BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Abad 21 merupakan abad kompetitif di berbagai bidang yang menuntut
kemampuan dan keterampilan baru yang berbeda. Perubahan keterampilan pada
abad 21 memerlukan perhatian yang serius dalam pembelajaran, sistem penilaian
dan pengembangan kurikulum (Rotherham, 2009, hlm 2). Beberapa keterampilan
yang diperlukan dan dikembangkan di abad 21 dirancang dalam kerjasama dengan
National Science Teacher Association (NSTA), yaitu antara lain: learning and
innovation meliputi creativity and innovation, critical thinking and problem
solving, communication, dan collaboration.
Dalam konteks pendidikan IPA, keterampilan abad 21 menawarkan
beberapa cara baru dari kerangka yang dianggap sebagai pendekatan dalam
pembelajaran IPA dan beberapa ide baru untuk memperkaya penyelidikan siswa
dengan model belajar lintas-disiplin. Demikian juga sebaliknya, IPA dengan
karakteristiknya yang kaya akan pemikiran kritis dan kreatif, teknologi terapan,
dan kerja kolaborasi dengan standar yang tinggi untuk komunikasi dan tanggung
jawab pribadi, berkontribusi untuk memenuhi kebutuhan keterampilan pada abad
21 di semua bidang disiplin (Windschitl, 2009, hlm. 23). Dalam peta keterampilan
abad 21 dijelaskan bahwa keterkaitan antara abad 21 dan keterampilan berakar
dalam hal penyelidikan (inquiry), pengetahuan proses, desain eksperimen, dan
elemen kebiasaan berpikir ilmiah, seperti yang disebutkan dalam Project
American Association for the Advancement of Science 2061 Benchmarks for
Science Literacy, the Atlas of Science Literacy, dan the National Science
Education Standards, serta ekstrapolasi dari praktek penelitian ilmiah
sebagaimana mereka berubah di Abad ke-21.
Ciri IPA terletak pada metode khusus yang digunakan saintis untuk
mempelajari dunia. IPA dimaksudkan untuk memahami, menjelaskan, dan
memprediksi dunia di tempat kita hidup (Poedjiadi, 2001). Selanjutnya dijelaskan
tidak hanya mengumpulkan data hasil percobaan, melainkan ingin
menjelaskannya dalam bentuk teori umum. Satu dari problem kunci dalam filsafat
IPA adalah untuk memahami bagaimana teknik seperti eksperimen, observasi, dan
konstruksi teori telah menjadikan saintis mampu mengatasi/memahami demikian
banyak rahasia alam. Tugas utama dari filsafat IPA adalah menganalisis metode
inkuiri yang digunakan dalam pembelajaran IPA.
Untuk menjawab tantangan zaman, National Science Teacher Association
(NSTA, 2011) menyatakan bahwa “guru IPA SMP di Amerika Serikat harus
memiliki delapan puluh persen dari kompetensi yang ada.” Guru harus
mempunyai penekanan yang kuat pada penyelidikan kolaboratif di laboratorium
dan lapangan, melibatkan siswa secara efektif dalam melaksanakan kegiatan nyata
yang akan mengarah pada pengembangan konsep yang diinginkan melalui
penyelidikan dan analisis pengalaman, membantu siswa memahami mengapa IPA
penting bagi mereka. Di Amerika Serikat, kompetensi pedagogi menjadi bagian
penting dalam pembelajaran karena cara yang disampaikan oleh guru akan
mempengaruhi apa yang siswa pelajari (NRC, 1996, hlm. 28).
Guru IPA juga harus siap untuk membimbing siswa memahami di setiap
wilayah konten IPA yang terjalin dalam perspektif interdisipliner. Mereka harus
mampu membimbing siswa untuk memahami perbedaan antara ilmu pengetahuan,
penyelidikan, dan teknologi sebagai disain, serta dampak ilmu pengetahuan dan
teknologi pada diri mereka sendiri, komunitas serta kesehatan masyarakat dan
cara melakukan observasi, eksperimen, pengumpulan data, dan inferensi untuk
menguji ide dan membangun konsep ilmiah (NSTA, 2011).
Di Indonesia, guru IPA SMP dituntut untuk memiliki kualifikasi dan
kompetensi yang standar, sebagaimana disebutkan di dalam Permendiknas No
16/2007 di antaranya kompetensi pedagogi, guru mampu menyelenggarakan
pembelajaran yang mendidik. Selanjutnya dijelaskan di dalam Permendikbud
Nomor 103/2014 tentang pembelajaran pada pendidikan dasar dan menengah.
Kenyataan menunjukkan pada umumnya guru IPA tidak cukup memiliki
pemahaman tentang hakikat IPA (Rustaman, 2010). IPA harusnya dibelajarkan
pengetahuan yang dihasilkan dan cara lain untuk mengetahuinya (proses), sikap
serta nilai yang dihasilkan dari suatu produk IPA. Guru IPA SMP belum memiliki
kompetensi pedagogi inkuiri seperti yang dipersyaratkan oleh peraturan. Kondisi
ini didukung oleh hasil studi pendahuluan (Susilawati, dkk. 2014a) yang
menunjukkan dari 47 orang guru IPA SMP, 51,1% memiliki pemahaman
pengetahuan tentang konsep inkuiri pada kategori rendah dan 61,7% memiliki
kemampuan mengajar IPA berbasis inkuiri yang rendah. Data hasil kajian awal
yang diambil pada tahun 2013, dari 115 orang guru IPA SMP, 70.45% dari
mereka masih membutuhkan peningkatan kompetensi dalam hal pemahaman
konsep inkuiri, begitu juga dalam hal membuat perangkat pembelajaran serta
keterampilan mengajarkannya terkait beberapa aspek kemampuan inkuiri.
Permasalahan yang muncul adalah bagaimana meningkatkan kompetensi
pedagogi inkuiri guru IPA SMP di Indonesia. National Research Council (1996,
hlm. 57) menyatakan bahwa peningkatan kompetensi pedagogi yang terstandar,
dapat diperoleh melalui pengembangan diri secara berkelanjutan dan sepanjang
hayat. Pengembangan diri dapat diperoleh diantaranya melalui pendidikan dan
latihan. Jadi, kompetensi pedagogi inkuiri guru IPA SMP dapat ditingkatkan
melalui pengembangan profesional berkelanjutan dalam bentuk pendidikan dan
latihan (Diklat) inkuiri. Diklat yang dirancang dengan perbandingan aspek teori
dan jam praktik sesuai dengan kebutuhan dijelaskan pada struktur program.
Pada umumnya Diklat inkuiri dilaksanakan secara terpisah-pisah, terdiri atas
lokakarya yang pendek dan tidak ada hubungannya baik antara satu sama lain
maupun dengan pekerjaan guru di kelas (NRC, 2000, hlm. 112). Pelaksanaan
Diklat inkuiri dalam waktu yang singkat tidak mengubah praktik guru di dalam
kelas dan program Diklat dianggap tidak efektif (Bush, 1984; Yoon, dkk. 2007;
Darling-Hamond, dkk. 2009). Padahal sebaiknya pengembangan profesional
dalam pendidikan IPA dilakukan dalam jangka waktu yang tidak terlalu singkat
dan berkelanjutan, disesuaikan dengan konteks, dan melibatkan peserta
merefleksikan praktek mereka serta bekerja secara kolegial dengan pendidik
lainnya sehingga pengembangan profesional menjadi lebih efektif (NRC, 2000;
hubungan antara output dengan tujuan, semakin besar kontribusi (sumbangan)
output terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program atau
kegiatan (Mahmudi, 2005, hlm 92).
Wenning (2005) menekankan bahwa kegiatan pengembangan professional
guru tentang inkuiri haruslah mempunyai karakteristik khusus untuk mendapatkan
hasil yang sesuai dengan kenyataan. Kegiatan harus termasuk menempatkan guru
dalam peranannya sebagai pengajar dan pebelajar. Keadaan ini harus didukung
oleh ketersediaan pelatihan, pendampingan yang terus menerus dari lembaga
penyedia pelatihan. Peningkatan pemecahan masalah dalam pelatihan guru harus
dikaji dari akar permasalahan yang akan mempengaruhi filosofi berpikir guru.
Oleh karena itu, Wenning menekankan bahwa untuk mempengaruhi outcome guru
sebagai peserta pelatihan, lembaga penyedia pelatihan perlu memberikan
perhatian yang tinggi terhadap filosofi gurunya.
Terdapat beberapa penelitian tentang pengembangan profesional guru
khususnya pengembangan model Diklat inkuiri, seperti penelitian Smith &
Enfield (2002) menemukan pola pelatihan inkuiri untuk remaja yang berperan
sebagai guru mentor siswa SD dengan menggunakan "Step-Up" Incremental
Training Model. Model ini meliputi tiga kali lokakarya secara berturut-turut yang
diselingi dengan implementasi pembelajaran. Pemodelan yang efektif, praktik,
refleksi dan review menjadi metode utama pada setiap tahapnya. Model pelatihan
dapat meningkatkan kemampuan mengamati, menjelaskan objek, dan
keterampilan bertanya. Smith & Enfield menganggap model ini efektif bagi
remaja yang berperan sebagai guru mentor dalam kegiatan pembelajaran IPA
berbasis inkuiri, akan tetapi model ini belum dilakukan kepada guru yang
sesungguhnya, guru yang mempunyai tugas mengajar langsung di kelas dan guru
sebagai orang dewasa yang memiliki karakteristik khusus dalam belajar, sehingga
efektivitasnya masih dipertanyakan.
Shedletzky (2005) mengembangkan model Diklat inkuiri menggunakan
program Biomind yang dilaksanakan selama empat bulan kepada guru SMA.
Guru diminta menerapkan pembelajaran dengan inkuiri terbuka dengan cara
melakukan percobaan. Kesulitan yang dihadapi guru kemudian dijadikan sebagai
dasar untuk membuat disain model dan melaksanakan lokakarya. Hasilnya
didapatkan model pelatihan guru dalam jabatan untuk meningkatkan pengajaran
inkuiri terbuka dengan tiga tahap yaitu tahap praktik, tahap refleksi, dan tahap
pengembangan profesional. Model pelatihan mengindikasikan bahwa lokakarya
dapat meningkatkan baik pemahaman pentingnya proses pembelajaran inkuiri
terbuka maupun pengetahuan pedagogi dalam mengajar inkuiri terbuka. Akan
tetapi karena model pelatihan inkuiri guru ini hanya melatih pengajaran inkuiri
terbuka saja, maka dianggap masih kurang memenuhi kebutuhan untuk
meningkatkan kompetensi pedagogi inkuiri yang seharusnya dimiliki guru secara
lebih luas.
Wenning (2010) menemukan pendekatan inkuiri bertingkat dengan aspek
kemampuan inkuiri yang lebih lengkap dan sesuai dengan kemampuan pedagogis
dasar. Aspek kemampuan inkuiri yang dikembangkan dalam model inkuiri
Wenning dijelaskan dalam enam level yaitu Discovery Learning (DL), Interactive
Demonstration (ID), Inquiry Lesson (I Les), Inquiry Laboratory (I Lab), Real
World Application (RWA), dan Hypothetical Inquiry (HI). Wenning
mengimplementasikan kemampuan inkuiri pada enam level dalam pembelajaran
Fisika di SMA, hasilnya dapat memberikan kerangka kerja pengajaran yang
membantu meyakinkan bahwa siswa berkembang dalam hal intelektual maupun
keterampilan proses sains.
Menurut Wenning (2010), penggunaan urutan spektrum pembelajaran dapat
meningkatkan pemahaman siswa tentang konsep selain mengembangkan
pemahaman siswa tentang inkuiri ilmiah dan hakikat sains. Namun demikian,
keberhasilan yang diungkapkan oleh Wenning merupakan contoh aplikasi model
inkuiri yang diberikan khusus bagi guru Fisika SMA, sehingga hasilnya masih
dipertanyakan apabila model ini digunakan dalam pelatihan guru IPA SMP yang
mengajarkan materi bukan hanya Fisika tetapi juga Biologi dan Kimia. Untuk
mendapatkan data yang akurat diperlukan penelitian yang tepat.
Merujuk pada beberapa penelitian yang telah diuraikan, terlihat bahwa
sebelumnya. Jadi, isu besarnya bukan terletak pada tidak adanya program
pengembangan professional khususnya Diklat inkuiri, namun ada beberapa hal
yang belum dilakukan dan memerlukan perhatian khusus sehingga perlu diadakan
penelitian.
Penelitian ini mencoba menerapkan keberhasilan yang sudah diraih oleh
Wenning (2010, 2011) dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi pedagogi
inkuiri guru secara lengkap. Perbedaannya pada penelitian ini bahwa
pembelajaran inkuiri diterapkan kepada guru IPA SMP yang mengajar Fisika,
Biologi, dan Kimia. Pelatihan menggunakan urutan spektrum pembelajaran yang
akan menandai peningkatan level.
Penggunaan inkuiri akan bermakna apabila diperlakukan sebagai
kemampuan kerja ilmiah, diterapkan dan diukur selama proses pembelajaran, dan
sebagai perolehan pembelajaran (Rustaman, 2005). Banyaknya aspek kemampuan
inkuiri pada enam level yang dikembangkan Wenning, akan sulit bila diberikan
secara sekaligus kepada guru pada satu kali pelaksanaan Diklat. Dengan
demikian, aspek kemampuan inkuiri pada beberapa level yang berbeda harus
diberikan secara bertahap dalam bentuk Diklat berjenjang disesuaikan dengan
tujuan pedagogis dasarnya. Untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan
yang utuh tentang pembelajaran inkuiri melalui Diklat berjenjang, guru yang
mengikuti Diklat haruslah guru yang sama. Pada kenyataannya, pelatihan belum
tentu diikuti oleh orang yang sama.
Metode utama pada setiap tahapan mengadaptasi dari hasil penelitian Smith
dan Enfield (2002) dengan modifikasi di beberapa bagian tertentu. Konten materi
yang digunakan sebagai alat untuk mengembangkan kompetensi pedagogi inkuiri
khusus pada materi yang diajarkan di SMP kelas VIII. Pelatihan difokuskan pada
peningkatan kompetensi pedagogi inkuiri guru tentang keterampilan penyusunan
Rencana Persiapan Pembelajaran (RPP) IPA berbasis inkuiri dan keterampilan
mengajar IPA berbasis inkuiri sebagaimana dipersyaratkan dalam standar
kualifikasi dan kompetensi guru secara nasional.
Berdasarkan uraian di atas, maka kebaruan dalam penelitian ini adalah
pedagogi inkuiri guru IPA SMP dengan karakteristik khusus (Inkuiri Berjenjang).
Selain pelaksanaan di tempat Diklat, model Diklat juga dilengkapi dengan latihan
implementasi di sekolah langsung. Model Diklat inkuiri berjenjang yang
dikembangkan adalah bentuk pengembangan profesional guru yang merupakan
modifikasi dari pola pelatihan yang sudah ada sebelumnya. Diharapkan model
Diklat ini dapat dijadikan alternatif bagi guru untuk mengembangkan diri, karena
pada dasarnya pengembangan professional menjadi usaha besar untuk
meningkatkan kompetensi guru (Rotherham, 2009, hlm. 21). Pada akhirnya,
pendidikan dan pelatihan bagi guru memainkan peranan penting dalam
peningkatan mutu sekolah (Bradley, 1994. hlm. 236).
1.2Identifikasi Masalah Penelitian
Terdapat beberapa masalah berkaitan dengan pengembangan profesional
guru IPA khususnya dalam peningkatan kemampuan pedagogi inkuiri. Model
Diklat inkuiri serta pelaksanaan pelatihan pedagogi inkuiri bagi guru IPA SMP
selama ini dianggap masih kurang memadai dan belum sesuai dengan kebutuhan
guru di lapangan. Permasalahan yang berhubungan dengan kepentingan perlunya
dibuat model Diklat inkuiri untuk meningkatkan kompetensi pedagogi inkuiri
guru IPA, dapat diidentifikasi sebagai berikut.
1. Kenyataan bahwa kemampuan inkuiri guru IPA SMP masih rendah dan
memerlukan peningkatan, karena mengajar IPA dengan pendekatan inkuiri
menjadi satu kebutuhan utama yang harus dikuasai guru.
2. Diklat inkuiri untuk guru umumnya dilaksanakan secara singkat, hanya dalam
beberapa hari dan tidak dilengkapi dengan implementasi di sekolah, sehingga
efektivitasnya kurang bisa dirasakan.
3. Belum ditemukan adanya model Diklat khusus kompetensi inkuiri untuk guru
IPA SMP, yang dilaksanakan secara berjenjang dan dilengkapi dengan latihan
implementasi di sekolah langsung.
4. Diperlukan model Diklat inkuiri yang memiliki karakteristik khusus dan dapat
1.3Rumusan Masalah Penelitian
Tuntutan perkembangan zaman mendorong guru untuk memiliki
kompetensi yang memadai. Kompetensi pedagogi merupakan salah satu dari
empat kompetensi yang harus dimiliki guru. Sebagai tenaga profesional guru
dituntut mengembangkan kompetensinya secara terus menerus. Pengembangan
kompetensi pedagogi inkuiri merupakan kebutuhan primer supaya guru dapat
melaksanakan pembelajaran IPA sesuai dengan hakikatnya. Kenyataan
menunjukkan bahwa model Diklat inkuiri yang ada belum sesuai dengan harapan.
Oleh karena itu, dianggap perlu untuk merancang sebuah model Diklat khusus
pada peningkatan kemampuan inkuiri, yang mencakup program pengembangan
profesional bagi guru yang efektif, efisien, dan berkelanjutan sehingga dapat
meningkatkan profesionalisme guru.
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, guru paham dengan apa yang
disampaikan selama Diklat dan dapat mengimplementasikannya di sekolah, model
Diklat yang dikembangkan harus merupakan kegiatan pelatihan yang berjenjang
yang tidak sekaligus jadi dan tidak dilaksanakan dalam waktu yang terlalu
singkat. Diklat harus dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan enam level
inkuiri yaitu Discovery Learning (DL), Interactive Demonstration (ID), Inquiry
Lesson (I Les), Inquiry Laboratory (I Lab), Real World Application (RWA), dan
Hypothetical Inquiry (HI) dan setiap level memiliki aspek kemampuan pedagogi
dasar. Pelatihan memerlukan pola tertentu, diantaranya memerlukan adanya
pemodelan, pendampingan dan refleksi. Pada implementasinya Diklat harus
dilakukan di tempat Diklat dan di sekolah tempat guru mengajar sehingga guru
mendapatkan pengalaman nyata mempraktikan hasil Diklat di sekolah.
Sesuai dengan tujuan pengembangan model, untuk mengetahui efektivitas
program, model Diklat dikaji dalam hal ada tidaknya peningkatan kompetensi
pedagogi inkuiri guru yang meliputi kompetensi menyusun RPP IPA berbasis
inkuiri dan keterampilan mengajar IPA berbasis inkuiri. Model Diklat juga dikaji
dari faktor efektivitas, relevansi, manfaat, dan keterpakaian hasil Diklat di
Berdasarkan uraian tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah model Diklat Inkuiri Berjenjang efektif dalam meningkatkan kompetensi pedagogi inkuiri guru IPA SMP?”. Agar rumusan masalah lebih operasional, berikut diuraikan lebih rinci menjadi beberapa pertanyaan, yaitu:
1. Bagaimana karakteristik model Diklat Inkuiri Berjenjang dalam meningkatkan
kompetensi pedagogi inkuiri guru IPA SMP?
2. Bagaimana disain model Diklat Inkuiri Berjenjang yang dikembangkan dalam
penelitian ini?
3. Bagaimana keterlaksanaan pembelajaran menggunakan model Diklat Inkuiri
Berjenjang?
4. Apakah model Diklat Inkuiri Berjenjang yang dikembangkan efektif dalam
meningkatkan kemampuan pedagogi inkuiri guru IPA SMP?
5. Bagaimana tanggapan peserta tentang relevansi, efektivitas, manfaat dan
keterpakaian hasil Diklat dalam implementasi di sekolah?
1.4Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan menguji efektivitas model
Diklat Inkuiri Berjenjang untuk meningkatkan kompetensi pedagogi inkuiri guru
IPA SMP.
1.5 Manfaat Hasil Penelitian
Hasil akhir dari penelitian ini berupa model Diklat yang relevan, efektif,
bermanfaat, dan dapat diimplementasikan oleh guru sebagai peserta Diklat di
sekolahnya masing-masing. Oleh karena itu, manfaat yang ingin dicapai dari
penelitian ini adalah:
1. Model Diklat Inkuiri Berjenjang bermanfaat untuk meningkatkan kompetensi
pedagogi inkuiri guru IPA SMP, baik dalam kompetensi menyusun RPP IPA
berbasis inkuiri maupun keterampilan mengajar IPA dengan menggunakan
2. Model Diklat Inkuiri Berjenjang dapat memberikan sumbangan alternatif
pengembangan model Diklat inkuiri, menambah model-model Diklat yang
telah ada dalam pengembangan profesional guru;
3. Model Diklat Inkuiri Berjenjang dapat digunakan sebagai kerangka acuan bagi
pengembangan Diklat di lembaga terkait, baik di tingkat pusat maupun di
tingkat daerah.
1.6Penjelasan Istilah
Untuk menghindari kesalahan penafsiran terhadap istilah-istilah yang
digunakan dalam penelitian ini, terdapat beberapa istilah yang perlu dijelaskan
yaitu sebagai berikut.
1. Model Diklat adalah kerangka konseptual yang mendeskripsikan prosedur
yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar.
2. Diklat berjenjang adalah Diklat yang dirancang secara berjenjang meliputi
jenjang dasar dan jenjang lanjut dengan pola in-service learning dan on the job
learning. Diklat dikembangkan untuk meningkatkan kompetensi pedagogi
inkuiri guru SMP.
3. Inkuiri Berjenjang dimaksudkan bahwa kemampuan inkuiri dilatihkan secara
berjenjang. Pada jenjang dasar meliputi empat level inkuiri, sedangkan jenjang
lanjut meliputi dua level inkuiri. Keterampilan inkuiri yang diberikan pada tiap
jenjang berdasarkan level kemampuan dalam proses pembelajaran yang harus
dicapai berdasarkan indikator kemampuan dan tujuan pedagogik dasar.
4. Kompetensi pedagogi inkuiri merupakan kemampuan inkuiri guru IPA SMP
yang meliputi menyusun rencana persiapan pembelajaran inkuiri dan
menyampaikan materi pelajaran selama proses pembelajaran.
5. Inkuiri digunakan sebagai pendekatan selama proses pembelajaran karena hasil
yang diharapkan dari pelatihan adalah guru yang berinkuiri.
6. In service learning (ISL) adalah pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan di
tempat pelatihan.