• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Kolonial berasal dari akar kata colonia, bahasa Romawi, yang berarti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. Kolonial berasal dari akar kata colonia, bahasa Romawi, yang berarti"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang Penelitian

Kolonial berasal dari akar kata colonia, bahasa Romawi, yang berarti tanah pertanian atau pemukiman (Ratna, 2011:205). Secara etimologis, kolonial tidak mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan konotasi eksploitasi lainnya. Seiring perkembangannya, kolonial memiliki makna negatif disebabkan adanya hubungan tidak seimbang antara kaum pendatang yang mencari keuntungan dari tempat yang didatangi dengan penduduk setempat. Kolonial, selanjutnya mendapat imbuhan –isme sebagai suatu pemikiran atau paham, menjadi kata yang memiliki makna sebagai langkah-langkah penguasaan suatu negara atas negara lain. Loomba (2003:27) mendefinisikan kolonialisme sebagai pengambilalihan secara paksa tanah dan perekonomian, dan, dalam hal kolonialisme Eropa, suatu restrukturasi perekonomian nonkapitalis untuk mendo-rong kapitalisme Eropa.

Abad ke-18 (Said, 2010:60) merupakan masa kebangkitan kolonialisme di dunia yang dipelopori dan dipimpin oleh Prancis dan Inggris. Said menam-bahkan, bahwa sejak 1815 hingga 1914, daerah jajahan Eropa meluas dari yang awalnya kurang lebih 35 persen permukaan bumi menjadi lebih dari 85 persen. Praktik kolonialisme tersebut merupakan kepanjangan dari kepercayaan tentang superioritas dan inferioritas. Bangsa-bangsa yang menamai diri mereka Barat (Eropa) merasa superior dibandingkan dengan bangsa-bangsa yang mereka namai

(2)

Timur (Asia dan Afrika), sebagai bangsa yang inferior. Oleh karena itu, merupakan keharusan bagi Barat untuk mengajari Timur menjadi bangsa yang lebih beradab. Kepercayaan-kepercayaan tersebut serta pengetahuan mengenai Timur yang terus-menerus direproduksi tanpa henti menjadi alasan bagi Eropa untuk melakukan praktik kolonialisme.

Praktik kolonialisme yang telah terjadi berhasil membentuk sebagian besar sejarah dunia. Bagi Indonesia, yang pada masa itu dinamai Hindia--Belanda, praktik kolonialisme paling berpengaruh ditunjukkan oleh penguasaan pemerintah Belanda yang dilanjutkan oleh Jepang. Meski para sejarawan mulai meragukan pernyataan 350 tahun pendudukan Belanda di Indonesia, kenyataan menunjukkan bahwa Belanda pernah begitu berkuasa di Indonesia. Sejarah bangsa Indonesia, dengan demikian, tidak bisa terlepas dari praktik kolonialisme selama ini.

Sebagai akibat dari hubungan yang telah terjalin lama di Indonesia, praktik kolonialisme meninggalkan jejak pada setiap bagian kehidupan masyarakat Indonesia. Jejak dari praktik kolonialisme masih dapat dilacak dan ditemukan hingga saat ini, baik yang disadari maupun yang tidak. Mulai dari cara berpikir, kebiasaan, sistem pemerintahan, sistem pendidikan, model bangunan, bahasa, dan lain sebagainya. Sastra, sebagai media ekspresi, dipercaya sebagai salah satu media yang mampu menceritakan jejak kolonialisme dengan baik. Dalam tulisanlah, sebagaimana juga dalam karya lukis, patung, musik, dan tari, kehidupan sehari-hari masyarakat terjajah dapat diekspresikan dengan baik (Bill dkk., 2003: xxi).

(3)

Salah satu karya sastra yang mencoba menghadirkan kembali masa-masa kolonialisme Belanda di Indonesia adalah antologi cerpen Semua untuk Hindia karya Iksaka Banu. Dilihat dari judul bukunya saja, karya sastra tersebut mengindikasikan adanya hubungan dengan praktik kolonialisme. Penggunaan nama Hindia untuk judul antologi akan membuat orang teringat pada masa penjajahan di Indonesia yang pada saat itu bernama Hindia. Antologi cerpen Semua untuk Hindia merupakan antologi cerpen pertama Iksaka Banu yang diterbitkan pada tahun 2014 dan berisi tiga belas cerpen. Ketigabelas cerpen dalam antologi tersebut bercerita mengenai sejarah bangsa Indonesia pada masa kedatangan dan pendudukan Belanda di Indonesia. Iksaka Banu berhasil meramu potongan-potongan sejarah bangsa Indonesia beserta segala problematikanya dan menampilkannya dalam kisah-kisah si aku narator yang mewakili kelompoknya. Ada kisah mengenai si tokoh aku sebagai wartawan, anggota militer, anggota misionaris, tahanan perang, istri pribumi petinggi Belanda, dan lain sebagainya. Kisah-kisah tersebut telah mengantarkan Iksaka Banu meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2014 untuk kategori prosa.

Cerpen-cerpen Iksaka Banu memiliki kesederhanaan teknik bercerita namun sarat makna. Membaca cerpen-cerpen Iksaka Banu seperti membaca catatan sejarah, begitu kaya akan informasi sejarah. Meski begitu, Iksaka tidak kehilangan rasa seninya. Cerpen tetaplah karya fiksi, meski berpegang pada fakta sejarah. Cerpen-cerpen Iksaka penuh dengan kebetulan-kebetulan khas karya sastra dan unsur dramatisasi yang mampu membolak-balikkan hati pembacanya. Membaca cerpen-cerpen Iksaka seperti mendapatkan dua manfaat sekaligus,

(4)

mendapat bacaan yang menghibur hati sekaligus mendapatkan informasi sejarah. Hiburan yang dimaksud tentu tidak terbatas pada hal-hal yang menyenangkan saja, tetapi juga kesedihan dan ketegangan yang mampu mengoyak perasaan pembacanya. Kelebihan inilah yang membuat penulis merasa bahwa cerpen Iksaka Banu menarik untuk diteliti.

Dari ketigabelas cerpen dalam antologi cerpen Semua untuk Hindia, terdapat dua cerpen yang berusaha mempertanyakan kekuasaan kolonialisme Belanda di Indonesia. Yang menarik dari kedua cerpen itu adalah munculnya tokoh Belanda yang bersimpati terhadap keadaan Indonesia yang terkena imbas praktik kolonialisme. Judul untuk kedua cerpen itu juga sama-sama menggunakan nama Hindia. Kedua cerpen yang dimaksud adalah cerpen ―Semua untuk Hindia‖ dan ―Selamat Tinggal Hindia‖. Tokoh utama dalam kedua cerpen itu juga sama-sama berprofesi sebagai wartawan yang sedang ditugaskan di Indonesia. Tokoh pertama datang ke Indonesia pada masa konsep keindonesiaan belum terbentuk. Perlawanan yang terjadi di berbagai daerah Indonesia masih bersifat kedaerahan. Belum ada kesadaran sebagai satu kesatuan untuk menggulingkan pemerintahan kolonial. Pada cerpen kedua, tokoh utama datang ke Indonesia pada masa revolusi Indonesia. Masa pada saat semangat kemerdekaan sedang berkobar dan semua rakyat Indonesia menyambutnya dengan beragam reaksi. Yang paling menonjol adalah munculnya kaum revolusioner yang siap mengangkat senjata untuk mengusir segala bentuk kehadiran kekuatan asing yang dianggap akan mengganggu kemerdekaan Indonesia. Kelompok inilah yang paling banyak mewarnai sejarah perebutan dan usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

(5)

Kedua wartawan berkebangsaan Belanda dalam cerpen Iksaka Banu datang ke Indonesia untuk meliput keadaan Indonesia pada waktu itu. Meski memiliki nuansa yang berbeda, permasalahan utama pada dua cerpen itu sama, yakni kolonialisme.

Pada masa pemerintahan kolonialisme Belanda di Indonesia, semua hal dikonstruksi demi kepentingan pemerintah kolonial di Indonesia. Salah satunya adalah dibuatnya sistem strata sosial yang menempatkan orang-orang pribumi (bumiputra) di strata terbawah dan orang-orang kulit putih (Belanda dan Eropa pada umumnya) di strata teratas. Dengan demikian, telah terjadi ketimpangan kekuasaan yang sangat kentara antara orang-orang Belanda dengan orang-orang pribumi. Hal tersebut sangat memengaruhi pandangan dan pemikiran mengenai pribumi oleh Belanda, maupun sebaliknya.

Secara umum, pribumi selalu digambarkan sebagai kaum yang tidak terdidik, percaya pada takhayul, bodoh, malas, dan merupakan kaum rendahan. Lain halnya dengan orang-orang Belanda, mereka pintar, sopan, rasional, dan merupakan kaum bangsawan. Gambaran seperti itu umum dipercaya dan direproduksi terus-menerus pada masa kolonialisme. Bahkan sesudahnya, gambaran tersebut masih banyak berpengaruh dalam pikiran sebagian besar masyarakat Indonesia maupun Belanda. Pada masa pascakemerdekaan ini, cerpen karya Iksaka Banu menggunakan tema pada masa perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan. Hal itu membuat representasi mengenai tokoh-tokoh pribumi maupun Belanda dalam karya sastranya menjadi topik yang menarik

(6)

untuk diteliti. Bagaimana kedua golongan (pribumi dan nonpribumi) tersebut ditampilkan dalam karya sastra pada era pascakemerdekaan sekarang ini.

Segala bentuk representasi yang tampak dalam karya sastra tidak terlepas dari relasi kuasa yang melingkupinya. Pengetahuan itu tidak polos, tetapi sangat terkait dengan operasi-operasi kekuasaan (Loomba, 2003: 57). Bentuk-bentuk representasi yang tampak dalam cerpen ―Semua untuk Hindia‖ dan ―Selamat Tinggal Hindia‖ berkaitan dengan relasi kuasa pada masa pemerintahan kolonialisme Belanda di Indonesia sesuai dengan latar waktu yang digunakan dalam cerpen tersebut. Bagi Foucault (via Suryawan, 2013: 5), kekuasaan bukan hubungan objektif searah: kemampuan seseorang/kelompok untuk memaksakan kehendak kepada orang lain, melainkan merupakan strategi kompleks dalam suatu masyarakat dengan perlengkapan, manuver, teknik, dan mekanisme tertentu. Dengan demikian, kekuasaan yang ditanamkan pemerintah Belanda terhadap Indonesia tidak terputus hanya pada penguasaan fisik dengan kehadiran mereka di sini. Kekuasaan tersebut dibarengi dengan berbagai bentuk pengetahuan yang telah dikonstruksi.

Pembicaraan mengenai bentuk-bentuk representasi dan relasi kuasa pada karya sastra yang berhubungan dengan praktik kolonialisme mengantarkan pada pembicaraan mengenai resistensi. Resistensi adalah suatu proses atau perlawanan yang dilakukan oleh pihak yang merasa tidak puas atau tidak setuju terhadap suatu kebijakan atau program (Sukeni, 2009: 12). Dalam konteks kolonialisme, resistensi berhubungan dengan usaha yang dilakukan oleh kaum yang dijajah terhadap penjajahnya. Resistensi bisa hadir secara terang-terangan dengan

(7)

melakukan perlawanan fisik atau secara ideologis. Iksaka Banu, sebagai warga negara Indonesia, dapat dimengerti kemungkinan besar memasukkan unsur resistensi dalam karya sastranya. Meskipun ditulis setelah kemerdekaan, unsur resistensi tidak dapat dipungkiri bisa saja hadir di dalamnya mengingat sebagai sindiran ataupun protes kepada pemerintah kolonial.

Untuk melihat jejak-jejak kolonialisme dalam karya sastra, digunakan suatu teori yang disebut dengan poskolonialisme. Poskolonialisme membahas segala hal yang berhubungan dengan kolonialisme dalam karya sastra. Hubungan tersebut tidak terbatas pada masa setelah masa kolonial, melainkan sepanjang masa yang masih ada hubungannya dengan praktik kolonialisme. Poskolonialisme adalah istilah untuk pendekatan kritis dalam memahami efek-efek kolonialisme yang terus ada di dalam teks-teks, sedangkan ‗poskolonialitas‘ adalah kata yang merujuk ke sifat dan penyebaran efek-efek tersebut (Day dan Foulcher, 2008: 3).

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan tiga permasalahan yang akan menuntun penelitin ini, yaitu.

(a) Bentuk-bentuk representasi tokoh pribumi dan nonpribumi,

(b) Relasi kuasa antartokoh pribumi dan nonpribumi, pribumi dan pribumi, nonpribumi dan nonpribumi,

(c) Resistensi terhadap pemerintah kolonialisme Belanda dalam cerpen ―Semua untuk Hindia‖ dan ―Selamat Tinggal Hindia‖.

(8)

Berdasarkan analisis dari ketiga permasalahan di atas diharapkan dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai satu misi atau tujuan Iksaka Banu dalam menulis cerpen ―Semua untuk Hindia‖ dan ―Selamat Tinggal Hindia‖. Hal tersebut perlu diungkapkan untuk melihat keterhubungan masalah-masalah yang akan diteliti dengan posisi Iksaka Banu sebagai pengarang dan warga negara dari suatu negara pascakolonial. Apa pesan yang ingin disampaikan oleh Iksaka Banu dalam menulis kembali peristiwa kolonial di masa pascakolonial sekarang ini.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan teoretis dan tujuan praktis. Secara teoretis, penelitian ini memiliki tiga tujuan. Pertama, untuk melihat bentuk-bentuk representasi tokoh dalam cerpen ―Semua untuk Hindia‖ dan ―Selamat Tinggal Hindia‖. Kedua, untuk melihat relasi kuasa yang terjalin antartokoh yang menunjukkan hubungan mereka di bawah pengaruh kekuasaan pemerintah kolonial. Ketiga, mengamati upaya resistensi terhadap pemerintahan kolonialisme dalam cerpen ―Semua untuk Hindia‖ dan ―Selamat Tinggal Hindia‖.

Secara praktis, penelitian ini juga memiliki beberapa tujuan. Pertama, memberikan apresiasi terhadap karya-karya sastra Indonesia, khususnya karya Iksaka Banu. Kedua, sebagai bagian dari usaha mengembangkan kegiatan penelitian sastra Indonesia di Indonesia. Ketiga, sebagai salah satu rujukan untuk melakukan penelitian pada masa mendatang.

(9)

1.4 Tinjauan Pustaka

Penelitian lain serupa yang menggunakan objek material yang sama, sejauh pengetahuan peneliti, belum dilakukan. Penulis baru menemukan sebuah resensi yang ditulis oleh S. Prasetyo Utomo, dosen Universitas PGRI di koran Republika. Dalam resensi tersebut, Utomo menilai kelebihan cerpen-cerpen Iksaka Banu yang membuatnya terpilih sebagai pemenang sayembara Kusala Sastra Khatulistiwa 2014 dalam kategori prosa. Menurut Utomo, kelebihan cerpen-cerpen Iksaka Banu terletak pada detail sejarah, permainan imaji, dan kejutan akhir cerita. Bagi Utomo, gaya bercerita Iksaka Banu yang berbeda dari kebanyakan sastrawan zaman ini yang membuat para juri sepakat menjadikannya pemenang. Iksaka Banu tidak terjebak dalam gaya bercerita dengan pendahsyatan tema. Iksaka Banu mencipta teks sastra dengan kelugasan struktur narasi, tetapi memiliki kedalaman makna. Dengan demikian, Utomo menilai bahwa cerpen-cerpen Iksaka Banu mengandung suatu makna berhubungan dengan peristiwa sejarah di Indonesia, dalam hal ini kolonialisme.

Penelitian ini juga berusaha untuk melihat kedalaman makna sebagaimana yang diungkapkan oleh Utomo sebagai alasan atau tujuan Iksaka Banu menulis kedua cerpen tersebut. Hal itu dapat dilihat, seperti yang telah diutarakan sebelumnya, pada bentuk-bentuk representasi, relasi kuasa, serta resistensi dalam cerpen ―Semua untuk Hindia‖ dan ―Selamat Tinggal Hindia‖. Dengan demikian, penelitian ini memiliki beberapa persetujuan dengan apa yang diungkapkan oleh Utomo. Utomo sempat menyatakan bahwa salah satu kelebihan cerpen Iksaka Banu terletak pada detail sejarahnya. Penelitian ini juga akan berpegang pada

(10)

beberapa catatan historis mengenai peristiwa yang diangkat dalam cerpen, yaitu peristiwa perang Puputan di Bali dan kondisi revolusi di Indonesia. Hal itu dilakukan untuk bisa memberi perbandingan dan penilaian terhadap situasi yang dimunculkan pengarang dalam karya sastranya. Selain itu, pencarian data sejarah sangat berhubungan dengan kajian poskolonial yang interdisipliner. Terlebih lagi, teori poskolonial berhubungan dengan praktik kolonialisme yang sebagian besar telah menjadi sejarah di berbagai belahan bumi.

Beberapa penelitian lain yang menggunakan teori poskolonial telah dilakukan. Salah satunya adalah skripsi dengan judul ―Prasangka Rasial dan Hibriditas dalam Syair Kompeni Welanda Berperang dengan Tjina: Tinjauan Poskolonialisme‖ yang oleh ditulis oleh Dwi Oktarina pada tahun 2013 (UGM). Penelitian tersebut membahas adanya stereotipe baik untuk kaum pribumi, Cina, maupun Belanda yang sama-sama dilekatkan oleh pihak lainnya. Selain itu, penelitian tersebut juga membahas adanya ambivalensi dan hibriditas. Akibat diterapkannya sistem strata sosial oleh Belanda, setiap golongan saling melekatkan stereotipe kepada golongan yang lainnya. Hal itu, seringkali, tidak berdasar pada kenyataan. Stereotipe menjadi penjelas perbedaan satu golongan dengan golongan lain.

Jika penelitian Dwi Oktarina membahas mengenai stereotipe pada kaum pribumi, Cina, maupun Belanda sebagai hasil dari kebijakan strata sosial yang dibuat oleh Belanda, penelitian ini akan melihat bentuk-bentuk representasi (gambaran umum) mengenai tokoh berbangsa Belanda (nonpribumi) dan Indonesia (pribumi). Setelah itu, penelitian ini akan membahas relasi kuasa

(11)

antartokohnya. Hal lain yang kemudian menjadi perhatian dari penelitian ini adalah bentuk-bentuk resistensi yang ada dalam cerpen. Dengan demikian, penelitian ini memiliki fokus permasalahan yang berbeda dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Dwi Oktarina.

Penelitian lain yang menggunakan teori poskolonial juga telah dilakukan oleh Muhammad Fahmi Arif dari UGM pada tahun 2014. Penelitian (skripsi) Muhammad Fahmi Arif berjudul ―Hegemoni dan Resistensi dalam Novel Rahasia Meede Karya Es Ito: Analisis Kritik Sastra Poskolonial‖. Skripsi tersebut membahas adanya hegemoni tokoh-tokoh Belanda terhadap pribumi yang ditunjukkan oleh pemikiran dan perlakuan merendahkan terhadap tokoh-tokoh pribumi dalam konteks masa pascakemerdekaan Indonesia. Sebagai balasannya, para tokoh pribumi melakukan upaya resistensi terhadap tokoh-tokoh berbangsa Belanda. Penelitian itu menunjukkan bahwa meski praktik kolonialisme di Indonesia telah berakhir, cara berpikir kolonial masih terlihat pada masa pascakemerdekaan.

Penelitian ini juga berusaha melihat adanya upaya resintensi yang ada dalam cerpen-cerpen Iksaka Banu. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Fahmi Arif, pertama, terletak pada objek materialnya. Penelitian sebelumnya menggunakan novel, sedangkan penelitian ini menggunakan cerpen. Meskipun sama-sama melihat adanya usaha resistensi dalam karya sastra, penelitian sebelumnya melihat adanya upaya resistensi tokoh pribumi terhadap Belanda pada masa praktik kolonialisme telah berakhir di Indonesia. Penelitian ini menggunakan cerpen yang menggunakan latar waktu

(12)

pada masa praktik kolonialisme Belanda masih berlangsung. Dengan demikian, bentuk-bentuk resistensi serta yang melandasi upaya resintesi tersebut berbeda.

1.5 Landasan Teori

Postcolonialism merupakan istilah yang digunakan oleh para kritikus untuk menguak hubungan antara penjajah dengan terjajah dalam hubungan tidak seimbang praktik kolonialisme. Istilah tersebut sering digunakan untuk menelaah karya sastra, film, bahkan tulisan-tulisan ilmiah yang mengandung wacana kolonial—wacana mengenai hegemoni Barat dan ketertindasan Timur. Kata ‗post‘ yang melekat pada postcolonialism banyak diartikan menjadi ‗pasca‘ atau merujuk pada waktu sesudah kolonialisme. Namun, ‗post‘ pada postcolonialism tidak hanya merujuk pada waktu sesudah kolonialisme, tetapi pada seluruh waktu yang berhubungan dengan kolonialisme. Selain itu, penggunaan kata pasca pada pascakolonialisme dapat memberikan kesan ambigu antara istilah yang digunakan untuk menyebut sebuah teori—padanan istilah postcolonialism—atau kata yang digunakan untuk merujuk pada waktu sesudah kolonialisme. Dengan demikian, untuk menghindari kerancuan antara pasca yang menunjuk pada waktu dengan pasca yang berarti teori, pada penelitian ini akan digunakan istilah poskolo-nialisme.

Poskolonialisme merupakan teori yang membahas jejak-jejak kolonialisme dalam karya sastra. Aschroff (2003: xxii) menerangkan bahwa istilah poskolonial digunakan untuk mencakup seluruh kebudayaan yang pernah mengalami kekuasaan imperial dari awal sejarah kolonisasi hingga kurun waktu sekarang.

(13)

Istilah ‗poskolonial‘ merupakan istilah paling tepat untuk menyebut kritik-kritik lintas--budaya yang muncul akhir-akhir ini serta wacana yang dibentuknya.

Ratna (2011: 212-213) menyebutkan setidaknya ada empat alasan mengapa karya sastra dianggap tepat untuk dianalisis melalui teori poskolonial. Pertama, segala gejala kultural sastra menampilkan sistem komunikasi antara pengirim dan penerima, sebagai mediator antara masa lampau dengan masa sekarang. Kedua, karya sastra menampilkan berbagai problematika kehidupan, emosionalitas dan intelektualitas, fiksi dan fakta. Ketiga, karya sastra tidak terikat oleh ruang dan waktu, kontemporaritas adalah manifestasinya yang paling signifikan. Keempat, berbagai masalah yang dimaksudkan ditampilkan secara tersirat. Di sinilah ideologi oriental ditanamkan, di sini pulalah analisis dekonstruksi poskolonial dilakukan.

Peneliti yang menggunakan teori poskolonialisme harus mempertimbang-kan kekhasan dalam kaitannya dengan bangsa dan wilayah masing-masing yang menjadi objek kajiannya. Oleh karena itu, teori poskolonial dikatakan multidisiplin sekaligus sebagai studi kultural (Ratna, 2011: 208). Konsep tersebut didahului oleh pemikiran Foucault (Foucault, 2012: 6) yang menerangkan bahwa ilmu-ilmu manusia muncul ketika ada upaya mendefinisikan bagaimana sekelompok individu berbicara dalam kata-kata peradabannya yang mengandung ceruk-ceruk keterikatan sosio-kultural. Itulah kata kunci ilmu-ilmu manusia yang bermula dari pemahaman bahasa dan dikursus (Foucault, 2012: 6). Dengan demikian, penelitian poskolonial selalu mempertimbangkan hubungan dengan kondisi masyarakat yang menjadi pembahasannya.

(14)

Loomba (2003: 26) meletakkan studi-studi pascakolonial pada dua konteks luas yang saling bertumpang-tindih. Pertama, sejarah dekolonisasi. Para intelektual dan para aktivis yang berjuang melawan pemerintahan kolonial, dan para penerus mereka yang kini menghadapi warisan kolonial yang masih berlanjut, dalam proses mengupayakan agar suara mereka itu didengar, telah mempertanyakan dan merevisi definisi-definisi dominan tentang ras, budaya, bahasa, dan kelas. Kedua, adalah revolusi, di dalam tradisi-tradisi intelektual Barat, dalam pemikiran tentang sebagian dari isu-isu yang sama—bahasa dan bagaimana bahasa ini mengartikulasi pengalaman, bagaimana ideologi-ideologi bekerja, bagaimana subjektivitas-subjektivitas manusia dibentuk, dan apa yang mungkin kita maksudkan dengan budaya. Dengan demikian, dalam poskolonial, penting untuk melihat relasi kuasa yang melingkupi beserta upaya resistensi yang mengiringinya.

Representasi, dalam konteks studi poskolonial, menjadi satu istilah yang mengandung hubungan antara penjajah dan yang dijajah. Ratna (2008: 458) menulis bahwa representasi, secara harfiah berarti perwakilan atau penampilan, masuk ke dalam salah satu wilayah studi kultural, tempat dikonstruksi dan ditampilkan berbagai fakta sosial. Said (2010: xi) menyebutkan bahwa repre-sentasi menjadi salah satu konsep kunci dalam buku Orientalisme. Reprerepre-sentasi bukanlah soal ―benar‖ atau ―salah‖. Bagi Said, representasi adalah formasi. Jadi, penting untuk melihat bagaimana formasi itu dibuat, siapa yang membuat, dan seperti apa formasi tersebut.

(15)

Membicarakan wacana poskolonial dalam pengertian Foucault atau Said dengan demikian adalah menunjukkan cara-cara berpikir tertentu dalam bahasa, kebenaran, kekuasaan, dan hubungan antara ketiganya (Bill dkk., 2003: 258-259). Kebenaran adalah apa yang dikatakan benar dalam sebuah sistem peraturan yang membentuk suatu wacana tertentu, sedangkan kekuasaan adalah aturan-aturan yang menguasai, menentukan, dan menguji kebenaran tersebut. Kebenaran tidak pernah berada di luar kekuasaan atau terpisah dari kekuasaan; penciptaan kebenaran tidak lain merupakan fungsi dari kekuasaan, dan, sebagaimana dikemukakan Foucault sendiri, ‗kita tidak dapat mengoperasikan kekuasan kecuali melalui penciptaan kebenaran‘. Oleh karena itu, wacana poskolonial didasarkan pada suatu perjuangan untuk meraih kekuasaan, yakni kekuasaan untuk mengontrol bahasa metropolitan (Foucault via Bill dkk., 2003:258). Kekuasaan tertanam dalam bahasa karena ia memberikan istilah-istilah yang dengannya kebenaran itu ditentukan—seperti istilah inlander yang digunakan pemerintah kolonial Belanda untuk menyebut rakyat Indonesia. Istilah tersebut beserta segala konsukensinya menjadi salah satu alat kekuasaan pemerintah Belanda, memberikan suatu kebenaran, untuk memperadabkan suatu kaum atau ras yang disebut inlander.

Wacana (diskursus)—yang dipahami sebagai penjelasan, pendefinisian, pengklasifikasian, dan pemikiran tentang orang, pengetahuan, dan sistem-sistem abstrak pemikiran—menurut Foucault (via Aur, 2005:150) tidak terlepas dari relasi kekuasaan. Foucault berpendapat bahwa, ―kekuasaan dan pengetahuan secara langsung saling menyatakan antara satu dengan yang lain ... tidak ada relasi

(16)

kekuasaan tanpa dinyatakan dalam hubungannya dengan wilayah pengetahuan ... subjek yang mengetahui, objek yang diketahui, dan modalitas-modalitas pengetahuan harus dipandang (dihargai) sebagai akibat dari implikasi-implikasi fundamental pengetahuan/kekuasaan dan transformasi-transformasi historis mereka‖ (Aur, 2005: 151). Kekuasaan dan pengetahuan memiliki hubungan yang saling terkait. Dengan demikian, dalam suatu pengetahuan hendaknya dilihat relasi kekuasaan yang ada di baliknya.

Loomba (2003: 71) menyebutkan bahwa ―wacana kolonial‖ menunjukkan cara pemikiran baru dalam mana proses-proses kultural, intelektual, ekonomis, atau politis dilihat bekerja bersama dalam pembentukan, pelestarian, dan penggulingan kolonialisme. Wacana ini mencoba meluaskan studi-studi kolonialisme dengan menelaah pertemuan antara gagasan-gagasan, dengan lembaga-lembaga, pengetahuan dan kekuasaan. Akibatnya, kekerasan kolonial dilihat meliputi juga suatu aspek ―epistemik‖, yaitu serangan terhadap budaya, gagasan-gagasan dan sistem-sistem nilai rakyat-rakyat terjajah. Lebih umum, studi-studi wacana kolonial itu ingin membahas bagaimana stereotip-stereotip, gambaran-gambaran, dan ―pengetahuan‖ tentang subjek-subjek dan budaya-budaya kolonial terkait dengan lembaga-lembaga kendali ekonomis, administratif, yudisial, dan biomedis (Loomba, 2003:71-72).

Spivak (via Faruk, 2007:6), dengan mendasarkan diri pada pendekatan dekonstruksi Derrida memahami wacana kolonial yang dominan sebagai wacana yang terpecah, rupture. Keterpecahan itu dapat ditemukan dengan dua cara, yaitu (a) dengan mengungkapkan bagaimana wacana itu menyangkal sendiri

(17)

asumsi-asumsi dasarnya dan (b) dengan memberikan perhatian pada unsur-unsur dan wacana yang dimarginalkan oleh wacana yang dominan tersebut. Dengan demikian, Spivak menganggap bahwa wacana kolonial tidak tertutup dari kemungkinan adanya resistensi. Bahkan, wacana itu sendiri dapat melawan dirinya sendiri sehingga dapat menimbulkan efek yang berkebalikan dengan kehendak penguasa, yaitu efek yang memberdayakan masyarakat terjajah (Faruk, 2007:6).

Resistensi, menurut De Witt (via Sukeni, 2009:19), adalah perlawanan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lainnya (kelompok dominan). Bagi De Witt, suatu konsensus yang terjadi di dalam suatu komunitas masih menyisakan anggota yang tidak setuju. Kelompok inilah yang pada suatu kesempatan akan melakukan resistensi atau perlawanan. Resistensi tersebut dapat dilakukan secara terang-terangan atau secara halus dengan sikap dan perilaku sebagai gambaran-nya. Hal tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Aschroft (via Fahmi, 2014: 22--3) bahwa resistensi terbagi menjadi dua jenis, yaitu radikal dan pasif. Resistensi radikal lebih mengacu kepada perlawanan dengan kekerasan sedangkan resistensi pasif lebih bersifat ideologis, dilakukan tanpa kekerasan.

1.6 Populasi, Sampel, dan Data

Populasi dalam penelitian ini adalah ketiga belas cerpen yang ada dalam antologi Semua untuk Hindia karya Iksaka Banu. Ketiga belas cerpen dalam antologi itu memiliki latar kehidupan masa kolonialisme di Indonesia. Ada kisah mengenai kehidupan ‗nyai‘—sebutan untuk wanita pribumi yang menikah dengan

(18)

lelaki Belanda—dalam cerpen ―Stambul Dua Pedang‖ dan ―Racun untuk Tuan‖. Lika-liku kehidupan tentara Belanda yang terjebak perang dalam ―Keringat dan Susu‖, ―Tangan Ratu Adil‖, ―Di Ujung Belati‖, dan ―Bintang Jatuh‖. Kisah wartawan yang meliput kondisi Indonesia dalam ―Selamat Tinggal Hindia‖ dan ―Semua untuk Hindia‖. Kisah seorang inspektur polisi Indo--Belanda dalam ―Gudang Nomor 012B‖, tawanan Belgia yang bertemu dengan pangeran Diponegoro dalam ―Pollux‖, pertemuan seorang mantri Belanda dengan Untung Surapati dalam ―Penunjuk Jalan‖, ―Mawar di Kanal Macan‖ yang menceritakan kisah perselingkuhan petinggi Belanda, serta ―Penabur Benih‖ yang menceritakan perjalanan berat para misionaris Belanda karena terserang cacar.

Dari ketiga belas cerpen Iksaka Banu, sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah cerpen berjudul ―Semua untuk Hindia‖ dan ―Selamat Tinggal Hindia‖. Pemilihan sampel didasarkan pada kesamaan inti cerita kedua cerpen itu yang berusaha mempertanyakan kekuasaan kolonialisme Belanda di Indonesia dari perspektif seorang wartawan. Wartawan dapat dikatakan sebagai agen tidak langsung kolonialisme. Hal itu disebabkan tugas wartawan yang menjadi agen pemerintah sekaligus pengontrol pemerintah. Dengan demikian, sebagai wartawan, para tokoh Belanda yang ditampilkan berada di ruang yang berbeda dengan pemerinah kolonial. Mereka bisa dianggap sebagai ‗pengamat‘ dalam hubungan Belanda--Indonesia. Meski begitu, sebagai warga negara Belanda, mereka tetap memiliki keterikatan dengan pemerintah kolonial. Keterikatan itu maupun keindependenan mereka sebagai ‗pengamat‘ menjadi hal yang menarik untuk ditelaah. Selain itu, kesamaan kedua judul cerpen yang sama-sama

(19)

menggunakan nama Hindia menjadi tanda tanya tersendiri. Adakah hubungan nama Hindia pada kedua cerpen itu ataukah hanya sebuah ketidaksengajaan.

Bentuk-bentuk representasi yang ditampilkan dalam cerpen, relasi kuasa yang melingkupinya, serta resistensi akan menjadi data penelitian ini. Hal itu sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti. Hubungan dari ketiga hal tersebut diasumsikan mampu melihat apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh pengarang melalui kedua cerpennya.

1.7 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini terbagi atas metode pengumpulan data dan analisis data.

1.7.1 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data (Faruk, 2012: 24--5) adalah cara atau teknik yang merupakan perpanjangan dari indera manusia karena tujuannya adalah mengumpulkan fakta-fakta empirik yang terkait dengan masalah penelitian. Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode kepustakaan karena berhubungan dengan teks. Data yang dikumpulkan berupa kata, frasa, maupun kalimat yang terdapat dalam cerpen ―Semua untuk Hindia‖ dan ―Selamat Tinggal Hindia‖. Data tersebut dipilih berdasarkan keber-hubungannya dengan masalah yang akan diteliti, yaitu representasi, relasi kuasa, dan resistensi. Kata, frasa, maupun kalimat yang ada dalam cerpen akan

(20)

dipilah-pilah dan dipilih mana yang dapat menunjukkan representasi, relasi kuasa, serta resistensi.

1.7.2 Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif analitis. Metode deskriptif analitis dilakukan dengan cara mendeskrip-sikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2011:53). Dari arti tambahannya (Ratna, 2011:53), metode deskriptif analisis tidak berhenti hanya sampai batas menguraikan, tetapi juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya.

Metode analisis data dilakukan setelah didapatkan data-data berupa kata, frasa, maupun kalimat dalam cerpen ―Semua untuk Hindia‖ dan ―Selamat Tinggal Hindia‖. Bentuk-bentuk representasi dalam cerpen dapat diamati dari data yang menunjukkan penggambaran seorang tokoh, baik pribumi dan nonpribumi. Representasi akan terlihat dari cara pengarang menempatkan tokohnya sebagai seseorang berkebangsaan apa, bagaimana penampilannya, pemikirannya, serta caranya bersikap dan berbicara. Relasi kuasa antartokoh akan tampak dari bagai-mana satu tokoh berhubungan dengan tokoh lainnya. Hal itu dapat ditunjukkan dari bagaimana seorang tokoh memandang tokoh lain atau berdialog dengan tokoh lain. Resistensi dalam cerpen akan dilihat dari data yang dapat menunjukkan adanya ketidaksetujuan atau penolakan, sindiran terhadap pemerintah kolonialisme Belanda. Hal itu dapat dilihat dari pemikiran atau tindakan seorang tokoh, atau dari keseluruhan cerita.

(21)

Hasil analisis akan ditampilkan dalam bentuk deskripsi. Suatu data akan diuraikan penjelasan analisisnya. Apakah data tersebut menunjukkan representasi tertentu, relasi kuasa, ataupun resistensi. Selain itu, analisis yang dilakukan juga akan melihat makna yang tersirat dalam karya sastra. Dengan demikian, kesimpulan yang didapat berdasarkan hubungan ketiga permasalahan yang diteliti.

1.8 Sistematika Laporan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang akan diteliti, penelitian ini akan ditampilkan ke dalam lima bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi (a) latar belakang penelitian; (b) rumusan masalah; (c) tujuan penelitan; (d) tinjauan pustaka; (e) landasan teori; (f) populasi, sampel, data; (g) metode penelitian; dan (h) sistematika laporan penelitian. Bab kedua merupakan bab analisis yang akan membahas bentuk-bentuk representasi kaum pribumi dan nonpribumi. Bab ini disajikan dalam subbab besar (a) bentuk-bentuk representasi dalam cerpen ―Semua untuk Hindia‖ dan (b) bentuk-bentuk representasi dalam cerpen ―Selamat Tinggal Hindia‖. Dalam setiap subbab tersebut akan dibagi lagi dalam subsubbab mengenai bentuk-bentuk representasi tokoh pribumi dan nonpribumi. Subsubbab itu akan dibagi lagi dengan membahas setiap tokoh pribumi dan nonpribumi dalam cerpen. Bab ketiga akan membahas relasi kuasa antartokoh yang ada dalam cerpen. Bab itu akan dibagi dalam subbab mengenai (a) relasi kuasa dalam cerpen ―Semua untuk Hindia‖ dan (b) relasi kuasa dalam cerpen ―Selamat Tinggal Hindia‖. Kedua subbab tersebut akan berisi pembahasan mengenai relasi kuasa antartokoh dalam setiap cerpen. Pada bab keempat akan dibahas masalah

(22)

resistensi yang tampak dalam cerpen. Bab empat dibagi ke dalam subbab (a) penggunaan nama Hindia untuk udul cerpen, (b) resistensi dalam cerpen ―Semua untuk Hindia‖, dan (c) resistensi dalam Cerpen ―Selamat Tinggal Hindia‖. Bab kelima merupakan kesimpulan.

Referensi

Dokumen terkait

KJ selaku dosen pembimbing 1 yang telah bersedia meluangkan waktunya, pengalaman, ilmu, bantuan pemikiran dan bimbingan yang sangat berguna dalam proses penyelesaian Karya

Banyak faktor yang menyebabkan beberapa penelitian tentang efisiensi perbankan mengalami perbedaan pada hasil penelitiannya diantaranya penggunaan metode pengukuran,

Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Terdapat jaminan seperti

Pada hari ini, Rabu tanggal 30 Maret zoLL, saya yang dengan Keputusan Rektor Universitas Negeri Malang Nomor t&8,lKEPlH}zlKpl2ot1 tanggal 2g Maret zoLL, dosen

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi peningkatan konsentrasi pektin albedo jeruk bali dan gliserol yang ditambahkan terhadap karakteristik edible film

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dari metode NDVI, LST dan red edge menunjukkan bahwa data penginderaan jauh satelit terutama dengan kanal merah, kanal

Apabila oleh divisi pelaksana dinyatakan lolos atau bukan plagiat maka ketua Umum Komisi Etik dan Pelaksana Deteksi Plagiasi Karya Tulis Ilmiah akan memberikan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terdapat pengaruh yang nyata genotipe tanaman yang diuji terhadap tinggi tanaman, diameter batang, umur berbunga, umur