• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstract. Keyword: mass media, critical paradigm. Abstraksi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Abstract. Keyword: mass media, critical paradigm. Abstraksi"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

MEDIA MASSA DALAM TINJAUAN PARADIGMA KRITIS

Irwanto

Program Studi Penyiaran Akom BSI Jakarta

Jl. Kayu Jati V No 2, Pemuda Rawamangun, Jakarta-Timur irwanto.iwo@bsi.ac.id

Abstract

Understanding the mass media requires a comprehensive perspective or paradigm that is able to re-veal and analyze complete all aspects of media ownership. Through the critical paradigm approach, the mass media is an institution controlled by the investors. These people are fully in control of the content and ideology propagated by the mass media. On this paradigm, the audience does not acquire awareness of reality from mass media but false consciousness.

Keyword: mass media, critical paradigm

Abstraksi

Memahami media massa dengan komprehensif membutuhkan suatu cara pandang atau paradigma yang mampu mengungkapkan dan menganalisa secara paripurna seluruh aspek kepemilikan media. Melalui pendekatan paradigma kritis, media massa adalah lembaga yang dikuasai oleh pemilik modal. Kaum ini se-penuhnya memegang kendali terhadap isi dan ideologi yang disebarkan oleh media massa. Pada paradigma ini, khalayak tidak memperoleh kesadaran akan realitas dari media massa melainkan kesadaran palsu.

Kata kunci: media massa, paradigma kritis I. PENDAHULUAN

Kajian komunikasi massa pada era global-isasi yang disertai dengan transformasi sosial seperti sekarang ini semakin kompleks dan variatif. Saat ini masyarakat seolah dibimbing memasuki ling-kungan budaya baru yang ditransformasikan oleh teknologi komunikasi dan kekuatan tertentu dengan tujuan tertentu. Pada struktur baru ini, bentuk-ben-tuk teknologi komunikasi yang baru tersebut telah menciptakan suatu bentuk interelasi dan integrasi global. Setiap saat khalayak selalu disuguhi dengan berbagai isu dan agenda media. Meski telah berupaya untuk tidak pasif, namun khalayak tidak memiliki kemampuan untuk mengubah apa yang telah men-jadi kebijakan media. Media massa tidak mungkin menyajikan realitas yang sebenarnya. Karena dalam konteks media massa tidak ada satu isi pernyataan-pun yang tidak memiliki nilai. Berbagai kepentin-gan turut ambil bagian dalam pesan yang disebarkan media. Menurut Fiske (Ibrahim, 2004) semua realitas atau peristiwa yang bisa menjadi perkara media, te-lah mejadi media event. Media dalam hal ini dipa-hami sebagai pemilik modal. Dialah yang memegang kuasa, peranan serta kendali terhadap apa yang akan disiarkan atau diterbitkan. Pemilik modal tadi legal saja untuk memasukan kepentingan ideologi, politik,

ekonomi, budaya ataupun perpaduan diantaranya. Ber-ita yang dipahami khalayak adalah berBer-ita versi pemi-lik modal, feature yang dibaca feature versi pemipemi-lik modal, dokumenter yang dilihat khalayak adalah do-kumentar versi pemilik modal, sinetron yang dilihat khalayak adalah sinetron versi pemilik modal,

maga-zine show yang disaksikan khalayak adalah magamaga-zine show versi pemilik modal, variety show yang ditonton

adalah variety show versi pemilik modal bahkan

re-ality show yang disaksikan adalah rere-ality show versi

pemilik modal. Semua isi pernyataan yang dibuat oleh media massa apapun bentuknya adalah versi pemilik modal. Hal ini tentu memerlukan cara baru dalam memahaminya. Pendekatan positivistik tidak akan mampu untuk memberikan pencerahan terkait dengan masalah ini. Tidak mungkin penjelasan ilmiah model ilmu pengetahuan alam ataupun penjabaran se-cara matematis akan mampu menguak dan menganal-isanya. Proses berpikir deduktif yang selalu diiringi dengan hipotesa dan mengeneralisasikan konsep pasti menemui kegagalan untuk mendeskripsikan dan men-jelaskannya.

Tanpa disadari, sebenarnya khalayak hidup dalam realitas kedua. Apa yang ada di benak mereka bukanlah realitas yang sesungguhnya, namun realitas

(2)

merupakan bentukan dari lembaga media yang dalam hal ini adalah pemilik modal. Atas dasar inilah maka dibutukan perspektif berpikir yang kritis sehingga mampu untuk membongkar, menganalisa sehingga bisa menjabarkan bagaimana realitas kedua bisa ter-jadi dalam kehidupan sosial masyarakat serta mampu menganalisa sebab munculnya “versi pemilik modal” .

Realitas sosial dari bentuk yang sederhana sampai pada perkembangannya yang kompleks telah banyak melahirkan kajian teori dan metode dalam menyelesaikan persoalannya. Kajian tentang realitas sosial memiliki dimensi tersendiri dalam menemu-kan kebenaran. Berangkat dari pemahaman tentang realitas sosial tersebut diperlukan adanya kajian sep-erangkat paradigma ilmu pengetahuan. Ilmu pengeta-huan merupakan wahana untuk memahami perilaku manusia dengan berbagai pendekatan – pendekatan yang mampu menerjemahkan realitas sedekat mung-kin. Memaknai realitas sosial tidak sesederhana se-bagaimana ilmu alam dalam pendekatannya terhadap realitas.

II. PEMBAHASAN 2.1. Media Massa

Pada konteks teknologi media massa mengacu pada alat komunikasi masa. Media itu dapat berupa alat-alat yang digunakan untuk menyampaikan pe-san seperti TV, radio, suratkabar, majalah, perusa-haaan rekaman , dan film (Dominick, 1990). Lebih lanjut Dominick mengemukakan tentang fungsi ideal dari media massa yakni, pengawasan, penafsiran, keterkaitan, penyebaran nilai, dan hiburan. Lebih lan-jut Dominick juga memaparkan bahwa media massa lebih dari sekadar alat dan fungsi-fungsi yang digu-nakan, karena berbicara tentang media massa tidak terlepas dari institusi-institusi yang menggunakan mesin-mesin untuk menyampaikan pesan. Media massa juga mengacu pada proses-proses kompleks yang terorganisasi dengan satu atau lebih alat meng-hasilkan dan meneruskan pesan-pesan publik yang ditujukan kepada audiens yang banyak, dan hetero-gen. Dalam melakukan prosesnya, media massa ter-struktur serta industrialis.

Media massa dipahami sebagai sebuah insti-tusi yang kompleks. Pada media massa terdapat aspek manajerial, SDM profesional hingga aspek teknik. Media massa termasuk media penyiaran berinteraksi dan dipengaruhi oleh organisasi sosial, ekonomi, dan poltik, peristiwa yang terjadi di masyarakat umumnya dan khalayak pada khususnya (Mc Quail, 1987).

Dibanyak negara terdapat hubungan yang erat antara struktur sosial dan sistem media massa. Dalam struk-tur sosial yang didasarkan pada sistem politik dan ekonomi tertentu, terdapat hubungan antara sistem yang sangat dipengaruhi oleh sistem media yang dikembangkan, dan sebaliknya sistem media juga dipengaruhi atau dibentuk secara paradigmatik oleh struktur sosial. Dalam struktur sosial inilah pemegang modal memiliki kendali terhadap media massa .

Senantiasa menarik untuk diamati bagaimana peran media dalam struktur ekonomi dan struktur politik yang berlaku di suatu negara. Satu prinsip yang harus diperhatikan dalam hal ini adalah, dalam sistem industri, media massa harus diberi fokus per-hatian yang memadai sebagaimana institusi-institusi produksi dan distribusi lain. Kondisi-kondisi yang ditemukan pada level kepemilikan media, praktik-praktik pemberitaan, dinamika industri radio, tele-visi, film dan iklan mempunyai hubungan yang saling menentukan dengan kondisi-kondisi ekonomi politik spesifik yang berkembang di suatu negara, serta pada gilirannnya juga dipengaruhi oleh kondisi-kondisi ekonomi politik global. (Sudibyo, 2004).

Sejarah menunjukkan, media massa pada akh-irnya mencapai puncak perkembangan sebagai lem-baga kunci dalam masyarakat modern. Media massa mampu merepesentasikan diri sebagai ruang publik yang utama dan turut menentukan dinamika sosial, politik dan budaya di tingkat lokal mapun global. Media juga menjadi medium pengiklan utama yang secara signifikan mampu meningkatkan penjualan produk barang dan jasa. Media Massa mampu meng-hasilkan surplus ekonomi dengan menjalankan peran penghubung antara dunia produksi dan konsumsi. Di sisi lain media massa juga memperkuat struk-tur ekonomi dan politik tertentu. Media tidak hanya mempunyai fungsi sosial dan ekonomi, tapi juga menjalankan fungsi ideologis. Karena itu, fenomena media bukan hanya membutuhkan pengamatan yang didasarkan pada pendekatan- pendekatan ekonomi juga pendekatan politik (Sudibyo, 2004).

Marxis dalam Sudibyo (2004) menyatakan bahwa media massa adalah kelas yang “mengatur”. Demikian premis teori Marxis tentang posisi me-dia dalam sistem kapitalisme modern. Meme-dia massa diyakini bukan sekadar medium lalu lintas pesan antara unsur sosial dalam suatu masyarakat, me-lainkan juga berfungsi sebagai alat penundukan dan pemaksaan konsesus oleh kelompok secara ekonomi dan politik dominan. Melalui pola kepemilikan dan melalui produk-produk yang disajikan, media adalah perangkat ideologis yang melanggengkan dominasi kelas pemodal terhadap publik yang diperlakukan

(3)

semata-mata sebagai konsumen. dan terhadap peme-gang kekuasaan untuk memuluskan lahirnya regulasi-regulasi yang pro pasar.

Media, menurut sudut pandang model pasar (Croteau dan Hoynes, 2001), dilihat sebagai tempat pemenuhan kebutuhan masyarakat berdasarkan atas hukum permintaan dan persediaan. Model ini mem-perlakukan media layaknya barang dan jasa lainnya. Dalam kenyataan, konsumen yang direspon oleh pe-rusahaan media adalah pengiklan, bukan orang yang membaca, menonton, atau mendengarkan media. Ini tentu saja dapat menjelaskan bagaimana acara-acara di televisi misalnya, tampil hampir seragam. Apabila hasil riset menyatakan banyak orang yang menonton-nya maka pengiklan akan memasang iklan pada slot acara tersebut, yang berarti pemasukan, sehingga tidak ada alasan untuk stasiun televisi untuk mengubahnya meski jauh diluar fungsi ideal media massa.

2.2. Paradigma Kritis

Diawali dengan filsafat ilmu pengetahuan. Perkembangan filsafat ilmu ini merupakan usaha sekaligus cara manusia untuk menemukan jawaban-jawaban mengenai misteri dunia yang ada. Perkem-bangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat bisa dilihat dari pencarian terus menerus terhadap pelba-gai macam metode keilmuan serta upaya untuk men-jabarkan gejala sosial yang terjadi.

Sejak abad pencerahan sampai era global-isasi ini, ada empat paradigma ilmu pengetahuan sosial dalam mengungkap hakekat realitas atau ilmu pengetahuan yang berkembang. Keempat paradigma itu ialah: positivisme, postpositivisme, konstruktiv-isme dan kritis . Perbedaan paradigma ini bisa dilihat dari cara mereka memandang realitas dan melakukan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan, ditinjau dari tiga aspek pertanyaan: ontologis, epistemologis dan metodologis. Namun demikian, beberapa paradigma mempunyai cara pandang yang sama terhadap salah satu dari ketiga aspek pengembangan ilmu pengeta-huan tersebut.

Fenomena komunikasi massa yang terjadi lambat laun kian komplek dan bervariasi. Komunika-si massa tidak lagi dipahami sebagai proses trans-formasi isi pernyataan dari satu pihak ke pihak lain. Namun dimensinya sudah berkembang ke berbagai aspek seperti halnya politik ekonomi dan budaya. Dalam kaitan ini, ilmu pengetahuan dan penelitian di bidang komunikasi membutuhkan cara pandang (paradigma) yang mampu menguak dimensi-dimensi tersebut. Cara pandang inilah yang nantinya turut memberikan kontribusi kepada perkembangan ilmu

serta penelitian di bidang komunikasi.

Paradigma secara sederhana dapat diartikan sebagai kaca mata atau cara pandang untuk mema-hami dunia nyata. Thomas Khun sebagai salah satu pelopor penggunaan istilah paradigma ini. Paradigma atau dalam bidang keilmuan sering disebut sebagai persepektif (perspective), terkadang disebut mazhab pemikiran (school of thought) atau teori (Mulyana: 2002).

Paradigma menurut Denzin dan Lincoln (1994) dipahami sebagai sistem keyakinan dasar atau cara memandang dunia yang membimbing peneliti tidak hanya dalam memilih metode tetapi juga cara-cara fundamental yang bersifat ontologis dan episto-mologis dan metodologi.

Selanjutnya Guba dalam Denzin (1994) para-digma bisa dipandang sebagai seperangkat keper-cayaan dasar atau pokok yang metafisik. Paradigma juga dapat dicirikan oleh respon terhadap tiga per-tanyaan mendasar yaitu perper-tanyaan ontologi, episto-mologi, dan metodologi. Selanjutnya dijelaskan:

a. Ontologi: apakah hakikat dari sesuatu yang da-pat diketahui? Atau apakah hakikat dari realitas? Secara lebih sederhana, ontologi dapat dikatakan mempertanyakan tentang hakikat suatu realitas, atau lebih konkret lagi, ontologi mempertanya-kan hakikat suatu fenomena.

b. Epistomologi: apakah hakikat hubungan antara yang ingin mengetahui (peneliti) dengan apa yang dapat diketahui? Secara lebih sederhana dapat dikatakan epistomologi mempertanyakan mengapa peneliti ingin mengetahui realitas, atau lebih konkret lagi epistomologi mempertanya-kan mengapa suatu fenomena terjadi atau dapat terjadi?

c. Metodologi: bagaimana cara peneliti menemu-kan pengetahuan? Secara lebih sederhana da-pat dikatakan metodologi mempertanyakan ba-gaimana cara peneliti menemukan pengetahuan, atau lebih konkret lagi metodologi mempertan-yakan cara atau metode apa yang digunakan oleh peneliti untuk menemukan pengetahuan.

Lalu Denzin dan Lincoln (1994) menjelaskan menge-nai ontologi, epistomologi, dan metodologi sebagai berikut:

a. Ontologi: Apakah bentuk dan hakikat realitas dan selanjutnya apa yang dapat diketahui tentang-nya?

b. Epistomologi: Apakah hakikat hubungan antara peneliti dan apa yang dapat diketahui.”

c. Metodologi: Bagaimana cara peneliti dapat men-emukan sesuatu yang diyakini dapat diketahui. Apabila dianalisis secara seksama dapat disimpulkan

(4)

bahwa pandangan Guba dan pandangan Denzin serta Lincoln tentang ontologi, epistomologi serta metod-ologi pada dasarnya tidak ada perbedaan. Dengan mengacu pandangan Guba dan Denzin serta Lincoln dapat disimpulkan paradigma adalah sistem keya-kinan dasar yang berlandaskan asumsi ontologi, epistomologi, dan metodologi atau dengan kata lain paradigma adalah sistem keyakinan dasar sebagai lan-dasan untuk mencari jawaban atas pertanyaan apa itu hakikat realitas, apa hakikat hubungan antara peneliti dan realitas, dan bagaimana cara peneliti mengetahui realitas.

Sedang Salim (2001), menyimpulkan paradig-ma merupakan seperangkat kepercayaan atau keyaki-nan dasar yang menuntun seseorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Atau seperangkat keya-kinan mendasar yang memandu tindakan baik tinda-kan keseharian maupun dalam penyeliditinda-kan ilmiah. Dalam bidang ilmu pengetahuan ilmiah paradigma didefinisikan sebagai sejumlah perangkat keyakinan dasar yang digunakan untuk mengungkapkan hakikat ilmu pengetahuan yang sebenarnya dan bagaimana cara untuk mendapatkannya.

Dari semua uraian di atas dapatlah dikemu-kakan bagaimana seseorang mengembangkan dan menggunakan suatu paradigma ilmu pengetahuan dengan melihat cara pandang yang digunakan dalam menjawab lima pertanyaan mendasar, yaitu: ontologi, epistomologi, aksiologi, retorika, dan metodologi.

Paradigma sangat penting perannya dalam memengaruhi teori, analisis maupun tindak perilaku seseorang. Secara tegas boleh dikatakan bahwa pada dasarnya tidak ada suatu pandangan atau teori pun yang bersifat netral dan objektif, melainkan salah satu di antaranya sangat tergantung pada paradigma yang digunakan. Karena paradigma menentukan apa yang tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat, dan tidak ingin kita ketahui. Paradigma pulalah yang mempengaruhi pandangan seseorang apa yang baik dan buruk, adil dan yang tidak adil.

Perkembangan teori kritis semakin jelas ke-tika ilmuwan Frankfurt (Frankfurt School) atau aliran Frankfurt menjadi penggerak paradigma ini. Mahzab Frankfurt juga merefleksikan peran media massa pada masyarakat Jerman yang konteksnya dibawah kukua-saan pemerintahan Hitler.

Paradigma kritis adalah salah satu dari ban-yak paradigma penelitian. Setiap paradigma pada prinsipnya memiliki cara pandang sendiri menge-nai realitas yang diteliti, paradigma krtitis melihat realitas yang teramati, dalam hal ini realitas media adalah realitas ‘semu’ yang terbentuk oleh pros-es sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial budaya

dan ekonomi politik (Guba, 1994).

Perkembangan selanjutnya, mahzab Frankfurt menyatakan bahwa media massa bisa menjadi alat pemerintah untuk mengontrol publik, dalam arti ter-tentu media bisa menjadi bagian dari ideological state

apparatus (Littlejohn, 2008). Hal ini bisa dipahami

bahwa media dalam hal tertentu, bukan realitas yang netral dan bebas kepentingan, tapi media massa justru menjadi realitas yang rentan dikuasai oleh kelompok yang lebih dominan dan berkuasa.

Paradigma kritis pada dasarnya adalah para-digma ilmu pengetahuan yang meletakkan episte-mologi kritik Marxisme dalam seluruh metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan bahwa paradigma kritis yang diinspirasikan dari teori kritis tidak bisa melepaskan diri dari warisan Marxisme dalam selu-ruh filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu pihak merupakan salah satu aliran ilmu sosial yang berbasis pada ide-ide Karl Marx dan Engels (Denzin, 1994).

Pengaruh idea Marxisme-Neo Marxisme dan teori kritis mempengaruhi filsafat pengetahuan dari paradigma kritis. Paradigma ini berasumsi realitas suatu hal yang tidak netral namun terikat oleh nilai serta kekuatan ekonomi, politik dan sosial. Sebab itu, paradigma kritis mengedepankan pembebasan nilai dominasi dari kelompok yang ditindas. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana paradigma kritis memcoba membedah realitas dalam penelitian ilmiah, termasuk di dalamnya penelitian atau analisis kritis tentang me-dia massa. Berikut elemen penting dalam pemikiran paradigma kritis mengenai media massa:

a. Dalam paradigma kritis, realitas tidak mutlak namun semu. Realitas dikonstruk kekuatan so-sial, politik dan ekonomi. Pandangan paradigma kritis, realitas tidak berada dalam harmoni tapi lebih dalam situasi konflik dan pergulatan sosial (Eriyanto, 2001).

b. Paradigma kritis mengambil sikap untuk mem-berikan kritik, transformasi sosial, proses eman-sipasi dan penguatan sosial. Tujuan penelitian paradigma kritis adalah mengubah dunia yang tidak seimbang. Seorang peneliti dalam para-digma kritis akan mungkin sangat terlibat dalam proses negasi relasi sosial yang nyata, mem-bongkar mitos, menunjukkan bagaimana sehar-usnya dunia berada (Denzin, 1994).

Asumsi dasar dalam paradigma kritis berkaitan dengan keterangan di atas adalah keyakinan bah-wa ada kekuatan laten dalam masyarakat yang begitu berkuasa mengontrol proses komunikasi masyarakat. Ini berarti paradigma kritis melihat adan-ya realitas di balik kontrol komunikasi masadan-yarakat.

(5)

Masalahnya siapa yang mempunyai kekuatan kontrol tersebut? Mengapa mengontrol? Ada kepentingan apa? Beberapa kalimat pertanyaan itu, terlihat bahwa teori kritis melihat adanya proses dominasi dan mar-ginalisasi kelompok tertentu dalam seluruh proses komunikasi masyarakat. Hal ini menyatakan bahwa proses penyebaran dan aktivitas komunikasi massa juga sangat dipengaruhi oleh struktur ekonomi politik masyarakat yang bersangkutan.

Proses pemberitaan tidak bisa dipisahkan den-gan proses politik yang berlangsung dan akumulasi modal yang dimanfaatkan sebagai sumber daya. Ini merupakan proses interplay, yakni proses ekonomi politik dalam media akan membentuk dan dibentuk melalui proses produksi, distribusi dan konsumsi media itu. Ini berarti bahwa apa yang terlihat pada permukaan realitas belum tentu menjawab masalah yang ada. Apa yang nampak dari di permukaan belum tentu mewakili kebenaran realitas itu sendiri. Teori kritis pada akhirnya selalu mengajarkan kecurigaan dan cenderung selalu mempertanyakan realitas yang ditemui, termasuk di dalamnya media massa itu sen-diri.

2.3. Media Massa Tinjauan Paradigma Kritis

Paradigma kritis melihat bahwa dalam me-dia massa sarat akan kepentingan kaum pemilik modal, negara atau kelompok yang menindas lain-nya. Ini berarti media massa menjadi alat domi-nasi dan hegemoni masyarakat. Konsekuensi lo-gisnya adalah realitas yang dihasilkan oleh media terdistorsi. Sebagai sebuah industri, maka terda-pat pertentangan antara pemilik modal dan buruh.

Dalam kaitannya ini, Karl Marx menjelaskan dan menganalisa relasi antara basis dan superstruk-tur dalam masyarakat. Menurut Marx, basis material dari kegiatan manusia adalah ekonomi atau kerja. Se-mentara superstruktur kesadarannya berupa ideologi, ilmu, filsafat, hukum, filsafat, politik, dan seni. Di antara dua entitas tersebut yang dominan dan menen-tukan adalah basisnya. Maka basislah yang menentu-kan superstruktur. Dalam bahasa lain, basis sebagai sebuah realitas menentukan kesadaran manusia. Den-gan demikian perbedaan cara produksi niscaya meng-hasilkan perbedaan kesadaran. (Hardiman, 2004). Dalam masyarakat kapitalis hak milik atas alat-alat produksi dikuasai oleh beberapa gelintir orang saja (kaum borjuis) terjadi dominasi kaum borjuis atas kaum proletar. Dalam kondisi inilah terjadi penghisa-pan manusia atas manusia lainnya. Individu-indi-vidu yang tertindas itu akhirnya merasakan keteras-ingan karena tidak memiliki hak milik atas barang.

Bahkan menurut Marx individu bukan saja terasing dari lingkungannnya tapi juga dari barang yang dicip-takannya. Mengikuti alur pemikiran di atas, maka jika diandaikan dalam komunikasi dapat digambarkan bahwa media massa sebagai industri informasi yang hanya dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki kepentingan ideologis, mengeksploitasi para pekerja media untuk menghasilkan informasi sesuai dengan ideologi pemiliknya. Maka para pekerja media ke-mudian akan terasing karena ia tidak memiliki atau hanya mendapatkan sedikit keuntungan dari industri tersebut. Selanjutnya masyarakat atau komunikan mau tidak mau mengkonsumsi media massa dan mer-eka hanya menjadi pembaca, pendengar atau penon-ton yang pasif sehingga ideologi yang dibawa oleh media merasuki masyarakat, dan masyarakat bertin-dak sesuai dengan apa yang digambarkan atau dicon-tohkan oleh media massa. Pada titik ini media seba-gai realitas menentukan kesadaran masyarakat. Dan kesadaran yang dihasilkan oleh media massa adalah kesadaran palsu.

Media sebagaimana telah dijelaskan di atas, cenderung dimonopoli oleh kelas kapitalis untuk me-menuhi kepentingan dan ideologi mereka. Mereka melakukan eksploitasi pekerja budaya dan konsumen secara material demi memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Untuk mempertahankan kedudu-kannya, mereka melarang adanya ideologi lain yang akan mengganggu kepentingannya.

Dalam kerangka pikir ini, media massa sebagai alat dari kelas yang dominan untuk mempertahankan status quo yangdipegangnya dan sebagai sarana kelas pemilik modal berusaha melipatgandakan modalnya. Media massa cenderung menyebarkan ideologi dari kelas yang berkuasa akan menekan kelas-kelas ter-tentu.

Pandangan yang dijelaskan mentikberat-kan kepada masalah ekonomi. Pandangan ini se-ring disebut ekonomisme. Dalam ekonomisme basis ekonomi masyarakatlah yang menentukan segala hal dalam superstruktur kesadaran masyarakat seperti sosial, politik dan kesadaran itelektual. Ekonomisme terkait dengan determinisme teknologi. Marx sering menginterpretasikan bahwa penguasaan terhadap teknologi berarti menguasai ekonomi dan karena itu bisa mendeterminasi kesadaran masyarakat.

Dalam paradigma ini juga, Althusser meng-kritisi Marx. Ia justru menilai bahwa tidak ada relasi antara basis dan superstruktur dengan kata lain ideolo-gi sifatnya otonom tidak dipengaruhi oleh ekonomi. Menurutnya yang lebih dominan adalah ideologi itu sendiri, bentuk ekspresi, cara penerapan dan mekanisme dijalankannya untuk mempertahankan

(6)

dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para kor-ban dan membentuk alam pikiran mereka. (McQuail, 1987). Tradisi pemikiran itulah yang akhirnya diam-bil oleh Struart Hall dan kawan-kawannya dalam ka-jian kultural studies. Mereka menolak formulasi basis dan superstruktur karena ada dialektika antara realitas sosial dengan kesadaran sosial.

Selanjutnya, paradigma kritis melihat bahwa media adalah pembentuk kesadaran. Representasi yang dilakukan oleh media dalam sebuah struktur masyarakat lebih dipahami sebagai media yang mam-pu memberikan konteks pengaruh kesadaran. Me-dia menyeMe-diakan pengaruh untuk mereproduksi dan mendefinisikan status atau memapankan keabsahan struktur tertentu. Inilah sebabnya, media dalam ka-pasitasnya sebagai agen sosial sering mengandaikan juga praksis sosial dan politik.

Pendefinisian dan reproduksi realitas yang di-hasilkan oleh media massa tidak hanya dilihat sebagai akumulasi fakta atau realitas itu sendiri. Reproduksi realitas melalui media merupakan representasi tarik ulur ideologi atau sistem nilai yang mempunyai ke-pentingan yang berbeda satu sama lain. Media tidak hanya memainkan perannya hanya sekadar instrumen pasif yang tidak dinamis dalam proses rekonstruksi budaya tapi media massa tetap menjadi realitas sosial yang dinamis.

III. PENUTUP

Memahami media massa dalam konteks so-sial yang lebih khusus dibutuhkan cara pandang yang tidak hanya melihat sosok media sebagai lembaga netral yang menyebarkan pesan kepada publik. Para-digma positivistik yang selama ini digunakan dalam menjelaskan ilmu pengetahuan alam tidak mampu menganalisanya secara komprehensif. Dibutuhkan cara pandang atau paradigma yang mampu menguak aspek ekonomi politik media tersebut. Sehingga pe-san yang diterima oleh khalayak melalui media mam-pu dipahami secara parimam-purna. Pada pandangan para-digma kritis Marxis, terdapat relasi antara ekonomi dan ideologi. Jadi kaum Marxian berasumsi semua ideologi yang disebarkan oleh media massa berujung pada kepentingan kaum kapitalis. Dalam paradigma ini kesadaran masyarakat akan pesan media massa bu-kanlah realitas sosial yang sesungguhnya, melainkan realitas semu. Isi media massa sepenuhnya dikendali-kan oleh pemilik modal (kapitalis). Ideologi kapitalis menjadi bayang-bayang media massa dalam peran-nya di masyarakat. Para pekerja media haperan-nya menjadi pelayan setia kaum kapitalis. Pesan yang diterima khalayak merupakan hasil dari ajang pertarungan

ekonomi dari para kapitalis. Media massa tidak ubah-nya sebagai pasar. Hukum permintaan dan penawaran turut menjadi elemen penentu kebijakan redaksi media. Sementara kritis menurut Althusser justru mengkritik pemikiran Marxis. Ia menyatakan bah-wa ideologi bersifat otonom. Implikasi hal ini dalam media massa tinjauan paradigma kritis yakni media sebagai ajang pertarungan ideologi bagi pemiliknya. Media massa menjadi fasilitator penyebaran ideologi tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

David Croteau. 2006. Hoynes William, The Business

Of Media, Coorporate Media the Public Inter-est. California. Sage Thousand Oaks.

Dominick, JR. 1990. Dynamic of Mass

Communica-tiom. New York. Mc Graw Hill.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisa

Teks Media. Yogyakarta. LKIS.

Fakih, Mansour. 2002. Runtuhnya Teori

Pemban-gunan dan Globalisasi. Yogyakarta. Pustaka

Pelajar.

Guba, E. G., dan Lincoln, Y. S. 1994, Handbook of

Qualitative Research. California. Sage

Thou-sand Oaks.

Hardiman F. Budi. 2003. Melampui Positivisme dan

Modernitas. Yogyakarta. Kanisius.

Ibrahim, Idi Subandy. 2004. Lifestyle Ecstasy :

Ke-budayaan Pop Dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta. Jalasutra.

Littlejohn, Stephen. 2008. Theories of Human

Com-munication. California. Wadsworth Publishing

Company,.

Mc Quail, Dennis. 1987. Teori Komunikasi Massa.

Suatu Pengantar. Jakarta. Erlangga.

Mulyana, Deddy. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung. Remaja Rosdakarya.

Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian

Sosial. Yogyakarta. PT Tiara Wacana.

Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik Media

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya sistem informasi untuk menangani penyewaan lapangan, tidak hanya sekedar jadwal di papan tulis, dapat mempercepat pelayanan kepada semua pelanggan baik

Saat pembelajaran sedang berlangsung, kolaborator memberikan penilaian terhadap proses pembelajaran yang dilakukan peneliti sebagai guru dan penilaian menggunakan lembar observasi

[r]

Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat, Nikmat, Karunia serta Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyusun Skripsi dengan

Ho : ρ = 0, hipotetsis nol : tidak terdapat pengaruh antara lingkungan pengendalian, penaksiran risiko, informasi dan komunikasi, aktivitas pengendalian dan

Tingkat pengetahuan ibu hamil berdasarkan definisi kebudayaan, terutama pada pertanyaan tentang kehamilan merupakan proses alamiah sebagai kodratnya sebagai perempuan,

Namun demikian, keputusan apakah atau tidak untuk menggunakan CAATTs ditentukan tidak hanya oleh persepsi perusahaan dari karakteristik teknologi, tetapi juga apakah

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian pupuk kalium berpengaruh nyata terhadap bobot kering umbi per sampel, sedangkan perlakuan jarak tanam berpengaruh tidak