• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 1 No. 1 April 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 1 No. 1 April 2017"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

272

FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN ABORTUS DI RUMAH SAKIT BANGKATAN PTPN II BINJAI TAHUN 2016

MARTHA HUTAPEA

AKADEMI KEBIDANAN KHARISMA HUSADA BINJAI

ABSTRACT

Abortion is the end of a pregnancy before the fetus is able to live outside the womb, before the fetus weighs 500 grams or the equivalent of gestational age less than 20 weeks. This research is descriptive by using primary data taken through survey method with cross sectional approach and the use of questionnaires proposed on acceptor. The data analysis is done descriptively by viewing the presentation of data that has been collected and presented in the frequency distribution table.

Based on research conducted at Hospital Bangkat PTPN 2 Binjai obtained research results about factors - factors that affect the occurrence of abortion based on age, distance pregnancy and occupation. Of 125 pregnant women in 2016 in PTPN Bangkat Hospital 2 cases of abortion amounted to 30.4% and not Abortus 69.4%. The majority of pregnant women who had abortion by age were <20 years of age at 42.1% and 20.8% had no abortion. The majority of abortions based on gestational distance at <2 years were 17.6% and 14.4% were not abortus. The majority of abortions based on employment are pregnant women working as much as 18.4% and 41.6% not abortion. It is therefore desirable to the policymaker to provide counseling on factors and signs of abortion, based on age, gestational distance and occupation.

Keywords: Abortion PENDAHULUAN

Abortus adalah penghentian atau berakhirnya suatu kehamilan pada usia 20 minggu

dan berat janin masih kurang dari 500 gr. Abortus merupakan salah satu masalah kesehatan “Unsafe Abortion“ menimbulkan angka kesakitan dan kematian ibu yang tinggi. Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu Indikator keberhasilan layanan kesehatan disuatu Negara (Sarwono, 2010).

Abortus adalah terhentinya kehamilan (mati) dan dikeluarkannya kehamilan sebelum janin berumur 20 minggu (dihitung dari haid terakhir) atau berat janin kurang dari 500 gram atau panjang janin kurang dari 25 cm (Ansar, 2010). Abortus sangat terkait dengan Angka Kematian Ibu (AKI).

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 15-50% kematian ibu disebabkan oleh

abortus. Didunia angka kematian ibu dan bayi tertinggi adalah di Asia Tenggara, laporan

awal Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menyebutkan angka kematian ibu (AKI) adalah 248/1.00.000 kelahiran hidup. Setiap negara di dunia mempunyai komitmen untuk mencapai 8 sasaran pembangunan milenium yang singkat dengan MGDs (Milenium

Development Goals) untuk dicapai pada tahun 2015 sebagai satu paket tujuan terukur untuk

pembangunan dan pengetasan kemiskinan. Tantangan ini sendiri diambil dari seluruh tindakan dan target yang dijabarkan dalam Deklarasi Milenium yang diadopsi oleh 189 negara termasuk Indonesia dan ditandatangani oleh 147 kepala negara pada saat Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenuim di New York pada bulan September tahun 2000.

Adapun tujuan kelima MDGs yaitu meningkatkan kesehatan ibu yang mempunyai dua target antara lain menurunkan angka kematian ibu sebesar tiga perempatnya antara 1990-2015 yaitu 97 serta mencapai dan menyediakan akses kesehatan reproduksi untuk semua pada tahun 2015. Pada tahun 1990-2010 angka kematian ibu di Indonesia mencapai angka

(2)

273

220 (Word Health Statistic 2012 yang diakses tanggal 12 April 2012). Ini berarti target tersebut sangat sulit tercapai. Word Health Organization (WHO) memperkirakan kesehatan ibu sangat terkait dengan kesehatan reproduksi. Pada siklus hidupnya, wanita mengalami tahap-tahap kehidupan diantaranya dapat hamil dan melahirkan. Beberapa kehamilan terakhir dengan kelahiran tapi tidak jarang yang mengalami abortus.

Dari data tahun 2010 di negara berkembang didapatkan penyebab kematian ibu sebanyak 9% karena abortus dan aborsi, 8% karena sepsis, 18% karena hipertensi, 1% karena emboli, 18% karena penyebab tidak langsung (Malaria, HIV dan penyakit jantung), 35% karena perdarahan dan 11% karena penyebab tidak langsung lain (MDGs report 2010, diakses tanggal 12 April 2013). Perdarahan juga masih menjadi data yang meragukan dimana penyebab perdarahan itu sendiri tidak dicantumkan karena perdarahan sering dikaitkan dengan abortus.

Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO) persentase kemungkinan terjadinya

abortus cukup tinggi. Sekitar 15-40% kejadian abortus diketahui pada saat ibu sudah

dinyatakan positif hamil dan 60-70% kejadian abortus terjadi sebelum usia kehamilan mencapai 12 minggu (Lestari Ningsih, 2010).

Kejadian abortus di Indonesia setiap tahun diperkirakan sebanyak 2,5 juta kasus pada tahun 2010. Jumlah kasus kejadian abortus di Instalasi Rawat Inap RS Bangkatan Binjai pada tahun 2010 sebanyak 412 pasien (300 abortus incompletus dan 112 abortus iminens) dengan jumlah kelahiran hidup 2558 pasien, yang berarti angka kejadian abortus sebesar 1 per 6,2 kelahiran hidup. Pada tahun 2011 jumlah kejadian abortus meningkat 482 pasien (372 abortus incomplete dan 110 abortus iminens) dengan jumlah kelahiran hidup 3797 pasien, sehingga angka kejadian abortus sebesar 1 per 7,87 kelahiran hidup. Pada tahun 2012 didapatkan data ibu yang mengalami abortus sebanyak 641 orang dengan kelahiran hidup 4523. Hal ini berarti data kejadian abortus sebesar 1 per 7,06 kelahiran hidup. Dari data pada ketiga tahun tersebut didapatkan bahwa terjadi peningkatan dari tahun 2010 dibandingkan tahun 2011 dan penurunan dari tahun 2011 dibandingkan tahun 2012 dari tiap tahunnya.

Menurut data yang diperoleh dari RSUD Labuang Baji Makasar, jumlah kasus abortus pada tahun 2012 sebanyak 270 kasus, dengan kasus abortus inkompletus sebanyak 200 kasus. Menurut hasil penelitian Panjaitan di RS Martha Friska Medan tahun 2011 bahwa berdasarkan klasifikasi abortus secara klinis dari 175 penderita abortus, proporsi tertinggi adalah abortus inkompletus, yaitu 105 penderita (57,4%). Uraian-uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian mengenai abortus. Berdasarkan survei yang dilakukan tanggal 04–12 September 2012 pada Bidang Pengolahan Data & Rekam Medik di RSUD Dr.Pingadi Kota Medan diperoleh data abortus sebesar 100 kasus selama tahun 2010 – 2011.

Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan terjadinya abortus, salah satunya adalah terjadinya abortus pada usia ibu hamil yang terlalu muda, karena wanita hamil pada usia yang terlalu muda (<20 tahun) dari segi biologis perkembangan alat-alat reproduksinya belum sepenuhnya optimal. Dari segi fisikis belum matang dalam menghadapi tuntutan beban moril, emosional dan dari segi medis sering mendapat gangguan (Handono, 2010).

Faktor lain yang berhubungan dengan kejadian terjadinya abortus adalah jarak kehamilan karena yang terlalu dekat dapat memberikan indikasi kurang siapnya rahim untuk terjadi implantasi bagi embrio. Persalinan yang rapat akan meningkatkan resiko kesehatan wanita hamil bila ditunjang dengan sosial ekonomi yang buruk. Dengan kehamilan dan menyusui akan menurunkan derajat kesehatan yang akan meningkatkan resiko terjadinya

abortus. (Prasetyo, 2010).

Disamping membutuhkan waktu untuk pulih secara fisik perlu waktu untuk pulih secara emosional. Resiko tinggi pada jarak kehamilan <2 tahun dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana sehingga tidak menimbulkan kehamilan yang tidak direncanakan, sebagian dari resiko tinggi adalah kehamilan yang tidak direncanakan. (Manuaba, 2010).

Faktor yang juga berhubungan dengan kejadian abortus adalah pekerjaan dan setatus gizi pada ibu hamil karena jenis pekerjaan seorang wanita hamil dapat mempengaruhi

(3)

274

kehamilannya baik ibu dan janin yang dikandungnya. pekerjaan ibu yang dilakukan sehari-hari tanpa diimbangi dengan istirahat yang cukup akan mempengaruhi kesehatan pertumbuhan dan perkembangan janin. (Susilawati, 2010).

Frekuensi abortus secara klinis terdeteksi meningkat dari 12% pada wanita berusia <20 tahun menjadi 26% pada wanita berusia 40 Tahun (Cunningham, et all, 2014). Menurut hasil penelitian Sulistianingsih (2015) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya

abortus pada ibu hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Gorontalo Utara mendapat hasil bahwa

mayoritas ibu yang mengalami abortus terjadi pada ibu hamil dengan jarak kehamilan <2 tahun sebanyak 71,8% dan bila ditinjau berdasarkan jumlah anak, kejadian abortus mayoritas terjadi pada ibu dengan jumlah anak >3 sebanyak 81,2%. Penelitian Bina Aquaria (2015) tentang Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Abortus Di Rumah Sakit Bhayangkara Palembang 2014, mayoritas ibu yang bekerja mengalami abortus sebanyak 76,8% sedangkan dengan tidak bekerja mengalami abortus sebanyak orang 57%.

Berdasarkan survey awal yang dilakukan di Rumah Sakit Bangkatan PTPN 2 Binjai pada tanggal 21 Juli 2016 ditemukan kasus abortus pada 01 Januari sampai 21 Juli tahun 2016 sebanyak 16 kasus diantaranya abortus kompletus 4 kasus (25%), abortus Inkomplite 5 kasus (31,25%), abortus Imminens 3 kasus (18,75%), abortus Insipiens 2 kasus (12,5%) dan Missed abortion 2 kasus (12,5%).

Dari latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Abortus di Rumah Sakit Bangkatan PTPN 2 Binjai Tahun 2016.

TINJAUAN PUSTAKA Abortus

Abortus adalah terhentinya (mati) dan dikeluarkannnya kehamilan sebelum janin

berumur 20 minggu (dihitung dari haid terakhir) atau berat janin kurang dari 500 gram dan panjang janin kurang dari 25 cm (Ansar, 2010). Abortus merupakan berakhirnya kehamilan dengan cara apapun sebelum janin mampu bertahan hidup. Definisi lain yang sering digunakan adalah kelurnya janin neonatus sebelum janin mencapai berat 500 gram (Cunningham, 2010).

Menurut Manuaba (2010) abortus adalah terhentinya proses kehamilan yang sedang berlangsung sebelum mencapai umur 28 minggu atau berat janin sekitar 500 gram. Sedangkan menurut Sarwono (2011) abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan sebelum kehamilan berusia 20 minggu atau kehamilan belum mampu untuk hidup diluar kandungan.

Reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-30 tahun. Kehamilan maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia dibawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi daripada kematian maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal mingkat kembali sesudah usia 30-35 tahun (Wikjosastro, 2010).

Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) pada atau

sebelum kehamilan tersebut berusia 20 minggu atau kehamilan belum mampu hidup di luar kandungan. Menurut badan kesehatan World Health Organization (WHO) persentase

abortus masih cukup tinggi sekitar 15-40% angka kejadian. Di Rumah Sakit Bhayangkara

Palembang pada Tahun 2014 ditemukan kejadian abortus sebanyak 158 kasus. Macam-Macam Abortus

Berdasarkan kejadianya, abortus dikelompokkan menjadi 2 jenis yaitu abortus spontan dan abortus buatan. Abortus spontan adalah abortus yang terjadi secara alamiah tanpa intervensi luar (buatan) untuk mengakhiri kehamilan tersebut (Saifuddin, 2010).

Abortus buatan atau abortus propacatus adalah merupakan pengakhiran kehamilan dengan

disengaja sebelum usia kandungan 28 minggu. Sedangkan yang dimaksud dengan Abortus

terapeutik adalah pengguguran kandungan buatan karena indikasi medik (Prawirohardjo,

2010).

(4)

275

Abortus spontan terdiri dari abortus imminens, abortus insipiens, abortus inkomplertus, abortus kompletus, abortus habitualis, abortus infeksiosa, abortus septic dan missed abortion

Abortus Imminens

Adalah abortus yang mengancam, perdarahannya bisa berlanjut beberapa hari atau dapat berulang (Kusmiyati, 2010). Abortus Imminens didiagnosa bila seorang wanita hamil kurang dari 20 minggu mengeluarkan darah sedikit pervaginam, perdarahan dapat berlanjut beberapa hari atau dapat berulang dan dapat pula disertai sedikit nyeri perut bagian bawah.

Abortus imminens merupakan abortus yang paling banyak terjadi. Pada abortus

ini,perdarahan berupa bercak yang menunjukkan ancaman terhadap kelangsungan kehamilan. Namun, pada prisipnya kehamilan masih bisa berlanjut atau dipertahankan (Raden,2010).

Untuk mendiagnosa abortus imminens, dapat dijumpai tanda dan gejala seperti adanya perdarahan sedikit/bercak, kadang disertai rasa mulas/kontraksi (seperti saat

menstruasi), pada pemeriksaan dalam belum terdapat adanya pembukaan serviks, pada

pemeriksaan palpasi teraba tinggi fundus uteri masih sesuai usia kehamilan dan hasil tes kehamilan masih positif.

Penanganan pada kasus abortus imminen adalah istirahat baring (tirah baring) untuk melancarakan aliran darah keuterus dan mengurangi perangsangan mekanis pada rahim ibu. Lakukan pemeriksaan tanda tanda vital, kolaborasi dalam pemberian sedative (untuk mengurangi rasa sakit dan cemas ibu), berikan diet tinggi protein dan tambahan vitamin C, bersihkjan vulva minimal dua kali sehari untuk mencegah infeksi, berikan terapi hormone

progesterone intramuscular atau dengan berbagai zat progestasional sintetik peroral atau

secara intramuscular.

Abortus Insipiens

Abortus Inisipiens adalah terjadinya perdarahan ringan atau sedang pada kehamilan

muda dimana hasil konsepsi masih berada dalam kavum uteri (Saifuddin, 2010).

Abortus insipiens merupakan peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20

minggu dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi masih berada didalam uterus. Abortus insipiens adalah perdarahan ringan hingga sedang. Kontraksi uterus yang menyebabkan nyeri keram pada abdomen bagian bawah dan dilatasi

serviks. Kondisi ini dapat berlanjut menjadi abortus Inkompletus atau abortus Kompletus

dan tidak dapat dicegah lagi sehingga serviks terbuka, teraba ketuban dan berlangsung hanya beberapa jam saja.

Untuk mendiagnosa abortus insipiens dapat dipastikan dengan adanya tanda dan gejala perdarahan banyak disertai bekuan (gumpalan darah), mules yang hebat (Kontraksi rahim makin lama makin kuat dan makin sering), Ostium Uteri Eksternum mulai terbuka (serviks terbuka), pada saat palpasi teraba tinggi fundus uteri masih sesuai dengan usia kehamilan, ketuban dapat teraba karena adanya dilatasi serviks, jika dilakukan pemeriksaan

plano test hasilnya dapat positif atau negative.

Penanganan pada kasus abortus Insipiens, pada kehamilan kurang dari 12 minggu sebaiknya proses abortus dipercepat. Pada kehamilan kurang dari 12 minggu yang disertai perdarahan sebaiknya lakukan pengeluaran janin (kuretase), jika janin sudah keluar tetapi plasenta masih tertinggal maka lakukan manual plasenta. Pada usia kehamilan kurang 16 minggu, lakukan evaluasi uterus dengan aspirasi vakum manual. Jika evaluasi tidak berhasil maka segera berikan ergometrin 0,2 mg intramuskuler (dapat diulang setelah 15 menit bila perlu) atau misoprostol 400 mg peroral (Dapat diulang sesudah 4 jam bila perlu). Segera lakukan persiapan untuk pengeluaran hasil konsepsi dari uterus. Jika usia kehamilan lebih 16 minggu, tunggu ekspulsi spontan hasil konsepsi lalu evaluasi sisa-sisa hasil konsepsi. Jka perlu lakukan infuse 20 unit oksitosin dalam 500 ml cairan intravena (Garam fisiologik atau ringer laktat dengan kecepatan 40 tetes permenit untuk membantu ekspulsi hasil

konsepsi). Pastikan untuk tetap memantau kondisi ibu setelah penanganan. Abortus Inkompletus

(5)

276

Abortus Inkompletus adalah abortus yang terjadi sebelum usia gestasi

10 minggu, janin dan plasenta biasanya keluar, tetapi dalam waktu yang terpisah (Cunningham, 2010). Abortus Inkompletus adalah perdarahan kehamilan muda (sebelum 20

minggu) dimana sebagian dari hasil konsepsi telah keluar cavum uteri melalui kanalis

servikalis. Abortus Inkompletus berkaitan dengan retensi sebagian produk pembuahan

(hampir seluruh plasenta) yang tidak begitu mudah terlepas pada kehamilan dini seperti halnya kehamilan aterm. Dalam keadaan ini perdarahan tidak segera brkurang sementara

serviks tetap terbuka.

Untuk mendiagnosa abortus inkomplit dapat dipastikan dengan melihat tanda dan gejala seperti perdarahan yang terjadi bisa sedikit kemudian banyak dan disertai keluarnya hasil konsepsi, rasa mulas (kontraksi) tambah hebat, ostium uteri eksternum atau serviks terbuka (1-2 jari), pada pemeriksaan vaginal dapat di raba dalam kavum uteri atau kadang kadang sudah menonjol dari eksternum atau sebagian jaringan keluar, perdarahan tidak akan berhenti sebelum sisa janin dikeluarkan sehingga dapat menyebabkan syok, pada pemeriksaan plano test ditemukan test positif atau negative, ibu anemia akibat perdarahan.

Penanganan pada kasus abortus insipiens. Jika perdarahan tidak seberapa banyak dan kehamilan kurang dari 16 minggu, evaluasi dapat dilakukan secara digital atau dengan

cunam ovum untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang keluar melalui serviks. Jika

perdarahan berhenti, beri ergometrin 0,2 mg intramuskuler atau misoprostol 400 mg peroral. Jika perdarahan banyak atau terus berlangsung dan usia kehamilan kurang 16 minggu,

evaluasi hasil konsepsi dengan aspirasi vacum manual (merupakan metode evaluasi yang

terpilih). Evakuasi dengan kuret tajam dilakukan bila aspirasi vakum manual tidak tersedia. Jika evakuasi belum dapat dilakukan, segera beri ergometrin 0.2 mg intramuskuler (diulang setelah 15 menit jika perlu) atau misoprostol 400 mcg peroral (Dapat diulang setelah 4 jam bila perlu). Jika kehamilan lebih dari 16 minggu, berikan infuse oksitosin 20 unit dalam 500 ml cairan intravena (garam fisiologik atau ringer laktat) dengan kecepatan 40 tetes permenit sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi. Jika perlu berikan misoprostol 200 mcg pervaginam setiap 4 jam sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi (maksimal 800 mcg) kemudian lakukan

evaluasi sisa hasil konsepsi yang tertinggal dalam uterus. Pastikan untuk tetap memantau

kondisi ibu setelah penanganan.

Abortus Kompletus

Abortus komplit adalah terjadinya perdarahan sampai semua produk pembuahan atau janin, selaput ketuban dan plasenta sudah keluar (Helen Farrer, 2005). Pada abortus jenis ini, hasil konsepsi telah keluar semua dari cavum uteri. Perdarahan segera berkurang setelah isi rahim dikeluarkan dan selambat-lambatnya dalam 10 hari perdarahan berhenti sama sekali karena dalam masa ini luka rahim telah sembuh dan epitelisasi telah selesai, semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan. Abortus kompletus terjadi kalau semua produk pembuahan janin, selaput ketuban dan plasenta sudah keluar. Perdarahan dan rasa nyeri kemudian akan berhenti, serviks menutup dan uterus mengalami involusi.

Untuk mendiagnosa abortus kompetus dapat dipastikan dengan melihat tanda dan gejala seperti perdarahan yang banyak disertai rasa mules dengan sedikit tanpa adanya

kontraksi rahim, ada keluar jaringan sehingga tidak ada sisa dalam uterus, ostuim uteri

sudah menutup dan uterus sudah mengecil atau tinggi fundus uteri tidak sesuai dengan usia kehamilan.

Penanganan pada kasus abortus kompletus adalah tidak perlu dilakukan evakuasi lagi. Lakukan observasi untuk melihat adanya perdarahan banyak, pastikan untuk tetap memantau kondisi ibu setelah penanganan. Konsultasi dengan dokter sehingga tidak merugikan pasien, tidak memerlukan terapi khusus tetapi untuk membantu involusi uterus dapat diberikan methergin tablet, bila pasien anemia dapat diberikan sulfas ferosus 600 mg (zat besi) dan anjurkan ibu untuk mengkonsumsi vitamin dan mineral.

Abortus Habitualis

Abortus Habitualis adalah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-turut. Etiologi abortus habitualis pada dasarnaya sama dengan penyebab abortus spontan. Selain

(6)

277

itu telah ditemukan sebab imunologik yaitu kegagalan reaksi terhadap antigen lymphocyte

trophoblast cross reactive (TLX).

Untuk mendiagnosa abortus habitualis dapat dipastikan dengan melihat tanda dan gejala seperti kehamilan triwulan kedua terjadi pembukaan serviks tanpa disertai mulas, ketuban menonjol (bias sampai pecah), timbul mulas yang selanjutnya disertai dengan melakukan pemeriksaan vaginal tiap minggu, penderita sering mengeluh bahwa ia telah mengeluarkan banyak lendir dari vagina. Diluar kehamilan penentuan serviks inkompeten dilakukan dengan histerosalifingografi yaitu ostium internum uteri melabar lebih dari 8 mm.

Penanganan pada kasus abortus kompletus adalah dengan memperbaiki keadaan umum ibu, pemberian makanan yang sempurna, anjuran cukup istirahat, larangan koitus selama masa pengobatan dan lakukan olahraga yang teratur, terapi dengan hormone

progesterone, vitamin, hormone tiroid, dan lainya yang mungkin hanya mempunyai

pengaruh psikologis ibu.

Missed Abortion.

Missed Abortion adalah abortus yang terjadi sesudah mengalami abortus imminens, perdarahan pervaginam berhenti namun janin meninggal dan tetap berada dalam rahim (Helen Farrer, 2005). Kalau janin muda yang telah mati tertahan didalam rahim selama 2 bulan atau lebih maka keadaan itu disebut missed abortion. Disekitar kematian janin kadang-kadang ada perdarahan pervaginam sedikit sehingga menimbukan gambaran

abortus imminens. Jika tidak terjadi abortus dengan pitocin infuse, setidaknya terjadi

pembukaan yang memudahkan curettasse. Dilatasi juga dapat dilakukan dengan pemasangan laminaria stift.

Diagnosa missed abortion dapat ditegakkan dengan menilai pada gejala subyektif ditemukan tanda-tanda kehamilan menghilang, mamae agak mengendor, uterus tidak membesar bahkan mengecil, test kehamilan menjadi negative serta denyut jantung janin menghilang, dengan ultrasanografi (USG) dapat ditentukan segera apakah janin sudah mati dan besarnya sesuai dengan usia kehamilan.

Penanganan pada kasus missed abortion yaitu setelah dilakukan, timbul pertanyaan apakah hasil konsepsi perlu segera dikeluarkan atau tidak? Tindakan pengeluaran tergantung dari berbagi faktor, seperti apakah kadar fibrinogen dalam darah sudah mulai turun? Hipofibrinogenemia dapat terjadi apabila janin yang mati lebih dari 1 bulan tidak dikeluarkan. Selain itu faktor mental penderita perlu diperhatikan karena tidak jarang wanita yang bersangkutan merasa gelisah, mengetahui ia mengandung janin yang sudah mati, dan ingin janinya agar secepatnya dikeluarkan.

Abortus Provokatus (abortus yang sengaja dibuat)

Abortus propokatus adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kehamilan mencapai

20 minggu akibat suatu tindakan atau menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup diluar tubuh ibu. Pada umumnya dianggap bayi belum dapat hidup diluar kandungan apabila kehamilan belum mencapai umur 28 minggu, atau berat badan bayi belum 1000 gram, walaupun terdapat kasus bahwa bayi dibawah 1000 gram dapat terus hidup.

Abortus propokatus terdiri dari abortus Provocatus Atrificialis atau Abortus Terapeuticus dan Abortus provocatus criminalis. Abortus Provocatus Atrificialis adalah

pengguguran kehamilan, biasanya dengan alat–alat, dengan alasan bahwa kehamilan membahayakan, membawa maut bagi ibu misalnya karena ibu berpenyakit berat.

Abortus Provocatus pada hamil muda (dibawah 12 minggu) dapat dilakukan dengan

pemberian prostaglandin atau curettasse dengan penyedotan (vakum) atau dengan sendok

curet. Pada hamil tua (diatas 12 minggu) dilakukan hysterotomy juga dapat disuntikkan

garam hypertonis (20%) atau prostaglandin intra-amnial. Indikasi untuk abortus Provocatus

Atrificialis misalnya karena penyakit jantung hypertensi esensial, carcinoma daro cervik.

(Manuaba,2013). Etiologi Abortus

Wanita dengan abortus meningkat sesuai usia, kehamilan diusia >20 tahun dapat menimbulkan maslah, karena kondisi fisik belum siap 100%. Kehamilan diusia tersebut

(7)

278

meningkatkan angka kematian ibu dan janin 4-6 kali lipat dibandingkan dengan wanita hamil yang bersalin pada usia 20-30 tahun. Memasuki usia 35 tahun, secara fisik wanita mengalami masa ovulasi yang tidak teratur sehingga kesehatan reproduksi menjadi menurun dan kesempatan untuk hamil tinggal 15% (Mail, 2011).

Kejadian abortus sebagian besar dapat disebabkan oleh faktor ibu seperti usia ibu yang terlalu muda atau terlalu tua pada saat hamil, ibu yang tidak ingin menggunakan

kontrasepsi sehingga jarak kehamilan ibu dengan kehamilan sebelumnya terlalu dekat, ibu

yang tetap bekerja pada saat hamil tanpa diimbangi dengan istirahat yang cukup serta tidak mengkonsumsi mkanan yang bergizi seimbang pada masa kehamilan beresiko tinggi mengalami abortus pada saat hamil. (Manuaba, 2013).

2.3.1 Usia

Wanita yang hamil pada usia dibawah 20 tahun atau lebih dari 35 tahun merupakan faktor resiko terjadinya abortus yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Hal ini dikarenakan pada usia di bawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang dengan sempurna. Sedangkan pada usia di atas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga kemungkinan untuk terjadinya komplikasi terutama terjadinya Abortus (Faisal,2010).

Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia dibawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi daripada kematian maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal meningkat kembali sesudah usia 30-35 tahun (Wiknjosastro,2011).

Wanita hamil pada umur muda (<20 tahun) dari segi biologis perkembangannya alat-alat reproduksinya belum sepenuhnya optimal. Dari segi fisikis belum matang dalam menghadapi tuntutan beban moril, dan emosional, dan dari segi medis sering mendapat gangguan. Sedangkan pada usia lebih dari 35 tahun, elastisi tas dari otot-otot panggul dan sekitarnya serta alat-alat reproduki pada umumnya mengalami kemunduran, wanita pada usia ini juga besar Frekuensi abortus yang secara klinis bertambah 12% pada wanita yang berusia kurang dari 20 tahun, menjadi 26% pada wanita berumur diatas 35 tahun (Cunningham, 2010). Dari sejumlah abortus yang terjadi ditemukan bahwa jika ibu berusia lebih dari 35 tahun maka resiko itu lebih tinggi (Litter, 2010).

Pada proses menua terjadi mutasi gen sehingga resiko abortus spontan meningkat seiring dengan paritas serta usia ibu dan ayah. Insidensi abortus meningkat apabila wanita yang bersangkutan hamil 3 bulan setelah melahirkn bayi aterm (Handono, 2010).

Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Elvira Junita, dkk (2013), faktor umur yang mempengaruhi kejadian abortus di RSUD Rokan Hulu tahun 2011 dari 132 ibu mayoritas pada kategori umur <20 tahun sebanyak (40,9%) dan minoritas pada kategori umur >35 tahun sebanyak (22%). Distribusi frekuensi abortus ibu hamil yang mengalami

abortus sebanyak (93%). Sedangkan distribusi frekuensi umur ibu hamil yang beresiko

terhadap kejadian abortus adalah kelompok umur <20 tahun yaitu sebanyak 98%. Dari analisa hubungan umur ibu hamil dengan kejadian abortus terdapat hubungan yang signifikan antara umur ibu hamil dengan kejadian abortus.

Jarak Kehamilan

Jarak kehamilan adalah waktu sejak kehamilan sebelum sampai terjadinya kelahiran berikutnya. Jarak antar kehamilan yang terlalu dekat dapat menyebabkan terjadinya komplikasi kehamilan yang menyebabkan terjadinya abortus. Jarak antar kehamilan menjadi faktor predisposisi abortus karena kehamilan yang berturut-turut dalam jangka waktu yang singkat akan mengakibatkan kontraksi uterus menjadi kurang baik. Selama kehamilan berikutnya dibutuhkan 2-4 tahun agar kondisi tubuh ibu kembali seperti kondisi sebelumnya.

Supervisor jarak kehamilan adalah jarak atau lamanya waktu antara kehamilan anak

terdahulu dengan kelahiran anak berikutnya. Selain faktor umur ibu dan paritas, jarak kehamilan juga merupakan penentu tingkat resiko kehamilan dan persalianan. Jarak

(8)

279

kehamilan yang kurang dari 2 tahun merupakan factor resiko tinggi terjadinya komplkikasi selama kehamilan atau pada saat persalinan (Manuaba IGB, 2010).

Jarak kehamilan sangat mempengaruhi kesehatan ibu dan janin yang dikandungnya. Seorang wanita memerlukan waktu selama 2-3 tahun agar dapat pulih secara fisiologis dari satu kehamilan atau persalinan dan mempersiapkan diri untuk kehamilan berikutnya.

Jarak kehamilan yang terlalu dekat dapat memberikan indikasi kurang siapnya rahim untuk terjadi implantasi bagi embrio. Persalinan yang rapat akan meningkatkan resiko kesehatan wanita hamil bila ditunjang dengan sosial ekonomi yang buruk. Dengan kehamilan dan menyusui akan menurunkan derajat kesehatan yang akan meningkatkan resiko terjadinya abortus. (Prasetyo, 2010).

Disamping membutuhkan waktu untuk pulih secara fisik perlu waktu untuk pulih secara emosional. Resiko tinggi pada jarak kehamilan kurang dari 2 tahun dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana, sehingga tidak menimbulkan kehamilan yang tidak direncanakan sebagian dari resiko tinggi adalah kehamilan yang tidak direncanakan . (Manuaba IGB, 2010).

Menurut penelitian Budi Santoso (2010) di Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin Bandung Januari 2006 sampai Desember 2010 bahwa terdapat pengaruh interval kehamilan dengan terjadinya abortus dan semakin renggang jarak kehamilan maka semakin kecil kemungkinan untuk terjadi abortus dan secara statistik hubungan tersebut bermakna.

Selain itu hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sinaga (2012) yang mendapatkan hasil ada hubungan yang bermakna antara interval kehamilan dengan terjadinya abortus. Untuk itu diharapkan ibu hamil agar memperhatikan interval kehamilan agar sesuai dengan reproduksi sehat yaitu >2 tahun atau antara 2-5 tahun untuk mencegah terjadinya abortus pada kehamilan berikutnya.

Pekerjaan

Pekerjaan adalah suatu yang penting dalam kehidupan dengan bekerja kita bisa memenuhi kebutuhan, terutama untuk menunjang kehidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan, berulang dan banyak tantangan (Nursalam, 2012). Namun pada masa kehamilan pekerjaan yang berat dapat membahayakan atau dapat memicu terjadinya gangguan pada kehamilannya terlebih lagi jika tidak diimbangi dengan istirahat yang cukup dan mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang, untuk itu pekerjaan yang terlalu berat selama masa kehamilan hendaklah dihindari untuk menjaga keselamatan ibu maupun janin selama kehamilan.

Menurut penelitian Aquaria (2015) dari 148 responden dengan bekerja yang mengalami abortus sebanyak 53 orang (76,8%) dan bekerja tidak abortus sebanyak 16 orang (23,2%), sedangkan dengan tidak bekerja mengalami abortus sebanyak 45 orang (57%), tidak bekerja dan tidak abortus sebanyak 34 orang (43%). Dan hasil dari uji statistic dapat disimpulkan bahwa ada hubungan pekerjaan dengan kejadian abortus.

Namun penelitian tersebut tidak sejalan dengan penelitian Maryani 2010 di Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang menyatakan bahwa abortus banyak terjadi pada ibu hamil yang tidak bekerja. Yang mengalami abortus yaitu sebanyak 9 orang (14,5%). Berdasarkan analisis uji statistic menunjukkan ada hubungan bermakna antara pekerjaan ibu dengan kejadian abortus. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan dari perbedaan pendapat ibu yang bekerja dengan ibu yang tidak bekerja mengalami abortus hal ini dikarenakan terdapatnya perbedaan tempat yang diteliti. Perbedaa dari jenis pekerjaan yang dilakukan ibu hamil, selain itu dari berbagai faktor yang dialami ibu hamil. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa pekerjaan ibu berhubungan dengan abortus karena pada ibu hamil yang bekerja lebih banyak melakukan aktivitas yang berlebih, ditambah beban kerja yang dialami ibu hamil cukup menguras tenaga dan waktu tanpa memikirkan resiko yang akan dialami terhadap kehamilannya dan kesehatan dirinya, pada ibu hamil yang bekerja juga tidak bisa membagi waktu dengan baik kapan harus istirahat disela-sela pekerjaannya, karena semua terfokus pada pekerjaan dan tidak memikirkan asupan nutrisi yang dibutuhkan ibu dan janinnya sehingga ini membuat ibu merasa mudah letih dan ini berpengaruh dengan

(9)

280

kehamilan ibu. Sedangkan pada ibu yang tidak bekerja ibu bisa mengatur pekerjaan rumah tangganya dengan baik karena ini tidak membuat ibu sebagai beban kerja melainkan sebagai aktifitas olahraga yang dilakukan tiap hari tanpa harus memikirkan beban yang lain dan disela-sela waktu istirahat ibu dapat memenuhi nutrisi baik bagi ibu dan janin.

Patofisiologi

Kebanyakan abortus spontan terjadi setelah kematian janin yang kemudian diikuti dengan perdarahan ke dalam desidua basalis, lalu terjadi perubahan-perubahan nekrotik pada daerah implantasi, infiltrasi sel-sel peradangan akut dan akhirnya perdarahan

pervaginam. Hasil konsepsi terlepas seluruhnya atau sebagian yang diinterpretasikan

sebagai benda asing dalam rongga rahim. Hal ini menyebabkan kotraksi uterus dimulai, dan segera setelah itu terjadi perdorongan benda asing itu keluar rahim (ekspulsi). Perlu ditekankan bahwa pada abortus spontan, kematian embrio biasaya terjadi paling lama 2 minggu sebelum perdarahan. Oleh karena itu, pengobatan untuk mempertahankan janin tidak layak dilakukan jika telah perdarahan banyak karena abortus tidak dapat dihindari.

Sebelum minggu ke 10, hasil konsepsi biasanya dikeluarkan dengan lengkap. Hal ini disebabkan sebelum minggu ke 10 vili korialis belum menanamkan diri dengan erat ke dalam desidua sehingga telr mudah terlepas keseluruhnya. Antara minggu ke 10-12 korion tumbuh dengan cepat dan hubungan vili korialis dengan desidua makin erat hingga mulai saat tersebut sering sisa-sisa korion (plasenta) tertinggal kalau terjadi abortus.

Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk, ada kalanya kantung amnion kosong atau tampak di dalamnya benda kecil tanpa bentuk yang jelas (blighted ovum), mungkin pula janin telah mati lama (missed abortion). Pada janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat terjadi proses modifikasi janin mengering dan arena cairan amnion menjadi kurang oleh karena diserap. (Maryunani, 2013).

METODE PENELITIAN Kerangka Konsep

Defenisi kerangka konsep adalah kerangka hubungan antara konsep–konsep yang ingin diukur melalui penelitian yang akan dilakukan. Berdasarkan tujuan penelitian maka kerangka konsep dapat digambarkan sebagai berikut.

Variabel Independent Variabel Dependent

3.1.1 Variabel Independent

Variabel independen ini merupakan variabel yang menjadi sebab perubahan atau

timbulnya variabel Dependent. (Hidayat,2011). Dalam penelitian ini yang termasuk variabel

Independent adalah faktor Usia, Jarak Kehamilan dan Pekerjaan.

Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriftif skunder, yaitu untuk mengetahui faktor-faktor kasus abortus dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui rekam medik di Rumah Sakit Bangkatan PTPN 2 Binjai.

Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi Penelitian

Faktor – Faktor :

1. Usia

2. Jarak Kehamilan

3. Pekerjaan

Abortus

(10)

281

Lokasi yang dipilih menjadi tempat penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi abortus adalah Rumah Sakit Bangkatan PTPN 2 Binjai yang terletak di Jl. Sultan Hasanuddin No. 40 Binjai Sumatera Utara. Rumah Sakit Bangkatan PTPN 2 Binjai juga merupakan lahan praktik bagi institusi Akbid Kharisma Husada Binjai. Lokasi rumah sakit ini berdekatan dengan lokasi institusi Akbid Kharisma Husada Binjai sehingga Rumah Sakit ini mudah dijangkau bagi peneliti dalam mengambil data dan pelaksanaan penelitian. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan mulai pada bulan Januari sampai Juni 2016. Populasi dan Sampel

Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari unit dalam pengamatan yang akan dilakukan. Populasi pada penelitian ini adalah Ibu Hamil dengan kasus abortus pada bulan Januari hingga Desember 2014 di Rumah Sakit Bangkatan PTPN 2 Binjai. Pada saat data ini diambil tercatat di Rekam Medik Rumah Sakit Bangkatan PTPN 2 Binjai Ibu Hamil dengan kasus

Abortus sebanyak 38 orang dari 125 ibu hamil.

Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh total populasi (total sampling). Yaitu sebanyak 125 orang ibu hamil di Rumah Sakit Bangkatan PTPN 2 Binjai.

HASIL PENELITIAN

Abortus Pada Ibu Hamil Berdasarkan Usia

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa mayoritas ibu hamil yang mengalami abortus di Rumah Sakit Bangkatan PTPN 2 Binjai Tahun 2016 terdapat pada usia <20 tahun yaitu sebanyak 12,8% dengan 20,8% tidak terjadi abortus dan minoritas terdapat pada usia >35 tahun yaitu sebanyak 7,2% dengan 20,8% tidak terjadi

abortus.

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori menurut Prawirohardjo (2010) risiko ibu terkena aneoploidi adalah pada usia diatas 35 tahun karena angka kejadian kelainan kromosom/trisomi akan meningkat setelah usia 35 tahun.

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori menurut Samsulhadi (2009) dalam Health Categories (2013), semakin lanjut umur wanita maka akan semakin tipis cadangan telur yang ada dan indung telur juga semakin kurang peka terhadap rangsangan gonadotropin. Maka lanjut usia pada wanita akan meningkatkan risiko terjadinya abortus karena menurunnya kualitas sel telur atau ovum dan meningkatnya risiko kejadian kelainan kromosom. Risiko terjadinya abortus spontan meningkat bersamaan dengan kehamilan berikutnya. Abortus meningkat sebesar 12% pada wanita usia <20 tahun dan meningkat sebesar 26% pada usia >40 tahun. Insiden terjadinya abortus meningkat jika jarak persalinan dengan kehamilanb berikutnya 3 bulan (Cunningham et al, 2014).

Abortus pada Ibu Hamil Berdasarkan Jarak Kehamilan

Berdasarkan Penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa mayoritas ibu hamil yang mengalami abortus di Rumah Sakit Bangkatan PTPN 2 Binjai Tahun 2016 terdapat pada jarak kehamilan <2 tahun yaitu sebanyak 17,6% dengan 14,4% tidak terjadi

abortus dan minoritas terdapat pada jarak kehamilan >5 tahun yaitu sebanyak 4,8% dengan

22,4% tidak terjadi abortis.

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Krisnadi (2005) yang menyatakan bahwa pada jarak kehamilan dengan anak sebelumnya kurang dari 2 tahun, maka keadaan rahim dan kesehatan ibu belum pulih dengan baik dan sempurna. Kehamilan dalam keadaan ini perlu diwaspadai karena ada kemungkinan terjadinya pertumbuhan janin yang kurang baik.

(11)

282

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Khaoiron, A (2006) Tentang Hubungan Jarak Kehamilan Dengan Kejadian Abortus yang mendapat hasil bahwa ada hubungan yang bermakna antara jarak kehamilan dengan kejadian abortus. Dari 173 responden yang paling banyak mengalami abortus adalah ibu hamil dengan jarak kehamilan <2 tahun yaitu sebanyak 77.

Abortus pada Ibu Hamil Berdasarkan Pekerjaan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa mayoritas ibu hamil yang mengalami abortus di Rumah Sakit Bangkatan PTPN 2 Binjai Tahun 2016 terdapat pada ibu hamil yang bekrja yaitu sebanyak 18,4% dengan 41,6% tidak terjadi

abortus dan minoritas terdapat pada ibu yang tidak bekerja yaitu sebanyak 30,4% dengan

28% tidak terjadi abortus

Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Susilawati (2011) yang menyatakan bahwa abortus banyak terjadi pada ibu hamil yang bekerja bila dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak bekerja. Jenis pekerjaan ibu hamil juga dapat mempengaruhi kesehatan kehamilannya, baik ibu maupun janin yang dikandungnya. Pekerjaan ibu yang dilakukan sehari-hari tanpa adanya istirahat yang cukup akan mempengaruhi kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan janin dan hal ini dapat mengakibatkan terjadinya abortus.

Hasil penelitian sejalan dengan hasil penelitian Tirta (2011) menyatakan bahwa abortus banyak terjadi pada ibu hamil yang bekerja. Dari 219 ibu hamil yang bekerja sebanyak 87,2% ibu mengalami abortus.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Setelah dilaksanakan penelitian tentang Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Abortus di Rumah Sakit Bangkatan PTPN 2 Binjai tahun 2016, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Jumlah Ibu hamil yang ada di Rumah Sakit Bangkatan PTPN 2 Binjai tahun 2016 adalah sebanyak 125 orang dengan kasus abortus berjumlah 30,4% dan 69,6% lainnya tidak mengalami Abortus.

2. Mayoritas ibu hamil yang mengalami abortus di Rumah Sakit Bangkatan PTPN 2 Binjai Tahun 2016 terdapat pada usia <20 tahun yaitu sebanyak 16 orang (38.1%) dan minoritas terdapat pada usia >35 tahun yaitu sebanyak 9 orang (25.72%).

3. Mayoritas ibu hamil yang mengalami abortus di Rumah Sakit Bangkatan PTPN 2 Binjai Tahun 2016 terdapat pada jarak kehamilan <2 tahun yaitu sebanyak 22 orang (55%) dan minoritas terdapat pada jarak kehamilan >5 tahun yaitu sebanyak 6 orang (17.64%).

4. Mayoritas ibu hamil yang mengalami abortus di Rumah Sakit Bangkatan PTPN 2 Binjai Tahun 2016 terdapat pada ibu hamil yang bekrja yaitu sebanyak 23 orang (30.66%) dan minoritas terdapat pada ibu yang tidak bekerja yaitu sebanyak 15 orang (30%).

5. Dalam penelitian ini telah dilakukan uji chi square, hasilnya menunjukan bahwa Usia, Jarak Kehamilan dan pekerjaan ibu selama masa kehamilan memiliki pengaruh yang signifikan dengan kejadian abortus dimana nilai p <0,05.

5.2. Saran

1. Disarankan kepada pengambil kebijakan di Rumah Sakit Bangkatan PTPN 2 Binjai agar lebih meningkatkan pelayanan dalam memberikan penyuluhan dan penanganan yang berkualitas dalam menangani kasus abortus.

2. Diharapkan kepada para ibu usia reproduktif agar lebih aktif mencari informasi tentang tanda bahaya pada kehamilan untuk mengetahui tanda – tanda terjadinya

Abortus secara dini.

3. Bagi Institusi Akademi Kebidanan Kharisma Husada Binjai Dapat digunakan sebagai tambahan informasi dan sumbangan pemikiran di bidang kesehatan serta sebagai masukan bagi para mahasiswa Akademi Kebidanan Kharisma Husada Binjai.

(12)

283 DAFTAR PUSTAKA

Ansar, 2010. Definisi Abortus Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis

Badan Kesehatan Nasional (WHO), 2012. Technical Consultation on Birth Spacing. Benson, 2011. Buku Ajar Fisiologi Kehamilan. Jakarta : Rineka Cipta.

Bina Aquaria, 2015. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Abortus di Rumah

Sakit Bhayangkara Palembang.

BKKBN, 2010. Pendewasaan Usia Perkawinan dan Hak-hak Reproduksi Bagi Remaja

Indonesia.

Cunningham, et al 2014, 2010.Obtetri Williams, Jakarta: EGC.

Elvira junita, dkk, 2013. Faktor-faktor yang mempengaruhi abortus di RSUD Rokan Hulu. Handowati, 2010. Hubungan Jarak Kehamilan Dengan Kejadian Abortus di Bidan Delima

Geneng, Yogyakarta.

Harlap, Shino (Cunningham 2013), dkk. Frekuensi Abortus. Nuha Medika Yogya Hellen Farrer, 2010. Asuhan Kebidanan: Persalinan dan Kelahiran. Jakarta : EGC Hidayat, 2011. Metode Penelitian Kebidanan dan Tehnik Analisa Data.

Jakarta : Salemba Medika.

Kusmiyati, 2010. Buku Aajar Asuhan Kebidanan Persalinan. Yogyakarta : Pustaka Rihama Lestari Ningsih, 2010. Perawatan Ibu Bersalin. Yogyakarta : Fitramaya.

Manuaba, 2008, 2013, Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan, Jakarta: ECG.

Maryunani, Yulianingsih, 2013, Trans Info Media, Jakarta. Asuhan Bayi Dengan Berat

Badan Rendah.

Nursalam. 2011. Manajemen Keperawatan. Salemba Medika Jakarta

Nurvita, Junita. 2010. Asuhan Kebidanan Patologis. Salemba Medika Jakarta.

Prawirohardjo. 2002, 2010. Ilmu Kandungan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.

Profil Kesehatan Sumatera Utara, 2012.

Raden, 2010. Panduan Bagi Ibu Hamil dan Melahirkan. Yogyakarta Mitra Pustaka.

Saifudin, 2002. Buku Panduan Pelayanan Praktis Kontrasepsi. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawiharjo.

Samsulhadi, 2009, dalam Health Categoris, 2013. Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: EGC. SDKI, 2012. Kematian Perinatal di Indonesia

Sinaga Julian, 2012. Hubungan Interval Kehamilan Dengan Kejadian Abortus.

Sulistianingsih, 2015. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Abortus di Wilayah Kerja Gorontalo

Utara.

Wiknjosastro, 2010. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirihardjo.

Referensi

Dokumen terkait

Upaya untuk mengatasi hal tersebut kami mengikuti sosialisasi BOS ditingkat kecamatan dan meminta bantuan dari UPTD untuk dibimbing dalam pembuatan RKAS sehingga

Dengan menerapkan metode pembelajaran yang terintegrasi dengan teknologi komputer (seperti SPC) akan memberikan suatu model yang berbasis unjuk kerja, hal ini

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengembangan karier dengan kinerja pegawai Badan Kepegawaian Daerah Kota Samarinda.Pada penelitian ini penulis

Pada form ini admin dapat melihat data pasien yang telah tersimpan dalam database dengan meng klik tombol “find”. Dan Admin dapat mengisi data pasien baru yang belum terdaftar

Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan faktor lingkungan dengan kejadian diare pada keluarga yang memiliki balita di sekitar tempat pembuangan sampah Dusun I

bahsul masa’il perbankan, seminar dan aktivitas perbankan syariah dalam memajukan bisnis jasa perbakan syariah untuk

Penelitian ini adalah penelitian expost facto dengan rancangan Analytical Cross Sectional Study, yang dilakukan melalui dua tahapan yaitu penelitian di lapangan

Disimpulkan dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan tingkat konsumsi yang terjadi pada karyawan