• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seperti yang dikemukakan oleh beberapa ahli berikut ini. Hodges (dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seperti yang dikemukakan oleh beberapa ahli berikut ini. Hodges (dalam"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

7 2.1 Landasan Teori

2.1.1 Disiplin Kerja

Disiplin kerja dibicarakan dalam kondisi yang seringkali timbul bersifat negatif. Disiplin lebih dikaitkan dengan sanksi atau hukuman. Disiplin dalam arti positif seperti yang dikemukakan oleh beberapa ahli berikut ini. Hodges (dalam Yuspratiwi,2009) mengatakan disiplin dapat diartikan sebagai sikap seseorang yang berniat untuk mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan. Dalam kaitannya dengan pekerjaan, pengertian disiplin kerja adalah suatu sikap dan tingkah laku yang menunjukan ketaatan karyawan terhadap peraturan organisasi.

Niat untuk mentaati peraturan Suryohadiprojo (2008) menyatakan suatu kesadaran bahwa tanpa disadari unsur ketaatan, tujuan organisasi tidak akan tercapai. Hal ini berarti bahwa sikap dan perilaku didorong adanya kontrol diri yang kuat. Ada dua disiplin kerja yaitu displin diri dan disiplin kelompok.

1. Disiplin Diri.

Displin diri Jasin (1989) merupakan disiplin yang dikembangkan atau dikontrol oleh diri sendiri. Hal ini merupakan manifestasi atau aktualisasi dari tanggung jawab pribadi, yang berarti mengakui dan menerima nilai–nilai yang ada diluar dirinya. Melalui disiplin diri, karyawan–karyawan merasa bertanggung jawab dan dapat mengatur diri sendiri untuk kepentingan organisasi. Disiplin diri merupakan hasil

▸ Baca selengkapnya: berikut ini beberapa jabatan dalam struktur organisasi industri farmasi adalah

(2)

proses belajar dari keluarga dan masyarakat. penanaman nilai–nilai yang menjunjung disiplin baik yang ditanamkan oleh orang tua, guru, ataupun masyarakat merupakan bekal positif bagi tumbuh dan berkembang disiplin diri.

Penanaman nilai–nilai disiplin dapat berkembang apabila didukung oleh situasi lingkungan kondusif yaitu situasi yang diwarnai perlakuan yang konsisten dari orang tua atau guru dan pimpinan yang berdisiplin tinggi merupakan model peran yang efektif bagi perkembangan diri. Disiplin diri sangat besar perannya dalam mencapai tujuan organisasi melalui disiplin diri, seorang karyawan selain menghargai dirinya sendiri juga menghargai orang lain.

2. Disiplin Kelompok.

Kegaiatan organisasi bukanlah kegiatan yang bersifat individual semata. Selain disiplin diri masih diperlukan disiplin kelompok. Hal ini didasari atas pandangan bahwa didalam kelompok kerja terdapat standar ukuran prestasi yang telah ditentukan.

Pembentukan perilaku jika dilihat dari formula Kurt Levin adalah interaksi antara faktor kepribadian dan faktor lingkungan.

1. Faktor kepribadian adalah faktor yang penting dalam kepribadian seseorang adalah sistem nilai yang dianut. Sitem nilai dalam hal ini yang berkaitan langsung dengan disiplin. Nilai-nilai yang menjunjung disiplin yang diajarkan atau ditanamkan orang tua, guru, masyarakat akan digunakan sebagai kerangka acuan bagi penerapan disiplin ditempat kerja. Sistem nilai akan terlihat dari sikap seseorang. siakp diharapkan akan tercermin dalam

(3)

perilaku. Perubahan sikap kedalam perilaku terdapat 3 tingkatan menurut Kelman (Brgiham,1994).

2. Disiplin karena kepatuhan adalah kepatuhan terhadap aturan–aturan yang didasarkan atas dasar perasaan takut. Disiplin kerja dalam tingkat ini dilakukan semata untuk mendapatkan reaksi positif dari pimpinan atau atasan yang memiliki wewenang. Sebaliknya, Jika pengawas tidak ada ditempat disiplin tidak tampak.

3. Disiplin karena identifikasi adalah adanya perasaan kekaguman atau penghargaan pada pimpinan. Pemimpin yang kharismatik adalah figur yang dihormati, dihargai, dan sebagai pusat identifikasi. Karyawan yang menunjukan disiplin terhadap aturan–aturan organisasi bukan disebabkan karena menghormati aturan tersebut tetapi lebih disebabkan keseganan pada atasannya.

4. Disiplin karena internalisasi adalah disiplin kerja dalam tingkat ini terjadi karena kryawan mempunyai sistem nilai pribadi yang menjunjung tinggi nilai–nilai kedisiplinan. Dalam taraf ini, orang dikategorikan mempunyai disiplin tinggi.

5. Faktor lingkungan adalah disiplin kerja yang tinggi tidak muncul begitu saja tetapi merupakan suatu proses belajar yang terus menerus. proses pembelajaran agar dapat efektif maka pemimpin yang merupakan agen perubahan perlu memperhatikan prinsip–prinsip konsistensi, adil, bersikap positif, dan terbuka.

(4)

Disiplin kerja selain dipengaruhi faktor lingkungan kerja juga dipengaruhi faktor kepribadian. Dharma (2009) perilaku tidak disiplin sering dijumpai ditempat kerja adalah sebagai berikut:

1. Melanggar peraturan jam istirahat dan peraturan kerja lainnya. 2. Melanggar peraturan keamanan dan kesejahteraan.

3. Terlambat masuk kerja, mangkir dari pekerjaan.

4. Berkembang rasa tidak puas, saling curiga dan saling melempar rasa tanggung jawab.

5. Bekerja dengan ceroboh dan merusak peralatan.

6. Tindakan pendisiplinan dapat dilaksanakan dengan menggunakan prinsip dari progressive discipline. Prinsipnya adalah

7. Hukuman untuk pelanggran pertama lebih ringan daripada pengulangan pelanggaran.

8. Hukuman untuk pelanggaran kecil lebih ringan daripada pelanggaran berat. Indikator disiplin kerja menurut Setyabudi Indartono (2018) adalah sebagai berikut:

1. Kehadiran

2. Ketaatan pada peraturan kerja

3. Kesediaan menjalankan standar kerja 4. Tingkat kewaspadaan tinggi

(5)

2.1.2 Komitmen

Robbins (2009) menyebutkan komitmen adalah tingkatan di mana seseorang mengidentifikasikan diri dengan organisasi dan tujuan-tujuannya dan berkeinginan untuk memelihara keanggotaannya dalam organisasi. Bansal dan Taylor (2012) mendefenisikan komitmen sebagai kekuatan yang mengikat seseorang pada suatu tindakan yang memiliki relevansi dengan satu atau lebih sasaran. Buchanan (2010) menyebutkan komitmen menyangkut tiga sikap yaitu rasa pengidentifikasian dengan tujuan organisasi, rasa keterlibatan dan rasa kesetiaan kepada organisasi. Jadi pengertian komitmen lebih dari sekedar menjadi anggota saja, tetapi lebih dari itu orang akan bersedia untuk mengusahakan pada derajat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi, demi memperlancar mencapai tujuan organisasi.

Definisi komitmen organisasi menurut Luthans (2009) adalah sikap loyal anggota organisasi atau pekerja bawahan dan merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus mereka menunjukkan kepedulian dan kelangsungan sukses organisasi. Sedangkan definisi menurut Robbins (2012) adalah derajat sejauh mana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi. Menurut Buchanan (2010) menyatakan komitmen organisasi terdiri dari tiga sikap, yaitu perasaan identifikasi dengan misi organisasi, rasa keterlibatan dalam tugas-tugas organisasi, rasa kesetiaan dan cinta pada organisasi sebagai tempat hidup dan bekerja, terlepas dari manfaat dan misi organisasi bagi individu.

(6)

Manfaat dengan adanya komitmen dalam organisasi adalah sebagai berikut para pekerja yang benar-benar menunjukkan komitmen tinggi terhadap organisasi mempunyai kemungkinan yang jauh lebih besar untuk menunjukkan tingkat partisipasi yang tinggi dalam organisasi, memiliki keinginan yang lebih kuat untuk tetap bekerja pada organisasi yang sekarang dan dapat terus memberikan sumbangan bagi pencapaian tujuan, sepenuhnya melibatkan diri pada pekerjaan mereka, karena pekerjaan tersebut adalah mekanisme kunci dan saluran individu untuk memberikan sumbangannya bagi pencapaian tujuan organisasi, keyakinan tentang pentingnya komitmen dalam kaitannya dengan efektivitas organisasi tampak sejalan.

Menurut Martin dan Nicholls (2009) menyatakan bahwa ada 3 (tiga) pilar untuk membentuk komitmen seseorang terhadap organisasi, yaitu menciptakan rasa kepemilikan terhadap organisasi, untuk menciptakan kondisi ini orang harus mengidentifikasi dirinya dalam organisasi, untuk mempercayai bahwa ada guna dan manfaatnya bekerja di organisasi, untuk merasakan kenyamanan didalamnya, untuk mendukung nilai-nilai, visi, dan misi organisasi dalam mencapai tujuannya. Salah satu faktor penting dalam menciptakan rasa kepemilikan ini adalah meningkatkan perasaan seluruh anggota organisasi bahwa perusahaan (organisasi) ini adalah benar-benar merupakan milik mereka. Kepemilikan ini tidak sekedar dalam bentuk kepemilikan saham saja (meskipun kadangkala ini juga merupakan cara yang cukup membantu), namun lebih berupa meningkatkan kepercayaan di seluruh anggota organisasi bahwa mereka benar-benar (secara jujur) diterima oleh manajemen sebagai bagian dari organisasi. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk itu, mengajak mereka

(7)

anggota organisasi untuk terlibat memutuskan penciptaan dan pengembangan produk baru, terlibat memutuskan perubahan rancangan kerja dan sebagainya. Bila mereka anggota organisasi merasa terlibat dan semua idenya dipertimbangkan maka muncul perasaan kalau mereka ikut berkontribusi terhadap pencapaian hasil. Apalagi ditambah dengan kepercayaan kalau hasil yang diperoleh organisasi akan kembali pada kesejahteraan mereka pula.

Menciptakan semangat dalam bekerja, cara ini dapat dilakukan dengan lebih mengkonsentrasikan pada pengelolaan faktor-faktor motivasi instrinsik dan menggunakan berbagai cara perancangan pekerjaan. Menciptakan semangat kerja bawahan bisa dengan cara membuat kualitas kepemimpinan yaitu menumbuhkan kemauan manajer dan supervisor untuk memperhatikan sepenuhnya motivasi dan komitmen bawahan melalui pemberian delegasi tanggung jawab dan pendayagunaan ketrampilan bawahan.

Indikator komitmen menurut Setyabudi Indartono (2018) adalah sebagai berikut:

1. Identifikasi 2. Keterlibatan diri 3. Loyalitas karyawan 2.1.3 Kompensasi

Salah satu tujuan manajemen sumber daya manusia, yaitu memastikan organisasi memiliki tenaga kerja yang bermotivasi dan berkinerja tinggi, serta dilengkapi dengan sarana untuk menghadapi perubahan yang dapat memenuhi

(8)

kebutuhan pekerjanya. Dalam usaha mendukung pencapaian tenaga kerja yang memiliki motivasi dan berkinerja tinggi, yaitu dengan cara memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Sistem kompensasi juga berpotensi sebagai salah satu sarana terpenting dalam membentuk perilaku dan mempengaruhi kinerja. Namun demikian banyak organisasi mengabaikan potensi tersebut dengan suatu persepsi bahwa kompensasi tidak lebih sekadar a cost yang harus diminimisasi. Tanpa disadari beberapa organisasi yang mengabaikan potensi penting dan berpersepsi salah telah menempatkan sistem tersebut justru sebagai sarana meningkatkan perilaku yang tidak produktif atau counter productive. Akibatnya muncul sejumlah persoalan personal seperti low employee motivation, poor job performance, high turn over, irresponsible behaviour dan bahkan employee dishonestry yang berawal dari sistem kompensasi yang tidak proporsional.

Menurut Handoko (2013) menyatakan faktor pendorong penting yang menyebabkan manusia bekerja adalah adanya kebutuhan dalam diri manusia yang harus dipenuhi dimana keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia bekerja dengan menjual tenaga, pikiran dan juga waktu yang dimilikinya kepada perusahaan dengan harapan mendapatkan kompensasi (imbalan).

Secara umum kompensasi merupakan sebagian kunci pemecah bagaimana membuat anggota berbuat sesuai dengan keinginan organisasi. Sistem kompensasi ini akan membantu menciptakan kemauan diantara orang-orang yang berkualitas untuk bergabung dengan organisasi dan melakukan tindakan yang diperlukan organisasi.

(9)

Secara umum berarti bahwa karyawan harus merasa bahwa dengan melakukannya, mereka akan mendapatkan kebutuhan penting yang mereka perlukan. Dimana didalamnya termasuk interaksi sosial, status, penghargaan, pertumbuhan dan perkembangan.

Menurut Long (2013) mendefinisikan sistem kompensasi adalah bagian dari sistem reward yang hanya berkaitan dengan bagian ekonomi, namun demikian sejak adanya keyakinan bahwa perilaku individual dipengaruhi oleh sistem dalam spektrum yang lebih luas maka sistem kompensasi tidak dapat terpisah dari keseluruhan sistem reward yang disediakan oleh organisasi. Sedangkan reward adalah semua hal yang disediakan organisasi untuk memenuhi satu atau lebih kebutuhan individual. Adapun dua jenis reward tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ekstrinsik kompensasi yaitu kompensasi yang memuaskan kebutuhan dasar untuk survival dan security dan juga kebutuhan sosial dan pengakuan. Pemuasan ini diperoleh ari faktor-faktor yang ada di sekeliling para karyawan dan disekitar pekerjaannya.

2. Intrinsik kompensasi yaitu kompensasi yang memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya untuk kebanggaan, penghargaan, serta pertumbuhan dan perkembangan yang dapat diperoleh dari faktor-faktor yang melekat dalam pekerjaan karyawan itu, seperti tantangan karyawan atau interest suatu pekerjaan yang diberikan, tingkatan keragaman atau variasi dalam pekerjaan, adanya umpan balik, dan otoritas pengambilan

(10)

keputusan dalam pekerjaan serta signifikansi makna pekerjaan bagi nilai-nilai organisasional.

Kompensasi adalah segala sesuatu yang diterima para karyawan sebagai balas jasa untuk kerja mereka (Handoko,2012), melalui kompensasi tersebut karyawan dapat meningkatkan prestasi kerja, motivasi dan kepuasan kerja serta meningkatkan kebutuhan hidupnya. Masalah kompensasi bukan hanya penting karena merupakan dorongan utama seseorang menjadi karyawan, tapi juga besar pengaruh terhadap semangat dan kegairahan kerja para karyawan. Dengan demikian maka setiap badan usaha harus dapat menetapkan kompensasi yang paling tepat, sehingga dapat menopang mencapai tujuan perusahaan secara lebih efektif dan lebih efisien.

Menurut Mondy(2014) menyatakan bentuk dari kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1. Financial compensation (kompensasi finansial) artinya kompensasi yang diwujudkan dengan sejumlah uang kepada karyawan yang bersangkutan. Kompensasi finansial implementasinya dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu pertama direct financial compensation (kompensasi finansial langsung). Kompensasi finansial langsung adalah pembayaran berbentuk uang yang karyawan terima secara langsung dalam bentuk gaji atau upah, tunjangan ekonomi, bonus dan komisi. Gaji adalah balas jasa yang dibayar secara periodik kepada karyawan tetap serta mempunyai jaminan yang pasti, sedangkan upah adalah balas jasa yang dibayarkan kepada pekerja dengan berpedoman pada perjanjian yang disepakati pembayarannya. Kedua indirect

(11)

financial compensation (kompensasi finansial tak langsung) adalah termasuk semua penghargaan keuangan yang tidak termasuk kompensasi langsung. Wujud dari kompensasi tak langsung meliputi program asuransi tenaga kerja (jamsostek), pertolongan sosial, pembayaran biaya sakit (berobat), cuti dan lain-lain.

2. Non financial compensation (kompensasi non finansial) adalah balas jasa yang diberikan perusahaan kepada karyawan bukan berbentuk uang, tapi berwujud fasilitas. Kompensasi jenis ini dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu pertama non financial the job (kompensasi berkaitan dengan pekerjaan), kompensasi non finansial mengenai pekerjaan ini dapat berupa pekerjaan yang menarik, kesempatan untuk berkembang, pelatihan, wewenang dan tanggung jawab, penghargaan atas kinerja. Kompensasi bentuk ini merupakan perwujudan dari pemenuhan kebutuhan harga diri (esteem) dan aktualisasi (self actualization), kedua yaitu non financial job environment (kompensasi berkaitan dengan lingkungan pekerjaan). Kompensasi non finansial mengenai lingkungan pekerjaan ini dapat berupa supervisi kompetensi (competent supervision), kondisi kerja yang mendukung (comfortable working conditions), pembagian kerja (job sharing).

(12)

Indikator kompensasi menurut Anita Tria Puspitasari (2017) adalah sebagai berikut: 1. Gaji 2. Insentif 3. Proteksi 4. Fasilitas 5. Penghargaan 2.1.4 Lingkungan Kerja

Sedarmayanti (2010) menyatakan lingkungan kerja adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat disekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Lingkungan kerja fisik adalah keseluruhan atau setiap aspek dari gejala fisik dan sosial kultural yang mengelilingi atau mempengaruhi individu. (Komarudin,2011). Lingkungan kerja fisik adalah segala sesuatu yang ada di sekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan, misalnya penerangan, suhu udara, ruang gerak, keamanan, kebersihan, musik dan lain-lain (Nitisemito,2013).

Suatu kondisi lingkungan kerja dikatakan baik apabila karyawan dapat melaksanakan kegiatan secara optimal, sehat, aman, dan nyaman. Oleh karena itu penentuan dan penciptaan lingkungan kerja yang baik akan sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan organisasi. Sebaliknya apabila lingkungan kerja yang tidak baik akan dapat menurunkan motivasi serta semangat kerja dan akhirnya dapat menurunkan disiplin kerja. Lingkungan kerja sangatlah perlu untuk diperhatikan

(13)

karena merupakan salah satu faktor yang penting dalam menentukan disiplin kerja. Hal ini dikarenakan mereka merasa tidak nyaman dalam bekerja sehingga kinerja menjadi rendah. Lingkungan kerja adalah sesuatu dari lingkungan pekerjaan yang memudahkan atau menyulitkan pekerjaan. Menurut Sarwoto (2007) lingkungan kerja fisik merupakan lingkungan atau kondisi tempat kerja yang dapat mempengaruhi atau meningkatkan efesiensi kerja, di antaranya adalah

1. Tata ruang kerja yang tepat, suatu organisasi sebaiknya karyawan yang bekerja mendapat tempat yang cukup untuk melaksanakan pekerjaan atau tugas. Karyawan tidak mungkin dapat bekerja dengan tenang dan maksimal jika tempat yang tersedia tidak dapat memberikan kenyamanan. Dengan demikian ruang gerak untuk tempat karyawan bekerja seharusnya direncanakan terlebih dahulu agar para karyawan tidak terganggu di dalam melaksanakan pekerjaan disamping itu juga perusahaan harus dapat menghindari dari pemborosan dan menekan biaya yang banyak.

2. Cahaya dalam ruangan yang tepat, cahaya dalam ruangan atau penerangan ruang kerja karyawan memegang peranan yang sangat penting dalam meningkatkan semangat karyawan sehingga mereka akan dapat menunjukkan hasil kerja yang baik, yang berarti bahwa penerangan tempat kerja yang cukup sangat membantu berhasilnya kegiatan-kegiatan operasional organisasi.

3. Suhu dan kelembapan udara yang tepat, didalam ruangan kerja karyawan dibutuhkan udara yang cukup, dimana dengan adanya pertukaran udara yang cukup, akan menyebabkan kesegaran fisik dari karyawan tersebut. Suhu udara

(14)

yang terlalu panas akan menurunkan semangat kerja karyawan di dalam melaksanakan pekerjaan.

4. Suara yang tidak mengganggu konsentrasi kerja, Suara yang bunyi bias sangat menganggu para karyawan dalam bekerja. Suara yang bising tersebut dapat merusak konsentrasi kerja karyawan sehingga disiplin kerja bisa menjadi tidak optimal, oleh karena itu setiap organisasi harus selalu berusaha untuk menghilangkan suara bising tersebut atau paling tidak menekannya untuk memperkecil suara bising tersebut. Kemampuan organisasi didalam menyediakan dana untuk keperluan pengendalian suara bising dalam suatu organisasi.

5. Suasana kerja dalam perusahaan merupakan pendukung dalam kelancaran pekerjaan perusahaan. Dengan suasana kerja yang baik dapat menimbulkan semangat kerja karyawan. Suasana dalam perusahaan yang baik dapat dilihat dari hubungan antara atasan dengan bawahan atau sebaliknya. Dengan adanya hubungan yang baik, maka dapat menimbulkan saling pengertian antara pimpinan dengan karyawan serta dapat menumbuhkan motivasi kerja karyawan itu sendiri.

6. Keamanan kerja karyawan, rasa aman akan menimbulkan ketenangan, dan ketenangan itu akan mendorong motivasi kerja karyawan sehingga kinerja menjadi baik. Rasaaman di sini meliputi diri pribadi maupun luar pribadi. Kaitan dengan diri pribadi adalah menyangkut keselamatan selama bekerja dan terjaminnya karyawan dalam memperoleh pekerjaan dan jabatan dalam

(15)

perusahaan, selama ia melaksanakan tugasnya dengan prestasi kerja yang memuaskan. Sedangkan rasa aman dari luar pribadi adalah terjaminnya milik karyawan dari adanya perusakan dan pencurian.

Indikator lingkungan kerja menurut Setyabudi Indartono (2018) adalah sebagai berikut:

1. Suasana kerja 2. Rekan kerja

3. Hubungan antar bawahan dengan pimpinan 4. Transportasi

2.1.5 Supervisi

Kata supervisi dapat didefinisikan menurut beberapa kategori. Secara etimologis, supervisi berasal dari bahasa Inggris yaitu supervision. Super berarti diatas, sedangkan vision berarti pengelihatan atau melihat dan jika diartikan secara bebas, maka supervision dapat pula dimaknai sebagai melihat dari atas. Arti kata supervisi ini tidak bisa dimaknai secara harafiah sebagai kegiatan melihat orang lain dari atas, namun lebih kepada makna mengawasi orang lain yang dilakukan oleh orang yang memiliki jabatan tinggi ke orang yang memiliki jabatan lebih rendah.

Menurut Ross (2011) menyatakan supervisi adalah pelayanan kapada karyawan yang bertujuan menghasilkan perbaikan sedangkan menurut Mulyasa (2012) menyatakan supervisi sesungguhnya dapat dilaksanakan oleh pimpinan yang berperan sebagai supervisor, tetapi dalam sistem organisasi modern diperlukan supervisor

(16)

khusus yang lebih independent dan dapat meningkatkan obyektivitas dalam pembinaan dan pelaksanaan tugas.

Seorang supervisor memiliki pekerjaan yang tidak mudah dimana harus mengawasi sekaligus membimbing orang-orang yang berada di bawahnya agar mampu bekerja sesuai dengan standar yang diatur perusahaan. Mangkunegara (2013) menyatakan beberapa jenis kegiatan supervisi yang biasa dilakukan, yaitu:

1. Reseach atau penelitian dimana seorang supervisor harus melakukan penelitian mengenai situasi perusahaan dan juga karyawan-karyawan yang berada di bawahnya. Kegiatan supervisi ini bertujuan supaya supervisor dapat merumuskan problem melalui data yang ada selama ini. Dengan cara ini, supervisor dapat mengumpulkan berbagai fakta dan opini sebagai bahan pertimbangan. Kegiatan supervisi ini dapat dilakukan dengan berbagai teknik, misalnya observasi wawancara dan angket. Jika data telah terkumpul, supervisi dapat menggunakan data tersebut untuk melakukan pengolahan data yang biasanya dibantu dengan perhitungan statistik. Setelahnya, supervisi dapat menarik kesimpulan mengenai bagaimana keadaan sebenarnya dari situasi yang ada di perusahaan tersebut.

2. Evaluation atau penilaian dimana setelah berhasil melakukan penelitian, supervisi wajib melakukan evaluasi atau penilaian secara kooperatif dengan karyawan yang ada dibawahnya. Kegiatan evaluasi tersebut antara lain:

(17)

1. Bersama-sama mencari aspek-aspek positif (kebaikan-kebaikan, kemajuan-kemajuan) yang telah dicapai.

2. Bersama-sama meninjau aspek-aspek negatif (kelemahan-kelemahan, kekurangan-kekurangan, atau hambatan-hambatan) yang masih ada. 3. Bersama-sama menganalisa sebab-sebab masih adanya

kekurangan-kekurangan atau hambatan-hambatan yang dialami.

3. Improvement atau perbaikan yaitu tahap evaluasi memungkinkan supervisi mengetahui hal-hal apa yang menjadi kelemahan dan kelebihan dikegiatan masa lalu. Melalui hal ini, supervisi dapat melakukan perbaikan yang bertujuan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik ke depannya. Tahap improvement dalam supervisi mencangkup:

1. Bersama-sama mencari cara untuk mengatasi kekurangan-kekurangan atau hambatan-hambatan yang dialami.

2. Bersama-sama mencari jalan mempertahankan yang sudah baik, bahkan meningkatkannya agar lebih baik lagi.

4. Assistence atau bimbingan dimana supervisi memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan dan bimbingan (guidence) dan penyuluhan (counseling) kepada karyawan yang ada dibawah jabatannya. Berdasarkan jenis kegiatan ini, supervisi bertugas untuk:

1. Menyediakan waktu dan tenaganya untuk membantu mengadakan perbaikan-perbaikan

(18)

2. Mengikhtiarkan sumber-sumber, baik sumber-sumber material maupun personil serta menunjukkan jalan ke arah perbaikan.

3. Memberi bimbingan (guidence) dan penyuluhan (counseling) ke arah perbaikan situasi.

5. Cooperation atau kerjasama yaitu selain memberikan bantuan, salah satu kegiatan supervisi adalah menciptakan iklim kerjasama dan gotong-royong secara kekeluargaan di antara supervisor dan “supervisee”.

Indikator supervisi menurut Dhiyan Septa Wihara (2018) adalah sebagai berikut: 1. Tujuan 2. Edukatif 3. Berkala 4. Pelaksanaan 5. Sesuai kebutuhan 2.2 Penelitian Terdahulu Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No. Peneliti dan tahun Sampel dan periode penelitian

Variabel Penelitian Dan

Metode Penelitian Hasil

1. Setyabudi Indartono (2018) 105 Responden, periode penelitian (2018) Variabel Independen 1. Lingkungan kerja 2. Komitmen karyawan Variabel Dependen 3. Disiplin kerja

Analisis Regresi Linier berganda

Variabel lingkungan kerja dan komitmen karyawan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap disiplin kerja.

(19)

Puspitasari (2017) Responden, periode penelitian (2017) 1. Lingkungan kerja 2. Gaya kepemimpinan 3. Kompensasi Variabel Dependen 4. Disiplin kerja

Analisis Regresi Linier berganda

gaya kepemimpinan dan kompensasi berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap disiplin kerja.

3. Dhiyan Septa Wihara (2018) 60 Responden, periode penelitian (2018) Variabel Independen 1. Supervisi 2. Beban kerja Variabel Dependen 3. Disiplin kerja

Analisis Regresi Linier berganda

Variabel supervisi dan beban kerja berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap disiplin kerja.

4. Edi Setiawan dan Mardalis (2015) 77 Responden, periode penelitian (2015) Variabel Independen 1. Gaya kepemimpinan 2. Komitmen organisasi 3. Kepuasan kerja Variabel Dependen 4. Disiplin kerja

Analisis Regresi Linier berganda

Variabel gaya

kepemimpinan, komitmen organisasi dan kepuasan kerja berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap disiplin kerja.

5. Hamidah Nayati Utami (2018) 44 Responden, periode penelitian (2018) Variabel Independen 1. Pelatihan 2. Kompensasi Variabel Dependen 3. Disiplin kerja

Analisis Regresi Linier berganda

Variabel pelatihan dan kompensasi berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap disiplin kerja.

6. Akhmad Fatoni (2018) 37 Responden, periode penelitian (2018) Variabel Independen 1. Sanksi 2. Motivasi 3. Lingkungan kerja Variabel Dependen 4. Disiplin kerja

Analisis Regresi Linier berganda

Variabel sanksi, motivasi dan lingkungan kerja berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap disiplin kerja. 7. Metha Oktaliani (2015) 133 Responden, periode penelitian (2015) Variabel Independen 1. Pelatihan 2. Supervisi Variabel Dependen 3. Disiplin kerja

Analisis Regresi Linier berganda

Variabel pelatihan dan supervisi berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap disiplin kerja. Sumber: Beberapa Penelitian terdahulu,2019

(20)

2.3 Hubungan Logis Antar Variabel Dan Pengembangan Hipotesis 2.3.1 Hubungan Komitmen Terhadap Disiplin Kerja

Bansal dan Taylor (2012) mendefenisikan komitmen sebagai kekuatan yang mengikat seseorang pada suatu tindakan yang memiliki relevansi dengan satu atau lebih sasaran. Buchanan (2010) menyebutkan komitmen menyangkut tiga sikap yaitu rasa pengidentifikasian dengan tujuan organisasi, rasa keterlibatan dan rasa kesetiaan kepada organisasi. Jadi pengertian komitmen lebih dari sekedar menjadi anggota saja, tetapi lebih dari itu orang akan bersedia untuk mengusahakan pada derajat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi, demi memperlancar mencapai tujuan organisasi.

Hasil penelitian Setyabudi Indartono (2018) dan Edi Setiawan dan Mardalis (2015) yang menghasilkan bahwa variabel komitmen berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan dan berdasarkan penelitian terdahulu tersebut, maka hipotesis yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah

H1: Komitmen berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan. 2.3.2 Hubungan Kompensasi Terhadap Disiplin Kerja

Kompensasi adalah segala sesuatu yang diterima para karyawan sebagai balas jasa untuk kerja mereka (Handoko,2012), melalui kompensasi tersebut karyawan dapat meningkatkan prestasi kerja, motivasi dan kepuasan kerja serta meningkatkan kebutuhan hidupnya. Masalah kompensasi bukan hanya penting karena merupakan dorongan utama seseorang menjadi karyawan, tapi juga besar pengaruh terhadap semangat dan kegairahan kerja para karyawan. Dengan demikian maka setiap badan

(21)

usaha harus dapat menetapkan kompensasi yang paling tepat, sehingga dapat menopang mencapai tujuan perusahaan secara lebih efektif dan lebih efisien.

Hasil penelitian Hamidah Nayati Utami (2018) dan Anita Tria Puspitasari (2017) yang menghasilkan bahwa variabel kompensasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan dan berdasarkan penelitian terdahulu tersebut, maka hipotesis yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah

H2: Kompensasi berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan. 2.3.3 Hubungan Lingkungan Kerja Terhadap Disiplin Kerja

Sedarmayanti (2010) menyatakan lingkungan kerja adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat disekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Lingkungan kerja fisik adalah keseluruhan atau setiap aspek dari gejala fisik dan sosial kultural yang mengelilingi atau mempengaruhi individu. (Komarudin,2011). Lingkungan kerja fisik adalah segala sesuatu yang ada di sekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan, misalnya penerangan, suhu udara, ruang gerak, keamanan, kebersihan, musik dan lain-lain (Nitisemito,2013).

Hasil penelitian Akhmad Fatoni (2018), Anita Tria Puspitasari (2017) dan Setyabudi Indartono (2018) yang menghasilkan bahwa variabel lingkungan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan dan berdasarkan penelitian terdahulu tersebut, maka hipotesis yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah

(22)

2.3.4 Hubungan Supervisi Terhadap Disiplin Kerja

Menurut Ross (2011) menyatakan supervisi adalah pelayanan kapada karyawan yang bertujuan menghasilkan perbaikan sedangkan menurut Mulyasa (2012) menyatakan supervisi sesungguhnya dapat dilaksanakan oleh pimpinan yang berperan sebagai supervisor, tetapi dalam sistem organisasi modern diperlukan supervisor khusus yang lebih independent dan dapat meningkatkan obyektivitas dalam pembinaan dan pelaksanaan tugas.

Hasil penelitian Metha Oktaliani (2015) dan Dhiyan Septa Wihara (2018) yang menghasilkan bahwa variabel supervisi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan dan berdasarkan penelitian terdahulu tersebut, maka hipotesis yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah

H4: Supervisi berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan. 2.4 Kerangka Pemikiran Teoritis

Berdasarkan teori dan hasil penelitian terdahulu tentang hubungan antar variabel-variabel tersebut, dapat dibuat suatu kerangka pemikiran yang dapat menjadi landasan penulisan penelitian dan kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(23)

Gambar 2.1.

Kerangka Pemikiran Teoritis

H1

H2

H3

H4

Sumber: Beberapa Penelitian terdahulu,2019 Komitmen kerja (X1)

Disiplin kerja (Y) Kompensasi (X2)

Lingkungan kerja (X3)

Referensi

Dokumen terkait

Seseorang dengan kadar LDL kolesterol normal / tinggi sedikit tetapi mempunyai kemungkinan untuk mengalami atherosclerosis dan serangan jantung walaupun faktor risiko yang

Jika seseorang memiliki kompetensi yang lebih tinggi daripada yang dituntut oleh posisinya, maka organisasi harus menggali kemungkinan dilakukannya promosi atau

Komitmen organisasi menurut Mowday, Steers, dan Porter bahwa komitmen organisasi merefleksikan kekuatan perilaku para karyawan terhadap keterlibatan dalam organisasi mereka,

Komitmen organisasi didefinisikan sebagai ukuran kebaikan identifikasi karyawan dengan tujuan dan nilai organisasi serta terlibat didalamnya, komitmen oganisasi juga

Penelitian yang menunjukkan pengaruh konflik peran terhadap komitmen organisasi dilakukan oleh cahyono dan Ghozali (2002) menunjukkan adanya pengaruh yang tidak signifikan

Dapat disimpulkan dari penjelasan diatas bahwa individu yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi serta etika yang baik maka akan cenderung lebih mengutamakan

Inti dari bentuk pelayanan yang meyakinkan pada dasarnya bertumpu kepada kepuasan pelayanan yang ditunjukkan oleh setiap pegawai, komitmen organisasi yang

Saat suatu organisasi baik itu perusahaan maupun suatu institusi yang mempunyai data yang kompleks, tidak menutup kemungkinan banyak sekali informasi yang dapat diperoleh,