• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. adanya tradisi-tradisi yang telah dijalankan dari masa ke masa yang bersifat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. adanya tradisi-tradisi yang telah dijalankan dari masa ke masa yang bersifat"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konflik dengan agenda adat yang terjadi di Bali banyak dipicu adanya ketidaksepakatan mengenai tata cara pelaksanaan keadatan dan hubungan sosial masyarakat dengan potensi konflik yang tinggi. Konflik antar desa adat maupun antar kelompok masyarakat dalam desa adat di Bali seringkali berupa perebutan aset desa yang memiliki nilai ekonomis, permasalahan tapal batas baik itu secara administratif maupun secara adat, pemekaran desa, dan konflik yang disebabkan adanya tradisi-tradisi yang telah dijalankan dari masa ke masa yang bersifat mengikat. Desa adat di Bali merupakan paguyuban hidup yang memiliki wilayah tertentu dengan kehidupan didalamnya diatur secara bersama-sama melalui batasan-batasan yang didasarkan atas ajaran agama Hindu dan memiliki berbagai jenis tanah ulayat serta objek batasnya.

Konflik beraroma adat di Bali salah satunya disebabkan belum jelasnya batas antar desa adat yang disebabkan adanya tumpang tindih antara wilayah desa adat dengan desa dinas sehingga memunculkan masalah kepemilikan wilayah adat antar desa adat. Pada masa yang lampau, batas desa tidak banyak menjadi perhatian masyarakat desa adat atau desa pakraman karena tanah-tanah di sekitar batas desa belum memiliki nilai ekonomis dan hanya dimanfaatkan sebagai lahan lahan pertanian dan bahkan banyak berupa lahan dengan berbagai macam vegetasi yang disebut bengang atau pangkung. Perubahan wilayah karena berkembangnya

(2)

2 perekonomian menyebabkan adanya perluasan wilayah tempat tinggal maupun ruang-ruang aktivitas publik. Perubahan ini mengakibatkan batas-batas wilayah antar desa pakraman menjadi semakin kabur. Pada beberapa desa, benih-benih konflik masih dapat diredam sehingga tidak sampai muncul ke permukaan. Namun pada kasus tertentu, konflik kepemilikan wilayah desa pakraman justru sudah berkembang ke permukaan yang memunculkan konflik terbuka dan bahkan berujung pada terjadinya konflik kekerasan. Salah satu kasus mengenai sengketa kepemilikan wilayah adat antar desa pakraman yang menyita perhatian publik Bali adalah konflik antara Desa Pakraman Kemoning dengan Desa Pakraman Budaga yang berada di Kabupaten Klungkung. Dua desa pakraman yang terletak bersebelahan ini terlibat konflik dengan agenda sengketa kepemilikan Pura Dalem dan kuburan atau di Bali dikenal dengan istilah Setra. Dua desa pakraman ini terlibat konflik yang cukup panjang dan terakumulasi sehingga konflik menjadi terbuka. Masyarakat dua desa pakraman ini terlibat bentrokan dengan pengerahan masa dua desa yang memicu konflik kekerasan terjadi pada 2011.

Perihal menggunakan Pura Dalem dan Setra di Bali secara bersama-sama tidak saja terjadi di dua desa pakraman ini. Menggunakan fasilitas publik adat ini juga dipraktikkan desa pakraman lainnya di Bali seperti Desa Pakraman Kerobokan yang berada di Kabupaten Badung dan Desa Pakraman Padang Sambian berada di Kota Denpasar. Kedua desa pakraman ini pernah terlibat konflik terkait penggunaan Pura Dalem dan Setra, namun hal tersebut dapat terselesaikan dengan damai dan kedua desa ini sepakat membagi tanah kuburan tersebut agar dapat digunakan secara bersama-sama dan membangun Pura Prajapati masing-masing namun tetap

(3)

3 menggunakan satu Pura Dalem bersama. Tetapi, hal yang berbanding terbalik terjadi pada Desa Pakraman Kemoning dan Desa Pakraman Budaga yang justru terlibat saling rebut dan saling klaim kepemilikan. Kejelasan dalam penentuan batas wilayah desa pakraman dan desa dinas serta adanya kesepakatan di antara para pihak mengenai perihal tersebut tentunya akan menjadi poin penting dalam mengelola konflik sehingga dapat menjadi batu pijakan terhadap penyelesaian permasalahan-permasalahan lainnya dalam kehidupan masyarakat desa pakraman yang semakin kompleks.

Bentrokan yang terjadi antara masyarakat dua desa pakraman ini menimbulkan jatuhnya korban jiwa dan puluhan warga mengalami luka-luka serta kerusakan-kerusakan sejumlah fasilitas publik yang tentu saja merugikan semua pihak. Desa Pakraman Kemoning dan Desa Pakraman Budaga dulunya menggunakan Pura Dalem dan Setra secara bersama-sama dalam kegiatan ritual keagamaan sehari-hari maupun hari tertentu semisal upacara kematian atau yang dikenal dengan istilah ngaben di Bali. Selain itu, upacara-upacara besar dalam peringatan keberadaan dan berdirinya Pura Dalem tersebut juga dilakukan bersama-sama. Namun seiring dengan perkembangan waktu dan perubahan-perubahan sosial di masyarakat, terjadilah sengketa kepemilikan Pura Dalem dan Setra dan berujung pada pemasangan tanda wawengkon atau batas wilayah masing-masing sesuai versi dua desa pakraman ini serta berakhir dengan bentrokan.

(4)

4 B. Pertanyaan Penelitian

Penelitian ini mengajukan dua pertanyaan sebagai berikut:

1. Apa akar, dinamika, dan dampak dari sengketa kepemilikan Pura Dalem dan Setra antara Desa Pakraman Kemoning dan Desa Pakraman Budaga?

2. Bagaimana sengketa kepemilikan Pura Dalem dan Setra antara Desa Pakraman Kemoning dan Desa Pakraman Budaga diselesaikan?

C. Kerangka Pemikiran a. Sengketa Wilayah Adat

Pembentukan wilayah desa pakraman bukan merupakan kebijakan dari pemerintah melainkan atas usulan dari warga desa yang bersangkutan yang kemudian disetujui Majelis Desa Pakraman (MDP). Salah satu proses dalam pembentukan wilayah adalah pembuatan batas wilayah (boundary making). Hal ini diperuntukkan guna menetapkan maupun menegaskan batas-batas wilayah yang akan dibentuk. Pembuatan batas wilayah merupakan bagian dari proses yang penting yang memiliki aspek sosial, budaya, politik, hukum, dan teknis pemetaan (Chalid, 2005: 137). Selain itu pembentukan wilayah baru tentu saja akan menambah batas-batas wilayah baru dan apabila tidak dikelola dengan baik maka akan sangat berpotensi terjadinya konflik atau sengketa kepemilikan wilayah. Terlebih lagi di dalam wilayah yang disengketakan tersebut terdapat sumberdaya maupun kebutuhan-kebutuhan yang bersifat vital dan sangat dibutuhkan banyak orang. Problematika kepemilikan wilayah dalam lingkup desa pakraman di Bali menjadi sorotan meskipun selama ini tidak tampak, namun sebagian besar

(5)

5 permasalahan keadatan berasal dari kaburnya penentuan batas desa adat atau pakraman.

Sengketa pada pengertiannya secara umum mengacu pada pengertian konflik yaitu adanya pertentangan, perselisihan, maupun percekcokan. Konflik kemudian berarti perwujudan berbagai pertentangan antara dua belah pihak baik itu berwujud individu maupun kelompok atau golongan. Menurut Coser (1956) konflik sosial dapat diartikan sebagai cara memperjuangkan nilai-nilai dan klaim terhadap kelangkaan status, kekuasaan, dan sumberdaya dengan tujuan dari para pihak adalah menetralisir, menyakiti maupun menyisihkan siapa yang menjadi lawan mereka (Coser, 1956: 8). Konflik juga dimaknai sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki tujuan yang tidak sejalan (Mitchell, 1981: 17). Dalam konteks sistem sosial, hubungan permusuhan antar unit dapat terjadi. Unit-unit yang berkonflik dalam sistem tersebut mungkin bersifat independen satu sama lain dan masing-masing unit mungkin berada dalam entitas yang lebih besar (Kriesberg, 1982: 14). Unit-unit yang berkonflik dalam penelitan ini adalah Desa Pakraman Kemoning dan Desa Pakraman Budaga yang masing-masing bersifat independen dan berada dalam entitas yang lebih besar yakni Kabupaten Klungkung. Keduanya berusaha mengklaim yurisdiksi atas kepemilikan wilayah yang didalamnya terdapat Pura Dalem dan Setra.

Perselisihan merupakan aspek penting dalam konflik sosial, sebagai bagian dari upaya-upaya unit konflik membujuk musuh maupun sekutu potensial mengenai sifat perjuangan tersebut dan sebagai bagian dari upaya-upaya untuk memobilisasi dukungan serta mendapatkan sekutu guna menggerakkan musuh (Kriesberg, 1982:

(6)

6 14). Selain itu, dalam konflik sosial yang terjadi, karakteristik unit-unit yang berkonflik berada pada situasi dan kondisi yang mana unit-unit ini tidak saling sepakat. Konflik sosial terjadi ketika dua belah pihak atau lebih meyakini mereka memiliki tujuan dan keinginan yang berbeda (Kriesberg, 1982: 17). Disamping itu, adanya perbedaan sumberdaya diantara para pihak yang terlibat mempengaruhi alat berkonflik yang digunakan oleh masing-masing pihak. Sumberdaya yang dikontrol oleh salah satu pihak diinginkan oleh pihak lawan karena menjanjikan keuntungan yang besar (Kriesberg, 1982: 141). Konflik berpotensi untuk terjadi karena ada dua belah pihak atau lebih yang memperebutkan nilai, maupun kompetisi di antara para pihak untuk mendapatkan status kekuasaan dan sumberdaya yang langka atau terbatas (Moore, 1986: 16). Nilai tersebut merupakan sesuatu yang berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan menyangkut tentang kepercayaan atau religiusitas, etika, dan moral. Konflik yang berkaitan dengan nilai dapat terjadi apabila para pihak memiliki perbedaan nilai yang berbenturan dan menyebabkan atau memperburuk situasi (Furlong, 2005: 31).

Sementara itu, terdapat lima penyebab konflik menurut Moore (1986) yakni pertama, persoalan mengenai data yang disebabkan sedikitnya informasi yang tersedia, informasi yang tidak tepat, perbedaan cara pandang mengenai data maupun interpretasi data, dan perbedaan dalam menaksirkan prosedur. Kedua, persoalan mengenai kepentingan yang disebabkan adanya kepentingan secara substantif, prosedural, dan psikologis. Ketiga, persoalan mengenai struktur yang disebabkan adanya pola yang merusak dari perilaku maupun interaksi, ketidakmerataan atas kontrol, kepemilikan dan distribusi dari sumberdaya, faktor

(7)

7 geografi, fisik maupun lingkungan yang menghalangi kerjasama. Keempat, persoalan mengenai nilai yang disebabkan adanya perbedaan kriteria dalam mengevaluasi gagasan-gagasan maupun perilaku, tujuan instrinsik yang bernilai ekslusif, dan perbedaan cara hidup ideologi dan agama. Kelima, persoalan mengenai hubungan antar orang perorangan maupun kelompok yang disebabkan kondisi emosional yang kuat, adanya persepsi yang tidak tepat maupun steoreotip, komunikasi yang buruk atau tidak tepat dan adanya perilaku negatif yang terjadi berulang-ulang (Moore, 1986: 27). Beberapa pendekatan yang dijelaskan sebelumnya dapat digunakan dalam menganalisis konflik terutama dalam menganalisis penyebab konflik. Pendekatan tersebut digunakan mencari akar konflik atau sengketa yang terjadi.

Carpenter dan Kennedy (1988) mengatakan konflik atau sengketa bersifat dinamis dan apabila tidak dikelola dapat berkembang menjadi konflik spiral yang terjadi berlarut. Konflik spiral ini berawal dari munculnya permasalahan, terbentuknya faksi-faksi, penguatan posisi masing-masing pihak berkonflik, terhentinya komunikasi para pihak yang terhenti, dedikasi akan sumberdaya, konflik menyebar keluar, munculnya persepsi yang bias, krisis muncul, dan berujung pada hasil yang beragam. Keseluruhan proses tersebut dinamakan spiral konflik karena berkembang seperti bentuk spiral (Carpenter & Kennedy, 1988: 11-15). Konflik juga terbagi menjadi substantive conflict dan affective conflict. Substantive conflict adalah persepsi yang terdapat di antara anggota kelompok dengan terdapatnya sebuah ketidaksepakatan mengenai isu-isu yang menyangkut tujuan, keputusan kunci, prosedur untuk pencapaian tujuan dan ketepatan pilihan

(8)

8 tindakan. Sementara itu, affective conflict adalah persepsi yang terdapat di antara anggota kelompok yang menyebabkan terjadinya benturan antarpribadi yang dikarakteristikkan dengan kemarahan, ketidakpercayaan, ketakutan, rasa frustrasi, dan bentuk-bentuk dari pengaruh negatif lainnya (Pelled, 1996: 620).

Kedua dimensi konflik ini tidaklah berdiri sendiri, substantive conflict dapat menjadi affective conflict dan pada kasus tertentu, ketika anggota kelompok memiliki perasaan yang kuat mengenai sebuah isu, mereka mungkin saja dapat menjadi emosional. Namun, affective conflict tidak memiliki kecenderungan mendorong substantive conflict karena terdapat perbedaan pendapat mengenai isu yang ada. Meskipun aktor-aktor individual dapat mengekspresikan permusuhan dengan menciptakan kritik-kritik yang tidak berguna terhadap isu-isu lainnya, interaksi ini akan menjadi bagian dari upaya menyamarkan affective conflict sebagai substantive conflict (Pelled, 1996: 620). Pada masyarakat sosial terdapat pemilihan struktur sosial yaitu masyarakat yang bersifat consolidated dan intersected. Pada tipe masyarakat consolidated lebih cenderung mengembangkan identitas kelompok yang kuat dan kohesi kelompok lebih mudah diciptakan bahkan lebih kokoh. Dalam tipe masyarakat ini kesadaran konflik cenderung tinggi sehingga bila terjadi konflik dengan kelompok lain maka intensitas berkonfliknya juga memiliki kecenderungan lebih tinggi. Sementara itu, pada tipe masyarakat yang intersected, kesadaran terhadap konflik lebih sulit dikembangkan sehingga intensitas berkonfliknya cenderung rendah (Mas’oed dkk, 2000: 12-13). Pada masyarakat desa pakraman cenderung memiliki tipe masyarakat yang consolidated karena pengaruh agama, suku, ras, dan kelas sosial yang sama sehingga kohesi antar

(9)

9 kelompok masyarakat desa pakraman lebih kuat dan semakin mudah menciptakan kondisi kekerasan.

Ketika terjadi ketidaksesuaian antara harapan mencapai tujuan dan keinginan dengan kemampuan mendapatkannya, kekecewaan muncul sehingga menimbulkan konflik kepentingan dengan intensitas tinggi dan berakhir pada kerusuhan. Pada kasus Desa Pakraman Kemoning dan Desa Pakraman Budaga, harapan mendapatkan status kejelasan wilayah terkait Pura Dalem dan Setra tidak sesuai dengan kemampuan menyelesaikannya, ditambah identitas kelompok adat yang menguat sehingga mudah menyulut api emosional. Konflik maupun sengketa, bukan sesuatu yang tidak dapat diperdamaikan, melainkan ketidaksepahaman dan pertentangan tersebut masih dapat diredakan mencapai kesepakatan guna kepentingan bersama.

b. Penyelesaian Konflik

Penyelesaian konflik diperlukan sebagai bagian dari pengelolaan konflik. Fisher (2001) mengatakan terdapat berbagai pendekatan dalam mengelola konflik yaitu (a) Pencegahan konflik, bertujuan mencegah timbulnya konflik yang keras; (b) Penyelesaian konflik, bertujuan mengakhiri perilaku kekerasan melalui suatu persetujuan damai; (c) Pengelolaan konflik, bertujuan membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak yang terlibat konflik; (d) Resolusi konflik, bertujuan menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan agar hubungan tersebut dapat bertahan lama diantara kelompok-kelompok yang saling bermusuhan; (e) Transformasi konflik, bertujuan mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan

(10)

10 politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif (Fisher dkk, 2001: 7).

Pencegahan konflik merupakan proses yang mengacu pada strategi-strategi menangani konflik laten dengan harapan dapat mencegah situasi konflik meningkat menjadi kekerasan. Di sisi lain, resolusi konflik mengacu pada strategi-strategi yang dilakukan menangani konflik terbuka dengan harapan tidak hanya mencapai sebuah kesepakatan guna mengakhiri kekerasan seperti yang dimaksud pada proses penyelesaian konflik, tetapi juga mencapai suatu resolusi dari berbagai perbedaan sasaran yang menjadi penyebabnya. Selain itu, transformasi konflik merupakan proses yang lebih merujuk pada strategi yang mencakup keseluruhan proses dan tentunya lebih luas serta merupakan strategi yang membutuhkan komitmen yang paling lama. Intervensi yang tepat akan melibatkan strategi penyelesaian dan resolusi karena banyak upaya perdamaian hanya ditujukan semata-mata menyelesaikan konflik karena tingkat kekerasannya serius. Akan tetapi, terdapat pula inisiatif jangka panjang yang melibatkan kelompok masyarakat yang berbeda dalam membicarakan masa depan mereka. Proses ini juga merupakan sebuah transformasi konflik (Fisher dkk, 2001: 8).

Dalam upayanya menyelesaikan konflik ataupun sengketa, para pihak yang bertikai dapat mengusahakan pemecahan masalah secara mandiri berupa negosiasi ataupun berunding. Proses ini dinamakan negosiasi tanpa bantuan pihak ketiga dan terdapat dua metode yaitu: (a) Pertemuan berbagi informasi, merupakan pertemuan para pihak yang dalam kegiatannya berbagi data dan saling memahami persepsi masing-masing mengenai isu, kepentingan, motivasi, dan posisi. Tujuannya adalah

(11)

11 mengurangi konflik yang tidak perlu mengenai fakta-fakta dalam suatu kasus atau insiden dan umumnya pertemuan ini tidak dirancang secara formal menyepakati suatu kesepakatan, melainkan memungkinkan para pihak merasa leluasa dan terbuka dalam membicarakan informasi yang relevan. Pertemuan ini seringkali dapat menjadi langkah pertama sebelum melakukan perundingan atau pemecahan masalah; (b) Negosiasi berbasis kepentingan, adalah proses perundingan yang memungkinkan para pihak mencapai suatu kesepakatan yang dapat mereka terima dan pada umumnya perundingan ini dilakukan wakil-wakil stakeholder yang memiliki otoritas membuat komitmen dan mencapai kesepakatan atas nama kelompok (Panggabean, 2014: 1).

Namun, pada kondisi tertentu para pihak yang bertikai dapat saja tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya secara mandiri. Karena ketidakmampuan menyelesaikan permasalahan sengketa tersebut diperlukanlah pihak ketiga sebagai penengah guna membantu menyelesaikan permasalahan. Pihak ketiga merupakan pihak yang netral atau tidak memihak dalam penyelesaian sengketa dan biasanya bersifat sukarela yang ditunjuk oleh para pihak yang bertikai. Namun dalam kondisi tertentu, pihak ketiga dapat saja menjadi intervener karena keterlibatannya bertujuan merubah karakteristik individu maupun kelompok ataupun mempengaruhi pola-pola hubungan antar individu maupun kelompok. Asumsi dasar dari terlibatnya pihak ketiga sebagai intervener adalah adanya dugaan para pihak yang bertikai tidak mampu mengatasi permasalahan secara mandiri. Intervener tidak ikut menentukan tujuan tetapi menyediakan bantuan bersifat teknis yang dibutuhkan pihak-pihak yang bertikai guna mencapai tujuan sesuai dengan

(12)

12 apa yang diinginkan para pihak yang bertikai tersebut (Laue dan Cormick dalam Bermant, Kelman, dan Warwick (eds.), 1978: 208).

Bentuk-bentuk ketertlibatan pihak ketiga dalam upaya penyelesaian konflik adalah berupa: (a) Mediasi, merupakan proses negosiasi berbasis kepentingan dengan bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga dalam proses ini bertindak sebagai mediator yang memimpin proses mediasi agar para pihak yang bertikai dapat menyetujui jalan keluar yang mereka terima. Keberadaan mediator dapat menciptakan suasana aman sehingga para pihak yang bersengketa dapat berbagi informasi dan menangani masalah mereka serta menyalurkan perasaan. Mediator hanya berwenang memimpin dan mengendalikan proses mediasi, sedangkan kewenangan dalam menentukan hasil mediasi maupun keputusan yang diambil berada ditangan pihak-pihak yang bertikai. Mediator dapat menawarkan rekomendasi tetapi hanya sebatas rekomendasi yang menyangkut proses mediasi; (b) Fasilitasi, merupakan pertemuan besar yang dipimpin fasilitator dengan tugas yang dimilikinya adalah memimpin jalannya pertemuan agar para pihak dapat berbicara dan didengar. Fasilitator aktif memimpin proses tetapi tidak aktif dalam melaksanakan mediasi dan tidak memihak terhadap masalah ataupun topik yang dibicarakan. Fasilitator hanya membantu merancang pertemuan yang bertujuan memecahkan masalah dengan agenda yang telah disepakati pihak-pihak yang bertikai dan memandu proses agar tetap terfokus pada agenda tersebut. Fasilitator juga dapat menawarkan prosedur yang lebih tepat guna mencapai jalan keluar, akan tetapi tidak diperkenankan mempengaruhi substansi keputusan yang akan dicapai (Panggabean, 2014: 1-2).

(13)

13 Kedua proses di atas tersebut merupakan bagian dari penyelesaian sengketa alternatif yang dinamakan negosiasi dengan bantuan pihak ketiga. Selain negosiasi dengan bantuan pihak ketiga, terdapat pula penyelesaian sengketa dengan menempatkan pihak ketiga sebagai pengambil keputusan. Proses tersebut yakni (a) Ajudikasi, merupakan proses pembuatan keputusan yang mengikat yang dilakukan pengadilan, badan pemerintah, atau arbitrator swasta; (b) Arbitrase, adalah pengambilan keputusan diluar pengadilan yang dilakukan arbitrator yang berasal dari kalangan pihak-pihak yang bertikai atau yang mereka tunjuk. Abitrator juga bersifat netral dan keputusan yang diambil berupa keputusan yang mengikat (Panggabean, 2014: 5).

Konflik yang telah ter-eskalasi menjadi konflik terbuka, dapat memunculkan kekerasan di antara para pihak yang bertikai, sehingga diperlukan peran yang signifikan dari aparat penegak hukum seperti Kepolisian. Polisi adalah bagian dari aparat pemerintah yang memiliki peran besar dalam menciptakan suasana aman di masyarakat. Selain melayani masyarakat, polisi juga bertugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Bila timbul konflik di masyarakat, polisi dapat menjadi penengah di antara pihak-pihak yang bertikai (Panggabean 2009: 10). Peranan polisi dalam konflik salah satunya adalah tindakan pemolisian konflik. Tindakan ini meliputi tahapan preemptif, pencegahan, penanggulangan, dan pasca konflik. Tindakan pemolisian tersebut meliputi aspek intelijen, binmas, dalmas, dan reskrim. Sedangkan dalam melakukan tindakan pemolisian, sumberdaya yang dikerahkan mencakup unit, jumlah, dan tingkat serta

(14)

14 jenis tindakan yang meliputi tindakan persuasi, represi, perlindungan terhadap sasaran maupun korban (Panggabean dan Ali-Fauzi, 2014: 19).

Dalam upaya de-eskalasi konflik, terdapat suatu kondisi yang dinamakan hurting stalemate yang dikembangkan William Zartman (1985). Argumen yang mendasarinya adalah pihak yang berlawanan akan lebih tertarik untuk mempertimbangkan sebuah solusi yang dinegosiasikan mengenai permasalahan yang mereka hadapi ketika mereka mengantisipasi periode panjang dari tindakan yang membuat mereka merugi secara terus-menerus dan dengan kemungkinan dalam mencapai tujuan-tujuan yang dirasa minim serta bencana tidak menentu yang secara tiba-tiba memberikan ancaman pada meningkatnya biaya apabila melanjutkan strategi-strategi koersif. Hurting stalemate kemudian berarti sebuah keadaan para pihak yang berlawanan akan mencari sebuah solusi yang dirundingkan atau resolusi dari konflik yang mereka hadapi dengan tidak ada satupun pihak yang dapat membayangkan jalan keluar yang berhasil melalui melanjutkan strategi-strategi yang dipakai saat ini (Mitchell, 1995: 39).

Selain itu, Mitchell (1995) juga mempertegas upaya memulai proses de-eskalasi konflik, dimulai dari para pembuat keputusan itu sendiri dengan adanya fenomena yang mempengaruhi para pemimpin kelompok yang bertikai dalam memikirkan perubahan strategi yang utama. Perubahan strategi tersebut dari strategi mengejar sebuah kemenangan menjadi mencari sebuah penyelesaian yang dirundingkan maupun dimediasi. Ini merupakan sebuah kemungkinan dari kebuntuan yang terus menerus dirasakan dan biaya yang tinggi yang terus berlanjut mempengaruhi mental para pemimpin kelompok dan membawa mereka pada

(15)

15 pemikiran mengenai kemungkinan sebuah tindakan guna meminimalkan kerusakan di masa mendatang.

Penyelesaian terhadap kasus perkara adat, khususnya adat di Bali biasanya tercantum dalam awig-awig desa pakraman yang bersangkutan. Sengketa adat belum tentu dapat diselesaikan intern desa maupun permasalahan yang menyangkut desa pakraman satu dengan desa pakraman lainnya. Dalam konteks keduluan, apabila sengketa atau permasalahan adat tidak dapat diselesaikan prajuru (pengurus) desa, maka penyelesaian sengketa tersebut dapat diserahkan kepada sang rumawos (pihak berwenang). Pihak yang berwenang ini biasanya adalah Raja atau penguasa lainnnya. Namun dalam konteks kekinian, sang rumawos adalah Majelis Desa Pakraman (MDP) yang memiliki kepengurusan berjenjang baik di kabupaten maupun provinsi (Alitan, Madya, dan Utama). MDP merupakan wadah tunggal sekaligus payung satu langit bagi desa pakraman yang ada di seluruh Bali. Berdasarkan Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Nomor: 002/Skep/MDP Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Penyelesaian Wicara. MDP Bali memberikan lima bentuk penyelesaian yakni (a) Bentuk penyelesaian secara kekeluargaan berupa kesepakatan bersama yang dituangkan dalam surat pernyataan yang ditanda tangani para pihak yang bersengketa dan diketahui Ketua MDP sesuai jenjang; (b) Bentuk penyelesaian dengan menggunakan pihak ketiga sebagai perantara, berupa kesepakatan bersama yang dituangkan dalam surat pernyataan yang ditanda-tangani para pihak yang bersengketa, pihak ketiga, dan diketahui Ketua MDP sesuai jenjang; (c) Bentuk penyelesaian dengan menggunakan MDP sebagai pihak ketiga, berupa kesepakatan

(16)

16 bersama yang dituangkan dalam surat pernyataan yang ditanda tangani para pihak yang bersengketa dan Ketua MDP sesuai jenjang; (d) Bentuk penyelesaian dengan cara diserahkan kepada MMDP (Majelis Madya Desa Pakraman) berupa Surat Keputusan Ketua MMDP dan semua anggota Sabha Kerta (kongres) MMDP; (e) Bentuk penyelesaian dengan cara diserahkan kepada MUDP berupa Surat Keputusan MUDP yang ditanda tangani Ketua MUDP dan semua anggota Sabha Kerta (kongres) MUDP.

D. Reviu Literatur

Kajian mengenai konflik ataupun sengketa adat di Bali telah menjadi perhatian dan banyak dilakukan penelitian mengenai persoalan tersebut. Pada bagian ini, penulis merangkum kajian yang pernah dilakukan. Penelitian mengenai konflik adat pernah dilakukan oleh Swadi dengan judul Konflik yang Menyangkut Tanah Adat Setelah Jaman Reformasi (Studi Kasus di Desa Culik, Kec. Abang, Kab. Karangasem, Bali) pada tahun 2002. Penelitian ini menjelaskan konflik yang terjadi antara Desa Adat Culik dengan salah satu warganya bernama I Gede Badung dan kedua pihak berdiri sama kuat mempertahankan haknya. I Gede Badung dengan bukti kepemilikan (sertifikat) atas tanah tersebut dan pihak desa adat menggunakan bukti pemunder (wasiat). Hasil penelitian ini menyebutkan, faktor ekonomi menjadi penyebab konflik, karena di wilayah tersebut merupakan lokasi pariwisata sehingga harga tanah cukup tinggi. Upaya penyelesaian konflik dilakukan melalui proses hukum formal dan juga dibantu oleh pemerintah. Upaya ini ditempuh karena apabila penyelesaian dilakukan oleh aparat desa adat, pihak warga menganggap putusan yang terjadi akan memihak desa adat.

(17)

17 Penelitian kedua dilakukan oleh Priyanto dkk pada tahun 2011 dengan judul Peranan Prajuru Desa Dalam Penyelesaian Sengketa Perebutan Tanah Kuburan (Setra) Studi Kasus di Desa Pakraman Kerobokan dan Desa Pakraman Padang Sambian. Penelitian ini menjelaskan mengenai penyebab terjadinya konflik yaitu adanya perebutan tanah kuburan atau setra yang merupakan harta kekayaan desa pakraman. Perebutan tanah kuburan atau setra antara Desa Pakraman Kerobokan dan Desa Pakraman Padang Sambian telah ada sejak 1999 dan diselesaikan pada 2003. Hasil penelitian ini mengatakan upaya penyelesaian konflik dilakukan dengan negosiasi antara kedua belah pihak dengan mengintensifkan peran dari prajuru adat atau pengurus desa adat. Kesepakatan yang tercapai adalah tetap menggunakan kuburan ini secara bersama-sama dengan ketentuan pembagian penggunaan tanah kuburan. Desa Pakraman Kerobokan menggunakan bagian utara dari tanah kuburan ini sementara Desa Pakraman Padang Sambian mempergunakan tanah bagian selatan. Pihak Desa Pakraman Kerobokan dapat menggunakan Pura Prajapati (Pura yang wajib ada di wilayah kuburan/Setra) yang sudah ada, sedangkan Desa Pakraman Padang Sambian bersedia membangun Pura Prajapati baru dalam waktu kurang dari 40 hari sejak hari kesepatakan.

Penelitian ketiga yang memiliki kemiripan dengan penelitian saat ini adalah penelitian yang dilakukan oleh D. Sures Kumar dengan judul Peran Kepemimpinan Majelis Madya Desa Pakraman Klungkung Dalam Resolusi Konflik Sosial Masyarakat (Studi Kasus Bentrok Antara Warga Kemoning dengan Warga Budaga Semarapura Klungkung Bali) pada tahun 2013. Penelitian ini menjelaskan mengenai konflik yang terjadi dikarenakan adanya perbedaan dalam menyikapi

(18)

18 keberadaan pura dan prosesi upacara di Pura Dalem. Dalam riset tesis ini, Kumar mengkaji peran kepemimpinan dari Majelis Madya Desa Pakraman Klungkung di masyarakat desa adat/pakraman. Upaya penyelesaian yang dilakukan oleh Majelis Madya Desa Pakraman Klungkung dalam mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai dilakukan dengan mediasi dan melakukan musyawarah. Upaya tersebut tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak karena belum maksimalnya peran Majelis Madya Desa Pakraman Klungkung dalam menciptakan keharmonisan diantara warga masyarakat desa pakraman.

Dari ketiga penelitian tersebut, penelitian pertama membahas isu persoalan kepemilikan lahan adat yang kemudian disengketakan karena memiliki nilai ekonomis. Pada penelitian, ini peran dari pemerintah daerah sangat signifikan dalam membantu menyelesaikan permasalahan, tetapi pada tingkatan masyarakat desa justru tidak dapat menyelesaikan secara mandiri karena adanya ketidakpercayaan dari masing-masing pihak. Pada penelitian kedua, pembahasan terletak pada lahan sengketa yang berupa lahan kuburan (setra). Peran pemerintah tidak begitu signifikan karena dapat diselesaikan pada tingkatan warga desa melalui kalkulasi menang-menang dengan solusi yang dimunculkan adalah membagi porsi penggunaan tanah kuburan tersebut. Pada penelitian ketiga, pembahasan terletak pada sengketa kepemilikan Pura Dalem dan Setra. Penyelesaian sengketa lebih terfokus pada peran dari majelis adat pada tingkatan kabupaten. Sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan karena tidak efektifnya peran dari majelis adat tersebut.

Sementara itu, pada penelitian yang penulis lakukan akan berfokus pada pembahasan yang menyangkut soal penyebab konflik dan penyelesaiannya.

(19)

19 Penelitian sebelumnya baik itu penelitian pertama, kedua, maupun ketiga sama-sama belum memaparkan dan membahas soal akar, dinamika maupun dampak dari konflik yang terjadi. Selain itu pembahasan menyangkut penyelesaian konflik yang belum dijelaskan secara mendalam. Persoalan sengketa kepemilikan lahan adat sama-sama merupakan inti bahasan dalam penelitian, baik yang telah dilakukan maupun yang akan penulis lakukan saat ini namun pembahasan mengenai akar, dinamika, dan dampak dari konflik tersebut serta pemaparan mendalam soal penyelesaian konflik dan analisisnya akan menjadi pembeda dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan maksud memahami fenomena mengenai apa yang dialami oleh subyek penelitian seperti misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik serta disajikan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2007:6). Lokasi penelitian ini dilaksanakan adalah di Desa Pakraman Kemoning dan Desa Pakraman Budaga yang terletak di Kabupaten Klungkung, Bali. Sumber data yang penulis gunakan yakni sumber data primer yang di dapat melalui observasi yang dilakukan sebanyak dua kali dengan mengunjungi dan mengamati obyek sengketa yakni Pura Dalem dan Setra, pengamatan terhadap lokasi bentrokan dan kondisi desa tersebut. Selain itu, penulis melakukan wawancara di tiga tempat yakni Desa Pakraman Kemoning, Desa Pakraman Budaga dan Polres Klungkung. Di Desa Pakraman Kemoning dan Desa Pakraman

(20)

20 Budaga, penulis mewawancarai masing-masing mantan Bendesa atau kepala desa adat yang sekaligus merupakan aktor utama dalam konflik tersebut. Selain itu, penulis juga mewawancarai Kabag Ops Intelkam Polres Klungkung yang sekaligus juga menyaksikan konflik tersebut terjadi. Jenis wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara mendalam semi terstruktur yang bertujuan menemukan permasalahan secara lebih terbuka dengan mengajak narasumber memberikan pendapat dan ide-idenya. Penulis juga menggunakan sumber data sekunder yang diperoleh dari buku, jurnal, dokumen, artikel, media massa elektronik, dan data-data yang berasal dari sumber relevan lainnya.

F. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini disajikan dengan sistematika yang terdiri dari lima (5) bab dan tiap bab akan dirinci menjadi beberapa sub-bab. Sistematika penulisan ini dimulai dari Bab I yang memaparkan latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, kerangka pemikiran, reviu literatur, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab II berisi gambaran umum dan sejarah desa pakraman di Bali serta gambaran tentang Desa Pakraman Kemoning dan Desa Pakraman Budaga. Bab III berisi tentang akar, dinamika, dan dampak dari sengketa kepemilikan Pura Dalem dan Setra. Bab IV berisi tentang upaya penyelesaian sengketa kepemilikan Pura Dalem dan Setra. Bab V menyajikan kesimpulan dan saran dari penelitian itu sendiri.

Referensi

Dokumen terkait

Ha : Melapor atas sistem self assessment tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Orang

Hasil riset yang dilakukan oleh peneliti dengan cara wawancara langsung, peneliti mendapatkan data-data yang berhubungan dengan efektivitas pengembalian dana

Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik di banyak jenis tanah, yang penting tidak kekurangan air pada musim kemarau dan tidak tergenang air pada musim hujan

mahasiswa, lulusan atau pemakai lulusan memunculkan fakta bahwa program RKBI memang sangat diperlukan. Proses perkuliahan dinilai sudah baik karena didukung fasilitas yang

Perhitungan Potensi Pajak Restoran oleh Dinas Pendapatn Daerah Penetuan dasar pengenaan, tarif , dan cara perhitungan pajak restoran Kota Bandar Lampung mengacu pada Peraturan

Karakter morfologi akar yang potensial untuk menunjukkan resistensi tanaman terhadap kekurangan air ialah pemanjangan akar ke lapisan tanah yang lebih dalam,

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Aplikasi teknologi biofloc pada budidaya ikan lele dumbo (Clarias gariepinus, Burchell) mampu meningkatkan produksi

engan perkataan lainnya pasar itu adalah keseluruhan permintaan dan penaaran akan sesuatu barang atau jasa. )ehingga kemampuan hidup perusahaan itu bukan