• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modal Budaya dan Modal Sosial dalam Industri Seni Kerajinan Keramik 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Modal Budaya dan Modal Sosial dalam Industri Seni Kerajinan Keramik 1"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Seni Kerajinan Keramik

1 A n t o n i u s P u r w a n t o

Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Sam Ratulangi Manado Email: antonpur@yahoo.com

Abstrak

Modal budaya dan sosial memiliki peran penting dalam perkembangan klaster industri seni kerajinan keramik. Tulisan ini mendeskripsikan dan menjelaskan peranan modal budaya dan sosial dalam perkembangan klaster industri seni kerajinan keramik di Kasongan serta dinamika hubungan dominasi, subordinasi, dan resistensi di antara para pengusaha. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, penelitian ini menunjukkan peran penting modal budaya dalam mengubah klaster dari yang semula memproduksi keramik tradisional-fungsional menjadi klaster yang memproduksi keramik artistik. Modal budaya juga penting bagi mobilitas ke atas di antara para pengusaha. Modal sosial dalam bentuk jaringan sosial penting dalam memfasilitasi proses transaksi dan pemasaran keramik serta memungkinkan organisasi dan institusi bekerja dengan baik. Konsep modal sosial Bourdieu dan Putnam bersifat saling melengkapi untuk menjelaskan realitas empiris dalam klaster industri. Pengusaha dominan mencoba untuk mempertahankan dominasinya dengan menggunakan modal simbolik dan mengembangkan klaster demi kepentingan dirinya serta para pengusaha secara keseluruhan.

Abstract

Cultural and social capital is important in the development of industrial cluster of ceramic art craft. This paper describes and explains the role of cultural and social capital in the development of industrial cluster of ceramic art craft in Kasongan. This paper also describes and explains the dynamics of domination and resistance among entrepreneurs in the cluster. By using qualitative research methods show that cultural capital is important for the change of the cluster from the one which produce traditional-functional ceramic to the one which produce artistic ceramic. It is also important for upward social mobility among entrepreneurs. Social capital is important for facilitating economic transaction and for making organization or institution doing a good performance. Bourdieu and Putnam’s concept of social capital are complementary in explaining empirical reality of the cluster. The dominant entrepreneurs have tried to maintain their domination by using of symbolic capital and by developing the cluster in the interest of himself and all entrepreneurs.

Keywords: cultural capital, domination-resistance, field, social capital 1 Ditulis ulang dari disertasi penulis pada program Doktor Sosiologi FISIP UI, tahun 2012

(3)

PE n DA H U LUA n

Klaster industri Kasongan merupakan salah satu klaster industri di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang memproduksi keramik artistik. Lebih dari 80% produksinya untuk memenuhi pasar luar negeri. Pada awalnya klaster ini hanya memproduksi peralatan rumah tangga untuk memasak dan menyimpan air. Sejak akhir tahun 1960-an, klaster ini mulai berubah menjadi klaster industri seni kerajinan yang memproduksi keramik artistik. Perubahan terjadi karena diperkenalkannya desain keramik dengan dekorasi artistik oleh para seniman. Permintaan produk keramik artistik yang terus meningkat mendorong pemerintah untuk memberikan bantuan kepada para perajin dalam bentuk program pengembangan usaha (guntur 2005; Raharjo 2009). Sebagian besar unit usaha yang ada merupakan unit usaha skala kecil dan menengah.

Pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah bagaimana modal budaya mengubah arena produksi ekonomi menjadi arena produksi budaya skala besar? bagaimana modal budaya membantu mobilitas sosial vertikal para pengusaha? bagaimana peranan modal sosial dalam mendukung perkembangan arena? bagaimana hubungan dominasi dan resistensi di antara pengusaha? Tulisan ini menunjukkan bahwa modal budaya bisa mengubah klaster industri kerajinan yang semula memproduksi keramik fungsional-tradisional menjadi klaster yang memproduksi keramik artistik yang bernilai simbolik. Para pengusaha yang menguasai banyak modal budaya bisa lebih cepat mengalami mobilitas vertikal ke atas daripada pengusaha yang menguasai sedikit modal budaya. Modal sosial dalam klaster memiliki peran yang besar dalam memfasilitasi proses transasksi di antara para pengusaha, membantu para pengusaha untuk menguasai modal ekonomi, dan memungkinkan institusi yang ada bekerja dengan baik dalam memberikan layanan kepada para pengusaha. Pengusaha yang dominan dengan modal simboliknya— modal ekonomi, budaya, dan sosial yang diakui sah—mendominasi klaster industri kerajinan keramik dan mempertahankan posisinya dengan menguasai koperasi; berusaha membuat aturan pemilikan dan penggunaan desain keramik, serta bekerja sama dengan pemerintah dalam memajukan klaster industri kerajinan keramik secara keseluruhan.

(4)

Ada beberapa penelitian mengenai klaster industri seni kerajinan di Kasongan. Brata (2011) menaruh perhatian pada peranan modal sosial terhadap inovasi namun kurang menaruh perhatian pada peranan modal sosial dalam memfasilitasi transaksi di antara para pengusaha dan mengabaikan aspek hubungan vertikal dari modal sosial. nugraha (2009) menaruh perhatian pada pengelolaan modal pengetahuan (modal budaya) dari para pengusaha. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pengusaha besar lebih baik dalam mengelola modal pengetahuan daripada pengusaha kecil. namun demikian, penelitian tersebut tidak menunjukkan peran modal pengetahuan dalam mengubah klaster dan mobilitas vertikal para pengusaha. guntur (2005) dan Raharjo (2009) menunjukkan pengaruh antara lingkungan ekonomi, sosial, budaya internal dan eksternal yang memunculkan perubahan dalam fungsi dan dekorasi keramik. Raharjo juga menekankan pengaruh besar globalisasi dalam mempercepat perubahan dan perkembangan desain dekorasi keramik. Akan tetapi, baik guntur maupun Raharjo tidak menggunakan konsep modal sosial dan budaya secara ekspilisit dan tidak melihat kaitan antara keduanya. Ismalina (2011) menunjukkan peranan modal sosial dalam memfasilitasi transaksi dan penyebaran inovasi serta peranan aktor dominan dalam memajukan klaster. namun demikian, dia tidak melihat sisi vertikal modal sosial dan modal simbolik sebagai sarana untuk mendominasi dalam klaster.

Tulisan yang terinspirasi oleh tulisan Bourdieu dalam the Field of Cultural Production (1993) ini berusaha memandang klaster industri keramik sebagai arena produksi budaya dengan melihat kaitan antara bentuk-bentuk modal dalam perkembangan klaster serta praktik dominasi dan resistensi. Dengan demikian, tulisan ini dapat mengisi kekurangan tulisan-tulisan sebelumnya dengan menunjukkan: (a) peran modal budaya dalam mengubah klaster industri keramik dan mobilitas vertikal para pengusaha, (b) dimensi vertikal modal sosial serta perannya dalam memfasilitasi transaksi dan penutupan jaringan sosial sebagai sarana mempertahankan dan mendapatkan modal ekonomi, dan (c) dinamika dominasi dan resistensi di antara para pengusaha.

(5)

M ETODE PE n E L I T I A n

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian lapangan untuk pengumpulan data dilakukan mulai dari Bulan Oktober 2011 hingga Desember 2012 dengan mewawancarai 49 orang informan yang terdiri dari para perajin, baik yang menjadi pengusaha atau pekerja, para pejabat instansi pemerintah yang terdiri dari Bappeda Bantul, Disperindagkop, Dinas Pendidikan dan Pariwisata, Dinas Pekerjaan Umum, pejabat Unit Pelaksana Terpadu (UPT), para pejabat kelurahan dan dusun, serta pengurus koperasi. Wawancara terhadap pekerja dan pengusaha dilakukan dengan mempertimbangkan usia sehubungan dengan pengetahuannya mengenai perkembangan klaster dari tahun ke tahun. Observasi dilakukan pada showroom besar dan kecil untuk melihat jenis-jenis produk keramik yang dipajang dan proses produksi di bengkel kerja untuk melihat interaksi antara sesama pekerja dan antara pekerja dan pengusaha.

H A BI T US, A R E nA , DA n MODA L

Bourdieu berusaha menjelaskan regularitas tindakan individu dengan menolak pandangan obyektivisme, subyektivisme dan perilaku rasional. Bagi Bourdieu, individu yang tindakannya nampak seperti koor tanpa konduktor dibentuk oleh habitus. Dia mendefinisikan habitus sebagai:

“Sistem disposisi yang bertahan lama dan dapat berubah, struktur yang terstruktur yang berpengaruh dan berfungsi sebagai struktur yang membentuk struktur, yaitu sebagai prinsip yang menghasilkan dan mengorganisir praktik dan representasi, yang secara obyektif dapat disesuaikan dengan hasil-hasilnya tanpa menuntut kesadaran yang mengarah pada satu tujuan atau mengekspresikan penguasaan tindakan-tindakan yang penting untuk mencapainya” (1990:53).

Habitus individu dibentuk oleh posisi individu dalam arena (field). Arena adalah jaringan hubungan-hubungan obyektif di antara posisi-posisi. Posisi-posisi didefinisikan secara obyektif dan mempengaruhi individu yang mendudukinya, agen atau institusi.

(6)

Arena menggambarkan struktur distribusi dan spesies kekuasaan (modal) yang pemilikannya memberikan akses pada keuntungan-keuntungan spesifik yang menjadi sasaran dan akan dicapai dalam arena tersebut (Bourdieu 1992:97). Posisi individu dalam arena ditentukan oleh penguasaan modal. Dalam masyarakat terdapat banyak arena seiring dengan tingkat diferensiasi sosialnya. Dalam arena para aktor (individu atau kelompok) berjuang untuk meningkatkan posisinya pada tangga stratifikasi dengan cara mengakumulasi modal. Seperti Marx, Bourdieu mengatakan bahwa modal merupakan kerja yang terakumulasi. Modal menjadi dasar, membentuk, dan mempertahankan tatanan sosial (Bourdieu 2002:280). Bourdieu membedakan empat modal yaitu modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan simbolik (Bourdieu 2002:281). Dalam kondisi stabil orang yang memiliki banyak modal ekonomi cenderung memiliki banyak modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik. Bourdieu membedakan modal budaya menjadi tiga bentuk, yaitu pertama, bentuk embodied, misalnya pengetahuan, keahlian, atau ketrampilan teknis, selera, disposisi artistik, dan sebagainya. Kedua, bentuk obyektif, misalnya resep, formula, barang seni, perangkat komputer, dan sebagainya. Penggunaan secara bermakna modal budaya obyektif ini mengandaikan dimilikinya modal budaya embodied. Minat untuk membeli dan menikmati barang seni sebagai modal budaya obyektif mengandaikan dimilikinya disposisi artistik (bentuk embodied). Ketiga, modal budaya dalam bentuk institusional yang berwujud, misalnya, sertifikat atau ijazah (Bourdieu 2002:282).

Arena produksi budaya adalah arena yang memproduksi barang-barang yang bernilai simbolik. Berdasarkan otonomi dalam evaluasi produknya, Bourdieu membedakan antara dua arena produksi budaya yaitu arena produksi budaya terbatas (APBT) dan arena produksi budaya skala besar (APBSB). APBT menghasilkan produk seni demi seni itu sendiri atau seni tingkat tinggi (highbrow); arena produksi budaya skala besar memproduksi seni populer atau massal (lowbrow). APBT memproduksi barang seni untuk para produksen sendiri (seniman, museum, kurator dan kolektor), dan karena itu evaluasinya bersifat otonom—kriteria evaluasinya ditentukan oleh para seniman sendiri. APBSB memproduksi barang seni untuk para konsumen awam yang memiliki kemampuan untuk membelinya. APBSB tidak otonom karena kriteria evaluasinya ditentukan oleh para konsumen yang kurang terdidik dalam dunia seni (kaum awam). Kekuatan

(7)

pasarlah yang menentukan bentuk-bentuk seni yang akan diproduksi (Bourdieu 1993:115-116). Bersama dengan kekuatan pasar, dapat diitunjukkan bahwa modal budaya bahwa mampu mengubah klaster industri keramik dari APBT menjadi APBSB serta menjadi sarana mobilitas sosial vertikal bagi para aktor.

Selain menjelaskan konsep habitus dan arena, Bourdieu juga mengemukakan konsep modal, yagn salah satunya adalah modal sosial. Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai:

“Aggregat sumberdaya aktual dan potensial yang dikaitkan dengan pemilikan jaringan hubungan perkenalan dan pengakuan yang terlembaga dan awet – atau dengan kata lain, pada keanggotaan dalam suatu kelompok – yang memberikan pada tiap anggotanya dukungan modal yang dimiliki secara kolektif, ’kepercayaan’ yang memungkinannya mendapatkan kredit dalam berbagai pengertian kata” (2002:286).

Konsep modal sosial yang dikemukakan Bourdieu menekankan isi modal sosial dan penutupan jaringan sosial untuk mendapatkan keuntungan dari modal sosial secara efektif. Di samping itu, konsepnya mengandaikan bahwa modal sosial merupakan wahana bagi agen untuk mencapai tujuan instrumental. Solidaritas kelompok sebagai modal sosial adalah solidaritas dari suatu kelompok sebagai bagian dari kelompok yang lebih besar dan bukan sebagai solidaritas kelompok yang lebih besar itu sendiri. Solidaritas kelompok sebagai modal sosial mengimplikasikan bahwa ada konflik sosial yang aktual atau potensial dalam perjuangan memperebutkan modal ekonomi, modal budaya, dan modal sosial di antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Putnam (1993:167) mendefinisikan modal sosial sebagai sifat-sifat organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi. Afiliasi dalam berbagai kelompok atau asosiasi dalam komunitas adalah suatu bentuk jaringan keterlibatan warga yang meningkatkan kepercayaan umum. Jaringan keterlibatan warga meningkatkan biaya potensial bagi orang yang melakukan pelanggaran norma dalam setiap transaksi individual; menyuburkan norma resiprositas; memfasilitasi komunikasi; memperbaiki arus informasi mengenai dapat dipercaya atau tidaknya individu; dan mewujudkan sukses masa lampau pada kerjasama yang dapat bermanfaat sebagai

(8)

contoh kultural bagi kerjasama di masa mendatang (Putnam 1993: 173-174).

Erat hubungannya dengan modal sosial, granovetter mempersoalkan transaksi ekonomi melalui hierarki dan pasar dengan menyatakan bahwa transaksi melalui hubungan sosial (modal sosial) akan menghasilkan kepercayaan dan menghalangi munculya tindakan menyimpang. Memilih bertransaksi dengan individu yang reputasinya dikenal mengimplikasikan bahwa sesungguhnya hanya sedikit orang yang mengandalkan pada moralitas umum atau aturan institusional untuk melindungi diri dari penyimpangan tersebut. Transaksi melalui jaringan akan memberikan informasi yang lebih baik bagi individu, menumbuhkaan motivasi ekonomi dipercaya, dan menghindari oportunisme (granovetter 1985:490). Terdapat karya lain yang mendukung pernyataan mengenai keuntungan transaksi melaui jaringan sosial, seperti Podolny 1998:59, Powell 1990, dan Jones 1997. Penulis berpendapat bahwa konsep modal sosial Bourdieu dan Putnam bersifat saling melengkapi dalam menjelaskan klaster industri seni kerajinan keramik. Sifat saling melengkapi dari dua konsep tersebut akan menjadi jelas jika keduanya dihubungkan dengan konsep nee mengenai institusionalisme baru dalam sosiologi ekonomi. nee mendefinisikan institusi sebagai “sistem dominan yang terdiri dari unsur-unsur formal dan informal—kebiasaan, keyakinan bersama, konvensi, norma, dan aturan—dimana aktor mengarahkan tindakan-tindakan mereka pada saat mereka mengejar tujuan-tujuannya.” (nee 2005:55). Institusi merupakan struktur sosial yang memberikan jalan bagi tindakan kolektif dengan memfasilitasi dan mengorganisasi kepentingan aktor dan memaksakan hubungan agen-prinsipal.

Kerangka kerja institusional meliputi aturan-aturan formal lingkungan institusional (aturan regulasi formal yang dimonitor dan dipaksakan oleh negara yang mengatur hak milik, pasar, dan perusahaan) dan aturan-aturan informal yang melekat dalam hubungan-hubungan sosial, yang berinteraksi untuk membentuk perilaku ekonomi (nee 2005:56). Mekanisme institusional bekerja dari lingkungan instusional turun ke bidang organisasi. Kemudian organisasi dengan aturan-aturannya, yang dalam pembentukannya dipengaruhi oleh lingkungan institusional, mempengaruhi dinamika hubungan-hubungan sosial dalam organisasi. Dari bawah, dinamika hubungan sosial mempengaruhi organisasi dan kemudian organisasi melakukan tindakan kolektif untuk melobi negara dalam formulasi

(9)

kebijakan. Kaitan modal sosial Bourdieu dengan konsep institusi nee nampak pada usaha para aktor dalam memanfaatkan institusi untuk mengejar modal ekonomi dan simbolik. Misalnya, usaha para aktor pengurus koperasi membuat aturan-aturan dalam koperasi agar lebih sesuai dengan kepentingannya. Kaitan modal sosial Putnam dengan institusi nampak pada kemampuan jaringan, norma, dan kepercayaan di antara para pengusaha untuk menjaga institusi koperasi agar tetap menunjukkan kinerja yang relatif baik.

Perjuangan dalam arena untuk mendapatkan modal memunculkan stratifikasi sosial di antara para pengusaha. Pengusaha dominan akan mempertahankan posisinya pada puncak hierarki tidak hanya dengan mengakumulasi modal ekonomi, tetapi juga mengembangkan pandangan atau visi dunia dan mencoba mengimplementasikannya dalam arena. Dalam arena yang stabil, pandangan dunia dan situasi obyektif arena saling mendukung satu terhadap yang lain. Bourdieu menyatakan bahwa untuk mengubah dunia orang harus mengubah cara membentuk dunia, yaitu visi dunia dan kerja-kerja praktis dengan mana kelompok diproduksi dan direproduksi. Kekuasaan simbolik merupakan kekuasaan untuk membentuk kelompok. Ada dua kondisi penguasaan modal simbolik, yaitu pemilikan modal simbolik dan derajat pada mana visi yang dipromosikan tersebut didasarkan realitas yang dibangun (Bourdieu 1989:23). Visi dunia adalah sama seperti konsep kontrol yang diusulkan oleh Fligstein (1996).

Pengusaha dominan akan mengembangkan visi dunia atau konsepsi kontrol yang sesuai dengan kepentingan individualnya dan pada saat yang sama memperhatikan kepentingan pengusaha sub-ordinat. Pengusaha dominan juga mengembangkan klaster yang menguntungkan dirinya dan pengusaha sub-ordinat secara keseluruhan karena kemungkinan pengusaha dominan mendapat keuntungan juga tergantung pada keberlanjutan dan kemajuan klaster (Bourdieu 2005:79; Fligstein 2008:14). Bourdieu menyatakan bahwa hubungan dominasi, apakah material atau simbolik, selalu menghasilkan resistensi. Pengusaha yang didominasi dalam bidang apapun selalu menghasilkan kekuatan tertentu karena masuk dalam arena juga berarti bahwa per definisi orang mampu menghasilkan efek di dalamnya (Bourdieu 1992:80). Pengusaha subordinat melakukan tindakan resistensi terhadap pengusaha dominan dengan mengembangkan ide atau pandangan dunia yang bertentangan dengan pandangan dunia yang dipromosikan oleh pengusaha dominan,

(10)

misalnya pengusaha kecil mengembangkan ide bahwa desain keramik merupakan milik bersama.

MODA L BU DAYA , DI FE R E nSI A SI SOSI A L , DA n MOBI L I TA S SOSI A L

Kasongan merupakan subdusun Kajen, dusun yang terletak di bagian timur Kelurahan Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Kabupaten Bantul sendiri dikenal sebagai daerah kunjungan wisata yang penduduknya menghasilkan kerajinan tangan, seperti keramik artistik, kerajinan batik, kerajinan kulit, dan sebagainya, untuk pasar dalam dan luar negeri. Asal-usul klaster industri keramik Kasongan dapat ditelusuri hingga Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) pada zaman kolonial Belanda. Pada saat itu, Kyai Song sebagai prajurit pengikut Diponegoro melarikan diri dan tinggal di sebelah timur Kasongan. Orang Kasongan yang tidak memiliki lahan pertanian diajak dan diajari untuk membuat keramik oleh Kyai Song (gustomi 1985:20, 1988:8; guntur 2005:108). Pada awalnya keramik buatan orang Kasongan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan peralatan rumah tangga, seperti alat memasak dan menampung air. Sebelum tahun 1925 terdapat beberapa perajin yang mengembangkan berbagai bentuk keramik seperti pot, celengan, dan hiasan dinding.

Sebelum tahun 1970-an rata-rata kehidupan sosial ekonomi orang Kasongan lebih buruk dibadingkan kehidupan sosial ekonomi orang Bantul pada umumnya. Rumah penduduk Kasongan pada umumnya terbuat dari gedeg (anyaman bambu) dan tidak memiliki aliran listrik. Kondisi jalan belum beraspal dan banyak ditumbuhi rumpun bambu di sebelah kiri dan kanan jalan yang kini menjadi jalan utama Kasongan. Pada umumnya penduduknya berpendidikan sekolah dasar. Seorang pengusaha dalam dusun mengatakan:

“Tapi ya sini kan rata-rata di Kasongan itu, rata-rata ya, sebaya saya itu hampir 75 persen itu orang-orangnya nol semua. nol itu nggak bisa baca. Kurang pengertiannya, kan kurang. Dari sebaya saya itu, dari sebaya saya yang umurnya seperti saya, dulu waktu itu kan tetap nggak bisa baca ya. nol semua, buta huruf semua” (wawancara 10 Mei 2012).

(11)

Dalam rentang akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an terjadi perubah1970-an y1970-ang cukup penting di Kasong1970-an, yaitu diperkenalkannya teknik dekorasi baru oleh seorang seniman bernama Sapto Hudoyo. Sapto melatih beberapa perajin yang dipandang memiliki kemampuan untuk membuat desain keramik artistik. Hasil dari praktik pembuatan desain tersebut kemudian dipamerkan di galeri seni milik Sapto yang berlokasi di depan Bandara Adi Sucipto Yogyakarta. Pengenalan di galeri tersebut menarik banyak wisatawan untuk membeli keramik artistik secara langsung di Kasongan. Pengaruh penting lain adalah peranan Larasari Suliantoro Soelaiman, aktivis asosiasi perangkai bunga Yogakarta. Larasati memberi masukan mengenai dekorasi artistik dan membeli pot untuk rangkaian bunga dan memamerkannya di berbagai tempat dan kesempatan. Pameran tersebut juga menarik minat para perangkai bunga untuk membeli pot buatan perajin Kasongan. Penyebaran keterampilan dan pengetahuan dalam pembuatan keramik terjadi lewat jaringan sosial keluarga dan ketetanggaan. Sapto dan Larasati berhasil dalam mengembangkan keramik Kasongan karena mereka juga membantu memperkenalkan produk keramik ke masyarakat luas.

Perkembangan Kasongan tidak hanya dipengaruhi oleh para seniman, tetapi juga program pengembangan yang dilakukan oleh pemerintah. Misalnya, pada tahun 1979 pemerintah membangun Unit Pelayanan Teknis (UPT) dan pada tahun 1974 dan 2003 membangun Jembatan Kasongan. UPT memainkan peranannya di bawah koordinasi Disperindakop Kabupaten Bantul. Staf UPT memberikan bimbingan dan pelatihan bagi para perajin dalam produksi keramik, manajemen usaha, pemasaran, dan pengemasan. Dalam beberapa hal, UPT berperan penting untuk mengkoordinasikan beberapa pihak dalam mengembangkan klaster, antara lain biro wisata, perguruan tinggi, dinas-dinas pemerintah, dan perusahaan yang menghasilkan material untuk pembuatan keramik.

Para pengusaha lebih tergantung pada pasar produksi karena mereka menghasilkan keramik sendiri. Pasar produksi adalah pasar dimana para produsen menjual kepada para konsumen yang terdiri dari para pedagang (White 1981). Pada awalnya para pengusaha menjual keramik secara langsung di rumah mereka yang ada di dalam perdusunan. Rumah mereka menjadi tempat produksi, memamerkan, dan menjual keramik. Kemudian beberapa pengusaha yang memiliki

(12)

rumah di pinggir jalan Kasongan mulai mendirikan showroom untuk memamerkan dan menjual keramik.

Penguasaan tanah di pinggir jalan Kasongan merupakan modal ekonomi penting yang menentukan posisi mereka dalam pembagian kerja di antara para pengusaha. Ini merupakan awal dari pembagian kerja di antara para pengusaha dalam klaster. Pembuat keramik yang ada di dalam pedusunan akhirnya menemui kesulitan untuk menjual keramik mereka dan mulai menjual keramik kepada para pemilik showroom di pinggir jalan. Kemudian mereka menspesialisasikan diri dalam pembuatan keramik terakota atau menjadi subkontraktor untuk membuat keramik yang dipesan oleh para pengusaha pemilik showroom. Peningkatan permintaan pasar keramik membuat para produsen tidak dapat lagi memproduksi keramik dari penyiapan bahan baku keramik, pembentukan terakota, hingga memproses terakota menjadi keramik finishing yang siap dipasarkan. Di samping itu, tidak semua pengusaha dapat membuat desain keramik artistik. Kondisi tersebut menyebabkan munculnya proses diferensiasi dalam klaster.

Saat ini terdapat diferensiasi dan stratifikasi sosial di antara para pengusaha. Pertama, pengusaha yang memproduksi terakota, memproses terakota menjadi keramik finishing, dan memamerkan produknya di showroom (KTFS). Kedua, pengusaha yang memproses terakota menjadi keramik finishing dan memamerkan produknya di showroom (KFS). Ketiga, pengusaha yang memproduksi terakota (KTK). Keempat, pengusaha yang memproses keramik terakota (KF atau sub-kontrak (KS). Kelima, pengusaha yang menyediakan bahan baku keramik (BBK). Terdapat hubungan fungsional di antara para pengusaha tersebut, misalnya pengusaha KTFS dan KTK membeli bahan baku tanah liat kepada pengusaha BBK. Pengusaha KS/KF membeli terakota kepada pengusaha KTK. Pada umumnya pengusaha KTK, KS/KF, dan BBK menduduki posisi yang sama. Akan tetapi, dalam beberapa kasus pengusaha KS/KF lebih rentan dalam situasi krisis, misalnya ketika terjadi penurunan permintaan keramik tahun 2010-2012 banyak di antara mereka yang menghentikan usahanya.

Sebelum menduduki posisi baru dalam arena klaster industri keramik, pada umumya mereka telah mempelajari semua hal yang terkait dengan posisi mereka sebelumnya. Contoh kasus, Budianto sebelum menjadi pengusaha terakota sempat menjadi pekerja pada pengusaha terakota dan menjadi pekerja pengepakan. Sebagai

(13)

pembakar terakota, dia mengetahui cara membakar keramik yang baik. Dia juga mengenal banyak pembakar keramik sehingga lebih mudah untuk merekrut pekerjanya. Dengan demikian, dia telah memiliki modal budaya (habitus) dan sosial yang cukup yang memungkinkannya untuk memulai usaha dalam pembuatan terakota. Pada tahun 1996 posisi tertinggi diduduki oleh pengusaha yang memiliki kemampuan mendesain keramik artistik dan tinggal di tepi jalan Kasongan yang memungkinkan untuk mendirikan showroom. Orang-orang yang menduduki posisi tinggi pada saat itu adalah Harnowo, nugroho dan Laksono. Mereka adalah para pengusaha yang telah mendapat pelatihan dari Sapto Hudoyo. Pada tahun 1996, Radite membuka usaha yang sama dan Wibisono pada tahun 1997. Keduanya adalah sarjana seni rupa. Radite bekerja pada kontraktor yang mengerjakan interior desain berbagai hotel dan bangunan pemerintah. Ketidakcocokan dengan pekerjaan tersebut membuat Radite keluar dan membentuk usahanya sendiri. Pada awalnya, dia bekerja sendiri dalam menjual dan menyetor keramik pada beberapa toko. Setelah itu, dia menyewa toko di Kasongan untuk memamerkan produknya. Wibisono pada tahun 1997 membangun showroom di Kasongan. Pada saat ini keduanya menduduki posisi puncak pada stratifikasi pengusaha dan mengatasi para pengusaha yang mengembangkan usahanya lebih dulu.

Sebagai arena produksi budaya skala besar, desain produk keramik artistik diadaptasikan dengan permintaan pasar. Evaluasi produknya ditentukan oleh para konsumen yang datang dari berbagai kelompok sosial budaya yang membeli keramik di Kasongan. Desain keramik di Kasongan berkembang dari dalam berbagai gaya sesuai dengan proses globalisasi. Pada tahun 1970-an ada beragam desain yang menggambarkan kehidupan dalam seni pewayangan atau binatang yang akrab dengan kehidupan sehari-hari para perajin, seperti patung naga, garuda, ayam jago, dan sebagainya. Pada pertengahan tahun 1990-an muncul patung Loroblonyo, yaitu sepasang pengantin Jawa yang duduk bersila. Awalnya muncul kesan serius dari patung duduk itu, tetapi kemudian dibuat lebih santai. Adapula patung sumo Jepang yang dibuat dengan gaya Jawa. Pada tahun 2005 patung manusia dibuat dengan gaya dekoratif, figuratif, dan naturalistik, seperti patung Budha, tentara Cina, dan dewa-dewi Cina.

Biasanya desainer membuat desain serta memamerkannya di showroom dan baru direproduksi jika ada pembeli yang memutuskan

(14)

untuk membeli dalam jumlah besar. Reproduksi suatu desain dalam jumlah besar beresiko bagi pemilik showooom jika tidak laku dijual. Terkadang pembeli tertarik pada suatu desain tetapi meminta pemilik showroom untuk memodifikasinya dengan mengubah warna atau gayanya. Marsudi, salah seorang pemilik showroom, menceritakan pengalamannya pada saat melayani pembeli dari Australia. Pada awalnya pembeli membeli guci warna biru. Kemudian memesan lagi dengan warna merah. Mahesworo mengatakan bahwa membuat desain merupakan pekerjaan yang mudah, tetapi kesulitannya adalah membuat desain yang laku dijual. Radite mengatakan bahwa sebagai seniman mudah baginya untuk membuat desain. Masalah muncul bahwa desain yang dipandang bagus oleh seniman ternyata tidak bagus bagi pembeli. Radite menyatakan jauh lebih mudah untuk membuat desain jika pembeli memesannya. Dia akan memodifikasi sketsa desain yang dibuat pembeli sehingga lebih sesuai dengan apa yang dibayangkan oleh pembeli.

Krisis moneter yang pernah melanda Indonesia pada tahun 1997-1998, di satu sisi memang menimbulkan dampak negatif, seperti peningkatan jumlah pengangguran, tetapi di sisi lain ternyata memberikan dampak positif, salah satunya bagi para pengusaha yang mengekspor produknya, termasuk pengusaha Kasongan. Krisis ekonomi justru meningkatkan permintaan terhadap keramik. Pedagang keramik dari luar negeri dapat membeli hampir enam kali jumlah keramik daripada sebelum krisis dengan uang dollar yang sama (Raharjo 2009:117). Krisis moneter tersebut meningkatkan pendapatan para pengusaha yang memiliki banyak modal budaya maupun yang tidak.

Meskipun krisis tersebut telah meningkatkan usaha para pengusaha dengan banyak modal budaya, bukan hanya krisis itu yang meningkatkan usahanya. Pengusaha dengan banyak modal budaya umumnya memamerkan produk kermik dengan beragam gaya atau genre pada showroom mereka daripada pengusaha dengan sedikit modal budaya. Pengusaha dengan sedikit modal budaya biasanya memamerkan keramik fungsional artistik, seperti kap lampu, asbak, celengan (coin box), dan meja-kursi. Keramik non-fungsional mereka lebih terbatas ragamnya, misalnya mereka memamerkan guci atau patung binatang yang ada dalam dunia pewayangan atau yang sudah mereka akrab dalam kehidupan sehari-hari. Patung manusia yang mereka buat, seperti Loroblonyo, tentara Cina atau patung Budha.

(15)

Pengusaha dengan banyak modal budaya memamerkan beragam keramik fungsional dan non-fungsional, baik patung figuratif maupun non-figuratif, deformatif, dan abstrak. Untuk meluaskan pasar mereka sering berpartisiasi dalam pameran, misalnya Radite berpartisipasi dalam pameran secara reguler di PPE (Pameran Produk Ekspor), Furnicraft, Inacraft, dan pameran regional lain. Radite juga melakukan pameran di Milan Itali pada tahun 2005 dan di Hamburg Jerman pada tahun 2007. Untuk berpartispasi dalam pameran internasional, ia membutuhan banyak dukungan keuangan yang sulit dipenuhi oleh pengusaha kecil. Tingginya status sosial para pengusaha dengan banyak modal budaya menguntungkan mereka dalam menyelenggarakan pameran. Mereka bisa berkomunikasi secara lebih bermakna dengan para pengunjung yang berstatus sosial tinggi dan yang memiliki potensi untuk membeli keramik. Kemampuan tersebut mempermudah untuk mengembangkan jaringan personal dalam memasarkan produk mereka. Melalui jaringan personal ini para pembeli bisa datang secara langsung ke showroom-nya di Kasongan. Kemampuan Radite untuk menduduki posisi tinggi dengan cepat di Kasongan dijelaskan informan berikut ini:

“Waktu itu kan yang menonjol kan tiga-empat keluarganya Pak Bowo itu to?! Seperti Pak Harnowo itu kan juga keluarganya Pak Bowo. Karena istri Pak Harnowo itu kan mbakyune (kakaknya) Pak Bowo. Jadi itu dulu. Jadi istrinya Pak Harnowo itu, kemudian Pak Bowo, Pak naryo dan Pak Sartono. Itukan satu keluarga. Istrinya Pak Harnowo itu lain ayah dengan Pak Bowo itu. Satu ibu tapi lain ayah. Dulu yang jaya ya itu. Terus akhirnya ke yang lain. Radite belum, belum timbul. Radite itu belum apa-apanya” (wawancara, 7 Januari 2011).

Urian di atas menunjukkan bahwa tiga bentuk modal budaya bisa digunakan untuk menjelaskan kenyataan dalam klaster industri. Modal budaya mampu menjadi sarana bagi pengusaha untuk menaiki tangga stratifikasi sosial. namun demikian, bukan modal budaya saja yang menjadi penyebab terjadinya perubahan arena klaster industri. Faktor eksternal berupa permintaan yang tinggi terhadap produk keramik artistik juga memberi kontribusi bagi terjadinya perubahan.

(16)

K ET ER L IBATA n DA L A M K E LOM POK

Seperti banyak klaster industri kecil di Indonesia, klaster industri Kasongan berada di tengah komunitas masyarakat perdesaan. Situasi ini membuat kegiatan dalam klaster tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial komunitas di mana klaster berada. Dusun-dusun di Kasongan terbagi menjadi beberapa Rukun Tetangga (RT) yang dipimpin oleh ketua RT. Di beberapa RT di dusun Kajen dan Kalipucang jarak antar rumah sangat dekat satu sama lain. Di setiap RT biasanya terdapat kegiatan berbasis wilayah, seperti pertemuan RT, sambatan, gotong royong atau ronda malam yang melibatkan para kepala rumah tangga atau wakilnya. Dalam pertemuan RT yang dilakukan setiap 35 hari sekali biasanya didikusikan masalah yang ada di dusun, rencana aksi kerja sosial, laporan keuangan, dan sebagainya. Kegiatan sosial biasanya dikerjakan untuk pekerjaan-pekerjaan demi kepentingan umum seperti perbaikan sauran air, perbaikan jalan atau pembersihan makam. Waktu untuk kegiatan gotong royong yang dahulu dikerjakan dalam satu hari, sekarang sudah dikurangi. Hal ini terkait dengan semakin banyak waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan dalam pembuatan keramik. Orang yang tidak berpartisipasi dalam gotong royong biasanya menggantinya dengan uang yang besarnya sudah ditetapkan lebih dulu. Sambatan biasanya dilakukan untuk membantu rumah tangga yang membutuhkan banyak orang untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, misalnya menaikkan atap rumah. Pada saat ini sambatan juga mulai berkurang, karena pekerjaan untuk membangun rumah dikerjakan oleh para tukang yang memiliki keahlian. Pada saat ini sambatan hanya dilakukan untuk rumah tangga yang miskin.

Di Kasongan juga terdapat banyak kegiatan yang melibatkan banyak orang yang terkait dengan ritus siklus (rites of passage) hidup manusia, seperti kelahiran, pernikahan, sunatan, dan kematian (geertz 1960). Selamatan biasanya dilakukan untuk mengenang atau mendoakan orang yang sudah meninggal dunia. Rumah tangga yang menyelenggarakan selamatan biasanya mengundang para tetangga atau kerabat dekatnya untuk mengadakan acara doa bersama. Mereka juga mengantarkan makanan bagi tetangga atau kerabat dekatnya. Untuk memasak dan menyiapkan makanan, mereka mengundang beberapa ibu rumah tangga di sekitarnya. Sebelum tahun 1990-an kegiatan memasak dan menyiapkan makanan membutuhan waktu

(17)

dua hingga tiga hari. Pada saat ini banyak rumah tangga yang menggantikan pemberian makanan dengan bahan makanan yang masih mentah dengan tujuan menghemat waktu. Jika tidak, mereka akan memesan makanan pada usaha catering yang ada di sekitar desa. Hajatan biasanya dilakukan terkait dengan penikahan, kelahiran anak atau sunatan. Dalam acara ini juga dilakukan kegiatan masak yang dilakukan dengan bantuan para ibu rumah tangga di sekitar tempat tinggalnya. Pada acara ini biasanya para tetangga, keluarga dekat, dan kenalan datang untuk memberikan sumbangan. Kemudian rumah tangga yang mengadakan hajatan mengirimkan makanan kepada para penyumbang. Saat ini waktu yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak orang, baik untuk kepentingan publik maupun pribadi atau keluarga semakin sedikit, karena semakin banyaknya waktu untuk kegiatan atau pekerjaan lain.

Melalui kegiatan bersama tersebut solidaritas masyarakat Kasongan bisa dipertahankan. Para perajin baik sebagai pengusaha maupun pekerja pada umumnya menjadi anggota atau berpartisipasi dalam lebih dari satu kelompok atau kegiatan. Dalam kegiatan tersebut mudah diidentifikasi warga yang aktif maupun yang tidak aktif. Pertemuan antar warga dengan intensitas yang tinggi membantu penyebaran informasi mengenai inovasi baru, kemajuan atau kemunduran pengusaha, reputasi atau nama baik pengusaha dan pekerja, dalam menjalankan pekerjaannya maupun dalam transaksi ekonomi. Kontrol sosial di antara pengusaha dan pekerja menjadi lebih efektif dalam memaksa seseorang untuk mematuhi harapan atas peranan mereka masing-masing.

SU M BE R T E nAg A K E RJA

Di Kasongan sebagain besar unit usaha merupakan unit usaha rumah tangga. Biasanya usaha dijalankan oleh suami-istri dan dibantu oleh beberapa pekerja. Unit usaha kecil biasanya mengerjakan 1-2 orang pekerja. Usaha menengah mempekerjakan hingga 50 orang, dan unit usaha besar mempekerjakan hingga lebih dari 150 orang. Pada saat ini sudah jarang anak-anak membantu orang tuanya dalam pembuatan keramik. Meskipun mereka memiliki pekerja, pengusaha biasanya juga memiliki keterampilan dalam mengerjakan pekerjaan seperti pembentukan keramik, pembakaran, dan memproses keramik terakota. Mereka juga melakukan kontrol terhadap pekerja dan

(18)

melakukan pekerjaan yang tidak dapat diselesaikan oleh pekerja. Tidak ada pengusaha yang tidak memiliki keahlian apapun dalam pekerjaan pembuatan keramik. Para pekerja biasanya direkrut dari para tetangga atau kerabat mereka. Orang yang memiliki ikatan keluarga biasanya diberikan pekerjaan yang memerlukan kepercayaan yang tinggi. Pekerja yang memerlukan keahlian khusus didatangkan dari luar desa. Pekerjaan fisik yang tidak membutuhkan kepercayaan yang tinggi diberikan pada para tetangga dan orang lain sesuai dengan spesialisasi mereka. Dalam unit usaha yang memiliki jumlah pekerja kurang dari sepuluh orang biasanya memiliki hubungan yang lebih personal antara pengusaha dan pekerja. Di samping karena jumlahnya sedikit, hal ini juga terjadi karena pekerja bekerja dalam bengkel kerja menyatu dengan rumah pemilik usaha.

Para pekerja biasanya memiliki loyalitas tinggi terhadap unit usaha tempatnya bekerja. Di antara mereka ada yang sudah bekerja lebih dari sepuluh tahun dalam satu unit usaha tanpa pernah pindah. Walaupun ada perpindahan dari satu unit usaha ke unit usaha lain, jarang terjadi mobilitas karena perselisihan antara pengusaha dan pekerja. Ada kewajiban moral di antara pekerja dan pengusaha untuk membantu satu sama lain. Misalnya, ada informan yang mengatakan bahwa walaupun terdapat penurunan permintaan, dia tetap melanjutkan kegiatan produksi agar pekerjanya tetap dapat bekerja meski dengan penghasilan yang mengecil. Hubungan personal yang kuat antara pekerja dan pengusaha serta kepadatan jaringan sosial membentuk kontrol sosial bagi pekerja dan pengusaha untuk memenuhi kewajiban mereka dengan baik. Kata-kata berikut ini menunjukkan bagaimana kuatnya kontrol sosial atas pekerja.

“Kemampuan berbeda-beda. Berarti orang sudah banyak yang tahu gitu, si A itu kerjanya ndak bagus, sebaiknya tidak ke sana. Kalau kerjanya jelek diingatkan ndak mau, ya dia sering, istilahnya, sering nganggur. Yang ada kemampuannya itu sampai nolak-nolak pesenan. Tapi yang kemampuannya tidak mau berkembang, ya artinya, nanti sepi pekerjaan itu” (wawancara 22 november 2011).

Sebaliknya, pekerja juga mengetahui bahwa pengusaha yang tidak memperlakukan pekerja dengan baik akan sulit mendapatkan pekerja. Kedekatan hubungan antara pekerja dan pengusaha dapat

(19)

menimbulkan perasaan campuran antara kewajiban moral dan perasaan bersalah karena tidak mampu memenuhinya. Hal ini nampak pada pengusaha yang mengerjakan pekerjaan subkontrak. Ini dilakukan karena sulitnya memenuhi tanggung jawab moral pada saat dibutuhkan jika mereka harus mengerjakan pekerja di rumahnya.

SU M BE R DAYA K EUA ng A n

Terdapat jaringan sosial atau kelompok yang memungkinkan pengusaha mendapatkan modal ekonomi seperti koperasi, keluarga, arisan, dan CRS. Pada umumnya semua pengusaha dan pekerja menjadi anggota kelompok arisan. Arisan merupakan kegiatan yang dikaitkan dengan kegiatan lain, seperti pertemuan KKLPMD, PKK, dan kelompok pengajian. Dalam arisan semacam ini biasanya nilai uang yang terkumpul tidak banyak karena biasanya hanya dilakukan untuk mengikat orang agar mau terlibat dalam berbagai kegiatan kelompok. Hubungan keluarga juga merupakan bentuk modal sosial di mana orang bisa mendapatkan bantuan keuangan. Akan tetapi, pada umumnya orang merasa enggan untuk mendapatkan uang dengan meminjam pada saudaranya.

Koperasi merupakan modal sosial di mana para anggota bisa mendapatkan pinjaman. Pandangan Bourdieu mengenai modal sosial nampak jelas tergambar dalam aktivitas para anggota dan pengurus koperasi di Kasongan. Terdapat tiga koperasi di Kasongan, Koperasi Sentosa Jaya (KSJ), Koperasi Kasongan Bersatu (KKB), dan Koperasi Maju Bersama (KMB). Dari sisi kenggotaannya, KJS merupakan koperasi yang terbesar, kemudian diikuti KKB, dan KMB. Sebelum menjadi koperasi, KJS merupakan perkumpulan para perajin yang menyelenggarakan pertemuan secara rutin untuk mendiskusikan masalah pemasaran, permodalan, dan bahan baku. Kelompok tersebut kemudian membentuk koperasi. Koperasi disahkan dengan akte notaris. Pengesahan ini dilakukan untuk memenuhi syarat mendapatkan pinjaman dari pemerintah. KJS mendapatkan pinjaman sebanyak Rp 950 juta pada tahun 2007 dari pemerintah. Setelah itu, banyak perajin yang mendaftarkan diri menjadi anggota koperasi. Karena kekhawatiran para peminjam tidak akan mengembalikan pinjaman, maka pengurus koperasi menentukan syarat bahwa peminjam harus menggunakan agunan. Syarat ini tidak ada dalam peraturan koperasi, tetapi mendapat persetujuan dari pejabat

(20)

pemerintah. Pinjaman para anggota berkisar dua hingga lima juta rupiah sedangkan para pengurus mendapatkan pinjaman yang lebih besar hingga dua puluh lima juta rupiah. Konflik terjadi karena ada di antara pengurus yang enggan mengembalikan pinjaman.

KJS dipimpin oleh Radite, pengusaha terbesar di Kasongan. Dia dibantu oleh pengurus yang terdiri dari para pengusaha kecil dan menengah yang pendidikannya relatif tinggi. Sebelumnya KJS dipimpin oleh Laksono; pengusaha yang disegani; memiliki keahlian dalam pembuatan keramik, dan aktif dalam mengembangkan seni tradisional (Ketoprak). Setelah Laksono meninggal kemudian dilakukan pemilihan. Ada tiga calon yang bersaing dalam pemilihan, yaitu Radite, Sarwono, dan Kepala Dusun Kajen. Akhirnya, Radite terpilih. Pemilihan pada akhirnya menimbulkan konflik antara Radite dan Sarwono. Radite dipilih oleh sebagian besar anggota koperasi karena kemampuannya dalam bidang pembuatan keramik dan dalam menjalankan usaha. Radite juga dipandang memiliki banyak hubungan dengan para pejabat pemerintah kabupaten, provinsi, hingga pemerintah pusat yang memungkinkan untuk memajukan koperasi. Radite juga memiliki banyak sub-kontraktor. Sarwono dianggap banyak merugikan para pengusaha kecil karena dia sering merebut pasar yang telah dibuka oleh pengusaha kecil Kasongan. Ketegangan antara Radite dan Sarwono berlanjut pada saat ada bantuan keuangan dari Pemerintah Bantul.

KKB merupakan koperasi paling kecil di Kasongan dengan anggota sebanyak 35 orang. Sebelum menjadi koperasi, KKB merupakan kelompok perajin, baik sebagai pengusaha kecil atau pekerja. Para pengurus dan anggotanya dipersiapkan lebih dulu dengan berbagai pelatihan oleh para aktivis LSM yang bekerja di Kasongan pada saat terjadi bencana gempa bumi. Pelatihan tersebut dirasa sangat melelahkan dan membosankan. Mereka juga harus meninggalkan pekerjaannya pada saat pelatihan. Pelatihan tersebut membuat solidaritas kelompok cukup kuat dan para pengurusnya bisa menjalankan tugasnya dengan baik, sehingga koperasi mengalami kemajuan. Kepentingan untuk mempertahankan aset koperasi yang dianggap cukup banyak oleh para anggotanya mendorong para anggota membuat peraturan mengenai syarat untuk menjadi anggota. Syaratnya adalah harus memberikan kontribusi sebesar jumlah aset koperasi dibagi dengan jumlah seluruh anggota koperasi. Syarat ini dianggap memberatkan bagi perajin yang ingin menjadi anggota. Para

(21)

anggota melihat bahwa masuknya anggota baru dianggap mengurangi aset mereka masing-masing jika tidak disertai dengan syarat seperti itu.

JA R I ng A n T R A nSA K SI

Sebagian besar transaksi di antara para pengusaha Kasongan dilakukan lewat jaringan. Jaringan sosial transaksi ekonomi melibatkan semua jenis pengusaha sebagaimana telah disebutkan di muka. Terdapat kondisi yang konduksif bagi munculnya transaksi lewat jaringan. Pertama, lingkungan institusional berupa persaingan pasar bebas, regulasi negara, dan program pengembangan usaha kecil dari pemerintah. Kedua, spesifitas aset, ketidakpastian permintaan, persediaan bahan baku yang stabil, dan batasan waktu. Peraturan ekspor menentukan bahwa hanya pengusaha formal saja yang diijinkan untuk melakuan ekspor. Peraturan ini membuat sebagian besar pengusaha yang tidak memiliki ijin ekspor membentuk jaringan dengan pengusaha formal yang memiliki ijin ekspor. Hubungan antara pengusaha besar dan pengusaha kecil biasanya dalam bentuk hubungan sub-kontrak di mana pengusaha besar memberikan sebagian pekerjaannya kepada penguaha kecil. Di samping itu, pengusaha kecil juga memanfaatkan fasilitas koperasi untuk mengekspor produk mereka. Dengan cara ini pengusaha kecil memadukan produk mereka untuk dijual atau diekspor.

Spesifitas desain dan kualitas keramik yang diminati pembeli juga mendukung pembentukan jaringan. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, para pembeli kadang-kadang ingin mengubah desain yang dipilih untuk dibeli atau para pembeli pergi ke pemilik showroom yang lain untuk mereproduksi desain yang telah dibuatnya sendiri. Karena tidak adanya standar kualitas keramik, maka produk keramik selalu bersifat spesifik bagi pembeli. Pengaruh instabilitas temperatur dalam proses pembakaran dan keramik yang dibuat dengan tangan mempersulit pembentukan standar. Karena itu, untuk mendapatkan keramik yang kualitasnya terjamin, para pembeli jarang pindah dari satu pengusaha ke pengusaha lain. Pembeli mempercayai satu atau dua orang pengusaha yang telah dipilihnya sebagai mitra jaringan dan sebaliknya pengusaha menjamin bahwa produknya akan memuaskan pembeli yang menjadi mitranya. Di Kasongan, jaringan transaksi ada yang berumur hingga 25 tahun. Misalnya, Laksono Ceramic

(22)

telah mengembangkan jaringan dengan pembeli dari Perancis sejak tahun 1970-an. Jaringan tersebut dibangun oleh pendirinya, Laksono, kemudian dilanjutkan oleh anaknya.

Jaringan transaksi tidak hanya ada di antara pemilik showroom dengan pembeli keramik, tetapi juga di antara para produsen atau pengusaha sendiri. Misalnya, pengusaha terakota mengembangkan jaringan dengan pengusaha keramik finishing dan pemilik showroom. Kemudian pengusaha terakota juga mengembangkan jaringan transaksi dengan pengusaha penyedia bahan baku tanah liat. Alasan untuk mengembangkan jaringan antara para pengusaha tersebut adalah sama seperti pengembangan jaringan di antara pengusaha keramik finishing dengan pembeli mereka, yaitu kontinuitas produksi mereka akan terjamin. Di samping itu, para pembeli akan mendapat kemudahan dalam transaksi. Misalnya, mereka diperbolehkan untuk menunda pembayaran maupun meminta penggantian produk yang mengalami kerusakan. Oleh sebab itu, di Kasongan pengembangan jaringan merupakan strategi utama para pengusaha dalam menjalankan usahanya. Dalam jaringan tersebut biasanya para penjual ada dalam posisi tergantung di hadapan pembeli. Dalam posisi ini penjual sering dieksploitasi oleh pembeli. Sepanjang penjual masih memberi toleransi terhadap eksploitasi tersebut, maka jaringan akan terus dipertahankan.

PE R K AW I nA n A n TA R A nA K PE ngUSA H A

Dahulu jarang sekali orang Kasongan menikah dengan orang di luar Kasongan, karena mereka merasa status sosial ekonominya lebih rendah. Akhirnya banyak di antara orang Kasongan yang menikah dengan sesama orang Kasongan. Tetapi perasaan rendah ini pada akhirnya menghilang setelah terjadi kemajuan dalam klaster industri Kasongan. Sekarang banyak ditemui pernikahan antar anak pengusaha kaya di Kasongan. Ini menunjukkan bahwa pernikahan antar anak pengusaha menjadi modal sosial untuk mendapatkan atau mempertahankan modal ekonomi. Misalnya, pernikahan antara anak perempuan pemilik Untung Ceramic dengan anak laki-laki pemilik Buang Ceramic; anak perempuan pemilik Sartono Ceramic dengan pemilik Hati Ceramic. Ada juga pernikahan anak laki-laki pengusaha kecil yang berpendidikan tinggi dengan anak perempuan pengusaha besar. Misalnya, Wicaksono, anak laki-laki nugroho, dengan anak

(23)

perempuan pemilik Laksono Ceramic. Hal ini menunjukkan adanya usaha untuk memadukan modal budaya yang tinggi dengan modal ekonomi guna memajukan atau mempertahankan usaha.

H U BU ng A n DE ng A n PE M E R I n TA H

Jaringan vertikal dengan pejabat atau kantor pemerintah merupakan hal yang penting dalam pengembangan usaha. Di samping ada usaha pemerintah untuk mengembangkan hubungan dengan para pengusaha dan pekerja dalam usaha mengembangkan klaster industri, pemerintah membangun Unit Pelaksana Teknis (UPT). Ada juga sebagian pengusaha yang mengembangkan hubungan dengan pejabat pemerintah.

Hubungan pejabat pemerintah dengan para pengusaha kadang bersifat personal dan cenderung subyektif. Hal ini bisa terjadi karena permintaan keramik yang fluktuatif dan menyebabkan perubahan status dari pengusaha menjadi pekerja. Dalam pemberian pelatihan, misalnya, UPT mengalami kesulitan untuk menunjuk pengusaha atau pekerja yang harus dilatih karena perubahan status tersebut. Di samping itu pengusaha atau pekerja sendiri sering tidak datang kalau diundang untuk mengikuti pelatihan. Kesulitan dalam menentukan siapa yang harus mendapatkan pelatihan atau bantuan lain menyebabkan petugas pemerintah minta bantuan pengusaha Kasongan untuk menunjuk siapa yang layak mendapat bantuan. Akhirnya, pihak yang ditunjuk hanya menunjuk pengusaha atau pekerja yang secara subyektif layak dibantu.

Pengusaha yang secara aktif menjalin hubungan dengan pejabat pemerintah biasanya adalah pengusaha yang pendidikannya relatif baik, karena mereka mudah berkomunikasi dengan pejabat pemerintah. Pengusaha dengan pendidikan rendah biasanya hanya menunggu secara pasif datangnya bantuan pemerintah. Koperasi merupakan modal sosial penting guna mengembangkan hubungan dengan pejabat pemerintah. Koperasi dapat dimanfaatkan untuk membentuk kekuatan kolektif yang memungkinkan tanggapan yang lebih positif dari pemerintah. Hal ini bisa menjelaskan mengapa menjadi pengurus koperasi juga menjadi sarana untuk mendapatkan modal sosial dan modal simbolik yang penting dalam pengembangan usaha.

(24)

Uraian di atas menunjukkan bahwa konsep Putnam mampu menjelaskan modal sosial sebagai sifat-sifat organisasi, seperti norma, jaringan, dan kepercayaan dalam perkembangan klaster industri keramik. Jaringan yang memperkuat norma resiprositas dan kepercayaan mampu memfasilitasi lancarnya proses transaksi ekonomi dan mengurangi oportunisme. Di samping itu, jaringan-jaringan keterlibatan warga yang memungkinkan munculnya solidaritas sangat kondusif bagi bekerjanya institusi dalam memberikan layanan. Konsep modal sosial Bourdieu mampu menjelaskan pembentukan dan penutupan jaringan sebagai sarana untuk mendapatkan dan mempertahankan modal ekonomi. Hal ini nampak pada pembentukan hubungan dengan pemerintah, pembatasan anggota koperasi, dan pernikahan antar anak pengusaha.

DOM I nA SI DA n R E SIS T E nSI

Dalam klaster industri keramik, para pengusaha meningkatkan dan mempertahankan posisinya dengan mengakumulasi modal ekonomi, modal sosial, dan modal budaya. Para pengusaha dapat saling memandang satu sama lain dan mengurutkan posisinya. Pengusaha dominan, terutama yang memiliki banyak modal budaya, yang menduduki posisi tinggi dalam stratifikasi sosial, berusaha menerapkan visi mereka dalam klaster untuk mempertahankan dominasinya. Bagi mereka mudah untuk menentukan syarat-syarat hubungan kepada para subkontraktornya yang ingin mendapatkan pekerjaan. Pemilik showroom dapat menentukan secara sepihak harga keramik finishing atau terakota yang dijual kepada mereka. Mereka dapat menunda pembayaran dalam pembelian barang kepada produsen. Ini merupakan bentuk ekploitasi terhadap para produsen oleh para pemilik showroom.

Karena desain keramik artistik dan kreatif sangat penting bagi keberhasilan usaha, maka di Kasongan banyak terjadi peniruan desain. Tidak sulit bagi pengusaha untuk meniru desain milik pengusaha lain karena tidak adanya norma atau aturan yang melarang peniruan. Di samping itu, mobilitas pekerja dari satu pengusaha ke pengusaha lain membuat penyebaran informasi mengenai desain sulit untuk membendungnya. Para sub-kontaktor dari satu unit usaha juga menginformasikan mengenai desain baru kepada penerima sub-kontrak. Pembuat desain kreatif yang merasa dirugikan oleh

(25)

peniruan tersebut berusaha mengembangkan ide bahwa orang yang mereproduksi desain milik orang lain harus memberikan imbalan atau royalti kepada pemiliknya. Ide tersebut belum diterima oleh semua pengusaha karena banyak pengusaha yang beranggapan bahwa desain merupakan milik bersama (common property). Sulit untuk menelusuri siapa pembuat desain tertentu yang laku di pasar karena orang yang ditanya tidak mengetahuinya atau karena memang tidak ingin mengatakannya. Pengusaha dominan yang membuat desain kreatif tidak berdaya dalam mengatasi peniruan. Misalnya, showroom yang lokasinya tepat di sebelah timur showroom milik Radite menjual keramik dengan desain-desain yang idenya berasal dari Radite. Kehidupan komunal dan hubungan kekerabatan yang kuat mempersulit bagi pembuat desain untuk menentang secara terbuka peniruan tersebut.

Koperasi juga menggambarkan dinamika dominasi dan subordinasi di antara para pengusaha. Menjadi ketua atau pengurus koperasi menguntungkan bagi para pengusaha karena memungkinkan mereka untuk mengakumulasi modal ekonomi, modal sosial, dan modal simbolik. Seperti yang telah dikemukakan, para pengurus mendapat keistimewaan dalam mendapatkan pinjaman yang lebih besar daripada para anggota biasa. Mayoritas pengurus SB adalah pengusaha kecil, tetapi memiliki pendidikan yang baik. Radite, merupakan pengusaha besar yang berpendidikan tinggi dan banyak modal budaya, dipilih sebagai ketua koperasi. Perjuangan di antara para pengusaha untuk mendominasi klaster dapat juga dilihat dari pemilihan ketua. Sarwono dan Radite bersaing untuk menjadi ketua. Sarwono kalah dalam persaingan tersebut dan akhirnya membentuk SK.

Usaha untuk mengembangkan klaster secara keseluruhan merupakan sarana untuk mempertahankan dominasi pengusaha dominan karena perkembangan klaster juga menguntungkan pengusaha dominan. Radite berhasil menjalin kerjasama antara SB dengan UPT dalam memberikan layanan teknis kepada para perajin. Berdasarkan kerja sama ini SB diijinkan untuk menggunakan ruang UPT sebagai kantor koperasi dan kegiatan-kegiatan koperasi lainnya. Kerjasama ini menguntungkan UPT dan SB. UPT menjadi lebih efektif dalam memberikan pelayanan kepada para perajin, sementara koperasi dapat memperoleh lebih banyak pendapatan dengan memberikan pelatihan kepada orang dari luar klaster yang belajar membuat keramik di UPT. Para anggota koperasi bisa

(26)

menggunakan ruang koperasi untuk memamerkan desain keramik buatannya. Dengan kerja sama ini pula SB menjadi lebih dominan dalam mengembangkan klaster daripada SK dan KUB. Untuk mengembangkan klaster, Radite mengadakan festival seni bersama para seniman lain. Festival bisa menarik banyak wisatawan untuk datang ke Kasongan dan meningkatkan permintaan keramik. Festival tidak hanya mengenalkan Kasongan sebagai produsen keramik kepada publik yang lebih luas, tetapi juga menjadikan Kasongan sebagai daerah tujuan wisata.

Dominasi selalu mengundang resistesi. Resistensi terhadap praktik dominasi dilakukan oleh para pengusaha kecil dan pengusaha lain yang tidak mampu membuat desain keramik artistik dan kreatif. Mereka mempromosikan ide bahwa desain keramik artistik merupakan milik bersama. Setiap orang bebas untuk mereproduksinya tanpa harus memberikan imbalan kepada pemiliknya. Meskipun para pengusaha tersebut malu untuk mengakui bahwa mereka mereproduksi desain orang lain, tetapi mereka terus-menerus mereproduksi desain orang lain. Misalnya, pengusaha pemilik showroom yang mengkhususkan pembutan keramik ukuran kecil meyatakan bahwa para pengusaha Kasongan bebas bersaing dan mempersilahkan orang lain untuk meniru desain buatannya. Ada juga pengusaha yang bersikap ambigu terhadap praktik peniruan desain. Mereka mengkritik peniruan tetapi pada saat yang sama juga melakukan peniruan desain. Meskipun jumlahnya sedikit, ada juga pengusaha yang mencoba memesan desain kepada seniman dengan memberikan sejumlah imbalan.

Resistensi lain terhadap dominasi dilakukan oleh para pengusaha kecil di dalam dusun dengan mengembangkan jaringan sosial pemasaran sendiri di luar Kasongan sehingga tidak harus tergantung pada pengusaha besar untuk memasarkan produknya. Dengan jaringan seperti itu mereka bisa medapatkan keuntungan yang lebih besar dan pasar yang lebih stabil. Jaringan dikembangkan dengan para pedagang keramik eceran di Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Usaha tersebut juga dilakukan dengan menspesialisasikan diri dalam membuat desain unik yang tidak dibuat oleh pengusaha dominan. Para pengusaha kecil dalam dusun merasa bahwa para pemilik showroom sering menentukan harga secara sepihak. Mereka menunjukkan perasaan tidak berdayanya dan mengembangkan perasaan bersama ketidakberdayaan mereka. Mereka mengembangkan perasaan “kekitaan” dan sering menggunakan kata “mereka” untuk

(27)

menunjukkan ketidaksukaan terhadap para pemilik showroom di pinggir jalan.

Di samping sebagai sarana untuk mendominasi, koperasi juga merupakan sarana untuk melakukan resistensi. Hal ini terjadi pada koperasi kecil KUB yang beranggotakan para pengusaha kecil dan perajin di dalam dusun. KUB memiliki showroom untuk memamerkan produk para anggotanya. Lewat koperasi ini juga para anggotanya bisa secara bersama-sama menjual produkya kepada para pembeli dari luar negeri. Ketua dan para pengurus KUB bisa mengembangkan hubungan dengan pejabat Disperindagkop (Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi) untuk meminta bantuan pengembangan pengusaha kecil. Menjadi ketua atau pengurus koperasi memungkinkan pengusaha kecil mendapatkan modal simbolik karena posisi tersebut sama dengan posisi ketua dan pengurus koperasi SB yang lebih besar.

Uraian di atas menunjukkan kaitan-kaitan antara modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik terjadi dalam praktik dominasi dan resistensi. Dalam dominasi dan resistensi, para aktor memadukan modal ekonomi, modal sosial, dan modal budayanya untuk menguatkan modal simbolik dan kekuatan simboliknya agar bisa mendominasi arena. Telah ditunjukkan pula bahwa ide (visi sosial dunia) para aktor harus sesuai dengan dunia sosial obyektif arena. Kesulitan pengusaha dominan untuk menerapkan pandangannya mengenai pemberian royalti dalam reproduksi desain orang lain menunjukkan hal ini.

K E SI M PU L A n

Modal budaya dalam banyak tulisan lebih sering dikaitkan dengan budaya tinggi (highbrow) atau budaya orang-orang yang berstatus tinggi dan dikaitan dengan usaha untuk mempertahankan posisi kelas (Lamont et al. 1988; Lareau et al. 2003). Hal-hal yang terkait dengan keterampilan tangan tidak dipandang sebagai modal budaya. Penelitian mengenai seni kerajinan menunjukkan tiga bentuk modal budaya yang saling terkait, yaitu embodied, obyektif, dan institusional. Seniman pengusaha yang menduduki posisi tinggi memiliki disposisi artistik yang tinggi (embodied/habitus) dan memiliki ijazah sarjana seni (institusional). Disposisi artistik tersebut diwujudkan dengan keterampilan tangan (embodied/habitus) untuk menghasilkan desain

(28)

artistik (obyektif). Penelitian ini menunjukkan bahwa keterampilan tangan juga merupakan bagian dari modal budaya.

Penelitian ini menunjukkan bahwa konsep modal budaya Bourdieu dan Putnam bersifat saling melengkapi. Penggunaan konsep modal sosial Bourdieu saja atau modal sosial Putnam saja tidak dapat menjelaskan kenyataan dalam klaster industri. Bourdieu menekankan aspek vertikal, konflik, dan instrumental dari modal sosial. Instrumental di sini adalah instrumental bagi individu. Putnam menekankan pada aspek horizontal, kepercayaan, dan solidaritas dari modal sosial. Hal ini menunjukkan arti penting untuk memperhatikan penekanan berbagai aspek tertentu dari definisi-definisi modal sosial sebagaimana yang ditunjukkan oleh Adler et al. (2002).

Teori dan konsep Bourdieu mengenai habitus, arena, dan modal nampak kurang dapat menjelaskan perubahan klaster sebagai arena karena ketiganya nampak saling mengunci dan menutup kemungkinan terjadinya perubahan, sehingga teorinya nampak seperti teori reproduksi (Morrison 2003). namun demikian, habitus yang membentuk struktur dan habitus yang memungkinkan terjadinya refleksifitas, adanya indeterminasi kondisi obyektif arena, serta kesamaan stake dalam arena produksi ekonomi dan arena produksi budaya skala besar, yaitu keuntungan ekonomi, ternyata memungkinkan terjadinya perubahan. Secara metodologis, kajian terhadap praktik dominasi dan resistensi merupakan cara yang baik untuk memahami kaitan antara bentuk-bentuk modal sebagaimana yang dikemukakan oleh Bourdieu.

DA F TA R PUS TA K A

Adler, Paul S and Seok-Woo Kwon. 2002. “Social Capital: Prospects for A new Concept.” Academy of management Review, Vol. 27, no. 1: 17-40.

Bourdieu, Pierre. 1989. “Social Space and Symbolic Power.” Sociological theory, Vol. 7, no. 1: 14-25.

Bourdieu, Pierre. 1990. the Logic of Practice. Stanford, CA: Stanford University Press.

Bourdieu, Pierre and Loic J.D. Wacquant. 1992. An Invitation to Reflexive Sociology. Chicago: The University of Chicago Press. Bourdieu, Pierre. 1993. the Field of Cultural Production. Columbia:

(29)

Bourdieu, Pierre. 2002. “Forms of Capital” p. 280-291 in Economic Sociology. nicole Woosley Biggart (Ed.), Malden, Massachusetts: Blackwell Publishers, Ltd.

Bourdieu, Pierre. 2005. Principles of Economic Anthropology dalam the Handbook of Economic Sociology, neil J. Smelser (Eds.). Princeton: Princeton University Press.

Fligstein, neil. 1996. “Market as Politics: A Political-Cultural Approach to Market Institutions.” American Sociological Review, Vol. 61. no. 4.

Fligstein, neil. 2008. “Theory and Methods for the Study of Strategic Action Field.” Working Paper. Department of Sociology, University of California.

geertz, Clifford. 1960. the religion of Java. glencoe: The Free Press granovetter, Mark. 1985. “Economic Action and Social Structure:

The Problem of Embeddedness.” American Journal of Sociology, Volume 91, Edition 3.

guntur. 2005. keramik kasongan. Wonogiri: Bina Citra Pustaka. gustami, SP., Saptoto, dan narno S. 1985. “Pola Hidup dan Produk

Kerajinan Keramik Kasongan Yogyakarta.” Research Report, Yogyakarta: Ministry of Education and Culture, Directorate general of Culture, nusantara Cultural Research Project.

gustami, SP. “Seni Kerajinan Keramik Kasongan Yogyakarta: Kontinuitas dan Perubahan.” tesis. Yogyakarta: Program Studi Sejarah, Departmen Humaniora, Universitas gadjah Mada. Ismalina, Poppy. 2010. An Integrated Analysis of Socioeconomic

Structures and Actors in Indonesian Industrial Clusters. groningen: The University of groningen.

Jones, Candace, Wiliam S. Hesterly, Stephen P. Borgatti. 1997. “A general Theory of network governance: Exchange Conditions and Social Mechanisms.” the Academy of Management Review, Vol. 22, no. 4.

Lamont, Michele dan Annette Lareau. 1988. “Cultural Capital: Allusions, gaps and glissandos in Recent Theoritical Developments.” Sociological theory, Vl. 6, no. 2: 153-168.

Lareau, Annete dan Elliot B. Weininger. 2003. “Cultural Capital in Educational Research: A Critical Assesment” in theory and Society, no. 32.

Morrison, Keith. 2005. “Structuration Theory, Habitus and Complexity Theory: Elective Affinities or Old Wine in new

(30)

Bottles?”, in British Journal of Sociology of Education, Vol. 26, no. 3, July 2005.

nee, Victor. 2005. “The new Institutionalism in Economics and Sociology” in the Handbook of Economic Sociology, neil J. Smelser and Richard Swedberg (Eds.), Princeton: Princeton University Press.

nugraha. 2009. “Pengelolaan Modal Pengetahuan pada Usaha Kecil dan Menengah.” Disertasi. Depok: Fakultas Ilmu Social dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Podolny, Joel M., dan Karen L. Page. 1998. “network Forms of Organization”, Annual Review of Sociology, Vol. 24

Powell, Walter. 1990. “neither Market nor Hierarchy: network Forms of Organization.” Research in Organizational Behavior, Vol. 12, 1990.

Raharjo, Timbul, 2009, Globalisasi Seni kerajinan keramik kasongan, Yogyakarta: Program Pascasarjana, ISI Yogyakarta

White, Harrison. 1981. “Where do Markets Come From.” American Journal of Sociology, Vol. 87, no. 3.

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 4.39 Hasil pewarnaan digital pada peta Monumen Tugu Pahlawan Sumber : Dokumentasi penulis.. Dari hasil digital diatas terdapat bermacam warna yang digunakan sebagai.

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bersedia untuk menjadi responden penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Program Magister Manajemen Program

Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan data dan statistik pendidikan termasuk didalamnya pendayagunaan data merasa

Rencana Strategis Tahun 2016 – 2021 Dinas Pendidikan Kabupaten Tanah Bumbu merupakan penjabaran dari visi, misi, program, dan kegiatan dalam bentuk rencana yang

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kohariningsih (2013) dengan judul hubungan antara sikap dan dukungan suami dengan pemberian ASI eksklusif

Framing media menjadi penting yang meski dilakukan secara halus amun efeknya berpengaruh pada khalayak, bahkan walau singkat tetapi bisa menjatuhkan presiden. “The

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) proses penanaman kedisiplinan dimulai dengan perencanaan, selanjutnya dilakukan proses penanaman, pengarahan apabila ada penyimpangan,