: Thafa Media, 2016), hlm. 47.

(10)

8. Hukum bukan merupakan suatu

institusi yang absolut dan final

melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang merupakan penentu; dan

9. Hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process,

law in the making). PENUTUP

1. Penerapan perlindungan pekerja migran Indonesia dapat terlaksana dengan baik, asalkan pihak yang terkait sungguh-sungguh menjalankan aturan perundang-undangan yang telah disepakati. Kegagalan dapat muncul, bilamana para aktor di dalamnya justru menciptakan masalah. Semuanya kembali pada banyak faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap perlindungan pekerja migran Indonesia. Secara administratif dan teknis, wajib dikawal dengan aparat birokrat serta swasta yang terlibat dengan memperhatikan butir aturan yang telah ditetapkan.

2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 beserta aturan turunannya akan menjadi pegangan bagi atase ketenagakerjaan dan/atau pejabat luar negeri yang ditunjuk. Namun, hal ini tidaklah mudah mengingat kompleksitas perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri sangat beragam, serta dapat muncul hal-hal yang tidak terduga sebelumnya. Atase ketenagakerjaan dan/atau pejabat luar

negeri yang menangani masalah ini seharusnya memiliki keterampilan serta keahlian di bidangnya. Penegakan hukum terhadap pekerja migran Indonesia di luar negeri harus dilakukan melalui pengawasan yang ketat.

DAFTAR PUSTAKA Buku

Anggono, Bayu Dwi. Perkembangan

Pembentukan Undang-Undang di Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2014.

Hamid, Adnan. Menuju Kebijakan yang

Adil Bagi Pekerja Migran. Jakarta: FHUP Press, 2012.

Kristiana, Yudi. “Dari Peleburan untuk

Keadilan.” dalam Pemikiran Hukum

Spiritual Pluralistik, Sisi Lain Hukum yang Terlupakan, Sulaiman (ed). Yogyakarta: Thafa Media, 2016.

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.

Uwiyono, Aloysius. Hak Mogok di

Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Program Pascasarjana, 2001.

———. et al. Asas-Asas Hukum Perburuhan. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Referensi

Dokumen terkait

Fungsi transfer yang didapatkan kemudian digunakan sebagai persamaan dalam program pada sensor serat optik untuk mengukur konsentrasi ion logam berat timbal yang terbaca

Berdasarkan fenomena ini muncul beberapa pertanyaan bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap pelaksanaan tradisi mangande olif-olif, yang merupakan studi kasus pemberian

Model 2 pada penelitian ini menjelaskan apakah variabel Kepercayaan Diri dan Ketersediaan Informasi memiliki pengaruh atau tidak terhadap Pengambilan Keputusan melalui

Terlebih lagi, dengan langkah PHD yang meningkatkan layanan kepada segmen dewasa muda urban, Perseroan akan terus mendedikasikan sumber dayanya untuk meningkatkan penggunaan

Analisis wacana kritis (AWK) adalah sebuah upaya atau proses untuk memberi penjelasan (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok yang

2079 Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya pada Program Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan.

Sehingga meskipun permasalahan program linier dapat diselesaikan dengan menggunakan metode grafik, akan tetapi untuk permasalahan program linier dengan lebih dari 3

pelanggar menyingkirkan, mencegah, melakukan atau mengembalikan pada keadaan semula apa yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.. Penarikan