• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa yang digunakan terdiri atas bahasa lisan dan bahasa tulis. Oleh karena itu,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa yang digunakan terdiri atas bahasa lisan dan bahasa tulis. Oleh karena itu,"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Teks sastra adalah teks artistik yang disusun dengan menggunakan bahasa. Bahasa yang digunakan terdiri atas bahasa lisan dan bahasa tulis. Oleh karena itu, ada sastra lisan dan ada pula sastra tulis.

Sastra lisan adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara turun-temurun (Endraswara, 2008: 150). Sastra lisan sering disebut juga dengan tradisi lisan yaitu hasil budaya kolektif masyarakat tradisional, artinya hasil budaya tersebut tidak hanya dihasilkan oleh perseorangan melainkan secara bersama-sama (kolektif).

Oleh karena penyebaran dan sistem pewarisannya dari mulut ke mulut maupun turun-temurun, menyebabkan adanya varian-varian di antara hasil budaya tersebut, yaitu tidak sesuai dengan konteks aslinya, karena ketika proses pewarisan dari generasi yang satu ke generasi yang lain hasil budaya tersebut hanya disimpan di dalam pikiran orang yang menerimanya (tidak diabadikan kedalam bentuk konkret). Sastra lisan, misalnya pada puisi rakyat yaitu mantra.

Mantra merupakan salah satu tradisi yang berkembang secara lisan dan dapat digolongkan ke dalam salah satu bentuk tradisi lisan. Mantra merupakan jenis sastra lisan yang berbentuk puisi dan bagian dari genre sastra lisan kelompok folklor. Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara macam kolektif macam apa saja, secara

(2)

2

tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat, mnemonic device, (Danandjaja, 2002). Pengelompokan genre dari mantra tersebut dapat masuk ke dalam bentuk puisi rakyat. Hal tersebut sesuai dengan ciri-ciri puisi rakyat yang disebutkan oleh Danandjaja (2006: 46) bahwa kekhususan genre ini yaitu kalimatnya yang tidak berbentuk bebas (free phase) melainkan terikat (fix phase).

Mantra berasal dari bahasa sanskerta yaitu man yang berarti pikiran dan tra yang berati pembebasan. Mantra berasal dari tradisi Hindu kuno (http://su.wikipedia.org/wiki/Mantra). Mantra-mantra dari sastra dan budaya Hindu telah masuk ke Indonesia sejak abad ke-4 yaitu pada masa Kerajaan Mulawarman di Kalimantan. Hal ini tidak lepas dari masuknya bangsa India ke Indonesia yaitu sejak awal tahun 78 Masehi, mereka menyebarkan bahasa dan kebudayaan sampai abad ke-6 yaitu pada waktu jatuhnya Kerajaan Majapahit. Bahkan menurut dongeng bahwa bangsa Indonesia mengenal aksara (dapat baca tulis) sejak Aji Saka mengajarkan : ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, nga (Sa’adie, 1997: 28-29).

Di kalangan masyarakat Jawa (Wardhana, 2003: 2) bahwa wujud mantra pada umumnya adalah 1) wujud kata-kata atau puisi lisan dan yang hanya dihafal dalam batin disebut: japa-mantra, aji-aji, dan rapal; 2) wujud tulisan, misalnya yang tertulis pada kain, kertas, kulit, kuku, dan lain-lain disebut dengan rajah; 3) wujud mantra yang kekuatannya ditanam pada suatu benda yang disebut dengan jimat, aji-aji. Misalnya pada batu akik, keris, tongkat, dan lain-lain.

(3)

3

Secara harfiah Mantra berarti kegiatan membebaskan pikiran. Mantra dari sisi istilah berarti bunyi, kata, frasa atau kalimat yang digumamkan, dibisikkan, diucapkan, dinyanyikan dengan cara diulang-ulang, diyakini mempunyai kekuatan, sebagai sarana komunikasi dengan sang Maha, dan bermanfaat untuk beragam tujuan perapalnya (pengucapan maupun pembacaannya).

Menurut KBBI, mantra adalah perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib (misal, dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka), susunan kata berunsur puisi ( seperti rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain (2003: 713-714). Selain itu, di dalam kamus istilah sastra, mantra merupakan doa dalam agama Hindu di India; puisi Melayu lama yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh pawang atau dukun untuk mempengaruhi kekuatan alam semesta atau binatang (1991: 82).

Pada umumnya mantra mempunyai prasyarat. Syarat yang harus dipenuhi dalam membacakan mantra disebut Sesirih (Jawa) atau Pameuli (Sunda). Sesirih atau pameuli ini umumnya berupa puasa. Setelah syarat tersebut dipenuhi, mantra baru bisa dibacakan (http://su.wikipedia.org/wiki/Mantra).

Mantra memiliki beberapa jenis, yaitu asihan: ucapan untuk mendapatkan rasa belas kasih dari orang lain; jangjawokan: ucapan untuk mendapatkan maksud yang telah direncanakan; singlar: ucapan untuk menolak bala; ajian: berupa-rupa ucapan untuk menolak bala; jampe: ucapan yang digunakan untuk menghilangkan sakit; dan rajah: ucapan yang dinyanyikan, biasanya digunakan sebelum memulai

(4)

4

acara pantun dengan maksud supaya selamat lahir batin baik si penyanyi maupun orang yang mengadakannya serta para penontonnya (Yus Rusyana).

Di dalam masyarakat, terutama pedesaan yang kondisi daerah maupun sosialnya sudah maju, tidak menutup kemungkinan masih ditemukannya kepercayaan-kepercayaan pada benda-benda ataupun roh-roh yang dipercaya membawa keberuntungan bagi orang yang memercayainya.

Desa Leuweunggede adalah salah satu contoh, masih ditemukannya kepercayaan pada roh-roh, istilah lainnya karuhun. Di desa tersebut salah satu warganya, ketika akan bercocok tanam padi sawah masih menggunakan doa-doa (mantra), karena sawah yang akan ditanami padi, di percaya ada yang menunggunya, yaitu karuhun.

Penggunaan maupun pembacaan mantra biasanya dilakukan oleh dukun/ pawang yaitu orang yang dipercaya sudah mampu melakukan komunikasi maupun hubungan dengan makhluk gaib. Namun, salah satu warga Desa Leuweunggede tersebut hanya melakukannya sendiri. Menurutnya, mantra yang didapatnya berasal dari orangtuanya yang terdahulu dan tidak disebarkan kesembarang orang hanya pada keturunannya. Itupun mantra yang diwariskan sudah dalam bentuk teks.

Penelitian mengenai mantra telah dilakukan oleh Yus Rusyana dalam bukunya yang berjudul Bagbagan Puisi Mantra Sunda di dalam Proyek Penelitian Pantun dan Folklor Sunda (1970). Dalam penelitiannya, Yus Rusyana mendokumentasikan lebih dari dua ratus mantra yang terbagi dalam enam buah jenis mantra (asihan, jangjawokan, ajian, singlar, rajah, dan jampe). Pada

(5)

5

penelitian tersebut, Yus Rusyana belum melakukan analisis lebih jauh, hanya mendokumentasikan mantra-mantranya saja.

Penelitian mengenai mantra telah dilakukan juga oleh Hesti Setiawati dan Heri Isnaini. Hesti Setiawati dalam skripsinya yang berjudul Jangjawokan Dandan: Analisis Struktur, Fungsi, Kontek Penuturan, dan Proses Penciptaan (2006). Penelitian yang dilakukannya ini, pada jenis mantra Jangjawokan dalam bahasa Sunda. Sementara Heri Isnaini dalam skripsinya yang berjudul Mantra Asihan: Struktur, Konteks Penuturan, Proses Peciptaan dan Fungsi (2007).

Dari beberapa pernyataan di atas maupun dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, timbul ketertarikan penulis untuk meniliti sastra lisan. Adapun sastra lisan yang akan diteliti oleh penulis yaitu mantra bercocok tanam padi sawah yang berasal dari Desa Leuweunggede Kecamatan Jatiwangi Kabupaten Majalengka, selain itu sebagai upaya penulis untuk melestarikan sastra lisan yang berasal dari daerah tersebut melalui karya ilmiah yang berjudul Mantra Bercocok Tanam Padi Sawah di Desa Leuweunggede (Analisis Struktur, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan, dan Fungsi)

1.2 Rumusan Masalah

Adapun masalah yang akan dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Bagaimana struktur mantra bercocok tanam padi sawah di Desa Leuweunggede?

(6)

6

2) Bagaimana konteks penuturan pada mantra bercocok tanam padi sawah di Desa Leuweunggede?

3) Bagaimana proses penciptaan pada mantra bercocok tanam padi sawah di Desa Leuweunggede?

4) Bagaimana fungsi mantra bercocok tanam padi sawah di Desa Leuweunggede?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyajikan: 1) Struktur mantra bercocok tanam padi sawah di Desa Leuweunggede.

2) Konteks penuturan pada mantra bercocok tanam padi sawah di Desa Leuweunggede.

3) Proses penciptaan pada mantra bercocok tanam padi sawah di Desa Leuweunggede.

4) Aspek fungsi yang terdapat pada mantra bercocok tanam padi sawah di Desa Leuweunggede.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Manfaat Praktis

1) Bagi penulis, manfaat yang diperoleh dari penelitian ini, bertambahnya pengalaman, karena penulis terjun langsung ke lapangan (masyarakat) dalam mencari sumber data dan bertambahnya wawasan, khususnya yang berkenaan dengan sastra lisan berada di Desa Leuweunggede.

(7)

7

2) Bagi pembaca, dapat memberikan informasi secara tertulis maupun sebagai referensi mengenai sastra lisan yang ada di Desa Leuweunggede, tepatnnya mengenai mantra bercocok tanam padi sawah.

b. Manfaat Teoretis

Memberikan sumbangsih maupun rujukan referensi bagi para peneliti, terutama mengenai sastra lisan yaitu mantra.

1.5 Definisi Operasional

1) Sastra lisan, terutama mantra adalah objek yang akan diteliti dalam penelitian ini. Sastra lisan merupakan hasil karya yang penyebarannya melalui mulut ke mulut.

2) Mantra; perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib (misal dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dsb); susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain. Mantra yang akan dijadikan objek pada penelitian ini adalah mantra bercocok tanam padi sawah di Desa Leuweunggede.

3) Bercocok tanam padi sawah di Desa Leuweunggede adalah kegiatan menanam padi sawah di Desa Leuweunggede, sekaligus sebagai tempat objek penelitian.

4) Analisis struktur; berkaitan dengan formula sintaksis, bunyi, majas, dan tema. Analisis struktur bertujuan untuk mengetahui bagaimana struktur sastra lisan terutama mantra.

(8)

8

5) Konteks penuturan adalah sebuah peristiwa komunikasi secara khusus yang ditandai dengan adanya interaksi di antara unsur-unsur pendukungnya secara khusus yaitu berkaitan dengan pembicara dan pendengar atau yang diajak bicara.

6) Proses penciptaan adalah sebuah proses kreatif menciptakan karya sastra oleh masyarakat, baik secara terstruktur maupun secara spontan.

7) Fungsi adalah bagaimana sebuah karya sastra dapat berperan dalam masyarakat pendukungnya.

Referensi

Dokumen terkait

2004: 61). Setiap penelitian mempunyai objek yang akan diteliti. Adapun objek dalam penelitian ini adalah aspek sosial dalam novel. ESAM Karya Tere Liye dengan tinjauan sosiologi

Objek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah bentuk ketidakadilan gender dalam novel Madame Kalinyamat karya Zhaenal Fanani dengan tinjauan sastra

Objek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah ketidaksetaraan gender dalam novel Perempuan Jogja karya Achmad Munif dengan tinjauan sastra feminis.. Data

Menurut Sangidu (2004: 61) objek penelitian sastra adalah pokok penelitian sastra. Obyek penelitian dapat berupa individu, benda, bahasa, karya sastra, budaya

Sutri (2009) juga telah melakukan penelitian dengan judul “Dimensi Sosial dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata: Tinjauan Sosiologi Sastra”. Hasil penelitian yang

Karya ini disajikan di dalam bentuk deskripsi me­ ngenai: (1) teori-teori sastra lisan yang pernah ada, (2) kesejarahan penelitian yang pernah dikerjakan oleh

Secara umum penelitian ini memiliki tujuan agar dapat menambah wawasan dalam hal karya sastra Bali purwa, terutama karya sastra Bali yang berbentuk

Dengan demikian, penelitian sastra lisan berarti melakukan penyelamatan sastra lisan dari kepunahan, yang dengan sendirinya merupakan usaha pewaris nilai budaya, karena dalam