• Tidak ada hasil yang ditemukan

D IPA 1202080 Chapter1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "D IPA 1202080 Chapter1"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Abad 21 merupakan abad kompetitif di berbagai bidang yang menuntut

kemampuan dan keterampilan baru yang berbeda. Perubahan keterampilan pada

abad 21 memerlukan perhatian yang serius dalam pembelajaran, sistem penilaian

dan pengembangan kurikulum (Rotherham, 2009, hlm 2). Beberapa keterampilan

yang diperlukan dan dikembangkan di abad 21 dirancang dalam kerjasama dengan

National Science Teacher Association (NSTA), yaitu antara lain: learning and

innovation meliputi creativity and innovation, critical thinking and problem

solving, communication, dan collaboration.

Dalam konteks pendidikan IPA, keterampilan abad 21 menawarkan

beberapa cara baru dari kerangka yang dianggap sebagai pendekatan dalam

pembelajaran IPA dan beberapa ide baru untuk memperkaya penyelidikan siswa

dengan model belajar lintas-disiplin. Demikian juga sebaliknya, IPA dengan

karakteristiknya yang kaya akan pemikiran kritis dan kreatif, teknologi terapan,

dan kerja kolaborasi dengan standar yang tinggi untuk komunikasi dan tanggung

jawab pribadi, berkontribusi untuk memenuhi kebutuhan keterampilan pada abad

21 di semua bidang disiplin (Windschitl, 2009, hlm. 23). Dalam peta keterampilan

abad 21 dijelaskan bahwa keterkaitan antara abad 21 dan keterampilan berakar

dalam hal penyelidikan (inquiry), pengetahuan proses, desain eksperimen, dan

elemen kebiasaan berpikir ilmiah, seperti yang disebutkan dalam Project

American Association for the Advancement of Science 2061 Benchmarks for

Science Literacy, the Atlas of Science Literacy, dan the National Science

Education Standards, serta ekstrapolasi dari praktek penelitian ilmiah

sebagaimana mereka berubah di Abad ke-21.

Ciri IPA terletak pada metode khusus yang digunakan saintis untuk

mempelajari dunia. IPA dimaksudkan untuk memahami, menjelaskan, dan

memprediksi dunia di tempat kita hidup (Poedjiadi, 2001). Selanjutnya dijelaskan

(2)

tidak hanya mengumpulkan data hasil percobaan, melainkan ingin

menjelaskannya dalam bentuk teori umum. Satu dari problem kunci dalam filsafat

IPA adalah untuk memahami bagaimana teknik seperti eksperimen, observasi, dan

konstruksi teori telah menjadikan saintis mampu mengatasi/memahami demikian

banyak rahasia alam. Tugas utama dari filsafat IPA adalah menganalisis metode

inkuiri yang digunakan dalam pembelajaran IPA.

Untuk menjawab tantangan zaman, National Science Teacher Association

(NSTA, 2011) menyatakan bahwa “guru IPA SMP di Amerika Serikat harus

memiliki delapan puluh persen dari kompetensi yang ada.” Guru harus

mempunyai penekanan yang kuat pada penyelidikan kolaboratif di laboratorium

dan lapangan, melibatkan siswa secara efektif dalam melaksanakan kegiatan nyata

yang akan mengarah pada pengembangan konsep yang diinginkan melalui

penyelidikan dan analisis pengalaman, membantu siswa memahami mengapa IPA

penting bagi mereka. Di Amerika Serikat, kompetensi pedagogi menjadi bagian

penting dalam pembelajaran karena cara yang disampaikan oleh guru akan

mempengaruhi apa yang siswa pelajari (NRC, 1996, hlm. 28).

Guru IPA juga harus siap untuk membimbing siswa memahami di setiap

wilayah konten IPA yang terjalin dalam perspektif interdisipliner. Mereka harus

mampu membimbing siswa untuk memahami perbedaan antara ilmu pengetahuan,

penyelidikan, dan teknologi sebagai disain, serta dampak ilmu pengetahuan dan

teknologi pada diri mereka sendiri, komunitas serta kesehatan masyarakat dan

cara melakukan observasi, eksperimen, pengumpulan data, dan inferensi untuk

menguji ide dan membangun konsep ilmiah (NSTA, 2011).

Di Indonesia, guru IPA SMP dituntut untuk memiliki kualifikasi dan

kompetensi yang standar, sebagaimana disebutkan di dalam Permendiknas No

16/2007 di antaranya kompetensi pedagogi, guru mampu menyelenggarakan

pembelajaran yang mendidik. Selanjutnya dijelaskan di dalam Permendikbud

Nomor 103/2014 tentang pembelajaran pada pendidikan dasar dan menengah.

Kenyataan menunjukkan pada umumnya guru IPA tidak cukup memiliki

pemahaman tentang hakikat IPA (Rustaman, 2010). IPA harusnya dibelajarkan

(3)

pengetahuan yang dihasilkan dan cara lain untuk mengetahuinya (proses), sikap

serta nilai yang dihasilkan dari suatu produk IPA. Guru IPA SMP belum memiliki

kompetensi pedagogi inkuiri seperti yang dipersyaratkan oleh peraturan. Kondisi

ini didukung oleh hasil studi pendahuluan (Susilawati, dkk. 2014a) yang

menunjukkan dari 47 orang guru IPA SMP, 51,1% memiliki pemahaman

pengetahuan tentang konsep inkuiri pada kategori rendah dan 61,7% memiliki

kemampuan mengajar IPA berbasis inkuiri yang rendah. Data hasil kajian awal

yang diambil pada tahun 2013, dari 115 orang guru IPA SMP, 70.45% dari

mereka masih membutuhkan peningkatan kompetensi dalam hal pemahaman

konsep inkuiri, begitu juga dalam hal membuat perangkat pembelajaran serta

keterampilan mengajarkannya terkait beberapa aspek kemampuan inkuiri.

Permasalahan yang muncul adalah bagaimana meningkatkan kompetensi

pedagogi inkuiri guru IPA SMP di Indonesia. National Research Council (1996,

hlm. 57) menyatakan bahwa peningkatan kompetensi pedagogi yang terstandar,

dapat diperoleh melalui pengembangan diri secara berkelanjutan dan sepanjang

hayat. Pengembangan diri dapat diperoleh diantaranya melalui pendidikan dan

latihan. Jadi, kompetensi pedagogi inkuiri guru IPA SMP dapat ditingkatkan

melalui pengembangan profesional berkelanjutan dalam bentuk pendidikan dan

latihan (Diklat) inkuiri. Diklat yang dirancang dengan perbandingan aspek teori

dan jam praktik sesuai dengan kebutuhan dijelaskan pada struktur program.

Pada umumnya Diklat inkuiri dilaksanakan secara terpisah-pisah, terdiri atas

lokakarya yang pendek dan tidak ada hubungannya baik antara satu sama lain

maupun dengan pekerjaan guru di kelas (NRC, 2000, hlm. 112). Pelaksanaan

Diklat inkuiri dalam waktu yang singkat tidak mengubah praktik guru di dalam

kelas dan program Diklat dianggap tidak efektif (Bush, 1984; Yoon, dkk. 2007;

Darling-Hamond, dkk. 2009). Padahal sebaiknya pengembangan profesional

dalam pendidikan IPA dilakukan dalam jangka waktu yang tidak terlalu singkat

dan berkelanjutan, disesuaikan dengan konteks, dan melibatkan peserta

merefleksikan praktek mereka serta bekerja secara kolegial dengan pendidik

lainnya sehingga pengembangan profesional menjadi lebih efektif (NRC, 2000;

(4)

hubungan antara output dengan tujuan, semakin besar kontribusi (sumbangan)

output terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program atau

kegiatan (Mahmudi, 2005, hlm 92).

Wenning (2005) menekankan bahwa kegiatan pengembangan professional

guru tentang inkuiri haruslah mempunyai karakteristik khusus untuk mendapatkan

hasil yang sesuai dengan kenyataan. Kegiatan harus termasuk menempatkan guru

dalam peranannya sebagai pengajar dan pebelajar. Keadaan ini harus didukung

oleh ketersediaan pelatihan, pendampingan yang terus menerus dari lembaga

penyedia pelatihan. Peningkatan pemecahan masalah dalam pelatihan guru harus

dikaji dari akar permasalahan yang akan mempengaruhi filosofi berpikir guru.

Oleh karena itu, Wenning menekankan bahwa untuk mempengaruhi outcome guru

sebagai peserta pelatihan, lembaga penyedia pelatihan perlu memberikan

perhatian yang tinggi terhadap filosofi gurunya.

Terdapat beberapa penelitian tentang pengembangan profesional guru

khususnya pengembangan model Diklat inkuiri, seperti penelitian Smith &

Enfield (2002) menemukan pola pelatihan inkuiri untuk remaja yang berperan

sebagai guru mentor siswa SD dengan menggunakan "Step-Up" Incremental

Training Model. Model ini meliputi tiga kali lokakarya secara berturut-turut yang

diselingi dengan implementasi pembelajaran. Pemodelan yang efektif, praktik,

refleksi dan review menjadi metode utama pada setiap tahapnya. Model pelatihan

dapat meningkatkan kemampuan mengamati, menjelaskan objek, dan

keterampilan bertanya. Smith & Enfield menganggap model ini efektif bagi

remaja yang berperan sebagai guru mentor dalam kegiatan pembelajaran IPA

berbasis inkuiri, akan tetapi model ini belum dilakukan kepada guru yang

sesungguhnya, guru yang mempunyai tugas mengajar langsung di kelas dan guru

sebagai orang dewasa yang memiliki karakteristik khusus dalam belajar, sehingga

efektivitasnya masih dipertanyakan.

Shedletzky (2005) mengembangkan model Diklat inkuiri menggunakan

program Biomind yang dilaksanakan selama empat bulan kepada guru SMA.

Guru diminta menerapkan pembelajaran dengan inkuiri terbuka dengan cara

(5)

melakukan percobaan. Kesulitan yang dihadapi guru kemudian dijadikan sebagai

dasar untuk membuat disain model dan melaksanakan lokakarya. Hasilnya

didapatkan model pelatihan guru dalam jabatan untuk meningkatkan pengajaran

inkuiri terbuka dengan tiga tahap yaitu tahap praktik, tahap refleksi, dan tahap

pengembangan profesional. Model pelatihan mengindikasikan bahwa lokakarya

dapat meningkatkan baik pemahaman pentingnya proses pembelajaran inkuiri

terbuka maupun pengetahuan pedagogi dalam mengajar inkuiri terbuka. Akan

tetapi karena model pelatihan inkuiri guru ini hanya melatih pengajaran inkuiri

terbuka saja, maka dianggap masih kurang memenuhi kebutuhan untuk

meningkatkan kompetensi pedagogi inkuiri yang seharusnya dimiliki guru secara

lebih luas.

Wenning (2010) menemukan pendekatan inkuiri bertingkat dengan aspek

kemampuan inkuiri yang lebih lengkap dan sesuai dengan kemampuan pedagogis

dasar. Aspek kemampuan inkuiri yang dikembangkan dalam model inkuiri

Wenning dijelaskan dalam enam level yaitu Discovery Learning (DL), Interactive

Demonstration (ID), Inquiry Lesson (I Les), Inquiry Laboratory (I Lab), Real

World Application (RWA), dan Hypothetical Inquiry (HI). Wenning

mengimplementasikan kemampuan inkuiri pada enam level dalam pembelajaran

Fisika di SMA, hasilnya dapat memberikan kerangka kerja pengajaran yang

membantu meyakinkan bahwa siswa berkembang dalam hal intelektual maupun

keterampilan proses sains.

Menurut Wenning (2010), penggunaan urutan spektrum pembelajaran dapat

meningkatkan pemahaman siswa tentang konsep selain mengembangkan

pemahaman siswa tentang inkuiri ilmiah dan hakikat sains. Namun demikian,

keberhasilan yang diungkapkan oleh Wenning merupakan contoh aplikasi model

inkuiri yang diberikan khusus bagi guru Fisika SMA, sehingga hasilnya masih

dipertanyakan apabila model ini digunakan dalam pelatihan guru IPA SMP yang

mengajarkan materi bukan hanya Fisika tetapi juga Biologi dan Kimia. Untuk

mendapatkan data yang akurat diperlukan penelitian yang tepat.

Merujuk pada beberapa penelitian yang telah diuraikan, terlihat bahwa

(6)

sebelumnya. Jadi, isu besarnya bukan terletak pada tidak adanya program

pengembangan professional khususnya Diklat inkuiri, namun ada beberapa hal

yang belum dilakukan dan memerlukan perhatian khusus sehingga perlu diadakan

penelitian.

Penelitian ini mencoba menerapkan keberhasilan yang sudah diraih oleh

Wenning (2010, 2011) dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi pedagogi

inkuiri guru secara lengkap. Perbedaannya pada penelitian ini bahwa

pembelajaran inkuiri diterapkan kepada guru IPA SMP yang mengajar Fisika,

Biologi, dan Kimia. Pelatihan menggunakan urutan spektrum pembelajaran yang

akan menandai peningkatan level.

Penggunaan inkuiri akan bermakna apabila diperlakukan sebagai

kemampuan kerja ilmiah, diterapkan dan diukur selama proses pembelajaran, dan

sebagai perolehan pembelajaran (Rustaman, 2005). Banyaknya aspek kemampuan

inkuiri pada enam level yang dikembangkan Wenning, akan sulit bila diberikan

secara sekaligus kepada guru pada satu kali pelaksanaan Diklat. Dengan

demikian, aspek kemampuan inkuiri pada beberapa level yang berbeda harus

diberikan secara bertahap dalam bentuk Diklat berjenjang disesuaikan dengan

tujuan pedagogis dasarnya. Untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan

yang utuh tentang pembelajaran inkuiri melalui Diklat berjenjang, guru yang

mengikuti Diklat haruslah guru yang sama. Pada kenyataannya, pelatihan belum

tentu diikuti oleh orang yang sama.

Metode utama pada setiap tahapan mengadaptasi dari hasil penelitian Smith

dan Enfield (2002) dengan modifikasi di beberapa bagian tertentu. Konten materi

yang digunakan sebagai alat untuk mengembangkan kompetensi pedagogi inkuiri

khusus pada materi yang diajarkan di SMP kelas VIII. Pelatihan difokuskan pada

peningkatan kompetensi pedagogi inkuiri guru tentang keterampilan penyusunan

Rencana Persiapan Pembelajaran (RPP) IPA berbasis inkuiri dan keterampilan

mengajar IPA berbasis inkuiri sebagaimana dipersyaratkan dalam standar

kualifikasi dan kompetensi guru secara nasional.

Berdasarkan uraian di atas, maka kebaruan dalam penelitian ini adalah

(7)

pedagogi inkuiri guru IPA SMP dengan karakteristik khusus (Inkuiri Berjenjang).

Selain pelaksanaan di tempat Diklat, model Diklat juga dilengkapi dengan latihan

implementasi di sekolah langsung. Model Diklat inkuiri berjenjang yang

dikembangkan adalah bentuk pengembangan profesional guru yang merupakan

modifikasi dari pola pelatihan yang sudah ada sebelumnya. Diharapkan model

Diklat ini dapat dijadikan alternatif bagi guru untuk mengembangkan diri, karena

pada dasarnya pengembangan professional menjadi usaha besar untuk

meningkatkan kompetensi guru (Rotherham, 2009, hlm. 21). Pada akhirnya,

pendidikan dan pelatihan bagi guru memainkan peranan penting dalam

peningkatan mutu sekolah (Bradley, 1994. hlm. 236).

1.2Identifikasi Masalah Penelitian

Terdapat beberapa masalah berkaitan dengan pengembangan profesional

guru IPA khususnya dalam peningkatan kemampuan pedagogi inkuiri. Model

Diklat inkuiri serta pelaksanaan pelatihan pedagogi inkuiri bagi guru IPA SMP

selama ini dianggap masih kurang memadai dan belum sesuai dengan kebutuhan

guru di lapangan. Permasalahan yang berhubungan dengan kepentingan perlunya

dibuat model Diklat inkuiri untuk meningkatkan kompetensi pedagogi inkuiri

guru IPA, dapat diidentifikasi sebagai berikut.

1. Kenyataan bahwa kemampuan inkuiri guru IPA SMP masih rendah dan

memerlukan peningkatan, karena mengajar IPA dengan pendekatan inkuiri

menjadi satu kebutuhan utama yang harus dikuasai guru.

2. Diklat inkuiri untuk guru umumnya dilaksanakan secara singkat, hanya dalam

beberapa hari dan tidak dilengkapi dengan implementasi di sekolah, sehingga

efektivitasnya kurang bisa dirasakan.

3. Belum ditemukan adanya model Diklat khusus kompetensi inkuiri untuk guru

IPA SMP, yang dilaksanakan secara berjenjang dan dilengkapi dengan latihan

implementasi di sekolah langsung.

4. Diperlukan model Diklat inkuiri yang memiliki karakteristik khusus dan dapat

(8)

1.3Rumusan Masalah Penelitian

Tuntutan perkembangan zaman mendorong guru untuk memiliki

kompetensi yang memadai. Kompetensi pedagogi merupakan salah satu dari

empat kompetensi yang harus dimiliki guru. Sebagai tenaga profesional guru

dituntut mengembangkan kompetensinya secara terus menerus. Pengembangan

kompetensi pedagogi inkuiri merupakan kebutuhan primer supaya guru dapat

melaksanakan pembelajaran IPA sesuai dengan hakikatnya. Kenyataan

menunjukkan bahwa model Diklat inkuiri yang ada belum sesuai dengan harapan.

Oleh karena itu, dianggap perlu untuk merancang sebuah model Diklat khusus

pada peningkatan kemampuan inkuiri, yang mencakup program pengembangan

profesional bagi guru yang efektif, efisien, dan berkelanjutan sehingga dapat

meningkatkan profesionalisme guru.

Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, guru paham dengan apa yang

disampaikan selama Diklat dan dapat mengimplementasikannya di sekolah, model

Diklat yang dikembangkan harus merupakan kegiatan pelatihan yang berjenjang

yang tidak sekaligus jadi dan tidak dilaksanakan dalam waktu yang terlalu

singkat. Diklat harus dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan enam level

inkuiri yaitu Discovery Learning (DL), Interactive Demonstration (ID), Inquiry

Lesson (I Les), Inquiry Laboratory (I Lab), Real World Application (RWA), dan

Hypothetical Inquiry (HI) dan setiap level memiliki aspek kemampuan pedagogi

dasar. Pelatihan memerlukan pola tertentu, diantaranya memerlukan adanya

pemodelan, pendampingan dan refleksi. Pada implementasinya Diklat harus

dilakukan di tempat Diklat dan di sekolah tempat guru mengajar sehingga guru

mendapatkan pengalaman nyata mempraktikan hasil Diklat di sekolah.

Sesuai dengan tujuan pengembangan model, untuk mengetahui efektivitas

program, model Diklat dikaji dalam hal ada tidaknya peningkatan kompetensi

pedagogi inkuiri guru yang meliputi kompetensi menyusun RPP IPA berbasis

inkuiri dan keterampilan mengajar IPA berbasis inkuiri. Model Diklat juga dikaji

dari faktor efektivitas, relevansi, manfaat, dan keterpakaian hasil Diklat di

(9)

Berdasarkan uraian tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah model Diklat Inkuiri Berjenjang efektif dalam meningkatkan kompetensi pedagogi inkuiri guru IPA SMP?”. Agar rumusan masalah lebih operasional, berikut diuraikan lebih rinci menjadi beberapa pertanyaan, yaitu:

1. Bagaimana karakteristik model Diklat Inkuiri Berjenjang dalam meningkatkan

kompetensi pedagogi inkuiri guru IPA SMP?

2. Bagaimana disain model Diklat Inkuiri Berjenjang yang dikembangkan dalam

penelitian ini?

3. Bagaimana keterlaksanaan pembelajaran menggunakan model Diklat Inkuiri

Berjenjang?

4. Apakah model Diklat Inkuiri Berjenjang yang dikembangkan efektif dalam

meningkatkan kemampuan pedagogi inkuiri guru IPA SMP?

5. Bagaimana tanggapan peserta tentang relevansi, efektivitas, manfaat dan

keterpakaian hasil Diklat dalam implementasi di sekolah?

1.4Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan menguji efektivitas model

Diklat Inkuiri Berjenjang untuk meningkatkan kompetensi pedagogi inkuiri guru

IPA SMP.

1.5 Manfaat Hasil Penelitian

Hasil akhir dari penelitian ini berupa model Diklat yang relevan, efektif,

bermanfaat, dan dapat diimplementasikan oleh guru sebagai peserta Diklat di

sekolahnya masing-masing. Oleh karena itu, manfaat yang ingin dicapai dari

penelitian ini adalah:

1. Model Diklat Inkuiri Berjenjang bermanfaat untuk meningkatkan kompetensi

pedagogi inkuiri guru IPA SMP, baik dalam kompetensi menyusun RPP IPA

berbasis inkuiri maupun keterampilan mengajar IPA dengan menggunakan

(10)

2. Model Diklat Inkuiri Berjenjang dapat memberikan sumbangan alternatif

pengembangan model Diklat inkuiri, menambah model-model Diklat yang

telah ada dalam pengembangan profesional guru;

3. Model Diklat Inkuiri Berjenjang dapat digunakan sebagai kerangka acuan bagi

pengembangan Diklat di lembaga terkait, baik di tingkat pusat maupun di

tingkat daerah.

1.6Penjelasan Istilah

Untuk menghindari kesalahan penafsiran terhadap istilah-istilah yang

digunakan dalam penelitian ini, terdapat beberapa istilah yang perlu dijelaskan

yaitu sebagai berikut.

1. Model Diklat adalah kerangka konseptual yang mendeskripsikan prosedur

yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar.

2. Diklat berjenjang adalah Diklat yang dirancang secara berjenjang meliputi

jenjang dasar dan jenjang lanjut dengan pola in-service learning dan on the job

learning. Diklat dikembangkan untuk meningkatkan kompetensi pedagogi

inkuiri guru SMP.

3. Inkuiri Berjenjang dimaksudkan bahwa kemampuan inkuiri dilatihkan secara

berjenjang. Pada jenjang dasar meliputi empat level inkuiri, sedangkan jenjang

lanjut meliputi dua level inkuiri. Keterampilan inkuiri yang diberikan pada tiap

jenjang berdasarkan level kemampuan dalam proses pembelajaran yang harus

dicapai berdasarkan indikator kemampuan dan tujuan pedagogik dasar.

4. Kompetensi pedagogi inkuiri merupakan kemampuan inkuiri guru IPA SMP

yang meliputi menyusun rencana persiapan pembelajaran inkuiri dan

menyampaikan materi pelajaran selama proses pembelajaran.

5. Inkuiri digunakan sebagai pendekatan selama proses pembelajaran karena hasil

yang diharapkan dari pelatihan adalah guru yang berinkuiri.

6. In service learning (ISL) adalah pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan di

tempat pelatihan.

Referensi

Dokumen terkait

Majelis Sinode GPIB melaporkan bahwa sistem persepuluhan di GPIB telah terlaksana dengan baik dengan menunjukkan bahwa pemasukan dari persepuluhan melebihi anggaran

Zeolit yang digunakan sebagai subatrat yang telah ditambahkan (diperkaya) unsur hara diharapkan unsur hara tersebut yang terikat di substrat dapat dilepaskan ke dalam kolom air

Pernyataan tersebut memperkuat hasil penelitian yang dilakukan oleh Nye (1957), yang diacu dalam Pryor dan Rodgers (2001) juga menemukan bahwa anak yang berasal

Ketersediaan energi yang dianjurkan adalah 2.200,00 kal / kapita / hari dan total protein yang dianjurkan adalah sebesar 57,00 gram / kapita / hari, sedangkan

Dengan kata lain Laporan Kinerja ini bermaksud untuk menyajikan satu informasi yang utuh atas upaya pelaksanaan pembangunan yang telah dilakukan dilihat dari tingkat capaian

Bangunan : No. Izin UU Gangguan/HO : No. Izin Teknis lainnya : No. Tanggal Hanya diisi sesuai dengan Perizinan yang telah dimiliki. Modal Kerja : Jumlah :. Apabila

(2) Für Studierende, die bereits vor 2013 den Studiengang im englischen und deutschen Recht des University College London und der Universität zu Köln begonnen haben, gilt

Aplikasi pencarian file dengan menggunakan algoritma apostolico giancarlo ini mampu melakukan pencarian file pada folder atau drive yang ditentukan berdasarkan kata