1
TESIS
NILAI pH PERMUKAAN KULIT BERKORELASI
POSITIF DENGAN DERAJAT KEPARAHAN
DERMATITIS ATOPIK
AZHAR RAMADAN NONCI NIM 1114088103
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2
NILAI pH PERMUKAAN KULIT BERKORELASI
POSITIF DENGAN DERAJAT KEPARAHAN
DERMATITIS ATOPIK
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik (Combined Degree) Program Pascasarjana Universitas Udayana
AZHAR RAMADAN NONCI NIM 1114088103
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
3
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 21 JULI 2016
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK(K), FINSDV Prof. dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK (K), FINSDV FAADV
NIP. 195308111981021001 NIP. 195201011980031003
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana,
Dr.dr.Gde Ngurah Indraguna Pinatih,M.Sc,SpGK Prof.Dr.dr.A.A. Raka Sudewi, SpS (K) NIP. 195805211985031002 NIP. 19530811198102001
4
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 21 Juli 2016
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana No 3312/UN14.4/HK/2016. Tanggal 19 JuLi 2016
Ketua : Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK(K), FINSDV
Sekretaris : Prof. dr. Made Swastika Adiguna, SpKK (K), FINSDV,
FAADV
Anggota :
1. Dr.dr. AAGP. Wiraguna, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV 2. Dr. dr. IGAA. Praharsini, Sp.KK, FINSDV
5
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Nama : dr. Azhar Ramadan Nonci
NIM : 1114088103
Program Studi : Magister Ilmu Biomedik
Judul : Nilai pH Permukaan Kulit Berkorelasi Positif dengan Derajat Keparahan Dermatitis
Dengan ini menyatakan bahwa karya Tesis ini bebas plagiat.
Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No.17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 21 Juli 2016 Yang membuat pernyataan,
6
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih dan puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya tesis yang berjudul “Nilai pH Permukaan Kulit Berkorelasi Positif dengan Derajat Keparahan Dermatitis Atopik” dapat diselesaikan.
Penulis menyadari tanpa bimbingan, motivasi, semangat dan bantuan lainnya yang sangat berharga dari semua pihak, tugas akhir ini tidak akan terlaksana dengan baik. Oleh karena itu melalui kesempatan ini penulis sampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr.dr. Putu Astawa, Sp.OT, M.Kes, FICS, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis I di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS(K) dan Ketua Program Magister Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana Dr.dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, SpGK serta kepada Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And., FAACS atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Kekhususan Kedokteran Klinik (Combine Degree). Terima kasih kepada Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. I Wayan Sudana M.Kes, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan
7
di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana sekaligus pembimbing karya akhir ini, Prof. dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV, sekaligus sebagai pembimbng kedua serta Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I (KPS PPDS-I) Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar sekaligus sebagai pembimbing pertama, Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK(K), FINSDV yang telah memberikan kesempatan mengikuti Program Pendidikan Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin.
Terima kasih kepada Dr. dr. A.A.G.P. Wiraguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV, Dr. dr. I.G.A.A. Praharsini, Sp.KK FINSDV dan Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati Sudarsa, Sp.KK FINSDV, selaku penguji, yang telah banyak memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran dalam penyusunan karya akhir ini.Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua Kepala Divisi dan Staf Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar serta seluruh tenaga paramedis dan nonmedis di Unit Rawat Jalan dan Unit Rawat Inap yang telah membimbing, membantu dan memberikan dukungan sehingga memungkinkan penulis menyelesaikan pendidikan.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada semua pasien dermatitis atopik yang telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini.
8
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua teman-teman dr.Gusti Ayu Sriyani, M.Biomed, SpKK, dr.Putu Anindita Maharani, M.Biomed, SpKK, dr.Yulia Trisna Wijaya, M.Biomed, SpKK, dr.Dulce Madalena DaCosta Alberto, dr.Desak Made Putri Pidari, dr.Tjokorda Istri Oka Dwiprasetia Handayani, dr.Ida Ayu Komang Utami Dewi, dr.Herjuni Oematan, dr.Ni Made Dina Pranidya Ari atas dorongan,, motivasi, dan kerjasamanya selama menempuh pendidikan.
Rasa hormat dan terima kasih yang mendalam juga penulis sampaikan kepada ayahanda Ilham Nontji dan ibunda Hartuti Ilham, sebagai orang tua yang telah mengasuh, membesarkan, mendidik dan mendoakan tanpa pamrih. Rasa hormat juga saya sampaikan kepada kedua mertua saya Drs. Zulfikar Thahar, Msc dan Dra Irdawati (Apt), yang memberi dukungan selama menempuh pendidikan. Kepada istri tercinta, Rezeki Febrina Joelida, SE. (AK), kedua anak, Fathi Raya Nonci dan Dante Vidyatama Nonci serta saudara kandung tersayang, Ir. Junita Bahari Nonci dan drg Ivory Nonci, S.kg, tanpa dukungan, rasa cinta kasih, dan pengorbanan kalian selama ini, akan sulit bagi penulis untuk dapat menyelesaikan pendidikan ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis akhir ini jauh dari sempurna, maka oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis tetap mohon petunjuk dan saran perbaikan sehingga hasil yang tertuang dalam karya akhir ini dapat bermanfaat bagi ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan.
Denpasar, 22 Juli 2016
9 ABSTRAK
NILAI pH PERMUKAAN KULIT BERKORELASI POSITIF DENGAN DERAJAT KEPARAHAN DERMATITIS ATOPIK
Dermatitis atopik (DA) merupakan suatu keadaan peradangan kulit kronis residif akibat adanya interaksi yang kompleks antara kerentanan genetik yang mengakibatkan kerusakan sawar kulit dan peningkatan respon imun. Banyaknya faktor penyebab dan kurangnya pengetahuan tentang perawatan kulit yang tepat pada penderita DA, menyebabkan tingginya kekambuhan yang berulang pada penderita DA. Kekeringan kulit penderita DA, menunjukkan adanya peningkatan potensial
hydrogen (pH) permukaan kulit menjadi lebih alkali.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara nilai pH permukaan kulit dengan derajat keparahan DA yang dihitung berdasarkan Scoring for Atopic
Dermatitis (SCORAD). Dilakukan penelitian potong lintang di Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUP Sanglah Denpasar dengan jumlah sampel 47 orang yang dipilih secara consecutive sampling. Sampel yang memenuhi kriteria dimintakan kesediaannya berpartisipasi dengan menandatangani informed consent. Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan kriteria Hanifin dan Rajka. Derajat keparahan DA dihitung dengan indeks SCORAD. Nilai pH permukaan kulit diukur pada lesi kulit penderita DA. Data yang terkumpul dianalisis dengan SPSS 17 for windows dengan uji komparasi one way ANOVA dan uji korelasi Spearman.
Sebanyak 25 subjek adalah perempuan dan 22 lelaki. Umur terendah 4 tahun dan tertinggi 58 tahun.Nilai median SCORAD didapatkan sebesar 30,0 dengan kelompok severitas DA terbanyak adalah derajat keparahan sedang sebanyak 19 penderita Nilai median pH permukaan kulit didapatkan sebesar 6,0. Pada analisis komparasi antara kelompok derajat keparahan didapatkan nilai p<0,001. Hasil analisis korelasi didapatkan nilai (r=0,769 ; p=0,001).
Kesimpulan dari penelitian ini menunjukan terdapat korelasi antara nilai pH permukaan kulit dengan derajat keparahan DA. Nilai pH permukaan kulit berbeda secara bermakna pada masing-masing derajat keparahan dan terdapat korelasi yang kuat antara nilai pH permukaan kulit dengan derajat keparahan DA.
10 ABSTRACT
pH VALUES OF SKIN SURFACE WAS POSITIVELY CORRELATED WITH ATOPIC DERMATITIS SEVERITY
Atopic dermatitis (AD) is a chronically relapsing inflammatory skin disease that result from complex interaction between genetic susceptibility genes resulting in a defective skin barrier, and heightened immunologic response. The many factors and lack of knowledge about proper skin care in AD patients, leading to highly reccurence. Skin dryness in AD patients, showed an increase in the potential of hydrogen (pH) of the skin surface becomes more alkaline.
This study aimed to determine the correlation between pH values of skin surface with the severity of AD which is calculated based Scoring for Atopic Dermatitis (SCORAD). A cross-sectional study conducted at Dermatovenereology polyclinic, Sanglah hospital with a sample of 47 people selected by consecutive sampling. The samples that fulfill the criteria, requested by signing an informed consent. The assessment of AD, enforced in accordance Hanifin and Rajka criteria. The AD severity was calculated by SCORAD index. The pH values is measured at the skin surface lesions of AD patients. The data were analyzed with SPSS 17 for windows with one way ANOVA comparison test and Spearman correlation test.
A total of 25 subjects were female and 22 were male with the lowest age was 4 years old and the highest was 58 years old The SCORAD median value obtained was 30,0 with the highest AD severity groups were moderate group as many as 19 patients.The pH median value of skin surface was 6,0. The results of comparison analysis between severity groups was p value <0,001.The results of correlation analysis obtained values (r=0,769; p=0,001)
This study concluded that pH values have correlation with AD severity. pH values of skin surface significantly different in each severity and there were strong positive correlations between pH values of skin surface and AD severity.
11 DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PRASYARAT GELAR ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v
UCAPAN TERIMA KASIH……….. . vi
ABSTRAK……….. ix
DAFTAR ISI……….. ... xi
DAFTAR GAMBAR………. xviii
DAFTAR TABEL..………... ... xix
DAFTAR SINGKATAN……… xx
DAFTAR LAMPIRAN……… ... xxii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 4 1.3 Tujuan Penelitian ... 5 1.3.1 Tujuan Umum ... 5 1.3.2 Tujuan Khusus ... 5 1.4 Manfaat Penelitian ... 5 1.4.1 Manfaat Teoritis ... 5 1.4.2 Manfaat Praktis ... 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6
12
2.2 Epidemiologi ... 7
2.3 Etiologi dan Patogenesis ... 8
2.3.1 Faktor Predisposisi ... 8
2.3.1.1 Gangguan Fungsi Sawar Kulit ... 8
2.3.1.2 Mekanisme Genetik ... 10 2.3.1.3 Hygiene Hypotesis ... 11 2.3.2 Faktor Imunopatogenesis ... 11 2.3.2.1 Monosit ... 11 2.3.2.2 Eosinofil... 12 2.3.2.3 Keratinosit ... 12 2.3.2.4 Sel T ... 13
2.3.2.5 Sitokin dan Kemokin ... 14
2.3.3 Faktor Pencetus ... 15 2.3.3.1 Makanan ... 15 2.3.3.2 Aeroalergen ... 15 2.3.3.3 Mikroba ... 16 2.3.3.4 Bahan Iritan ... 17 2.3.3.5 Faktor Neuroimunologis ... 17 2.4 Sawar Epidemis ... 17
2.4.1 Struktur Sawar Epidermis ... 18
2.4.1.1 Korneosit ... 19
13
2.4.2 Disfungsi Sawar Epidermis pada Penderita Dermatitis Atopik .... 21
2.4.3 Evaluasi Fungsi Sawar Epidermis ... 25
2.5 Gambaran Klinis ... 26
2.6 Diagnosis... 28
2.7 Derajat Keparahan Penyakit ... 30
2.8 Penatalaksanaan ... 31
2.8.1 Identifikasi dan Eliminasi Faktor Pencetus ... 31
2.8.2 Terapi Topikal ... 32
2.8.2.1 Hidrasi Kulit ... 32
2.8.2.2 Kortikosteroid Topikal ... 32
2.8.2.3 Penghambat Kalsineurin Topikal ... 33
2.8.2.4 Preparat Ter ... 34 2.8.3 Pengobatan Sistemik ... 34 2.8.3.1 Kortikosteroid ... 34 2.8.3.2 Antihistamin ... 35 2.8.3.3 Antiinfeksi ... 35 2.8.3.4 Interferon Gamma ... 35 2.8.3.5 Antimetabolit ... 36 2.8.3.6 Siklosporin ... 36
2.8.4 Terapi Sinar (Fototerapi)... 37
2.9 Prognosis ... 37
14
2.10.1 pH Kulit ... 38
2.10.2 pH Kulit pada Dermatitis Atopi………. 41
BAB III. KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 42 3.1 Kerangka Berpikir ... 42
3.2 Konsep Penelitian ... 43
3.3 Hipotesis Penelitian ... 44
BAB IV. METODE PENELITIAN ... 45
4.1 Rancangan Penelitian ... 45
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 45
4.3 Penentuan Sumber Data ... 46
4.3.1 Populasi Target……… .... 46 4.3.2 Populasi Terjangkau………... 46 4.3.3 Sampel………..46 4.3.3.1 Kriteria Inklusi……...……….. 46 4.3.3.2 Kriteria Eksklusi……… .. 46 4.3.4 Besar Sampel………. .. 47
4.3.5 Tehnik Pengambilan Sampel……… ... 48
4.4 Ijin/Persetujuan Subjek Penelitian ... 48
4.5 Variabel Penelitian ... 48
4.5.1 Klasifikasi dan Identifikasi Variabel……… ... 48
4.5.2 Definisi Operasional Variabel……… .. 49
15
4.7 Instrumen Penelitian ... 51
4.7.1 Alat – alat……… . 51
4.7.2 Bahan – bahan……… .. 51
4.8 Prosedur Penelitian……… ... 51
4.8.1 Penjelasan Alur Penelitian……… 51
4.9 Pengambilan Data………. 53
4.10 Pengukuran pH Permukaan Kulit………. 54
4.11 Analisis Data………..…….. ... 54
4.12 Etika Penelitian ... 55
BAB V HASIL PENELITIAN ... 56
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 56
5.2 Uji Normalitas Data ... 57
5.3 Komparasi Rerata Nilai pH Permukaan Kulit Berdasarkan Derajat Keparahan Dermatitis Atopik ... 58
5.4 Korelasi Nilai pH Permukaan Kulit dengan Derajat Keparahan Dermatitis Atopik... 60
BAB VI PEMBAHASAN ... 62
6.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 62
6.2 Komparasi Rerata Nilai pH Permukaan Kulit Berdasarkan Derajat Keparahan Dermatitis Atopik ... 65
6.3 Korelasi Nilai pH Permukaan Kulit dengan Derajat Keparahan Dermatitis Atopik Berdasarkan SCORAD ... 68
16
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 71
7.1 Simpulan ... 71
7.2 Saran ... 71
DAFTAR PUSTAKA ... 73
17
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Patogenesis Dermatitis Atopik………... ……… 15
Gambar 2.2 Peran pH Kulit dalam Sistem Sawar Kulit………... 40
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian……….. ………... 43
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian Cross-sectional………..……….. 45
Gambar 4.2 Hubungan antar Variabel………….………... 49
Gambar 4.3 Alur Penelitian………..……….. Gambar 5.1 Grafik Box Plot Rerata Nilai pH Permukaan Kulit Pada Berbagai Severitas DA………...………... 53 59 Gambar 5.2 Grafik Scattered Plot Korelasi Nilai pH Permukaan Kulit dengan SCORAD……… 61
18
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian………...……….. 57
Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas Data dengan Shapiro-Wilk……….... 58 Tabel 5.1 Hasil Analisis Perbandingan Rerata Nilai pH Permukaan Kulit
Berdasarkan Derajat Keparhan DA……….………... 59
Tabel 5.4 Hasil Uji Lanjut (Post Hoc)………..……….. 60
Tabel 5.5 Hasil Analisis Korelasi Nilai pH Permukaan Kulit dengan Derajat
19
DAFTAR ARTI SINGKATAN
CAMP : Cyclic adenosine monophosphate
CD : Cluster of Differentiation
CLA : Cutaneous Lymphoid Antigen
DA : Dermatitis atopik
ExT – A : Exotoxin A
Filagrin : Filamen-agregating Protein
GM-CSF : Granulocyte Macrophage colony stimulating factor ICAM – I : Intercullular Adhesion Molecule-I
IFN : Interferon
IFN-γ : Interferon gamma
IgE : Imunoglobulin E
IgM : Imunoglobulin M
IL : Interleukin
KS : Kortikosteroid
MDC : Macrophage-derived Chemokine
MHC : Major Histocompatibility Complex
mRNA : Messengger Ribonucleic Acid
NMF : Natural moisturizing factor
pH : Potensial Hydrogen
20
SA : Staphylococcus aureus
SCCE : Stratum corneum chymotryptic
SCORAD : Scoring for Atopic Dermatitis
SCTE : Stratum corneum tryptic enzyme
SE : Staphylococcus Epidermidis
SEA : Staphylococcus Enterotoxin A
SEB : Staphylococcus Enterotoxin B
SEC : Staphylococcus Enterotoxin C
TEWL : Transepidermal water loss
TDR : Tungau Debu Rumah
Th : T Helper
TGF : Tumor Growth Factor
TNF : Tumor Necrosis Factor
TNF – ex : Tumor Necrosis Factor ex
TRC : Thymic Reticuloepithelial Cells UV : Ultra Violet
21
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Keterangan Kelaikan Etik………... 78
Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian……….……… 79
Lampiran 3 Penjelasan dan Form Persetujuan Tertulis……….. 80
Lampiran 4 Formulir Persetujuan Tertulis………....……... 82
Lampiran 5 Status/Formulir penelitian ……….………. 83
Lampiran 6 Kriteria Diagnosis Dermatitis Atopik dari Hanifin dan Rajka…... 86
Lampiran 7 Cara pengukuran pH permukaan kulit menggunakan skin pH meter. 88 Lampiran 8 Data Sampel Penelitian……….. 89
Lampiran 9 Analisis Hasil Penelitian……….91
22 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kondisi gangguan fungsi sawar kulit dapat menyebabkan berbagai jenis penyakit di bidang Dermatologi. Salah satu penyakit kulit yang disebabkan oleh adanya disfungsi fungsi sawar kulit adalah dermatitis atopik (DA). Penderita DA sering merasa frustasi terhadap penyakitnya karena berlangsung cukup lama dan seringkali kambuh secara berkala. Penderita DA memperlihatkan kecenderungan kulit yang kering dan mudah teriritasi. Banyaknya faktor penyebab dan kurangnya pengetahuan tentang perawatan kulit yang tepat pada penderita DA, menyebabkan tingginya kekambuhan yang berulang pada penderita DA.
Dermatitis atopik merupakan suatu keadaan peradangan kulit kronis residif, ditandai dengan rasa gatal yang sangat mengganggu dan paling sering terjadi pada bayi dan anak-anak (Leung dkk., 2012). Sejak tahun 1960, prevalensi DA terus mengalami peningkatan hingga mencapai lebih dari tiga kali lipat. Penelitian saat ini menggambarkan DA termasuk dalam salah satu masalah kesehatan utama di dunia dengan prevalensi pada anak di Amerika Serikat, Jepang, Eropa, Australia dan negara industri lain mencapai 10% sampai 20%, sedangkan pada dewasa 1% sampai 3%. Di negara agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia Tengah prevalensi DA jauh lebih rendah (Leung dkk., 2012). Prevalensi DA di Asia Tenggara pada orang dewasa didapatkan sebesar 20% (Chan dkk, 2006).
23
Dermatitis atopik merupakan penyakit yang terjadi akibat adanya interaksi yang kompleks antara kerentanan genetik yang mengakibatkan kerusakan sawar kulit dan peningkatan respon imun terhadap alergen dan antigen mikroba yang ditandai dengan peningkatan kadar Imunoglobulin E (IgE) dalam serum (Novak dkk., 2011; Leung dkk., 2012). Penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa berbagai macam gejala DA yang timbul terutama diakibatkan karena terganggunya fungsi sawar kulit (Park dkk., 2001). Salah satu fungsi epidermis adalah sebagai sawar kulit.
Gejala utama DA ialah gatal dengan kulit yang kering, bersisik dan akibat garukan, dapat timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, krusta dengan distribusi yang khas sesuai fasenya. Pada bayi lesi sering terdapat pada wajah dan ekstensor, pada anak-anak dan dewasa lesi pada fleksura dengan likenifikasi (Leung dkk., 2012). Diagnosis DA dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik sesuai kriteria mayor dan minor yang disusun oleh Hanifin dan Rajka pada tahun 1980 (Leung dkk., 2012).
Kekeringan pada kulit penderita DA, menunjukkan adanya peningkatan
potensial hydrogen (pH) permukaan kulit menjadi lebih alkali dan hal ini dapat
mempengaruhi flora bakteri pada kulit. Acid mantle adalah lapisan film yang bersifat asam di permukaan kulit yang berfungsi melindungi kulit. Definisi nilai keasaman (pH) kulit adalah nilai keasamaan dari lapisan pada permukaan yang terdiri dari asam lemak dari sebum yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea, lemak epidermal dan komponen yang disekresikan bersama keringat (Harry, 1975; Strauss, 1991). Nilai keasaman permukaan kulit normal antara 4 sampai 6,5 pada orang sehat, meskipun
24
bervariasi antara satu kulit dengan kulit yang lain (Rieger, 1989). Schade dan Marchionini (1928), menyatakan bahwa pH permukaan kulit berkisar dari 3,0 sampai 5,0 dan menyebutnya sebagai acid mantle yang berperan dalam perlindungan terhadap infeksi bakteri atau jamur. Peneliti lain mendapatkan nilai pH kulit berkisar antara 5,4 sampai 5,9 dengan rerata 5,5, namun ada pula yang berpendapat bahwa rerata pH permukaan kulit antara 6,4 dan 6,5 (Braun-Falco dan Korting, 1991).
Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa berbagai jenis inflamasi kulit atau trauma tertentu (tape stripping) dapat menyebabkan peningkatan pH permukaan kulit. Pada DA didapatkan pH kulit lebih tinggi (lebih alkali) dan nilai pH meningkat sesuai dengan meningkatnya kekeringan kulit (Schafer dkk, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Eberlein-Konig dkk., mendapatkan bahwa nilai pH permukaan kulit yang diukur pada lengan penderita DA bagian volar secara signifikan lebih tinggi yaitu sebesar 5,54 dibandingkan pada orang yang bukan DA yaitu sebesar 4,86 (Eberlein-Konig dkk. 2000). Penelitian yang sama juga didapatkan bahwa pH permukaan kulit pada lesi maupun kulit tanpa lesi pada penderita DA secara signifikan lebih tinggi dibandingkan pada individu bukan DA (Knor Tanja dkk. 2011). Penelitian lain mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan peningkatan pH permukaan kulit pada lesi penderita DA dibandingkan individu bukan DA (Choi dkk, 2003).
Pada dua kelompok peneliti yaitu Hon dkk., dan Gupta dkk., didapatkan hubungan antara TEWL dan Scoring for Atopic Dermatitis (SCORAD) pada
anak-25
anak yang menunjukkan adanya hubungan antara defek pada sawar kulit yang ditunjukkan dengan peningkatan TEWL dengan keparahan penyakit (Aoki, 2010).
Untuk mengetahui derajat keparahan penyakit, terdapat indeks SCORAD. Sistem ini merupakan nilai kombinasi antara luasnya penyakit dengan menggunakan
rule of nine, intensitas penyakit kulit dengan ciri eritema, edema, krusta, ekskoriasi,
likenifikasi dan kulit kering, dimana kulit kering dievaluasi pada kulit yang tidak meradang serta keluhan subjektif penderita yaitu rasa gatal dan gangguan tidur. Skor yang tinggi menunjukkan penyakit yang lebih parah (Bender dkk., 2008).
Berdasarkan latar belakang terdapat perbedaan hasil dari beberapa peniltian dan belum adanya data tentang nilai keasamaan pH kulit berdasarkan derajat keparahan DA baik pada penderita DA anak-anak maupun penderita DA dewasa di Denpasar, maka penelitian ini dilakukan untuk melihat korelasi antara nilai keasaman (pH) permukaan kulit dengan derajat keparahan lesi penderita DA di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, Denpasar
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah terdapat perbedaan rerata nilai pH permukaan kulit pada berbagai derajat keparahan DA dan nilai pH permukaan kulit berkorelasi positif dengan derajat keparahan DA?
26 1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui adanya hubungan antara pH permukaan kulit dengan derajat keparahan pada penderita DA.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui rerata nilai pH permukaan kulit pada berbagai derajat keparahan pada penderita DA di rumah sakit Sanglah, Denpasar.
2. Untuk mengetahui nilai pH permukaan kulit berkorelasi positif dengan derajat keparahan penderita DA di rumah sakit Sanglah, Denpasar.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis
1. Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang hubungan antara nilai pH permukaan kulit dengan derajat keparahan DA
2. Mengetahui peran pH sebagai sawar kulit dalam etiopatogenesis DA
3. Menambah data tentang nilai pH permukaan kulit pada penderita DA khususnya di Denpasar
4. Data ini dapat digunakan sebagai data awal untuk penelitian lebih lanjut.
1.4.1 Manfaat praktis
1. Data ini dapat digunakan sebagai dasar untuk pemilihan terapi secara holistik pada penderita DA, selain terapi utama untuk mengatasi inflamasi pada DA dapat digunakan bahan pelembab untuk memperbaiki fungsi sawar kulit.
27 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Dermatis atopik adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang umumnya terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE serum dan riwayat atopik pada keluarga atau penderita (DA, rinitis alergika dan atau asma bronkial) (Leung dkk., 2012). Kata “atopik” pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923) yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya, misalnya DA, rinitis alergika, dan konjungtivitis alergika.
Dermatitis atopik dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan gambaran laboratoris dan penyakit terkait, yaitu dermatitis atopik tipe intrinsik dan ekstrinsik. Dermatitis atopik tipe ekstrinsik memerlukan sensitisasi yang diperantarai oleh IgE, seringkali terkait dengan asma bronkial atau rinokonjungtivitis alergika dan merespon positif terhadap pemberian alergen makanan maupun lingkungan. Sedangkan, dermatitis atopik tipe intrinsik (DA non alergika, DA non atopik, eksim non atopik) memiliki kadar IgE serum normal. Penderita ini memberi hasil negatif pada percobaan in vitro dengan alergen makanan maupun lingkungan dan tidak terkait dengan penyakit atopik lainnya seperti asma atau rinokonjungtivitis alergi. Penderita DA intrinsik cenderung memiliki onset penyakit yang lebih lambat (Choi dkk., 2003; Leung dkk., 2004).
28 2.2 Epidemiologi
Prevelensi DA meningkat dua hingga tiga kali lipat selama tiga dekade terakhir di negara maju sehingga menjadi masalah kesehatan yang cukup serius (Leung dkk., 2012). Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia, dan negara industri lain prevalensi DA pada anak mencapai 10% sampai 20%, sedangkan pada dewasa kira-kira 1% sampai 3%. Di negara agraris misalnya Cina, Eropa Timur, Asia Tengah prevalensi DA jauh lebih rendah (Leung dkk., 2012). Prevalensi DA secara umum mencapai 10%-20% pada anak dan 1%-3% pada dewasa (Leung dkk., 2004). Dermatitis atopik biasanya muncul pada bayi dan anak-anak, namun bisa menetap ataupun dimulai pada saat dewasa (Leung dkk., 2004; Bieber 2008). Empat puluh lima persen kasus DA dimulai pada enam bulan pertama kehidupan, 60% dimulai pada tahun pertama dan 85% dimulai sebelum usia lima tahun. Lebih dari 70% penderita mengalami remisi spontan sebelum remaja (Bieber, 2008). Wanita lebih banyak menderita DA daripada pria dengan rasio 1,3 : 1 (Leung dkk., 2012).
Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap prevalensi DA, misalnya jumlah keluarga kecil, taraf pendidikan dan penghasilan. Migrasi dari desa ke kota dan meningkatnya penggunaan antibiotik, juga berpotensi meningkatkan jumlah penderita DA (Leung dkk., 2012). “Hygiene hypotesis” telah diajukan untuk menjelaskan peningkatan prevalensi DA. Hipotesis ini menyatakan tidak adanya infeksi di awal kehidupan pada populasi yang telah disebutkan di atas membuat individu lebih rentan untuk mengalami DA (Bieber, 2008; Leung dkk., 2012), sedangkan jumlah rumah yang berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah keluarga,
29
urutan lahir makin belakang, sering mengalami infeksi sewaktu kecil akan melindungi timbulnya DA pada kemudian hari.
Dermatitis atopik cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopik akan mengalami DA pada masa kehidupan tiga bulan pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopik, lebih separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai usia dua tahun dan meningkat sampai 79% bila kedua orang tua menderita atopik. Risiko mewarisi DA lebih tinggi pada ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi bila DA yang dialami berlanjut hingga masa dewasa, maka risiko untuk mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50% (Leung dkk., 2012)
2.3 Etiologi dan Patogenesis
Penyebab DA yang pasti tidak diketahui dengan jelas, beberapa peneliti mengemukakan berbagai faktor yang berperan dalam patogenesis DA, misalnya faktor genetik, lingkungan, sawar kulit dan imunologi (Leung dkk., 2004; Bieber, 2008; Novak, 2008; Leung dkk., 2012).
2.3.1 Faktor predisposisi
2.3.1.1 Gangguan fungsi sawar kulit
Rasa gatal yang hebat dan garukan dikombinasi dengan hiperreaktivitas kulit dan berkurangnya ambang batas rasa gatal mendasari lingkaran setan dari stimulasi mekanis yang kontinyu dan pengeluaran sitokin yang tidak teratur oleh keratinosit. Kerusakan yang mendasar terjadi pada DA adalah perubahan komposisi lipid stratum
30
korneum yang bertanggung jawab terhadap keringnya kulit dan mengakibatkan peningkatan permeabilitas terhadap alergen dan iritan (Novak, 2008).
Stratum korneum mempunyai kemampuan untuk menahan air yang tergantung dari fenotip dan susunan korneosit, komposisi dan susunan lipid ekstraseluler dan adanya materi yang bersifat higroskopis kuat pada korneosit. Susunan stratum korneum dianalogikan dengan “batu bata dan semen” (Brick wall with mortar). Korneosit mewakili batu bata dan matriks yang terdiri dari lipid dan korneodesmoson mewakili semen. Lipid stratum korneum mengisi 20% volume stratum korneum yang terdiri dari seramid (50%), kolesterol (25%) dan asam lemak (10-20%). Seramid berperan sebagai molekul penahan air utama pada stratum korneum. Berkurangnya jumlah seramid telah dilaporkan terjadi pada epidermis, baik pada kulit penderita DA yang mengalami lesi maupun yang tidak (Beiber, 2008; Novak, 2008). Bahkan pada penderita DA tanpa lesi kulit juga terjadi kekeringan kulit dan gangguan fungsi sawar stratum korneum yang ditandai dengan meningkatnya kehilangan air melalui epidermis transepidermal water loss (TEWL) (Novak, 2008).
Gangguan fungsi sawar kulit pada DA meningkatkan absorpsi antigen yang mengakibatkan hiperreaktivitas kulit yang merupakan gambaran khas DA (Bieber, 2008; Novak, 2008). Sebagai tambahan, seramidase yang memecah seramid menjadi sphingosine dan asam lemak disekresi lebih banyak dari flora bakteri yang didapat baik pada kulit yang mengalami lesi ataupun tanpa lesi pada penderita DA.
Pada fase aktif penyakit terjadi pergeseran pH ke arah alkali pada kulit yang sehat maupun sakit. Bersamaan dengan kerentanan terhadap iritan pada DA dapat
31
digambarkan sebagai defek primer dan kemudian pada diferensiasi dan fungsi epidermis dengan adanya inflasi subklinis yang menginduksi kerusakan kulit dikombinasi dengan gangguan sawar kulit lebih lanjut pada fase aktif penyakit (Novak, 2008).
2.3.1.2 Mekanisme genetik
Onset pada usia dini, kejadian penyakit pada keluarga, dan angka kejadian yang tinggi pada kembar monozigot sebesar 77% dan 15% pada kembar dizigot, menggambarkan bahwa DA merupakan penyakit yang kompleks secara genetik yang berkembang berdasarkan latar belakang gen dan interaksi ginetik dengan lingkungan (Leung dkk., 2004; Bieber, 2008; Novak, 2008; Leung dkk., 2012). Beberapa kromosom mengandung gen yang terlibat dalam DA, khususnya pada kromososm 5q31-33yang mengandung famili gen sitokin T Helper 2 (Th2) yaitu Interleukin 3 (IL-3), IL-4, IL-5, IL-13 dan Granulocyte Macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Pada tahun 1998, penelitian menunjukan gen yang dikode pada kromosom 16p11.2-12 berhubungan dengan kadar IgE serum total. Area gen ini merupakan lokasi dari IL-4 reseptor gen alfa (IL-4R). Mutasi gen yang mengakibatkan peningkatan reaktivitas reseptor IL-4 seperti Q576R diperkirakan bertanggung jawab terhadap peningkatan sekresi IgE. Lebih lanjut lagi, polimorfisme yang terjadi minimal pada empat asam amino yang berbeda pada lokasi sitoplasmisk IL-4R mempengaruhi sinyal reseptor IL-4 dan meningkatkan sekresi IgE. Terdapat hubungan juga antara kadar IgE total yang tinggi dengan 12q21-1q24.1, yaitu gen untuk interferon- (IFN-) dan faktor sel punca (KIT ligand/mast-cell growth faktor)
32
berlokasi (Novak, 2008). Cookson dkk., menemukan bahwa lokus gen 11q13 yang mewakili daerah untuk rantai reseptor untuk IgE terkait dengan fenotip DA (Leung dkk., 2004; Bieber, 2008; Novak, 2008). Begitu juga varian dari area pengkode IL-13, mutasi pada promotor proksimal gen RANTES dan keterkaitan DA dengan kromosom 3q21, area yang mengkode molekul kostimulator Cluster of
Differentiation 80 (CD80) dan CD86 telah diidentifikasi sebagai lokus yang rentan
terhadap DA (Novak, 2008). 2.3.1.3 Hygiene hypothesis
Limfosit fetal manusia mengandung Th2 sebagai konsekuensi dari sitokin plasenta, hormon dan paparan terhadap alergen transplasenta. Selama periode
postnatal, pada individu yang non atopik terjadi pergantian dari Th2 dominan
menjadi Th1, mungkin diakibatkan karena stimulasi dari beberapa macam agen infeksi. Berlawanan dengan individu yang atopik, pergantian ini tidak terjadi selama bulan pertama kehidupan dan menimbulkan reaksi imunologis Th2 (Novak, 2008). Faktor-faktor kehidupan modern seperti penggunaan antibiotik, penurunan jumlah anggota keluarga, dan peningkatan higienitas mengakibatkan kurangnya paparan terhadap stimulasi bakteri dan mendukung perkembangan Th2 (Novak, 2008; Leung dkk, 2012).
2.3.2 Faktor imunopatogenesis
2.3.2.1 Monosit
Peningkatan hidrolisis cyclic adenosine monophosphate (CAMP) oleh
33
peningkatan produksi mediator seperti prostaglandin E dan IL-10. Mekanisme ini selanjutnya menghambat respon Th2 dan memprekuat sekresei IL-4 oleh sel Th2 dan nampak sebagai tambahan selain prostaglandin E2, IL10 berperan untuk mengatur keseimbangan antara respon Th1 dan Th2 yang mengatur gambaran atopik termasik produksi IL-4, IL-5 dan IL-6 oleh sel T, peningkatan sintetis IgE, berkurangnya produksi interferon- (IFN-γ) dan terganggunya respon imun yang diperantarai sel. Monosit dari penderita DA menunjukkan peningkatan ekspresi reseptor untuk IgE dan rantai IL-4R dapat dibedakan dari monosit pasien DA non alergi yang ekspresi marker permukaannya rendah (Leung dkk., 2004; Novak, 2008).
2.3.2.2 Eosinofil
Adanya eosinofilia pada darah perifer dan peningkatan kadar protein granul eosinofil serum menggambarkan degranulasi eosinofil berperan penting pada DA. Peningkatan kadar eosinofil dengan peningkatan survival telah terdeteksi dan terutama pada eosinofil dari penderita DA alergi, reseptor CD137 yang menstimulasi aktivasi dan diferensiasi sel T dapat dideteksi. Peningkatan protein granular dapat ditemukan dari darah perifer sejalan dengan keaktifan penyakit. Di kulit, sitokin Th2 bersamaan dengan kemokin seperti eotaxin dan protein 4 kemoatraktan monosit mendorong influx eosinofil ke dalam kulit penderita DA (Leung dkk., 2004; Novak, 2008).
2.3.2.3 Keratinosit
Transduksi sinyal pada sel epitel yang tidak teratur dapat mengakibatkan respon yang berlebihan terhadap stimulus inflamasi. Perubahan sintesis sitokin oleh sel di
34
kulit meningkatkan ekspresi Tumor Necrosis Factor-α (TNF-), IL-1, dan IL-12
Messengger Ribonucleic Acid (mRNA) pada kulit penderita DA setelah kontak
dengan deterjen atau aeroalergen. Defek intrinsik keratinosit ditemukan pada DA mengakibatkan sekresi GM-CSF, IL-1 dan TNF- dipercepat (Leung dkk., 2004; Bieber, 2008; Novak, 2008).
2.3.2.4 Sel T
Salah satu gambaran DA yang paling menonjol adalah infiltrasi kulit oleh sel T CD4 pada lesi kulit. Penelitian imunohistologis menunjukkan infiltrat dermis pada lesi kulit terutama terdiri dari sel CD4 dan CD8 dengan perbandingan CD4:CD8 hampir sama dengan yang ditemukan pada darah tepi (Leung dkk., 2004; Bieber, 2008; Novak, 2008).
Sistem imun manusia memiliki sel T kutaneus yang sangat aktif dan memiliki
Cutaneus lymphocyte antigen (CLA) pada permukaannya yang memungkinkan sel T
untuk segera menuju ke kulit bila terdapat masuknya antigen asing. Masuknya sel T kedalam kulit ditentukan oleh interaksi CLA dengan antigen permukaan sel vaskular yang diekspresikan pada pembuluh darah dermis seperti E-selectin. Kofaktor lain yang penting untuk masuknya sel T adalah alpha-6 integrin, Vascular Cell Adhesion
Molecule (VCAM-1), Intercullular Adhesion Molecule-I (ICAM-1) dan IL-8 yang
ditemukan dalam jumlah banyak pada darah tepi penderita DA (Novak, 2008). Prekursor Th 0 dirangsang untuk berdiferensiasi menjadi sel Th1 atau Th2, setelah presentasi antigen oleh sel dendritik. Respon Th1 terkait dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan dominan mensekresi IFN-γ dan IL-2. Pola Th2
35
terkait dengan peningkatan sekresi IgE dan reaksi yang diperantarai IgE dan didominasi oleh IL-4, IL-5 dan IL-13.
Analisis sampel biopsi dari kulit sehat pada penderita DA menunjukkan peningktan sel Th2 yang mengekspresikan mRNA dari IL-4 dan IL-13. Sementara lesi DA akut tidak mengandung sel yang mengekspresikan mRNA, IL-5, IL-12, GM-CSF atau IL-12 dalam jumlah yang signifikan, jumlah mRNA sitokin-sitokin ini meningkat pada fase kronis, sedangkan jumlah mRNA IL-4 dan IL-13 menurun (Leung, 2004; Novak, 2008). Dari penelitian terhadap lesi kulit terhadap penderita DA diketahui bahwa perjalanan DA bersifat bifasik, dimana pada fase inisial ditandai oleh pola Th2 lalu beralih ke fase kronis yang didominasi oleh profil Th1. Peralihan ini mungkin dimulai oleh produksi lokal IL-12 dari eosinofil atau sel epidermal dendritik atau keduanya (Novak, 2008).
2.3.2.5 Sitokin dan Kemokin
Berkurangnya imunitas yang diperantarai sel pada DA adalah akibat peningkatan produksi sitokin imunosupresif seperti IL-10 dan Tumor Growth Factor (TGF-)
telah diobservasi pada DA (Leung, 2004; Novak, 2008). Lebih lanjut lagi, kemoatraktan untuk sel T CD4, kemokin yang diekspresikan dan disekresi oleh sel T (RANTES), kemokin yang bersal dari Macrophage-derived Chemokine (MDC), kemokin yang diaktivasi Thymic Reticuloepithelial Cells (TRC) dapat ditemukan pada penderita DA (Leung, 2004; Novak, 2008). Inflamasi kulit yang menetap pada lesi kulit kronis dapat diinduksi oleh mediator yang meningkatkan lama hidup
36
eosinofil, monosit/makrofag dan sel dendritik seperti IL-5 atau GM-CSF ditemukan dalam jumlah yang banyak pada penderita DA (Novak, 2008).
Gambar 2.1
Patogenesis dermatitis atopik (Egawa G. 2015)
2.3.3 Faktor Pencetus
2.3.3.1 Makanan
Pada anak kecil makanan dapat berperan dalam patogenesis DA, tetapi tidak biasa terjadi pada usia yang lebih tua. Makanan yang paling sering adalah telur, susu, gandum, kedelai dan kacang tanah (Novak, 2008; Leung dkk., 2012).
2.3.3.2 Aeroalergen
Dari percobaan double blinded dengan placebo dan tungau debu rumah (TDR) didapatkan penderita DA setelah menghirup TDR mengalami eksaserbasi ditempat lesi lama dan timbul lesi baru (Leung dkk., 2004; Sularsito dkk., 2007; Novak, 2008;
37
Leung dkk., 2012). Demikian pula setelah aplikasi epikutan dengan aeroalergen (TDR, bulu binatang, kapang) melalui uji tempel pada kulit penderita DA tanpa lesi, terjadi reaksi eksematosa pada 30%-50% penderita DA, sedangkan pada penderita alergi saluran nafas dan relawan sehat jarang yang menunjukkan hasil positif. Sembilan puluh lima persen penderita DA mempunyai IgE spesifik terhadap TDR, sedangkan penderita asma bronkial hanya 42% (Novak, 2008). Derajat sensitisasi terhadap aeroalergen berhubungan lagsung dengan tingkat keparahan DA (Leung dkk., 2004; Novak, 2008; Leung dkk., 2012).
2.3.3.3 Mikroba
Penderita DA cenderung mudah mengalami infeksi oleh bakteri, virus, jamur karena imunitas seluler menurun (aktivitas Th1 berkurang). Pada lebih dari 90% lesi kulit penderita DA ditemukan Staphylococcus aureus (S. aureus). Sedangkan pada orang normal hanya 5% (Leung dkk., 2004; Bieber, 2008; Novak, 2008; Leung dkk., 2012). Garukan adalah faktor penting yang dapat mempercepat pengikatan bakteri dengan mengganggu sawar kulit.
Staphylococcus aureus mampu mensekresi toksin seperti Staphylococcus enterotoxin A (SEA) dan B (SEB) atau toxic shock syndrome toxine-1 yang
menstimulasi aktivasi sel T dan makrofag. Sebagian besar penderita DA membuat antibodi IgE spesifik terhadap superantigen stafilokokus yang ada di kulit. Apabila ada superantigen menembus sawar kulit yang terganggu, akan menginduksi IgE spesifik dan degranulasi sel mast. Kejadian ini akan memicu siklus gatal garuk yang akan menimbulkan lesi di kulit penderita DA (Leung dkk., 2004; Bieber, 2008;
38
Novak, 2008). Superantigen juga meningkatkan sintesis IgE spesifik dan menginduksi resistensi kortikosteroid sehingga memperparah DA (Novak, 2008). 2.3.3.4 Bahan iritan
Bahan iritan merupakan bahan yang langsung memiliki efek terhadap kulit. Bahan iritan akan semakin meningkat pengaruhnya dengan meningkatkan konsentrasi dan lama kontak sehingga kulit menjadi merah, gatal atau terbakar. Yang termasuk bahan iritan adalah sabun, deterjen, bahan kimia, asap, pakaian kasar yang abrasif, alkohol, parfum, kosmetik, astringen, disinfektan seperti klorin, pasir dan asap rokok. Penderita DA lebih sering mangalami dermatitis kontak iritan daripada dermatitis kontak alergika karena kerusakan sawar kulit lebih memudahkan masuknya bahan kimia iritan. Oleh karena itu, menghindari paparan terhadap bahan-bahan tersebut juga merupakan salah satu prinsip penanganan DA (Leung dkk., 2004; Bieber, 2008; Novak, 2008; Leung dkk., 2012;).
2.3.3.5 Faktor neuroimunologis
Stres adalah salah satu faktor yang dapat menimbulkan ekaserbasi DA. Meskipun mekanisme yang pasti dari imun kulit dan sistem saraf belum diketahui dengan jelas, diyakini bahwa fenomena ini diperantarai oleh faktor neuroimunologis seperti neuropeptida yang dapat ditemui pada serat saraf epidermis (Novak, 2008).
2.4 Sawar Epidermis
Kulit merupakan organ tubuh terluas, yang membentuk 16 % berat tubuh dengan luas permukaan 1,8 m2 dan terdiri dari 3 lapisan utama yaitu epidermis, dermis dan subkutis (Bensouilah dkk, 2006). Fungsi terpenting dari kulit adalah membentuk
39
sawar yang efektif antara bagian dalam (inside) dan lingkungan luar (outside). Sawar
inside-outside berperan meregulasi hilangnya air. Sedangkan sawar outside-inside
memberikan pelindungan mekanik (terhadap iritasi, radiasi ultraviolet, panas, dan dingin), kimia (terhadap bahan-bahan iritan dan alergen), dan ancaman mikroba (terhadap bakteri, jamur dan virus). Sawar fisik kulit terletak pada lapisan yang paling luar, yaitu stratum korneum (Denda, 2000; Proksch dkk., 2012).
2.4.1 Struktur sawar epidermis
Hingga tahun 1960-an, yang dianggap sebagai sawar kulit adalah bagian atas stratum granulosum dan bukan dibentuk oleh stratum korneum. Orang yang pertama kali memodifikasi pikiran ini adalah Christper dan Kligman, yang menganalisis stratum korneum dan menunjukkan fungsi ketahanannya. Tokoh lama yaitu Oldland kemudian menemukan organel yang kemudian dinamakan sesuai namanya Badan Oldland, saat ini dikenal sebagai badan lamelar dimana organel ini memiliki struktur yang mengandung seramid, kolesterol, dan asam lemak bebas.
Pada tahun 1975, Michael dkk., menemukan sebuah model yang dapat menjelaskan sifat permeabilitas dari stratum korneum yaitu model ”batu bata dan semen”. Pada model ini, stratum korneum dianggap sebagai suatu dinding yang terbuat dari batu bata, dimana korneosit analog dengan batu bata dan lamela lipid analog dengan semen. Sebagai tambahan dari teori ini, Elias mengemukakan bahwa korneodesmosom analog dengan lempeng besi dalam batu bata dan berperan memberikan kekuatan pada dinding batu bata tersebut. Saat ini, model “batu bata dan
40
semen” ini yang dianggap paling tepat untuk memahami susunan seluler dan permeabilitas kulit (Cork dkk., 2008; Aoki, 2010)
Stratum korneum merupakan komponen kulit yang penting karena stratum korneum memiliki kapasitas untuk menahan air dan adanya kandungan lipid di dalamnya. Stratum korneum berfungsi untuk menahan air untuk mencegah kekeringan pada kulit dan melindungi kulit terhadap benda asing (bahan – bahan alergen dan iritan, atau mikroba, bakteri, jamur, dan virus) (Bikowski, 2009). Sawar stratum korneum terdiri dari korneosit yang diperkaya protein, dilapisi lemak, dan dikelilingi oleh matriks lipid seluler (Chu, 2012).
2.4.1.1 Korneosit
Sebagian besar epidermis terdiri dari keratinosit. Epidermis selalu mengalami proses pembaharuan. Lapisan ini mngandung sel-sel yang bergerak keluar dan mengalami diferensiasi secara progresif, membentuk stratum granuler dan stratum korneum (McGrath dkk., 2010; Miller dkk., 2012). Seiring dengan pergerakan keluar dari stratum basalis, keratinosit mulai berdiferensiasi dan mengalami sejumlah perubahan struktur dan komposisi. Keratinosit mensintesis dan mengekspresikan sejumlah protein dan lipid selama proses maturasinya. Tahap akhir dari diferensiasi keratinosit ini berkaitan dengan perubahan strukturnya, sehingga terbentuk sel skuamus yang datar dan tidak mengandung inti pada stratum korneum, yang disebut korneosit. Korneosit ini dilapisi oleh pembungkus protein (protein envelope) pada bagian dalamnya, dan pembungkus lemak (lipid envelope) pada bagian luarnya. Korneosit ini dikelilingi oleh matriks lipid ekstraseluler, yang membentuk suatu
41
matriks hidrofobik (Proksch dkk., 2012). Korneosit dilekatkan oleh korneodesmosom yang terdiri dari glikoprotein cadherin, yaitu desmoglein dan desmokolin.
Pada kulit yang normal, seiring dengan migrasi korneosit menuju permukaan stratum korneum, akan terjadi penurunan jumlah korneodesmosom secara progresif. Keseimbangan antara proliferasi sel basal dan deskuamasi korneosit mempertahankan sawar kulit pada ketebalan yang konstan (Machado dkk., 2010) Adanya struktur korneosit seperti ini yang mendasari terbentuknya sawar fisik dan kemampuan kulit untuk menahan air. Lapisan korneosit ini mampu menahan air hingga tiga kali lipat beratnya. Namun bila kandungan air di dalam lapisan ini berkurang lebih dari 10%, maka lapisan ini tidak lagi bersifat lembut dan cenderung retak (Bensouilah dkk., 2006).
2.4.1.2 Lipid ekstraseluler
Pada stratum spinosum bagian atas dan stratum granulosum, terdapat vesikel lamelar khas yang disebut badan lamelar epidermis. Badan lamelar adalah struktur berukuran 0.3-0.4 nm x 0.25 nm, yang menyususn kurang lebih 10% sitosol stratum granulosom. Badan lamelar diperkaya oleh lipid polar, gliskospingolipid, sterol bebas, fosfolipid, dan enzim katabolik, yang akan menghantarkan lipid yang diperlukan pada ruang ekstraseluler stratum korneum (Proksch dkk., 2012).
Di akhir masa diferensiasi epidermis, granul–granul pada badan lamelar bergerak menuju puncak sel gronulosum teratas, kemudian mengalami fusi dengan membran plasma, dan mensekresikan isinya ke ruang interseluler melalui proses eksositosis. Lipid polar kemudian diubah secara enzimatik menjadi produk nonpolar.
42
Hidrolisis glikospingolipid akan menghasilkan seramid, sedangkan fosfolipid akan diubah menjadi asam lemak bebas (Proksch dkk., 2012). Serangkaian proses enzimatik tersebut akan mengasilkan matriks lipid ekstraseluler, yaitu kristalina yang tersusun atas seramid, kolesterol, asam lemak dan ester kolesterol (Cork dkk., 2008). Seramid merupakan komponen yang dominan dan penting dalam fungsi sawar epidermis. Korneosit berfungsi sebagai pertahanan dan perlindungan terhadap bahan kimia, dan bersama-sama dengan lipid ekstraseluler yang menghasilkan sifat impermeabilitas terhadap air (Proksch dkk., 2012).
2.4.2 Disfungsi sawar epidermis pada penderita dermatitis atopik
Beberapa postulat mengemukakan tentang mekanisme terjadinya disfungsi sawar epidermis pada penderita DA antara lain yaitu adanya penurunan kadar seramid kulit, yang berperan sebagai molekul pengikat air pada ruang ekstraseluluer, adanya perubahan pH stratum korneum dan adanya ekspresi yang berlebihan dari eksim chymotryptic (chymase), (4). Defek pada filagrin (Bieber, 2010).
Seramid adalah asam lemak yang dihubungkan dengan amida, dan mengandung alkohol amino rantai panjang yang disebut basa sphingoid (Proksch dkk., 2012). Pada stratum korneum manusia, terdapat 11 subkelas seramid yang telah teridentifikasi. Seramid dibedakan berdasarkan arsitektur ‘kepala’ dan panjang rantai asam lemak. Basa daripada seramid tersusun atas salah satu dari sphingosin, phytosphingosin, 6-hidroksphingosin, atau dihidroksisphingosin. Basa ini akan terhubung dengan asam lemak non hidroksilasi, asam lemak hidroksi - , atau asam
43
lemak hidroksi - . Kombinasi 4 macam basa dan asam lemak ini akan menghasilkan struktur seramid (Bouwstra dkk., 2010)
Pada tingkat ultrastruktur, sawar permeabilitas kulit diperankan oleh lapisan lipid multilamela interseluler yang terletak di stratum korneum. Seramid yang merupakan komponen terbesar penyusun lipid stratum korneum, secara fungsional berperan penting untuk menjaga stabilitas lapisan lemak interseluler. Terutama seramid 1, karena struktur rantainya yang panjang, akan menghubungkan bilayer yang berdekatan, sehingga dapat mempertahankan homeostasis air dan menghambat kehilangan air.
Pada percobaan perusakan sawar kulit menggunakan pelarut atau deterjen yang dapat menghilangkan sawar, ternyata ditemukan kulit yang xerotik dan peningkatan
Transepidermal Water Loss (TEWL). Pada sebuah penelitian yang dilakukan Nardo
dkk., pada 47 penderita AD dan 20 orang normal, didapatkan hasil bahwa kadar seramid 1 dan seramid 3 pada DA lebih rendah secara signifikan (Nardo dkk., 1998). Pada kulit atopik terjadi gangguan maturasi badan lamelar, sehingga terjadi penurunan pelepasan asam, lipid dan bahan penyusun enzim pada stratum korneum, sehingga terjadi defek fungsi sawar kulit. Selain itu, berkurangnya seramid pada penderita atopik juga disebabkan karena peningkatan aktivitas enzim sphingomyelin deasilase (Cork dkk., 2008).
Keadaan homeostasis pH permukaan kulit merupakan salah satu bagian yang penting dari konsep ‘acid mantle’ kulit. Nilai pH permukaan kulit pada lengan bawah orang dewasa pria suku Kaukasian adalah 5.4 hingga 5.9, dan pH rata-rata pada bayi
44
berusia dua minggu hingga 18 bulan lebih tinggi daripada orang dewasa (Konig dkk., 2000). Pentingnya pH stratum korneum terhadap homeostasis sawar kulit dibuktikan dengan adanya perburukan fungsi sawar ketika kulit yang tidak terpapar oleh pH alkali. pH stratum korneum mempengaruhi fungsi sawar kulit melalui dua mekanisme. Mekanisme pertama yaitu mempengaruhi secara langsung melalui organisasi membran bilayer, dan yang kedua sekunder melalui regulasi proses lipid ekstraseluler. Enzim-enzim yang membentuk lipid ekstraseluler, seperti misalnya glukoserebrosidase- dan sfingomyelinase, bekerja pada pH optimal asam. Pada percobaan pada kulit mencit, setelah diaplikasikan produk yang bersifat basa, dengan pemeriksaan mikroskop elektron ditemukan penurunan aktivitas glukoserebrosidase, maka proses membran lamela lipid terjadi secara inkomplit (Cork dkk., 2008).
Selama proses deskuamasi kulit, terjadi pemecahan korneodesmosom ekstraselluler yang mengikat korneosit, sehingga korneosit akan terlepas dari permukaan kulit. Pemecahan protein korneodesmosom oleh protease menyebabkan berkurangnya ikatan antara korneosit dan reduksi kohesi korneosit. Di antara enzim-enzim protease yang terlibat dalam deskuamasi, yang berperan penting adalah enzim-enzim
chymotryptic stratum korneum / stratum corneum chymotryptic (SCCE), dan enzim tryptic stratum korneum / stratum corneum tryptic enzyme (SCTE). SCCE akan
menghidrolisis korneodesmosom dan desmokolin 1, sedangkan SCTE akan memecah desmoglein 1. Variasi genetik pada gen SCCE berhubungan dengan disregulasi aktivitas SCCE pada manusia. Pada penderita DA, terjadi insersi 4 basa AACC pada gen pengkode SCCE, sehingga memperpanjang waktu paruh mRNA SCCE dan
45
akhirnya terjadi peningkatan produksi SCCE. Pada sebuah percobaan pada tikus dengan ekspresi SCCE yang berlebihan, didapatkan perubahan kulit yang mirip dengan pada kulit atopik. Ekspresi SCCE yang berlebihan menyebabkan pemecahan korneodesmosom prematur, diikuti oleh peningkatan deskuamasi korneosit dan penipisan sawar kulit (Cork dkk., 2008). Enzim SCCE bekerja optimal pada pH netral. Jika pH stratum korneum meningkat dari pH normalnya (5.5) menjadi 7 atau lebih tinggi, maka aktivitas SCCE akan semakin meningkat, menyebabkan penurunan fungsi sawar. Bahan yang paling sering meningkatkan pH permukaan kulit yaitu sabun dan deterjen (Cork dkk., 2008; Leung dkk., 2012).
Beberapa penelitian genetika akhir-akhir ini menunjukkan bahwa
Filamen-agregating Protein (Filagrin) berperan penting dalam etiologi dermatitis atopik.
Filagrin, dan gennya FLG, terletak pada kompleks diferensiasi epidermal pada kromosom 1q21. Produk awal dari gen FLG adalah profilagrin, yang merupakan komponen utama granula keratohyalin, dan dalam proses diferensiasi akhir akan dipecah menjadi peptide filagrin. Filagrin berperan dalam perubahan keratinosit menjadi skuama protein – lipid. Filagrin memicu terjadinya pemipihan korneosit dengan cara mengagregasikan filamen keratin menjadi struktur bundle untuk kemudian membentuk skeleton keratin (DeJongh dkk., 2008). Setelah filagrin menjalankan perannya untuk pembentukan bundle filamen keratin, filagrin akan dipecah menjadi asam amino histidin, glutamine dan arginine yang kemudian akan mengalami deaminasi menjadi asam amino histidin, glutamine dan arginine yang kemudian akan mengalami deaminasi menjadi asam trans-urocanic asam karboksilat
46
pyrolidon dan citrulin yang merupakan komponen aktif senyawa yang meregulasi hidradsi kulit, disebut faktor pelembab alami / natural moisturizing faktor (NMF). NMF turut berperan dalam retensi air di dalam korneosit, sehingga terjadi hidrasi dan pengembungan yang optimal. Hal ini mencegah terbentuknya celah antara korneosit, meningkatkan integritas stratum korneum dan membuatnya resisten terhadap penetrasi iritan dan allergen (Cork dkk., 2008; DeJongh dkk., 2008).
Terhadap hubungan yang signifikan antara mutasi pada filagrin dan DA. Pada kulit penderita DA terdapat penurunan kadar filagrin dan NMF. DA dihubungkan dengan mutasi loss of function filagrin. Penurunan kadar filagrin dan NMF akan menyebabkan berkurangnya kemampuan korneosit untuk menahan air, sehingga terjadi pengerutan. Seiring dengan pengerutan korneosit, akan terbentuk celah di antara korneosit, sehingga terjadi defek sawar epidermis yang rentan terhadap penetrasi allergen maupun iritan (Cork dkk.,2008).
2.4.3 Evaluasi fungsi sawar epidermis
Salah satu cara untuk evaluasi fungsi sawar epidermis adalah dengan pengukuran TEWL (Aoki, 2010). Secara definisi, TEWL adalah hilangnya air secara difusi dari epidermis, selain karena proses desorpsi dan aktivitas kelenjar keringat (Machado dkk., 2010). Hasil pengukuran TEWL dapat menunjukkan hasil yang bervariasi antar dan inter individu. Variasi TEWL antar pengukuran dapat berbeda dalam satu individu. Variasi pada lokasi yang sama adalah 8% , dan 21% pada hari yang berbeda. Sedangkan variasi antar individu diperkirakan lebih besar yaitu 35-48% (Cork dkk., 2008). Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah : usia, area
47
anatomis, suhu dan keringat pada permukaan kulit, kerusakan dan penyakit pada kulit, irama sirkadian, dan stres.
Pada kondisi sawar kulit yang imatur, seperti pada bayi prematur, didapatkan TEWL yang lebih tinggi. Hal ini terutama terjadi pada 2 minggu pertama kehidupan. Sawar epidermis terhadap penetrasi bahan eksogen terletak pada stratum korneum bagian dalam. Oleh karena itu, penetrasi perkutaneus dari bahan-bahan eksogen bervariasi tergantung dari ketebalan stratum korneum.
Pengukuran TEWL sangat dipengaruhi oleh area anatomis, dengan urutan sebagai berikut : telapak tangan > telapak kaki > dahi = postaurikula = kuku = dorsum tangan > lengan atas = paha = dada = perut = punggung (Rogiers dkk., 2005). Pada sebuah penelitian yang membandingkan individu DA dan normal, didapatkan peningkatan TEWL pada DA. Pada pengukuran TEWL di punggung tangan didapatkan TEWL sebesar 17.5 g/m2/jam pada penderita DA dan pada orang normal sebesar 9.8 g/m2/jam. Pada pengukuran di area punggung didapatkan nilai TEWL pada penderita DA adalah 14.4 g/m2/jam, dan 6.6 g/m2/jam (Konig BE dkk., 2000).
2.5 Gambaran Klinis
Kulit penderita DA umumnya kering, pucat, kadar lipid di epidermis berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Gejala utama DA adalah gatal hebat, dapat hilang timbul sepanjang hari tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk dan timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi dan krusta. Lesi subakut ditandai
48
dengan eritema, ekskoriasi, papul berskuama. Lesi kronis ditandai dengan plak, likenifikasi, papul fibrotik (Remitz dkk., 2008; Leung dkk., 2012). Dermatitis atopik dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu DA infantil (2 bulan-2 tahun), DA anak (2-10 tahun), dan DA pada remaja dan dewasa (Leung dkk., 2012).
1. Dermatitis atopik infantil
Dermatitis atopik paling sering terjadi pada tahun pertama kehidupan biasanya setelah usia 2 bulan. Lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema, papulovesikel, karena gatal digosok, pecah, eksudatif dan akhirnya terbentuk krusta. Lesi kemudian meluas ke tempat lain yaitu ke scalp, leher, pergelangan tangan, lengan dan tungkai. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. Pada sebagian besar penderita sembuh setelah usia 2 tahun, sebagian lagi berlanjut menjadi bentuk anak (Leung dkk., 2012).
2. Dermatitis atopik pada anak
Dapat merukapan kelanjutan bentuk infantil atau tumbuh sendiri (de novo). Lesi lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul, likenifikasi dan sedikit skuama. Letak kelainan kulit di lipatan siku, lipatan lutut, pergelangan tangan bagian fleksor, kelopak mata, leher, jarang di muka. Rasa gatal menyebabkan penderita sering menggaruk, dapat terjadi erosi, likenifikasi, sampai infeksi sekunder. Akibat garukan, kulit menebal dan perubahan lainnya yang menyebabkan gatal sehingga terjadi lingkatan setan “siklus gatal garuk” (Leung dkk., 2012).
49
3. Dermatitis atopik pada remaja dan dewasa
Lesi kulit dapat berupa plak popular eritematosa dan berskuama atau plak likenifikasi yang gatal. Pada DA remaja lokalisasi lesi di lipatan siku, lipatan lutut, dan samping leher, dahi dan sekitar mata. Pada DA dewasa distribusi lesi kurang karakteristik sering mengenai lengan dan pergelangan tangan, dapat pula ditemukan setempat, misalnya di bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu atau kulit kepala. Kadang erupsi, ekskoriasi dan eksudasi karena garukan, lambat laun terjadi hiperpigmentasi. Pada umunya DA remaja atau dewasa berlangsung lama, kemudian cenderung menurun dan membaik setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan, hanya sebagian kecil terus berlangsung sampai tua. Kulit penderita DA yang telah sembuh mudah gatal dan cepat meradang bial terpajan oleh bahan iritan eksogen (Leung dkk., 2012).
2.6 Diagnosis
Kriteria diagnosis dapat ditegakkan dengan diagnosis DA berdasarkan kriteria Hanifin dan Rajka yang diperbaiki oleh kelompok kerja dari Inggris. Diagnosis DA harus mempunyai mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor (Remitz dkk., 2008; Leung dkk., 2012).
Kriteria mayor : 1. Pruritus
2. Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak 3. Dermatitis di fleksura pada dewasa
50
4. Dermatitis kronis atau residif
5. Riwayat atopik pada penderita atau keluarganya (asma, rinokonjungtivitis alergi, DA, urtikaria kontak)
Kriteria minor :
1. Xerosis (kulit kering)
2. Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus herpes simpleks) 3. Dermatitis non spesifik pada tangan atau kaki
4. Iktiosis/hiperlinearitas Palmaris/keratosis pilaris 5. Pitiriasis alba
6. Dermatitis di papilla mama
7. White dermographism dan delayed branch response 8. Keilitis
9. Lipatan infra-orbital Dennie-Morgan 10. Konjungtivitis berulang
11. Keratokonus
12. Katarak subkapsular anterior 13. Orbita menjadi gelap
14. Muka pucat atau eritem 15. Gatal biala berkeringat
16. Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak 17. Aksentuasi perfolikular
51
19. Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi 20. Tes kulit alergi tipe dadakan positif
21. Kadar Ig E di dalam serum meningkat 22. Awitan pada usia dini
2.7 Derajat Keparahan Penyakit
Derajat keparahan penderita DA dinilai dengan menggunakan sistem indeks SCORAD yang terdiri dari beberapa kriteria (Bender dkk., 2008):
1. Luasnya lesi
Menggunakan rule of nine yang dinyatakan dalam prosentase (0-100) 2. Intensitas lesi
Meliputi eritema, edema/papulasi, krusta, ekskoriasi, likenifikasi dan xerosis yang dinilai dengan skor (0-3)
3. Keluhan penderita
Yaitu gatal dan gangguan tidur yang dinyatakan dengan skor (0-10) untuk masing-masing kriteria
Dari ketiga kategori di atas dapat dihitung indeks SCORAD dengan rumusan A/5+7B/2+C. Pada penelitian ini derajat keparahan DA dapat dibagi dalam 3 kategori yang pertama derajat ringan dengan nilai < 25, derajat sedang dengan nilai 25-50 dan derajat berat dengan nilai > 50 (Oranje dkk., 2007)
52 2.8 Penatalaksanaan
Agar penatalaksanaan DA bisa berhasil dengan baik, memerlukan pendekatan yang sistematik yang meliputi hidrasi kulit, terapi farmakologi, identifikasi dan eliminasi faktor-faktor pencetus terjadinya DA seperti iritan, alergen, agen infeksi dan stres emosional. Banyak faktor yang mencetuskan gejala DA sehingga pemilihan terapi harus disesuaikan dengan keadaan masing-masing penderita. Pada pasien yang tidak mempan dengan terapi konvensional, agen antiinflamasi alternatif dan imunomodulator mungkin diperlukan (Boguniewicz dkk.,2008; Leung dkk., 2012).
2.8.1 Identifikasi dan eliminasi faktor pencetus
Penderita DA lebih rentan terhadap bahan iritan, oleh karena itu penting untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi faktor yang memperberat dan memicu siklus gatal garuk, seperti misalnya sabun atau deterjen, bahan kimia, rokok, pakaian kasar, pajanan terhadap panas atau dingin dan kelembaban yang ekstrim. Alkohol bersifat mengeringkan. Bila memakai sabun hendaknya yang berdaya larut minimal terhadap lemak dan pH nya netral. Pakaian baru hendaknya dicuci sebelum digunakan untuk mengurangi formaldehid atau bahan iritan lain. Mencuci pakaian dengan deterjen harus dibilas dengan baik sebab sisa deterjen dapat bersifat iritan. Stres psikis juga dapat mengakibatkan ekaserbasi DA. Seringkali serangan dermatitis pada bayi dan anak dipicu oleh iritasi dari luar, misalnya terlalu sering dimandikan, menggosok terlalu kuat, pakaian terlalu tebal atau ketat, kebersihan kurang terutama di daerah popok, infeksi lokal, iritasi oleh kencing atau feses. Pada bayi perlu diperhatikan kebersihan daerah bokong dan genitalia, bila basah atau kotor popok segera diganti.
53
Jangan memakai bahan yang bersifat iritan (misalnya wol/sintetik), bahan katun lebih baik. Kulit anak/bayi dijaga agar tetap tertutup pakaian untuk menghindari pajanan iritan atau garukan. Mandi dengan pembersih yang mengandung pelembab dan bersifat hipoalergenik, hindari pembersih antibacterial karena menginduksi resistensi. Anak-anak diupayakan agar bisa tetap aktif seperti normal. Beberapa jenis olahraga lebih dapat ditoleransi, seperti misalnya berenang daripada olahraga lain yang berkeringat banyak, namun bila selesai berenang harus segera mandi untuk membilas klorin biasanya digunakan pada kolam renang. Walaupun sinar ultraviolet (UV) bias berguna untuk beberapa pasien DA, tabir surya seharusnya tetap digunakan untuk mencegah luka bakar, namun karena tabir surya dapat bersifat iritatif, pilihlah produk yang bersifat noniritan (Boguniewicz dkk., 2008; Leung dkk., 2012).
2.8.2 Terapi topikal
2.8.2.1 Hidrasi kulit
Kulit penderita DA cenderung kering, terjadi gangguan fungsi sawar kulit, mudah retak sehingga mempermudah masuknya mikroorganisme patogen, bahan iritan dan alergen sehingga perlu diberikan pelembab. Pengunaan pelembab membantu menjaga fungsi sawar stratum korneum dan dapat mengurangi pengunaan glukokortikoid topikal (Boguniewicz dkk., 2008; Leung dkk., 2012).
2.8.2.2 Kortikosteroid topikal
Kortikosteroid topikal adalah terapi utama yang memiliki efek antiinflamasi pada lesi kulit eksematosa. Mengingat efek sampingnya yang cukup banyak,