• Tidak ada hasil yang ditemukan

T SEJ 1302619 Chapter1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T SEJ 1302619 Chapter1"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara penelitian, aplikasi

pembelajaran sejarah berbasis nilai religi sudah lama dilaksanakan di SMA

Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya. Hal ini terjadi karena sekolah ini menggunakan sintesa tiga kurikulum yaitu Kurikulum Kemendiknas,

Kurikulum Pondok Pesantren Modern Gontor dan Kurikulum Pesantren Salafiyah

sehingga memungkinkan untuk mengkolaborasikan pelajaran sejarah dengan ilmu

agama khususnya agama Islam. Sebagai contoh ketika sedang membahas

mengenai perlawanan para pejuang terhadap penjajah sebagai bentuk cinta tanah

air maka ditambahkan pemahaman ilmu agama yang menyatakan bahwa cinta

tanah air adalah sebagian dari iman sehingga peserta didik bisa memiliki

pemahaman bahwa apa yang dilakukan oleh para pejuang bukan hanya sekedar

usaha untuk melawan penjajah tetapi sekaligus ibadah sebagai bentuk manifestasi

dari keimanan. Contoh lainnya adalah ketika dibahas pemberian dukungan oleh

Indonesia terhadap usaha bangsa Palestina untuk merdeka sebagai bentuk

pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif serta manifestasi dari pembukaan UUD

1945 yang menyatakan bahwa penjajahan diatas dunia harus dihapuskan maka

ditambahkan pula pemahaman ilmu agama yang menyatakan dukungan kepada

bangsa Palestina merupakan bentuk solidaritas umat muslim sebab pada

hakikatnya setiap muslim adalah bersaudara, jadi ketika ada dari umat muslim

yang disakiti maka kita pun harus merasakan hal tersebut serta diwajibkan untuk

membantunya sesuai dengan kemampuan yang kita miliki.

Pembelajaran sejarah berbasis nilai religi yang dilaksanakan di SMA

(2)

berbeda dengan pembelajaran sejarah di sekolah lain yang rata-rata masih bersifat

konvensional dengan ciri khasnya guru memberikan materi secara

textbookmelalui dominasi metode ceramah dalam penyampaiannya serta materi

yang diberikan bersifat hapalan mengenai suatu peristiwa sejarah yang

didalamnya berisi angka tahun, tokoh dan tempat kejadian tanpa adanya upaya

untuk menambahkan pemahaman ilmu agama yang berkaitan dengan materi

pembelajaran seperti yang dilaksanakan di sekolah ini. Adanya penambahan

pemahaman ilmu agama dalam materi pembelajaran sejarah ini semakin

menguatkan pelaksanaan pembelajaran sejarah berbasis nilai religi disamping

tentunya hal-hal normatif lain yang biasa dilakukan seperti pengucapan salam,

berdo’a serta mengucapkan syukur kepada Allah SWT oleh guru dan peserta didik

sehingga menjadi ciri khas tersendiri dalam pembelajaran sejarah di SMA

Terpadu Riyadlul U’lum.

Pembelajaran sejarah berbasis nilai religi seperti yang dilaksanakan di

SMA Terpadu Riyadlul U’lum sebenarnya bisa menjadi salah satu cara untuk

menghapus stigma pembelajaran sejarah yang dianggap membosankan serta

kurang bermakna bagi peserta didik. Bahkan ada anggapan pelajaran sejarah tidak

terkait dengan kehidupan masa kini padahal sebenarnya kaya akan nilai dan

konten yang sangat bermanfaat bagi kehidupan. Kebermaknaan ini sangat penting

sebagai upaya untuk memberikan manfaat kepada peserta didik dalam

kehidupannya serta untuk memperbaiki citra pelajaran sejarah supaya tidak lagi

dipandang sebagai pelajaran yang kurang penting.Disamping itu pelaksanaan

pembelajaran sejarah berbasis nilai religi menunjukkan adanya upaya untuk keluar

dari kekakuan filosofis karenasecara filosofis pembelajaran sejarah yang diberikan

kepada peserta didik masih dominan menggunakan filosofis esensialisme dan

perenialisme sehingga hanya mengedepankan aspek pengembangan kecerdasan

intelektual semata.

Terkait dengan kekakuan filosofis dalam pembelajaran sejarah menurut

(3)

pendidikan sejarah sudah saatnya keluar dari kekakuan filosofis dengan menggunakan berbagai macam filosofi pendidikan sehingga mampu mengembangkan berbagai dimensi intelektual peserta didik, mendekatkan materi dan proses pembelajaran dengan masyarakat sekitarnya, dan menjadikan masyarakat sekitar sebagai objek studi yang langsung dapat diamati. Untuk itu pendidikan sejarah harus berani mengubah filosofi yang dianut selama ini menjadi filosofi eklektik yang didalamnya terdapat pandangan esensialisme, perenialisme, eksperimentalisme dan rekonstruksi sosial. Pandangan eklektik ini akan memberikan peluang bagi pengembangan peserta didik yang memiliki intelegensia sosial, warga yang demokratik, cinta tanah air dan bangsa, berani mengambil posisi keteladanan, memiliki kepedulian sosial, rasa ingin tahu yang tinggi, kreativitas yang tinggi, memiliki kemampuan berkomunikasi yang tinggi, dan mampu memanfaatkan peristiwa sejarah untuk meningkatkan kualitas kehidupan peserta didik, masyarakat, dan bangsa.

Berdasarkan pendapat diatas, salah satu wujud nyata dari dimilikinya

intelegensia sosial dan kepedulian sosial oleh peserta didik yaitu adanya rasa

solidaritas sosial yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.Pengembangan

solidaritas sosial peserta didik mutlak sangat diperlukan karena didasarkan

kenyataan yang ada bahwa solidaritas sosial dikalangan generasi muda khususnya

dan masyarakat umumnya sudah mulai terkikis oleh adanya arus globalisasi yang

menyebabkan semakin meningkatnya sifat individualistik.Seringkali kita melihat

terjadinya tawuran antar pelajar, tawuran antar desa, sengketa antara TNI dan

POLRI, gerakan separatis di berbagai daerah serta kejadian-kejadian lainnya yang

memperlihatkan bahwa solidaritas sosial sudah mulai luntur yang lebih jauh bisa

mengakibatkan terjadinya disintegrasi bangsa.Kenyataan ini tentunya sangat

berbanding terbalik dengan perjalanan sejarah bangsa Indonesia dimana negara ini

terbentuk oleh adanya rasa solidaritas dari berbagai suku bangsa yang terbingkai

dalam semangat persatuan dan kesatuan untuk membawa Indonesia menjadi

sebuah negara yang merdeka.Oleh karena itu pelajaran sejarah bisa menjadi salah

satu wahana dalam bidang pendidikan untuk menanamkan semangat persatuan

dan mengembangkan solidaritas sosial dalam diri peserta didik supaya tidak

mudah terpecah belah.Melalui sejarah pembangunan karakter peserta didik bisa

(4)

sejarah pula berbagai pengalaman masa lalu dapat membuat manusia mengenali

siapa dirinya dan senantiasa belajar untuk selalu lebih baik dimasa yang akan

datang baik dalam konteks sebagai individu maupun dalam konteks kehidupan

berbangsa dan bernegara, seperti yang dikemukakan oleh Kartodirdjo (2005 :

126-127) menyatakan bahwa:

Esensi dari setiap pengetahuan sejarah sebenarnya hendak menerangkan bagaimana sesuatu terjadi yang mencakup apa, siapa, dimana dan kapannya. Adapun fungsi didaktis pengetahuan sejarah bukanlah sesuatu yang baru, tetapi telah dinyatakan baik secara implisit maupun eksplisit, bahwa maksud pengetahuan sejarah ialah agar generasi berikutnya dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari pengalaman nenek-moyangnya.Lagipula agar suri teladan mereka dapat menjadi model keturunannya.Sejarah dianggap sebagai perbendaharaan kebijaksanaan nenek moyang yang termasuk nilai-nilainya.

Pendapat lain dikemukakan oleh Seixas (2000 : 21) :“Quite simply, it is

the power of story of the post to define who we are in the present, our relations

with others, relation in civil society nation and state, right and wrong, good and

bad –and broad parameters for action in the future.”

Sebagai sebuah bangsa dan negara yang majemuk, disatu sisi Indonesia

memiliki kekayaan budaya yang tidak ternilai namun disisi lain menyimpan

sebuah persoalan yang cukup serius oleh adanya ancaman disintegrasi bangsa.

Untuk mengatasi ancaman tersebut dibutuhkan peran agama dan pendidikan

sebagai solusinya.Hal ini sesuai dengan pandangan kaum fungsionalis mengenai

fungsi positif agama.Salah satu pemikirnya adalah Durkheim yang melihat fungsi

agama dalam kaitannya dengan solidaritas sosial, dimana agama lebih memiliki

fungsi untuk menyatukan masyarakat dan memenuhi kebutuhan untuk secara

berkala menegakkan dan memperkuat perasaan dan ide-ide kolektif. Agama

mendorong solidaritas sosial dengan mempersatukan orang beriman kedalam

suatu komunitas yang memiliki nilai dan perspektif yang sama (Martono, 2012 :

170-171). Pendapat serupa dikemukakan oleh Muthahhari (1990 : 91-92) yang

menyatakan bahwa agama memberikan petunjuk dalam melakukan

(5)

individu-individu yang saling menghargai haknya dan aturan-aturan yang ada

serta menganggap keadilan sebagai sesuatu yang suci dan menawarkan cinta

kepada orang lain sehingga timbul kepercayaan satu sama lain yang dilandasi

nilai-nilai spiritual. Berbicara lebih jauh mengenai peran agama dan persatuan

suatu bangsa, Kahmad (2000 : 110) menyatakan bahwa agama yang dipeluk oleh

anggota masyarakat tertentu bisa membangkitkan solidaritas sosial yang kuat dan

bisa menjadi semen perekat persatuan dan kesatuan suatu bangsa serta bisa

melebihi solidaritas sosial lainnya yang dibangun oleh suatu persamaan keadaan

di masyarakat seperti persamaan kewarganegaraan, budaya, bahasa dan hobi.

Selain agama, pendidikan menurut Durkheim juga bisa berfungsi

menciptakan solidaritas sosial karena fungsi utama pendidikan adalah

mentransmisikan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat. Durkheim

(dalam Ballantine, 1985 : 22) beragumen bahwa pendidikan merupakan proses

mempengaruhi yang dilakukan oleh generasi orang dewasa kepada mereka yang

belum siap untuk melakukan fungsi-fungsi sosial. Sasarannya adalah melahirkan

dan mengembangkan sejumlah kondisi fisik, intelek, dan watak sesuai dengan

tuntutan masyarakat secara keseluruhan dan oleh lingkungan khusus tempat ia

akan hidup dan berada. Berdasarkan pengertian tersebut, pendidikan dilakukan

oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini selaras pula dengan perspektif Durkheim,

persepsi individu tentang kepentingan pribadinya tidak dibentuk dalam isolasi dari

sesamanya, melainkan dibentuk oleh kepercayaan bersama serta nilai-nilai yang

dianut bersama orang lain dalam masyarakat (Johnson, 1990 : 173).

Hamid Hasan (1999) dalam tulisannya “Pendidikan Sejarah untuk Membangun Manusia Baru Indonesia” membuat perspektif baru dengan berpijak

kepada pengalaman masa lalu untuk memahami apa yang terjadi pada masa

sekarang. Secara tradisional tujuan pendidikan selalu dikaitkan atas pandangan

“transmission of culture” (Hasan, 1999, hlm. 13).Pandangan tersebut sebenarnya

menghendaki pendidikan sejarah sebagai pengetahuan yang diharapkan menjadi

(6)

muda dapat menghargai hasil karya agung di masa lampau terutama untuk

memupuk rasa bangga (dignity) sebagai bangsa.

Pendapat lain dikemukakan oleh Nata (2010 : 205) bahwa pendidikan

adalah salah satu bentuk interaksi manusia dan termasuk suatu tindakan sosial

yang memungkinkan terjadinya interaksi melalui jaringan hubungan kemanusiaan

serta peranan individu yang membentuk watak pendidikan di suatu

masyarakat.Diberikannya pelajaran sejarah di tingkat SMA menunjukkan bahwa

sejarah sebagai sebuah pelajaran masih sangat diperlukan sebab bagaimanapun

pelajaran sejarah nasional di sekolah akan memperkenalkan peserta didik kepada

pengalaman kolektif dan masa lalu bangsanya, juga membangkitkan kesadaran

dalam kaitannya dengan kehidupan bersama dalam komunitas yang lebih besar,

sehingga tumbuh kesadaran kolektif dalam memiliki kebersamaan dalam sejarah.

Proses pengenalan diri inilah yang merupakan titik awal dari timbulnya rasa harga

diri, kebersamaan, dan keterikatan (sense of solidarity), rasa keterpautan dan rasa

memiliki (sense of belonging), kemudian rasa bangga (sense of pride) terhadap

bangsa dan tanah air sendiri (Wiriaatmadja, 2002 : 157).

Selain masalah disintegrasi yang diakibatkan oleh lunturnya solidaritas

sosial, Indonesia sebagai salah satu negara muslim terbesar didunia masih

dihadapkan dengan berbagai masalah aspek kehidupan. Mulai dari rendahnya

taraf kehidupan yang ditandai dengan masih banyaknya masyarakat hidup

dibawah garis kemiskinan, mutu sumber daya manusia yang belum unggul

sehingga kurang mampu bersaing dengan negara lain, kerusakan sumber daya

alam yang banyak menimbulkan bencana, belum stabilnya sistem ketatanegaraan

sehingga banyak menimbulkan polemik terutama dalam bidang politik, serta

terjadinya degradasi moral yang mengakibatkan meningkatnya penyakit sosial di

masyarakat. Hal ini menurut Yusanto (2014 : 3-6) disebabkan oleh beberapa

faktor diantaranya; tatanan ekonomi kapitalistik dengan ciri kegiatan ekonomi

digerakkan sekedar demi meraih perolehan materi sebanyak-banyaknya, perilaku

(7)

kepentingan rakyat tetapi untuk kepentingan individu dan golongan, budaya

hedonistik dengan ciri budaya berkembang hanya sebagai bentuk ekspresi pemuas

nafsu jasmani, kehidupan sosial individualistik dengan ciri diberikannya

kebebasan yang seluas-luasnya kepada pemenuhan hak dan kepentingan setiap

individu, sekulerisasi kehidupan dengan ciri pemisahan urusan dunia dan agama

serta sistem pendidikan yang materialistik dengan ciri peserta didik diberikan

suatu basis pemikiran yang serba terukur secara material tetapi memungkiri

hal-hal yang bersifat non-materi.

Sistem pendidikan materialistik yang berkembang sekarang ini belum

menekankan secara proporsional penilaian ranah afektif, kognitif dan

psikomotorik dalam proses pembelajaran. Ranah kognitif mendapat porsi yang

lebih tinggi dibandingkan dengan ranah yang lainnya. Hal ini mengakibatkan

output pendidikan hanya menghasilkan manusia yang pintar secara intelektual dan

keterampilan tetapi bobrok moral atau akhlaknya sehingga banyak dijumpai orang

yang cerdik pandai tetapi bermental jahat seperti pejabat yang berjiwa korup,

teknokrat yang membuat kerusakan lingkungan hidup, serta konglomerat yang

hobby berjudi (Rahman, 2003 : 33-34). Sistem pendidikan materialistik serta

dimarjinalkannya ranah afektif pada akhirnya akan mengarah kepada penguatan

sekulerisme. Sekulerisme adalah dibangunnya landasan kehidupan selain agama

dan mulai ada di Eropa Barat pada abad pertengahan.Kekuasaan gereja yang

begitu dominan dalam hampir semua aspek kehidupan termasuk di bidang ilmu

pengetahuan dan teknologi dilihat oleh para ilmuwan dan negarawan dianggap

sebagai penghambat kemajuan sehingga mereka menghasilkan sebuah kesimpulan

yang menyatakan bahwa apabila masyarakat ingin maju maka mereka harus

mengabaikan agama atau membiarkan agama tetap di wilayah ritual keagamaan

sementara wilayah duniawi harus steril dari agama.

Dikotomi dalam bidang pendidikan di Indonesia sebenarnya telah terjadi

jika kita lihat secara formal kelembagaan, dimana terdapat dua kurikulum

(8)

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Terdapat perbedaan

yang sangat jelas antara ilmu-ilmu agama yang menggunakan kurikulum dari

Kemenag dan ilmu-ilmu umum yang menggunakan kurikulum dari Kemendikbud

sehingga menimbulkan kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi (Iptek) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas

nilai yang tidak tersentuh oleh standar nilai agama sementara pembentukan

karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru

terabaikan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual dan tidak perlu

dijadikan sebagai standar penilaian proses pendidikan sehingga telah menjauhkan

manusia dari hakikat kehidupannya sendiri dan dipalingkan dari hakikat visi dan

misi penciptaannya (Yusanto, 2014 : 6). Walaupun dilapangan pelajaran agama

diberikan kepada peserta didik di sekolah-sekolah umum namum porsi yang

diberikan hanya sedikit yaitu 2-3 jam pelajaran per minggu.Ironis sekali hal ini

terjadi di negara yang mayoritas penduduknya adalah umat beragama dengan

sebagian besar pemeluk agama Islam.

Islam adalah agama yang mengedepankan keseimbangan antara hubungan

antara manusia dengan Allah SWT (Hablumminallah) dan hubungan manusia

dengan sesamanya (Hablumminannas).Dalam perspektif Islam jelas tidak

mengenal pemisahan antara urusan ritual keagamaan dengan urusan duniawi, pun

termasuk dalam pendidikan. Imam Al Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin (2011 : 34)

mengatakan :

“Ilmu adalah jalan mencapai kebahagiaan di dunia sekaligus di

akhirat.Jadi menuntut ilmu adalah amal shaleh yang paling utama diantara semua amalan lainnya.Kadang-kadang, keutamaan (fadhilah) ilmu baru diraih hasilnya di akhirat kelak berupa kemuliaan disana.Buah dari ilmu adalah mendekatkan diri pemiliknya kepada Rabb seru sekalian alam, menghubungkan diri dengan derajat malaikat, dan bahkan sanggup melebihi ketinggian kemuliaan para malaikat.Dan semua itu hanya akan

terjadi di alam akhirat kelak”.

Bentuk manifestasi dari hal diatas, dewasa ini pendidikan di Indonesia

(9)

menggunakan istilah “terpadu”.Sekolah terpadu ini terutama digunakan oleh

sekolah-sekolah berlabel Islam baik untuk tingkat SD, SMP maupun SMA. Istilah

terpadu mempunyai arti adanya keterpaduan antara ilmu agama dan

ilmu-ilmu umum secara seimbang dengan tujuan untuk menghapuskan bentuk dikotomi

antara pendidikan agama dan pendidikan umum, berupaya membentuk

kepribadian secara padu, meliputi akal, hati dan jiwa, juga mendukung upaya

memadukan kurikulum atau mata pelajaran agama dengan mata pelajaran umum

dengan menjadikan mata pelajaran agama sebagai dasar bagi mata pelajaran lain

dalam kurikulum, serta memadukan sesuatu yang dipelajari siswa dengan

pengalamannya melalui refleksi diri yang dilakukan siswa (Rossidy, 2009 : 88).

Secara historis-sosiologis, pendidikan terpadu lahir sebagai implikasi dari

proses perkembangan perubahan paradigma pengembangan pendidikan Islam

sejak abad pertengahan, dimana tercipta dikotomi antara pendidikan agama yang

menekankan pada pengajaran ilmu-ilmu agama dengan pendidikan umum yang

menekankan pada pengajaran ilmu-ilmu non agama (pengetahuan). Pendidikan

terpadu merupakan salah satu wujud implementasi paradigma yang berusaha

mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etika, serta

mampu melahirkan manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi,

memiliki kematangan profesional sekaligus hidup dalam nilai-nilai Islami

(Muhaimin, 2001 : 38-46).

Berkaitan dengan perlunya model pendidikan terpadu, disampaikan oleh

presiden Soekarno dalam catatannya, “Di Bawah Bendera Revolusi”, bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, sebaiknya juga mengajarkan

pengetahuan umum. Bahkan menurutnya, Islam science bukan hanya pengetahuan

Qur’an dan hadits saja, Islam science adalah pengetahuan Qur’an dan hadits plus pengetahuan umum (Steenbrink, 1974 : 227). Mimpi Soekarno di atas, dapat

kemudian dilihat di Pondok Modern Darussalam Gontor. Kurikulum yang

diterapkan Imam Zarkasyi di Pondok Modern Gontor adalah 100% umum dan

(10)

pesantren tradisional, Imam Zarkasyi menambahkan ke dalam kurikulum lembaga

pendidikan yang diasuhnya itu, pengetahuan umum, seperti ilmu alam, ilmu hayat,

ilmu pasti (berhitung, al-jabar dan ilmu ukur), sejarah, tata negara, ilmu bumi,

ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan sebagainya (Nata, 2005 : 208 – 209).

Pesantren dan madrasah merupakan penyelenggara pendidikan Islam di

Indonesia.Lahirnya pesantren merupakan suatu respon agamawi dari suatu

masyarakat, dimana bersama para pemimpin keagamaan mereka melakukan suatu

bangun diri dalam suatu kerangka atau menjadikan Islam sebagai etos dalam

kehidupan masyarakat, keagamaan, kebudayaan, ekonomi, sosial dan sebagainya

(Setiadi, 2009 : 439). Pesantren merupakan salah satu wujud pranata pendidikan

tradisional yang kini masih relevan dan tetap eksis.Sejak dilancarkannya

perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai kawasan dunia Islam,

tidak banyak lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seperti pesantren

yang mampu bertahan.Hanya pesantren yang mampu beradaptasi dengan

perubahan dan menyelenggarakan modernisasi sistem pendidikan tanpa

meninggalkan aspek-aspek positif sistem pendidikan Islam yang mampu

bertahan.Dalam rangka memodernisasi isi dan sistem pendidikan,

pesantren-pesantren tetap memelihara hubungannya dengan arus utama tradisi Islam dengan

tidak mau membuang kerangka besar tradisi keilmuan, walaupun telah melakukan

perubahan-perubahan yang sangat fundamental dalam bidang-bidang aktivitas

sosial, intelektual, dan cara hidup (Dhofier, 2011 : 164).

Posisi pesantren sekarang ini kalah prestisius bila dibandingkan dengan

sekolah umum.Bahkan ada asumsi di masyarakat bahwasanya prestasi lulusan

pesantren berada di bawah lulusan sekolah umum.Hal inilah yang kemudian

menjadikan kepercayaan dan minat masyarakat lebih bangga menyekolahkan

anaknya ke sekolah-sekolah umum. Untuk menjembatani permasalahan di atas,

maka dibukalah program sekolah terpadu yang kurikulumnya memadukan antara

ilmu agama dan ilmu umum. Hal lain yang menjadi alasan atas hadirnya sekolah

(11)

Menumpuknya kesibukan orang tua di masyarakat perkotaan seringkali berimbas

pada pendidikan anak.Bahkan ketidakjelasan pendidikan sekolah juga menambah

permasalahan dalam pergaulan anak-anak di perkotaan, sehingga mereka

benar-benar membutuhkan sebuah pendidikan yang dapat memberikan pendidikan

pengetahuan umum dan pendidikan agama secara bersamaan.Kebutuhan manusia

terhadap agama semakin diperlukan dalam kehidupan modern yang cenderung

memuja dan mendewakan materi sehingga membuat manusia merasakan

kekeringan spiritual, hidup hampa, dan teralienasi.Atas dasar inilah, sekolah

terpadu sangat penting dirasakan keberadaannya di dalam masyarakat perkotaan.

Hadirnya pendidikan terpadu merupakan sebuah solusi untuk

menjembatani keseimbangan antara pengetahuan umum dengan pengetahuan

agama.Pada prinsipnya, sekolah Islam terpadu merupakan perubahan atas

kegagalan yang dilakukan sekolah umum dan lembaga pendidikan Islam, untuk

memadukan ilmu umum dan agama. Sehingga, dalam praktiknya, sekolah Islam

terpadu melakukan pengembangan kurikulum dengan cara memadukan kurikulum

pendidikan umum yang ada di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan

(Kemendikbud), seperti pelajaran matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris,

IPA, IPS, dan lain-lain, serta kurikulum pendidikan agama Islam yang ada di

Kementrian Agama (Kemenag), ditambah dengan kurikulum hasil kajian Jaringan

Sekolah Islam Terpadu (JSIT) (Arifin, 2012 : 30-31). Dalam kurikulum ini, posisi

setiap mata pelajaran, baik pelajaran-pelajaran agama maupun umum memiliki

posisi yang sama. Semua pelajaran baik agama maupun umum biasanya diajarkan

kepada peserta didik, termasuk pelajaran sejarah.Kedudukan pelajaran sejarah

dalam sekolah terpadu terutama untuk jenjang SMA terbagi menjadi dua, yaitu

pelajaran sejarah umum dan Tarikh Islam.Sejarah umum isi materinya mengacu

kepada kurikulum yang dibuat oleh Kemendikbud, sedangkan tarikh Islam isi

materinya berupa sejarah perkembangan Islam sejak jaman Nabi Muhammad

(12)

memberikan pelajaran sejarah umum dan Tarikh Islam adalah SMA Terpadu

Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya.

SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya merupakan

sekolah yang memadukan pendidikan pesantren dengan sekolah umum, sehingga

dikenal juga oleh masyarakat dengan sebutan Pesantren Condong.Pesantren

Condong memiliki sejarah yang cukup panjang dan bisa di bagi ke dalam dua

fase, yaitu fase Condong Lama dan Condong Baru. Fase Condong Lama dimulai

sejak berdirinya Pondok Pesantren Condong sekitar abad ke-18 sampai dibukanya

pendidikan formal di lembaga pendidikan ini. Dalam fase ini, Pesantren

memberlakukan sistem pendidikan klasikal yang mengkhususkan diri pada

pengajian kitab-kitab klasik ulama-ulama terdahulu.Fase Condong Baru dimulai

dari diangkatnya ulama muda kharismatik KH.Najmuddin (Mama Mamu) sebagai

pimpinan Pondok Pesantren Condong generasi kelima menggantikan KH.Damiri

yang sebelumnya diangkat sebagai pimpinan pondok sementara.Pada fase ini,

pondok mulai membuka pendidikan formal pada sistem pendidikannya dengan

membuka MWB (Madrasah Wajib Belajar) yang kelanjutannya bertransformasi

menjadi Madrasah Ibtidaiyah Condong.

Tahun 2001 pada kepemimpinan KH.Ma’mun, Pondok Pesantren

Condong menyelenggarakan pendidikan formal setingkat SMP.Selanjutnya pada

tahun 2004 dibuka lembaga pendidikan tingkat SMA. Pendidikan dan pengajaran

di SMP-SMA Terpadu ini merupakan perpaduan antara tiga sintesa kurikulum;

yaitu, kurikulum pesantren salafi, kurikulum pesantren modern ala Pondok

Modern Darussalam Gontor dan kurikulum yang bersumber dari Departemen

Pendidikan Nasional yang mengutamakan keseimbangan iman, ilmu dan amal.

Dalam mengelola pesantren ini, KH. Ma’mun dibantu oleh pengasuh dan pendidik

dari berbagai latar berlakang pendidikan yang berbeda yaitu: alumni pesantren

salafi, Pondok Modern Darussalam Gontor dan alumni perguruan tinggi negeri

(13)

Adanya sintesa tiga kurikulum yang diberlakukan, menjadikan

penyelenggaraan proses belajar mengajar di SMA Terpadu Riyadlul U’lum

Condong Kota Tasikmalaya memiliki perbedaan dengan sekolah-sekolah lain di

Kota Tasikmalaya. Terlebih di sekolah ini proses pendidikan dan pengasuhan

berjalan selama 24 jam karena basis utama lembaga ini adalah pesantren. Di

sekolah ini peserta didik sekaligus juga sebagai santri dimana mereka sekolah

sekaligus masantren di komplek yang sama. Hal ini tentunya menambah

perbedaan karakteristik sekolah ini dengan yang lainnya terutama dalam hal

religiusitasnya.Karena sekolah ini memiliki karakterisik yang khas dan tentunya

memiliki tingkah laku sosial tersendiri maka metode yang paling tepat digunakan

oleh peneliti dalam penelitian ini adalah etnografi. Disamping itu dengan

menggunakan metode etnografi maka akan terungkap sistem budaya yang terdapat

di SMA Terpadu Riyadlul U’lum yang tentunya berbeda dengan sekolah lainnya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Emjir (2010 : 152) bahwa :

Etnografi adalah suatu metode penelitian ilmu sosial.Penelitian ini sangat percaya pada ketertutupan (up-close), pengalaman pribadi dan partisipasi yang mungkin tidak hanya pengamatan oleh para peneliti yang terlatih dalam seni etnografi. Para etnografer ini sering bekerja dalam tim multidisipliner. Titik fokus etnografi dapat meliputi studi intensif budaya dan Bahasa, studi intensif suatu bidang atau domain tunggal, serta bangunan metode historis, observasi, dan wawancara.

Berdasarkan pemaparan berbagai masalah diatas, peneliti menemukan hal

yang cukup menarik untuk meneliti pelaksanaan pembelajaran sejarah berbasis

nilai religi serta aktualisasi solidaritas sosial peserta didik di SMA Terpadu

Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya dengan menggunakan metode

etnografi.Pelaksanaan pembelajaran sejarah berbasis nilai religi yang sudah cukup

lama dilaksanakan disekolah ini serta adanya rasa solidaritas sosial peserta didik

yang tampak dalam kesehariannya dirasakan sangat cocok untuk diteliti dengan

menggunakan metode etnografi karena dalam penelitian ini peneliti berusaha

(14)

B. Identifikasi Masalah Penelitian

Melihat permasalahan yang telah diuraikan diatas, pembelajaran sejarah

berbasis nilai-nilai religi harus diberikan kepada peserta didik agar menjadi

manusia yang memiliki pemahaman tentang sejarah sekaligus beriman dan

bertakwa.Disamping itu.pengembangan solidaritas sosial perlu terus dilakukan

kepada peserta didik untuk mencegah ancaman disintegrasi bangsa.Adapun fokus

penelitian ini adalah mengenai pembelajaran sejarah berbasis nilai religi untuk

mengembangkan solidaritas sosial peserta didik di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya.

C. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan deskripsi latar belakang dan identifikasi masalah penelitian di

atas, rumusan permasalahan penelitian ini yaitu“Bagaimanakah pembelajaran

sejarah berbasis nilai religi untuk mengembangkan solidaritas sosial peserta didik

di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya?”.Atas dasar

permasalahan tersebut dapat dirumuskan pertanyaan penelitian berikut ini :

1. Bagaimana rancangan pembelajaran sejarah berbasis nilai religi di SMA

Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya?

2. Bagaimana implementasi pembelajaran sejarah berbasis nilai religi untuk

mengembangkan solidaritas sosial di SMA Terpadu Riyadlul U’lum

Condong Kota Tasikmalaya?

3. Bagaimana aktualisasi solidaritas sosial peserta didik di SMA Terpadu

Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya?

D. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini yaitu untuk menemukan informasi

tentang pembelajaran sejarah berbasis nilai religi dalam kaitannya dengan upaya

(15)

Condong Kota Tasikmalaya. Secara spesifik penelitian ini bertujuan antara lain

untuk :

1. Mengkaji rancangan pembelajaran sejarah berbasis nilai religi di SMA

Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya

2. Mengkaji implementasi pembelajaran sejarah berbasis nilai religi di SMA

Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya.

3. Menemukan gambaran aktual mengenai pengembangan solidaritas sosial

pada peserta didik di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota

Tasikmalaya.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan kajian secara ilmiah

mengenai upaya mengembangkan solidaritas sosial pada peserta didik

dengan menggunakan pembelajaran sejarah berbasis nilai religi.

b. Dapat digunakan sebagai sumber data penelitian lebih lanjut untuk

memahami lebih jauh mengenai upaya mengembangkan solidaritas

sosial pada peserta didik dengan menggunakan pembelajaran sejarah

berbasis nilai religi.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi guru bisa dijadikan sebagai motivasi dan bahan pertimbangan

untuk lebih memanfaatkan pembelajaran sejarah berbasis nilai religi

dalam upaya mengembangkan solidaritas sosial peserta didik.

b. Bagi siswa diharapkan dapat mengembangkan solidaritas sosial dalam

kehidupan sehari-hari melalui pembelajaran sejarah berbasis nilai

religi.

(16)

ETNOGRAFI

INPUT

•SEKOLAH TERPADU

•SINTESA 3 KURIKULUM

•NILAI RELIGI

PROSES

•RANCANGAN PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS NILAI RELIGI

•IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS NILAI RELIGI UNTUK MENGEMBANGKAN SOLIDARITAS SOSIAL

OUTPUT

Referensi

Dokumen terkait

Instrumen tes tertulis dapat dikembangkan atau disiapkan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut (Kemendikbud, 2015). 1) Melakukan analisis KD sesuai dengan

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian ini, disimpulkan bahwa siswa Sekolah Dasar Negeri 2 Sengkang-Wajo yang mengalami disfungsi STM dengan gejala kliking, deviasi

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukminah apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan

Penelitian dalam bidang MPS di Indonesia, terutama untuk mesin penerjemah bahasa Indonesia ke bahasa daerah, sudah mulai banyak dilakukan, di antaranya adalah penelitian

¾ Guru bersama siswa menyimpulkan materi pembelajaran yang telah dibahas pada pertemuan itu, yakni mengenai hokum bacaan nun mati dan tanwin yang terdapat pada QS Al-Baqarah: 30,

Saya menyampaikan semuanya itu, Saudara, agar kita mengerti di mana peluang yang harus kita ciptakan, agar kita bisa memperbaiki mana-mana yang belum baik dan agar kita bisa menjaga

Dengan demikian, prinsip pemahaman baptisan anak sangat signifikansi bagi jemaat, bermanfaat untuk menguatkan iman bahwa sejak kecil anak-anak orang percaya berhak

Analisis Hubungan Antara Motif Dengan Tingkat Kepuasan Pengguna Aplikasi Shopee Sebagai Media Berbelanja Online PAD SHOPEEHOLIC Di Kota Samarinda.. LinkedIn