81
BAB V
KESIMPULAN
Pada bab-bab sebelumnya, penulis telah menguraikan tentang siapa Kang Yoto dan
bagaimana pengaruhnya dalam membawa Bojonegoro seperti saat ini. Bojonegoro yang dulunya
termasuk daerah underdeveloped dengan kondisi infrastrukturnya yang terkenal buruk, saat ini
telah tumbuh dengan pesat sebagai daerah dengan pembangunan yang mencengangkan. Hal yang
dicapai dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun. Bojonegoro saat ini ialah salah satu
daerah penghasil minyak di Indonesia. Booming minyak di Bojonegoro baru berlangsung ketika
Kang Yoto menjabat sebagai bupati. Timing yang bersamaan tersebut berimplikasi terhadap
proses tata kelola migas oleh Pemkab Bojonegoro di bawah komando Kang Yoto. Selain itu,
timing tersebut juga mempunyai andil besar dalam mendorong percepatan pembangunan di
Bojonegoro sehingga dapat tumbuh seperti Bojonegoro saat ini.
Migas tidak diragukan lagi mendatangkan berkah yang luar biasa bagi daerah penghasil,
meskipun hasilnya tidak sebesar yang masuk ke pemerintah pusat. Akan tetapi, berkah yang luar
biasa itu jika ditangani oleh seorang pemimpin daerah yang kurang cerdik, justru berpotensi
menjadi kutukan. Itulah yang dinamakan kutukan sumber daya (resource curse). Viralnya nama
Bojonegoro di kancah perbincangan nasional bersumber dari kecerdikan Bojonegoro dalam
mengelola migas, sehingga dapat menghindari resource curse, yang biasanya menjangkiti daerah
yang kaya akan sumber daya. Hal tersebut dapat dicapai melalui tangan dingin seorang Suyoto.
Memanfaatkan DBH migas yang masuk ke kantong pendapatan daerah, Bojonegoro
82 permukaan, tetapi juga mulus sejak dalam prosesnya. Permukaan yang mulus ialah
pembangunan fisik atau infrastruktur yang kasat mata sehingga terlihat nyata perubahannya.
Sementara itu, yang dimaksud mulus sejak dalam proses ialah perombakan sistem pemerintahan
di Bojonegoro menjadi pemerintahan yang open governance. Berbagai perbaikan yang dilakukan
pada internal pemerintah, selanjutnya dapat berimplikasi terhadap proses perencanaan
pembangunan daerah.
Dari sejak awal masa pemerintahannya, Kang Yoto tidak ragu untuk mencetuskan
berbagai gebrakan baru dalam merombak Bojonegoro. Gebrakan baru tersebut mendatangkan
berbagai respon dari pejabatnya sendiri dan masyarakat. Pemkab Bojonegoro terlahir kembali
sebagai pemerintahan yang terbuka, akuntabel, serta dekat dengan rakyat sehingga proses
pembangunan daerah kali ini lebih dirasakan oleh masyarakat. Perjalanan dalam mencapai a
brand new Bojonegoro memang tidak mudah, tetapi Kang Yoto dapat dikatakan berhasil.
Naiknya nama Kang Yoto berbanding lurus dengan berbagai kemajuan yang diraih Bojonegoro.
Saat ini, di setiap pembicaraan tentang Bojonegoro, nama Kang Yoto selalu hadir. Kesuksesan
Kang Yoto dalam mendorong kemajuan Bojonegoro dapat diraih berkat strategi yang cerdik
dalam memanfaatkan kekuasaannya. Menggerakkan Pemkab Bojonegoro yang personilnya
berupa birokrat-birokrat warisan bupati yang sebelumnya tidak mudah dilakukan.
Setelah penulis memaparkan data secara rinci dan berurutan, penulis melakukan
penjodohan pola atau mengkontekstualisasikan kerangka teori yang dijabarkan pada Bab I
dengan realitasnya di lapangan. Asumsi awal penulis ialah bahwa Kang Yoto menghegemoni
Pemkab Bojonegoro yang bertujuan untuk melanggengkan kekuasaannya di Bojonegoro. Oleh
karena itu, penulis menggunakan kerangka teori tentang hegemoni Gramscian dan difusi
83 bahwa yang dilakukan Kang Yoto ternyata bukanlah wujud dari hegemoni, melainkan cenderung
mengarah ke dominasi. Jika penelitian ini diibaratkan sebuah ujian, yakni menguji apa yang
dilakukan Kang Yoto dengan teori hegemoni, maka ujian ini dikatakan gagal. Kang Yoto tidak
lulus ujian ini, karena Kang Yoto tidak menghegemoni birokrasi, tetapi mendominasi.
Jika kita memandang apa yang dilakukan Kang Yoto dari satu sisi, kita melihat bahwa
Kang Yoto sangat getol dalam mendorong Pemkab Bojonegoro tumbuh dan berkembang hingga
maju seperti sekarang ini. Pemkab Bojonegoro berhasil menyingkirkan asumsi umum yang
menganggap mereka akrab dengan tradisi korupsi dan tidak terbuka, sekaligus mendapatkan
kembali kepercayaan masyarakat Bojonegoro terhadap pemerintahnya. Hal tersebut juga
merupakan wujud dari difusi kekuasaan Kang Yoto. Kang Yoto membiarkan pemerintahnya
bersinar di hadapan rakyat atas kemajuan yang dicapai. Capaian tersebut merupakan hasil dari
kerja keras mereka dalam melaksanakan perubahan besar-besaran yang memang diinisiasi oleh
Kang Yoto. Kang Yoto memang tidak berlagak seperti seorang pemimpin diktator yang
menggunakan cara-cara kekerasan untuk memaksa birokrasinya untuk berubah sesuai yang
diinginkannya. Kang Yoto menggunakan cara yang friendly sehingga birokrasi patuh mengikuti
skenario yang dibuatnya.
Sementara itu, jika kita melihatnya dari sisi yang sebaliknya, kita akan menyadari
bahwa Kang Yoto itu sebenarnya memaksa birokrasi untuk patuh dengan skenarionya dengan cara „melemparkan‟ birokrasi kepada rakyat Bojonegoro. Pemaksaan tersebut dilakukan secara
tidak langsung (indirect) karena melalui rakyat. Jadi seolah-olah rakyatlah yang memaksa
birokrasi untuk berubah. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana segala upaya Kang Yoto
untuk mengubah pemerintahnya menjadi pemerintahan yang terbuka selalu dilakukan dengan
84 Wacana yang dikembangkan di masyarakat ialah tentang tekad Kang Yoto untuk
membuat Pemkab Bojonegoro terbuka, tidak seperti pemerintah yang lalu, sehingga membuat
masyarakat melambungkan harapan. Ekspektasi masyarakat yang terlanjur tinggi ini direspon
Kang Yoto dengan membuat banyak gebrakan baru, seperti Dialog Jumat, rapat monev setiap
Jumat, publikasi nomor pribadinya beserta pejabat-pejabat lain. Dengan kedok demi kepentingan
rakyat Bojonegoro, berbagai kebijakan baru tersebut lantas membuat Pemkab Bojonegoro
dipaksa untuk berani dan bekerja ekstra keras. Jika Pemkab Bojonegoro tidak segera beradaptasi dengan kebijakan baru tersebut, mereka akan „dimakan‟ oleh rakyat Bojonegoro.
Penulis menganalogikan situasi tersebut sama seperti seseorang yang memancing di
Sungai Amazon. Sungai Amazon dikenal sebagai habitat ikan piranha. Kontekstulisasinya
dengan Kang Yoto dan Bojonegoro, Kang Yoto ialah sang pemancing, ikan-ikan piranha adalah
masyarakat Bojonegoro, dan Pemkab Bojonegoro adalah umpannya. Ibaratnya, Kang Yoto
memberi pilihan bagi Pemkab Bojonegoro untuk patuh ikut skenarionya atau memilih „diumpankan‟ kepada masyarakat. Ikan piranha memang kecil ukuran tubuhnya, tetapi masuk ke
dalam klasifikasi hewan karnivora (pemakan daging) yang paling berbahaya. Gaya menyerang
ikan piranha yang kolektif-kolegial dapat diibaratkan kekuatan rakyat dalam menuntut Pemkab
Bojonegoro agar menjadi pemerintahan yang terbuka dan responsif.
Analisis di atas menggiring penulis untuk menyimpulkan bahwa Kang Yoto cenderung
melakukan dominasi terhadap Pemkab Bojonegoro. Kepatuhan birokrasi terhadap Kang Yoto
cenderung berlandaskan paksaan, meskipun kita dapat menyebutnya sebagai paksaan yang halus
karena rakyat dijadikan tameng. Difusi kekuasaan yang dilakukan Kang Yoto juga pada akhirnya
justru membuktikan bahwa dirinyalah sentral dari kekuasaan di Bojonegoro. Bahkan, adanya
85 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bojonegoro sebagai lembaga penyalur
aspirasi rakyat. Jika di daerah lain, atau bahkan di pemerintah pusat, salah satu fungsi lembaga
legislatif ialah sebagai penyambung lidah rakyat. Legislatif yang berperan dalam menyaring
aspirasi rakyat. Fungsi lembaga legislatif tersebut, di Bojonegoro justru direbut oleh eksekutif.
Kesimpulan penulis tersebut merupakan analisis dari sisi lain keberhasilan Dialog Jumat
yang mempertemukan rakyat dengan lembaga eksekutif. Merujuk pada fungsi dan tujuan Dialog
Jumat, seharusnya DPRD Bojonegorolah yang menjadi pelaksananya. Jika lembaga eksekutif
yang mengambil peran dalam menyerap aspirasi rakyat, lalu apa urgensi dengan hadirnya
lembaga legislatif di Bojonegoro yang fungsi utamanya telah digantikan oleh eksekutif.
Penelitian ini memang tidak memaparkan relasi Kang Yoto dengan DPRD Bojonegoro. Penulis
mengakui bahwa hal tersebut merupakan salah satu kekurangan dari penelitian ini.
Dominasi yang dilakukan oleh Kang Yoto tidak seperti pemimpin-pemimpin lain yang
cenderung memonopoli kekuasaan. Kang Yoto justru mendominasi dengan cara memainkan atau
bahkan menggiring peran dari aktor-aktor lain di sekitarnya untuk mewujudkan visi pribadinya
dalam pembangunan Bojonegoro. Inilah wujud yotoisme. Istilah yotoisme bukanlah temuan
pertama dari penulis, karena merujuk pada hasil penelitian dari tim riset PolGov UGM. Istilah
yang asal muasalnya dari nama Kang Yoto tersebut digunakan dalam penelitian ini untuk
menggambarkan kuatnya dominasi Kang Yoto terhadap birokrasi di Bojonegoro.
Jadi, yotoisme ialah dominasi Kang Yoto terhadap Pemkab Bojonegoro dengan tujuan
untuk mengendalikan pengelolaan hasil kekayaan migas yang melimpah. Tujuannya adalah agar
visi yang digunakan sebagai dasar pengelolaan hasil migas tersebut ialah sesuai dengan
kehendak Kang Yoto dan bukan visi lain yang menurutnya predatoris. Itulah yang mendasari
86 rezim pemerintahan Kang Yoto. Dominasi tersebut dilakukan dengan menundukkan birokrasi,
baik dengan cara Kang Yoto menempatkan dirinya sebagai guru terhadap birokrasi (terutama
dalam hal pengetahuan tentang resource management yang merupakan oleh-oleh dari
training-nya di MIT), maupun dengan memaksa birokrat untuk berhadapan langsung dengan rakyat
melalui mekanisme transparansi dan komunikasi publik. Sementara itu, dengan berjalannya
mekanisme tersebut, politisi intra dan ekstra parlemen menjadi lemah. Mereka dilemahkan baik
dengan cara dilangkahi maupun tetap diberi peran secara parsial.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna. Masih banyak
hal yang dapat digali dari penelitian ini. Isu tentang Kang Yoto ataupun Bojonegoro sangat
kompleks dan luas. Hal itu ditambah dengan maraknya pemberitaan tentang Kang Yoto dalam
beberapa waktu terakhir, yakni terkait isu pencalonan dirinya untuk calon gubernur DKI Jakarta,
memungkinkan penelitian ini untuk dijadikan rujukan atau bahkan titik tolak atas penelitian
lainnya. Semoga, dengan adanya penelitian ini, penulis berharap akan muncul penelitian lainnya