UNIVERSITAS DIPONEGORO
STUDI SIKUENSTRATIGRAFI BERDASARKAN HASIL ANALISIS
DATA PALINOLOGI PADA SUMUR Y, CEKUNGAN SUMATERA
SELATAN
NASKAH PUBLIKASI
TUGAS AKHIR
RIZKI RAMADHAN
L2L 008 054
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
FAKULTAS TEKNIK
STUDI SIKUENSTRATIGRAFI BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA
PALINOLOGI PADA SUMUR Y, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN
Rizki Ramadhan
1), Hadi Nugroho
1), Yoga Aribowo
1), Panuju
2)1)Teknik Geologi Universitas Diponegoro 2)PPPTMBG Lemigas
ABSTRACT
Palynology is a study of biostratigraphy for determining relative age and depositional environment based on the abundance of palynomorf. Palynology study develompent in Indonesia is still could be more increased along with more oil and gas exploration moved to transitional environtment.
Study of palynology in stratigraphy is aiming to determine relative age and depositional environment. Besides, palynology could also determine sequence stratigraphy in a large scale of study based on palynomorf percentage. The study of sequence stratigraphy based on palynomorf percentage has been done in Well-Y, South Sumatra basin.
The method of this research is descriptive method through the microscopic observation on sample 1 - 14 from 1400 m depth Y-Well’s cutting and quantitative method calculation and analysis method from this observation and calcuation could determine the percentage of each palynomorf. This percentage lead to a trend then interpretated into several sequencestratigraphy.
From this observation, it can be determined characteristic zone of this well. The characteristic zone of palynology in this well is divided into 3 zones of palynology; Proxapertites operculatus Zone, Flocshuetzia meridionalis Zone, and Stenoclaeniidites papuanus Zone. Each zone shows the characteristic of age from Eocene to Pliocene and also depositional environment from delta plain to pro delta. From palynomorf percentage trend, we may also see the pattern of sequece stratigraphy works in this depth. The percentage trend shows the time whether sea level fall at the minimum percentage of palynomorf and sea level rise at the maximum percentage of palynomorf. The trend shows the sequence with sequence boundary lying in the start and the end of the sequence and also transgressive surface indicates the sea level start rise. Overall, this well has 5 sequences based on this trend; sequence a, sequence b, sequence c, sequence d, and sequence e and all the sequences are bordered by sequence boundary.
Keyword: Palynostratigraphy, Quantitative Method, Palynology Zone and Sequencestratigraphy
Pendahuluan
Latar Belakang
Biostratigrafi merupakan salah satu disiplin ilmu yang juga berperan dalam perkembangan dunia stratigrafi di dunia. Biostratigrafi memanfaatkan makhluk hidup yang sudah menjadi sisa dalam bentuk fosil sebagai objek dalam membantu menentukan umur relatif dan lingkungan pengendapan suatu paket batuan. Biostratigrafi menggunakan objek berbagai macam makhluk hidup seperti hewan dan tumbuhan dalam penentuan berbagai macam jenis umur dan lingkungan pengendapan. Makhluk hidup yang sering digunakan dalam objek kajian ilmu ini sebagian besar merupakan hewan, sebagai variasi makhluk hidup terbesar yang pernah ada di bumi dibandingkan dengan tumbuhan. Namun seiring berjalannya waktu, kajian biostratigrafi pada tumbuhan semakin berkembang seiring dengan kebutuhan akan sumber daya ilmu dalam tujuan eksplorasi migas.
Kajian biostratigrafi pada dunia migas sangat penting perananya untuk menentukan konsep stratigrafi, umur, dan lingkungan pengendapan yang pada suatu lapangan migas. Terutama pada lingkungan pengendapan darat danlacustrine, karena pada daerah ini aktivitas makhluk hidup yang paling dominan adalah makhluk hidup darat seperti hewan dan tumbuhan darat. Penyebarannya secara luas dan
merata merupakan suatu konsep suatu umur dan lingkungan pengendapan dan hal ini ditemukan pada penyebaran tumbuhan darat. Beberapa blok migas sudah mulai mengembangkan penentuan umur dan lingkungan pengendapan melalui analisis palinologi, terutama pada blok yang memiliki fokus studi pada lapisan batuan yang diduga berada pada wilayah
lacustrine. Seperti yang diketahui kehadiran fosil foram pada daerah ini sangat minim.
Maksud dan Tujuan Penelitian
Kajian palinologi ini penulis gunakan sebagai dasar metode penelitian untuk membantu mendata sampel – sampel fosil yang kemudian dijadikan dasar dalam analisis pada tahap selanjutnya. Pada kajian palinologi juga memiliki fosil petunjuk sebagai fosil acuan untuk mewakili suatu lingkungan pengendapan dan suatu umur tertentu. Sehingga data ini dapat menunjang dilakukannya analisis lanjut berupa studi sekuen stratigrafi untuk membantu merekonstruksi berbagai tahap peristiwa pengendapan pada suatu daerah cekungan mulai dari fase transgresi sampai regresi begitupun dengan tahapan siklusnya, sehingga konsep lingkungan pengendapan kemudian mulai dapat dibuat dan direkonstruksi.
Kajian palinologi pada penelitian yang penulis lakukan memiliki batasan – batasan tertentu dengan fokus utama penelitian berada pada lingkup palinologi tersier pada wilayah barat Indonesia. Fokus studi berada pada daerah cekungan belakang busur Sumatera Selatan.
Kajian ini kemudian mengarah pada studi sikuenstratigrafi yang berkembang pada daerah tersebut meliputi interpretasi marker – marker stratigrafi yang ada serta perlakuan untuk menginterpretasikan bentuk model lingkungan pengendapan dan juga umur geologi dari jenis dan diversitas palinomorf yang diidentifikasi.
Tinjauan Pustaka
Palinologi
Palinologi adalah ilmu yang mempelajari palinomorf dan juga mikrofosil organik, terutama yang terdiri dari polen dan spora, organisme yang mempunyai kesamaan sifat kimia, dan sisa organik (Morley, 1990).
Secara umum palinomorf dapat dibagi menjadi beberapa kelompok rekaman fosil. Kelompok – kelompok tersebut adalah Acritarchs, Chitinozoa,
Scolecodont, Microscopic colonial Algae, Plant
Cuticle,Spores,Megaspores,Prepollen,Gymnosperm pollen, Angiopserm pollen, Dynoflagellate cysts, dan
Chitinous foraminiferal test lining (Traverse, 1988; dalam Morley, 1990).
Secara umum polen diartikan sebagai sel kelamin jantan dari tumbuhan Spermatophyta, yang termasuk dalam tumbuhan tingkat tinggi, baik yang berasal dari tumbuhan Gymnopsermae maupun Angiospermae. Dan spora merupakan sel kelamin jantan dari tumbuhanBryophyta danThallophyta, yang termasuk dalam tumbuhan tingkat rendah (Morley,1990).
Sikuenstratigrafi
Konsep sikuenstratigrafi kali ini mengacu pada definisi sikuenstratigrafi menurut Posamantier, 1988 dan Van Wagoner (1995; dalam Walker & James, 1992). Sikuenstratigrafi didefinisikan sebagai studi hubungan batuan dalam rangka perulangan stratigrafi-waktu, yang secara genetik berhubungan dengan strata yang dibatasi oleh permukaan erosi atau tidak adanya pengendapan, atau keselarasan korelatifnya. Sedangkan istilah “sikuen” mengacu pada definisi Mitchum (1977; dalam Catuneanu, 2006) sebagai suatu suksesi, yaitu istilah untuk perubahan properti fasies secara progresif dengan arah tertentu, yang relatif selaras dari strata yang berhubungan secara genetik yang dibatasi oleh ketidakselarasan atau keselarasan korelatifnya. Sikuen berhubungan dengan siklus stratigrafi penuh dari perubahan kecendrungan stratigrafi.
Tipe sikuen, permukaan sikuenstratigrafi dan erosi, dan system tract didefinisikan dalam hubungannya dengan muka air laut relatif dan kurva transgresi-regresi. Muka air laut relatif bergantung pada efek kombinasi eustasi dan tektonik, sedangkan
pembentukan fasies transgresi dan regresi bergantung pada efek kombinasi dari perubahan muka air laut relatif dan pengendapan.
Geologi Regional Stratigrafi Regional
Stratigrafi regional cekungan Sumatera Selatan terbagi menjadi tiga fase pengendapan, yaitu pada fase
pre rift, syn rift, dan post rift. Pada fase pre rift
merupakan pembentukan basement berumur Pra Tersier di cekungan Sumatera Selatan. Pada fasesyn riftmulai diendapkan beberapa formasi geologi yaitu: - Formasi Lahat
Diendapkan pada Eosen akhir – Oligosen tengah dengan dominasi litologi berupa
funglomerate, sandstone, dan claystone, yang
sebagian besar membentuk lingkungan pengendapan
alluvial fandanlacustrine. - Formasi Talang Akar bawah
Diendapkan pada Oligosen akhir dengan dominasi litologi berupa sandstone, claystone, dan
coal yang sebagian besar membentuk lingkungan pengendapanfluvial
Setelah itu berlangsung fase post rift dengan mengendapkan beberapa formasi geologi yaitu: - Formasi Talang Akar atas
Diendapkan pada Miosen awal dengan dominasi litologi berupa sandstonedanshale, yang sebagian besar membentuk lingkungan pengendapan
deltasampaishallow marine. - Formasi Baturaja
Diendapkan pada Miosen awal dengan dominasi litologi berupa sandstonedanshale, yang sebagian besar membentuk lingkungan pengendapan
deltasampaishallow marine. - Formasi Gumai
Diendapkan pada Miosen awal – Miosen tengah dengan dominasi litologi berupa shale dan
claystone yang sebagian besar membentuk
lingkungan pengendapanoffshore marine. - Formasi Air Benakat
Diendapkan pada Miosen awal – Miosen tengah dengan dominasi litologi berupa shale dan
claystone yang sebagian besar membentuk
lingkungan pengendapanoffshore marine. - Formasi Muara Enim
Diendapkan pada Miosen akhir dengan dominasi litologi berupa sandstone, claystone, dan
coal yang sebagian besar membentuk lingkungan pengendapanshallow marinesampaifluvial. - Formasi Kasai
Diendapkan pada Pliosen – Pleistosen dengan dominasi litologi berupa sandstone dan claystone
yang sebagian besar membentuk lingkungan pengendapanfluvial.
Tektonik Regional
- MegasekuenSyn-Rift(c.40 – c.29 Ma)
Selatan menjadi suatu daerah ekstensi dari Eosen hingga Oligosen Awal. Esktensi ini menghasilkan beberapa kenampakan half-grabendengan geometri dan orientasinya dipengaruh dari heterogenitas
basement. Pada awalnya, ekstensi muncul dengan orientasi Timur – Barat menghasilkan sekuen dari
horstdangrabendengan arah Utara – Selatan. Pulau
Sumatera telah berotasi kira – kira 15 derajat searah jarum jam sejak Miosen berdasarkan penjelasan Hall (1995; dalam Ginger & Fielding, 2005) menghasilkan graben dengan orientasi Utara-Timur Laut – Selatan-Barat Daya sekarang ini.
- MegasekuenPost-Rift(c.29 – c.5 Ma)
Rifting berhenti sekitar 29 Ma lalu, walaupun begitu, lempeng benua yang tipis dibawah cekungan Sumatera Selatan berlanjut setimbang. Di dalam bagian – bagian cekungan, seperti di sub cekungan Palembang Tengah, megasekuen ini mencapai tebal hingga 13.000 ft. Tingkat penurunan yang tinggi dan transgresi yang terus belangsung lama mencapai tingkat maksimum sekitar 16 Ma lalu dengan banjir yang menggenangi seluruh cekungan.
Tingkat penurunan yang perlahan dan meningkatknya pasokan sedimen ke dalam cekungan dari 16 Ma sampai 5 Ma menghasilkan bentukan regresi. Tidak ada bukti yang menyebutkan aktivitas tektonik lokal memiliki pengaruh yang signifikan terhadap regresi ini.
- Megasekuen Syn-Orogenic / Inversi (c.5 Ma –
present)
Peristiwa orogenik Barisan terjadi dan menyebar sepanjang Sumatera Selatan dari 5 Ma sampai sekarang, walaupun ada beberapa bukti adanya pengangkatan lokal seperti pada awal 10 Ma (Chalik dkk, 2004; dalam Ginger & Fielding, 2005). Lipatan transpressional berarah Barat – Tenggara terbentuk sepanjang cekungan dan memotong dasar dari strutkur atau bentukan syn-rift. Sejumlah hidrokarbon berada pada jebakan struktural yang berada di pusat cekungan dan terbentuk pada saat ini meskipun di beberapa tempat terdapat akumulasi minyak yang tersingkap dan keluar. Diluar dari lipatan transpressional tersebut, penurunan cekungan berlanjut seiring dengan meningkatnya pasokan sedimen yang masuk ke dalam cekungan akibat erosi dari Bukit Barisan yang baru terbentuk ke arah Selatan dan Barat.
Metodologi Penelitian
Dalam tahap penelitian, data penelitian dibagi menjadi data primer yaitu data palinologi dan data sekunder yaitu data geologi regional. Data primer didapat dari sampelcuttingyang kemudian diolah dan dipreparasi dalam bentuk preparat yang kemudian siap untuk dilakukan pengamatan. Pengamatan yang dilakukan dalam peneltian ini mencakup identifikasi jenis dan penamaan palinomorf serta perhitungan jumlah dari masing – masing spesies untuk
selanjutnya ditentukan jumlah dan persentase kelimpahannya. Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop transmisi dengan perbesaran hingga 1000 kali untuk melihat struktur eksternal dari peraga yang diamati. Perhitungan polen dilakukan dengan menghitung kelimpahan masing – masing jenis polen dalam tiap sampel yang diamati. Setelah dilakukan pengamtan kemudian dibuat diagram kelimpahan palinomorf berdasarkan data pengamatan tersebut. Dari diagram tersebut kemudian dapat ditentukan pola sikuen yang mungkin terbentuk pada sumur ini. Penentuan pola sikuen yang terbentuk didasarkan atas penentuanmarkerdarimaximum flooding surfacedan
sequence boundary. Batas tersebut dapat diketahui dari kelimpahan beberapa palinomorf yang ditemukan. Setalah diketahui pola sikuen dan system tract nya, analisis dilanjutkan pada tahap interpretasi dengan sebelumnya mengkorelasikannya terlebih dahulu pada geologi regional. Setelah interpretasi dianggap cukup, dibuat suatu kesimpulan di akhir penelitian.
Analisis Data dan Pembahasan
Zonasi Palinologi
- ZonaProxapertites operculatus(1774 – 1704 m) Zona ini berada pada interval kedalaman 1774 – 1704 m. Pada zona ini ditemukan spesies indeks sebagai penciri utama yaitu Proxapertites
operculatus. Proxapertites operculatus ditemukan
pada kedalaman 1774 m dan 1704 m. Terdapat spesies indeks lain yang muncul yaituFlorschuetzia levipolli, Florschuetia meridionalis, Florschuetzia
trilobata yang merupakan asosiasi dari zona lain. Hal ini dapat disebabkan adanya proses infiltrasi fosil yang lebih muda masuk ke dalam data batuan yang lebih tua pada saat pengambilan cutting. Pada sampel juga terlihat morfologi fosil yang berbeda dengan fosil insitu pada kedalaman tersebut. Hanya terdapat spesies Proxapertites operculatus sebagai spesies penciri utama pada zona ini. Spesies lain yang juga muncul adalah Palmaepollenites
kutchensis dan Florschuetzia trilobata, serta
beberapa kelompok dari Acrostichum spp,
Laevigatosporites spp, dan Verrucatosporites spp
sebagai spesies penyerta pada zona ini. Bagian atas dari zona ini dibatasi oleh kemunculan akhir dari
Proxapertites operculatus pada kedalaman 1704 m
sedangkan bagian bawah dari zona ini dibatasi oleh kemunculan awal dari Proxapertites operculatus
pada kedalaman 1774 m.
- ZonaFlorschuetzia meridionanlis(780 – 485 m) Zona ini berada pada interval kedalaman 780 – 485 m. Pada zona ini ditemukan spesies indeks sebagai penciri utama yaitu Florschuetzia meridionalis. Florschuetzia meridionalis ditemukan pada kedalaman 780 m. Hal ini juga didukung oleh kemunculan beberapa spesies indeks lain seperti
merupakan asosiasi dari zona ini dan Scolocyamus magnus sebagai spesies indeks lain pada zona ini ditemukan pada kedalaman 725 m. Spesies lain yang juga muncul adalah Zonocostites ramonae,
Verrucatosporites usmensis, Acrostichum aureum,
Monosporites annulatus, Magnastriatites howardii, danStriaticolpites catatumbus. Bagian atas dari zona ini dibatasi oleh kemunculan akhir dari
Florschuetzia trilobata pada kedalaman 485 m
sedangkan bagian bawah dari zona ini dibatasi oleh kemunculan awal dari Florschuetzia meridionalis
pada kedalaman 780 m.
- ZonaStenoclaeniidites papuanus(485 – 50 m) Zona ini berada pada interval kedalaman 485 – 50 m. Pada zona ini ditemukan spesies indeks sebagai penciri utama yaitu Stenoclaeniidites
papuanus. Stenoclaeniidites papuanus ditemukan
pada kedalaman 190 m dan 250 m. Hanya terdapat
Stenoclaeniidites papuanus sebagai spesies penciri utama pada zona ini. Spesies indeks lain yang muncul adalah Florschuetzia levipolli pada kedalaman 190 m, 375 m, dan 485 m, serta
Florschuetzia meridionalis pada kedalaman 190 m
dan 375 m. Namun spesies indeks tersebut bukan merupakan penciri utama dari zona ini. Spesies lain yang juga muncul adalah Verrucatosporites
usmensis, Casuarina sp, dan Podocarpus
polystachiussebagai spesies penyerta pada zona ini. Bagian atas dari zona ini dibatasi oleh kemunculan akhir dari Stenoclaeniidites papuanus pada kedalaman 190 m sedangkan bagian bawah dari zona ini dibatasi oleh kemunculan akhir dari
Florschuetzia trilobata pada kedalaman 485 m.
Spesies indeks Stenoclaeniidites papuanus tidak ditemukan pada bagian atas zona. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor pengawetan fosil yang tidak baik dan faktor lingkungan pengendapan yang tidak mendukung terawetkannya fosil tersebut.
Umur Relatif
- Eosen (1774 – 1704 m)
Pada interval kedalaman 1774 – 1704 m, ditemukan beberapa spesies penciri dari umur geologi tertentu. Spesies yang berhasil ditemukan tersebut adalah Proxapertites operculatus yang merupakan spesies penciri dari umur Eosen – Paleosen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa interval kedalaman 1774 – 1704 m pada daerah penelitian memiliki umur Eosen – Paleosen. Bagian atas dari umur ini dibatasi oleh kemunculan akhir
dariProxapertites operculatuspada kedalaman 1704
m sedangkan bagian bawah dari umur ini dibatasi oleh kemunculan awal dari Proxapertites
operculatus pada kedalaman 1774 m pada daerah
penelitian.
- Miosen Tengah (780 – 485 m)
Pada interval kedalaman 780 – 485 m, ditemukan beberapa spesies penciri dari umur
geologi tertentu. Spesies yang berhasil ditemukan tersebut adalah Florschuetzia trilobata,
Florschuetzia levipolli, dan Florschuetia
meridionalis, dan Scolocyamus magnus.
Florschuezia trilobatamerupakan penciri dari umur
Eosen Tengah – Miosen Tengah, Florschuetzia
levipollimerupakan penciri dari umur Miosen Awal
sampai Resen, Florschuetzia meridionalis
merupakan penciri dari umur Miosen Tengah sampai Resen, danScolocyamus magnusmerupakan penciri dari umur Miosen Awal sampai Miosen Akhir. Sehingga jika ditarik umur yang overlap dapat disimpulkan bahwa interval kedalaman 780 – 485 m pada daerah penelitian memiliki umur Miosen Tengah. Bagian atas dari umur ini dibatasi oleh kemunculan akhir dari Florschuetzia trilobatapada kedalaman 485 m sedangkan bagian bawah dari umur ini dibatasi oleh kemunculan awal dari
Florschuetzia levipollipada kedalaman 780 m pada
daerah penelitian.
- Miosen Akhir – Pliosen (485 – 50 m)
Pada interval kedalaman 485 – 50 m, ditemukan beberapa spesies penciri dari umur geologi tertentu. Spesies yang berhasil ditemukan tersebut adalah Stenoclaeniidites papuanus dan
Florschuetzia levipolli.Stenoclaeniidites papauanus
merupakan spesies penciri dari umur Miosen Akhir sampai Pliosen Akhir, sedangkan Florschuetzia
levipollimerupakan penciri dari umur Miosen Awal
sampai Resen. Sehingga jika ditarik umur yang
overlap dapat disimpulkan bahwa interval
kedalaman 485 – 50 m pada daerah penelitian memiliki umur Miosen Akhir – Pliosen. Bagian atas dari umur ini dibatasi oleh kemunculan akhir dari
Stenoclaeniidites papuanus pada kedalaman 190 m
sedangkan bagian bawah dari umur ini dibatasi oleh kemunculan akhir dari Florschuetzia trilobatapada kedalaman 485 m.
Lingkungan Pengendapan
- Lower Deltaic Plain distal(1774 – 1704 m)
Pada interval kedalaman ini berkembang palinomorf dari kelompok mangrove yang diwakili
Zonocostites ramone, Avicennia type, dan
Proxapertites operculatus dalam jumlah melimpah
sekitar 21,24%, kelompok backmangrove yang diwakili Florschuetzia trilobata dan
Spinizonocolpites echinatus dalam jumlah sedang
sekitar 13,15%, kelompok riparian yang diwakili
Marginipollis concinnus dan Pandaniidites sp
dengan jumlah jarang sekitar 1,96%, kelompokpeat
swamp yang diwakili Saptotaceoidaepollenites sp
dengan jumlah sedikit sekitar 4,24%, dan kelompok
fresh water yang diwakili Calophyllum dan
Elaeocarpus sp dengan jumlah berlimpah sekitar
27,99. Dari kehadiran palinomorf kelompok
mangrove dan kelompok backmangrove dalam
jumlah melimpah dan sedang, serta kelompokfresh
diinterpretasi diendapkan pada lingkungan Lower Deltaic Plain distal.
- Delta Front proximal – Delta Front distal (780 – 630 m)
Pada interval kedalaman ini berkembang palinomorf dari kelompok mangrove yang diwakili
Zonocostites ramone dan Avicennia type dalam
jumlah sedang sekitar 10,17%, kelompok
backmangroveyang diwakiliFlorschuetzia levipolli,
Florschuetzia trilobata, Oncosperma sp, dan
Spinizonocolpites echinatus dalam jumlah sedang
sekitar 12,59%, kelompok riparian yang diwakili
Marginipollis concinnus, Myrtaceidites, dan
Pandaniidites sp dengan jumlah sedikit sekitar
6,82%, kelompok peat swamp yang diwakili
Chepalomappa typedanSaptotaceoidaepollenites sp
dengan jumlah sedikit sekitar 6,69%, kelompok
fresh water yang diwakili Calophyllum dan
Elaeocarpus sp dengan jumlah berlimpah sekitar
35,24%, dan kelompok marine yang diwakili
Dynoflagellate dengan jumlah jarang sekitar 0,2%. Dari kehadiran palinomorf kelompokmangrovedan kelompok backmangrove dalam jumlah sedang, kelompokfresh waterdalam jumlah melimpah, serta kelompok marine dalam jumlah jarang, maka interval ini diinterpretasi diendapkan pada lingkungan Delta Front proximal – Delta Front distal.
- Lower Deltaic Plain distal(630 – 550 m)
Pada interval kedalaman ini berkembang palinomorf dari kelompok mangrove yang diwakili
Zonocostites ramone dan Avicennia type dalam
jumlah sedikit sekitar 3,18%, kelompok
backmangroveyang diwakiliFlorschuetzia levipolli,
Florschuetzia trilobata, Oncosperma sp, dan
Spinizonocolpites echinatus dalam jumlah sedang
sekitar 19,12%, kelompok riparian yang diwakili
Ilexipollenites, Marginipollis concinnus, dan
Myrtaceidites dengan jumlah sedikit sekitar 6,13%, kelompokpeat swampyang diwakiliChepalomappa
typedanSaptotaceoidaepollenites spdengan jumlah
sedang sekitar 13,78%, kelompok fresh water yang diwakili Calophyllum dan Elaeocarpus sp dengan jumlah berlimpah sekitar 31,44%, dan kelompok
marineyang diwakiliDynoflagellatedengan jumlah
jarang sekitar 0,5%. Dari kehadiran palinomorf kelompok mangrove dan kelompok backmangrove
dalam jumlah sedikit dan sedang, kelompok fresh
water dalam jumlah melimpah, serta kelompok
marine dalam jumlah jarang, maka interval ini
diinterpretasi diendapkan pada lingkungan Lower Deltaic Plain distal.
- Lower Deltaic Plain distal – Delta Front proximal
(550 – 485 m)
Pada interval kedalaman ini berkembang palinomorf dari kelompok mangrove yang diwakili
Zonocostites ramone dan Avicennia type dalam
jumlah sedang sekitar 15,09%, kelompok
backmangroveyang diwakili Florschuetzia levipolli
dan Oncosperma sp dalam jumlah sedikit sekitar
4,01%, kelompok riparian yang diwakili
Ilexpollenites, Marginipollis concinnus, dan
Myrtaceidites dengan jumlah sedikit sekitar 3,64%, kelompok peat swamp yang diwakili
Saptotaceoidaepollenites sp dengan jumlah sedang
sekitar 11,46%, kelompokfresh wateryang diwakili
Calophyllum dan Elaeocarpus sp dengan jumlah
berlimpah sekitar 30,84%. Dari kehadiran palinomorf kelompok mangrove dan kelompok
backmangrove dalam jumlah sedang dan sedikit,
serta kelompokfresh waterdalam jumlah melimpah, maka interval ini diinterpretasi diendapkan pada lingkunganLower Deltaic Plain distal–Delta Front proximal.
- Lower Deltaic Plain proximal(485 – 370 m)
Pada interval kedalaman ini berkembang palinomorf dari kelompok mangrove yang diwakili
Zonocostites ramone dan Avicennia type dalam
jumlah sedang sekitar 13,95%, kelompok
backmangrove yang diwakili Discoidites
novaguinensis dan Oncosperma sp dalam jumlah
sedikit sekitar 3.82%, kelompok riparian yang diwakiliIlexipollenitesdanMarginipollis concinnus
dengan jumlah jarang sekitar 1,99%, kelompokpeat
swamp yang diwakili Chepalomappa type,
Myrtaceidites, Saptotaceoidaepollenites sp dengan
jumlah sedikit sekitar 8,97%, dan kelompok fresh
water yang diwakili Calophyllum dan Elaeocarpus
sp dengan jumlah berlimpah sekitar 24,55%. Dari kehadiran palinomorf kelompok mangrove dan kelompokbackmangrove dalam jumlah sedang dan sedikit, serta kelompok fresh water dalam jumlah melimpah, maka interval ini diinterpretasi diendapkan pada lingkungan Lower Deltaic Plain proximal.
- Lower Deltaic Plain proximal – Lower Deltaic Plain
distal(370 – 300 m)
Pada interval kedalaman ini berkembang palinomorf dari kelompok mangrove yang diwakili
Zonocostites ramone dan Avicennia type dalam
jumlah melimpah sekitar 24,39%, kelompok
backmangroveyang diwakili Oncosperma spdalam
jumlah jarang sekitar 1,4%, kelompokriparianyang diwakili Ilexipollenites dan Striatricolpites
catatumbus dengan jumlah jarang sekitar 2,53%,
kelompok peat swamp yang diwakili Durio type,
Myrtaceidites, Saptotaceoidaepollenites sp dengan
jumlah sedikit sekitar 10,31%, dan kelompokfresh
water yang diwakili Calophyllum dan Elaeocarpus
diendapkan pada lingkungan Lower Deltaic Plain proximal – Lower Deltaic Plain distal.
- Lower Deltaic Plain proximal(300 – 190 m)
Pada interval kedalaman ini palinomorf dari kelompokmangrovetidak, kelompokbackmangrove
yang diwakili Discoidites pilosus dalam jumlah sedikit sekitar 8,33%, kelompok riparian pada kedalaman ini juga tidak berkembang, kelompok
peat swamp yang diwakili Campnospermae sp
dengan jumlah sedikit sekitar 8,33%, dan kelompok
fresh water yang pada kedalaman ini juga tidak berkembang. Dari ketidahadiran palinomorf kelompok mangrove dan kehadiran kelompok
backmangrovedalam jumlah sedikit, serta kelompok
peat swamp dalam jumlah sedikit, maka interval ini
diinterpretasi diendapkan pada lingkungan Lower Deltaic Plain distal.
- Lower Deltaic Plain distal (190 – 115 m)
Pada interval kedalaman ini berkembang palinomorf dari kelompok mangrove yang diwakili
Zonocostites ramone dan Avicennia type dalam
jumlah sedikit sekitar 9,84%, kelompok
backmangrove yang diwakili Discoidites
novaguinensis dan Spinizonocolpites echinatus
dalam jumlah sedikit sekitar 3,4%, kelompok
riparianyang diwakili Marginipollis concinnusdan
Pandaniidites dengan jumlah sedikit sekitar 4,3%, kelompokpeat swampyang diwakiliDurio typedan
Saptotaceoidaepollenites sp dengan jumlah jarang
sekitar 2,38%, dan kelompok fresh water yang diwakili Calophyllum dan Elaeocarpus sp dengan jumlah sedang sekitar 10,56%. Dari kehadiran palinomorf kelompok mangrove dan kelompok
backmangrovedalam jumlah sedikit, serta kelompok
fresh water dalam jumlah sedang, maka interval ini
diinterpretasi diendapkan pada lingkungan Lower Deltaic Plain distal.
- Lower Deltaic Plain proximal-Lower Deltaic Plain
distal(115 – 50 m)
Pada interval kedalaman ini berkembang palinomorf dari kelompok mangrove yang diwakili
Zonocostites ramone dan Avicennia type dalam
jumlah melimpah sekitar 22.92%, kelompok
backmangrove yang diwakili Discoidites
novaguinensis dan Spinizonocolpites echinatus
dalam jumlah jarang sekitar 1,24%, kelompok
riparianyang diwakiliPandaniiditesdengan jumlah
sedikit sekitar 5.99%, kelompok peat swamp yang diwakili Campnospermae sp dan
Saptotaceoidaepollenites sp dengan jumlah jarang
sekitar 7,24%, dan kelompok fresh water yang diwakili Calophyllum dan Elaeocarpus sp dengan jumlah sedang sekitar 22%. Dari kehadiran palinomorf kelompok mangrove dan kelompok
backmangrove dalam jumlah melimpah dan jarang,
serta kelompok peat swamp danfresh water dalam jumlah jarang dan melimpah, maka interval ini
diinterpretasi diendapkan pada lingkungan Lower Deltaic Plain proximal.
Sikuenstratigrafi - Sikuen (a)
Sikuen (a) berada pada interval kedalaman 750 – 630 m. Sikuen (a) berada diatas kedalaman 750 m. Tepat dibawahnya merupakan fase Transgressive
System Tract dan Highstand System Tract yang
ditandai dengan melimpahnya jumlah presenetase palinomorf jenis mangrove akibat bertambahnya ruang akomodasi bagi vegetasimangrove. Sikuen (a) dimulai pada interval kedalaman 680 – 750 m ketika terdapat penurunan jumlah persentase palinomorf dari jenis mangrove yang mengindikasikan adanya pengurangan ruang akomodasi bagi vegetasi jenis
mangrove untuk dapat berkembang. Penurunan
ruang akomodasi ini diduga disebabkan adanya penurunan muka air laut secara relatif yang kemudian menyingkapkan dataran yang dulunya tergenang oleh air laut. Dataran yang tersingkap kemudian menjadi bidang erosi dan menjadi sedikit tempat bagi vegetasi jenis mangrove untuk dapat berkembang. Penurunan muka air laut secara relatif pada fase ini lebih dikenal denganLowstand System Tract.
Kemudian pada interval setelahnya yaitu pada 630 – 680 m terdapat peningkatan jumlah persentase palinomorf dari jenis mangrove yang mengindikasikan adanya penambahan ruang akomodasi bagi vegetasi jenismangroveuntuk dapat berkembang. Penambahan ruang akomodasi ini diduga disebabkan adanya kenaikan muka air laut secara relatif yang kemudian menggenangi daerah diatas garis pantai yang relatif landai sehingga daerah dataran landai yang tergenang air laut menjadi luas. Hal ini menjadikan vegetasimangrove
dapat berkembang baik. Kenaikan muka air laut secara ralatif ini lebih dikenal denganTransgressive
System Tract dan batas mulainya air laut naik
tersebut disebut sebagai transgressive surface yang diinterpretasikan berada pada kedalaman 675 m.
Ketika air laut memasuki fase maximum
flooding surface dan kemudian tidak terjadi
kenaikan maupun penurunan muka air laut secara relatif, daerah ruang akomodasi bagi vegetasi
mangrove tidak mengalami perubahan yang
signifikan. Pada fase ini atau yang lebih dikenal dengan Highstand System Tract, bentukan tipe endapan progradasi hanya memindahkan posisi ruang akomodasi menjadi semakin ke arah laut, namun tidak merubah luasan area yang menjadi ruang akomodasi vegetasi mangrove sehingga persentase palinomorf mangrove yang dihasilkan tidak banyak berubah.
- Sikuen (b)
ketika pada akhir Sikuen (a), pada kedalaman 550 – 630 m terdapat penurunan jumlah persentase palinomorf dari jenis mangrove yang mengindikasikan adanya pengurangan ruang akomodasi bagi vegetasi jenismangroveuntuk dapat berkembang. Penurunan ruang akomodasi ini diduga disebabkan adanya penurunan muka air laut secara relatif yang kemudian menyingkapkan dataran yang dulunya tergenang oleh air laut. Dataran yang tersingkap kemudian menjadi bidang erosi dan menjadi sedikit tempat bagi vegetasi jenismangrove
untuk dapat berkembang. Penurunan muka air laut secara relatif pada fase ini lebih dikenal dengan
Lowstand System Tract dan batas mulainya air laut naik tersebut disebut sebagai transgressive surface
yang diinterpretasikan berada pada kedalaman 580 m.
Kemudian pada interval setelahnya yaitu pada 485 – 550 m terdapat peningkatan jumlah persentase palinomorf dari jenis mangrove yang mengindikasikan adanya penambahan ruang akomodasi bagi vegetasi jenismangroveuntuk dapat berkembang. Penambahan ruang akomodasi ini diduga disebabkan adanya kenaikan muka air laut secara relatif yang kemudian menggenangi daerah diatas garis pantai yang relatif landai sehingga daerah dataran landai yang tergenang air laut menjadi luas. Hal ini menjadikan vegetasimangrove
dapat berkembang baik. Kenaikan muka air laut secara ralatif ini lebih dikenal denganTransgressive System Tract.
Ketika air laut memasuki fase maximum
flooding surface dan kemudian tidak terjadi
kenaikan maupun penurunan muka air laut secara relatif, daerah ruang akomodasi bagi vegetasi
mangrove tidak mengalami perubahan yang
signifikan. Pada fase ini atau yang lebih dikenal dengan Highstand System Tract, bentukan tipe endapan progradasi hanya memindahkan posisi ruang akomodasi menjadi semakin ke arah laut, namun tidak merubah luasan area yang menjadi ruang akomodasi vegetasi mangrove sehingga persentase palinomorf mangrove yang dihasilkan tidak banyak berubah.
- Sikuen (c)
Sikuen (c) berada pada interval kedalaman 485 – 300 m. Sikuen (c) tepat berada pada interval kedalaman diatas Sikuen (b). Sikuen (c) dimulai ketika pada akhir Sikuen (b), pada kedalaman 375 – 485 m terdapat penurunan jumlah persentase palinomorf dari jenis mangrove yang mengindikasikan adanya pengurangan ruang akomodasi bagi vegetasi jenismangroveuntuk dapat berkembang. Penurunan ruang akomodasi ini diduga disebabkan adanya penurunan muka air laut secara relatif yang kemudian menyingkapkan dataran yang dulunya tergenang oleh air laut. Dataran yang tersingkap kemudian menjadi bidang erosi dan menjadi sedikit tempat bagi vegetasi jenismangrove
untuk dapat berkembang. Penurunan muka air laut secara relatif pada fase ini lebih dikenal dengan
Lowstand System Tractdan batas mulainya air laut naik tersebut disebut sebagai transgressive surface
yang diinterpretasikan berada pada kedalaman 375 m.
Kemudian pada interval setelahnya yaitu pada 300 – 375 m terdapat peningkatan jumlah persentase palinomorf dari jenis mangrove yang mengindikasikan adanya penambahan ruang akomodasi bagi vegetasi jenismangroveuntuk dapat berkembang. Penambahan ruang akomodasi ini diduga disebabkan adanya kenaikan muka air laut secara relatif yang kemudian menggenangi daerah diatas garis pantai yang relatif landai sehingga daerah dataran landai yang tergenang air laut menjadi luas. Hal ini menjadikan vegetasimangrove
dapat berkembang baik. Kenaikan muka air laut secara ralatif ini lebih dikenal denganTransgressive System Tract.
Ketika air laut memasuki fase maximum
flooding surface dan kemudian tidak terjadi
kenaikan maupun penurunan muka air laut secara relatif, daerah ruang akomodasi bagi vegetasi
mangrove tidak mengalami perubahan yang
signifikan. Pada fase ini atau yang lebih dikenal dengan Highstand System Tract, bentukan tipe endapan progradasi hanya memindahkan posisi ruang akomodasi menjadi semakin ke arah laut, namun tidak merubah luasan area yang menjadi ruang akomodasi vegetasi mangrove sehingga persentase palinomorf mangrove yang dihasilkan tidak banyak berubah.
- Sikuen (d)
Sikuen (d) berada pada interval kedalaman 300 – 110 m. Sikuen (d) tepat berada pada interval kedalaman diatas Sikuen (c). Sikuen (d) dimulai ketika pada akhir Sikuen (b), pada kedalaman 190 – 300 m terdapat penurunan jumlah persentase palinomorf dari jenis mangrove yang mengindikasikan adanya pengurangan ruang akomodasi bagi vegetasi jenismangroveuntuk dapat berkembang. Penurunan ruang akomodasi ini diduga disebabkan adanya penurunan muka air laut secara relatif yang kemudian menyingkapkan dataran yang dulunya tergenang oleh air laut. Dataran yang tersingkap kemudian menjadi bidang erosi dan menjadi sedikit tempat bagi vegetasi jenismangrove
untuk dapat berkembang. Penurunan muka air laut secara relatif pada fase ini lebih dikenal dengan
Lowstand System Tractdan batas mulainya air laut naik tersebut disebut sebagai transgressive surface
yang diinterpretasikan berada pada kedalaman 190 m.
berkembang. Penambahan ruang akomodasi ini diduga disebabkan adanya kenaikan muka air laut secara relatif yang kemudian menggenangi daerah diatas garis pantai yang relatif landai sehingga daerah dataran landai yang tergenang air laut menjadi luas. Hal ini menjadikan vegetasimangrove
dapat berkembang baik. Kenaikan muka air laut secara ralatif ini lebih dikenal denganTransgressive System Tract.
Ketika air laut memasuki fase maximum
flooding surface dan kemudian tidak terjadi
kenaikan maupun penurunan muka air laut secara relatif, daerah ruang akomodasi bagi vegetasi
mangrove tidak mengalami perubahan yang
signifikan. Pada fase ini atau yang lebih dikenal dengan Highstand System Tract, bentukan tipe endapan progradasi hanya memindahkan posisi ruang akomodasi menjadi semakin ke arah laut, namun tidak merubah luasan area yang menjadi ruang akomodasi vegetasi mangrove sehingga persentase palinomorf mangrove yang dihasilkan tidak banyak berubah.
- Sikuen (e)
Sikuen (e) berada pada interval kedalaman < 110 m. Sikuen (e) tepat berada pada interval kedalaman diatas Sikuen (d). Sikuen (e) dimulai ketika pada akhir Sikuen (d), pada kedalaman 190 – 300 m terdapat penurunan jumlah persentase palinomorf dari jenis mangrove yang mengindikasikan adanya pengurangan ruang akomodasi bagi vegetasi jenismangroveuntuk dapat berkembang. Penurunan ruang akomodasi ini diduga disebabkan adanya penurunan muka air laut secara relatif yang kemudian menyingkapkan dataran yang dulunya tergenang oleh air laut. Dataran yang tersingkap kemudian menjadi bidang erosi dan menjadi sedikit tempat bagi vegetasi jenismangrove
untuk dapat berkembang. Penurunan muka air laut secara relatif pada fase ini lebih dikenal dengan
Lowstand System Tract.
Namun setelahnya tidak ditemukan adanya indikasi kenaikan muka air laut atau tidak, karena sikuen ini dibatasi dibagian atas oleh batas atas ruang lingkup penelitian
.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Berdasarkan kelimpahan dari beberapa fosil indeks untuk zonasi palinologi yang ditemukan pada daerah penelitian, dibagi menjadi 3 bagian yaitu: - Zona Proxapertites operculatus yang terletak pada
interval kedalaman 1774 – 1704 m.
- Zona Florschuetzia meridionalis yang terletak pada interval kedalaman 780 – 485 m.
- Zona Stenoclaeniidites papuanusyang terletak pada interval kedalaman 485 – 50 m.
Sedangkan berdasarkan kelimpahan dari beberapa fosil indeks untuk kisaran umur yang
ditemukan pada daerah penelitian, dibagi menjadi 3 kisaran, yaitu:
- Kisaran umur Eosen yang terletak pada interval kedalaman 1774 – 1704 m.
- Kisaran umur Miosen Tengah yang terletak pada interval kedalaman 780 – 485 m.
- Kisaran umur Miosen Akhir sampai Pliosen yang terletak pada interval kedalaman 485 – 50 m.
Berdasarkan dari persentase kelimpahan palinomorf indeks lingkungan pengendapan pada masing – masing interval kedalaman, lingkungan pengendapan pada daerah penelitian dibagi menjadi 9 bagian yaitu:
- Lingkungan pengendapanLower Deltaic Plain distal
berada pada interval kedalaman 1774 – 1704 m. - Lingkungan pengendapan Delta Front proximal –
Delta Front distal berada pada interval kedalaman 780 – 630 m.
- Lingkungan pengendapanLower Deltaic Plain distal
berada pada interval kedalaman 630 – 550 m. - Lingkungan pengendapanLower Deltaic Plain distal
– Delta Front proximal berada pada interval
kedalaman 550 – 485 m.
- Lingkungan pengendapan Lower Deltaic Plain
proximalberada pada interval kedalaman 485 – 370
m.
- Lingkungan pengendapan Lower Deltaic Plain proximal – Lower Deltaic Plain distalberada pada interval kedalaman 370 – 300 m.
- Lingkungan pengendapan Lower Deltaic Plain
proximalberada pada interval kedalaman 300 – 190
m.
- Lingkungan pengendapanLower Deltaic Plain distal
berada pada interval kedalaman 190 – 115 m. - Lingkungan pengendapan Lower Deltaic Plain
proximal - Lower Deltaic Plain distal berada pada interval kedalaman 115 – 50 m.
Berdasarkan dari perubahan persentase kelimpahan beberapa palinomorf indeks pada tiap – tiap interval kedalaman, sikuenstratigrafi pada daerah penelitan dibagi 5 bagian yaitu:
- Sikuen a, berada pada interval kedalaman 750 – 630 m, terdapat fase Lowstand System Tract,
Transgressive System Tract, dan Highstand System Tract, dan dibatasi oleh satu Transgressive surface
pada kedalaman 675 m serta dua Sequence
Boundarymasing – masing pada kedalaman 630 m
dan 750 m.
- Sikuen b, berada pada interval kedalaman 630 – 485 m, terdapat fase Lowstand System Tract,
Transgressive System Tract, dan Highstand System Tract, dan dibatasi oleh satu Transgressive surface
pada kedalaman 550 m serta dua Sequence
Boundarymasing – masing pada kedalaman 485 m
dan 630 m.
- Sikuen c, berada pada interval kedalaman 485 – 300 m, terdapat fase Lowstand System Tract,
Transgressive System Tract, dan Highstand System Tract, dan dibatasi oleh satu Transgressive surface
Boundary masing – masing pada kedalaman 300 m dan 485 m.
- Sikuen d, berada pada interval kedalaman 300 – 100 m, terdapat fase Lowstand System Tract,
Transgressive System Tract, danHighstand System Tract, dan dibatasi oleh satu Transgressive surface
pada kedalaman 190 m serta dua Sequence
Boundary masing – masing pada kedalaman 100 m
dan 300 m.
- Sikuen e, berada pada interval kedalaman < 100 m, terdapat fase Lowstand System Tract dan dibatasi oleh satu Sequence Boundary pada kedalaman 100 m.
Saran
- Perlu dilakukan analisis lebih lanjut dengan menggunakan data core dan data log untuk mengkorelasikan sikuen yang didapat dengan keadaan yang sebenarnya.
- Perlunya dilakukan penelitian pada dua sumur atau lebih untuk mendapatkan korelasi antar sumur sehingga sikuen secara regional dapat diketahui secara lebih tepat.
- Perlunya dilakukan analisis selain analisis palinologi yaitu analisis nannoplankton dan foraminifera pada lapisan batuan yang tidak terdapat sama sekali palinomorf yaitu pada saat transgresi terjadi.
Daftar Pustaka
Boggs, Sam. 2006. Principles of Sedimentology and
Stratigraphy, Edisi-4. University of
Oregon, New Jersey, USA.
Catuneanu, Octavian. 2006. Principle of Sequence
Stratigraphy. University of Alberta,
Alberta, Canada.
De Coaster, G. L., 1974.The Geology of Central and South Sumatera Basin. IPA, 3rd - Annual Convention Proceeding, 1974. Indonesia. Feagri, K dan Iversen, J. 1964. Textbook of Pollen
Analysis. Munksgaard, Copenhagen.
Germeraad, J. H., Hoping. C. A. And Muller, J. 1968.
Palynology of Tertiary Sediments of tropical areas; Rev. Paleobotany and Palynology 6, p 189 – 348.
Ginger, D dan Fielding, K. 2005. The Petroleum System and Future Potential of The South
Sumatera Basin. IPA, 30th - Annual
Convention Proceeding, 2005. Indonesia. Hasseldonckz, P. 1974.A Palynological Interpretation
of Paleoenvirontment in Southeast Asia, Robertson Research, Singapore.
Jansonius, J dan McGregor D, C. 1996. Palynology,
Principles, and Applications. American
Association of Stratigraphic Palynologist Foundation. California.
Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia. 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia. IAGI.
Moore, P. D dan Weeb, J. A. 1978. An Illustrared
Guide to Pollen Analysis. Hodder and
Stoughton. London.
Morley, R. J. 1977. Floral Zone Applicaple to The
Neogene of Eastern Kalimantan,
Unpublished Report.
Morley, R. J. 1990. Introduction to Palinology with
Emphasis on South East Asia. Course Note.
Lemigas.
Morley, R. J. 1991.Tertiary Stratigraphic palynology in Southeast Asia: current status and new direction; Geol. Soc. Malaysia; Bull. 28, Nov. 1991, pp 1 – 36.
Morley, R. J. 1995.Biostratigraphic Characterization of System Tract in Tertiary Sedimentary Basin. IPA, Proceeding of The International Symposium on Sequence Stratigraphy in SE Asia.
Nichols, Gary. 1999. “Sedimentology and Stratigraphy”. A John Wiley & Sons, Ltd., Publication. United Kingdom.
Pertamina. 1981. Exploration Well Final Report JTR – 1 (Internal Report).
Pulunggono, A., Haryo, A. S., dan Kosuma, C. G., 1992. “Pre-Tertiary and Tertiary Fault System as a Framework of The South Sumatera Basin; a Study of SAR-Maps”. IPA, 21th - Annual Convention Proceeding, 1992. Indonesia.
Posamentier, H.W., Allen, G. P. 1999. “Siliciclastic sequence stratigraphy: concepts and
applications”.SEPM Concepts in
Sedimentology and Paleontology.
Rahardjo, A. T., Polphaupessy, A. A., Nugrananingsih, L., dan Lelono, E. B., 1994. Zonasi Polen Tersier Pulau Jawa. IAGI.
Slatt, Roger. 2006. Stratigraphic Reservoir Characterization for Petroleum Geologists, Geophysicists, and Engineers. University of Oklahoma, Oklahoma, USA.
Tschudy, A. 1968. Morphology of Pollen and Spore, New York.
Walker, R. G dan James, N. P. 1992. Facies Model Response to Sea Level Change. Geological
Lampiran 1(Kronostratigrafi Cekungan Sumatera Selatan)
Lampiran 4 (Model Konseptuan Sikuenstratigrafi pada Sumur Y)
1 2
3 4
5 6
9 10
11 12
13 14
Keterangan gambar: