• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Sipatokkong BPSDM Sulawesi Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Sipatokkong BPSDM Sulawesi Selatan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

262

JSBPSDM 1(3)(2020) 262-269

Jurnal Sipatokkong BPSDM Sulawesi Selatan

https://ojs.bpsdmsulsel.id/

Upaya preventif rasisme terhadap anak usia dini melalui Kartu Pintar

1Sitti Ammas, 2Mutmainnah

1BPSDM Provinsi Sulawesi Selatan 2PGSD FIP UNM

Email: sittiammasbpsdm2020@gmail.com, mutmainnahhfzh111@gmail.com

ABSTRAK

Tulisan ini mendeskripsikan tentang permainan kartu pintar balita dalam mengembangkan nilai-nilai karakter bagi anak. Tujuan dari tulisan ini ialah lebih luas yakni sebagai upaya preventif atau pencegahan sikap rasisme khususnya sejak usia dini. Sehingga, besar harapan penulis agar sikap rasisme dapat ditekan sejak dini agar menciptakan kehidupan yang damai dan sejahterah.

Kata kunci: Multikultural, Karakter, Rasisme, Kartu Balita Pintar

© 2020 Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi Sulawesi Selatan

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara di Asia Tenggara, yang terletak di garis khatulistiwa dan berada di antara benua Australia dan Asia serta antara Samudera Hindia dan Pasifik. Oleh karena letaknya yang berada antara dua benua dan dua samudera, Indonesia juga disebut sebagai Nusantara yaitu Kepulauan Antara. Indonesia terdiri dari 17.508 pulau yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia secara geografis membentang dari 6 derajat LU (Lintang Utara) sampai 11 derajat LS (Lintang Selatan) dan 95 derajat BT (Bujur Timur) sampai 141 derajat BT (Bujur Timur). Tiga per empat wilayahnya adalah laut (5,9 juta km2). Indonesia adalah negara terpanjang

kedua setelah negara Kanada dengan panjang garis pantai mencapai 95.161 km.

Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar yang ada di dunia, hal ini dapat dilihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis Indonesia yang begitu kompleks, beragam, dan luas. Menurut Kusumohamidjojo, Indonesia sebagai negara multikultural memiliki kelompok etnis, budaya, agama dan lainnya dalam jumlah yang besar, yang masing-masing plural (jamak) dan sekaligus heterogen atau beragam. Kemajemukan merupakan suatu kewajaran yang tumbuh dan berkembang sebagai warisan dari nenek moyang bangsa Indonesia yang harus disikapi dengan toleransi.

Keberagaman masyarakat multikultural sebagai kekayaan bangsa yang dimiliki Indonesia di sisi lain sangat rawan memicu terjadinya konflik dan perpecahaan. Sanada dengan yang dikemukakan oleh Nasikum (2007: 33) bahwasanya kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dilihat dari dua cirinya yang unik, pertama secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan perbedaan suku bangsam adat, agama, serta perbedaan kedaerahan, dan yang kedua secara vertikal yakni antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup (Lestari, 2015). Akan tetapi, di sisi lain ada pihak yang realitas multikultural tersebut berhadapan dengan kebutuhan yang mendesak agar merekonstruksi kembali kebudayaan nasional yang telah lama dimiliki Indonesia menjadi integrating force yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut (Arifudin, 2007).

Bhiku Parekh (dalam Azra 2006: 62) mengatakan bahwa masyarakat multikultural ialah masyarakat yang terdiri atas beberapa macam komunitas budaya dan segala kelebihannya, terdapat sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan. Indonesia memiliki kemajemukan yang sangat banyak, salah

(2)

263 satunya ialah kemajemukan suku. Kemajemukan suku ini merupakan salah satu ciri masyarakat Indonesia yang patut untuk dibanggakan. Akan tetapi, terdapat hal yang sangat krusial yang kebanyakan dari kita tidak menyadari bahwasanya kemajemukan tersebut telah menyimpan banyak potensi terjadinya sebuah konflik yang dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut telah terbukti bahwasanya di beberapa wilayah di negara tercinta kita Indonesia terjadi konflik seperti di Sampit (antara Suku Madura dan Dayak), di Poso (antara Suku Kristiani dan Muslim), di Aceh (antara GAM dan RI), atau pun perkelahian pelajar antarsekolah. Hal ini juga menjadikan adanya perbedaan ras.

Menurut Horton dan Hunt (dalam Narwoko, 2006: 195), ras adalah sekelompok manusia yang memiliki perbedaan dengan kelompok-kelompok manusia lainnya, mulai dari segi ciri-ciri fisik bawaannya, dalam banyak hal juga ditentukan oleh pengertian yang digunakan dalam masyarakat tersebut. Para ahli antropologi fisik umumnya membedakan ras itu dari lokasi geografis, ciri-ciri fisik seperti warna mata, warna kulit, bentuk wajah, warna rambut, bentuk kepala dan prinsip evolusi rasial. Dari perbedaan ras yang ada, maka diturunkanlah sebuah istilah yaitu rasisme. Rasisme adalah suatu gagasan atau teori yang mengatakan bahwa kaitan kausal antara ciri-ciri jasmaniah yang diturunkan dan ciri-ciri tertentu dalam hal kepribadian, intelek, budaya atau gabungan dari semua itu, menimbulkan superioritas dari ras tertentu terhadap yang lain (Daljdoeni, 1991:81).

Manusia diciptakan oleh Allah dengan karakter dan ciri-ciri yang berbeda-beda. Manusia tidak mempunyai hak untuk memilih warna kulit dan bentuk fisik ketika dilahirkan karena semua itu merupakan karunia Allah. Perbedaan tersebut bukan suatu hal yang berfungsi menjadikan manusia beranggapan suatu ras lebih tinggi derajatnya dibandingkan ras lainnya, namun keberagaman tersebut harusnya membuat manusia satu dengan manusia lainnya belajar dan saling mengenal antara etnis dan ras lainnya.

Kemajemukan dapat dijaga dengan baik yakni apabila masyarakatnya memiliki karakter-karakter yang baik. Dan karakter-karakter yang baik itu senantiasa diperoleh dari yang namanya pendidikan, sehingga sangat diperlukan adanya pendidikan karakter. Menurut Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Indonesia (ALPTKI), pendidikan karakter perlu dikembangkan sebagai berikut: (1) Karakter sebagai perekat kultural yang memuat nilai-nilai seperti kerja keras, kejujuran, disiplin, etika, estetika, komitmen, rasa kebangsaan dll, (2) Pendidikan karakter merupakan proses berkelanjutan, (3) Pendidikan karakter sebagai landasan legal formal untuk tujuan pendidikan dalam ketiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik, (4) Proses pembelajaran sebagai wahana pengembangan karakter dan IPTEKS, (5) Melibatkan beragam aspek pembangunan peserta didik, dan (6) Sekolah menjadi lingkungan pembudayaan terhadap peserta didik (Assidiqi, 2015).

KONSEP

1. Masyarakat Multikultural

Kehidupan yang multikultural, berarti pemahaman yang berdimensi multikultural yang harus dihadirkan untuk memperluas wacana pemikiran keagamaan manusia yang mungkin selama ini masih mempertahankan “egoisme” keagamaan dan kebudayaan. Menurut Haviland sendiri, multikultural dapat dimaknai sebagai pluralitas kebudayaan dan agama. Jika suatu kebudayaan itu telah plural, maka manusia akan dituntut untuk memelihara pluralitas agar terjadi kehidupan yang aman, damai, sejahterah. Secara idealnya, pluralisme kebudayaan dapat dimaknai sebagai bentuk penolakan terhadap kefanatikan, purbasangka, rasime, tribalisme, dan menerima secara inklusif keanekaragaman yang ada (Ibrahim, 2008).

Adanya sikap saling menerima dan menghargai nilai, budaya, keyakinan yang berbeda tidak otomatis akan berkembang dengan sendirinya, akan tetapi harus melalui dengan pendidikan. Setiap Individu selalu ada kecenderungan yang mengharapkan orang lain menjadi seperti dirinya. Sikap penghargaan terhadap perbedaan yang ada yang direncana dengan baik, akan melatih dan menyandarkan kepada generasi muda akan pentingnya penghargaan kepada orang lain dan budaya yang bahkan melatihnya di dalam kehidupan sehingga ketika mereka dewasa telah memiliki sikap tersebut (Paul Suparno, Kompas).

(3)

264 Parekh mengklasifikasikan lima model multikulturalisme dalam konteks kehidupan yang plural, (Azyumardi Azra, 2005). Yang pertama ialah “Multikulturalisme Isolasionis” yakni mengacu kepada masyarakat berada kelompok kultural yang menjalankan hidup secara otonom dan terlibat di dalam interaksi yang minimal satu sama lain. Contohnya adalah masyarakat yang berada pada sistem “milled” dapat dijumpai di negara Turki Utsmani atau masyarakat Amish di negara Amerika Serikat. Kelompok ini menerima keragaman, akan tetapi di saat yang sama berusaha mempertahankan budaya mereka secara terpisah dari masyarakat lain pada umumnya.

Kedua, “Multikultural Akomodatif”, yakni masyarakat plural yang mempunyai kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural kaum minoritas. Mereka merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk tetap mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka. Sebaliknya mereka tidak boleh menentang kultur dominan. Kelompok mutikultural akomodatif ini dapat dijumpai di Inggris, Prancis, dan beberapa Negara Eropa lainnya.

Ketiga, “Multikultural Otonomis”, yakni masyarakat plural yang berada dalam kelompok-kelompok kultural utama yang kemudian berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya yang dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif dapat diterima. Kelompok-kelompok kultural ini memiliki hak yang sama dan mereka menantang kelompok dominan juga senantiasa berupaya menciptakan masyarakat yang semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar. Kelompok ini mendapat dukungan dari kelompok Luebecois di Kanada dan muslim imigran di Eropa untuk bisa menerapkan syariat agama dan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Islam dan sebagainya.

Keempat, “Multikultural Kritikal” atau “Interaktif”, yakni masyarakat plural yang tidak terlalu perhatian dengan kehidupan kultural otonom. Kelompok minoritas menantang kelompok dominan yang cenderung menerapkan budaya mereka dan mengorbankan budaya kelompok minoritas baik secara intelektual maupun politis. Tujuan mereka ialah menciptakan iklim yang kondusif bagi penciptaan sebuah kultur kolektif baru yang egaliter secara genuine. Jenis kelompok kultur ini diperjuangkan oleh masyarakat kulit hitam di Amerika Serikat, Inggris, dan lainnya.

Kelima, “Multikultural Kosmopolitan“, di manan kelompok ini senantiasa berusaha menghapuskan batas-batas kultural yang ada secara keseluruhan dengan tujuan untuk menciptakan sebuah masyarakat yang di mana setiap individunya tidak lagi terikat dan memiliki komitmen terhadap budaya tertentu. Pendukung jenis ini umumnya ialah kaum intelektual diasporik dan intelektual liberal yang cenderung pada postmodernis.

2. Rasis dan Rasisme

Menurut Grosse, ras dimaknai segolongan manusia dalam satu kesatuan yang memiliki kesamaan sifat jasmani dan rohani yang diturunkan sehingga berdasarkan hal tersebut dapat sebagai pembeda dengan kesatuan atau golongan yang lainnya. (Daldjoeni, 1991, p.1). ras ini seringkali dijadikan sebagai tolok ukur di dalam sebuah perpecahan, padahal tidak selamanya perbedaan itu buruk.

Istilah ras ini muncul diketahui sekitar tahun 1600. Ketika Francois Bernier seorang antropolog berkebangsaan Perancis, pertama kali mengemukakan gagasannya mengenai pembedaan manusia berdasarkan kategori atau karateristik biologisnya yaitu warna kulit dan bentuk wajah. (Liliweri, 2005, p.21) para antropologis mengemukakan tiga karakter yang membedakan tiap-tiap ras, yaitu:

1. Dapat dilihat dari kesesuaian dengan keadaan anatomi, yakni warna kulit, tekstur rambut, bentuk atau ukuran badan dan bentuk muka atau kepala.

2. Dapat dilihat dari perspektif fisiologisnya seperti misalnya penyakit bawaan dan perkembangan hormonal.

3. Dapat dilihat dari komposisi darah dalam tubuhnya.

Pembagian kategori ras ini dapat mengalami perubahan, tidak selamanya sesuai dengan karakter ras yang dimiliki masing-masing, semua karakter atau ras ini juga dapat dilihat dari kemampuan intelligence-nya, tempramennya, dan karaktek-karakter individual yang lain. Lingkungan sosial adalah faktor krusial dalam pembentukan pribadi atau sifat dari sebuah ras (Pratama, 2016).

(4)

265 Ras dan etnis merupakan sebuah konsep yang berbeda di mana ras lebih merujuk kepada karakteristik biologis dan fisik sedangkan etnis merupakan konsep kultural yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol dan praktik kultural (Barker, 2004: 203-205).

3. Karakter

Pengertian Karakter dan Pendidikan Karakter

Kata karakter, awalnya berasalnya dari bahasa Yunani yakni charassein yang artinya melukis atau menggambar, hal ini seperti pemisalan orang yang melukis kertas, memahat batu atau metal. Berakar dari definisi tersebut, character atau charassein kemudian diartikan atau dimaknai sebagai tanda atau ciri khas yang khusus dan karenanya melahirkan suatu pandangan bahwa karakter adalah pola perilaku yang bersifat individual, keadaan moral seseorang. Setelah melewati fase anak-anak, seseorang akan memiliki karakter, cara yang dapat diramalkan bahwa karakter seseorang berkaitan dengan perilaku yang ada di sekitar dirinya (Kevin Ryan, 1999: 5).

Menurut Kevin Ryan, Karakter yang baik ialah yang berkaitan dengan mengetahui yang baik (knowing the good), mencintai yang baik (loving the good), dan melakukan yang baik (acting the good). Ketiga ideal ini antara satu sama lain sangat berkaitan. Pemisalan pada seseorang yang lahir dalam keadaan bodoh, dorongan-dorongan primitif yang telah ada dalam dirinya besar kemungkinan akan memerintahkan atau menguasai akal sehatnya. Maka, efek yang mengiringi pola pengasuhan dan pendidikan seseorang akan dapat mengarahkan kecenderungan, perasaan, dan nafsu besar menjadi beriringan secara harmoni atas bimbingan akal sehat dan pastinya dengan ajaran agama (Sudrajat, 2011).

Menurut Hermawan Kertajaya (2010), karakter adalah “ciri khas” yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut, serta merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seseorang dalam bertindak, bersikap, berucap, dan merespon sesuatu. Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia, karakter didefinisikan sebagai tabiat-tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi yang membedakan seseorang dengan yang lainnya. Sedangkan dari kacamata psikologi, karakter adalah kepribadian yang ditinjau dari titik tolak etis atau moral misalnya kejujuran seseorang dan umumnya berkaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap. Sehingga pendidikan karakter adalah sesuatu yang sangat krusial dan mesti dipahami serta diaplikasikan secara kaffah atau menyeluruh. Individu yang memiliki karakter yang kokoh, akan memiliki momentum untuk mencapai tujuan. Begitu pula sebaliknya, mereka yang karakternya mudah goyah, akan sulit atau lebih lambat untuk bergerak dan tidak bisa menarik orang lain untuk bekerja sama dengannya. Secara harfiah karakter dalam dimaknai sebagai “kualitas mental atau moral ”kekuatan moral, nama dan reputasi” (Lestari A. S., 2014).

Karakter memberikan gambaran tentang suatu bagsa atau negara yang menjadi penanda, penciri, sekaligus pembeda suatu bangsa dengan bangsa lainnya. Karakter memberikan arahan mengenai bagaimana bangsa itu dalam menapaki dan melalui suatu zaman yang kemudian mampu mengantarkannya pada suatu derajat tertentu. Bangsa yang besar ialah bangsa yang memiliki karakter yang kokoh, dengan karakter tersebut mampu membangun sebuah peradaban perkembangan dunia.

Alasan Perlu akan Pendidikan Karakter

Menurut Lickona ada tujuh alasan mengapa diperlukan adanya pendidikan karakter. Ketujuh alasan yang dimaksud ialah : (1) Cara terbaik dalam menjamin akan-anak (peserta didik) memiliki kepribadian yang baik dalam kehidupannya. (2) Cara untuk meningkatkan prestasi akademik peserta didik. (3) Sebagian peserta didik tidak mampu membentuk karakternya yang kuat di tempat lain. (4) Sebagai persiapan bagi peserta didik untuk menghormati pihak atau orang lain agar mampu hidup dalam masyarakat yang beragam. (5) Berangkat dari akar permasalahan erat kaitannya dengan problem moral-sosial: ketidaksopanan, ketidakjujuran, kekerasan, pelanggaran kegiatan seksual, dan etos kerja (belajar) yang rendah. (6) Sebagai persiapan terbaik untuk menyongsong perilaku di tempat kerja. (7) Pembelajaran nilai-nilai sebagai bagian dari kerja peradaban.

Membangun Karakter

Pendidikan adalah sebuah proses untuk mengubah jati diri seorang peserta didik untuk lebih maju. Menurut para ahli, ada beberapa pengertian yang mengupas tentang definisi dari pendidikan

(5)

266 itu sendiri di antaranya menurt John Dewey, pendidikan adalah merupakan salah satu proses pembaharuan makna pengalaman. Sedangkan menurut H. Horne, pendidikan merupakan proses yang terjadi terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang baik secara fisik maupun mental atau psikis, yang bebas yang bersalah dari kesadaran kepada Tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar, intelektual, emosional, dan kemanusiaan dari manusia (Widiyati, 2013).

Ada banyak cara di dalam menumbuhkan karakter, terutama menumbuhkan karakter-karakter yang positif dan kokoh, beberapa di antaranya yang dapat penulis paparkan ialah sebagai berikut:

a. Melalui Keteladanan

Sebagai seorang muslim, Agama Islam telah memberikan solusi di dalam menumbuhkan karakter yang baik di dalam diri seseorang. Dari sekian banyak metode yang ada di luar sana, penulis berasumsi bangsa metode inilah yang paling kuat. Karena bukan tanpa dasar, tetapi melalui keteladanan sangat dapat memberikan gambaran secara nyata bagaimana seseorang harus bertindak. Keteladanan memiliki arti ada kesediaan pada diri-diri individu untuk menjadi contoh dan miniatur yang sesungguhnya dari sebuah perilaku, di mana hal ini harus bermula dari diri sendiri. Individu yang demikian harus memikirkan bagaimana menjadi teladan yang baik sehingga mampu memotivasi dan menginspirasi dalam semangat ilmu, amal, dan akhlak yang mulia. Di dalam Islam, satu-satunya manusia terbaik yang dijadikan teladan ialah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Memberikan contoh kepada anak-anak bagaimana bersikap yang terbaik bukan hanya tugas orang tua, tetapi juga tugas guru, kepala sekolah, masyarakat tempat anak tumbuh dan berkembang dan juga pemimpin. Kesemuanya haruslah memberikan teladan yang baik terhadap anak, agar anak mendewasa bersama teladan yang baik yang akhirnya menjadi karakter positif yang mengakar kuat pada diri anak. Mulailah dengan hal-hal yang sederhana yang mungkin terkesan sepele, remeh, dan kecil, karena hal-hal kecil tersebut akan membentuk sebuah puzzle yang tersusun rapi dalam memori bawah dasar anak atau peserta didik sehingga hal itu menjadi sebuah dasar bagi hal-hal yang lebih besar lagi.

b. Melalui simulasi praktek (experiential learning)

Setiap informasi di dalam proses belajar akan diterima dan diproses melalui beberapa jalur dalam otak dengan tingkat penerimaan yang beragam. Terdapat 6 jalur menuju otak, antara lain melalui apa yang dilihat, didengar, dikecap, disentuh, dicium, dan dilakukan. Oleh sebab itulah, membangun karakter dapat dilakukan dengan menggunakan simulasi praktik, melalui bermain peran (role play), demonstrasi sikap yaitu mengajak anak untuk memainkan peran sebuah sikap dan karakter positif tertentu, dapat dilakukan dalam bentuk drama atau pun tindakan nyata dengan berinteraksi pada sebuah sikap tertentu secara langsung.

c. Menggunakan Metode Repeat Power

Repeat Power adalah salah satu cara untuk mencapai sukses dengan menanamkan sebuah pesan positif pada diri kita atau diri peserta didik secara terus menerus tentang apa yang ingin kita raih. Otak kita akan memerlukan suatu provokasi yang dapat mendorongnya memberikan suatu instruksi positif pada diri untuk melakukan tindakan-tindakan positif yang dapat mengantarkan pada sebuat realitas sukses yang diharapkan. Pemisalan pada air yang halus dan lembut, namun ketika dijatuhkan secara terus menerus pada titik tertentu di suatu batu atau benda keras lainnya maka pastilah batu atau benda keras lainnya akan hancur atau setidaknya akan berlobang (Widiyati, 2013).

Tujuan Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter ialah upaya yang dilakukan untuk membentuk karakter yang positif dan dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Samani & Hariyanto (2013: 43) bahwa karakter sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain, serta diwujudkan dalam bentuk sikap dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.

Tujuan dari pendidikan karakter sendiri ialah untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan yang mengarah pada pendidikan karakter dan akhlak mulia bagi pembelajar (peserta didik) secara kaffah, terpadu, dan seimbang, sesuai dengan standar kompetensi lulusan pada setiap

(6)

267 satuan pendidikan. Melalui pendidikan karakter harapan yang muncul ialah pembelajar mampu secara mandiri meningkatkan, mengembangkan dan menggunakan pengetahuan yang telah dimilikinya, mengkaji, menginternalisasikannya, serta mempersonalisasikan nilai-nilai karakter dan akhlak mulia di dalam perilaku sehari-hari (Ramdhani, 2014).

Usia dini merupakan periode awal yang paling krusial dan fundamental sepanjang rentang pertumbuhan serta perkembangan kehidupan manusia. Pada masa ini ditandai oleh berbagai periode penting dan mendasar bagi kehidupan anak selanjutnya sampai periode akhir perkembangannya. The Golden Age atau periode keemasan adalah salah satu periode yang menjadi penciri masa usia dini. Banyak konsep dan fakta yang telah ditemukan yang memberikan penjelasan mengenai periode keemasan pada usia dini, di mana semua potensi anak berkembang paling pesat. Beberapa konsep yang disandingkan untuk masa anak usia dini adalah masa eksplorasi, maka identifikasi atau imitasi, masa peka, dan masa bermain (Andriani, Permainan Tradisional Dalam Membentuk Karakter Anak Usia Dini, 2012).

4. Permainan

Istilah media berasal dari bahasa Latin yaitu medius yang secara harfiah berarti tengah, perantara atau pengantar. Media apabila kita maknai dengan perspektif yang lebih luas dapat berarti manusia, materi, atau kejadian yang dapat membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, ketrampilan atau sikap (Nugrahani, 2007).

Permainan dapat menjadi sebuah kesibukan yang dipilih sendiri yang di dalamnya tidak terdapat ada unsur paksaan, desakan, tekanan oleh rasa tanggung jawab. Tujuan permainan terletak pada permainan itu sendiri dan dicapai pada waktu bermain. Anak-anak menyukai permainan karena di dalam diri mereka terdapat dorongan batin dan dorongan mengembangkan diri. Bermain (play) merupakan istilah yang digunakan secara bebas sehingga makna esensinya menjadi hilang, hal ini berarti dalam setiap kegiatan bermain dilakukan untuk kesenangan tanpa memerhatikan hasil akhirnya. (Khobir, 2009). Yudho Bawono pernah mengatakan bahwasanya permainan merupakan kebutuhan yang asasi bagi anak-anak sejak mereka bayi. Sehingga anak dan permainan adalah dua hal yang hampir tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Menurut MJ. Langeveld (1979: 25), permainan merupakan kesibukan yang paling hakikat dengan suatu dunia anak yang hidup aman. Permainan adalah suatu perbuatan atau kegiatan yang dalam melakukannya mengandung keasyikan atau kegembiraan dan dilakukan atas kehendak sendiri, bebas tanpa adanya paksaan dengan bertujuan untuk memperoleh kesenangan pada waktu mengadakan kegiatan tersebut. Permainan cukup krusial bagi perkembangan jiwa pada anak. Oleh sebab itu perlu kiranya bagi anak-anak untuk diberi kesempatan dan sarana dalam kegiatan permaianannya (Abu Ahmadi, 1991: 69-70).

Berdasarkan hal tersebut di atas, salah satu permainan yang dapat digunakan sebagai media agar anak tetap tidak kehilangan masa bermainnya, dengan nilai tambahan yakni adanya proses pembelajaran di dalamnya, kartu pintar balita. Penggunaan kartu pintar balita dapat pula menjadi media oleh guru atau orang tua dalam menumbuhkan karakter anak bangsa yang kokoh dan khas. kartu pintar balita didesain khusus untuk memuat nilai-nilai kearifan lokal budaya bangsa, suku-suku, adat istiadat, dan lainnya.

Kelebihan Media Kartu Pintar

Media Kartu Pintar ini tergolong dalam media visual (gambar), media ini memiliki beberapa kelebihan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Susilana dan Riyana (2009) dalam (Rika Partikasari) :

1) Mudah dibawa kemana-mana: yakni dengan ukuran yang kecil kartu pintar dapat disimpan di tas bahkan di saku, sehingga tidak membutuhkan ruang yang luas, dapat digunakan di mana saja, di kelas atau pun di luar kelas.

2) Praktis: yakni dilihat dari cara pembuatannya dan penggunaannya, media ini dalam penggunaannya tidak perlu memiliki keahlian khusus, media ini juga tidak membutuhkan listrik.

3) Gampang diingat: kombinasi antara gambar dan teks cukup memudahkan peserta didik untuk mengenali konsep sesuatu.

(7)

268 4) Menyenangkan: media kartu pintar dalam penggunaanya dapat melalui permainan. Contohnya peserta didik secara berlomba-lomba mencari suatu gambar atau nama-nama tertentu dari kartu pintar yang disimpan secara acak.

Berdasarkan uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa kelebihan media kartu pintar atau Kartu Pintar Balita ini adalah sangat praktis, tidak membutuhkan keahlian khusus di dalam penggunaannya, sederhana, murah meriah, menyenangkan dan tentunya mampu memotivasi peserta didik dalam proses pembelajaran serta adanya kemampuan otak kanan dan otak kiri.

Kekurangan Media Kartu Pintar

1) Hanya bisa digunakan dalam pembelajaran kelompok kecil.

2) Memerlukan perawatan yang harus teliti karena dikhawatirkan kartu akan hilang, sobek, atau tulisan dan gambarnya tidak jelas lagi.

3) Menuntut penataan ruang yang baik. PEMBAHASAN

Kartu Pintar atau Kartu Pintar Balita merupakan salah satu alternatif media yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran berbasis visual yang memegang peran yang sangat krusial untuk memudahkan anak mengingat dalam proses pembelajaran. Media pembelajaran pada prinsipnya ialah membantu guru dan tidak terkecuali orang tua dalam proses pembelajaran terhadap peserta didik atau anaknya.

Ahmad Susanto dalam (Rika Partikasari) mengemukakan bahwa Kartu Pintar adalah kartu-kartu bergambar yang dilengkapi dengan kata-kata. Gambar-gambar tersebut kemudian dikelompokkan seri buah-buahan, seri binatang, seri pakaian, seri warna, bentuk-bentuk, angka, suku-suku, adat, dan sebagainya. Berdasarkan pengertiannya, Kartu Pintar ini dapat digunakan dalam upaya preventif rasisme terhadap anak usia dini. Kartu pintar balita ini, cara penggunaannya adalah dengan menggantikan gambar-gambar yang ada dalam kartu, menjadi gambar-gambar keanekaragaman suku dan budaya Indonesia.

Kehidupan anak-anak sangat familiar dengan permainan berbasis kartu. Tak jarang di zaman yang modern ini, permainan kartu masih sering kita temui. Permainan ini masih tetap eksis meskipun kecanggihan teknologi sudah tidak terbendung lagi, dan permainan ini tidak kalah dengan permainan modern seperti Mobile Legend, Free Fire, Hago, dan permainan yang menggunakan gadget atau internet. penggunaan konsep bermain sambil belajar diharapkan dapat memberikan sebuah feed back positif dan berarti. Kartu-kartu ini yang biasanya dibuat untuk mainan saja, kini digunakan sebagai media pembelajaran.

Sikap atau nilai karakter yang dapat muncul dari pengaplikasian media kartu pintar balita ini ialah sikap saling menghormat keragaman suku bangsa Indonesia, berjiwa toleransi, menerapkan nilai bhinneka tunggal ika, meningkatkan rasa persaudaraan, membiasakan bersahabat dan saling membantu dengan sesama dengan sesama warga negara yang ada di lingkungan sekitar tempat tinggal kita, seperti gotong royong yang di mana akan memudahkan tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa.

Bangsa Indonesia harus merasa satu, senasib, sepenanggungan, sebangsa, sehati di dalam kekuatan wilayah nasional dengan segala isi dan kekayaannya, yang kesemuanya merupakan satu kesatuan wilyah. Hasil atau tujuan dari penggunaan media kartu pintar balita ini ialah:

1. Terciptanya kerukunan dalam kehidupan masyarakat.

2. Terciptanya nilai semangat, saling tolong menolong antar warga masyarakat dalam bekerjasama untuk menyelesaikan suatu masalah yang ada, dan kerjasama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

3. Mengedepankan musyawarah untuk mufakat di dalam menyelesaikan urusan bersama. 4. Adanya kesadaran dan sikap yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan

pribadi atau golongan.

5. Adanya saling pengertian antarsuku bangsa 6. Mengurangi prasangka antarsuku

(8)

269 Sikap dan keadaan seperti itulah yang harus senantiasa dijunjung tinggi serta dipertahankan dan dilestarikan untuk lebih memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Ketika semua pihak, lapisan masyarakat, golongan-golongan dari sabang sampai merauke dalam bingkai NKRI dengan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika telah bersatu baik raga terlebih jiwa, maka segala bentuk kepercayaan atau doktrin yang memicu adanya perpecahan pada bangsa Indonesia itu tidak akan membahayakan kesatuan bangsa.

PENUTUP

Istilah karakter secara sederhana dapat diartikan atau dimaknai sebagai suatu kebiasaan atau tabiat yang menjadi ciri khas seorang individu, sedangkan secara khusus ialah yang berkaitan dengan mengetahui yang baik (knowing the good), mencintai yang baik (loving the good), dan melakukan yang baik (acting the good). Ketiga ideal ini antara satu sama lain sangat berkaitan. Pendidikan karakter adalah sebuah bentuk kegiatan manusia di dalam melakukan sebuah tindakan mendidik untuk menumbuhkan sebuah karakter di mana hal itu dipengaruhi oleh lingkungan dan juga pengaruh hereditas yang membedakannya dengan orang lain, serta diwujudkan dalam bentuk sikap dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.

Kartu Pintar atau Kartu Pintar Balita merupakan salah satu alternatif media yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran berbasis visual yang memegang peran yang sangat krusial untuk memudahkan anak mengingat dalam proses pembelajaran. Sikap atau nilai karakter yang dapat muncul dari pengaplikasian media kartu pintar balita ini ialah sikap saling menghormat keragaman suku bangsa Indonesia, berjiwa toleransi, menerapkan nilai bhinneka tunggal ika, meningkatkan rasa persaudaraan, membiasakan bersahabat dan saling membantu dengan sesama dengan sesama warga negara yang ada di lingkungan sekitar tempat tinggal kita, seperti gotong royong yang di mana akan memudahkan tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga tidak ada lagi yang namanya rasisme.

DAFTAR PUSTAKA

Andriani, T. (2012). Permainan Tradisional Dalam Membentuk Karakter Anak Usia Dini. Jurnal Sosial Budaya, 9 (1), 121-136.

Arifudin, I. (2007). Urgensi Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah. PEMIKIRAN

ALTERNATIF PENDIDIKAN, 12 (2), 1-9.

Assidiqi, H. (2015). MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK MELALUI MODELPEMBELAJARAN SEARCH, SOLVE, CREATE, AND SHARE. Jurnal Pendidikan Matematika, 1 (1), 45-55.

Ibrahim, R. (2008). Pendidikan Multikultural: Upaya Meminimalisir Konflik dalam Era Pluralitas Agama. Pendidikan Islam, 1 (1), 115-127.

Khobir, A. (2009). UPAYA MENDIDIK ANAK MELALUI PERMAINAN EDUKATIF. FORUM TARBIYAH, 7 (2), 195-208.

Lestari, A. S. (2014). Pemanfaatan Teknologi Informasi dalam Pendidikan Karakter. Shautut Tarbiyah, 20 (31), 1-20.

Lestari, G. (2015). BHINNEKHA TUNGGAL IKA: KHASANAH MULTIKULTURAL INDONESIA DI TENGAH KEHIDUPAN SARA. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 28 (1), 31-37.

Nugrahani, R. (2007). MEDIA PEMBELAJARAN BERBASIS VISUAL BERBENTUK PERMAINAN ULAR TANGGA UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS BELAJAR MENGAJAR DI SEKOLAH DASAR. LEMBARAN ILMU KEPENDIDIKAN , 36 (1), 35-44.

Pratama, D. S. (2016). Representasi Rasisme Dalam Film Cadillac Records. E-KOMUNIKASI, 4 (1), 1-11.

Rachmah, H. (2013). NILAI-NILAI DALAM PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA YANG BERDASARKAN PANCASILA DAN UUD 1945. E-Journal WIDYA Non-Eksakta, 1 (1), 7-14.

(9)

270 Ramdhani, M. A. (2014). Lingkungan Pendidikan dalam Implementasi Pendidikan Karakter.

Jurnal Pendidikan Universitas Garut, 8 (1), 28-37.

Ratna Cahaya Mekarsari, M. H. (2016). IMPLEMENTASI PERMAINAN KARTU GAMBUDI PADA PEMBELAJARAN SUKU DAN KEBUDAYAAN INDONESIA. 248-261. Sari, S. D. (2017). Cinta Tanah Air dan Salafus Shalih. Prosiding Konferensi Nasional

Kewarganegaraan III , 64-72.

Sudrajat, A. (2011). MENGAPA PENDIDIKAN KARAKTER? Jurnal Pendidikan Karakter, 1 (1), 47-58.

Suyanto, S. (2012). Pendidikan Karakter untuk Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Anak, 1 (1), 1-10.

Wahyuni, D. E. (2016). Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Pembentuk Karakter Bangsa. Seminar Nasional Pendidikan, 1, 19-24.

Widiyati, W. (2013). CHARACTER EDUCATION IN THE LEARNING PROCESS FOR THE GENERATION OF THE NATION. Jurnal Biology Science & Education , 9-19.

Referensi

Dokumen terkait

Bagi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Formasi Tahun Anggaran 2010, yang Surat Keputusan Pengangkatannya telah selesai diproses (daftar nama terlampir) dapat mengambil Surat Keputusan

Seorang nyai berperan di dalam transformasi modernisasi di Jawa pada khususnya, transformasi modernisasi yang penulis maksud adalah proses perubahan kebiasaan atau budaya

Menurut Edward Djamaris dalam bukunya yang berjudul Metode Penelitian Filologi, metode landasan dipakai apabila menurut tafsiran, nilai naskah jelas berbeda sehingga ada satu

Hal ini didukung oleh pernyataan Siagian (dalam Syamsi, 1995) bahwa pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan sistematis terhadap suatu masalah, pengumpulan fakta-fakta dan

Batas aliran lalu lintas yang ada pada suatu ruas jalan dilampaui, maka rata-rata kecepatan lalu lintas akan turun sehingga pada saat kecepatan mulai turun maka

Perpustakaan adalah bagian integral dari sebuah sekolah yang berisi berupa buku dan non buku yang diatur dengan sistem tertentu dengan maksud untuk dapat ditelusuri dan ditemukan

Babakan Baru RT.03/03 Desa Rumpin

komunikasi Pada Unit Humas POLDA METRO JAYA dalam membina hubungan. baik