• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Toksisitas Logam Berat - Kelompok 7

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Toksisitas Logam Berat - Kelompok 7"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia senantiasa terpajan (exposed) logam berat dalam lingkungan hidupnya. Di lingkungan yang kadar logam beratnya cukup tinggi, kontaminasi dalam makanan dan air dapat menyebabkan keracunan. Logam yang terlepas dari alat makan-minum dan alat masak juga dapat menimbulkan keracunan tanpa disadari.

Seorang dokter harus mengevaluasi kemungkinan bahwa tanda dan gejala yang dialami pasien mungkin disebabkan oleh zat kimia beracun yang berada pada lingkungan atau yang diberikan sebagai obat. Banyak efek merugikan obat yang menyerupai gejala-gejala suatu penyakit. Pengetahuan tentang dasar-dasar toksikologi diperlukan untuk pengenalan dan penatalaksanaan masalah-masalah klinis tersebut (Goodman & Gilman, 2010).

Logam berat tidak mengalami metabolisme, tetap berada dalam tubuh dan menyebabkan efek toksik dengan cara bergabung dengan suatu atau beberapa gugus ligan yang esensial bagi fungsi fisiologis normal. Ligan ialah suatu molekul yang mengikat molekul lain yang umumnya lebih besar. Ligan memberi atau menerima elektron untuk membentuk ikatan kovalen, biasanya dengan logam. Antagonis logam berat, suatu kelator (chelating agent) khusus dirancang untuk berkompetisi dengan ligan terhadap logam berat, sehingga meningkatkan ekskresi logam dan mencegah atau menghilangkan efek toksiknya.

Antagonis logam berat yang membentuk kompleks dengan logam berat, sehingga mencegah atau menggeser ikatan logam dengan ligan tubuh. Kelat (chelate) ialah suatu kompleks yang terbentik antara suatu logam dan senyawa yang mengandung dua ligan potensial atau lebih. Hasil reaksi ini ialah suatu cincin heterosiklik, dan cincin kelat yang berbentuk segi lima dan segi enam ialah yang paling stabil (Gunawan, Sulista Gan., 2011).

(2)

Kelat adalah kompleks yang terbentuk antara logam dan suatu senyawa yang mengandung dua atau lebih ligan potensial. Hasil reaksi tersebut adalah cincin heterosiklik. Kelat dengan 5 dan 6 cincin adalah yang paling stabil dan pengkelat polidentat (multiligan) biasanya membentuk kelat yang lebih stabil daripada pengkelat yang hanya memiliki satu atom ligan (Goodman & Gilman, 2010).

1.2 Rumusan Masalah

a Apa saja macam-macam logam berat yang dapat menimbulkan keracunan?

b Bagaimana mekanisme yang terjadi pada keracunan?

c Bagaimana penanganan terhadap keracunan dan Antidotum? 1.3 Tujuan

a Untuk mengetahui macam-macam dari logam berat yang menimbulkan toksik.

b Untuk mengetahui dan memahami mekanisme keracunan pada logam berat.

c Untuk mengetahui cara penanganan terhadap keracunan dan antidotum.

BAB II

(3)

2.1 Logam Berat yang Menimbulkan Keracunan 2.1.1 Timbal

Timbal (Pb, timah hitam) terdapat dimana-mana dalam lingkungan, karena terdapat di alam dan digunakan dalam industri. Makanan dan minuman yang bersifat asam, seperti air tomat, air buah, minuman kola, air apel dan asinan dapat melarutkan Pb yang terdapat pada lapisan mangkuk dan panci. Makanan dan minuman yang terkena kontaminasi tersebut telah menyebabkan keracunan fatal pada manusia. Timbal juga merupakan kontaminasi wiski yang disuling secara gelap di Amerika karena digunakannya radiator mobil sebagai kondensor, dan komponen lain yang disolder dengan Pb.

Kasus sporadis keracunan Pb bersumber dari Pb dalam mainan, debu ditempat latihan menembak, pipa ledeng, pigmen cat para artis, abu dan asap dari pembakaran kayu yang dicat, limbah tukang emas/ perhiasan, industri rumah, baterai dan percetakan (huruf cetak dari Pb). Keracunan pada anak cukup sering karena termakannya serpihan cat yang berasal dari bangunan tua atau karena kebiasaan menggerogoti lis dan kerangka jendela yang dicat Pb. Cat tersebut mengandung Pb karbonat (berwarna putih) dan Pb oksida (berwarna merah) sebanyak 5-40%. Asosiasi Standar Amerika dalam tahun 1955 menentukan bahwa cat mainan, perabot rumah tangga tidak boleh mengandung lebih dari 1% Pb.

Absorpsi Pb terutama melalui saluran cerna dan saluran napas. Absorpsi melalui usus pada orang dewasa kira-kira 10%, pada anak kira-kira 40%. Ada dugaan bahwa Pb dan kalsium berkompetisi dalam transpor lewat mukosa usus, karena ada suatu hubungan timbal-balik antara kadar kalsium makanan dan absorpsi Pb. Kekurangan zat besi dilaporkan meningkatkan absorpsi Pb melalui saluran cerna. Absorpsi Pb yang dihirup berbeda-beda tergantung dari bentuk (uap atau partikel) dan kadar Pb. Kira-kira 90% partikel Pb diudara diabsorpsi melalui saluran napas. Pb anorganik mula-mula terdistribusi dijaringan lemak, terutama dalam ginjal dan hati. Kemudian Pb mengalami redistribusi ke dalam tulang (95%), gigi dan rambut. Sejumlah kecil Pb anorganik ditimbun dalam otak,

(4)

sebagian besar dari jumlah tersebut berada di substansia grisea dan ganglia basal. Hampir semua Pb anorganik terikat dengan eritrosit dalam sirkulasi. Bila kadar Pb relatif tinggi dalam sirkulasi. Bila kadar Pb relatif tinggi dalam sirkulasi, berulah ditemukan dalam plasma.

Akumulasi Pb dalam tulang mirip dengan akumulasi kalsium, tetapi sebagai Pb fosfat tersier, garam Pb ditulang (fosfat, karbonat) tidak menyebabkan efek toksik. Pada pajanan yang baru terjadi kadar Pb lebih tinggi dalam tulang pipih daripada dalam tulang panjang, meskipun secara keseluruhan, tulang panjang mengandung lebih banyak Pb. Dalam masa awal, deposisi kadar Pb paling tinggi dalam epifisis tulang panjang.

Faktor yang mempengaruhi distribusi kalsium juga mempengaruhi distribusi Pb. Asupan posfat tinggi mempermudah penimbunan Pb dalam tulang dan mengurangi kadar Pb dalam jaringan lunak. Asupan mengurangi kalsium dosis tinggi tanpa peninggian asupan fosfat menyebabkan efek serupa, disebabkan persaingan dalam pengikatan posfat antara Pb dan kalsium. Jika fosfat cukup, vitamin D mempermudah penimbunan Pb dalam tulang, bila fosfat kurang, deposisi kalsium melebihi Pb. Hormon paratiroid dan dihidrotakisterol memobilisasi Pb dari tulang, meningkatkan kadar Pb dalam darah dan ekskresinya dalam urin.

Pada manusia ekskresi Pb melalui urin lebih penting, dan kadar Pb dalam urin berbanding langsung dengan kadarnya dalam plasma. Tetapi kebanyakan Pb berada dalam eritrosit sehingga sangat sedikit Pb ditemukan dalam urin. Pb juga dieksresi melalui ASI dan keringat, ditimbun dalam rambut dan kuku. Pb juga dapat mencapai plasenta. Asupan Pb normal per hari kira-kira 0,4 mg, sementara keseimbangan positif dimulai pada asupan 0,6 mg per hari. Orang normal dengan asupan Pb 0,6 mg per hari dalam jangka sangat lama dapat menderita keracunan. Asupan Pb yang lebih besar misalnya dengan asupan Pb 2,5 mg/hari keracunan terjadi setelah 4 tahun, sedangkan asupan 3,5 mg/ hati hanya memerlukan waktu beberapa bulan (Gunawan, Sulista Gan., 2011).

(5)

Berdasarkan kejadian alami dan penggunaannya di industri, timbal terdapat di mana-mana di lingkungan. Penghilangan timbal tetraetil dari bensin menghasilkan penurunan kadar timbal dalam darah dari 13 μg/dL pada tahun 1980 menjadi <5 μg/dL pada populasi umum Amerika Serikat. Akan tetapi, anak yang tinggal di pusat kota besar masih memiliki kadar timbal dalam darah >10 μg/dL. Sumber utama pemaparan lingkungan oleh timbal adalah cat dan air minum, kebanyakan toksisitas timbal yang jelas dihasilkan dari pemaparan lingkungan dan industri (Goodman & Gilman, 2010).

Keracunan Timbal Akut

Keracunan Pb akut yang ditandai dengan kadar lebih dari 0,72 ppm dalam darah, jarang terjadi. Keracunan yang terjadi biasanya disebabkan oleh masuknya senyawa Pb yang larut dalam asam atau inhalasi uap Pb. Efek astringen menimbulkan rasa haus dan rasa logam. Gejala lain yang sering timbul ialah mual, muntah dengan muntahan menyerupai susu karena Pb klorida, dan sakit perut hebat. Tinja warna hitam karena Pb sulfida dapat disertai diare atau kosntipasi. Pb yang diserap dengan cepat dapat menyebabkan sindrom syok yang juga disebabkan oleh kehilangan cairan lewat saluran cerna. Terhadap susunan saraf, Pb anorganik menyebabkan parestesia, nyeri dan kelemahan otot. Anemia berat dan hemoglobinuria terjadi karena hemolisis darah. Dapat timbul kerusakan ginjal, dan kematian dapat terjadi dalam 1-2 hari. Kalau keracunan akut teratasi, umunya terlihat gejala keracunan Pb kronis.

Keracunan Timbal Kronis

Gejala keracunan Pb kronis (plumbism) dapat dibedakan atas enam macam sindrom yaitu sindrom abdominal, neuromuskular, SSP, hematologi, renal dan sndrom lain. Gejala ini biasa timbul sebagian atau semua sekaligus. Sindrom neuromuskular dan sindrom SSP terjadi pada pemajanan hebat, sementara sindrom abdominal merupakan manifestasi yang timbul perlahan-lahan.

Timbal pada konsentrasi rendah menurunkan sintetis heme pada beebrapa tahap enzimatik. Hal ini mengarahkan pada pembentukan substrat yang penting untuk diagnostic: δ-ALA, koproporfirin (keduanya diukur dalam urine) dan zink protoporfirin (diukur dalam sel darah merah sebagai protoporfirin eritrosit). Pada

(6)

anak-anak kadar protoporfirin dalam dalam eritrosit tidak cukup sensitive untuk mengidentifikasi anak dengan peningkatan kadar timbal dalam darah <25 μg/dL dan pilihan uji skrining adalah pengukuran timbal dalam darah (Goodman & Gilman, 2010).

Suksinil KoA + Glisin

δ–aminolevulinat sintase δ–Aminolevulinat (δ-ALA)

δ–aminolevulinat dehidratase Porfobilinogen

Porfobilinogen deaminase Uroporfirinogen III kosintase Uroporfirinogen III Uroporfirinogen dekarboksilase Koproporfirinogen III Koproporfirinogen oksidase Protoporfirin IX Ferokelatase + Fe2+ Heme

Gangguan timbal pada beberapa tahap enzimatik biosintesis heme Tahap yang benar-benar dihambat oleh timbal ditunjukkan dengan balok abu-abu gelap. Tahap yang diperkirakan dihambat oleh timbal, tetapi bukti yang

Efek yang dihasilkan oleh timbal: Penghambatan

(7)

ada tidak meyakinkan ditunjukkan dengan balok abu-abu terang (Goodman & Gilman, 2010).

Sindrom abdominal dimulai dengan mual, malaise, sakit kepala. Konstipasi biasanya merupakan gejala awal, terutama pada orang dewasa, kadang-kadang terjadi diare. Rasa logam yang menetap merupakan gejala dini dari sindrom ini. Dengan memberatnya intoksikasi, anoreksia dan konstipasi menghebat. Spasme intestinal yang menyebabkan nyeri abdominal (kolik Pb) merupakan gejala abdominal lanjut yang paling mengganggu dan berat. Serangannya bersifat proksismal berupa kaku otot perut dan nyeri tekan daerah pusar. Kalsium glukonas IV dianjurkan untuk mengurangi nyeri abdominal dan baisanya lebih efektif dar pada morfin.

Sindrom neuromuskular yang disebut juga lead palsy lebih jarang terlihat, gejala ini merupakan gejala keracunan subakut lanjut. Gejala patognomonis ialah wrist drop dan kadang-kadang foot drop karena yang terserang ialah otot aktif, teutama bagian ekstensor lengan bawah, pergelangan tangan, jari serta otot ekstraokular. Kelemahan otot tidak terjadi kecuali setelah aktivitas otot berlebihan. Sensoris umumnya tidak dipengaruhi.

Sindrom SSP yang disebut juga ensefalopati timbal (lead encephalopathy) lebih sering terjadi pada anak. Gejala permulaan berupa kekakuan, ataksia, vertigo insomnia, gelisah dan iritabilitas. Dengan memberatnya ensefalopati pasien akan terangsang dan bingung, delirium disertai konvulsi tonik-klonik, letargi disusul koma. Sering terjadi muntah proyektil dan gangguan penglihatan.

Sindrom hematologi antara lain berupa basophilic stippling akibat agregasi asam ribonukleat pada eritrosit, yang terjadi bila kadar Pb darah 0,80 ppm atau lebih. Hal ini dianggap merupakan akibat penghambatan enzim pirimidin 5’-nukleotidase oleh Pb, tetapi basophilic stippling bukan tanda patognomonik keracunan Pb. Gambaran hematologi intoksikasi Pb kronis yang sering timbul pada anak ialah anemia hipokrom mikrositer. Anemia ini mirip anemia defisisensi besi dan dianggap disebabkan oleh dua faktor yaitu menurunnya umur eritrosit dan hambatan sintesis heme.

(8)

Sindrom renal terlihat dalam dua bentuk yaitu gangguan tubuli ginjal yang reversibel (biasanya karena pajanan Pb akut pada anak) dan nefropati interstisial yang ireversibel, akibat pemajanan Pb kronik di industri. Terlihat kumpulan gejala yang mirip sindrom Fanconi dengan proteinuria , hematuria, dan adanya silinder dalam urin. Pada beberapa pasien terjadi hiperurisemia berhubungan dengan insufisiensi ginjal. Secara histologis, nefropati Pb ditandai oleh adanya badan inklusi nuklear yang khas yaitu suatu kompleks Pb-protein. Hal ini timbul dengan cepat dan menghilang setelah terapi dengan kelator. Badan inklusi ini juga ditemukan dalam sedimen urin pekerja pabrik yang terpajan Pb.

Sindrom lain dari plumbism ialah muka warna kelabu dan bibir pucat, bercak retina, tanda ketuaan dini (bungkuk, menurunnya tonus otot, kurus-kering) dan adanya garis Pb yang merupakan pengendapan Pb sulfida berwarna hitam keabu-abuan ditepi gusi. Gejala ini dapat dihindari dengan higiene gigi yang baik. Pigmentasi serupa dapat diakibatkan oleh merkuri, bismut, perak, talium dan besi. Telah dilaporkan beberapa kasus adenokarsinoma ginjal pada pekerja industri Pb, tetapi bukti karsinogenisitas Pb belum mapan (Gunawan, Sulista Gan., 2011).

Keracunan Timbal Organik

Timbal tetraetil dan timbal tetrametil merupakan senyawa larut-lipid yang diabsorpsi dengan mudah dari kulit, saluran GI dan paru-paru. Toksisitas timbal tetraetil dipercaya disebabkan perubahan metaboliknya menjadi timbal trietil dan timbal anorganik. Gejala utama keracunan akibat timbal tetraetil terjadi pada SSP: sulit tidur, mimpi buruk, anoreksia, mual dan muntah, diare, sakit kepala, lemah otot dan ketidakstabilan emosi. Gejala SSP yang bersifat subjektif antara lain mudah tersinggung, gelisah dan cemas biasanya disertai dengan hipotermia, bradikardia dan hipotensi. Dengan pemaparan yang kontinu atau pada kasus pemaparan singkat, tetapi kuat, gejala SSP berkembang menjadi delusi, ataksia, pergerakan otot berlebihan dan akhirnya kondisi maniak (Goodman & Gilman, 2010).

Diagnosis keracunan timbal tetraetil ditetapkan dengan menghubungkan tanda dan gejala-gejalanya dengan riwayat pemaparan. Peningkatan ekskresi timbal melalui urine mungkin meningkat secara nyata, tetapi konsentrasi timbal

(9)

dalam darah tetap mendekati normal. Anemia dan bintik basofilik eritrosit tidak lazim terjadi pada keracunan timbal organik. Terdapat sedikit efek pada metabolisme porfirin dan konsentrasi protoporfirin eritrosit meningkat secara konsisten. Pada kasus pemaparan yang parah, kematian dapat terjadi beberapa minggu. Jika pasien dapat bertahan dari fase akut keracunan timbal organik, penyembuhan biasanya sempurna akan tetapi dilaporkan terjadinya kerusakan SSP residual (Goodman & Gilman, 2010).

2.1.1.2 Organ Sasaran Toksisitas

1. Sistem eritropoetik dan ertrosit: penghambatan enzim pada biosintesis porfirin:

a. Penghambatan Asam δ -Amino levulinat dehidratase (ALAD) → gejala: Asam δ -Amino levulinat di darah dan urine naik. b. Penghambatan dekarboksilasi Koproporfirinogen III menjadi

Protorfirin IX → gejala: Koproporfirinogen III di darah dan urine naik

c. Penghambatan ferokelatase → penghambatan inkorporasi besi ke dalam hem

2. Sistem saraf perifer → perusakan saraf motorik 3. Sistem saraf pusat (terutama senyawa Timbal organik)

4. Otot polos → efek spasmogen di lambung dan usus serta juga terhadap arteriola dan kapiler (Schmitz, Gery., 2008).

2.1.1.3 Pengobatan Keracunan Timbal

Pengobatan awal fase akut intoksikasi Pb ialah secara suportif dan selanjutnya harus dicegah pajanan lebih jauh. Serangan kejang diobati dengan diazepam, keseimbangan cairan dan elektrolit harus dipertahankan, edema otak diatasi dengan manitol dan deksametason. Kadar Pb darah harus ditentukan sebelum pengobatan dengan kelator.

(10)

Kelator harus diberikan pada pasien dengan gejala atau pada pasien dengan kadar Pb darah melebihi 0,5-0,6 ppm. Tiga kelator biasa digunakan dalam pengobatan intoksikasi Pb yaitu, kalsium disodium edetat (CaNa2EDTA),

dimerkaprol (British antilewisite, BAL), dan D-penisilamin. Mula-mula kombinasi, diikuti pemberian penisilamin untuk pengobatan jangka panjang. CaNa2EDTA dengan dosis 50-75 mg/kg BB per hari dibagi dalam dua kali

pemberian, secara IM yang dalam, atau sebagai infus selama 5 hari berturut-turut. Interval antara pemberian CaNa2EDTA dan pemberian BAL pertama ialah 4 jam.

Pengulangan pemberian CaNa2EDTA bisa diberikan setelah pengobatan

dihentikan 2 hari. Setiap rejimen terapi dengan CaNa2EDTA tidak boleh melebihi

jumlah dosis 500 mg/kg BB. Produksi urin harus dipantau, karena kompleks logam-kelator bersifat nefrotoksik. Pengobatan dengan CaNa2EDTA dapat segera

mengurangi gejala. Kolik hilang dalam waktu 2 jam, parestesia dan tremor dalam 4 atau 5 hari, koproporfirinuria, bercak basofilik eritrosit, dan garis Pb pada gusi cenderung berkurang dalam waktu 4-9 hari. Eliminasi Pb melalui urine biasanya paling besar selama berlangsungnya infus awal.

Dimerkaprol dengan dosis 4 mg/ kg berat badan diberikan secara intramuskular setiap 4 jam selama 48 jam, kemudian setiap 6 jam selama 68 jam berikutnya, dan akhirnya setiap 6-12 jam selama 17 hari terakhir. Kombinasi kedua obat tersebut lebih efektif daripada penggunaan salah satu saja. Berbeda dengan CaNa2EDTA dan dimerkaprol, penisilamin efektif secara oral, dan dapat

ditambahkan dalam regimen pengobatan dengan dosis 4 kali 250 mg sehari selama 5 hari. Pada terapi jangka panjang dosis tidak boleh melebihi 40 mg/ kg berat badan per hari.

Keracunan Pb pada anak lebih berbahaya daripada orang dewasa, terutama karena tingginya frekuensi kejadian ensefalopati. Angka kematian Pb-ensefalopati yang tidak diobati dan berat bisa mencapai 65%, dan pada pasien yang bertahan hidup, umumnya ditemukan gejala sisa pada sistem saraf. Rawat inap dianjurkan untuk setiap anak dengan gejala keracunan Pb atau anak dengan kadar Pb darah 0,8 ppm atau lebih. Dengan demikian pajanan dapat diakhiri, dan perhatian dapat dicurahkan untuk memantau dengan cermat dan melakukan terapi suportif.

(11)

Terapi dengan kelator jangka panjang untuk pasien dengan residual ensefalopati atau dengan kadar Pb darah melebihi 0,6 ppm dan dengan gambaran deposit tulang pb yang jelas secara radiografis, paling prais dengan pemberian penisilamin oral maksimum 40 mg/kg berat badan perhari. Harus diingat bahwa penisilamin dapat meningkatkan absorpsi pb dari saluran cerna maka menghindari pajanan Pb ialah sangat penting.

Pengobatan keracunan Pb organik bersifat simptomatik. Pemberian kelator akan meningkatkan sedikit eksresi Pb anorganik yang dihasilkan dari metabolisme Pb organik (Gunawan, Sulista Gan., 2011).

Prinsip Umum Terapi

Pada beberapa regimen pengkelatan, konsentrasi timbal dalam darah harus dinilai ulang 2 minggu setelah regimen selesai, terapi tambahan dapat diindikasikan bila konsentrasi timbal dalam darah kembali meningkat (Goodman & Gilman, 2010).

Penanganan keracunan timbal organik bersifat simtomatik. Terapi pengkelatan akan meningkatkan ekskresi timbal anorganik yang dihasilkan dari metabolisme timbal organik, tetapi peningkatannya tidak terlalu tinggi (Goodman & Gilman, 2010).

2.1.2 Merkuri

Merkuri (Hg) merupakan obat penting selama berabad-abad, yaitu sebagai diuretik, antibakteri, antiseptik, salep kulit, dan laksan. Sekarang ini obat yang lebih efektif dan spesifik telah menggantikan Hg, sehingga keracunan merkuri dari obat berkurang, namun keracunan merkuri dari pencemaran lingkungan semakin menonjol. Kadar merkuri di udara, tanah dan air telah meningkat karena (1) penggunaan bahan bakar fosil yang mengandung merkuri dalam jumlah besar, dan (2) meningkatnya penggunaan merkuri di bidang industri dan pertanian. Selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun epidemi keracunan merkuri pada hewan dan manusia telah salah didiagnosis. Sebab keterlambatan diagnosis yang tragis ini antara lain karena onset yang lambat, tanda klinis dini yang tidak jelas,

(12)

dan profesi kedokteran tidak mengenal penyakit tersebut (Gunawan, Sulista Gan., 2011).

2.1.2.1 Jenis dan Sumber Merkuri

Ada tiga bentuk utama Hg yang harus dibedakan yaitu uap Hg (unsur Hg), garam Hg, dan Hg organik. Unsur Hg ialah Hg anorganik yang paling mudah menguap. Pajanan manusia terhadap uap Hg sudah lama dikenal dan sebagian besar disebabkan oleh jenis pekerjaan seseorang. Pajanan kronis Hg dalam udara ialah akibat kontaminasi yang tidak sengaja dalam ruangan berventilasi buruk, misalnya dalam laboratorium penelitian.

Garam Hg terdapat dalam bentuk garam monovalen (Hg2Cl2) dan divalen

(HgCl2). HgCl2 (sublimat) yang dahulu diindikasikan sebagai obat cacing, masih

terdapat dalam sejumlah krim kulit sebagai antiseptik. Garam Hg merupakan iritan dan racun yang sangat kuar dari logam tersebut. Hg (NO2)2 merupakan

bahaya umum dalam industri topi laken lebih dari 400 tahun silam. Kelainan neurologis dan tinfgkah laku terjadi akibat pajanan ditempat kerja tersebut. HgCl2,

yang pernah digunakan sebagai antiseptik juga digunakan untuk tujuan bunuh diri. Garam merkuri masih digunakan dalam industri, dan limbah industri ke sungai telah mencemari lingkungan hidup. Merkuri anorganik di industri digunakan untuk memproduksi kloralkali dan alat elektronik, juga untuk pembuatan plastik, fungisida, germisida, dan tanaman formula amlgam dalam kedokteran gigi.

Hg organik yang digunakan dewasa ini mengandun merkuri dengan satu ikatan kovalen dengan atom karbon. Ini merupakan suatu kelompok senyawa heterogen dan masing-masing mempunyai kemampuan yang berbeda untuk menghasilkan efek toksik. Garam alkalimerkuri paling berbahaya dari kelompok senyawa ini, terutama metil merkuri. Garam ini digunakan sebagai fungisida dan dapat menimbulkan efek toksik pada manusia. Keracunan merkuri pada manusia akibat konsumsi biji bibit gandum bermerkuri telah terjadi di Irak, Pakistan, Ghana, dan Guatemala selama musim gugur tahun 1971.

(13)

Penyakit Minimata juga disebabkan oleh metilmerkuri. Minamata ialah sebuah kota kecil di Jepang, tempat sebuah pabrik kimia besar membuang limbahnya langsung ke Teluk Minimata. Pabrik kimia tersebut menggunakan merkuri anorganik sebagai katalisator, dan sebagian telah dimetilasi sebelum disalurkan ke Teluk tadi. Disamping itu, mikroorganisme mengubah merkuri anorganik menjadi metilmerkuri yang kemudian diambil oleh plankton alga dan selanjutnya terkumulasi dalam ikan lewat rantai makanan. Penduduk Minimata yang mengkonsumsi ikan dalam jumlah besar menjadi korban pertama. Dilaporkan 121 orang mengalami keracunan dan 46 orang meninggal. Di Amerika Serikat, keracunan serupa terjadi akibat makan daging babi yang diberi makan biji-bijian yang diawetkan dengan fungisida Hg organik (Gunawan, Sulista Gan., 2011).

2.1.2.2 Mekanisme Kerja

Merkuri mudah membentuk ikatan kovalen dengan sulfur, dan sifat inilah yang mendasari sebagian besar efek biologisnya. Apabila sulfur terdapat dalam bentuk sulfhidril, maka merkuri divalen menggantikan atom hidrogen membentuk merkaptida, X-Hg-SR dan Hg (SR)2, X menunjukkan suatu radikal elektronegatif

dan R ialah protein. Hg organik membentuk merkaptida tipe RHg-SR’. Akibatnya aktivitas enzim sulfhidril terhambat sehingga metabolisme dan fungsi sel terganggu. Afinitas merkuri terhadap tiol merupakan dasar pengobatan keracunan merkuri dengan dimerkaprol dan penisilamin. Merkuri mengikat ligan lain, yaitu fosforil, karboksil, amida dan amin (Gunawan, Sulista Gan., 2011).

2.1.2.3 Organ Sasaran Toksisitas

Ginjala atau mukosa dan saluran lambung usus, SSP (terutama senyawa organo-Hg) (Schmitz, Gery., 2008).

2.1.2.4 Toksisitas

Unsur Merkuri. Pajanan akut terhadap uap merkuri bisa menyebabkan gejala dalam beberapa jam berupa rasa lemah, menggigil, rasa logam, mual,

(14)

muntah, diare, batuk dan sesak napas. Toksisitas paru bisa berkembang menjadi pneumonia interstisial disertai gangguan fungsi paru berat. Penyembuhan umumnya sempurna tetapi fibrosis interstisial residual dapat terjadi. Pajanan kronis terhadap uap merkuri menyebabkan toksisitas yang timbul lambat terutama gejala neurologis yang disebut sindrom vegetatif astenik. Sindrom ini terdiri dari gejala neurastenik ditambah tiga atau lebih gejala berikut : tiroid, takikardia, nadi labil, gingivitis, dermografia dan peningkatan merkuri dalam urin. Pajanan yang terus menerus menimbulkan tremor dan perubahan psikologis misalnya depresi, iritabilitas, rasa malu berlebihan, insomnia, emosi labil, pelupa bingung dan gangguan vasomotor (perspirasi berlebihan dan kemerahan diwajah) keseluruhan gejala ini disebut eretsim.

Garam Merkuri Anorganik. Merkuri anorganik dan ionik (misalnya, merkuri klorida) dapat menyebabkan toksisitas akut berat. Pengendapan protein selaput lendir akibat garam merkuri mengakibatkan warna mulut, faring dan saluran cerna keabu-abuan disertai nyeri hebat dan muntah. Muntah ini bersifat protektif karena menyingkirkan merkuri dari lambung. Efek korosif Hg anorganik pada mukosa usus menyebabkan hematoschezia yang ditandai dengan mukosa lepas dalam tinja. Syok hipovolemik dan kematian biasanya diakibatkan oleh tindakanyang tidak tepat. Efek lokal ini sebenarnya mudah diatasi dengan tindakan korektif dimulai dalam beberapa jam setelah pajanan merkuri dan berlangsung beberapa hari. Rasa logam diikuti oleh stomatitis dengan iritasi gingiva, pernapasan berbau, dan goyahnya gigi. Efek sistemik paling serius dan paling sering terjadi akibat Hg anorganik ialah toksisitas renal. Terjadi nekrosis tubuli ginjal disertai oliguria atau anuria, namun kerusakan glomerular lebih menonjol. Hal ini disebabkan oleh efek langsung merkuri pada membran basal glomerulus dan efek tidak langsung yang diperantarai oleh kompleks imun. Kerusakan ginjal umumnya terjadi akibat pajanan kronis Hg anorganik.

Sindrom akrodinia (pink disease) umumnya juga akibat pajanan kronis terhadap ion merkuri anorganik. Sindrom akrodinia berupa eriterm ekstremitas, dada dan wajah, dengan fotofobia, diaforesis, mual, takikardia, dan sembelit atau

(15)

diare. Kompleks gejala ini terlihat secara eksklusif akibat termakannya merkuri dan diduga merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap merkuri.

Hg organik. Kebanyakan data toksikologi Hg organik pada manusia menyangkut metilmerkuri sebagai akibat pajanan tidak sengaja. Gejala pajanan metilmerkuri sebagian besar bersifat neurologis seperti gangguan penglihatan (skotoma atau penyempitan medan penglihatan), ataksia, parestesia, neurastenia, kehilangan pendengaran, disartri, kemunduran mental , tremor, gangguan motorik, paralisis dan kematian. Daerah otak yang sangat peka terhaadap efek toksik metilmerkuri pada fetus dapat terjadi walaupun ibunya asimtomatik, yaitu berupa kemunduran mental dan gangguan neuromuskular (Gunawan, Sulista Gan., 2011). 2.1.2.5 Diagnosis Keracunan Merkuri

Riwayat pemaparan terhadap merkuri, baik dari industri maupun lingkungan, ternyata berharga dalam membuat diagnosis keracunan merkuri. Sebaliknya, kecurigaan klinis dapat diperkuat oleh analisis laboratorium. Batas atas konsentrasi nontoksik merkuri dalam darah umumnya sekitar 3-4 μg/dL (0,15-0,20 μM). Konsentrasi merkuri dalam darah >4 μg/dL (0,20 μM) tidak diharapkan pada orang dewasa yang sehat, normal dan perlu dilakukan evaluasi lingkungan dan pemeriksaan medis untuk menilai kemungkinan efek merugikan terhadap kesehatan. Karena metilmerkuri terkonsentrasi di sel darah merah, sedangkan merkuri anorganik tidak. Distribusi total merkuri antara sel darah merah dan plasma mungkin mengindikasikan apakah pasien tearcuni merkuri organik atau merkuri anorganik. Pengukuran merkuri total dalam sel darah merah memberi perkiraan yang lebih baik terhadap beban metilmerkuri dalam tubuh daripada merkuri anorganik. Konsentrasi merkuri dalam plasma memberikan indeks beban merkuri anorganik dalam tubuh yang lebih baik, tetapi hubungan antara beban tubuh dan konsentrasi merkuri anorganik dalam plasma tidak terdokumentasi dengan baik. Hal ini mungkin berkaitan dengan pentingnya waktu pengukuran sampel darah relatif terhadap pemaparan merkuri terakhir. Hubungan antara konsentrasi merkuri anorganik dalam darah dan toksisitas juga bergantung pada bentuk pemaparan. Sebagai contoh, pemaparan terhadap uap merkuri

(16)

menimbulkan konsentrasi dalam otak sekitar 10 kali lebih besar daripada pemaparan terhadap garam merkuri anorganik dalam dosis yang sama (Goodman & Gilman, 2010).

Konsentrasi merkuri dalam urine juga digunakan sebagai ukuran beban logam dalam tubuh. Batas atas normal untuk ekskresi merkuri dalam urine adalah 5 μg/L. Terdapat hubungan linear antara konsentrasi plasma dan ekskresi merkuri melalui urine setelah pemaparan uap merkuri. Sebaliknya, ekskresi merkuri melalui urine merupakan indikator yang buruk untuk jumlah metilmerkuri dalam darah karena metilmerkuri dieliminasi terutama melalui feses (Goodman & Gilman, 2010).

Rambut mengandung banyak gugus –SH dan konsentrasi merkuri dalam rambut sekitar 300 kali daripada dalam darah. Rambut manusia tumbuh sekitar 20 cm/tahun dan riwayat pemaparan dapat diperoleh dengan menganalisi rambut pada bagian yang berbeda (Goodman & Gilman, 2010).

2.1.2.6 Pengobatan Keracunan Merkuri

Pengukuran kadar merkuri dalam darah harus dilakukan secepat mungkin setelah adanya keracunan logam tersebut.

Uap Unsur Merkuri. Tindakan terapetik mencakup : segera mengakhiri pajanan dan memberi perhatian khusus terhadap fungsi paru. Bantuan nafas mungkin diperlukan secara akut. Terapi klasi seperti pada keracunan Hg anorganik hendaknya dimulai segera dan dilanjutkan sesuai dengan kondisi klinis dan kadar merkuri dalam darah atau urin.

Merkuri anorganik. Tindakan segera terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit dan status hematologis sangat penting dalam pajanan oral sedang hingga berat. Emesis harus dilakukan jika pasien sadar. Bilas lambung dapat dilakukan sebagai alternatif. Karbon aktif dan magnesium sulfat (katartik) diberikan untuk membatasi absorpsi lebih lanjut.

Terapi kelasi dengan dimerkaprol digunakan secara rutin untuk mengobati keracunan merkuri anorganik atau unsur Hg. Dosis dimerkaprol yang dianjurkan ialah 5 mg/ kg berat badan, yang disusul dengan 2,5 mg/kg berat badan secara

(17)

intramuskular setiap 12 jam selama 10 hari. Penisilamin 250 mg secara oral setiap 6 jam bisa digunakan sendiri atau selanjutnya dikombinasikan dengan dimerkaprol. Kemajuan hasil terapi dapat dipantau dengan mengukur kadar merkuri dalam urin dan darah.

Hemodialisis boleh jadi diperlukan pada pasien keracunan dengan penurunan fungsi ginjal. Dalam hal ini kelator masih digunakan, karena kompelks dimerkaprol-merkuri dapat dikeluarkan dengan cara dialisis.

Merkuri organik. Merkuri organik berantai pendek, terutama metil merkuri adalah bentuk merkuri paling sulit untuk dikeluarkan dari tubuh, diduga karena sukar diikat oleh kelator. Dimerkaprol dikontraindikasikan pada keracunan metil merkuri karena dimerkaprol terbukti meningkatkan kadar metil merkuri pada hewan coba. Penisilamin memudahkan eksresi metil merkuri dari tubuh, tetapi hasil terapi keracunan metil merkuri dengan penisilamin tidak memuaskan. Penisilamin dengan dosis yang biasa digunakan untuk mengobati keracunan Hg anorganik, hanya menghasilkan sedikit penurunan kadar metil merkuri dalam darah; diperlukan dosis lebih besar (2 gram/hari) pada keracunan Hg organik. Hemodialisis konvensional tak berarti dalam pengobatan keracunan metil merkuri, karena metil merkuri terkumpul dalam eritrosit dan hanya sejumlah kecil yang terdapat dalam plasma (Gunawan, Sulista Gan., 2011).

2.1.3 Arsen

Arsen (As) digunakan lebih dari 2400 tahun yang lampau di Yunani dan Roma sebagai racun dan untuk pengobatan. Sekarang As hanya penting dalam pengobatan penyakit tropis tertentu. Di Amerika Serikat dampak As atas kesehatan sangat menonjol akibat pajanan dari industri dan lingkungan. Arsen dijumpai dalam tanah, air dan udara. Unsur As ditemukan sebagai hasil sampingan dari peleburan tembaga, timah, seng dan logam lainnya. Ini dapat mengakibatkan dilepasnya As ke lingkungan. Arsen kadang-kadang digunkan sebagai bahan tambahan pada makanan unggas dan hewan ternak lainnya untuk meningkatkan pertumbuhan. Sumber utama pajanan As dilingkungan kerja adalah dari pabrik pembuat herbisida dan pestisida yang mengandung As. Jumlah As

(18)

yang dikonsumsi manusia rata-rata per hari ialah 300 μ g. Hampir semua jumlah ini ditelan bersama makanan dan air. Pada umumnya, toksisitas As meningkat dengan urutan sebagai berikut : As organik < As5+ < As3+ < arsin

(AsH3) (Gunawan, Sulista Gan., 2011).

2.1.3.1 Organ Sasaran Toksisitas

Ginjal, mukosa saluran napas dan saluran lambung-usus, tulang (Schmitz, Gery., 2008).

2.1.3.2 Mekanisme Kerja

Arsenat adalah suatu uncoupler pada proses fosforilasi oksidatif mitokondria. Kerjanya dihubungkan dengan substitusi konpetitif arsenat dengan fosfat anorganik sehingga terbentuk ester arsenat yang cepat dihidrolisis. Proses ini disebut arsenolisis.

Arsen trivalent termasuk arsenit organic, terutama mengikat gugus sulfhidril. Dengan demikian AS trivalent menghambat enzim yang mengandung – SH. System piruvat dehidrogenase terutama sensitive terhadap AS trivalent karena interaksinya dengan dua kelompok sulfhidril dari asam lipoat akan membentuk cincin stabil seperti tampak pada gambar 1.

CH2-SH CH2

CH2 CH2 As-R + H2O

CH SH + R As = O CH (CH2)4 (CH2)4

COOH COOH

Reaksi As Trivalen dengan asam lipoat

(Gunawan, Sulista Gan., 2011)

2.1.3.3 Farmakologi dan Toksikologi 2.1.3.4 Keracunan

Keracunan Arsen Akut

S S

(19)

Gejala keracunan As akut ialah rasa tidak enak dalam perut, bibir rasa terbakar, penyempitan tenggorokan dan susah menelan, disusul oleh nyeri lambung hebat, muntah proyektil dan diare berat. Gejala lain ialah oliguria, proteinuria, hematuria dan anuria. Pasien sering mengeluh kejang otot rangka dan haus. Jika kehilangan cairan terus berlanjut, akan timbul syok. Kejang hipoksik dapat terjadi dalam fase lanjut, berakhir dengan koma dan kematian.

Dengan pengobatan yang tepat dan sepat, pasien dapat bertahan melewati fase akut dengan gejala sisa neuropati serta gangguan lainnya.

Keracunan Arsen Kronis

Tanda dini keracunan As kronis yang paling umum ialah kelemahan dan nyeri otot, pigmentasi kulit, hiperkeratosis dan edema. Gejala lain adalah napas dan keringat bau bawang putih, hipersalivasi, hiperhidrolisis, stomatitis, coryza, lakrimasi, parestesia, gatal, dermatitis, vitiligo dan alopesia. Dapat pula terjadi hepatomegali, obstruksi saluran empedu, gangguan fungsi ginjal, neuritis perifer, ensafalopati dan kerusakan sumsum tulang (Gunawan, Sulista Gan., 2011).

2.1.3.5 Pengobatan Keracunan Arsen

Setelah pajanan akut terhadap arsen, tindakan suportif perlu diambil untuk menstabilkan pasien dan mencegah penyerapan racun lebih lanjut. Perhatian khususnya diarahkan untuk mengoreksi volume cairan intravaskular, karena efeknya terhadap saluran cerna dapat mengakibatkan syok hipopolemik yang fatal. Untuk memperbaiki hipotensi diperlukan cairan infus dengan obat yang menaikan tekanan darah, misalnya dopamin. Terapi kelasi harus dimulai dengan dimerkaprol 3 mg/kg berat badan intra muskular tiap 4 jam sampai gejala abnominal reda. Pengobatan dilanjutkan dengan penisilamin 4 kali 250 mg/ hari secara oral selama 4 hari berikutnya. Jika gejala berulang kembali setelah dihentikannya terapi kelasi, maka dapat dilakukan pemberian ulang penisilamin.

Keracunan arsen kronis dapat diobati dengan dimerkaprol dan penisilamin, tetapi penisilamin peroral saja biasanya sudah cukup. Dialisis ginjal mungkin diperlukan pada nefropati arsen berat; keberhasilan dengan cara dialisis ini pernah dilaporkan (Gunawan, Sulista Gan., 2011).

(20)

Kadmium merupakan logam toksik yang penting saat ini. Dalam alam, kadmium tercampur dengan seng dan Pb; ekresi serta pengolahan kedua logam terakhir ini sering menyebabkan pencemaran lingkungan oleh kadmium. Unsur kadmium ditemukan pada tahun 1817, tetapi baru digunakan kira-kira 50 tahun yang lalu. Resistensi yang tinggi terhadap korosi, sifat elektrokimiawi yang berharga, dan sifat kimiawi yang bermanfaat lainnya menyebabkan kadmium digunakan secara luas dakan electroplating dan galvinisasi, dalam pembuatan plastik, warna cat (kuning) dan baterai nikel-kadmium. Pencemaran lingkunngan dengan kadmium akan bertambah karena hanya kurang dari 5% kadmium yang mengalami daur ulang. Batu bara dan bahan bakar fosil lainya mengandung kadmium, dan pembakaran benda ini melepaskan unsur kadmium ke dalam lingkungan. Pekerja pada tempat peleburan pabrik pengolahan logam lainnya dapat terpajan kadmium kadar tinggi di udara; namun bagi kebanyakan penduduk, yang palinng utama ialah pada kontaminasi makanan. Bahan makanan yang tidak tercemar mengandung kadmium kurang dari 0,05 µg per gram berat basah, dan jumlah asupan rata-rata perhari kira-kira 50 µg. Air minum biasanya tidak memberikan tambahan yang berarti dalam kadmium, tetapi rokok sebaliknya. Setiap batang rokok mengandung 1-2 µg kadmium. Walaupun absorpsi kadmium melaui paru 10%, menghisap 1 bungkus rokok perhari berarti mengkonsumsi kira-kira 1mg kadmium per tahun. Kerang serta hati dan ginjal hewan merupakan bahan makanan yang mengandung kadmium melebihi 0,05 µg /¿ g nila beras dan gandum terkontaminasi kadmium dalam tanah dan air, maka kadar kadmium bisa meningkat secara mencolok (Gunawan, Sulista Gan., 2011).

2.1.4.1 Keracunan

Keracunan Kadmium Akut

Keracunan akut biasanya terjadi karena menghirup debu dan asap yang mengandung kadmium (kadmium oksida), dan garam kadi=mium yang termakan. Efek toksik dini disebabkan oleh peradangan setempat. Kadmium yang termakan

(21)

akan menimbulkan mual, muntah, salivasi, diare, dan kejang perut. Secara akut, kadmium lebih toksik bila di hirup. Tanda dan gejala yang timbul dalam waktu beberapa jam meliputi peradangan saluran napas atas, sakit dada, mual, pusing dan diare. Toksisitas bisa berkembang menjadi edema paru atau emfisema residual dengan fibrosis peribronkial dan perivaskular.

Keracunan Kadmium Kronis

Efek toksis pajanan kronis kadmium agak berbeda, tergantung dari caranya masuk tubuh. Ginjal terkena akibat pajanan melalui paru atau saluran cerna. Efek yang berarti pada paru hanya terlihat setelah adanya pajanan lewat jalan napas.

Ginjal. Kadar kadmium 200µg/g ginjal, akan menyebabkan cedera ginjal ada kemungkinan bahwa metalotionein sebagai pengikat kadmium melinndungi ginjal pada kadar kadmium yang lebih rendah. Protenuria disebabkan oleh cedera tubulli proksimal. Pengukuran β 2 mikroglobulin dalam urin merupakan

petunjuk paling peka terhadap nefrotoksisitas kadmium. Pada pajanan kadmium berat terjadi cedera glomeluri, berkurangnya filtrasi serta timbulnnya amino asiduria, glikosuria dan proteinuria sifat cedera glomeluri tersebut tidak diketahui tetapi mungkin melibatkan suatu komponen auto imun.

Paru. Sesak napas merupakan keluhan yang sering terjadi karena mfisema dan fibrosis paru. Patogenesisnya tidak diketahui, namun secara spesifik kadmium menghambat sintesi anti tripsin plasma, dan terdapat asosiasi antara defisiensi

α

1- antitripsin bawaan yang berat dengan emfisema pada manusia.

Sistem Kardiovaskular. Peran kadmium dalam menyebabkan hipertensi sangat kontroversial. Penelitian awal yang bersifat epidemilogis memperlihatkan bahwa orang yang meninggal karena hipertensi mengandung kadmium lebih tinggi dan rasio kadmium seng lebih tinggi dalam ginjal dibandingkan dengan orang yang meninggal karena sebab lain. Namun demikian, hipertensi tidak menonjol pada keracunan kadmium dalam industri. Efek hipertensi yang ditimbulkan kadmium pada manusia masih belum jelas.

(22)

Tulang. Salah satu tanda utama penyakit itai-itai ialah osteomalasia. Tetapi penelitian di Swedia dan Inggris tidak menyokong hal ini. Jumlah asupan kalsium dan vitamin larut-lemak seperti vitamin D jauh lebih tinggi di negara ini daripada di Jepang.Korban di Jepang kebanyakan terdiri wanita multipara dan pascamenopause. Jadi, mungkin terdapat suatu interaksi antara kadmium, gizi dan penyakit tulang. Penyimpanan kalsium dalam tulang menurun pada orang yang terpajan kadmium. Efek kadmium ini bisa disebabkan oleh gangguan terhadap pengaturan ginjal atas keseimbangan kalsium dan fosfat.

Testis. Nekrosis testikular terjadi pada hewan coba dengan pajanan akut kadmium, tetapi hal ini tidak ditemukan pada manusia (Gunawan, Sulista Gan., 2011).

2.1.4.2 Pengobatan Keracunan Kadmium

Terapi efektif untuk keracunan kadmium sukar dilakukan. Setelah penghirupan akut, pasien harus dipindahkan dari sumber kadmium dan ventilasi paru harus dipantau dengan cermat. Nafas buatan dan terapi steroid mungkin diperlukan. Terapi kelasi dengan CaNa2EDTA umumnya diberikan, meskipun

tidak terbukti bermanfaat. Dimerkaprol dikontraindikasikan karena obat ini meningkatkan nefrotoksisitas. Hal tersebut mungkin karena kadmium didistribusi ketempat yang sukar dicapai oleh kelator (Gunawan, Sulista Gan., 2011).

2.1.5 Besi

Meskipun besi bukan suatu racun lingkungan, garam besi yang digunakan untuk mengobati anemia kekurangan besi sering merupakan sumber keracunan yang tidak sengaja pada anak (Gunawan, Sulista Gan., 2011).

Terapinya dapat digunakan Antidot pembentuk kompleks: Deferoksamin sebagai obat pilihan, mungkin juga dengan CaNa2EDTA(Schmitz, Gery., 2008).

2.1.6 Logam Berat Radioaktif

Meluasnya produksi dan penggunaan logam berat radioaktif untuk pembangkit listrik tenaga nuklir, senjata nuklir, riset laboratorium, industri dan

(23)

diagnosis medis menimbulkan masalah dalam keracunan oleh logam tersebut. Karena hampir semua toksisitas logam radioaktif merupakan akibat radiasi ion, maka pengobatan bukan saja ditujukan pada kelasi logam tersebut, tetapi juga untuk mengeluarkan logam dari tubuh secepat dan sesempurna mungkin. Pengobatan sindrom radiasi akut sebagian besar bersifat simtomatik. Telah diselidiki efektivitas reduktor organik misalnya sisteamin untuk mencegah pembentukan radikal bebas, tetapi keberhasilannya masih terbatas.

Produk radioaktif utama yang menyebabkan kecelakaan radioaktif atau yang digunakan pada senjata nuklir meliputi 239Pu, 137Cs, 144Ce, dan 90Sr. Telah

terbukti sangat sukar mengeluarkan isotop Sr dan Ra dari tubuh dengan kelator. Beberapa faktor yang menyebabkan logam radioaktif relatif resisten terhdap terapi kelasi adalah: (1) afinitas logam bersifat spesifik terhadap masing-masing kelator, dan (2) radiasi Sr dan Ra pada tulang dapat menghancurkan pembuluh kapiler sekitarnya sehingga arus darah dalam tulang menurun dan radioisotop sukar dicapai. Telah banyak kelator yang dimanfaatkan dalam percobaan termasuk DTPA yang terbukti efektif untuk meningkatkan pengeluaran 239Pu. Satu gram

DTPA (dietilentriaminpentaasetat) yang diberika dengan infus secara perlahan tiga kali seminggu, mempertinggi pengeluaran radioisotop 50-100 kali lipat. Efektivitas pengobatan menurun bila pajanan telah berlangsung lama dan mula terapi lambat (Gunawan, Sulista Gan., 2011).

2.2 Antagonis Logam Berat 2.2.1 Kalsium Dinatrium Edetat 2.2.1.1 Sejarah dan Kimia

Asam etilen diamin tetra asetat (EDTA), garam natriumnya(Natrium Edetat, Na2EDTA) dan sejumlah derivatnya banyak digunakan selama

bertahun-tahun sebagai reagen dalam industri dalam laboratorium karena kemampuannya mengikat logam divalen dan trivalen. Kation yang digunakan untuk membuat garam EDTA yang larut dalam air berperan penting dalam toksisitas kelator tersebut. Penelitian pada hewan menunjukan bahwa Na2EDTA menyebabkan

(24)

bahwa kelat kalsium dinatrium edetat (CaNa2EDTA) yang relatif nontoksik dapat

dimanfaatkan untuk pengobtan keracunan logam yang afinitasnya terhadap Na2EDTA lebih tinggi daripada Ca2+ (Gunawan, Sulista Gan., 2011).

2.2.1.2 Mekanisme kerja

Efek farmakologis CaNa2EDTA disebabkan oleh ikatannya dengan logam

divalen dan trivalen dalam tubuh. Ion logam bebas (baik eksogen maupun endogen) dengan afinitas tinggi terhadap CaNa2EDTA akan menggantikan

kalsium dari ikatannya, dan dieksresi. Penelitian pada tikus menunjukan bahwa pemberian CaNa2EDTA memobilisasi logam Zn, Mn dan Fe. CaNa2EDTA

digunakan sebagai terapi utama dalam pengobatan intoksikasi Pb; keberhasilannya sebagian disebabkan oleh kapasitas Pb menggeser kalsium dari khelat. Meningkatnya mobilisasi dan eksresi Pb menunjukan bahwa Pb dapat bereaksi dengan EDTA. Sebaliknya Hg tidak bereaksi terhadapnya, meskipun data invitro menunjukan bahwa Hg dapat menggeser kalsium dari CaNa2EDTA. Hg

tidak berikatan dengan EDTA, mungkin karena ikatan Hg sangat kuat dengan gugus –SH atau mengalami sekuesterisasi dalam kompartemen tubuh yang tidak dapat dipenetrasi CaNa2EDTA.

Tulang merupakan sumber utama dari Pb yang diikat oleh CaNa2EDTA.

Setelah kelasi ini pB mengalami redistribusi dari jaringan lunak ketulang (Gunawan, Sulista Gan., 2011).

2.2.1.3 Toksisitas

Pemberian cepat Na2EDTA dapat menyebabkan tetani hipokalsemia, tetapi

infus yang lambat (kurang dari 15 mg permenit) pada orang normal sama sekali tidak menimbulkan gejala hipokalsemia karena adanya persediaan kalsium ekstravaskular. Sebaliknya, CaNa2EDTA dapat diberikan secara intravena dalam

jumlah relatif besar tanpa menimbulkan efek yang merugikan, karena perubahan kadar kalsium dalam plasma dan seluruh tubuh dapat diabaikan.

Efek toksik CaNa2EDTA terutama terhadap ginjal. Kelainan yang terlihat

(25)

proksimal. Cedera tubuli dapat ditimbulkan oleh CaNa2EDTA atau Na2EDTA

dosis tinggi. Perubahan dalam tubuli distal dan glomeruli tidak begitu mencolok. Efek terhadap ginjal biasanya reversibel, dan kelainan ini segera hilang setelah pemberian obat dihentikan. Toksisitas ini mungkin berhubungan dengan lewatnya sejumlah besar logam yang diiikat melalui tubuli dalam waktu relatif singkat selama terapi. Disosiasi kelat dapat terjadi karena adanya kompetisi terhadap ligan secara fisiologis atau karena adanya perubahan pH dalam sel lumen tubuli. Akan tetapi, mekanisme toksisitas yang lebih mungkin, adalah interaksi antara kelator dengan logam endogen dalam sel tubuli proksimal.

Efek samping lain yang berhubungan dengan penggunaan CaNa2EDTA

antara lain malaise, letih dan rsa haus berlebihan yang disusul oleh demam. Hal ini dapat disertai oleh mialgia berat, sakit kepala bagian prontal, anoreksia, mual dan muntah, meningkatnya frekuensi dan keinginan berkemih. Efek samping lain ialah bersin, penyumbatan hidung dan lakrimasi, glukosurya, anemia, dermatitis dengan gambaran mirip kelainan kulit karena akibat kekurangan vitamin B6, penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik, memanjangnya waktu protombin, dan inversi gelombang T dari EKG (Gunawan, Sulista Gan., 2011).

2.2.1.4 Indikasi

Penggunaan CaNa2EDTA untuk pengobata intoksikasi berbagai logam

sudah dibahas diatas. Kelasi dengan EDTA selain mengikat logam berat juga mengikat Ca2+. Kalsium ini merupakan salah satu komponen

atheroscleroticplakue, sehingga timbul spekulasi bahwa EDTA dapat menghilangkan Atheroscleroticplakue. Setelah menelaah semua literatur ilmiah tentang masalh ini dengan seksama, American Heart Association (AHA) menyimpulkan bahwa penggunaan EDTA untuk menghilangkan atherosclerotic

plaque tidak terbukti secara ilmiah, sehingga tidak menganjurkan untuk

pengobatan aterosklerosis (Gunawan, Sulista Gan., 2011). 2.2.1.5 Absorpsi, Distribusi dan Ekskresi

(26)

Kurang dari 5% CaNa2EDTA diabsorpsi dari saluran GI. Setelah

pemberian secara intravena, CaNa2EDTA menghilang dari sirkulasi dengan waktu

paruh 20-60 menit. Didalam darah semua CaNa2EDTA ditemukan dalam plasma.

Sekitar 50% diekskresikan melalui urine dalam 1 jam dan >95% dalam 24 jam. Karena alasan ini, fungsi ginjal yang memadai diperlukan untuk keberhasilan terapi. Bersihan ginjal CaNa2EDTA pada anjing setara dengan inulin dan filtrasi

gromerulus berperan seluruhnya dalam ekskresi melalu urine. Pengubahan pH atau laju aliran urine tidak berefek pada laju ekskresi. Terdapat sangan sedikit penguraian metabolik EDTA, CaNa2EDTA didistribusikan terutama dalam cairan

ekstraseluler, namun terdapat sangat sedikit bagian yang mencapai cairan tulang belakang (5% dari konsentrasi plasma) (Goodman & Gilman, 2010).

2.2.2 Dimerkaprol 2.2.2.1 Sejarah dan kimia

Selama perang dunia II telah dilakukan usaha intensif untuk mengembangkan antidotum terhadap lewisite, semacam gas As yang digunakan dalam perang karena diketahui as bereaksi dengan molekul yang mengandung – SH, maka stocken dan Thompson meneliti secara sistematis dan menemukan senyawa yang mampu berkompetisi dengan radikal –SH jaringan tubuh untuk berikatan dengan As. Penelitian mereka menunjukan bahwa As akan membentuk cincin kelat yang sangat stabil dan relatif non toksik dengan dimerkaprol (2,3-dimerkaptopropanol). Selanjutnya dimerkaprol disebut British antilewisite (BAL). Dimerkaprol ternyata juga memberikan perlindungan terhadap efek toksik logam berat lainnya.

BAL berupa cairan bening, tanpa warna, kental dan berminyak dengan bau tajam tidak sedap merupakan sifat khas senyawa merkaptan. Zat ini larut dalam air, juga dalam minyak sayur, alkohol, dan berbagai pelarut organik lainnya. karena tidak stabil dalam larutan polar, maka digunakan minyak kacang sebagai pelarut (Gunawan, Sulista Gan., 2011).

(27)

Efek farmakologi BAL adalah hasil pembentukankompleks kelasi antara gugus sulfhidril dengan logam. Reaksi BAL dengan Hg, emas dan arsen diharapkan membentuk kompleks yang stabil untuk meningkatkan eliminasi logam tersebut.

Didalam tubuh, kompleks kelasi dapat mengalami disosiasi dan BAL teroksidasi. Selain itu, ikatan sulfur-logam menjadi labil dalam cairan tubuh yang asam, dan ini meningkatkan toksisitas logam-logam tersebut terhadap ginjal. Oleh karena itu, pengaturan dosis dirancang untuk mempertahankan kadar BAL dalam plasma yang memadai agar membentuk kompleks (BAL:logam) 2:1 yang lebih stabil dan eksresinya cepat.

BAL jauh lebih efektif bila diberikan segera setelah pajanan terhadap logam, karena BAL lebih efektif mencegah hambatan enzim bergugus –SH daripada mengaktifkannya kembali. Prinsip terapi ini dilakukan untuk penggunaan semua kelator.

BAL mengantagonis efek biologis logam terutama arsen, emas dan Hg yang membentuk merkaptid dengan gugus –SH selular yang esensial. BAL juga digunakan dalam kombinasi dengan CaNa2EDTA untuk mengobati keracunan Pb. Intoksikasi selenit, yang mengoksidasi enzim bergugus –SH, tidak dipengaruhi oleh BAL (Gunawan, Sulista Gan., 2011).

2.2.2.3 Toksisitas

Pemberian BAL pada manusia menghasilkan berbagai efek samping yang biasanya lebih banyak menimbulkan rasa khawatir tetapi tidak serius, walaupun demikian efek samping ini menunjukan bahwa jumlah ditiol yang dapat diberikan harus dibatasi. Reaksi terhadap BAL terjadi pada kira-kira 50% pasien yang menerima 5 mg/kg BB IM. Pemberian ulang dengan interval sedikitnya 4 jam tidak menimbulkan efek akumulasi. Salah satu respon paling konsisten terhadap BAL ialah naiknya tekanan darah sistolik disertai takikardi. Kenaikan tekanan darah sebanding dengan dosis yang diberikan dan bisa mencapai 50 mmHg bila dosis ulangan yang sama (5 mg/kg BB) diberikan dalam jarak waktu 2 jam. Tekanan darah naik dengan cepat tetapi kembali normal dalam waktu 2 jam.

(28)

Gejala lain kebanyakan paralel dengan perubahan tekanan darah yaitu mual, muntah, sakit kepala, rasa terbakar pada bibir, mulut dan kerongkongan, rasa tercekik pada kerongkongan, sakit dada atau lengan, konjungtivitis, lakrimasi, rinore dan hipersalivasi; tangan terasa tertusuk-tusuk, rasa panas pada penis, berkeringat terutama pada tangan dan dahi; sakit perut dan kadang-kadang timbul abses steril yang nyeri ditempat suntik. Gejala ini sering disertai rasa cemas dan khawatir. Gejala akibat BAL pada anak sama seperti pada oranng dewasa, meskipun kira-kira 50 % bisa mengalami demam yang akan hilang sesudah obat dihentikan. Leukosit polimorfonuklear dapat menurun selintas.Bal bisa menyebabkan anemia hemolitik pada pasien defisiensi G6PD. BAL dikontraindikasikan pada pasien insufisiensi hati, kecuali kelainan hati akibat keracunan arsen (Gunawan, Sulista Gan., 2011).

2.2.2.4 Absorpsi, Distribusi dan Ekskresi

Dimerkaprol tidak dapat diberikan secara oral melainkan diberikan melalui injeksi intramuskular yang dalam bentuk larutan 100 mg/mL dalam minyak kacang. Oleh sebab itu, tidak boleh diberikan pada pasien yang alergi terhadap kacang atau produk kacang. Konsentrasi puncak dalam darah dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruhnya pendek, serta penguraian dan ekskresi metaboliknya umumnya selesai dalam 4 jam (Goodman & Gilman, 2010).

2.2.3 Asam 2,3-dimerkaptosuksinat

Asam dimerkaptosuksinat efektif secara oral dan jauh kurang toksik dibandingkan dengan BAL.

Penelitian pada hewan coba menunjukan bahwa obat ini efektif digunakan sebagai kelator untuk pengobatan keracunan arsen, kadmium, merkuri dan timbal. Obat ini telah dipakai untuk pengobatan keracunan arsen dan merkuri.selain itu, penggunaannya telah disetujui untuk keracunan timbal pada anak. Tetapi, manfaatnya lebih lanjut dalam mengobati keracunan timbal masih perlu diteliti lagi (Gunawan, Sulista Gan., 2011).

(29)

2.2.4 Penisilamin 2.2.4.1 Sejarah dan kimia

Penisilamin dibuat dari degradasi hidrolitik penisilin, dan tidak beraktivitas antibakteri. Yang digunakan diklinik adalah bentuk D isomer. Penisilamin membentuk kelat dengan tembaga, merkuri, seng dan timbal serta meningkatkan eksresi logam-logam ini dalam urin (Gunawan, Sulista Gan., 2011). 2.2.4.2 Absorpsi, Distribusi dan Ekskresi

Penisilamin diabsorpsi dengan baik (40-70%) dari saluran GI sehingga memiliki keuntungan daripada zat pengkelat lainnya. Makanan, antasid dan besi mengurangi absorpsi penisilamin. Konsentrasi puncak dalam darah diperoleh 1-3 jam setelah pemberian. Tidak seperti sistein, senyawa induk taktermetilasinya yakni penisilamin, tahan terhadap serangan sistein desulfhidrase atau L-asam amino oksidase dan relatif stabil secara in vivo. Biotransformasi hepatik bertanggung jawab terhadap penguraian penisilamin dan sangat kecil yang dieksresikan dalam bentuk tak utuh. Metabolitnya ditemukan dalam urine dan feses (Goodman & Gilman, 2010).

2.2.4.3 Penggunaan Terapeutik

Penisilamin (CUPRIMINE, DEPEN) tersedia untuk pemberian secara oral. Untuk terapi pengkelatan, dosis lazim dewasa adalah 11,5 g/hari dalam 4 dosis terbagi (lihat bagian di bawah masing-masing logam). Penisilamin sebaiknya diberikan saat perut kosong untuk mencegah gangguan dari logam yang terdapat pada makanan (Goodman & Gilman, 2010).

Untuk pengobatan penyakit Wilson, biasanya diberikan 1-2 g/hari dalam 4 dosis terbagi. Ekskresi tembaga melalui urine harus diawasi untuk menentukan apakah dosis penisilamin cukup atau tidak. N-asetilpenisilamin lebih efektif daripada penisilamin dalam melawan efek toksisk merkuri kemungkinan karena N-asetilpenisilamin lebih tahan terhadap metabolisme (Goodman & Gilman, 2010).

(30)

2.2.4.4 Indikasi

Penisilamin digunakan untuk mengobati keracunan tembaga, merkuri, dan mengobati penyakit willson (Degenerasi hepatolentikular karena kelebihan tembaga), sistinuira dan artritis rematoid. Penisilamin digunakan pada sistinuiria karena penisilamin membentuk senyawa disulfida dengan sistein; zat ini relatif mudah larut, dengan demikian menurunkan pembentukan batu ginjal yang mengandung sistein.

Mekanisme kerja penisilamin pada artritis rematoid belum diketahui dengan pasti, meskipun supresi terhadap penyakit bisa diakibatkan oleh penurunan kadar faktor Igm rematoid secara berarti. Uniknya, penurunan ini tidak disertai oleh penurunan kadar imunoglobulin dalam plasma. Penggunaan eksperimental lainnya dari penisilamin meliputi pengobatan sirosis bilier primer dan skleroderma.

Mekanisme kerja penisilamin pada penyakit ini bisa juga melibatkan efek terhadap imunoglobulin dan kompleks imun (Gunawan, Sulista Gan., 2011). 2.2.4.5 Toksisitas

Meskipun penggunaan jangka pendek penisilamin sebagai kelator relatif aman, penggunaan kronis pada artritis rematoid menimbulkan toksisitas yang berarti dan beragam. Penisilamin menyebabkan lesi kulit, urtikaria, reaksi makula dan papula, lesi pempigus, lupus eritematosus, dermatomiositis, kulit kering dan bersisik. Reaktivitas silang antara penisilamin dan penisilin bisa terjadi, misalnya reaksi urtikaria atau makulopapular dengan edema umum pruritus dan demam yang terjadi pada sepertiga pasien yang makan penisilamin.

Pada sistem hematologibisa terjadi leukopemia; anemia aplastik dan agranulotisotis. Kelainan ini bisa timbul setiap saat selama terapi dan bisa bersifat fatal sehingga pasien harus dipantau dengan teliti.

Toksisitas renal yang bisa timbul ialah proteinuria yang reversibel; tetapi toksisitas ini bisa berlanjut menjadi syndrom nefrotik dengan glomerulopatimembran. Jarang-jarng terjadi kematian akibat syndrom goodpasture,yaitu syndrom glomerulonefritis disertai pendarahan paru-paru.

(31)

Toksisitas saluran nafas tidak umum terjadi, tetapi sesak nafas berat terjadi akibat bronchoalveolitis yang disebabkan oleh penisilamin pernah dilaporkan. Miastenia grafis disebabkan oleh terapi kronis dengan penisilamin juga pernah dilaporkan. Efek samping lain ialah mual, muntah, diare, dispepsia, anoreksia dan hilangnya merasakan rasa manis dan asin untuk sementara, yang dapat disembuhkan dengan penambahan tembaga dalam diet. Penisilamin dikontraindikasikan pada kehamilan, pasien yang pernah mengalami agranulositosis atau anemia aplastik akibat penisilamin, dan insufisiensi ginjal (Gunawan, Sulista Gan., 2011).

2.2.5 Deferoksamin

Deferoksamin memiliki sifat ya ng diinginkan berupa afinitas yang sangat tinggi terhadap besi valensi 3 dan afinitas yang sangat rendah terhadap kalsium. Invitro, deferoksamin mengikat besi dan hemosiderin, peritin dan transferin. Besi dalam hemoglobin atau sitokrom tidak diikat oelh deferoksamin.

Deferoksamin sukar diabsorpsi setelah pemberian oral sehingga diperlukan pemberian secara parenteral. Deferoksamin mengalami metabolisme oleh pengaruh enzim plasma, tetapi caranya belum jelas. Obat ini mudah dieksresi bersama urin.

Deferoksamin bisa menimbulkan reaksi alergi misalnya pruritus, edema, ruam kulit dan reaksi anafilaksik. Efek samping lainnya meliputi disuria, sakit perut, diare, demam, keram kaki dan takikardi. Kadang-kadang dilaporkan terjadinya katarak. Kontraindikasi penggunaan deferoksamin meliputi kehamilan, insufisiensi ginjal, dan anuria (Gunawan, Sulista Gan., 2011).

2.2.6 Asam dietilentriaminpentaasetat

Asam dietilentriaminpentaasetat (DTPA) seperti halnya EDTA, adalah suatu kelator asam polikarboksilat, tetapi afinitasnya lebih besar terhadap kebanyakan logam berat. Banyak penelitian pada hewan menunjukan bahwa

(32)

spektrum efektifitas klinik DTPA serupa dengan spektrum efektifitas klinik EDTA. Karena afinitasnya yang relatif besar terhadap logam, DTPA ernah dicoba pada kasus keracunan logam berat yang tidak memberikan respon terhadap EDTA, terutama sekali keracunan yang disebabkan oleh logam radioaktif. Manfaat DTPA ternyata terbatas karena sulut mencapai penyimpanan logam diintraseluler. Penggunaan DTPA masih dalam penelitian, dan lebih banyak digunakan CaNa2EDTA karena DTPA cepat mengikat kalsium (Gunawan, Sulista

Gan., 2011).

BAB III

PENUTUP

(33)

3.1 Kesimpulan

Logam berat dapat menghasilkan efek toksik melalui penggabungan dengan satu atau lebih gugus reaktif (ligan) yang penting untuk fungsi fisiologis normal. Beberapa logam berat yang dapat menimbulkan toksisitas atau keracunan yaitu timbal, merkuri, arsen, cadmium, besi dan logam berat radioaktif. Kontaminasi logam berat tersebut dapat diakibatkan dari makanan, minuman ataupun lingkungan sekitar sehingga dapat menyebabkan keracunan fatal pada manusia.

Beberapa penanganan keracunan pun dapat dilakukan, misalnya dengan pemberian obat-obatan seperti diazepam atau fenitoin kemudian pemberian zat pengkelat seperi kalsium dinatrium edetat (CaNa2EDTA), dimerkaprol,

D-penisilamin dan suksimer. 3.2 Saran

Saran dan kritik yang membangun sangat penyusun harapkan, sehingga penyusunan makalah untuk kedepannya dapat menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Sulistia Gan. 2011. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

(34)

Goodman & Gilman. 2010. Manual Farmakologi dan Terapi. Jakarta : EGC. Schmitz, Gery. 2008. Farmakologi dan Toksikologi. Jakarta: EGC.

Referensi

Dokumen terkait

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data, mencari dan mendapatkan informasi yang berhubungan dengan pengaruh informasi laporan keuangan dan non keuangan

yang dipantulkan oleh solar dish akan semakin besar, sehingga radiasi. yang difokuskan oleh solar dish akan semakin

teknologi dapat mempengaruhi nilai-nilai yang telah tumbuh di masyarakat dalam suatu bangsa itu sangat tergantung dari sikap masyarakat tersebut. Seyogyanya, masyarakat harus

Hasil penakwila hanya bisa dikemukakan kepada para fsuf yang

 Berdasarkan analisa swot daerah pulau enggano berpotensi untuk dikembangkan sebagai daerah percontohan budidaya rumput laut di

Contoh lain kata بﺰﻋا (bujangan) dan جوﺰﺘﻣ (menikah) diantara keduanya terdapat pembatas yang mutlak. Oleh karena antonim ini tidak mungkin bertingkat. ﺲﻜﻋ دﺎﻀﺗ

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara minat memasak dan kebiasaan memasak terhadap intensitas menonton tayangan junior masterchef Indonesia.. Teori penggunaan

Efek Ekstrak Metanol Daun Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis.) terhadap Glukosa Darah Pada Mencit Model Diabetes Melitus.. Jurnal Medika Planta