• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Umum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Umum"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

9

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Umum

2.1.1 Pengertian Lanjut Usia (Lansia)

Berdasarkan pengertian lanjut usia secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya mencapai 65 tahun keatas (Effendi dan Makhfudli, 2009). Menurut organisasi kesehatan dunia, WHO seseorang disebut lanjut usia (elderly) jika berumur 60-74 tahun. Menurut Prof. DR. Ny. Sumiati Ahmad Mohammad, Guru Besar Universitas Gajah Mada Fakultas Kedokteran usia 65 tahun keatas disebut masa lanjut usia. Lanjut usia adalah tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia (Budi,1999). Sedangkan menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No.13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.

Menurut Dra. Ny. Jos Masdani (psikologi dari Universitas Indonesia), lanjut usia merupakan kelanjutan usia dewasa antara usia 65 tahun hingga tutup usia. Menurut Prof. DR. Koesoemanto Setyonegoro, lanjut usia dikelompokkan menjadi tiga yaitu usia 70-75 tahun (young old); usia 75-80 tahun (old); usia lebih dari 80 tahun (very old).

Di Indonesia, pemerintah melalui Undang – Undang RI No. 13 tahun 1998 menyatakan bahwa yang disebut lansia adalah mereka yang telah mencapai usia 60 tahun atau lebih. Kesejahteraan lansia juga diatur dalam Undang – Undang No. 13 tahun 1998, pada pasal 8 yang menerangkan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga bertanggung jawab atas terwujudnya upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia (www.dpr.go.id). Berdasarkan beberapa pendapat menurut ahli dan peraturan yang berhubungan dengan lansia, penulis membuat kategori lansia dari usia 60 tahun ke atas.

2.1.2 Pengertian Lanjut Usia Terlantar

Menurut Dinas Sosial Jogjakarta (2011), yang tergolong lansia terlantar merupakan lansia yang mengalami hambatan dalam menikmati masa tuanya karena faktor-faktor dari keluarga dan lingkungannya. Secara garis besar, lansia terlantar dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:

(2)

1. Terlantar secara ekonomi

Lansia yang kebutuhan-kebutuhannya terhambat karena faktor kemiskinan, tidak memiliki tempat tinggal yang layak, tidak mendapatkan akses memperoleh hiburan, transportasi dan komunikasi yang memungkinkan dia bertemu dengan teman-teman seumurannya.

2. Terlantar secara sosial

Lansia yang kesepian secara psikologis, karena faktor-faktor tertentu seperti ditinggal oleh pasangannya, anaknya, cucunya atau teman-temannya yang sudah meninggal duluan. Ketiadaan aktivitas, kekurangan perhatian, dan faktor lainnya yang menyebabkan lansia terlantar secara sosial.

2.1.3 Kategori Lansia

Berdasarkan tingkat keaktifannya, lansia dibagi menjadi 3 kategori, yaitu go

go’s yang bersifat aktif bergerak tanpa bantuan orang lain, slow go’s yang bersifat

semi aktif, dan no go’s yang memiliki cacat fisik dan sangat tergantung pada orang lain. Cooper dan Francis juga mengelompokkan lansia menjadi 3 bagian berdasarkan usia dengan penjelasan sebagai berikut:

Tabel 5. Pengelompokan Lansia

Sumber: Najjah, Konsep Home pada Panti Sosial Tresna Werdha, 2009

Berdasarkan pembagian kategori lansia, perancangan desain untuk lansia perlu memperhatikan ketiga kategori lansia agar dapat menciptakan ruang yang sesuai dan mewadahi perilaku lansia selaku pengguna.

(3)

2.1.4 Penurunan Kondisi Pada Lansia

Secara normal, seseorang yang berada pada keadaan usia lanjut akan mengalami penurunan berbagai organ atau sistem tubuh, baik dari segi anatomi maupun fungsional (Hurlock, 1996). Beberapa penurunan yang terjadi pada lansia adalah sebagai berikut:

1. Penurunan fisik, meliputi penurunan kemampuan visual, temperatur,

pendengaran, kemampuan indera perasa, penurunan fungsi sistem motorik (otot dan rangka), antara lain berkurangnya 
daya tumbuh dan regenerasi, kemampuan mobilitas dan kontrol fisik, semakin lambatnya gerakan tubuh, dan sering terjadi getaran otot (tremor). Jumlah otot berkurang, ukurannya menciut, volume otot secara keseluruhan menciut dan fungsinya menurun. Terjadi degenerasi di persendian dan tulang menjadi keropos (osteoporosis). Semakin tua usia seseorang, tingkat kecerdasan semakin menurun, memori berkurang, kesulitan berkonsentrasi, lambatnya kemampuan kognitif dan kerja saraf.

2. Penurunan psikologis yang mencakup demensia (suatu gangguan

intelektual/daya ingat yang sering terjadi 
pada orang yang berusia > 65 tahun), depresi, gangguan kecemasan, gangguan tidur.

3. Penurunan sosial dimana masa pensiun menyebabkan sebagian lansia sering

merasa ada sesuatu yang hilang dari hidupnya, seperti perasaan kehilangan status atau kedudukan sosial sebelumnya, baik di dalam masyarakat, tempat kerja atau lingkungan, kehilangan pertemanan baik di lingkungan masyarakat, kehilangan gaya hidup yang biasa dijalaninya, kesepian atau merasa terisolasi dari lingkungan di sekitarnya.

2.1.5 Pengertian Panti Werdha

Pengertian panti werdha menurut Departemen Sosial RI adalah suatu tempat untuk menampung lansia dan jompo terlantar dengan memberikan pelayanan sehingga mereka merasa aman, tentram dengan tiada perasaan gelisah maupun khawatir dalam menghadapi usia tua. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan panti werdha sebagai rumah tempat memelihara dan merawat lansia. Secara umum, Panti werdha mempunyai fungsi sebagai berikut: 1. Pusat pelayanan kesejahteraan lanjut usia (dalam memenuhi kebutuhan pokok

(4)

2. Menyediakan suatu wadah berupa kompleks bangunan dan memberikan kesempatan pula bagi lansia melakukan aktivitas-aktivitas sosial-rekreasi 3. Bertujuan membuat lansia dapat menjalani proses penuaannya dengan sehat

dan mandiri. Sesuai dengan permasalahan lansia, pada umumnya penyelenggaraan panti werdha mempunyai tujuan antara lain:

• Agar terpenuhi kebutuhan hidup lansia.

• Agar dihari tuanya dalam keadaan tentram lahir dan batin. • Dapat menjalani proses penuaannya dengan sehat dan mandiri.

2.1.6 Prinsip-Prinsip Perancangan Panti Werdha

Dalam artikel “Pynos dan Regnier”17 (1994) tertulis tentang 12 macam prinsip yang diterapkan pada lingkungan dalam fasilitas lansia untuk membantu dalam kegiatan-kegiatan lansia. Kedua-belas prinsip ini dikelompokkan dalam aspek fisiologis dan psikologis, yaitu sebagai berikut:

1. Aspek fisiologis

a. Keselamatan dan keamanan,

yaitu penyediaan lingkungan yang memastikan setiap penggunanya tidak mengalami bahaya yang tidak diinginkan. Lansia memiliki permasalahan fisik dan panca indera seperti gangguan penglihatan, kesulitan mengatur keseimbangan, kekuatan kaki berkurang, dan radang persendian yang dapat mengakibatkan lansia lebih mudah jatuh atau cedera. Penurunan kadar kalsium di tulang, seiring dengan proses penuaan, juga dapat meningkatkan resiko lansia mengalami patah tulang. Permasalahan fisik ini menyebabkan tingginya kejadian kecelakaan pada lansia.

b. Signage/orientation/wayfindi

ngs, keberadaan penunjuk arah di lingkungan dapat mengurangi kebingungan

dan memudahkan menemukan fasilitas yang tersedia. Perasaan tersesat merupakan hal yang menakutkan dan membingungkan bagi lansia yang lebih lanjut dapat mengurangi kepercayaan dan penghargaan diri lansia. Lansia yang mengalami kehilangan memori (pikun) lebih mudah mengalami kehilangan arah pada gedung dengan rancangan ruangan-ruangan yang serupa (rancangan yang homogen) dan tidak memiliki petunjuk arah.

c. Aksesibilitas dan fungsi, tata

(5)

fungsional. Aksesibilitas adalah kemudahan untuk memperoleh dan menggunakan sarana, prasarana dan fasilitas bagi lanjut usia untuk memperlancar mobilitas lanjut usia.

d. Adaptabilitas, yaitu

kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Lingkungan harus dirancang sesuai dengan pemakainya, termasuk yang menggunakan kursi roda maupun tongkat penyangga. Kamar mandi dan dapur merupakan ruangan dimana aktivitas banyak dilakukan dan keamanan harus menjadi pertimbangan utama.

2. Aspek psikologis


a. Privasi, yaitu kesempatan bagi

lansia untuk mendapat ruang/tempat mengasingkan diri dari orang lain atau pengamatan orang lain sehingga bebas dari gangguan yang tak dikenal.

Auditory privacy merupakan poin penting yang harus diperhatikan.

b. Interaksi sosial, yaitu

kesempatan untuk melakukan interaksi dan bertukar pikiran dengan lingkungan sekeliling (sosial). Salah satu alasan penting untuk melakukan pengelompokan berdasarkan umur lansia di panti werdha adalah untuk mendorong adanya pertukaran informasi, aktivitas rekreasi, berdiskusi, dan meningkatkan pertemanan. Interaksi sosial mengurangi terjadinya depresi pada lansia dengan memberikan lansia kesempatan untuk berbagi masalah, pengalaman hidup dan kehidupan sehari-hari mereka.

c. Kemandirian, yaitu

kesempatan yang diberikan untuk melakukan aktivitasnya sendiri tanpa atau sedikit bantuan dari tenaga kerja panti werdha. Kemandirian dapat menimbulkan kepuasaan tersendiri pada lansia karena lansia dapat melakukan aktivitas-aktivitas yang dilakukannya sehari-hari tanpa bergantung dengan orang lain.

d. Dorongan/tantangan, yaitu

memberi lingkungan yang merangsang rasa aman tetapi menantang. Lingkungan yang mendorong lansia untuk beraktivitas didapat dari warna, keanekaragaman ruang, pola-pola visual dan kontras.

e. Aspek panca indera,

(6)

diperhitungkan di dalam lingkungan. Indera penciuman, peraba, penglihatan, pendengaran, dan perasaan mengalami kemunduran sejalan dengan bertambah tuanya seseorang. Rangsangan indera menyangkut aroma dari dapur atau taman, warna dan penataan dan tekstur dari beberapa bahan. Rancangan dengan memperhatikan stimulus panca indera dapat digunakan untuk membuat rancangan yang lebih merangsang atau menarik.

f. Ketidak-asingan/keakraban,

lingkungan yang aman dan nyaman secara tidak langsung dapat memberikan perasaan akrab pada lansia terhadap lingkungannya. Tinggal dalam lingkungan rumah yang baru adalah pengalaman yang membingungkan untuk sebagian lansia. Menciptakan keakraban dengan para lansia melalui lingkungan baru dapat mengurangi kebingungan karena perubahan yang ada.

g. Estetik/penampilan, yaitu

suatu rancangan lingkungan yang tampak menarik. Keseluruhan dari penampilan lingkungan mengirimkan suatu pesan simbolik atau persepsi tertentu kepada pengunjung, teman, dan keluarga tentang kehidupan dan kondisi lansia sehari-hari.

h. Personalisasi, yaitu

menciptakan kesempatan untuk menciptakan lingkungan yang pribadi dan menandainya sebagai “milik” seorang individu. Tempat tinggal lansia harus dapat memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengungkapkan ekspresi diri sendiri dan pribadi.

2.2 Tinjauan Khusus

Tinjauan khusus mencakup pembahasan yang lebih dalam mengenai pendekatan yang digunakan untuk penelitian, yakni:

2.2.1 Pengertian Arsitektur Perilaku

Dalam buku Arsitektur dan Perilaku Manusia, dijelaskan bahwa Arsitektur adalah ruang fisik untuk aktivitas manusia yang memungkinkan pergerakan manusia dari satu ruang ke ruang lainnya, yang menciptakan tekanan antara ruang dalam bangunan dan ruang luar. Arsitektur dapat terbentuk karena ada persepsi dan imajinasi manusia sebagai pengguna (Joyce Marcella, 2005:26).

Arsitektur menciptakan suasana, membentuk ruang kegiatan, yang menjadi salah satu fasilitator atau penghalang perilaku. Akan tetapi, arsitektur sendiri tidaklah

(7)

menentukan terbentuknya perilaku. Diperlukan kesadaran bahwa keberhasilan suatu lingkungan memenuhi kebutuhan manusia terletak pada bagaimana lingkungan tersebut mampu mendukung terjadinya lingkungan sosial yang positif. Ada hubungan langsung antara kebutuhan fisik dan kebutuhan sosial.

2.2.2 Model-Model Pemetaan

Arsitektur Perilaku

Dalam arsitektur perilaku terdapat pemetaan perilaku (behavioral mapping) yang berfungsi untuk memetakan perilaku pengguna. Dari beberapa teknik survey yang dipakai dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku, teknik behavioral

mapping dikembangkan oleh Ittelson sejak tahun 1970-an, yang merupakan teknik

yang sangat populer dan banyak dipakai karena relatif mudah dipahami dan memiliki kekuatan utama pada aspek spasialnya. Artinya, dengan teknik ini akan didapatkan sekaligus suatu bentuk informasi mengenai suatu fenomena (terutama perilaku individu dan sekelompok manusia) yang terkait dengan system spasialnya. Dengan kata lain, behavioral mapping secara spesifik dengan perilaku manusia di lingkungannya.

Dikatakan oleh Sommer (1986) bahwa behavioral mapping digambarkan dalam bentuk sketsa atau diagram mengenai suatu area dimana manusia melakukan berbagai kegiatannya. Tujuannya adalah untuk menggambarkan perilaku dalam peta, mengidentifikasikan jenis dan frekuensi perilaku, serta menunjukkan kaitan antara perilaku tersebut dengan wujud perancangan yang spesifik. Pemetaan perilaku dapat dilakukan secara langsung pada saat dan tempat dimana melakukan pengamatan atau dilakukan kemudian berdasarkan catatan-catatan yang dilakukan.

Terdapat dua cara untuk melakukan pemetaan perilaku (Haryadi, 2005:83) yakni:

1. Place-centered mapping

(Pemetaan Berdasarkan Tempat)

Teknik ini digunakan untuk mengetahui bagaimana manusia atau sekelompok manusia memanfaatkan, menggunakan, atau mengakomodasikan perilakunya dalam suatu situasi waktu dan tempat yang tertentu. Dengan kata lain, perhatian dari teknik ini adalah satu tempat yang spesifik baik kecil ataupun besar. Dalam teknik ini, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat sketsa dari tempat atau setting, meliputi seluruh unsur fisik yang

(8)

diperkirakan mempengaruhi perilaku pengguna ruang tersebut. Peneliti dapat menggunakan peta dasar yang telah dibuat sebelumnya. Akan tetapi yang perlu diingat bahwa peneliti harus akrab dengan situasi tempat atau area yang akan diamati. Langkah berikutnya adalah membuat daftar perilaku yang akan diamati serta menentukan simbol atau tanda sketsa atas setiap perilaku. Kemudian, dalam satu kurun waktu tertentu, peneliti mencatat berbagai perilaku yang terjadi dalam tempat tersebut dengan menggambarkan simbol-simbol pada peta dasar yang telah disiapkan.

Gambar 3. Place Centered Map

Sumber: Arsitektur Lingkungan dan Perilaku, 2005

2. Person-centered mapping

(Pemetaan Berdasarkan Individu)

Berbeda dengan teknik place-centered mapping, teknik ini menekankan pada pergerakan manusia pada suatu periode waktu tertentu. Teknik ini akan berkaitan dengan tidak hanya satu tempat atau lokasi, akan tetapi dengan beberapa tempat atau lokasi. Apabila pada place-centered mapping penelitian berhadapan dengan banyak manusia, pada person-centered mapping ini peneliti berhadapan dengan seseorang yang khusus diamati. Tahap pertama yang harus dilakukan dengan teknik ini adalah memilih sampel person atau sekelompok manusia yang akan diamati perilakunya. Tahap berikutnya adalah mengikuti pergerakan dan aktivitas yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang yang kita amati tersebut. Pengamatan ini dapat dilakukan dengan membuat sketsa-sketsa dan catatan-catatan pada suatu peta dasar yang sudah disiapkan. Pengamatan dapat dilakukan secara kontinu atau hanya pada periode-periode tertentu saja, tergantung dari tujuan penelitiannya.

(9)

Gambar 4. Person Centered Map

Sumber: Arsitektur Lingkungan dan Perilaku, 2005

2.3 Studi Literatur Panti Werdha

2.3.1 Panti Werdha Residencias

assistidas

Gambar 5. Facade Residencias assistidas

Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Nama : Residencias Assistidas

Lokasi : Alcácer do Sal (Portugal) Tahun proyek : 2006-2007

Tahun konstruksi : 2008-2010

Client : Santa Casa da Misericordia de Alcácer do Sal Kontraktor : Ramos Catarino, Sal

Arsitektur lanskap : ABAP Luis Alçada Batista Luas Bangunan : 3640 m2

Rancangan panti werdha tersebut berlokasi di Portugal yang dirancang oleh Engitarget dan Ida, dengan luas bangunan sebesar 1560 m2 dan luas tanah sebesar 3640 m2, yang menawarkan fasilitas-fasilitas yang lengkap dan memiliki perencanaan bangunan selayaknya di hotel dan rumah sakit, dimana pengguna mendapatkan pelayanan seperti di hotel dan perawatan yang diperlukan seperti di

(10)

rumah sakit, sehingga pengguna merasa nyaman dan tidak merasa tertekan dengan keadaannya, serta tidak merasa tidak dihargai dengan keterbatasannya.

Gambar 6. Site plan Residencias assistidas

Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Gambar 7. Rooftop Residencias assistidas

Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Bentuk bangunan tidak mengubah kontur tanah dan bangunan yang dirancang menyesuaikan diri dengan kontur tanah yang ada, sehingga ini menjadi daya tarik tersendiri dalam desainnya. Desainnya yang unik pada bagian atap dapat digunakan sebagai jalan tanpa harus melalui tangga sehingga pengguna dapat naik melalui ekor bangunan.

(11)

Gambar 8. Concept Design of Residencias assistidas

Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Desain bangunannya cukup menarik karena tidak seperti bentuk panti werdha umumnya dengan bentuk push and pull. Bagian push menjadi koridor sementara yang pull menjadi bagian-bagian ruang kamar. Manfaat lain dari bentuk push and

pull ini bangunan dapat memanfaatkan udara dan pencahayaan alami bangunan

dengan baik. Adanya bentuk push and pull ini sendiri didasari oleh konsep bentuk papan catur.

Gambar 9. Interior of Residencias assistidas

Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Warna putih terlihat dominan pada facade dan kontras dengan lingkungan sekitar. Massa bangunan secara keseluruhan terdiri dari massa-massa yang lebih kecil, yang saling bersambung, dan disusun secara tak beraturan dalam tatanan yang linear. Pencahayaan di dalam ruang mengoptimalisasi cahaya alami melalui konsep

push and pull. Cahaya yang masuk ke dalam bangunan menggunakan cahaya dari skylight. Disamping itu ada juga penerangan buatan yang berupa indirect light, yang

(12)

Gambar 10. Corridor of Residencias assistidas

Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Interior bangunan didominasi dengan warna putih, baik lantai, dinding, dan plafon terlihat agak mengkilap. Elemen bangunan banyak didominasi oleh material beton, aluminium, dan kaca. Meskipun design bangunan didominasi oleh warna putih yang monokrom, tidak lantas membuat suasana lorong menjadi mencekam.

2.3.2 Veronica House Elderly Care

Facility

Gambar 11. Facade Veronica House Elderly Care Facility

Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Nama : Veronica House Elderly Care Facility

Lokasi : Stuttgart, Germany

Tahun proyek : 2010

(13)

Panti Werdha yang berlokasi di Stuttgart, Germany yang didesain oleh Norman Binder dan Andrew Thomas Mayer tersebut merupakan sebuah panti yang berubah fungsi dan di renovasi untuk perencanaan tempat tinggal kaum lansia. Lantai dasarnya terdiri dari cafe umum, ruang rapat, ruang staff. Ruang administrasi berada di lantai atas dan di antara kedua lantai terdapat ruang komunitas dan tempat tinggal untuk lansia dengan 12 tempat tidur di setiap lantainya.

Gambar 12. Communal Area of Veronica House Elderly Care Facility

Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Struktur di dalam disesuaikan dengan bentuk dan aktivitas lansia. Untuk mengimplementasikan desain yang baik, berbagai hal yang berhubungan dengan desain bangunan dipertimbangkan dalam perencanaan. Tempat tinggal mengarah ke utara dan terdapat sebuah dapur yang besar sekaligus merupakan tempat untuk berkumpul dan bersantai. Orientasi dapur mengarah ke selatan dan menghadap taman dan teras.

Gambar 13. Interior of Veronica House Elderly Care Facility

(14)

Gambar 14. Plan of Veronica House Elderly Care Facility

Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

2.3.3 The Hodos Centre for the

Elderly

Gambar 15. Facade The Hodos Centre for the Elderly

Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015 Nama : The Hodos Centre for the Elderly

Lokasi : Hodos, Slovenia

Tahun proyek : 2010

Arsitek : Ravnikar Potokar

Luas Bangunan : 2473m2

Perancangan panti werdha tersebut terletak di Hodos, Slovenia oleh seorang arsitek yang bernama Ravnikar Potokar. Proyek tersebut dibangun pada tahun 2010 dengan areanya seluas 2473m2.

(15)

Gambar 16. Communal Area of The Hodos Centre for the Elderly

Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Lokasinya yang berada di tengah-tengah pusat desa Hodos, dengan bentuk L di desain dengan bentuk modern, dan di cat merah bata.

Gambar 17. Section of The Hodos Centre for the Elderly

Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Bangunan tersebut didesain dengan memperhatikan aspek-aspek perancangan panti werdha dan desain lingkungan yang baik. Penggunaan elemen-elemen bangunan berupa kisi-kisi yang sekaligus facade pada bangunan memaksimalkan cahaya matahari yang masuk ke bangunan. Pada koridor-koridor terbentuk garis komunikasi dan menjadi sebuah tempat bersosialisasi dengan alam.

(16)

Gambar 18. Interior of The Hodos Centre for the Elderly

Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

2.3.4 Armstrong Place Senior

Housing

Gambar 19. Facade Armstrong Place Senior Housing

Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Arsitek : David Baker & Partners

Lokasi : San Fransisco, California, USA

Client : BRIDGE Housing

Kontraktor : Nibbi Brother General Contractors Tahun Proyek : 2011

Luas Area Proyek : 131,800 m2

Pembangunan kompleks untuk lansia ini berada di bekas kawasan industri, dengan campuran perumahan yang inovatif. Konsep townhomes yang diterapkan pada perumahan lansia ini untuk menghindari para lansia terisolasi dengan kehidupan sendiri.

(17)

Gambar 20. View of Armstrong Place Senior Housing

Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Desain yang menarik oleh sang arsitek dengan menempatkan sebuah open

space di tengah-tengah hunian yang besar berupa ruang sosialisasi atau vocal point

bagi penghuni townhome, dimana ruang terbuka tersebut dilengkapi dengan taman, tempat duduk dan jalan setapak dengan landscape menarik dan semua balkon penghuni berorientasi kepada ruang terbuka tersebut dan saling berhadapan sehingga dapat menciptakan kebersamaan antar penghuni.

Gambar 21. Concept Design of Armstrong Place Senior Housing

Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Beberapa ruangan pada hunian di pull dan pada bagian yang di pull menggunakan material yang contrast sehingga bentuk bangunan tidak monoton dan lebih menarik secara estetik. Pedestrian didesain dengan 2 tipe yang berbeda, ada yang tegak lurus dan ada yang berbelok-belok yang tujuannya agar lansia selaku pengguna yang berjalan di sekitar tapak tidak merasa bosan dan dapat menikmatinya.

(18)

Gambar 22. Section of Armstrong Place Senior Housing

Sumber: http://www.archdaily.com/ diakses tanggal 11 Februari 2015

Dari 124 townhomes, 64 unit merupakan unit dengan 3 dan 4 kamar tidur supaya mereka dapat hidup secara berkeluarga. Beberapa elemen dirancang untuk kebutuhan akses kursi roda, seperti lebar tangga, lift dan pedestrian dengan memperhatikan standar desain panti werdha yang baik dan benar.

Berdasarkan keempat studi literatur diatas, dapat dilihat perbandingan dalam tabel dibawah ini:

Tabel 6. Perbandingan Studi Literatur

Sumber: Dokumen Pribadi

Dari perbandingan-perbandingan dan penjelasan di atas, mempertegas teori-teori sebelumnya bahwa:

1. Vegetasi merupakan salah satu faktor penting dalam merancang desain untuk panti werdha

2. Lokasi perancangan perlu memperhatikan kaitannya dengan kondisi lingkungan sekitar, dengan letak yang strategis dan memenuhi standar desain panti werdha yang baik dan benar

3. Perlu adanya vocal point atau ruang terbuka yang di desain semenarik mungkin yang menjadi ruang komunal bagi penghuni

4. Perlu desain ruang yang dapat mewadahi aktivitas lansia secara bersamaan sehingga mereka juga dapat saling berinteraksi satu sama lain

5. Dengan menyediakan ramp bagi pengguna untuk menuju ke atap bangunan merupakan suatu desain yang menarik, namun tidak efektif karena diperlukan lahan yang sangat besar dan perlu memperhatikan aspek-aspek yang mencakup kenyamanan dan keamanan bagi lansia sebagai penghuni

(19)

6. Konsep push and pull terdapat pada beberapa desain panti werdha dan dapat menjadi bagian desain yang menarik dan berfungsi untuk mendapatkan udara dan pencahayaan alami dengan lebih efisien.

2.4 Alur Kerangka Berpikir

FEEDBACK

Gambar 23. Alur Kerangka Berpikir

Sumber: Dokumen Pribadi PEMILIHAN TOPIK

Environmentally Sustainable, Healthy and Livable Human Settlement

PEMILIHAN TEMA Pendekatan Arsitektur Perilaku

LATAR BELAKANG 1. Jumlah lansia yang terus meningkat 2. Kehidupan aktivitas Jakarta yang padat

3. Kurang sarana yang baik dan memenuhi standar

RUMUSAN MASALAH 1. Kebutuhan ruang dan perhatian pada aktivitas lansia

2. Wujud perencanaan lingkungan pada panti werdha yang menunjang kebutuhan dan aktivitas lansia

TUJUAN PENELITIAN LANDASAN TEORI UMUM • Lansia • Panti Werdha • KHUSUS Arsitektur Perilaku KESIMPULAN PENELITIAN SKEMATIK DESAIN ANALISA DAN BAHASAN Analisa aspek bangunan, lingkungan, dan manusia khususnya terkait dengan perilaku

METODE PENELITIAN Kualitatif

Gambar

Tabel  5. Pengelompokan Lansia
Gambar 3. Place Centered Map  Sumber: Arsitektur Lingkungan dan Perilaku, 2005
Gambar 4. Person Centered Map  Sumber: Arsitektur Lingkungan dan Perilaku, 2005
Gambar 6. Site plan Residencias assistidas
+7

Referensi

Dokumen terkait

'4. /indakan keperawatan yang dapat dilakukan untuk masalah personal hygiene yang kurang pada klien D& meliputi*. a. &emotong kuku klien sampai pendek   b.

alam melakukan pembangunan perumahan "ormal di 3ndonesia, Perum Perumnas selaku penyelenggara proyek pembangunan mempunyai prosedur atau tahapan dalam mewu!udkan kawasan

“Jika terdapat bukti objektif bahwa kerugian penurunan nilai telah terjadi atas pinjaman yang diberikan dan piutang atau investasi dimiliki hingga jatuh tempo

Sepuluh Dunia yaitu, Neraka, Kelaparan, Kebinatangan, Kemarahan, Manusia, Surga, Sravaka, Pratekyabuddha, Boddhisatva, Buddha, namun, sepuluh hal itu merupakan

Dalam konsep cetak biru layanan teknologi informasi dan komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda ini, diusulkan suatu rancangan struktur organisasi

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya Dokumen Pemutakhiran Strategi Sanitasi Kota Tebing Tinggi (SSK) tahun 2016-2020 ini selesai

Karakteristik Biofisik Habitat Pebeluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) dan Interaksinya dengan Populasi Penyu Hijau yang Bertelur di Pantai Pangumbahan,

Sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Sekretariat Dewan