• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. periode pertama pemerintahan sang politisi. Secara khusus, studi ini akan melacak bentukbentuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. periode pertama pemerintahan sang politisi. Secara khusus, studi ini akan melacak bentukbentuk"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Studi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana patronase dan klientalisme yang terbentuk antara politisi dan pejabat birokrasi di lingkup pemerintahan Kota Kendari pada periode pertama pemerintahan sang politisi. Secara khusus, studi ini akan melacak bentuk- bentuk patronase dan cara keja jaringan klientalisme antara Walikota Kendari Dr. Ir. H. Asrun, M.Eng.Sc dengan para pejabat birokrasi yang menduduki jabatan-jabatan strategis di Kota Kendari seperti para kepala dinas, sekertaris, lurah dan juga para camat yang nantinya relasi yang terbentuk sampai ke tingkatan mobilisasi masyarakat.

Asrun adalah walikota yang maju pada pilkada Kota Kendari tahun 2007 setelah melahirkan patronasenya dan membentuk jaringan klientalistik dengan para birokrat dan masyarakat di periode pertama kepemimpinannya sebagai walikota. Kemudian, dia menggunakan aparat birokrasi sebagai mesin politiknya dalam pilkada dan juga dalam melanggengkan kekuasaannya selama periode politiknya. Disini penulis akan berusaha melacak bagaimana bentuk-bentuk patronase dan jaringan klientalisme yang terbentuk dan bekerja antara politisi, para pejabat birokrasi dan juga hingga ke tingkat masyarakat.

Studi tentang patronase dan klientalisme atau hubungan patron-klien bisa dikatakan memang sudah banyak, namun kebanyakan studi tersebut mengkaji bagaimana hubungan antara politisi (eksekutif ataupun legislatif) dan pemilih dalam hal ini adalah relasinya dengan masyarakat dalam kontestasi pileg ataupun pilkada dan bukan mengkaji bagaimana hubungan patronase dan klientalisme antara politisi dan birokrasi. Kemudian ada pula studi yang mengkaji bagaimana hubungan patronase antara politisi dan bisnis dalam hal ini para pengusaha dalam pilkada. Adapun studi yang mengkaji mengenai hubungan antara politisi dan

(2)

2

birokrasi kebanyakan dari studi tersebut lebih mengkaji dari sisi bagaimana netralitas dari aparat birokrasi tersebut.

Penulis nantinya akan fokus melacak bentuk-bentuk patronase dan klientalisme antara pejabat brokrasi dan politisi, namun juga akan menyentuh jaringan-jaringan klientalisitik yang terbentuk di masyarakat. Seperti yang kita ketahui bersama birokrasi merupakan suatu organisasi yang mempunyai rantai komando dengan bentuk piramida, di mana lebih banyak orang berada ditingkat bawah daripada pada tingkatan atas. Maka dari itu, dalam kasus hubungan patronase dan klientalisme yang terjadi di kendari para pejabat birokrasi eselon II dan III yang mendapat jabatan strategis seperti kepala dinas, sekretaris, kepala bidang, camat, lurah di Kota Kendari yang kemudian di gunakan oleh politisi sebagai mesin politik dan untuk kepentingan pribadi sang politisi tersebut. Ditambah lagi dengan adanya sosok birokrat eselon II dan eselon III yang menjadi Perantara atau perantara bagi sang patron dalam hal ini politisi untuk melancarkan segala bentuk patonase ataupun klientalisme terhadap aparat birokrasi dan masyarakat. Hal ini yang menambah menarik penelitian ini untuk di teliti lebih jauh lagi.

Studi ini setidaknya akan menjelaskan tentang seorang politisi (Walikota Kendari) yang berusaha membangun patronase dan klientalisme dengan birokrasi tersebut untuk menjaga stabilitas kepemimpinannya hingga akhir jabatan, meraih keuntungan pribadi dari efek patronase dan klientalisme yang diterapkan dan agar memastikan diri supaya maju sebagai calon Petahana pada pilkada Kota Kendari selanjutnya. Permasalahan calon Kepala Daerah yang tengah memerintah atau sering di sebut sebagai (calon Petahana) merupakan bagian dari permasalahan yang banyak di soroti. Hal itu sesuai dengan yang sering terjadi bahwa Kepala Daerah yang tengah memerintah (calon Petahana) seringkali mempergunakan fasilitas- fasilitas publik yang ada serta mencoba mempengaruhi kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) agar ikut dan turut serta dalam proses mendukung dirinya dalam pilkada.

(3)

3

Posisi Petahana sangat menguntungkan bagi kandidat. Besarnya peluang kepala daerah terpilih kembali ini tidak bisa dilepaskan dari keuntungan yang didapat oleh kepala daerah, baik keuntungan langsung maupun tidak langsung. Keuntungan langsung yang didapat oleh kepala daerah yang tengah menjabat adalah dalam bentuk popularitas dan patronase. Dengan power yang dimiliki oleh calon Petahana dapat memobilisasi seluruh jajaran birokratnya untuk memilihnya kembali. Kepala daerah juga kemungkinan adalah orang yang paling dikenal oleh pemilih. Sementara keuntungan tidak langsung didapat oleh kepala daerah Petahana dari aktivitasnya sebagai kepala daerah. Kunjungan ke daerah, mengunjungi rumah masyarakat hingga meresmikan sebuah proyek pembangunan dapat dibungkus sebagai kampanye untuk untuk mengenalkan diri kepada masyarakat.

Besarnya peran birokrasi menjadi ajang tarik-menarik kepentingan yang makin besar juga, maka sebagai hasilnya, birokrasi hampir tidak pernah netral dalam arti yang sebenarnya, dan bahkan gagal dalam melaksanakan tugas pelayanan kepada masyarakat karena birokrasi semakin tidak profesional. Tentu saja keadaan itu adalah hal yang sangat tidak diharapkan. Birokrasi relatif menjadi instrumen politis atau alat untuk mencapai logika kekuasaan yaitu mendapatkan, meningkatkan, memelihara dan memperluas kekuasaan aktor, elit atau faksi politik tertentu.

Pemihakan birokrasi pada suatu partai politik/pasangan calon telah menimbulkan ketidakpuasan-ketidakpuasan politik khususnya dari pegawai negeri itu sendiri juga pada titik tertentu akan menghasilkan birokrasi yang korup, tidak efisien dan amoral. Rasionalitas dan merit sistem dalam birokrasi nampaknya belum atau tidak terjadi karena terjadi politisasi birokrasi yang berwujud pengisian jabatan-jabatan oleh orang-orang yang “sumuhun dawuh” terhadap salah satu partai/pasangan calon.

Birokrasi dan politisi adalah dua konsep yang sangat sulit diwujudkan secara bersama- sama. Karena antara politisi dan birokrasi mempunyai dua kutub yang saling tarik menarik.

(4)

4

Politisi memanfaatkan jaringan birokrasi ke arena politik, paling tidak untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan politiknya. Sedangkan birokrat membuka diri ke arena politik paling tidak untuk mencapai jabatan yang lebih tinggi atau sekedar untuk mempertahankan posisi jabatan yang strategis dalam jabatan birokrasi.

Oleh karena itu, studi ini bermaksud untuk melihat bagaimana bentuk patronase dan klientalisme di dalam hubungan antara politisi dan para pejabat birokrasi di lingkup pemerintahan kota kendari, seperti yang diketahui juga Asrun dulunya berlatar belakang seorang birokrat sebelum maju mencalonkan diri menjadi Walikota Kota Kendari menjadi pertimbangan mendasar penulis dalam mengangkat tema ini. Harapan penulis nantinya dari tulisan ini terdapat kesimpulan yang berguna bagi para birokrasi dalam bekerja dan menjalankan tugas sebagaimana tugas pokok dan fungsinya dan juga agar pelaksanaan pilkada yang lebih demokratis dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bisa terwujud.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Berkenaan dengan realitas hubungan politisi dan birokrasi di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah: Bagaimana bentuk hubungan patronase dan klientalisme yang

terbentuk antara politisi, para pejabat birokrasi dan masyarakat di Kota Kendari pada periode pertama kepemimpinan sang politisi?

1.3. TUJUAN PENELITIAN DAN BATASAN PENELITIAN Kemudian tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui bagaimana bentuk-bentuk hubungan patronase dan klientalisme yang telah dibangun oleh politisi terhadap aparat birokrasi di Kota Kendari.

2. Mengetahui bagaimana bekerjanya patronase antara politisi, aparat birokrasi dan masyarakat.

3. Mengetahu bagaimana bekerjanya jaringan klientalisme antara politisi, aparat birokrasi dan masyarakat.

(5)

5

4. Mengetahui bagaimana bekerjanya sosok Perantara dalam membangun jaringan kleintalisme di lingkup birokrasi dan masyarakat.

Adapun batasan dalam pada penelitian ini membatasi birokrat yang akan menjadi fokus penelitian hanya para pejabat birokrasi yang menempati jabatan strategis di Kota Kendari dan menjadi instrumen penting politisi membangun pola dan bentuk patronase dan klientalisme seperti kepala dinas, sekertaris dinas, kepala bidang, camat, dan lurah.

1.4. TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian ataupun kajian mengenai patronase dan klientalisme maupun relasi diantara keduanya memang sudah banyak dilakukan oleh beberapa para peneliti. Salah satu buku yang menarik dan menjadi panduan dalam mendalami hal tersebut adalah buku dari Mada Sukmajati dan Edward Aspinall yang membahas pola hubungan patronase dan klientalisme saat pemilu legislatif kemarin, dalam bukunya yang berjudul “politik uang di Indonesia”1 yang terdiri dari duapuluh hasil penelitian dari berbagai peneliti yang berbeda yang memmpunyai fokus pada hal terkait dengan mekanisme patronase dan klientalisme dalam pemilu, yaitu pada kampanye pemilu, hubungan antara kandidat dan pemilih dan bagaimana relasi seperti ini diperlancar oleh patronase dan dibentuk oleh klientalisme. Namun dalam buku ini kurang banyak membahas pola hubungan patronase antara politisi dan birokrasi ataupun politisasi birokrasi dan fokus buku ini hanya membahas patronase dan klientalisme pada pemilu legislatif 2014.

Tujuan dari penulisan buku ini adalah untuk melihat detail bentuk-bentuk patronase yang didistribusikan oleh para kandidat kepada pemilih. Selain itu, buku ini menunjukan bagaimana mekanisme, jaringan, dan teknik yang digunakan para kandidat. Para peneliti dalam buku ini sudah melakukan penelitian lapangan yang intensif, terutama selama periode kampanye terbuka pileg 2014. Fokus penelitian mereka bagaimana melihat para kandidat dan

1 Edward Aspinall & Mada Sukmajati. (eds). Politik uang di Indonesia, Patronase dan Klientalisme pada pemilu legislatif 2014. Yogyakarta: Polgov, 2015.

(6)

6

organisasi/kendaraan politiknya bekerja untuk menjangkau para pemilih. Penelitian ini dilakukan di berbagai tempat dan wilayah di Indonesia terutama di bagian perkotaan seperti jakarta dan medan, kawasan perkantoran pinggiran dan daerah industri, seperti bekasi, tanggerang dan bandung serta daerah-daerah pedesaan termasuk wilayah-wilayah sentra produksi beras, seperti jawa tengah dan jawa timur begitupula beberapa daerah di sumatra selatan, Nusa Tenggara Timur, Papua dan kalimantan tengah.

Dalam penelitian lapangan, pengumpulan informasi dan data dilakukan dengan dua cara. Pertama adalah wawancara dengan kandidat dan petugas kampanye (tim sukses). Kedua adalah observasi langsung terhadap acara-acara kampanye. Dalam proses observasi langsung ini, para peneliti dalam buku ini juga mengikuti setiap aktivitas kampanye dari beberapa kandidat dan tim suksesnya.

Terdapat dua temuan utama dalam buku ini. Pertama, para peneliti dalam buku ini menemukan fenomena bahwa politik patronase merupakan aspek sentral dalam strategi kampanye sebagian besar kandidat. Namun, beberapa bab dalam buku ini (terutama bab 12) fokus pada kandidat yang justru sengaja menolak strategi politik uang dengan beragam keberhasilan. Dalam hasil wawancara, banyak kandidat yang sebenarnya merasa prihatin dengan orientasi ‘transaksional’ atau ‘materialistis’ dari para pemilih. Kedua. Di seluruh daerah di Indonesia, sebagian besar kandidat juga mengandalkan jaringan informal perantara atau biasa disebut sebagai ‘tim sukses’.

Walaupun beberapa kandidat mengandalkan partai politik sebagai mesin, hal ini tidak menjadi pola umum/dominan. Sebagian besar kandidat justru mencoba membangun struktur personal dan klientalistis dalam rangka memobilisasi pemilih. Jika dilihat dari rencana penelitian yang akan penulis lakukan terdapat beberapa persamaan dan perbadaan mengenai penelitian penulis dan penelitian buku ini. Pertama, penelitian yang akan penulis lakukan dengan beberapa penelitian dalam buku ini mempunyai landasan teori yang sama yaitu melihat

(7)

7

suatu fenomena pemilu menggunakan teori-teori yang menyangkut hubungan patronase dan klientalisme lalu ingin melihat pola hubungan antara si patron dan si klien tersebut. Meskipun penulis lebih fokus bagaimana melihat pola patronase pada politisi yang dalam rencana penelitian penulis yaitu Walikota Petahana Kota Kendari.

Berbeda dengan kajian penulis mengenai patronase dan klientalisme, buku yang ditulis oleh Mada Sukmajati dan Edward Aspinall dimana buku tersebut mempunyai fokus bagaimana mekanisme dan bentuk-bentuk patronase dan klientalisme pada pileg 2014, terutama masalah variasi bentuk patronase seperti politik uang (Money Politics), Vote buying, Vote Trading, club

goods, individual gifts, services and activities dan pork barrel projects namun tidak menyentuh

hal mengenai hubungan relasi patron-klien ataupun bentuk patronase dan klientalisme antara politisi dan birokrasi. Tulisan ini juga mengatakan bahwa klientelisme hanya dapat termanifestasi dalam tiga bentuk yakni jaringan tim sukses dengan struktur teritori dan piramidal, jaringan sosial dan partai politik. hal ini kemudian bisa menjadi peluang untuk membuktikan bahwa ada bentuk lain dari jaringan klientelisme.

Dalam tulisan jurnal yang berjudul Politik klientalisme baru dan dilema demokratisasi di Indonesia2 juga menjadi review dalam penulisan ini. Dalam jurnal tersebut berusaha menjelaskan bagaimana pengaruh proses demokratisasi di Indonesia terhadap praktik politik klientalistik. Studi kasus dalam jurnal ini yaitu mengkaji secara mendalam tentang aktivitas kedermawanan sosial Partai Keadilan Sejahtra (PKS) di wilayah Yogyakarta.

Lebih lanjut dalam jurnal tersebut dijelaskan pola klientalisme dan partai politik yang dimana dari pemaparan tersebut pola patronase dan klientalisme yang biasanya bersifat dari personal atau seseorang dalam tulisan ini mengambarkan pola patronase dan klientalisme yang berasal dari partai politik atau partai politik sebagai patron baru. Kemudian dalam jurnal ini dijelaskan

2 Hasrul Hanif. “Politik klientalisme baru dan dilema demokratisasi di Indonesia”. Jurnal ilmu sosial dan ilmu politik, Vol 13, Nomor 3, Maret 2009 (257-390).

(8)

8

pula perbedaan antara klientalisme lama dan klientalisme baru yang dimana keduanya masih memiliki kemiripan semisal hubungan antara patron dan klien masih bersifat instrumental dan keuntungan yang diberikan kepada klien masih sebagian besar bersifat privat dan terseleksi.

Meskipun demikian, tentu ada perbedaan antara klientalisme lama dan yang baru seperti yang di jelaskan: Pertama, pola hubungan mereka sudah tidak terlalu hirarkis dan mulai lebih “demokratis”. Dalam pola hubungan ini masih terdapat ketidakseimbangan kekuasaan antara patron dan klien. Namun klien tidak lagi terlalu tergantung kepada patron. Merasa lebih bebas untuk menentukan suara mereka sebagai komoditas yang dipertukarkan sesuai dengan yang mereka inginkan untuk memaksimalkan kegunaannya. Kedua, sebagai efek dari pola hubungan yang tidak lagi hirarkis dan personal. Bentuk klientalisme baru lebih kondusif bagi terpolanya fluiditas dan perubahan dalam perilaku memilih dalam pemilihan umum sehingga membuka selebar-lebarnya kemungkinan bagi kompetisi yang terbuka dan hadirnya atau menghilangnya sekelompok elit.3

Selanjutnya, jurnal ini menjelaskan politik transaksi dan negosiasi klien yang dilakukan oleh partai keadilan sejahtra (PKS). Dimana pola yang transaksi yang dilakukan lebih cenderung ke pola club goods atau definisi umumnya adalah sebagai praktik patronase yang diberikan lebih untuk keuntungan bersama bagi kelompok sosial tertentu ketimbang bagi keuntungan individual. Atau dalam tulisan ini semacam aktivitas atau bantuan kedermawanan sosial. Jika dalam jurnal ini pola patronase yang di jelaskan cenderung bagaimana partrai politik menjadi sang patron baru dan dalam klientalisme baru merubah ciri khas patron dari biasanya. Yang menjadi perhatian penulis adalah pada karakter klien yang lebih bebas rasional dan transaksional dalam menjalin relasi dengan sang patron yang hal tersebut merupakan ciri dari klientalisme baru, dan jika sang klien tidak memberikan loyalitas atau timbal balik apapun kepada sang patron makan tidak ada beban ataupun sanksi dari patron tersebut.

(9)

9

Maka, dalam rencana tulisan penulis akan mengambil sudut pandang yang berbeda yaitu dimana seorang Walikota dua periode yang akan mencalonkan diri kembali mengandalkan patronasenya untuk meraih suara dari para klien yang di bentuk oleh klientalisme yang dalam tulisan ini adalah para aparat birokrasi Kota Kendari. Nantinya juga dalam tulisan ini akan melihat bagimana politisi tersebut menggunakan patronasenya selama periode politiknya baik untuk kepentingan pribadi ataupun untuk menstabilkan pemerintahan yang sedang berjalan.

Dalam tulisan Rendy, melalui tesisnya tentang “Dilema Birokrasi Dalam Pemilukada”

(Studi tentang Interaksi Politik Antara Birokrasi dan Politisi Dalam Kontestasi Pemilukada Bangka Tengah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2010).4 Penelitian ini hendak

melacak bagaimana interaksi politik yang berlangsung antara politisi dan birokrat menjelang Pilkada langsung Bangka Tengah tahun 2010. Selanjutnya, penelitian ini juga bertujuan untuk melakukan rangkaian analisis terhadap kontestasi antara politisi dan birokrasi dalam

Pemilukada.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dan teknik dalam pengumpulan data yaitu melalui komunikasi langsung atau wawancara secara mendalam (deph interview), kemudian data tersebut dianalisa dengan langkah-langkah: mereduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini berhasil memperlihatkan bahwa dalam Pemilukada Bangka Tengah ternyata birokrasinya plural sehingga terfragmentasi dalam beberapa blok dukungan. Dalam penelitiannya, Rendy melihat bahwasanya interaksi yang dilakukan oleh bupati Petahana selama ini ternyata tidak mampu untuk membangun birokrasi di bawahnya untuk menjadi mesin politik utama untuk memobilisasi dukungan massa.

Celakanya, interaksi yang dilakukan justru berdampak buruk bagi eksistensi birokrasi

4 Rendy, Dilema Birokrasi Dalam Pemilukada (Studi tentang Interaksi Politik Antara Birokrasi dan Politisi Dalam Kontestasi Pemilukada Bangka Tengah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2010). Tesis di Depertemen Politik & Pemerintahan tidak diterbitkan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

(10)

10

di kabupaten Bangka Tengah. Munculnya konflik dalam tubuh birokrasi Bangka Tengah tidak ayal meciptakan birokrasinya menjadi terpecah atas beberapa blok atau kelompok politik tertentu. Esensinya adalah bahwa birokrasi bangka tengah ternyata tidaklah pasif, akan tetapi merupakan birokrasi yang aktif berpolitik untuk saling memaksimalkan kepentingannya masing-masing atau bisa dikatakan menganut budaya klientalisme baru yang tidak lagi hirarkis dan mulai lebih “demokratis” dimana klien tidak lagi terlalu bergantung pada patron dan merasa lebih bebas untuk menentuka suara mereka.5

Hasilnya adalah birokrasi dalam tubuh bangka menjadi plural. Faktor internal yang mempengaruhi adalah birokrasi itu sendiri pada realitasnya justru aktif berpolitik. Faktor eksternalnya yaitu pihak politisi itu sendiri juga ingin masuk dan memanfaatkan birokrasi untuk memberikan keberpihakan politiknya kepada politisi Petahana. Hal menariknya sudah tentu sebagai fenomena baru dimana seharusnya sebagai bupati Petahana, beliau akan unggul dalam berbagai ruang kontestasi politik lokal. Namun kenyataanya politisasi yang dilakukan oleh aktor politik tidak selalu berhasil untuk dikonsolidasikan. Beberapa hal mengapa penting menyoal pilkada bangka, pertama birokrasi terfragmentasi dalam pertarungan politik itu sendiri dimana terjadi kontestasi antara politisis dengan para birokrat senior. Kedua, proses politik yang berlangsung dari interaksi politik antara politisi dan birokrat senior dalam proses pemenangan pilkada menjadi pristiwa aktual yang menjadi perhatian banyak pihak.6 Tulisan rendy ini mempunyai kesamaan dengan tulisan penulis yaitu berbicara mengenai hubungan antara politisi dan birokrasi dalam pemilukada tapi fokus rendy dan tulisan penulis terdapat perbedaan yaitu penulis ingin mengetahui bagaimana pola patronase kaitannya dengan relasi antara politisi dan birokrasi di Kota Kendari.

Dirk Tomsa dan Ufen dalam bukunya berjudul “Party Politics in Southeast Asia :

5 John Hopkin “Clientelism and Party Politics” dalam Hasrul Hanif, “Politik klientalisme baru dan dilema demokratisasi di Indonesia”. loc. cit

6 Rendy, “Dilema Birokrasi Dalam Pemilukada (Studi tentang Interaksi Politik Antara Birokrasi dan Politisi Dalam Kontestasi Pemilukada Bangka Tengah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2010)”. op. cit.

(11)

11

Clientelism and Electoral Competition in Indonesia, Thailand and The Philippines”. Tomsa

dan Ufen melakukan riset mengenai partai politik di Asia Tenggara khususnya di Indonesia, Filipina dan Tailand. Dari penulisannya disimpulkan bahwa partai politik di Asia Tenggara selalu melakukan praktik klientelisme sebagai cara menghubungkan kandidat dengan pemilih. Tomsa dan Ufen telah memberikan pengertian yang jelas mengenai klientelisme dan perbedaannya dengan patronase. Namun Tomsan dan Ufen juga mengatakan bahwa meskipun klientelisme dan patronase adalah dua hal yang berbeda, patronase bisa jadi strategi yang tepat untuk memperkuat ikatan klientilistik yang sudah ada. Kelemahan dari tulisan ini adalah adanya penyempitan aktor dari klientelisme yang seolah-olah hanya untuk menjelaskan aktivitas partai politik.7

Konsep yang sedikit berbeda diutarakan oleh Edward Aspinall dalam tulisannya berjudul

“Money Politics: Patronage and Clientelism in South East Asia”. Tulisan ini menyebutkan

bahwa patronase dan klientelisme adalah dua hal yang saling melengkapi. Jika Klientelisme berbicara mengenai jaringan antara patron dan klien, maka patronase berbicara tentang aspek materialnya. Dikatakan bahwa patronase dan klientelisme dalah gambaran dari kehidupan politik di Asia Tenggara yang lebih banyak berbentuk fusi antara patronase dan klientelisme. Namun lagi-lagi Aspinall lebih banyak melakukan pengamatan terhadap aktivitas partai politik. Sehingga penggunaan konsepsi klientelisme untuk melihat aktivitas partai politik menjadi semakin ramai.8

Wolfgang Muno, dalam artikel ilmiahnya berjudul ”Conceptualizing and Measuring

Clientelism”. Muno berupaya untuk merumuskan karateristik dan ciriciri dasar dari

klientelisme. Dari artikel ini dapat dilihat bahwa kientilisme adalah fenomena yang unik dan memiliki ciri khusus yang membedakan dengan fenomena lain yang sering didekatkan, yaitu

7Dyah Laily Fardisa, Membongkar Jaringan Politik Dalam Tubuh Bisnis (Studi Tentang Bekerjanya Broker dalam Jaringan Klientelisme di CV. Karya Mina Putra Pada Pilkada Kabupaten Rembang Tahun 2010). Skripsi di Departemen Politik & Pemerintahan, tidak dipublikasikan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

(12)

12 patronase.

Tulisan lain terkait klientelisme. Misalnya saja Edward Aspinall dengan tulisannya berjudul “When Brokers Betray : Clientelism, Social Networks and Electoral Politics in

Indonesia”. Tulisan ini lebih melihat tentang sepak terjang broker dalam jaringan klientilistik.

Bagaimana pola perilakunya, dan bagaimana bahayanya ketika broker melakukan penghianatan. Ada pula James A. Robinson dengan tulisannya berjudul “the Political Economy

of Clientelism”. Robinson sedikit memiliki penekanan yang berbeda terhadap klientelisme

karena lebih melihat motif ekonomi yang bekerja dalam jaringan klientelistik.9

Dari beberapa literatur yang disebutkan di atas, dapat dilihat adanya berbagai permasalahan. Pertama, sebagian besar ahli menggunakan konsep klientelisme untuk melihat aktivitas partai politik. Sehingga seolah-olah hanya aktivitas dari partai politik saja yang dapat dibaca dengan konsep klientelisme. Kedua, konsep klientelisme masih bertabrakan dengan patronase. Hal ini disebabkan oleh belum adanya kesepakatan mengenai batasan antara keduanya. Beberapa ahli memilih untuk menyamakan antara klientelisme dan patronase, ada pula yang mengatakan bahwa patronase dan klientelisme adalah saling melengkapi dan dapat terjadi bersamaan, namun ada pula yang melihat bahwa klientelisme dan patronase adalah hal yang berbeda dan tidak memiliki titik temu.10

Dari bebrerapa literatur yang penulis jadikan tolak ukur atau sebagai acuan bisa dikatakan semua sama-sama membahas mengenai bagaimana patronase dan klientalisme itu bekerja dan bagaiamana hubungan antara politisi dan birokrasi didalamnya. Meskipun kebanyakan ahli atau kajian menggunakankan konsep klientalisme untuk melihat aktivitas partai politik, yang seakan-akan hanya aktfitas dari partai tersebut saja yang kemudian dapat dikaji dengan konsep klientalisme.

9 ibid 10 ibid

(13)

13

Kemudian, penulis juga nanti akan berusaha menjelaskan tentang dua konsep yang kebanyakan ahli menyamakan keduanya yaitu, patronase dan klientalisme dan bagaimana keterkaitannya satu sama lain. Jadi, bisa dikatakan studi yang akan penulis lakukan menganai patronase dan klientalisme hubungan politisi dan birokrasi ternyata belum banyak dilakukan dan bisa memenuhi syarat akan kebaruan suatu penelitian.

1.5. KERANGKA TEORI 1.5.1. PATRONASE

Patronase adalah sebuah pembagian keuntungan di antara politisi untuk mendistribusikan sesuatu secara individual kepada pemilih, para pekerja atau pegiat kampanye, dalam rangka mendapatkan dukungan politik dari mereka.11 Dengan demikian, patronase merupakan pemberian uang tunai, barang, jasa, dan keuntungan ekonomi lainnya (seperti pekerjaan atau kontrak proyek) yang didistribusikan oleh politisi, termasuk keuntungan yang ditujukan untuk individu (misalnya, amplop berisi uang tunai) dan kepada kelompok/komunitas (misalnya, lapangan sepak bola baru untuk para pemuda di sebuah kampung). Patronase juga bisa berupa uang tunai atau barang yang didistribusikan kepada pemilih yang berasal dari dana pribadi (misalnya, dalam pembelian suara) atau dana-dana publik (misalnya, proyek-proyek pork barrel yang di biayai oleh pemerintah). Meskipun demikian, ada perbedaan antara patronase dengan materi-materi yang bersifat programatik (programatic goods), yaitu materi yang diterima oleh seorang yang menjadi target dari program-program pemerintah, misalnya, program kartu pelayanan kesehatan yang menawarkan perawatran gratis untuk penduduk miskin.12

Perbedaan antara patronase dan klientelisme juga dapat ditilik dari karakteristiknya masing-masing. Karakteristik yang memberikan ciri spesifik dari patronase adalah relasi patron-klien yang bersifat personal, informal, sukarela, resiprokal, tidak setara, dan bersifat dua

11 Martin Shefter, “Patronage and it’s opponents”dalam Edward Aspinall & Mada Sukmajati. (eds). op. cit. hlm 3. 12 Ibid, hlm 4.

(14)

14

arah.13 Sedangkan karakteristik utama dari klientelisme menurut adalah bersifat timbal-balik, hierarkis, dan berulang (tidak terjadi sekali saja). Ada juga keterangan bahwa relasi dua arah (dalam patronase) bisa saja berubah menjadi tiga arah jika si patron berubah menjadi Perantara yang menjembatani klien mereka dengan komunitas di luarnya, inilah yang kemudian di sebut sebagai klientelisme.14 Itulah mengapa banyak studi yang kemudian memberikan judgement bahwa salah satu ciri utama lainnya dari kelientelisme adalah adanya sosok Perantara.15

Namun, tidak setiap praktek patronase juga bersifat klientelistik. Kandidat yang memberikan sumber daya baik berupa barang maupun jasa kepada pemilih yang tidak pernah ditemui oleh sang kandidat atau tidak akan ditemui lagi tidak dapat dipahami sebagai klientelisme. Sebab, karakter lain yang melekat pada relasi klientelistik adalah adanya relasi berulang (iterative) dan bukan relasi tunggal (one-off). Dengan demikian, dalam sebuah relasi, elemen timbal balik kadang tidak terjadi karena si penerima pemberian tidak merasa terbebani untuk membalas pemberian sang patron dengan cara si penerima memilih sang paron dalam pemilu.16 Oleh sebab itu, bagi kajian tersebut, relasi pertukaran sumber daya yang saling menguntungkan dapat menjadi relasi patronase, namun tidak semua relasi patronase memiliki karakter relasi klientelistik.

Argumentasi ini menjadi menarik di tengah perdebatan teoritik antara gagasan yang menyamakan antara patronase dan klientelisme dengan para sarjana yang membedakan konsep keduanya.17 Namun, disini penulis tetap pada definisi dimana patronase dan klientalisme adalah dua hal yang berbeda, disatu sisi penerapannya berbeda namun di sisi yang lain patronase dan klientalisme bisa bergandengan dalam penerapannya dan bisa saling

13 S. N. Eisenstadt & Louis Roniger, “Patrons, Clients and Friends” dalam Mulyadi Sumarto. Perlindungan Sosial dan Klientalisme, Makna Politik Bantuan tunai dalam Pemilihan Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2014. 14 Dirk Tomsa & Andreas Ufen, “Party Politics in Southeast Asia” dalam Aris Supriyadi. Perilaku Pemilih Masyarakat Pesisir Dalam Konteks Patronase. Skripsi di Departemen politik & Pemerintahan, tidak diterbitkan, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

15 Javier Auyero, “Poor People’s politics” dalam Aris Supriyadi, ibid.

16 Mada Sukmajati & Edward Aspinall. (Eds), “Politik uang di Indonesia, Patronase dan Klientalisme pada pemilu legislatif 2014. ” Op. cit., hlm. 5.

(15)

15 menguatkan.

1.5.1.1. VARIASI BENTUK PATRONASE • Pembelian Suara (Vote Buying)

Pembelian suara dimaknai sebagai distribusi pembayaran uang tunai/barang dari kandidat kepada pemilih secara sistematis beberapa hari menjelang pemilu yang disertai dengan harapan yang implisit bahwa para penerima akan membalasnya dengan memberikan suaranya bagi si pemberi.18 Di Indonesia, banyak istilah digunakan dalam praktik-praktik pembelian suara semacam ini. Salah satunya adalah istilah ‘serangan fajar’ sebuah istilah yang diambil dari sejarah revolusi Indonesia yang pada dasarnya digunakan untuk merefleksikan fakta bahwa pembayaran kadang dilakukan pada waktu subuh di hari pemungutan suara (meski dalam kenyataanya praktik ini lebih sering dilakukan sejak beberapa hari menjelang hari pemelihan).19

Pembelian suara diartikan sebagai pertukaran antara barang (kesejahtraan, perlindungan) untuk mendapatkan suara pemilih.20 Selain menggunakan barang- barang, pertukaran ini juga dapat menggunakan uang tunai atau pelayanan sosial.21 Konsep pembelian suara dapat dilihat dalam dua tingkatan, yaitu pembelian suara secara grosir (wholesale vote buying) dan pembelian suara secara eceran (retail vote buying).22 Dalam pembelian suara secara grosir, politisi menjanjikan kepada pemilih bahwa nanti akan dilakukan distribusi kesejahtraan untuk mendapatkan suara pemilih.23

Konsep pembelian suara memiliki beberapa karakter, yaitu pertama, materi yang diberikan oleh politisi untuk ditukar dengan suara pemilih dibagikan beberapa hari atau beberapa jam menjelang pemilihan umum, bukan setelah pemilihan umum. Kedua, target penerima materi yang dipertukarkan untuk memperoleh suara pemilih adalah individu atau rumah tangga, bukan kelompok atau komunitas. Ketiga, materi yang dipergunakan untuk membeli suara merupakan

18 ibid, hlm. 24. 19 ibid

20 Susan Stokes, “Brokers, Voters, and Clientalism” dalam Mulyadi Sumarto, op. cit., hlm. 30. 21 Callahan et al, “Clientalism” dalam Mulyadi Sumarto, ibid.

22 ibid 23 ibid

(16)

16

barang privat (private goods) atau barang publik yang di-“personalisasi” (personalised public

goods). Keempat, kriteria yang digunakan oleh “pembeli” suara untuk memilih “penjual” suara

adalah “apakah anda akan memilih saya?”24

• Proyek-Proyek Gentong Babi (Pork Barrel Projects)

Dalam literatur Ilmu Politik, 'gentong babi' adalah salah satu bentuk dari politik distributif , dimana politisi (baik lembaga legislatif maupun eksekutif) berusaha untuk mengalokasikan sumber daya material dari negara kepada pendukungnya dalam kerangka mobilisasi dukungan elektoral. Para politisi berusaha mewujudkan program yang konkret kepada konstituennya dalam rangka terpilih kembali di pemilu berikutnya. Dari sisi yang lain, konstituen berusaha mendapatkan program material dari negara untuk memenuhi kebutuhan mereka. Praktik ini sebenarnya berlangsung di banyak negara, termasuk negara-negara yang demokrasinya sudah mapan.25

Pork barrel juga sering disebut sebagai politik distribusi (distributive politics)

dapat di definisikan sebagai suatu bentuk penyaluran bantuan materi (sering dalam bentuk kontrak, hibah, atau proyek pekerjaan umum) ke kabupaten/kota dari pejabat terpilih.26 Secara umum, dapat dikatakan bahwa pork barrel berasosiasi dengan proyek-proyek pekerjaan publik seperti proyek pebaikan jalan, perbaikan fasilitas di sekitar sungai, dan perbaikan pelabuhan. Proyek-proyek perbaikan fasilitas publik tersebut sering dijadikan contoh klasik pork barrel yang disitir dalam banyak literatur kajian politik pork barrel. Hal ini bukan berarti bahwa pork barrel hanya mencakup proyek-proyek fisik berupa perbaikan fasilitas publik, tetapi pork barrel juga dapat mengambil bentuk distribusi kesejahtraan.27

Proyek-proyek pork barrel bertujuan untuk meningkatkan peluang politisi agar dapat

24 ibid

25 Susan Stokes,“Brokers, Voters, and Clientalism” dalam Mada Sukmajati. Politik Gentong Babi. (Online). (http://fisipol.ugm.ac.id/news/politik-gentong- babi/id/, diakses 18 oktober 2016).

26 Susan Stokes, “Brokers, Voters, and Clientalism” dalam Mulyadi Sumarto, op. cit. 27 ibid

(17)

17

memenangkan pemilu dan untuk membangun koalisi politik antara partai penguasa dan partai politik yang berada dalam jangkauan jaringan klientalisisnya.28 Secara umum, sebagaimana digambarkan dalam tabel 1.1 Berikut, target penerima proyek

pork barrel adalah kabupaten. Anggaran pembanggunan proyek pork barrel dibiayai

menggunakan dana yang berasal dari pajak umum yang dipungut oleh pemerintah. Penting untuk di garisbawahi bahwa dalam konsep pork barrel, pembanggunan proyek fasilitas fisik dan/atau distribusi kesejahtraan dilakukan setelah pemilu dilaksanakan. Para politisi memilih para penjual suara sebagai penerima proyek pork

barrel atau distribusi kesejahtraan dengan suatu formula pertanyaan “apakah anda

tinggal di kabupaten saya”.29

Tabel 1.1 Perbedaan antara pembelian suara dan pork barrel Strategi politik Cakupan

sasaran program Waktu distribusi Produk yang dipertukarkan Kriteria memilih penerima Pembelian suara Individu/rumah

tangga

Sebelum pemilu Barang privat/barang publik yang dipersonalisasi Apakah anda akan memilih saya?

Pork barrel Kabupaten/Kota Setelah pemilu Program

pemerintah

Apakah anda tinggal di kabupaten saya? Sumber: Stokes, S, C, Dunning, T, Nazareno, M, Brusco, V 2012, Brokers, Voters and Clientelism, Yale Univesity dan Universidad Nacional de Cordoba, Inggris.

• Patronase Pekerjaan

Kebaikan material patronase mencakup berbagi hal. Sampai akhir 1950-an, paket makaroni masih dibagi-bagi dalam kampanye pemilu italia untuk “membujuk” penerima.30 Namun, sebagian besar sumber daya material patronase agak lebih halus.31 Uang publik digunakan secara langsung dalam berbagai cara: hibah, bansos, subsidi, kontrak pemerintah, pembebasan pajak, dan kredit yang disponsori. Namun, sumber daya patronase yang paling

28 ibid 29 ibid

30 Alan Zuckerman dalam Richard S. Katz dan William Crotty. Handbook Partai Politik, terjemahan Ahmad Asnawi. Bandung: Nusa Media, 2014.

(18)

18

penting mungkin pekerjaan di sektor publik. Dua bentuk “Patronase pekerjaan” bisa dibedakan: patronase layanan dan patronase kekuasaan.32 Patronase layanan mengacu pada pekerjaan atau promosi sebagai imbalan atas loyalitas klien di luar pekerjaanya. Patronase kekuasaan mengacu pada alokasi jabatan penting. 33

1.5.2. KLIENTALISME

Secara harfiah istilah klientelisme berasal dari kata “cluere” yang artinya adalah “mendengarkan atau mematuhi”. Kata ini muncul pada era Romawi kuno yang menggambarkan relasi antara “clientela” dan “patronus”. “Clientela” pada era ini adalah istilah untuk menyebut kelompok orang yang mewakilkan suaranya kepada kelompok lain yang disebut “patronus”, yang merupakan sekelompok aristokrat. Selanjutnya, disebutkan bahwa “clientela” merupakan pengikut setia dari “patronus”.34

Konsep klientalisme sering ditempatkan dalam posisi yang memiliki arti berbeda dengan patronase (patronage). Konsep patronase didefinisikan sebagai relasi dua arah ketika seorang yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan pada orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih rendah (klien) yang memberikan dukungan dan bantuan kepada patron.35 Terdapat beberapa karakter yang memberikan ciri spesifik patronase. Karakteristik tersebut mencakup relasi patron-klien yang bersifat personal, informal, sukarela, resiprokal, tidak setara dan bersifat dua arah. Relasi dua arah dapat berubah menjadi relasi tiga arah apabila di dalam suatu komunitas, patron juga berfungsi sebagai Perantara untuk menjembatani relasi klien mereka dengan pihak-pihak lain di luar komunitas mereka.

32 ibid. 33 ibid

34 Wolfgang Muno, “Conceptualizing and Measuring Clientelism”, Neopatrimonialism in Various World Regions”dalam Dyah Laily Fardisa, Membongkar Jaringan Politik Dalam Tubuh Bisnis (Studi Tentang Bekerjanya Broker dalam Jaringan Klientelisme di CV. Karya Mina Putra Pada Pilkada Kabupaten Rembang Tahun 2010). Skripsi di Departemen Politik & Pemerintahan, tidak dipublikasikan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

(19)

19

Klientelisme adalah jaringan antara orang-orang yang memiliki ikatan sosial, ekonomi dan politik yang didalamnya mengandung elemen iterasi, status inequality dan resiprokal.36 Kemudian, klientelisme juga adalah relasi kuasa antara patron dan klien yang bersifat personalistik, resiprositas, hierarkis dan iterasi. Maka dapat dipastikan bahwa klientelisme berbicara tentang jaringan atau relasi. Jaringan tersebut mengandung relasi kuasa yang tidak setara dimana patron memiliki kuasa penuh terhadap jaringan tersebut. Dalam kajian politik, klientelisme diartikan sebagai jaringan yang dikuasai patron untuk mengintervensi kliennya.37 Dari pendapat ahli ini dapat diketahui bahwa klientelisme memiliki beberapa elemen kunci. Tiga elemen klientelisme yaitu iterasi, asimetri, dan resiprositas.38 Selain itu, menurut ahli lain empat komponen klientelisme yaitu personalistik, resiprositas, hirarki dan iterasi.39 Namun dari dua ahli tersebut, setidaknya dapat ditarik benang merah bahwa klientelisme memiliki empat elemen karakteristik: iterasi, asimetris, resiprositas dan personalistik.

Iterasi. Iterasi artinya terdapat interaksi yang terjadi secara berulangulang. Atau dengan kata lain, interaksi antara patron dan klien tidak hanya berlangsung selama satu kali. Proses ini biasanya melibatkan interaksi dalam ikatan sosial yang relatif stabil dan dalam waktu tertentu.40 Dalam proses ini, patron berusaha untuk mendapatkan informasi sebanyakbanyaknya mengenai apa yang dibutuhkan oleh klien. Sehingga patron dapat memberikan penawaran yang efektif untuk ditukar dengan dukungan dari klien. Karena dalam klientelisme, kegagalan patron untuk merumuskan distribusi keuntungan akan mengakibatkan lepasnya klien dari jaringan klientilistik. Maka dari itu, klientelisme tidak dapat ditemukan dalam sistem politik yang

36 Dirk Tomsa dan Andreas Ufen (eds), “Party Politics in Southeast Asia : Clientelism and Electoral Competition in Indonesia, Thailand and The Philippines” dalam Dyah Laily Fardisa, ibid. hlm 10.

37 Edward Aspinall, “Money Politics : Patronage and Clientelism in Southeast Asia” dalam Dyah Laily Fardisa, ibid. hlm 11. 38Dirk Tomsa dan Ufen (eds), “Party Politics in Southeast Asia : Clientelism and Electoral Competition in Indonesia, Thailand and The Philippines” dalam Dyah Laily Fardisa, op. Cit.

39Edward Aspinall, “Money Politics : Patronage and Clientelism in Southeast Asia” dalam Aris Supriyadi, op. cit.

40Dirk Tomsa dan Andreas Ufen (eds), “Party Politics in Southeast Asia : Clientelism and Electoral Competition in Indonesia, Thailand and The Philippines” dalam Dyah Laily Fardisa, op. cit. hlm 11.

(20)

20

otoriter total atau model-model hubungan perbudakan dan pertuanan.41

Status yang tidak setara atau asimetris. Patron adalah seseorang yang memiliki status lebih tinggi, sedangkan klien adalah orang dengan status yang lebih rendah. Status ini dilihat dari kemampuannya dalam mengontrol sumberdaya penting seperti informasi, kekuasaan, uang, barang publik, dan lain sebagainya.42 Karena patron menguasai begitu banyak sumberdaya penting, maka patron memiliki superioritas tersendiri terhadap klien. Patron lebih memiliki keleluasaan dalam menentukan bagaimana berjalannya ikatan klientilistik dengan klien. Maka dari itu, orang miskin dan termarginalkan biasanya lebih dijadikan sasaran oleh klientelisme.43

Resiprositas. Meskipun status antara patron dan klien tidak setara, namun pada prinsipnya keduabelah pihak akan mendapatkan keuntungan dari ikatan klientilistik yang terjalin. Klien akan mendapatkan sumberdaya yang selama ini sulit diakses dan patron akan mendapatkan dukungan dan suara dari klien. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa keuntungan yang diterima oleh patron jauh lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang didapatkan oleh klien44 Dan patron akan terus menjaga agar klien tidak dapat menjangkau sendiri sumberdaya yang selama ini ia kontrol, sehingga seberapapun keuntungan yang didapatkan oleh klien, kebergantungannya terhadap patron akan terus ada.

Personalistik. Artinya, klientelisme selalu terjadi dalam relasi personal dimana patron dan klien memiliki hubungan tertentu. Misalnya hubungan bisnis, hubungan pertemanan, hubungan politik dan lain sebagainya. Sehingga patron dan klien akan saling tahu satu sama lain. Ini akan mengakibatkan adanya endurance atau ketahanan dari aktivitas klientelistik dalam waktu yang lama.45

Klientelisme seringkali didekatkan dengan patronase. Hal ini terjadi karena memang

41Hasrul Hanif, “Politik klientalisme baru dan dilema demokratisasi di Indonesia”. op. cit, hlm 331.

42Wolfgang Muno, “Conceptualizing and Measuring Clientelism”, Neopatrimonialism in Various World Regions” dalam Dyah Laily Fardisa, op. cit, hlm 12.

43ibid.

44Dirk Tomsa dan Andreas Ufen (eds), “Party Politics in Southeast Asia : Clientelism and Electoral Competition in Indonesia, Thailand and The Philippines” dalam Dyah Laily Fardisa, ibid.

45Wolfgang Muno, “Conceptualizing and Measuring Clientelism”, Neopatrimonialism in Various World Regions” dalam Dyah Laily Fardisa, ibid, hlm 12.

(21)

21

pada praktiknya, batas antara klientelisme dan patronase sangat kabur. Keduanya berangkat dari gejala yang sama, yaitu adanya relasi yang tidak setara dan adanya pertukaran yang saling menguntungkan antara patron dan klien. Tapi sesungguhnya, klientelisme tidak sepenuhnya sama dengan patronase. Patronase merujuk pada materi atau keuntungan lain yang didistribusikan oleh politisi kepada pemilih atau pendukung. Sebaliknya, klientalisme merujuk pada karakter relasi antara politisi dan pemilih atau pendukung. Penjelasan tersebut menjadi pembeda antara konsep patronase dan klientalisme. 46

1.5.3. PERANTARA DALAM KLIENTALISME

Hubungan antara patron klien pastinya tidak dapat dipisahkan dari pembentukan suatu kelompok khusus. Kelompok tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu Patron-klien cluster, dan patron-klien pyramid. Patronklien cluster terbentuk ketika hubungan antara patron-klien merupakan hubungan antau ikatan langsung dari klien pada patron. Berikut merupakan gambar dari patron-klien cluster:

Gambar 1.1: Patron-klien cluster

Sumber: James Scott. 1972. “Patron-Client Politics and Plitical Change in Souteast Asia. American Political

Sience Review, vol 66 No. 1 Pp. 91-113.

Gambar diatas menunjukan hubungan patron-klien dalam pola kluster. Gambar diatas menunjukan bahwa hubungan antara patron dan klien terjadi secara langsung atau merupakan suatu hubungan yang langsung. Yaitu semua klien berhubungan langsung dengan sang patron tanpa perantara. Sejalan dengan yang dilakukan politisi pada aparat birokrasi di Kota Kendari, pola patron-klien cluster ini hanya terjadi antara politisi dan jajaran birokrasi tingkat kepala dinas saja. Sementara patron-klien pyramid terbentuk jika terdapat banyak kluster namun tetap

(22)

22

fokus pada satu orang patron. Berikut gambar dari patron-klien pyramid: Gambar 1.2. Patron-klien pyramid

Sumber: James Scott. 1972. “Patron-Client Politics and Plitical Change in Souteast Asia. American Political Sience

Review, vol 66 No. 1 Pp. 91-113.

Gambar diatas menunjukan bahwa dalam hubungan patron-klien pyramid maka tidak seluruh klien memiliki hubungan secara langsung dengan patron. Gambar diatas menunjukan bahwa terdapat jaringan di antara klien dan dalam hal ini patron menjalin hubungan dengan beberapa jaringan klien tersebut yang biasa disebut Perantara.

Perantara hadir sebagai mediator antara patron dan klien. Perantara bertugas untuk menghimpun informasi yang dibutuhkan oleh patron sebanyak-banyaknya. Jika patron diasumsikan sebagai perumus kepentingan yang ingin dicapai, maka Perantara adalah teknisi yang menjalankan strategi untuk mencapai tujuan tersebut.45 Perantara disebut memiliki kemampuan untuk menyampaikan, memonitor dan bahkan mendesak kepatuhan pemilih. Sehingga peran Perantara sangatlah penting dalam jaringan klientelisme. Perantara tidak hanya sebagai penerjemah dari keinginan patron ke dalam strategi tertentu. Namun Perantara juga menjadi agen pemantau aktivitas klien agar bertindak sesuai dengan kemauan patron. Perantara memiliki peran ganda dalam jaringan klientilistik. Perantara berperan sebagai klien bagi patron, dan di saat yang bersamaan ia menjadi patron bagi klien. Dalam kondisi semacam ini, relasi personalistik yang merupakan salah satu prasyarat dari klientelisme tetap akan terjadi antara

(23)

23

patron dan Perantara di satu sisi, dan antara Perantara dan klien di sisi yang lain.47

Meskipun Perantara dapat berperan sebagai patron, namun ia tetap berbeda dengan patron yang sesungguhnya. Perantara tidak menguasai sumberdaya yang dimiliki oleh patron. Perantara hanya mendapatkan sumberdaya yang diberikan oleh patron, dan mendistribusikan sebagiannya kepada klien. Ketika Perantara menerima sumberdaya dari patron, maka saat inilah ia berperan sebagai klien. Ketika Perantara mendistribusikan sebagian dari sumberdaya yang ia dapatkan kepada klien, saat inilah ia menjadi patron.48 Sehingga dapat disimpulkan bahwa Perantara memiliki 4 fungsi yang harus dijalankan, yaitu fungsi mediator, monitoring, distributor dan konseptor. Meidator artinya menjembatani antara patron dan klien. Monitoring artinya mengawasi gerak-gerik klien. Distributor artinya mendistribusikan sumber daya yang diberikan patron kepada klien. Terakhit konseptor artinya merancang strategi untuk memenangkan patron.

Dalam perkembangannya, struktur Perantara bisa jadi berlapis-lapis. Dalam jaringan klientelisme sangat memungkinkan adanya beberapa lapis Perantara. Perantara yang paling dekat dengan klien disebut sebagai Perantara pertama. Sedangkan Perantara yang membawahi Perantara, disebut sebagai Perantara kedua. Begitu pula seterusnya. Untuk Perantara yang paling dekat dengan klien, oleh disebut sebagai Perantara akar rumput. Patron kemudian akan menempati ujung dari jaringan klientilistik, dimana ia menguasai seluruh sumberdaya yang didistribusikan ke bawah.49

47

Edward Aspinall, “When Brokers Betray : Clientelism, Social Networks and Electoral Politics in Indonesia” dalam Dyah Laily Fardisa. op. cit, hlm. 17.

48 ibid

(24)

24

Gambar 1.3: Pola Perantara yang Kompleks

Sumber: Dyah Laily Fardisa, Membongkar Jaringan Politik Dalam Tubuh Bisnis (Studi Tentang Bekerjanya Broker dalam Jaringan Klientelisme di CV. Karya Mina Putra Pada Pilkada Kabupaten Rembang Tahun 2010).

Berpijak pada peran Perantara yang sangat sentral dalam klientelisme, tentu patron tidak begitu saja membidik seseorang untuk dijadikan Perantara. Tentu ada pertimbangan tertentu dari patron untuk menempatkan seseorang sebagai Perantara. Terkait hal ini, kita bisa meminjam konsep piramida Perantara sebagai berikut :

Gambar 1.4. Piramida Perantara

Sumber: Dyah Laily Fardisa, Membongkar Jaringan Politik Dalam Tubuh Bisnis (Studi Tentang Bekerjanya Broker dalam Jaringan Klientelisme di CV. Karya Mina Putra Pada Pilkada Kabupaten Rembang Tahun 2010).

Piramida di atas menjelaskan bahwa jaringan klientelisme bersifat hierarkis dimana semakin ke atas, jaringan Perantara semakin ramping namun semakin memiliki modal atau sumberdaya yang penting. Bagian teratas adalah Perantara pertama yang dimainkan oleh pihak-pihak yang biasanya memiliki kendali lebih terhadap sumberdaya material seperti uang,

(25)

25

jabatan, atau kekuasaan. Pihak ini kemudian mempercayakan kepada lapisan berikutnya, Perantara kedua, untuk merangkai strategi untuk mewujudkan misi patron. Kemudian strategi ini diturunkan kepada lapisan Perantara terbawah yang dan berhubungan langsung dengan klien. Lapisan terbawah ini biasanya adalah orang-orang yang memiliki kedekatan emosional atau kultural terhadap klien. Dan tugasnya adalah untuk membujuk para tetangga dan kenalan mereka untuk memilih sang kandidat.50

Konsep Perantara yang juga dikenal dengan konsep middleman51 dan “mediator”52 diperkenalkan oleh eric wolf. Dalam hal ini, konsep Perantara diartikan sebagai orang yang menjembatani relasi antara anggota komunitas yang kurang memiliki akses untuk berkomunikasi dengan pihak yang berada di luar komunitasnya dan mereka yang berada di luar komunitas yang memiliki jaringan yang luas.53

Perantara memiliki peranan yang penting dalam upaya membangun struktur jaringan klientalisme dalam skala besar. Relasi patron-klien mampu membangun suatu jaringan hierarkis yang berbentuk piramida (Lihat Gambar 1 dan 2).54 Dalam jaringan piramida itu, seorang patron duduk dalam posisi puncak struktur yang didukung oleh kliennya. Dalam struktur piramida berskala yang besar dan cukup kompleks, relasi antara patron dan klien dijembatani oleh Perantara yang pada satu sisi berperan sebagai patron bagi kliennya dan berfungsi sebagai klien bagi patronnya. Struktur hierarkis patron-klien ini berdiri kuat karena klientalisme mampu memberi perekat relasi patron dan kliennya yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk pemberian perlindungan dan distribusi kesejahtraan. Melalui struktur jaringan piramida yang kokoh ini, jaringan klientalistis mampu mendistribusikan kekuasaan dan kesejahtraan sehingga klientalisme dapat diterima di masyarakat yang belum demokratis.55

50 ibid

51James Scott, “Patron-Client Politics and Plitical Change in Souteast Asia” dalam Mulyadi Sumarto, op. cit. 52 ibid

53 ibid 54 ibid 55 ibid

(26)

26

1.6. DEFINISI KONSEPTUAL DAN OPERASIONAL 1.6.1. DEFINISI KONSEPTUAL

• Patronase adalah sebuah pembagian keuntungan di antara politisi untuk mendistribusikan sesuatu secara individual kepada pemilih, para pekerja atau pegiat kampanye, dalam rangka mendapatkan dukungan politik dari mereka. • Klientelisme merupakan jaringan yang digunakan oleh patron untuk

memobilisasi dukungan kliennya dan di dalamnya termuat prinsip asimetris, iterasi, personalistik dan resiprokal.

• Perantara diartikan sebagai orang yang menjembatani relasi antara anggota komunitas yang kurang memiliki akses untuk berkomunikasi dengan pihak yang berada di luar komunitasnya dan mereka yang berada di luar komunitas yang memiliki jaringan yang luas.

• Pork Barrel Projects adalah proyek-proyek pemerintah yang ditujukan untuk wilayah geografis tertentu dengan harapan publik akan memberikan dukungan politik kepada kandidat tertentu

• Vote Buying dimaknai sebagai distribusi pembayaran uang tunai/barang dari kandidat kepada pemilih secara sistematis beberapa hari menjelang pemilu yang disertai dengan harapan yang implisit bahwa para penerima akan membalasnya dengan memberikan suaranya bagi si pemberi

• Patronase pekerjaan dimaknai sebagai sumber daya patronase yang mungkin paling penting di sektor publik. Dua bentuk “Patronase pekerjaan” bisa dibedakan: patronase layanan dan patronase kekuasaan. Patronase layanan mengacu pada pekerjaan atau promosi sebagai imbalan atas loyalitas klien di luar pekerjaanya. Patronase kekuasaan mengacu pada alokasi jabatan penting.

(27)

27 1.6.2. DEFINISI OPERASIONAL

• Patronase, relasi yang terjalin yakni antara patron dan klien, pemberian-pemberian cenderung dalam bentuk materi atau keuntungan ekonomi lainnya, diberikan oleh sosok patron atau klien yang asimetris atau memiliki posisi tidak setara, bersifat dua arah dan didistribusikan dalam rangka meraih dukungan politik.

• Klientalisme, cenderung ke mekeanisme jaringan dalam menjalin sebuah relasi, identik dengan hadirnya sosok perantara dalam berelasi, relasi yang terjadi berulang-ulang, status yang tidak setara, resiprositas atau saling menguntugkan dan bersifat tiga arah atau lebih dalam mebentuk sebuah jaringan.

• Perantara, terbentuk dari adanya gejala jaringan klientalisme, berasal dari aktor-aktor yang menjalankan relasi patron-klien, bekerja dalam perintah dan kepentingan sang patron, tidak tunggal, dan memiliki fingsi sebagai mediator, monitoring, distributor dan konspetor.

• Vote Buying, cenderung dalam bentuk tunai, dialokasikan kepada masyarakat dalam hal ini pemilih untuk pemenangan calon tertentu, biasa didistribusikan menjelang hari pemilihan dan biasa juga didistribusikan jauh-jauh hari sebelum hari pencoblosan.

• Pork Barrel, berasal dan didistribusikan oleh pemerintah (eksekutif atau legislatif), ditujukan kepada publik, didanai dengan dana publik, bentuknya cenderung kepada proyek/program dalam bentuk fisik dan didistribusikan setelah pemilu.

• Patronase pekerjaan, jabatan-jabatan strategis menjadi objek yang dipertukarkan antara patron dan klien, ditujukan kepada sosok klien yang telah loyal kepada sang patron (balas jasa), dan alokasi jabatan tersebut ditentukan oleh sang patron.

(28)

28 1.7.METODE PENELITIAN

1.7.1. JENIS PENELITIAN

Agar memenuhi standar karya ilmiah penulisan penulis menggunakan beberapa tahapan metode. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan dengan metode kualitatif. Penggunaan metode kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena sosial yang mendalam yang tersembunyi di bawah permuaan antara peneliti dan fenomena yang diteliti. Dengan kekhasan metode ini diharapkan dapat membongkar tabir dan menangkap sesuatu dari pola relasi antara politisi dan birokrat di Kota Kendari, sehingga makna dari fenomena tersebut dapat dipahami dengan lebih mudah dan sederhana.56

Selanjutnya, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Study Kasus atau case study. Model atau pendekatan ini memfokuskan pada satu kasus atau lebih dalam fenomena sosial. Dengan metode diatas penulis akan memberikan pemaparan yang jelas mengenai hubungan atau relasi yang terjadi di lapangan antara calon Petahana tersebut dan para aparatur birokrasi di Kota Kendari demi tercapainya fokus dari tulisan ini.

1.7.2. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan bersumber pada dua jenis data, yaitu data primer dan juga data sekunder. Data primer dari wawancara dan data sekunder dari dokumen-dokumen baik itu media cetak atau elektronik. Selain itu sebelum melakukan penelitian lapangan, penulis terlebih dahulu melakukan

prelimenary research (pengamatan sebelum melakukan penelitian) sebagai

perbandingan atau sebagai pengetahuan dasar dalam memetakan persoalan di lapangan.Berikut langkah-langkah yang akan dilakukan dalam rangka pengumpulan

56

Denzin dan Lincoln dalam Herdiansyah, H. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika, hlm 7-9.

(29)

29 data dari penelitian ini:

a. Dokumentasi

Penggunaan teknik dokumentasi dimaksudkan untuk mempelajari dokumen, peraturan, surat keputusan, laporan dan dokumen lain yang dirasa diperlukan menyangkut penelitian penulis.

Dokumentasi yang berupa data sekunder ini diperoleh dari beberapa sumber data, yaitu: 1. Publikasi resmi dan dokumen tertulis, berupa:

• Beberapa dokumen APBD dari bagian keuangan Kota kendari

• Beberapa dokumen dari instansi di lingkup pemerintahan Kota kendari • Daftar pegawai negeri sipil Eselon I, II, III dan IV Kota Kendari. 2. Komisi Pemelihan Umum Kota Kendari

• Daftar calon Walikota dan Wakil Walikota dalam Pilkada Tahun 2012. • Rekapitulasi perolehan suara dalam Pilkada Tahun 2012.

3. Lain-lain

• Harian media cetak dan elektronik • Hasil audit BPK

• Hasil laporan BPS

b. Wawancara mendalam (indepth interview).

Penulis memilih menggunakan teknik wawancara agar bisa menggali berbagai sumber informasi mengenai relasi antara politisi dan birokrat di Kota Kendari. Teknik ini juga penulsi dapat mengkonfirmasi berbagai fenomena atau isu-isu yang menyangkut politisi dan birokrat di Kota Kendari. Dengan menggunakan teknik ini penulis berusaha memperoleh kedekatan secara emosional kepada informan agar bisa mendapatkan informasi yang diinginkan. Berikut beberapa informan ataupun responden yang menjadi target wawancara dari penelitian ini, yaitu:

(30)

30

1. Kepala badan kepegawaian daerah Kota Kendari (BKD) yang merupakan tangan kanan dan orang keprcayaan sang politisi yang merupakan Perantara utama yang menjadi tangan kanan patron juga menjadi tim pemenangan yang bertanggung jawab untuk memobilisasi birokrasi di Kota Kendari saat pilwali. Bisa dikatakan sosok ini yang menjadi aktor paling berpengaruh dalam menjalankan hubungan patron-klien sang politisi.

2. Para kepala dinas atau kepala badan yang dimana mereka merupakan orang-orang yang bisa dikatakan sangat dekat dengan politisi dan mempunyai akses langsung ke politisi. 3. Kalangan camat, lurah, dan sekretaris dinas yang posisi dalam penelitian ini adalah sebagai klien dengan tujuan agar lebih mengetahui bagaimana pola patron-klien yang dilakukan oleh sang politisi dalam mencapai tujuannya.

4. Kalangan birokrasi di lingkup pemerintahan Kota Kendari yang sekiranya berkompeten dalam memberikan informasi terkait masalah ini. Terutama para barisan sakit hati yang di asingkan oleh sang politisi.

5. Para akademisi lokal dan pengamat politik setempat yang sekirannya dapat memberikan keterangan yang lebih bervariasi untuk membantu analisis penulis nantinya.

6. Serta informan lainnya yang sekiranya paham betul konteks penelitian ini seperti para wartawan atau para timses sang politisi saat pilwali berlangsung seperti masyarakat kota kendari.

1.7.3. METODE ANALISIS DATA

Teknik analisa data yang penulis gunakan adalah teknik yang sesuai dengan penelitian kualitatif. Inti dari proses analisis data meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

(31)

31 a. Reduksi data

Dalam analisis data penelitian kualitatif, diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung terus-menerus selama proyek yang berorientasi penelitian kualitatif berlangsung. Dalam hal ini, data yang peneliti peroleh dari tindakan-tindakan para aktor, keterangan dan pengetahuan para aktor mengenai relasi politisi dan birokrasi baik saat ini maupun jauh sebelum saat ini.

b. Penyajian Data

Penyajian merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dengan melihat penyajian-penyajian kita akan dapat memahami apa yuang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan – lebih jauh menganalisis ataukah mengambil tindakan berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari penyajian-penyajian tersebut. Sehingga dalam penelitian ini, data-data yang akan ditampilkan merupakan hasil analisis yang mengacu pada konsep-konsep kunci teori mengenai patron-klien.

c. Menarik Kesimpulan/Verifikasi

Verifikasi diperlukan agar ada cros-check diantara data primer dan sekunder, sehingga mampu menemukan jawaban yang bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Penarikan kesimpulan hanyalah sebagian dari suatu kegiatan konfigurasi yang utuh. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung. Kesimpulan yang dibangun berusaha menjelaskan bagaimana pola relasi politisi dan borakrasi yang di dalamnya terkandung unsur-unsur patron-klien.

(32)

32 1.8. SISTEMATIKA PENULISAN BAB

BAB I terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, pendekatan teoritik, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab I bertujuan untuk memberi penjelasan tentang fokus penelitian ini dan juga di dalamnya juga memberikan alasan mengapa penelitian ini layak untuk ditulis.

BAB II menjelaskan setting sosial masyarakat Kota Kendari dan bagaimana hadirnya patronase dan klientalisme di lingkup birkrasi Kota Kendari, secara khusus akan memaparkan bagaimana terbentuknya sosok patron, Perantara dan klien. Bab ini menjadi penting sebagai landasan awal untuk mengetahui terbentuknya para aktor-aktor dalam penelitian ini sebelum masuk ke dalam penjelasan yang lebih dalam.

BAB III menjelaskan bentuk-bentuk patronase dan klientalisme yang terjadi antara politisi dan birokrasi. Secara khusus bab ini akan menjelaskan lebih dalam bagaimana relasi-relasi yang terbentuk dan berjalan antara politisi, birokrasi, Perantara hingga ke tingkat masyarakat. Dalam bab ini akan dijelaskan bentuk-bentuk patronase dan klientalisme yang ditemukan selama penelitian ini berlangsung.

BAB IV adalah bab terakhir yang merupakan refleksi teoritis terkait dengan bagaimana relasi patronase dan kloentalisme antara poltisi dan para birokrasi. Sekaligus kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan penelitian.

Gambar

Tabel 1.1 Perbedaan antara pembelian suara dan pork barrel  Strategi politik  Cakupan
Gambar 1.2. Patron-klien pyramid
Gambar 1.3: Pola Perantara yang Kompleks

Referensi

Dokumen terkait

Korelasi Pearson atau sering disebut Korelasi Product Moment (KPM) merupakan alat uji statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis asosiatif (uji hubungan) dua variabel

Balai Yasa Yogyakarta sebagai instansi yang cukup besar, menyadari arti pentingnya arsip bagi kelangsungan perusahaannya dan sifat arsip dinamis inaktif yang cenderung menggunung

Menurut Krech (dalam Maryana,2006) peningkatan derajat.. harga diri dapat membawa seseorang kepada inisiatif sosial, sedangkan penurunan derajat harga diri dapat

Bab ini membahas analisis sistem yang sedang berjalan pada CV.Orlena, menyajikan data penelitian, dan pengolahan data yang terkumpul dapat digunakan untuk menghitung kebutuhan

Mekanisme PKPU selain dilakukan oleh debitor, juga dapat dilakukan oleh kreditor yang memperkirakan bahwa Debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah

Gerakan Literasi Sekolah merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dan komprehensif dengan melibatkan warga sekolah (siswa, guru, kepala sekolah,

Dari uraian di atas mengenai penampilan gigi-gigi anterior dan kebutuhan perawatan ortodontik, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan kepuasan penampilan

• Penulis Kisah Para Rasul menulis dari sudut pandang orang ketiga, tetapi di dalam kalimat-kalimat ini berubah dengan cepat kepada orang pertama, yang menunjukkan bahwa ia