• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI DAN PERANCANGAN PENINGKATAN JALAN SELATAN-SELATAN CILACAP RUAS SIDAREJA - JERUKLEGI - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EVALUASI DAN PERANCANGAN PENINGKATAN JALAN SELATAN-SELATAN CILACAP RUAS SIDAREJA - JERUKLEGI - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

Bab II Studi Pustaka II -

1

SISTEM KEGIATAN

SISTEM PERGERAKAN

SISTEM JARINGAN

BAB II

STUDI PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum

Sistim transportasi terdiri dari tiga sistim/sub sistim yang saling berinteraksi. Ketiga sistim tersebut adalah Sistim Kegiatan, Sistim Jaringan, dan Sistim Pergerakan. Interaksi yang terjadi dapat dibagi dalam tiga pola interaksi sebagai berikut :

1. Sistim Kegiatan + Sistim Jaringan Î Sistem Pergerakan

Perkembangan Sistim Kegiatan dan Meningkatnya sistim pergerakan akan memicu pertumbuhan sistim pergerakan.

2. Sistim Jaringan + Sistim Pergerakan Î Sistim Kegiatan

Meningkatnya Sistim jaringan yang ada, disertai dengan peningkatan Sistim pergerakan, akan menyebabkan berkembangnya Sistim Kegiatan.

3. Sistim Pergerakan Î Sistim Kegiatan & Sistim Jaringan

Adanya pertumbuhan Sistim Pergerakan menyebabkan diperlukannya pelayanan yang lebih baik dari Sistim jaringan dan Sisim Kegiatan yang ada.

(2)

Bab II Studi Pustaka II -

2

Peranan Sistim jaringan, khususnya jaringan jalan raya dapat dibagi menjadi dua, yaitu peran aktif dan pasif. Peran aktif jalan raya sebagai sistim jaringan adalah bersama-sama dengan Sistim Pergerakan akan mengarahkan dan memicu adanya pertumbuhan Sistim kegiatan pada suatu daerah yang dilaluinya. Sebaliknya Sistim Jaringan dan Pergerakan dikatakan berperan pasif apabila keberadaanya adalah untuk melayani kebutuhan akibat pertumbuhan Sistim Kegiatan.

Gambar 2.2 Peran Aktif dan Pasif Sistim Transportasi

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peningkatan pada suatu ruas jalan tidak semata-mata karena permintaan (demand) yang disebabkan meningkatnya Sistim Kegiatan dan Sistim Pergerakan di ruas jalan tersebut, tetapi peningkatan suatu ruas jalan bisa saja terjadi dengan tujuan untuk membangkitkan Sistim Kegiatan dan Sistim Pergerakan pada kawasan di ruas jalan yang bersangkutan (tanpa adanya permintaan/demand).

Untuk melakukan perancangan teknik jalan raya diperlukan beberapa kriteria sebagai pertimbangan untuk mengoptimalkan hasil perancangan.

SISTEM PERGERAKAN SISTEM

KEGIATAN

SISTEM JARINGAN

Peran “Pasif”

Sistim Jaringan + Sistim Pergerakan melayani kebutuhan akibat petumbuhan

Sistim Kegiatan SISTEM

PERGERAKAN SISTEM

KEGIATAN

SISTEM JARINGAN

Peran “Aktif”

(3)

Bab II Studi Pustaka II -

3

Adapun kriteria yang diperlukan dalam perancangan teknis jalan akan diuraikan dalam sub bab-sub bab berikut ini:

2.2. Aspek Lalu Lintas

2.2.1. Klasifikasi Menurut Fungsi

Klasifikasi menurut fungsi terbagi atas : a Jalan Arteri

Jalan arteri adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.

b Jalan Kolektor

Jalan kolektor adalah jalan yang melayani angkutan pengumpul / pembagi dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.

c Jalan Lokal

Jalan lokal adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

2.2.2. Klasifikasi Menurut Kelas Jalan

(4)

Bab II Studi Pustaka II -

4

Tabel 2.1 : Klasifikasi menurut kelas jalan

Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat, MST (ton)

Arteri I II

III A

> 10 10

8

Kolektor III A

III B

8 -

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997)

2.2.3. Klasifikasi Menurut Medan Jalan

Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur. Keseragaman kondisi medan yang diproyeksikan harus mempertimbangkan keseragaman kondisi medan menurut rencana trase jalan dengan mengabaikan perubahan-perubahan pada bagian kecil dari segmen rencana jalan tersebut. Klasifikasi menurut medan jalan untuk perancangan geometrik dapat dilihat dalam Tabel 2.2

Tabel 2.2 : Klasifikasi menurut medan jalan.

No Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan (%) 1

2 3

Datar Perbukitan

Gunung

D B G

< 3 3 – 25

> 25

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997)

2.2.4. Klasifikasi Menurut Wewenang Pembinaan Jalan

(5)

Bab II Studi Pustaka II -

5

2.2.5. Kapasitas

Kapasitas lalu lintas didefinisikan sebagai arus maksmum melalui suatu titik di jalan yang dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi tertentu. Untuk jalan 2 lajur 2 arah, kapsitas ditentukan untuk arus 2 arah (Kombinasi 2 arah), tetapi untuk jalan dengan banyak lajur, arus dipisahkan per arah dan kapasitas ditentukan per lajur. Kapasitas dinyataka dalam satuan mobil penumpang (smp), menurut MKJI 1997 dapat dicari dengan rumus :

C = C0 * FCsp * FCw* FCsf

Dimana :

C = kapasitas (smp/jam) Co = kapasitas dasar (smp/jam) FCw = faktor penyesuaian lebar jalan

FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah (hana untuk jalan tak terbagi)

FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan dari kerb.

2.2.5.1.Kapasitas Dasar

Adalah kapasitas suatu segmen jalan untuk suatu set kondisi yang ditentukan sbelumnya (geometri, pola arus lalu lintas, dan factor lingkungan), menurut MKJI 1997 nilai dari kapasitas dasar dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut ini :

Tabel 2.3 : Nilai Kapasitas Dasar (Co)

Tipe Jalan / Tipe Alinyemen Kapasitas Dasar Total kedua Arah (smp/jam/lajur)

Empat lajur terbagi

¾ Datar

¾ Bukit

¾ Gunung

(6)

Bab II Studi Pustaka II -

6

Tipe Jalan / Tipe Alinyemen Kapasitas Dasar Total kedua Arah (smp/jam/lajur)

Empat lajur tak terbagi

¾ Datar Dua lajur tak terbagi

¾ Datar

Catatan : Untuk tipe dua lajur tak terbagi nilai Co adalah total untuk 2 lajur.

Sumber : MKJI 1997

2.2.5.2.Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Lebar Lajur Lalu Lintas

Merupakan faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat lebar lajur lalu lintas, menurut MKJI 1997 nilai dari factor ini dapat dilihat pada Tabel 2.4 berikut ini :

Tabel 2.4 : Nilai faktor penyesuaian kapasitas akibat lebar lajur lalu lintas (FCw)

Tipe Jalan Lebar Efektif Lajur Lalu lintas/Wc (m) FCw

Empat lajur terbagi Enam lajur terbagi

Perlajur Empat lajur tak terbagi Perlajur

3,0 Dua lajur tak terbagi Total kedua arah

(7)

Bab II Studi Pustaka II -

7

2.2.5.3.Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Pemisah Arah

Merupakan faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat pemisah arah dan hanya diperuntukkan buat jalan dua arah tak terbagi, menurut MKJI 1997 nilai dari factor ini dapat dilihat pada Tabel 2.5 berikut ini :

Tabel 2.5 : Nilai Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Pemisah Arah (FCsp) Pemisah arah

SP %-% 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30

FCsp Dua Lajur

2/2 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88

FCsp Dua Lajur

4/2 1,00 0,975 0,95 0,925 0,90

Sumber : MKJI 1997

2.2.5.4.Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Hambatan Samping

Merupakan faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat hambatan samping sebagai fungsi dari lebar bahu, menurut MKJI 1997 nilai dari faktor ini dapat dilihat pada Tabel 2.6 berikut ini :

Tabel 2.6 : Nilai Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Hambatan Samping (FCsf).

Tipe Jalan

Kelas Hambatan Samping

FCsf

Lebar Bahu Efektif Ws

0,5 1,0 1,5 2,0

2.2.5.5.Derajat Kejenuhan

(8)

Bab II Studi Pustaka II -

8

penentuan tingkat kinerja simpang dan segmen jalan. Nilai DS menunjukkan apakah segmen jalan tersebut mempunyai masalah kapasitas atau tidak.

Rumus yang digunakan adalah :

DS = Q / C

Dimana :

Q = Volume kendaraan (smp/jam) C = Kapasitas jalan (smp/jam)

Jika nilai DS ≤ 0,75 maka jalan tersebut masih layak, tetapi jika Ds > 0,75 maka diperlukan penanganan pada jalan tersebut untuk mengurangi kepadatan.

2.2.5.6.Kecepatan Arus Bebas

Kecepatan arus bebas didefinisikan sebagai kecepatan pada saat tingkatan arus nol, sesuai dengan kecepatan yang akan dipilih pengemudi seandainya mengendarai kendaraan bermotor tanpa halangan kendaraan bermotor lain di jalan.

Rumus yang digunakan adalah :

FV = (FV0 + FVw) x FFVSF x FFVRC

Dimana :

FV = Kecepatan arus bebas kendaraan ringan pada kondisi lapangan (km/jam)

FV0 = Kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan (km/jam)

FVw = Penyesuaian kecepatan untuk lebar jalan (km/jam)

FFVSF = Faktor penyesuaian untuk kondisi hambatan samping dan

(9)

Bab II Studi Pustaka II -

9

FFVRC = Faktor penyesuaian akibat kelas fungsional jalan dan tata

guna lahan

2.2.5.7.Kecepatan arus Bebas Dasar (FVo)

Menurut MKJI 1997 nilai dari kecepatan arus bebas dasar untuk berbagai tipe kendaraaan dapat dilihat pada Tabel 2.7 berikut ini :

Tabel 2.7 : Kecepatan arus bebas dasar (FVo)

Tipe Jalan FV0 (km/jam)

LV MHV LB LT MC

6 lajur terbagi

- Datar

4 lajur tak terbagi

- Datar

2.2.5.8.Faktor Penyesuaian Kecepatan Akibat Lebar Jalur Lalu-lintas (FVw)

(10)

Bab II Studi Pustaka II -

10

Tabel 2.8 : Nilai Faktor Penyesuaian Kecepatan Akibat Lebar Jalur Lalu-lintas (FVw).

Tipe Jalan

Lebar Efektif Jalur Lalu Lintas

(Wc) (m)

4 lajur tak terbagi

Per lajur

2 lajur tak terbagi

Total

2.2.5.9.Faktor Penyesuaian Kecepatan Akibat Hambatan Samping Dan

Lebar Bahu (FFVSF)

Merupakan faktor penyesuaian untuk kecepatan arus bebas akibat hambatan samping dan lebar bahu, menurut MKJI 1997 nilai dari faktor ini dapat dilihat pada Tabel 2.9 berikut ini :

Tabel 2.9 : Nilai Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan Samping Dan Lebar Bahu (FFVSF)

Tipe Jalan

Kelas Hambatan Samping (SFC)

Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan Samping Dan Lebar Bahu Lebar Bahu Efektif Ws (m)

0,5 m 1,0 m 1,5 m 2,0 m

4/2 D

(11)

Bab II Studi Pustaka II -

11

Tipe Jalan

Kelas Hambatan Samping (SFC)

Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan Samping Dan Lebar Bahu Lebar Bahu Efektif Ws (m)

0,5 m 1,0 m 1,5 m 2,0 m

4/2 UD

Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi

1.00

Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi

1.00

2.2.5.10.Faktor Penyesuaian Kecepatan Akibat Kelas Fungsional Jalan dan

Tata Guna Lahan (FFVRC)

Merupakan faktor penyesuaian untuk kecepatan arus bebas akibat kelas fungsional jalan dan tata guna lahan, menurut MKJI 1997 nilai dari faktor ini dapat dilihat pada Tabel 2.10 berikut ini :

Tabel 2.10 : Faktor penyesuaian akibat kelas fungsional jalan dan tata guna lahan (ffvrc).

Tipe Jalan

Faktor Penyesuaian FFVRC

Pengembangan Samping Jalan (%)

(12)

Bab II Studi Pustaka II -

12

2.2.5.11.Kecepatan Tempuh

Kecepatan tempuh ( V ) didefinisikan sebagai kecepatan rata-rata ruang dari kendaraan ringan sepanjang segmen jalan.

Rumus yang digunakan adalah : V = L / TT

Dimana :

V = kecepatan ruang rata-rata kendaraan ringan (km/jam) L = panjang segmen (km)

TT = waktu tempuh rata-rata dari kendaraan ringan sepanjang segmen (jam)

2.3. Kriteria Perencanaan

Data lalu lintas adalah data utama yang diperlukan untuk perencanaan teknik jalan, karena kapasitas jalan yang akan direncanakan tergantung dari komposisi lalu lintas yang akan menggunakan jalan pada suatu segmen jalan yang ditinjau. Besarnya volume atau arus lalu lintas diperlukan untuk menentukan jumlah dan lebar lajur pada satu jalur jalan dalam penentuan karakteristik geometrik, sedangkan jenis kendaraan akan menentukan kelas beban atau MST (Muatan Sumbu Terberat) yang berpengaruh langsung pada perencanaan konstruksi perkerasan.

2.3.1. Kendaraan Rencana

Kendaraan rencana adalah kendaran yang dimensi dan radius putarnya dipakai sebagai acuan dalam perancangan geometrik. Kendaraan rencana dikelompokkan dalam beberapa kategori yaitu :

a Kendaraan Ringan / Kecil (LV)

(13)

Bab II Studi Pustaka II -

13

b Kendaraan Sedang (MHV)

Kendaraan bermotor dengan dua gandar, dengan jarak 3,5 m– 5,0 m (termasuk bus kecil, truk dua as dengan enam roda, sesuai sistem klasifikasi Bina Marga).

c Kendaraan Berat / Besar (LB-LT) • Bus Besar (LB)

Bus dengan dua atau tiga gandar dengan jarak as 5,0 – 6,0 m. • Truck Besar (LT)

Truck tiga gandar dan truck kombinasi tiga, jarak gadar (gandar pertama ke dua) < 3,5 m (sesuai sistem klasifikasi Bina Marga). d Sepeda Motor (MC)

Kendaraan bermotor dengan 2 atau 3 roda (meliputi : sepeda motor dan kendaraan roda 3 sesuai sistem klasifikasi Bina Marga).

e Kendaraan Tak Bermotor (UM)

Kendaraan dengan roda yang digerakan oleh arang atau hewan (meliputi : sepeda, becak, kereta kuda, dan kereta dorong sesuai sistem klasifikasi Bina Marga).

Kendaraan tak bermotor tidak dianggap sebagai bagian dari arus lalu lintas tetapi sebagai unsur hambatan samping. Dimensi dasar untuk masing-masing kendaraan rencana ditunjukan dalam Tabel 2.11.

Tabel 2.11 : Dimensi Kendaraan Rencana

Kategori Kendaraan

Rencana

Dimensi Kendaraan

(cm) Tonjolan

(cm)

Radius Putar

(cm) Radius Tonjol

an (cm)

Tinggi Lebar Panjang Depan Belakang Min Maks

Kecil 130 210 580 90 150 420 730 780

Sedang 410 260 1210 210 240 740 1280 1410

Besar 410 260 2100 120 90 290 1400 1370

(14)

Bab II Studi Pustaka II -

14

2.3.2. Komposisi Lalu Lintas

Volume Lalu – Lintas Harian Rata-rata (VLHR), adalah prakiraan volume lalu-lintas harian pada akhir tahun rencana lalu-lintas dinyatakan dalam smp/hari.

a Satuan Mobil Penumpang (smp)

Satuan arus lalu lintas, dimana arus dari berbagai tipe kendaraan telah diubah menjadi kendaraan ringan (termasuk mobil penumpang) dengan menggunakan emp.

b Ekivalen Mobil Penumpang (emp)

Faktor konversi berbagai jenis kendaraan dibandingkan dengan mobil penumpang atau kendaraan ringan lainnya sehubungan dengan dampaknya pada perilaku lalu-lintas (untuk mobil penumpang dan kendaraan ringan lainnya, emp = 1,0).

Tabel 2.12 : Ekivalen Mobil Penumpang (emp)

No Jenis Kendaraan Datar /

Bukit Gunung 1 Sedan, Jeep, Station Wagon 1,0 1,0 2 Pick-Up, Bus Kecil, Truck Kecil 1,2 - 2,4 1,9 – 3,5 3 Bus dan Truck Besar 1,2 – 5 0 2,2 – 6,0

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997)

2.3.3. Volume Lalu Lintas Rencana (VLHR)

Volume Lalu Lintas Harian Rencana (VLHR) adalah prakiraan volume lalu lintas harian pada akhir tahun rencana lalu lintas dinyatakan dalam smp / hari. Volume Jam Rencana (VJR) adalah prakiraan volume lalu lintas pada jam sibuk tahun rencana lalu lintas, dinyatakan dalam smp / jam, dihitung dengan rumus :

(15)

Bab II Studi Pustaka II -

15

K : disebut faktor K adalah faktor volume lalu lintas jam sibuk. F : disebut faktor F adalah faktor variasi tingkat lalu lintas -

perseperempat jam dalam satu jam

VJR digunakan untuk menghitung jumlah lajur jalan dan fasilitas lalu lintas lainnya yang diperlukan. Faktor K dan faktor F yang sesuai dengan VLHR dapat dilihat pada Tabel 2.13.

Tabel 2.13 : Penentuan faktor K dan faktor F berdasarkan volume lalu lintas harian rata-rata.

VLHR FAKTOR – K (%) FAKTOR – F (%)

> 50.000 30.000-50.000 10.000-30.000 5.000-10.000

1.000-5.000 < 1.000

4 - 6 6 - 8 6 - 8 8 – 10 10 – 12

12 – 16

0.9 – 1 0.8 – 1 0.8 – 1 0.6 – 0.8 0.6 – 0.8 < 0.6

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997)

2.3.4. Pertumbuhan Lalu Lintas ( i )

Penentuan angka pertumbsuhan lalu lintas sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :

o Jumlah penduduk

Jumlah penduduk berpengaruh terhadap pergerakan lalu lintas karena setiap aktifitas kota secara langsung aka menimbulkan pergerakan lalu lintas, dimana subyek dari lalu lintas tersebut adalah penduduk.

o Jumlah kepemilikan kendaraan

Meningkatnya pertumbuhan ekonomi di suatu daerah menuntut terpenuhinya sarana angkutan yang memadai.

(16)

Bab II Studi Pustaka II -

16

o Produk domestik regional bruto

Merupakan tolok ukur keberhasilan pembangunan dibidang ekonomi.

Perkiraan pertumbuhan lalu lintas dengan menggunkan regresi linier yang merupakan salah satu metode penyelidikan terhadap suatu data statistik.

Menurut F.D. Hobbs 1995 menyatakan hubungan dari ketiga variabel diatas dengan metode regresi :

1. Regresi Linier Sederhana

Menurut F.D. Hobbs 1995, rumus regresi linier sederhana adalah : Y = a + bX

Dimana :

Y = besarnya nilai yang diketahui.

a = konstanta.

b = data sekunder dari periode awal X = data sekunder dari periode awal Sedangkan harga a dan b dapat dicari dari persamaan :

X =n.a+ X

XY =a X +b X

2. Regresi Linier Berganda

Data yang akan dicari tingkat pertumbuhannya dijadikan variabel tak bebas. Dalam hal ini variabel tak bebasnya adalah LHR (X1)

sedangkan untuk data jumlah penduduk (X2), PDRB (X3), dan jumlah

kepemilikan kendaraan (X4) disebut variabel bebas.

(17)

Bab II Studi Pustaka II -

17

Dengan a, b, c sebagai koefisien regresi linier berganda, kemudian dilakukan pengujian besarnya pengaruh variabel bebas X2, X3 dan X4

terhadap varibel tak bebas X1 secara berurutan maupun kombinasi

sehingga dari perhitungan dapat diketahui besarnya penaruh variabel tersebut dengan melihat harg “R” yang mempunyai batas –1 ≤ R ≤ 1. Semakin mendekati niai 1 atau –1 maka harga tersebut semakin baik.

2.3.5. Kecepatan Rencana

Kecepatan Rencana (VR) adalah kecepatan rencana pada suatu ruas jalan yang dipilih sebagai dasar perancangan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan-kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah, lalu lintas yang lengang, dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti. Untuk kondisi medan yang sulit VR suatu segmen jalan dapat diturunkan dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km / jam. VR untuk masing-masing fungsi jalan ditetapkan dalam Tabel 2.14.

Tabel 2.14 : Kecepatan Rencana (VR), sesuai klasifikasi fungsi dan klasifikasi medan jalan.

Fungsi Jalan Kecepatan Rencana, VR (Km / Jam)

Datar Bukit Gunung

Arteri 70 – 120 60 – 80 40 – 70 Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 – 50 Lokal 40 - 70 30 - 50 20 - 30

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997)

2.4. Karakteristik Jalan

2.4.1. Tipe Jalan

Tipe jalan menentukan jumlah lajur dan arah pada suatu segmen jalan, untuk jalan-jalan luar kota sebagai berikut :

(18)

Bab II Studi Pustaka II -

18

b 2 lajur 2 arah tak terbagi (2 / 2 TB) c 4 lajur 2 arah tak terbagi (4 / 2 TB) d 4 lajur 2 arah terbagi (4 / 2 B) e lajur 2 arah terbagi (6 / 2 B) keterangan : TB = tidak terbagi B = terbagi 2.4.2. Bagian-Bagian Jalan

1. Jalur Lalu Lintas

Jalur lalu lintas adalah bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu lintas kendaraan yang secara fisik berupa perkerasan jalan. Jalur lalu lintas dapat terdiri dari beberapa lajur. Batas jalur lalu lintas dapat berupa :

a Median b Bahu c Trotoar d Pulau jalan e Separator

Lebar jalur minimum adalah 4,5 meter, memungkinkan 2 kendaraan kecil saling berpapasan. Papasan dua kendaraan besar yang terjadi sewaktu-waktu dapat menggunakan bahu jalan.

2. Lajur

Lajur adalah bagian lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh marka lajur jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu kendaraan bermotor sesuai kendaraan rencana. Untuk kelancaran drainase permukaan, lajur lalu lintas memerlukan kemiringan normal sebagai berikut :

(19)

Bab II Studi Pustaka II -

19

Lebar lajur tergantung pada kecepatan dan kendaraan rencana, yang dalam hal ini dinyatakan dengan fungsi dan kelas jalan seperti ditetapkan dalam Tabel 2.15

Tabel 2.15 : Lebar lajur jalan yang ideal

Fungsi Kelas Lebar Lajur Ideal (m)

Arteri I II, III A

3,75 3,50

Kolektor III A, III B 3,00

Lokal III C 3,00

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997)

3. Bahu Jalan

Bahu jalan adalah bagian jalan yang terletak di tepi jalur lalu lintas dan harus diperkeras. Kemiringan bahu jalan normal antara 3 – 5 %. Fungsi bahu jalan adalah sebagai berikut :

a Lajur lalu lintas darurat, tempat berhenti sementara, dan tempat parkir darurat.

b Ruang bebas samping bagi lalu lintas.

c Sebagai penyangga untuk kestabilan perkerasan jalur lalu lintas.

Tabel 2.16 : Penentuan Lebar Jalur dan Bahu Jalan.

VLHR Smp / Hari

Arteri Kolektor Lokal

Ideal Min Ideal Min Ideal Min

Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu

<3000 6.0 1.5 4.5 1.0 6.0 1.5 4.5 1.0 6.0 1.0 4.5 1.0

3000-10000 7.0 2.0 6.0 1.5 7.0 1.5 6.0 1.5 7.0 1.5 6.0 1.0

10000-25000 7.0 2.0 7.0 2.0 7.0 2.0 Mengacu pada

persyaratan

ideal

Tidak ditentukan >25000 2nx3.5 2.5 2nx3.

5 2.0 2nx3.

5 2.0

2 n x 3.5

Ket : 2 = 2 jalur, n = jumlah lajur per jalur, n x 3.5 = lebar per jalur

(20)

Bab II Studi Pustaka II -

20

4. Median

Median adalah bagian bangunan jalan yang secara fisik memisahkan dua jalur lalu lintas yang berlawanan arah. Fungsi median adalah : a Memisahkan dua aliran lalu lintas yang berlawanan arah. b Ruang lapak tunggu penyeberang jalan.

c Penempatan fasilitas jalan.

d Tempat prasarana kerja sementara. e Penghijauan

f Tempat berhenti darurat (jika cukup luas). g Cadangan lajur (jika cukup luas)

h Mengurangi silau dari sinar lampu kendaraan dari arah yang berlawnan

Jalan 2 arah dengan 4 lajur atau lebih perlu dilengkapi median. Lebar minimum median terdiri atas jalur tepian selebar 0,25 – 0,50 meter dan bangunan pemisah jalur, ditetapkan dapat dilihat dalam Tabel 2.17

Tabel 2.17 : Lebar minimum median.

Bentuk Median Lebar Minimum (m)

Median ditinggikan Median direndahkan

2,0 7,0

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997)

2.5. Perancangan Geometrik Jalan

2.5.1. Alinyemen Horisontal

(21)

Bab II Studi Pustaka II -

21

b Lengkung Busur Lingkaran Dengan Lengkung Peralihan (Spiral – Circle – Spiral)

c Lengkung Peralihan (Spiral – Spiral)

2.5.1.1.Bagian Lurus

Panjang maksimum bagian lurus, harus dapat ditempuh dalam waktu ≤ 2.5 menit (sesuai VR), dengan pertimbangan keselamatan pengemudi akibat dari kelelahan.

Tabel 2.18 : Panjang bagian lurus maksimum Fungsi

Panjang Bagian Lurus Maksimum (m)

Datar Bukit Gunung

Arteri 3.000 2.500 2.000

Kolektor 2.000 1.750 1.500

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997)

2.5.1.2.Tikungan

a Jari-Jari Minimum

(22)

Bab II Studi Pustaka II -

Rmin : jari-jari tikungan minimum (m)

VR : kecepatan kendaraan rencana (km / jam) e mak : super elevasi maksimum (%)

f mak : koefisien gesekan melintang maksimum D : derajat lengkung

D mak : derajat maksimum

Tabel 2.19 : Panjang jari-jari minimum (dibulatkan)

VR (km / jam) 120 100 90 80 60 50 40 30 20

R min (m) 600 370 280 210 115 80 50 30 15

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997

b Lengkung Peralihan

Panjang lengkung peralihan (Ls), menurut Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997, diambil nilai yang terbesar dari tiga persamaan dibawah ini :

1. Berdasarkan waktu tempuh maksimum (3 detik), untuk melintasi lengkung peralihan, maka panjang lengkung :

Ls VRxT 6 , 3 =

2. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal, digunakan rumus Modifikasi Shortt, sebagai berikut :

(23)

Bab II Studi Pustaka II -

23

xVR

re x

en em Ls

6 , 3

) ( − =

Dimana :

T : waktu tempuh = 3 detik Rc : jari-jari busur lingkaran (m)

C : perubahan percepatan, 0,3 – 1,0 disarankan 0,4 m / dt3 e : superelevasi

em : superelevasi maksimum en : superelevasi normal

re : tingkat pencapaian perubahan kelandaian melintang jalan, sebagai berikut

Untuk VR ≤ 70 km / jam : re mak = 0,035 m / m / det Untuk VR ≥ 80 km / jam : re mak = 0,025 m / m / det 2.5.1.3.Perhitungan Lengkung

a Lengkung Busur Lingkaran Sederhana (Full Circle)

Lengkung busur lingkaran sederhana adalah jenis tikungan yang hanya terdiri dari bagian suatu lingkaran saja. Tikungan Full Circle hanya digunakan untuk R (jari-jari tikungan) yang besar agar tidak terjadi patahan, karena dengan R kecil maka diperlukan superelevasi yang besar. Rumus yang digunakan :

Tc = Rc tan ½ ∆ Ec = Tc tan ½ ∆

0

360 2 Rc Lc=∆ π

Dimana :

(24)

Bab II Studi Pustaka II -

24

Tc : panjang tangen jarak dari Tc kePI atau PI ke CT Rc : jari-jari lingkaran

Lc : panjang busur lingkaran

Ec : jarak luar dari PI ke busur lingkaran

Gambar 2.4 Diagram Superelevasi Lengkung Full Circle

en % 1/4 Ls'

I

bagian lurus II en = -2%

TC 3/4 Ls'

Ls'

Sisi Dalam Perkerasan

bagian lurus bagian lengkung

Pot I en %

Pot II ex %

en% III

+ emax %

Pot II - emax %

3/4 Ls' Sisi Luar Perkerasan

+ e max %

- e max %

CT 1/4 Ls'

Ls'

en = -2%

(25)

Bab II Studi Pustaka II -

25

b Lengkung Busur Lingkaran Dengan Lengkung Peralihan (Spiral- Cicle- Spiral)

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut : ⎟⎟⎠

(26)

Bab II Studi Pustaka II -

26

Gambar 2.6 Diagram Superelevasi Lengkung SCS

c Lengkung Peralihan (Spiral – Spiral)

Lengkung horisontal berbentuk spiral-spiral adalah lengkung tanpa busur lingkaran, sehingga titik SC berimpit dengan titik CS. Panjang busur lingkaran Lc = 0, dan θs = ½ β. Rc yang dipilih harus sedemikian rupa sehingga Ls yang dibutuhkan lebih besar dari Ls yang menghasilkan landai relatif minimum yang disyaratkan. Rumus untuk lengkung berbentuk spiral-lingkaran-spiral dapat dipergunakan juga untuk lengkung spiral-spiral asalkan memperhatikan hal tersebut diatas. Rumus yang digunakan antara lain :

⎟⎟⎠

Sisi Dalam Perkerasan

bagian lengkung Sisi Luar Perkerasan

(27)

Bab II Studi Pustaka II -

27

Rc

Ls

s

π

θ

=

90

) cos 1 ( 6

2

s Rc

Rc Ls

P= − − θ

s Rc Rc Ls Ls

k sinθ

40 2

3

− −

=

Ts = (Rc + p) tan ½ ∆ + k

Es = (Rc + p) sec ½ ∆ - Rc

Rc s Lc θ π

180 =

(28)

Bab II Studi Pustaka II -

28

Gambar 2.8 Diagram Superelevasi Lengkung SS

2.5.1.4.Pelebaran Perkerasan Pada Lengkung Horisontal

Kendaraan yang bergerak dari jalan lurus menuju ke tikungan, seringkali tidak dapat mempertahankan lintasannya pada jalur yang disediakan, Hal ini disebabkan karena :

1. Pada waktu membelok yang diberi belokan pertama kali hanya roda depan, sehingga lintasan roda belakang agak keluar jalur (off tracking). 2. Jejak lintasan kendaraan tidak lagi berimpit, karena beper depan dan

belakang kendaraan akan mempunyai lintasan yang berbeda dengan lintasan roda depan dan roda belakang kendaraan.

3. Pengemudi akan mengalami kesukaran dalam mempertahankan lintasannya tetap pada lajur jalannya terutama pada tikungan-tikungan yang tajam atau pada kecepatan-kecepatan yang tinggi.

Untuk menghindari hal tersebut di atas maka pada tikungan-tikungan yang tajam perlu perkerasan jalan diperlebar. Pelebaran perkerasan ini

Pot II II en = -2%

en % en %

Pot I

0 %

I TS

- ex % en = -2%

+ emax %

Lengkung Spiral

en % en %

Pot III

en %

Lengkung Spiral

- ex %

Pot IV

+ ex %

- e max %

Sisi Dalam Perkerasan III IV V

- emax %

Pot V Sisi Luar Perkerasan

+ e max % + ex %

(29)

Bab II Studi Pustaka II -

29

ukuran kendaraan rencana yang dipergunakan sebagai dasar perencanaan. Pada umumnya truk tunggal merupakan jenis kendaraan yang dipergunakan sebagai dasar penentuan tanbahan lebar perkerasan yang dibutuhkan. Tetapi pada jalan-jalan dimana banyak dilewati kendaraan berat, jenis kendaraaan semi trailer merupakan kendaraan yang cocok dipilih untuk kendaraan rencana. Tentu saja pemilihan jenis kendaraan rencana ini sangat mempengaruhi kebutuhan akan pelebaran perkerasan dan biaya pelaksanaan jalan tersebut.

Elemen-elemen dari pelebaran perkerasan tikungan terdiri dari : 1. Off tracking (U)

Untuk perancangan geometrik jalan antar kota, Bina Marga memperhitungkan lebar B dengan mengambil posisi kritis kendaraan yaitu pada saat roda depan kendaraan pertama kali dibelokan dan tinjauan dilakukan untuk lajur sebelah dalam.Kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar2-9 yang berdasarkan kendaraan rencana truk tunggal.

2. Kesukaran dalam mengemudi di tikungan (Z)

Tambahan lebar perkerasan akibat kesukaran dalam mengemudi di tikungan diberikan oleh AASHTO sebagai fungsi dari kecepatan dan radius lajur sebelah dalam. Semakin tinggi kecepatan kendaraan dan semakin tajam tikungan tersebut, semakin besar tambahan pelebaran akibat kesukaran dalam mengemudi. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan terlemparnya kendaraan kearah luar dalam gerakan menikung tersebut.

R V Z = 0,105

(30)

Bab II Studi Pustaka II -

30

Kebebasan samping di kiri dan kanan jalan tetap harus dipertahankan demi keamanan dan tingkat pelayanan jalan. Kebebasan samping (C) sebesar 0,5 m, dan 1 m, dan 1,25 m, cukup memadai untuk jalan dengan lebar lajur 6 m, 7 m, dab 7,50 m.

Dari Gambar 2.9 dapat dilihat : b = lebar kendaraan rencana

B = Lebar perkerasan yang ditempati suatu kendaraan di tikungan pada lajur sebelah dalam.

U = B – b

C = Lebar kebebasan samping di kiri dan kanan kendaraan Z = lebar tambahan akibat kesukaran mengemudi di tikungan. Bn = Lebat total perkerasan pada bagian lurus

Bt = Lebar total perkesaran di tikungan n = jumlah lajur

Bt = n (B + C) + Z

(31)

Bab II Studi Pustaka II -

31

Gambar 2.9. Pelebaran Perkerasan pada Tikungan

2.5.1.5. Persimpangan Sebidang

Dimaksudkan untuk perencanaan persimpangan sebidang dimana jalan primer berhubungan satu sama lain atau dihubungkan dengan jalan sekunder.

Bn b

P A

P A

a Z

C/2

b

C/2

b

p L Bt

(32)

Bab II Studi Pustaka II -

32

2.5.1.5.1.Perancangan Geometrik dan Pengendalian lalu Lintas Secara

Konsisten

Perencanaan persimpangan sebidang dan pengawasan lalu lintas yang (atau akan) diterapkan harus ditempuh secara konsisten. Kedua hal tersebut saling mempengaruhi satu sama lain dan tek boleh direncanakan secara terpisah.

2.5.1.5.2.Kecepatan Rencana di Dekat dan Pada Persimpangan

Kecepatan rencana semula tidak perlu digunakan pada ruas persimpangan tempat alinyemen sering diubah untuk menyediakan jalur tambahan.

2.5.1.5.3.Jumlah Jalan

Jumlah jalan dalam persimpangan tidak boleh melebihi 4 kecuali dalam kasus beberapa persimpangan persegi/bundar atau putaran. Persimpangan jalur ganda sering mengakibatkan kesulitan pengontrolan lau lintas atau kemacetan lalu lintas.

2.5.1.5.4.Sudut Persimpangan

Persimpangan tegak lurus biasanya diinginkan untuk kemampuan pengelihatan maksimal dan untuk mempersingkat waktu persimpangan. Jalan-jalan yang bersimpangan dengan sudut tajam, terutama dibawah 60o, harus diarahkan kembali seperti dalam Gambar 2.10.

(33)

Bab II Studi Pustaka II -

33

2.5.1.5.5.Lebar Jalur

Untuk mengadakan penambahan lajur maka lebar jalur lalulintas utama pada persimpangan dapat dipersempit seperti pada Tabel 2.20 dibawah ini. Dalam hal lebar semula adalah 2,75 m, maka lebar tidak dapat dipersempit. Lebar jalur tambahan harus 2,75 m.

Tabel 2.20 : Lebar jalur lalu lintas utama pada persimpangan

Lebar semula (m) Lebar dipersempit (m)

3,50 3,25 – 3,00

3,00 2,75

(Sumber: Spesifikasi Standar Untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota. 1990)

2.5.1.5.6.Lajur Belok Kanan

Jalan raya dengan VLH lebih dari 10.000 (smp/hari) harus mempunyai jalur belok kanan pada persimpangan kecuali dalam hal belokan ke kanan tidak diperbolehkan. Jalur belok kanan terdiri atas jalur meruncing dan jalur tunggu (Gambar 2.11). Panjang peruncingan lt, yang diperlihatkan pada Tabel 2.23 ditetapkan oleh perlambatan. Panjang jalur tunggu lw diberikan lewat rumus berikut :

a. Untuk persimpangan tanpa rambu, panjang untuk menampung kendaraan yang mungkin tiba selama 2 menit pada jam sibuk suatu hari.

Lw = 2 x M x S Dimana :

Lw = Panjang jalur tunggu

M = Jumlah kendaraan belok kanan per menit

(34)

Bab II Studi Pustaka II -

34

b. Untuk persimpangan berambu, panjangnya adalah 1,5 kali dari jumlah rata-rata kendaraan yang berhenti dalam satu siklus lampu lalu lintas pada jam sibuk suatu hari.

Lw = 1,5 x N x S Dimana :

Lw = Panjang jalur tunggu

N = Jumlah kendaraan belok kanan per siklus lampu lalulintas M atau N adalah jumlah kendaraan belok ke kanan yang dapat diperoleh lewat prakiraan atau penelitian kebutuhan belok-kanan pada tahun target. Dasar perhitungan untuk S, panjang rata-rata ruang yang ditempati oleh sebuah kendaraan, adalah sebagai berikut: • Mobil penumpang ... 6 m

• Truk ... 12 m

• Jika ratio dari mobil penumpang dan truk tidak diperoleh 7 m bagi semua kendaraan.

(35)

Bab II Studi Pustaka II -

35

Gambar 2.11. Jalur Belok Kanan (Lajur Median)

Tabel 2.21 : Panjang peruncingan lt (m) Kecepatan Rencana

(km/jam)

lt (m) 80

60 50 40 30

60 40 30 20 10

(Sumber : Spesifikasi Standar Untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota. 1990)

Pada keadaan lain, khususnya jalan raya dua-lajur, untuk mengadakan lajur belok kanan, lajur semula perlu dipersempit dan/atau digeser. Bila mana penguasaan lahan memungkinkan jalan raya dapat diperlebar seperti dalam Gambar 2.12.

panjang jalur belok kanan

l1 l2

(36)

Bab II Studi Pustaka II -

36

Gambar 2.12. Lajur utama digeser untuk lajur belok-kanan (lajur utama dipersempit, sedangkan lebar total diperbesar)

Dalam hal tidak adanya ruang untuk menambah lajur belok-kanan yang terpisah, usaha terakhir adalah melebarkan jalan-jalan kendaraan utama sebesar mungkin, pelebaran 1,5 m atau lebih dapat menyediakan ruang minimum untuk semua kendaraan yang menunggu untuk belok-kanan (Gambar 2.13). Gambar 2.14menunjukkan contoh penyusunan kembali penampang pada persimpangan.

Gambar 2.13. Lajur utama yang digeser dan diperlebar untuk

m

edi

an

median median

m

edi

an

(37)

Bab II Studi Pustaka II -

37

Gambar 2.14. Contoh Penyusunan kembali penampang pada persimpangan.

2.5.1.5.7.Lengkung Persimpangan

Tiga perencanaan minimum tepi dalam perkerasan untuk belokan ke kiri 90o untuk menampung kendaraan penumpang, truk tunggal, bis, dan semi-trailer diperlihatkan dalam Gambar 2.15a sampai Gambar 2.15c.

Pada gambar, truk dan bis (atau semi-trailer, dapat membuat belokan ke kiri tanpa melanggar jalur yang berdekatan. Jika pelanggaran atas jalur yang berdekatan diperkenankan, jari-jari lengkung yang lebih kecil dapat juga menerima kendaraan yang berukuran besar. Penetapan lengkungan yang akan dipakai di antara ketiga lengkung tersebut tergantung pada volume dan karakteristik lalu lintas dan pentingnya jalan raya.

penampang

standar

persimpangan

pelebaran 87,5 cm

75 325

75 275

pelebaran 87,5 cm

325 75

(38)

Bab II Studi Pustaka II -

38

Gambar 2.15a. Rancangan minimum untuk kendaraan penumpang

Gambar 2.15b. Rancangan minimum untuk truk unit tunggal dan bis

Gambar 2.15c. Rancangan minimum untuk semi-trailer

2.5.2. Jarak Pandang

Jarak pandang adalah suatu jarak yang diperlukan oleh pengemudi pada saat mengemudi sedemikian sehingga jika pengemudi melihat suatu halangan yang membahayakan, pengemudi dapat melakukan sesuatu untuk

90°

Tape r 15:

1

18.5 m 1,23

m

18.5 m

Ta per 15

:1 18

.5 m

1,23 m

7.5 m

90°

15.5 m

(39)

Bab II Studi Pustaka II -

39

menghindari bahaya tersebut dengan aman. Dibedakan dua jarak pandang, yaitu jarak pandang henti (Jh) dan jarak pandang mendahului (Jd).

2.5.2.1.Jarak Pandang Henti

Jh adalah jarak minimum yang diperlukan oleh setiap pengemudi untuk

menghentikan kendaraannya dengan aman begitu melihat adanya halangan di depan. Setiap titik di sepanjang jalan harus memenuhi Jh. Jh diukur

berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan tinggi halangan 15 cm di ukur dari permukaan jalan. Jh terdiri atas dua

elemen jarak yaitu :

a Jarak tanggap (Jht) adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak

pengemudi melihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus berhenti sampai saat pengemudi menginjak rem.

b Jarak pengereman (Jhr) adalah jarak yang dibutuhkan untuk

menghentikan kendaraan sejak pegemudi menginjak rem sampai kendaraan berhenti.

Jh dalam satuan meter, dapat dihitung dengan rumus :

2

2 6 , 3 . 6 ,

3 g f

V T V J

R

R h

⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ =

Dimana :

VR : kecepatan rencana (km / jam) T : waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik

g : percepatan gravitasi, ditetapkan 9,8 m / det2

(40)

Bab II Studi Pustaka II -

40

Rumus di atas disederhanakan menjadi :

Jh = 0,694 VR . 0,004 2

f VR

Tabel 2.22 : Jarak pandang henti (Jh) minimum

VR km / jam 120 100 80 60 50 40 30 20

Jh minimum (m) 250 175 120 75 55 40 27 16

(Sumber : Tata Cara Perencaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997)

2.5.2.2.Jarak Pandang Mendahului

Jd adalah jarak yang memungkinkan suatu kendaraan mendahului

kendaraan lain didepannya dengan aman sampai kendaraan tersebut kembali ke jalur semula. Jd diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata

pengemudi adalah 105 cm dan tinggi halangan adalah 105 cm Jd dalam satuan meter ditentukan sebagai berikut :

Jd = d1 + d2 + d3 + d4

Dimana :

d1 : jarak yang ditempuh selama waktu tanggap

d2 : jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali-

ke lajur semula (m)

d3 : jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang-

datang dari arah berlawanan setelah proses mendahului selesai (m)

d4 : jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari

arah-berlawanan, yang besarnya diambil sama dengan 2 / 3 d2 (m)

(41)

Bab II Studi Pustaka II -

41

Tabel 2.23 : Panjang jarak mendahului

VR (km / jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

Jd (m) 800 670 550 350 250 200 150 100

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997)

2.5.3. Alinyemen Vertikal

Alinyemen vertikal adalah perencanaan elevasi sumbu jalan pada setiap titik yang ditinjau, berupa profil memanjang. Pada perencanaan alinyemen vertikal akan ditemui kelandaian positif (tanjakan) dan kelandaian negatif (turunan), sehingga kombinasinya berupa lengkung cembung dan lengkung cekung.

2.5.3.1.Kelandaian Memanjang dan Panjang Kritis

Untuk menghitung dan merencanakan lengkung vertikal, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :

1. Kelandaian memanjang

Berdasarkan kepentingan arus lalu-lintas, landai ideal adalah landai datar (0 %). Sebaliknya ditinjau dari kepentingan drainase jalan, jalan berlandailah yang ideal. Perancangan kelandaian memanjang dimaksudkan untuk memungkinkan kendaraan bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti. Kelandaian maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh yang mampu bergerak dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah.

Tabel 2.24 : Kelandaian maksimum yang di ijinkan

VR (km / jam) 120 110 100 80 60 50 40 < 40

Kelandaian

Maksimum (%) 3 3 4 5 8 9 10 10

(42)

Bab II Studi Pustaka II -

42

2. Panjang kritis suatu kelandaian

Panjang kritis yaitu panjang landai maksimum yang harus disediakan agar kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian sehingga penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh VR. Lama perjalanan tersebut ditetapkan tidak lebih dari satu menit. Panjang kritis dapat ditetapkan dalam Tabel 2.25

Tabel 2.25 : Panjang Kritis (m) Kecepatan pada awal

tanjakan (km / jam)

Kelandaian (%)

4 5 6 7 8 9 10

80 630 450 360 270 230 230 200

60 320 210 160 120 110 90 80

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997)

2.5.3.2.Lengkung Vertikal Cembung

Ketentuan tinggi menurut Bina Marga (1997) untuk lengkung cembung seperti pada Tabel 2.26.

Tabel 2.26 : Ketentuan tinggi untuk jarak pandang

Untuk jarak pandang h 1 (m) tinggi mata h 2 (m) tinggi obyek

Henti (Jh) 1,05 0,15

Mendahului (Jd) 1,05 1,05

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997)

(a) Panjang L. berdasarkan Jh Jh <L, maka : L =

399

2

Jh x A

Jh >L, maka : L = 2 Jh - A 399

(43)

Bab II Studi Pustaka II -

43

Jd < L, maka : L = 960

.Jd2 A

Jd > L, maka : L = 2 Jd - A 960

(c) Syarat kenyamanan L =

360 .V2 A

(d) Syarat drainase LV = 40 . A (m)

(e) Perhitungan Landai Peralihan EV =

800 .Lv A

Dimana :

Lv = panjang lengkung vertikal S = Jh = Jp = jarak pandangan

A = perbedaan aljabar kedua tangen = g2 – g1 g1 = kemiringan tangen 1

g2 = kemiringan tangen 2

Gambar 2.16 Sketsa lengkung vertikal cembung L

S h1

q1 d1

h2 q2

E

A

(44)

Bab II Studi Pustaka II -

44

2.5.3.3.Lengkung Vertikal Cekung

(a) Syarat Keamanan

Dengan mempertimbangkan jarak sinar lampu besar dari kendaraan, yaitu tinggi lampu besar kendaraan = 0,60 m (21) dan sudut bias = 1o, maka diperoleh rumus sebagai berikut :

Jh < L, maka : L =

Jh Jh A

5 , 3 120

. 2 +

Jh > L, maka : L = 2 Jh -A

Jh 5 , 3 120+

(b) Syarat kenyamanan L =

390 .V2 A

(c) Syarat drainase LV = 40 . A (m)

(d) Perhitungan landai peralihan EV =

800 .Lv A

1 h

E 0 .7 5

A L

S

Gambar 2.17 Sketsa lengkung vertikal cekung

2.6. Perancangan Konstruksi Perkerasan

(45)

Bab II Studi Pustaka II -

45

2.6.1. Persentase Kendaraan Pada Lajur Rencana

(a) Jalur Rencana (JR) merupakan jalur lalu-lintas dari suatu ruas jalan raya yang terdiri dari satu jalur atau lebih. Maka jumlah lajur ditentukan dari lebar perkerasan seperti pada Tabel 2.27.

Tabel 2.27 : Jumlah lajur berdasarkan lebar perkerasan

Lebar Perkerasan (L) Jumlah Lajur (n)

L < 5,50 m

(Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen, Departemen Pekerjaan Umum, 1987)

(b) Menentukan koefisien distribusi kendaraan

Koefisien distrubusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat pada jalur rencana ditentukan menurut Tabel 2.28.

Tabel 2.28 : Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat pada lajur rencana.

Jumlah Lajur

Kendaraan Ringan * Kendaraan Berat **

1 arah 2 arah 1 arah 2 arah

berat total < 5 ton , misalnya : mobil penumpang, pick up, mobil hantaran

**

berat total ≥ 5 ton, misalnya : bus, truk, traktor, semi trailer, trailer

(46)

Bab II Studi Pustaka II -

46

2.6.2. Angka ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan

Angka ekivalen (E) masing-masing golongan sumbu : (a) Angka Ekivalen Sumbu Tunggal :

E =

8160

) (bebansatusumbutunggaldalamkg 4

(b) Angka Ekivalen Sumbu Ganda : E = 0, 086

8160

) (bebansatusumbutunggaldalamkg 4

(c) Angka Ekivalen

Tabel 2.29 : Angka Ekivalen (E) beban sumbu kendaraan

Beban Satu Sumbu Angka Ekivalen

Kg Ibs Sumbu Tunggal Sumbu Ganda

(47)

Bab II Studi Pustaka II -

47

2.6.3. Perhitungan Lalu Lintas

(a) Lintas Ekivalen Permulaan (LEP) LEP =

(b) Lintas Ekivalen Akhir (LEA) LEA =

(c) Lintas Ekivalen Tengah (LET) LEP =

2

LEA

LEP+

(d) Lintas Ekivalen Rencana (LER)

LER = LET x FT

FP = 10

UR

Dimana :

i = perkembangan lalu lintas

j = jenis kendaraan

LHR = lalu lintas harian rata-rata

UR = usia rencana, (tahun)

FP = faktor penyesuaian

2.6.4. Perhitungan Daya Dukung Tanah Dasar (DDT) dan CBR

Daya dukung tanah dasar (DDT) ditetapkan berdasarkan grafik korelasi.

Daya dukung tanah dasar diperoleh dari nilai CBR atau Plate Bearing Test,

DCP, dll.

Dari nilai CBR yang diperoleh ditentukan nilai CBR rencana yang

merupakan nilai CBR rata-rata untuk suatu jalur tertentu.

Caranya adalah sebagai berikut :

(48)

Bab II Studi Pustaka II -

48

c. Tentukan jumlah harga CBR yang sama atau lebih besar dari

masing-masing nilai CBR.

2.6.5. Faktor Regional (FR)

FR ini dipengaruhi oleh bentuk alinyemen, persentase kendaraan berat dan

yang berhenti serta iklim. Pada bagian-bagian jalan tertentu, seperti

persimpangan, pemberhentian atau tikungan tajam (jari-jari 30 m) FR

ditambah dengan 0,5. Pada rawa-rawa FR ditambah dengan 1,0.

Tabel 2.30. : Faktor Regional (FR)

Curah Hujan

Kelandaian I ( < 6 % )

Kelandaian II ( 6 – 10 %)

Kelandaian III ( > 10 % ) % Kelandaian Berat

30 % > 30 % 30 % > 30 % 30 % > 30 %

(Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen, Departemen Pekerjaan Umum, 1987)

2.6.6. Indeks Permukaan

Indeks permukaan adalah nilai kerataan / kehalusan serta kekokohan

permukaan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi lalu-lintas yang

lewat.

Tabel 2.31 : Indeks Permukaan pada akhir umur rencana (IP)

LER * ) Klasifikasi Jalan

) LER dalam satuan angka ekivalen 8,16 ton beban sumbu tunggal

Catatan : Pada proyek-proyek penunjangan jalan, JAPAT / Jalan Murah, atau jalan darurat maka Ipt dapat diambil 1,0.

(49)

Bab II Studi Pustaka II -

49

Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (Ipo) perlu

diperhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan / kehalusan serta

kekokohan) pada awal umur rencana.

Tabel 2.32 : Indeks Permukaan pada awal umur rencana (Ipo)

Jenis Lapis Perkerasan Ipo Roughness * ) (mm / km)

LASTON ≥ 4

3,9 – 3,5

≤ 1000

> 1000

LASBUTAG 3,9 – 3,5

3,4 – 3,0

≤ 2000

> 2000

HRA 3,9 – 3,5

3,4 – 3,0

≤ 2000

> 2000

BURDA 3,9 – 3,5 < 2000

BURTU 3,4 – 3,0 < 2000

LAPEN 3,4 – 3,0

2,9 – 2,5

≤ 3000

> 3000

LATASBUM 2,9 – 2,5 -

BURAS 2,9 – 2,5 -

LATASIR 2,9 – 2,5 -

JALAN TANAH ≤ 2,4 -

JALAN KERIKIL ≤ 2,4 -

(Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Kompenen, Departemen Pekerjaan Umum, 1987)

2.6.7. Indeks Tebal Perkerasan

Indeks Tebal Perkerasan (ITP) dapat dicari dengan menggunakan

nomogram sesuai yang terdapat pada buku petunjuk perencanaan

perkerasan jalan metode analisa komponen yang masing-masing

nomogram dipakai berdasarkan nilai IP dan IPo. Dengan menarik garis

(50)

Bab II Studi Pustaka II -

50

nilai ITP, kemudian garis dihubungkan lagi dengan niliai faktor regional

(FR) sehingga diperoleh ITP.

Nilai ITP digunakan untuk menentukan tebal masing-masing lapis

perkerasan dengan rumus sbagai berikut :

ITP = a1.D1 + a2.D2 + a3.D3

Dimana :

ITP : Indeks tebal perkerasan

a1 : Koefisien lapisan permukaan

a2 : Koefisien lapis Base Course

a2 : Koefisien lapis Sub Base

DI : Tebal lapisan permukaan, (cm)

D2 : Tebal lapis Base Course, (cm)

D3 : Tebal lapis Sub Base, (cm)

Tabel 2.33 : Koefisien kekuatan relatif

Koefisien kekuatan relatif Kekuatan Bahan

Jenis Bahan

(51)

Bab II Studi Pustaka II -

51

Koefisien kekuatan relatif Kekuatan Bahan

Jenis Bahan

a1 a2 a3 MS (kg) Kt (kg) CBR

Aspal Macadam

Lapen (mekanis)

Lapen (manual)

Laston atas

Lapen (mekanis)

Lapen (manual)

Stab. tanah dengan semen

Stab. Tanah dengan kapur

Batu pecah (kelas A)

Batu pecah (kelas B)

Batu pecah (kelas C)

Sirtu / pitrun (kelas A)

Sirtu / pitrun (kelas B)

Sirtu / pitrun (kelas C)

Tanah / lempung kepasiran

(52)

Bab II Studi Pustaka II -

52

2.6.8. Perancangan Tebal Lapisan Perkerasan

a Lapis permukaan

Tabel 2.34 : Batas-batas minimum tebal lapis perkerasan untuk lapis permukaan.

ITP Tebal

minimum Bahan

< 3,00

Lapis pelindung : (buras / burtu / burda)

Lapen / aspal macadam, HRA, lasbutag,

laston

Lapen / aspal macadam, HRA, lasbutag,

laston

Lasbutag, laston

Laston

(Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen, Departemen Pekerjaan Umum, 1987)

b Lapis pondasi

Tabel 2.35 : Batas-batas minimum tebal lapis perkerasan untuk lapis pondasi..

ITP Tebal

minimum Bahan

< 3,00

Batu pecah, stabilitas tanah dengan

semen, stabilitas tanah dengan kapur

Batu pecah, stabilitas tanah dengan

semen, stabilitas tanah dengan kapur

Laston atas

Batu pecah, stabilitas tanah dengan

semen, stabilitas tanah dengan kapur,

pondasi macadam

Laston atas

(53)

Bab II Studi Pustaka II -

53

Gambar 2.18Sketsa tebal perkerasan

ITP Tebal

minimum Bahan

≥ 12,25 25

semen, stabilitas tanah dengan kapur,

pondasi macadam, lapen, laston atas

Batu pecah, stabilitas tanah dengan

semen, stabilitas tanah dengan kapur,

pondasi macadam, lapen, laston atas

(Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen, Departemen Pekerjaan Umum, 1987)

c Lapis pondasi bawah

Untuk setiap nilai ITP bila digunakan pondasi bawah, tebal minimum

adalah 10 cm

(Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode

Analisa Komponen, Departemen Pekerjaan Umum, 1987)

2.6.9. Perancangan Tebal Pelapisan Tambahan/Overlay

Diberikan pada jalan yang telah/menjelang habis masa pelayanannya

dimana kondisi permukaan jalan telah mencapai indeks permukaan akhir

(IP) yang diharapkan.

Tack Coat

Surface

Base

Sub Base

(54)

Bab II Studi Pustaka II -

54

Maksud dan Tujuan overlay :

a. Mengembalikan (meningkatkan) kemampuan/kekuatan structural.

b. Kualitas permukaan

• Kemampuan menahan gesekan roda (skid resistance).

• Tingkat kekedapan terhadap air.

• Tingkat kecepatannya mengalirkan air.

• Tingkat keamanan dan kenyamanan.

Prosedur perencanaan tebal overlay menggunakan metoda analisa

komponen :

• Perlu dilakukan survai penilaian terhadap kondisi perkerasan jalan

lama (existing pavement), yang meliputi lapis permukaan, lapis

pondasi atas, dan lapis pondasi bawah.

• Tentukan LHR pada awal dan akhir umur rencana.

• Hitung LEP, LEA, LET, dan LER

• Cari nilai ITPR menggunakan nomogram

• Cari nilai ITPP dari jalan yang ada (eksisting)

• Tetapkan tebal lapisan tambahan (D1)

∆ ITP = ITPR - ITPP

Dimana :

∆ ITP = Selisih antara ITPR dan ITPP

ITPR = ITP yang diperlukan sampai dengan akhir umur rencana

ITPP = ITP yang ada

∆ ITP = D1 x a1

Dimana :

D1 = Tebal lapisan tambahan

(55)

Bab II Studi Pustaka II -

55

2.6.10.Perancangan Tebal Perkerasan Bahu Jalan

CBR

x x n x Po

He=20 [1+0,7log(µ η δ)]

Dimana :

He : h ekivalen terhadap batu pecah

Po : lalu-lintas ekivalen yang diperhitungkan

n : lalu-lintas ekivalen rencana

δ : faktor drainage

η : faktor curah hujan

µ : umur rencana

Beban kendaraan yang diperhitungkan melewati bahu jalan adalah

kendaraan terberat dari lalu-lintas yaitu truk 3 as 20 ton dengan maksimum

25 ton.

Gambar 2.19 Penyebaran beban pada roda truck

2.7 Perencanaan Saluran Drainase

Saluran drainase adalah bangunan yang bertujuan mengalirkan air dari

badan jalan secepat mungkin agar tidak menimbulkan bahaya dan

kerusakan pada jalan. Dalam banyak kejadian, kerusakan konstruksi jalan 25 %

Tunggal

(56)

Bab II Studi Pustaka II -

56

disebabkan oleh air, baik itu air permukaan maupun air tanah. Air dari atas

badan jalan yang dialirkan ke samping kiri dan atau kanan jalan ditampung

dalam saluran samping (side ditch) yang bertujuan agar air mengalir lebih

cepat dari air yang mengalir diatas permukaan jalan dan juga bertujuan

untuk bisa mengalirkan kejenuhan air pada badan jalan.

Dalam merencanakan saluran samping harus memenuhi persyaratan

sebagai berikut :

¾ Mampu mengakomodasi aliran banjir yang direncanakan dengan

kriteria tertentu sehingga mampu mengeringkan lapis pondasi.

¾ Saluran sangat baik diberi penutup untuk mencegah erosi maupun

sebagai trotoar jalan.

¾ Pada kemiringan memanjang, harus mempunyai kecepatan rendah

untuk mencegah erosi tanpa menimbulkan pengendapan.

¾ Pemeliharan harus bersifat menerus.

¾ Air dari saluran dibuang ke outlet yang stabil ke sungai atau tempat

pengaliran yang lain

¾ Perencanaan drainase harus mempertimbangkan faktor ekonomi,

faktor keamanan dan segi kemudahan dalam pemeliharaan.

2.7.1. Ketentuan-Ketentuan

1. Sistim drainase permukaan jalan terdiri dari : kemiringan melintang

perkerasan dan bahu jalan, selokan samping, gorong-gorong dan

(57)

Bab II Studi Pustaka II -

57

2. Kemiringan melintang normal (en) perkerasan jalan untuk lapis

permukaan aspal adalah 2 % - 3 %., Sedangkan untuk bahu jalan

diambil = en + 2 %.

3. Selokan samping jalan

¾ Kecepatan aliran maksimum yang diizinkan untuk material dari

pasangan batu dan beton adalah 1,5 m/detik.

¾ Kemiringan arah memanjang (i) maksimum yang diizinkan untuk

material dari pasangan batu adalah 7,5 %.

¾ Pematah arus diperlukan untuk mengurangi kecepatan aliran bagi

selokan samping yang panjang dengan kemiringan cukup besar.

Pemasangan jarak antar pematah arus dapat dilihat pada Tabel

2.36.

Tabel 2.36 : Jarak pematah arus

I (%) 6 % 7 % 8 % 9 % 10 %

L (m) 16 10 8 7 6

(Sumber : SNI 03-3424-1994)

¾ Penampang minimum selokan samping adalah 0,50 m2.

4. Gorong-gorong pembuang air

¾ Kemiringan gorong-gorong adalah 0,5 % - 2 %.

¾ Jarak maksimum antar gorong-gorong pada daerah datar adalah

100 m dan daerah pegunungan adalah 200 m.

¾ Diameter minimum adalah 80 cm.

2.7.2. Perhitungan Debit Aliran

1. Intensitas curah hujan (I)

¾ Data yang diperlukan adalah data curah hujan maksimum tahunan,

paling sedikit n = 10 tahun dengan periode ulang 5 tahun.

¾ Rumus menghitung Intensitas curah hujan menggunakan analisa

(58)

Bab II Studi Pustaka II -

Yt = variabel yang merupakan fungsi dari periode ulang, diambil =

1,4999.

Yn = variabel yang merupakan fungsi dari n, diambil 0,5128 untuk n

= 5

Sn = standar deviasi, merupakan fungsi dari n, diambil 1,0206 untuk

n = 5

I = intensitas curah hujan (mm/jam)

¾ Waktu konsentrasi (TC) dihitung dengan rumus :

(59)

Bab II Studi Pustaka II -

59

nd = koefisien hambatan, diambil 0,013 untuk lapis permukaan aspal

s = kemiringan daerah pengaliran

v = kecepatan air rata-rata di saluran (m/detik)

2. Luas daerah pengaliran dan batas-batasnya sesuai yang terlihat pada Gambar 2.21.

Gambar 2.21 Batas-batas daerah pengaliran

Batas daerah pengaliran yang diperhitungkan : L = L1 + L2 + L3 (m)

Dimana : L1 = dari as jalan sampai tepi perkerasan.

L2 = dari tepi perkerasan sampai tepi bahu jalan. L3 = tergantung kebebasan samping dengan panjang

maksimum 100 m.

3. Harga koefisien pengaliran (C) dihitung berdasarkan kondisi permukaan yang berbeda-beda.

3 2 1

3 3 2 2 1 1

A A A

A C A C A C C

+

+ ⋅ + ⋅

+ ⋅ =

Dimana : C1 = koefisien untuk jalan aspal = 0,70.

C2 = koefisien untuk bahu jalan (tanah berbutir kasar) =

0,65.

C3 = koefisien untuk kebebasan samping (daerah pinggir

kota) = 0,60.

(60)

Bab II Studi Pustaka II -

60

b

4. Untuk menghitung debit pengaliran, digunakan rumus sebagai berikut : A

I C 6 , 3

1 Q= ⋅ ⋅ ⋅ Dimana :

Q = debit pengaliran (m3/detik) C = koefisien pengaliran I = intensitas hujan (mm/jam) A = luas daerah pengaliran (km2)

2.7.3. Perhitungan Dimensi Saluran Dan Gorong-Gorong

Dimensi saluran dan gorong-gorong ditentukan atas dasar Fe = Fd

1. Luas penampang basah berdasarkan debit aliran (Fd) Fd=Q/v (m2)

2. Luas penampang basah yang paling ekonomis (Fe)

¾ Saluran bentuk segi empat Rumus :

d b

Fe = ⋅ ª syarat : b=2⋅d

R = d / 2

3. Tinggi jagaan (w) untuk saluran segi empat w = 0,5⋅d

(61)

Bab II Studi Pustaka II -

61

D

d

¾ Gorong-gorong

Rumus :

2

e 0,685 D

F = ⋅ ª syarat : d = 0.8 D P = 2 r

R = F / P

Dimana : Fe = Luas penampang basah ekonomis (m2) b = lebar saluran (m)

d = kedalaman air (m) R = jari-jari hidrolis (m)

D = diameter gorong-gorong (m) r = jari-jari gorong-gorong (m)

Gambar 2.23 Penampang gorong-gorong 4. Perhitungan kemiringan saluran

Rumus :

2

3 /

2 ⎟

⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ⋅ =

R n v i

Dimana : i = kemiringan saluran

v = kecepatan aliran air (m/detik)

Gambar

Gambar 2.9. Pelebaran Perkerasan pada Tikungan
Gambar 2.10. Pengarahan Kembali pada persimpangan
Tabel 2.20 : Lebar jalur lalu lintas utama pada persimpangan Lebar dipersempit
Gambar 2.11.  Jalur Belok Kanan (Lajur Median)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki kepulauan terbanyak didunia. Salah satu permasalahan yang menjadi sorotan akan keberadaan negara kepulauan adalah adanya

Agar penjaminan mutu di lingkungan perguruan tinggi berhasil dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang dikemukakan di atas, maka dipandang perlu dilakukan inventarisasi praktik

Setelah diketahui bahwa terdapat hubungan antara wawasan siswa tentang penggunaan perpustakaan berdasarkan layanan informasi dengan minat baca siswa adalah positif

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Walikota Bandung tentang Pedoman Pengelolaan Layanan Aspirasi dan

Oleh karena itu dalam penelitian ini dipelajari pengaruh perubahan komposisi bahan pembentuk gelas dalam hal ini pengaruh perubahan kadar SiO2 dalam bahan pembentuk gelas

Dalam rangka pelaksanaan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dan Peraturan Menteri

selanjutnya adalah pemasaran. Disinilah letak kegiatan yang sangat penting. Berhasil tidaknya produk baru ini diterima pasar bergantung dari proses pemasaran produk

Berdasarkan uraian di atas kesimpulan yang dapat ditarik adalah kesalahan penetapan sasaran Program Raskin terjadi karena beberapa faktor yang terkait satu dengan yang lain, yaitu: