• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adsorpsi Zat Warna Kationik (Methylene Blue) Menggunakan Karbon Aktif Tempurung Kelapa dan Batu Bara serta Efisiensi Regenerasinya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Adsorpsi Zat Warna Kationik (Methylene Blue) Menggunakan Karbon Aktif Tempurung Kelapa dan Batu Bara serta Efisiensi Regenerasinya"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Adsorpsi Zat Warna Kationik (Methylene Blue) Menggunakan Karbon

Aktif Tempurung Kelapa dan Batu Bara serta Efisiensi Regenerasinya

Ratu Aliah Sanada*, Setyo Sarwanto Moersidik, dan Nyoman Suwartha

Program Studi Teknik Lingkungan, Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia

*E-mail: aliahsanada@gmail.com

Abstrak

Zat warna kationik Methylene Blue (MB) yang bersifat non biodegradable dapat dihilangkan dengan metode adsorpsi menggunakan karbon aktif. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kombinasi optimum pH, dosis adsorben, dan waktu kontak dalam adsorpsi MB menggunakan karbon aktif komersial tempurung kelapa (KATK) dan batu bara (KABB) dengan sistem batch dan metode two level full factorial design. Readsorpsi menggunakan karbon aktif jenuh yang diregenerasi dengan aseton 60% juga dilakukan untuk mengetahui efisiensi regenerasinya. Hasil penelitian menunjukkan penyisihan tertinggi oleh KATK dan KABB berturut-turut sebesar 80,39% (pH 9,5, dosis 6,5 g, dan waktu kontak 100 menit) dan 99,82% (pH 7,5, dosis 6 g, dan waktu kontak 90 menit). Dari proses readsorpsi diperoleh penyisihan dengan KATK sebesar 48,54% dan KABB sebesar 66,79%. Efisiensi regenerasi KATK dan KABB yaitu 56,61% dan 66,79%. Data equilibrium adsorpsi MB menunjukkan kecocokan dengan model isoterm Langmuir untuk kedua jenis karbon aktif. Aplikasi di lapangan juga dibahas berdasarkan model isoterm adsorpsi tersebut.

Adsorption of Cationic Dye (Methylene Blue) Using Coconut Shell and Coal Based Activated Carbon and Its Regeneration Efficiency

Abstract

Non-biodegradable cationic dye Methylene Blue (MB) can be removed by adsorption method using activated carbon. This study was conducted to determine the optimum combination of pH, adsorbent dosage and contact time on the MB adsorption using activated carbon made from coconut shell (KATK) and coal (KABB) through a batch system and two-level full factorial design method. The readsorption using spent activated carbon regenerated by acetone 60% was also conducted to determine the regeneration efficiency. The highest removal of KATK and KABB is 80.39% (pH 9.5, dose 6.5 g, and contact time 100 minutes) and 99.82% (pH 7.5, dose 6 g, and contact time 90 minutes). Removal from the readsorption process is 48,57% for KATK and 66,79% for KABB. Regeneration efficiency of KATK and KABB is 56.61% and 66.79%. Equilibrium data of MB adsorption is closely fit to Langmuir isotherm for both activated carbons. The field application is also discussed based on that isotherm model.

Keywords: activated carbon regeneration; cationic dye adsorption; coal activated carbon; coconut shell activated carbon; methylene blue adsorption

1. Pendahuluan

Keberadaan zat warna di lingkungan kini bukan hanya menjadi pengganggu estetika, namun juga menjadi pencemar yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Selain itu, sebagian besar zat warna juga bersifat toksik. Industri tekstil merupakan salah satu industri

(2)

yang menggunakan zat warna dalam jumlah besar. Pada industri tekstil, dikenal 3 jenis zat warna, yaitu anionik, kationik dan non-ionik. Penggunaan jenis zat warna kationik pada industri tekstil diketahui cukup luas (Sharma, et al., 2011), dengan salah satu jenis yang banyak digunakan adalah Methylene Blue (Derakhsan, et al., 2013).

Terdapat berbagai metode penghilangan zat warna, namun menurut berbagai literatur (Dash, 2010; Sodeinde & Eboreime, 2013; Sharma, et al., 2011; Ibrahim, et al., 2013), pengolahan fisik dengan metode adsorpsi menggunakan karbon aktif merupakan cara yang paling luas digunakan karena efektif dalam menyerap berbagai jenis pencemar, khususnya yang bersifat non biodegradable seperti zat warna. Pada umumnya, karbon aktif komersial terbuat dari bahan dasar tempurung kelapa dan batu bara. Keduanya memiliki efektivitas yang baik dalam mengikat pencemar dan keberadaannya pun melimpah (Pujiyanto, 2010).

Faktor ekonomi merupakan salah satu pertimbangan utama dalam perencanaan sistem pengolahan limbah pada industri. Metode adsorpsi memiliki potensi penghematan dari segi ekonomi karena karbon aktif yang telah digunakan dapat dikembalikan lagi kemampuan adsorpsinya melalui proses regenerasi (Pei-Jen, et al., 2011). Potensi tersebut akan berbeda, tergantung pada jenis karbon aktif yang digunakan. Dengan mengetahui tingkat pemulihannya, dapat diperhitungkan kelebihan dan kekurangan penerapan proses regenerasi, tentunya dengan mempertimbangkan pula faktor keamanan lingkungan.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingkat efisiensi adsorpsi, seperti pH larutan, suhu, dosis adsorben, waktu kontak, kecepatan pengadukan, konsentrasi larutan, dsb. Jenis zat warna yang beragam menuntut adanya pengaturan faktor spesifik demi tercapainya efektivitas yang optimum. Beberapa penelitian (Li, et al., 2013; Dash, 2010; Ibrahim, et al., 2013) telah membuktikan bahwa adsorpsi zat warna kationik dapat terjadi dengan baik pada kondisi pH larutan yang cenderung basa. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan percobaan adsorpsi pada rentang pH larutan basa. Sebagai studi awalan, digunakan faktor lain sebagai pertimbangan, yaitu dosis adsorben dan waktu kontak. Pada penelitian ini akan dilakukan adsorpsi dengan beberapa kombinasi ketiga faktor tersebut untuk mengetahui kombinasi mana yang menghasilkan efisiensi penyisihan tertinggi. Selain itu, akan dilakukan proses regenerasi secara kimiawi dan readsorpsi untuk mengetahui perbedaan kemampuan adsorpsi karbon aktif baru dengan karbon aktif teregenerasi. Hasil yang diperoleh akan digunakan sebagai masukan dalam penggambaran rencana aplikasi unit adsorpsi pada pengolahan limbah industri tekstil.

(3)

2. Tinjauan Teoritis

2.1 Kandungan Warna pada Industri Tekstil

Terdapat beberapa proses yang umum diterapkan oleh industri tekstil, seperti sizing, desizing, scouring, bleaching, dyeing, printing, dan finishing. Masing-masing industri tekstil dapat memiliki proses lain yang berbeda, tergantung pada jenis produk yang dihasilkannya. Zat warna dengan kadar yang tinggi berasal dari proses dyeing dan printing (Ghaly, et al., 2014). 2.2 Methylene Blue (MB)

MB merupakan salah satu jenis warna basa yang banyak digunakan pada industri tekstil (Derakhsan, et al., 2013). Meskipun tidak tergolong sebagai senyawa yang sangat berbahaya, MB dapat bersifat toksik bagi lingkungan dan manusia. Pada lingkungan, kandungan MB yang pekat dapat menghalangi penetrasi sinar matahari ke dalam perairan dan mengganggu kehidupan ekosistem tersebut. Pada manusia, MB dapat menyebabkan mata terbakar, sulit bernapas, mual, muntah, keringat berlebihan, kebingungan mental, dan methemoglobinemia (Tan, et al., 2007).

Tabel 1. Karakteristik Methylene Blue

Index Methylene Blue

C.I. 52015

Jenis Kationik

Rumus kimia C16H18ClN3S

Panjang gelombang maksimum (nm) 665 Molekul weight (g/mol) 319,85

Bulk Desnsity 400 – 600 kg/m3

Kelarutan dalam air 50 g/l (pada 20o C)

Odour & form Odourless & dark blue Ukuran molekul (nm) 1,43 x 0,61 x 0,4

Gambar 1. Struktur Kimia Zat Warna Methylene Blue

2.3 Karbon Aktif

Karbon aktif merupakan senyawa karbon amorf yang dapat dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon, yang diperlakukan secara khusus untuk mendapatkan permukaan yang lebih luas. Terdapat dua jenis karbon aktif yang umum digunakan, yaitu Powdered Activated Carbon (PAC) dan Granular Activated Carbon (GAC). Meskipun relatif lebih mahal

(4)

dibandingkan PAC, GAC tidak menyebabkan masalah hidrodinamik yang tinggi serta dapat lebih mudah diregenerasi dan digunakan kembali (Bansal & Goyal, 2005).

2.4 Gugus Fungsional dan Struktur Pori Karbon Aktif

Gugus fungsional yang terdapat pada permukaan karbon aktif merupakan properti yang dapat menentukan karakteristik adsorpsi yang terjadi jenisnya akan dipengaruhi oleh bahan dasar dan proses aktivasi karbon aktif tersebut. Gugus fungsional dapat berupa ikatan carbon-oxygen, carbon-nitrogen, carbon-halogen, dan carbon-sulfur (Bansal & Goyal, 2005). Pada proses adsorpsi zat warna, keberadaan gugus fungsional tertentu dapat menguntungkan atau menghambat proses adsorpsi, tergantung pada jenis zat warnanya. Permukaan karbon aktif yang bermuatan negatif dapat mengadsorpsi zat warna kationik dengan baik. pH larutan merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi jenis muatan pada permukaan karbon aktif melalui ionisasi gugus fungsional yang ada (Bansal & Goyal, 2005). Struktur pori merupakan faktor lain yang mempengaruhi kemampuan adsorpsi karbon aktif. Keadaan struktur pori dikatakan menguntungkan apabila komposisinya menghasilkan luasan permukaan yang cukup besar dengan ukuran pori yang dapat mengakomodir ukuran molekul adsorbat. Berdasarkan ukuran porinya, terdapat tiga jenis pori: mikropori (< 2 nm), mesopori (2 – 50 nm), dan makropori (> 50 nm) (Li, 2012). Molekul zat warna umumnya cukup besar, sehingga sulit atau bahkan tidak dapat masuk ke dalam pori yang berukuran kecil.

2.5 Karbon Aktif Tempurung Kelapa (KATK) dan Karbon Aktif Batu Bara (KABB) Pada umumnya, KATK memiliki luas permukaan yang lebih besar dibandingkan KABB. Hal tersebut dikarenakan KATK memiliki persentasi mikropori yang sangat tinggi, sedangkan KABB didominasi oleh mesopori (Schaeffer & Potwora, 2008).

2.6 Pengertian dan Mekanisme Adsorpsi

Adsorpsi merupakan peristiwa yang muncul ketika suatu substansi dalam fase gas atau cair terakumulasi pada permukaan material padatan (adsorben) membentuk lapisan molekular atau atomik (adsorbat). Adsorpsi terdiri dari proses penyerapan (adsorpsi) dan pelepasan (desorpsi). Pada awal reaksi, adsorpsi akan lebih dominan daripada desorpsi, hingga pada jangka waktu tertentu, proses desorpsi akan menjadi lebih dominan. Adsorpsi akan terjadi hingga tercapai kondisi setimbang, dimana laju adsorpsi dan desorpsi sama besarnya. Pelekatan adsorbat pada adsorben terjadi akibat adanya tekanan/gaya yang mengikat adsorbat dari cairan/gas ke permukaan adsorben. Secara sederhana, Sihotang & Dian (2009) menggambarkan mekanisme adsorpsi sebagai berikut: (1) adsorbat berdifusi ke permukaan

(5)

luar adsorben (difusi eksternal), (2) sebagian besar adsorbat tersebut berdifusi lebih lanjut ke dalam pori-pori adsorben (difusi internal), dimana sebagian lainnya hanya terikat pada permukaan luar, (3) apabila adsorben telah mencapai kondisi jenuh atau mendekati jenuh, dapat terjadi dua kemungkinan; terbentuk lapisan adsorpsi kedua dst (multilayer) atau tidak terbentuk multilayer, sehingga adsorbat yang belum teradsorpsi berdifusi keluar pori dan kembali ke cairan yang membawanya.

2.7 Isoterm Adsorpsi

Isoterm adsorpsi merupakan suatu fungsi yang menghubungkan jumlah adsorben dengan jumlah adsorbat yang diserapnya, dinyatakan dalam satuan tekanan (fase gas) atau konsentrasi (fase cair). Perbedaan karakteristik adsorbat dan adsroben yang terlibat dalam suatu sistem adsorpsi menimbulkan tipe kesetimbangan yang berbeda. Terdapat beberapa jenis isoterm adsorpsi, namun jenis yang paling umum digunakan adalah isoterm Langmuir dan isoterm Freundlich.

Isoterm Langmuir mengasumsikan adsorpsi terjadi secara monolayer pada permukaan adsorben yang mengandung sejumlah lokasi adosrpsi dengan properti seragam tanpa terjadinya transmigrasi adsorbat pada permukaan tersebut (Weber & Chakkravoti, 1974 dalam Tan, et al., 2007). Bentuk linear persamaan isoterm Langmuir adalah sebagai berikut:

!! !! = ! !!!!+ !! !! , (1)

dimana Ce adalah konsentrasi adsorbat pada keadaan setimbang (mg/L), qe adalah jumlah

adsorbat yang diadsorpsi per massa adsorben pada keadaan setimbang (mg/g), qm adalah

jumlah adsorbat maksimum yang diadsorpsi per massa adsorben (full monolayer) (mg/L), dan KA adalah konstanta Langmuir yang berhubungan dengan entalpi adsorpsi (L/mg).

Di sisi lain, isoterm Freundlich mengasumsikan energi permukaan yang heterogen, dimana energi yang ditinjau melalui persamaan Langmuir bervariasi sebagai fungsi surface coverage (Tan, et al., 2007). Bentuk linear persamaan isoterm Freundlich yaitu:

log q! = log k +!!log C! , (2)

dimana n adalah jumlah lokasi adsorpsi, dan k adalah konstanta Freundlich yang berhubungan dengan entalpi adsorpsi (L/mg).

2.8 Regenerasi Karbon Aktif

Regenerasi karbon aktif merupakan proses pelepasan (desorpsi) adsorbat, sehingga karbon aktif kembali memiliki daya serap yang tinggi (Pei-Jen, et al., 2011). Regenerasi karbon aktif dapat dilakukan dengan banyak cara, seperti melalui uap, panas, bahan kimia, wet oxidation,

(6)

dll. Metode yang sering digunakan adalah uap dan panas. Namun, regenerasi secara termal diketahui dapat menghancurkan kontaminan berupa komponen organik dan dapat merusak keadaan fisik adsorben (Purkait, et al., 2007). Di sisi lain, regenerasi kimiawi selain tidak merusak keadaan fisik adsorben, juga dapat dilakukan secara in situ. Tingkat efektivitas bahan kimia sebagai regeneran karbon aktif akan berbeda antara jenis yang satu dengan yang lainnya.

2.9 Metode Percobaan Two-Level Full Factorial Design

Full factorial design merupakan metode yang memungkinkan percobaan dilakukan secara berkelanjutan dengan melibatkan banyak faktor dan jumlah percobaan yang sedikit (Anderson & Whitcomb, 2007). Sedangkan, two-level full factorial design merupakan metode dengan 2 level nilai, maksimum dan minimum untuk masing-masing faktor di setiap runningnya. Satu kali running terdiri dari beberapa percobaan, dimana jumlah percobaan ditentukan dengan rumus: 2k, dengan k adalah jumlah faktor pada penelitian (Brown & Berthouex, 2002).

3. Metode Penelitian 3.1 Adsorbat

Adsorbat yang digunakan adalah zat warna Methylene Blue (MB) produksi Merck, Jerman. Larutan MB disiapkan dengan melarutkan sejumlah zat warna ke dalam air destilasi dengan konsentrasi yang diinginkan sebesar 100 mg/L.

3.2 Adsorben

Karbon aktif tempurung kelapa (KATK) dan karbon aktif batu bara (KABB) komersial digunakan sebagai adsorben pada penelitian ini. KATK yang dipakai adalah produk Haycarb, Sri Lanka, sedangkan KABB yang dipakai adalah produk Carbotech, Jerman. Kedua jenis karbon aktif memiliki mesh 8 x 30.

3.3 Percobaan Adsorpsi

Adsorpsi dengan sistem batch dilakukan dengan pengadukan (kecepatan 150 rpm) 150 mL larutan MB menggunakan botol plastik 250 mL. Efek kombinasi faktor pH, dosis adsorben, dan waktu kontak diujikan dengan memvariasikan pH dengan rentang 7,5 – 10, dosis adsorben 0,5 – 8 g, dan waktu kontak 10 – 120 menit. Pengaturan pH dilakukan dengan menambahkan NaOH 0,1 M dan HCl 0,1 M. Kombinasi faktor ditentukan melalui metode two-level full factorial design. Terdapat 3 buah faktor pada penelitian ini, sehingga jumlah

(7)

percobaan untuk satu kali running adalah 8 percobaan. Dilakukan 3 buah running untuk masing-masing jenis karbon aktif.

Larutan MB hasil adsorpsi kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 4500 rpm selama 5 menit. Konsentrasi MB sebelum dan setelah adsorpsi diukur menggunakan spektrofotometer DR 5000 dengan panjang gelombang 655 nm agar dapat diketahui besar efisiensi penyisihannya. Efisiensi penyisihan MB (%Penyisihan) dihitung menggunakan rumus:

%Penyisihan = !!!  !!

!! x 100% , (3)

dimana Ce dan Co merupakan konsentrasi MB pada kondisi equilibrium dan kondisi awal

(mg/L). Sedangkan, kapasitas adsorpsi (mg/g) dihitung menggunakan rumus berikut:

q!= (!!!!!)  !  !! , (4)

dengan V adalah volume larutan (mL) dan m adalah massa adsorben (g). 3.4 Regenerasi Karbon Aktif

Sebelum diregenerasi, karbon aktif dijenuhkan terlebih dahulu melalui pengadukan dengan larutan MB 100 mg/L selama 12 jam (Purkait, et al., 2007) dengan menggunakan nilai pH dan dosis adsorben optimum berdasarkan percobaan adsorpsi. Karbon aktif yang telah jenuh kemudian diregenerasi menggunakan 250 mL aseton 60%. Pengadukan karbon aktif jenuh dan larutan aseton 60% dilakukan selama 2 jam dengan kecepatan 150 rpm. Larutan aseton 60% dari proses regenerasi selanjutnya disentrfugasi dan diukur menggunakan spektrofotometer untuk mengetahui konsentrasi MB nya. Selanjutnya, efisiensi desorpsi (%DE) masing-masing karbon aktif dihitung menggunakan rumus:

%DE=  A0!Ad

A0  x  100% , (5)

dimana A0  dan  Ad merupakan jumlah MB pada karbon aktif sebelum dan setelah desorpsi. Efisiensi desorpsi menunjukkan banyaknya molekul MB yang berhasil dihilangkan dari karbon aktif jenuh melalui proses regenerasi.

3.5 Percobaan Readsorpsi

Karbon aktif teregenerasi digunakan untuk mengadsorpsi MB dengan menerapkan nilai pH, dosis adsorben, dan waktu kontak optimum. Dengan menggunakan Persamaan 4, kapasitas adsorpsi karbon aktif teregenerasi dihitung. Kemudian, dihitung besar efisiensi regenerasi masing-masing karbon aktif dengan menggunakan rumus:

%RE=  qer

(8)

dimana qer dan qeo merupakan kapasitas adsorpsi karbon aktif teregenerasi dan karbon aktif

baru (mg/g). Efisiensi regenerasi menunjukkan tingkat pemulihan kapasitas adsorpsi karbon aktif yang telah diregenerasi (Martin et al., 1984 dalam Hasan, et al., 2012).

3.6 Percobaan Isoterm Adsorpsi

Percobaan isoterm adsorpsi dilakukan melalui pengadukan karbon aktif dan larutan MB menggunakan nilai pH dan waktu kontak optimum, dengan variasi dosis adsorben 0,5, 1, 2, 5, dan 8 g/150 mL.

3.7 Penentuan Kurva Standar Ppm vs. Pt-Co

Kurva standar ppm vs. Pt-Co digunakan sebagai alat konversi konsentrasi MB dari satuan ppm ke Pt-Co dan berguna dalam perencanaan penerapan unit adsorpsi di lapangan. Lima buah deret dengan konsentrasi berbeda diuji menggunakan spektrofotometer DR 5000 dengan panjang gelombang 665 nm dan hasil pengukuran dalam satuan ppm serta spektrofotometer DR 2000 dengan hasil pengukuran dalam satuan Pt-Co. Hasil yang diperoleh diplot dalam kurva, dengan sumbu-x adalah konsentrasi dalam ppm dan sumbu-y dalam Pt-Co.

4. Hasil dan Pembahasan 4.1 Karakteristik Karbon Aktif

Uji SEM (Scanning Electron Microscopy) dilakukan untuk mengetahui morfologi permukaan KATK dan KABB.

Gambar 2. Foto SEM pada Perbesaran 5000x: (a) KATK dan (b) KABB

Berdasarkan Gambar 2, dengan perbesaran yang sama, pori-pori permukaan KATK terlihat lebih besar dan lebih sedikit dibandingkan dengan KABB. Hal tersebut menunjukkan ukuran makropori KATK lebih besar daripada KABB, sehingga dapat diperkirakan luas permukaan

b a

(9)

luar KABB lebih besar. Meskipun keduanya memiliki mesh yang sama, 8 x 30, namun terlihat perbedaan pada keseragaman ukuran partikelnya (Gambar 3).

Gambar 3. Distribusi Ukuran Partikel KATK (kanan) dan KABB (kiri)

4.2 Adsorpsi

Efisiensi penyisihan tertinggi yang diperoleh pada tiga buah running untuk masing-masing jenis karbon aktif dibandingkan. Kombinasi faktor optimum merupakan kombinasi yang menghasilkan efisiensi penyisihan paling tinggi.

a. KATK

Kombinasi faktor optimum untuk KATK diperoleh pada running kedua, yaitu sebesar 80,39% dengan pH 9,5, dosis adsorben 6,5 g, dan waktu kontak 100 menit.

Tabel 2. Hasil Adsorpsi Optimum dengan KATK pada Ketiga Running

Running ke- pH Dosis Adsorben (g) Waktu Kontak (menit) Efisiensi Penyisihan (%)

1 9 6 90 60,72

2 9,5 6,5 100 80,39

3 10 8 120 73,01

Faktor Internal (gugus fungsional dan struktur pori KATK)

Gugus fungsional yang terdapat pada permukaan karbon aktif umumnya berupa oksigen kompleks, seperti gugus karboksil, karbonil, dan fenol (Purkait, et al., 2007). Peneltian Hassan, et al., (2014) mengenai adsorpsi MB pada karbon aktif tempurung kelapa menunjukkan bahwa terdapat gugus fungsional O-H dan C-H pada permukaan karbon aktif tersebut. Pada kondisi basa, gugus fungsional pada permukaan KATK akan terionisasi menjadi senyawa anionik yang bermuatan negatif. Senyawa anionik tersebut kemudian akan berikatan dengan muatan positif MB. Selain itu, berdasarkan foto uji SEM (Gambat 2), diketahui bahwa makropori KATK relatif lebih besar dibandingkan KABB. Dengan ukuran makropori yang besar, diperkirakan difusi molekul MB dapat berlangsung dengan mudah. Struktur pori KATK didominasi oleh mikropori dengan ukuran lubang sebesar < 2 nm (Schaeffer & Potwora, 2008). Molekul MB yang berukuran 1,43 x 0,61 x 0,4 nm (Pelekani & Snoeyink, 2010 dalam Li, et al., 2013), akan sulit berdifusi ke dalam mikropori. Mikropori yang berukuran lebih kecil dari ukuran molekul MB tidak dapat menjadi tempat pelekatan,

(10)

sehingga mengurangi luas area yang dapat diakses oleh MB. Difusi molekul MB pada mikropori diperkirakan membutuhkan waktu yang lama dan energi yang cukup besar. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil adsorpsi optimum dengan nilai pH dan waktu kontak yang cukup tinggi, yaitu 9,5 dan 100 menit.

Faktor Eksternal (pH, dosis adsorben, dan waktu kontak)

Adsorpsi optimum MB dengan KATK dicapai pada kondisi pH 9,5 dengan 6,5 g KATK dan 100 menit waktu kontak. Kebutuhan pH yang cukup tinggi diperkirakan akibat mikropori yang mendominasi pada KATK. Energi yang dibutuhkan untuk proses adsorpsi pada mikropori lebih besar dibandingkan pada meso- dan makropori (Bansal & Goyal, 2005), sehingga gaya elektrostatik yang dibutuhkan juga lebih besar. Semakin basa kondisi larutan, muatan negatif pada permukaan KATK akan lebih banyak. Hal tersebut dapat meningkatkan gaya elektrostatik yang terjadi antara muatan negatif permukaan KATK dengan muatan positif MB. Adsorpsi MB yang optimum pada pH yang relatif tinggi juga ditemui pada penelitian Derakhsan,et al. (2013) (pH=10, adsorben: batu apung) dan penelitian Momcilovic, et al. (2012) (pH=10, adsorben: biji pinus aktif). Penelitian mengenai adsorpsi jenis zat warna kationik lainnya, Basic Red 12, menggunakan animal bone meal juga menunjukkan hasil optimum pada pH yang tinggi, yaitu 12 (El Haddad, et al., 2012).

Luas area yang terbentuk akibat pengaruh pH tersebut memungkinkan kebutuhan dosis yang tidak terlalu banyak, yaitu 6,5 g/150 mL. Adsorpsi dengan dosis yang lebih banyak tidak menghasilkan efisiensi penyisihan yang lebih tinggi. Hal tersebut dapat terjadi akibat distribusi ukuran partikel KATK yang tidak seragam (Gambar 3). Menurut literatur, semakin kecil ukuran partikel adsorben, luas permukaannya akan semakin besar. Hal yang mungkin terjadi pada peneltian ini yaitu pada dosis KATK yang lebih besar dari 6,5 g, distribusi ukuran partikel KATK jauh lebih tidak seragam (dengan dominasi ukuran partikel yang lebih besar) daripada dosis 6,5 g. Akibatnya, meskipun memiliki maasa yang lebih besar, kemampuan adsorpsinya tidak lebih baik dari 6,5 g.

Dengan kondisi pH 9,5 dan dosis 6,5 g/150 mL, waktu kontak optimum dicapai pada waktu 100 menit. Hal tersebut menunjukkan bahwa seluruh area pada KATK yang dapat diokupasi oleh molekul MB telah terokupasi pada waktu 100 menit. Adsorpsi yang terjadi melebihi waktu optimum mengakibatkan molekul MB yang telah terikat pada KATK kembali terlepas. b. KABB

Kombinasi faktor optimum untuk KABB diperoleh pada running pertama, yaitu sebesar 99,82% dengan pH 7,5, dosis adsorben 6 g, dan waktu kontak 90 menit.

(11)

Tabel 3. Hasil Adsorpsi Optimum dengan KABB pada Ketiga Running

Running ke- pH Dosis Adsorben (g) Waktu Kontak (menit) Efisiensi Penyisihan (%)

1 7,5 6 90 99,82

2 7,8 6,5 100 98,67

3 7,6 6,3 120 84,55

Faktor Internal (gugus fungsional dan struktur pori KATK)

Berdasarkan studi literatur, hal yang sama diperkirakan terjadi pula pada adsorpsi MB menggunakan KABB. Gugus-gugus fungsional pada permukaan KABB terionisasi menjadi senyawa anionik yang bermuatan negatif, sehingga dapat mengikat molekul MB yang bermuatan positif. El Qada, et al. (2006) melalui penelitiannya mengenai adsorpsi MB pada karbon aktif berbahan dasar batu bara menjelaskan bahwa peningkatan pH menyebabkan peningkatan jumlah gugus karboksil. Hal tersebut kemudian mengakibatkan peningkatan area pada karbon aktif yang bermuatan negatif dan memperbesar interaksi antara MB dengan permukaan adsorben. Struktur pori KABB yang didominasi oleh mesopori memungkinkan kebutuhan energi pada proses difusi tidak terlalu besar, terlihat pada nilai pH optimum yang mendekati pH netral, yaitu 7,5. Jumlah mesopori yang banyak dapat menambah luas area yang dapat ditempati molekul MB, karena ukuran lubang mesopori (2 – 50 nm) yang dapat mengakomodir molekul MB dengan baik. Selain dari mesopori, luas area yang dapat ditempati molekul MB juga diperoleh dari makropori KABB yang memiliki ukuran relatif kecil dan jumlah yang banyak (Gambar 2).

Faktor Eksternal (pH, dosis adsorben, dan waktu kontak)

Adsorpsi optimum MB dengan KABB dicapai pada kondisi pH 7,5 dengan 6 g KABB dan 90 menit waktu kontak. Kebutuhan gaya elektrostatik dalam proses adsorpsi MB diperkirakan tidak begitu besar karena dominasi mesopori pada KABB. Hasil adsorpsi MB yang optimum pada pH 7,5 didapati pula pada penelitian Rauf, et al., (2009). Pada penelitian tersebut, MB diadsorpsi menggunakan material gypsum dan variasi pH diatur pada rentang 3 – 12. Pola penurunan penyisihan pada kondisi pH yang tinggi juga ditemukan pada hasil adsorpsi Basic Red 46 menggunakan karbon aktif batu bara komersial. pH larutan divariasikan antara 3 – 10 dan optimum pada pH 8 (Halim & Mee, 2011). Pola serupa juga didapati pada penelitian Alzaydien (2009) mengenai adsorpsi MB pada tripoli. Rentang pH yang digunakan adalah 2 – 10, namun optimum pada pH 8. Dalam uraiannya, dikatakan bahwa efisiensi penyisihan MB sangat bergantung pada konsentrasi ion hidrogen pada larutan.

Kebutuhan dosis KABB yang tidak terlalu besar dapat dimungkinkan karena luasan area pada KABB sendiri yang sudah relatif besar. Luas permukaan luar KABB relatif lebih besar akibat

(12)

ukuran makropori yang relatif kecil dan banyak. Selain itu, persentase mesopori yang tinggi menyebabkan molekul MB yang berukuran cukup besar dapat teradsorpsi lebih banyak pada KABB. Hal tersebut juga dapat menjadi penyebab adsorpsi optimum membutuhkan waktu yang tidak terlalu lama, karena proses masuknya molekul MB ke dalam mesopori lebih mudah daripada mikropori. Sama halnya seperti KATK, adsorpsi pada waktu yang lebih lama dari waktu kontak optimum menyebabkan molekul MB yang telah teradsorpsi pada KABB terlepas kembali ke dalam larutan.

c. Perbandingan KATK dan KABB

Kondisi pH yang dibutuhkan oleh KABB untuk mencapai adsorpsi optimum lebih kecil dibandingkan KATK. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tidak diperlukan gaya yang cukup besar untuk proses pengikatan muatan positif MB dengan muatan negatif permukaan karbon aktif, yang dapat dikaitkan dengan jenis gugus fungsional yang terdapat pada permukaan masing-masing jenis karbon aktif. Namun, karena tidak diteliti mengenai hal tersebut, tidak diketahui gugus-gugus fungsional apa saja yang terdapat pada permukaan KATK dan KABB. Perbedaan distribusi ukuran partikel kedua jenis karbon aktif dengan mesh yang sama dapat menjadi salah satu penyebab perbedaan kebutuhan dosis karbon aktif optimum. Distribusi ukuran partikel KABB lebih seragam dengan ukuran yang relatif kecil, sehingga luas permukaan KABB lebih besar. Besarnya luas permukaan tersebut didukung oleh persentasi mesopori yang tinggi. Dengan demikian, luas area yang dapat diakses oleh molekul MB juga besar. Peningkatan kapasitas adsorpsi dengan berkurangnya ukuran partikel diperkirakan terutama akibat molekul warna tidak sepenuhnya berpenetrasi ke dalam partikel karbon aktif atau molekul warna tersebut diadsorpsi dekat dengan permukaan terluar partikel karbon aktif (Juang, et al., 1997 dalam El Qada, et al., 2006). Adsorpsi optimum pada kedua jenis karbon aktif sama-sama terjadi pada dosis yang tidak terlalu tinggi. Penurunan efisiensi penyisihan pada dosis adsorben yang lebih banyak dapat terjadi akibat adanya luasan area permukaan karbon aktif yang tidak terokupasi selama proses adsorpsi meskipun dosis karbon aktif ditambahkan. Selain itu, agregasi partikel karbon aktif pada massa yang lebih besar juga dapat menyebabkan penuruan luas permukaan dan peningkatan jalur difusi molekul adsorbat ke dalam pori karbon aktif, yang mana akan berpengaruh pula pada waktu kontak yang dibutuhkan (Ozcar, et al., 2005 dalam Yang & Qiu, 2010). Selain kemungkinan tersebut, kebutuhan waktu kontak juga dipengaruhi oleh struktur pori karbon aktif. Derakhsan, et al. (2013) dan Hassan, et al. (2014) dalam studinya mengenai adsorpsi MB pada jenis adsorben yang berbeda bahwa adsorpsi MB dapat terjadi melalui 3 tahap: (1) difusi eksternal, (2) difusi intra partikel, dan (3) difusi internal. Pada tahap pertama, diperkirakan difusi pada KATK

(13)

terjadi lebih cepat, karena KATK memiliki ukuran makropori yang lebih besar daripada KABB (Gambar 2). Makropori yang besar tersebut juga memungkinkan difusi intra partikel KATK berlangsung lebih cepat. Makropori berperan sebagai channel yang menghubungkan adsorbat untuk masuk ke meso- dan mikropori (Bansal & Goyal, 2005). Pada tahap difusi internal, diperkirakan proses yang terjadi pada KABB berlangsung lebih cepat, karena terdapat lebih banyak mesopori. Dengan demikian, meskipun pada tahap 1 dan 2 adsorpsi MB pada KATK dapat berlangsung lebih cepat, namun karena waktu yang dibutuhkan oleh molekul MB untuk berdifusi pada mikropori –yang rentang ukurannya tidak jauh berbeda dengan ukuran molekul MB, diperkirakan relatif lebih lama, waktu kontak optimum adsorpsi MB pada KABB menjadi lebih cepat daripada KATK.

4.3 Regenerasi

Sebelum diregenerasi, karbon aktif dijenuhkan terlebih dahulu. Kondisi jenuh didefinisikan sebagai kondisi yang terjadi pada saat kemampuan karbon aktif diperkirakan sudah terlampau kecil untuk mengadsorpsi larutan MB. Hal ini ditandai dengan efisiensi penyisihan yang tinggi. Efisiensi penyisihan yang dicapai KATK dan KABB pada proses penjenuhan adalah 99% dan 95,46%. Karbon aktif yang telah jenuh tersebut kemudian diaduk dengan aseton 60% selama 2 jam. Jumlah molekul MB yang dikeluarkan dari karbon aktif dibandingkan dengan jumlah molekul MB yang diadsorpsi selama penjenuhan, sehingga diperoleh efisiensi desorpsi (%DE). Semakin besar efisiensi desorpsi mengindikasikan semakin besar pula area permukaan karbon aktif yang tersedia untuk pengikatan molekul MB pada proses readsorpsi. Tabel 4. Efisiensi Desorpsi Molekul MB pada Regenerasi KATK dan KABB

Karbon Aktif

Jumlah MB tersisihkan pada proses penjenuhan

(A0)

Selisih jumlah MB tersisihkan pada penjenuhan dan setelah regenerasi

(A0-Ad) %DE

Ppm mg Ppm mg

KATK 95,27 14,29 5 0,75 5,25

KABB 98,80 14,82 5,8 0,87 5,87

4.4 Readsorpsi

Adsorpsi MB menggunakan karbon aktif teregenerasi menunjukkan konsistensi kemampuan adsorpsi KABB yang lebih baik daripada KATK. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh desorpsi yang terjadi saat regenerasi. Jumlah molekul MB yang lebih banyak terlepas dari KABB dapat terjadi akibat struktur pori KABB yang didominasi oleh mesopori, sehingga molekul MB dapat lebih mudah berdifusi keluar.

(14)

Tabel 5. Hasil Readsorpsi MB Kondisi Awal Adsorben Ppm Penyisihan (%) Tersisihkan (mg) qe (mg/g) pH Ppm 5,5 105,2 KATK 54,13 524 7,66 1,18 KABB 32,93 319 10,84 1,81

Energi dan waktu yang dibutuhkan molekul MB untuk keluar dari KATK akan relatif lebih tinggi karena banyaknya jumlah mikropori. Diperkirakan pula sebagian besar molekul MB yang terlepas dari KATK berasal dari makropori karena ukurannya yang relatif besar.

Tabel 6. Efisiensi Regenerasi KATK dan KABB

Adsorben pH Dosis (g) Waktu Kontak (menit) qe (mg/g) %RE Karbon Aktif Baru Karbon Aktif Teregenerasi KATK 9,5 6,5 100 2,08 1,18 56,61 KABB 7,5 6 90 2,71 1,81 66,79

Kemampuan pemulihan KABB melalui regenerasi kimiawi dengan aseton 60% lebih baik dibandingkan dengan KATK. Hasil yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan percobaan Pei-Jen, et al. (2011) mengenai readsorpsi red dye dengan GAC tempurung kelapa yang diregenerasi menggunakan aseton 60% dan menghasilkan %RE sebesar 58%.

4.5 Isoterm Adsorpsi

Percobaan isoterm adsorpsi menunjukkan kecenderungan pada model isoterm Langmuir untuk kedua jenis karbon aktif.    

Gambar 4. Grafik Isoterm Adsorpsi KATK: (a) Isoterm Freundlich dan (b) Isoterm Langmuir; Grafik Isoterm Adsorpsi KABB: (c) Isoterm Freundlich dan (b) Isoterm Langmuir

(15)

Berdasarkan plot grafik isoterm (Gambar 4), pendekatan hasil dengan model isoterm Langmuir digambarkan dengan koefisien korelasi R2 yang mendekati angka 1. Nilai R2 untuk KATK dan KABB adalah sebesar 0,960 dan 0,986. Persamaan garis yang diperoleh untuk KATK1 dan KABB2 yaitu:

1y = 82,28x − 0,455 (R2=0,960) (8)

2! = 21,2! − 0,118 (R2=0,986) (9)

Dengan mensubstitusi kedua persamaan di atas ke dalam Persamaan 1, diperoleh kapasitas adsorpsi (qe) sebesar 0,64 mg MB/g KATK dan 2,53 mg MB/g KABB. Isoterm Langmuir mengindikasikan adsorpsi terjadi pada permukaan yang homogen dan selapis. Artinya, pada keadaan jenuh atau mendekati jenuh, molekul MB yang telah teradsorpsi pada KATK dan KABB berdifusi keluar pori dan kembali ke dalam larutan tanpa membentuk lapisan adsorbat selanjutnya. Hal tersebut juga menjelaskan peristiwa penurunan efisiensi penyisihan MB pada waktu kontak yang lama. Penelitian Hameed et, al. (2006) mengenai adsorpsi MB pada karbon aktif dari serbuk gergaji rotan juga memperlihatkan kecocokan dengan model isoterm Langmuir yang menjadi indikasi homogenitas permukaan serbuk gergaji rotan dan menggambarkan pembentukan lapisan tunggal molekul MB pada permukaan luar karbon aktif. Hal serupa didapati pula pada adsorpsi MB menggunakan karbon aktif dari sekam kelapa dan bambu (Tan, et al., 2008; Hameed, et al., 2007).

4.6 Aplikasi di Lapangan

Proses adsorpsi termasuk ke dalam pengolahan lanjutan. Namun, dengan mempertimbangkan hasil percobaan yang menunjukkan bahwa proses adsorpsi MB dapat berlangsung optimum dengan mengkondisikan pH, dosis karbon aktif, dan waktu kontak pada nilai tertentu, ditetapkan penerapan unit adsorpsi langsung setelah proses dyeing dan printing –proses pada industri tekstil yang menghasilkan limbah cair dengan kandungan warna yang tinggi. Dengan demikian, tahapan pengolahan selanjutnya dapat dilakukan dengan lebih ringan.

Desain unit adsorpsi dirancang berdasarkan asumsi debit limbah cair dari proses dyeing dan printing sebesar 100 – 150 m3/hari (Tufekci, et al., 2006). Homogenisasi debit dari kedua proses tersebut dilakukan menggunakan bak ekualisasi, dengan debit keluarannya ditentukan sebesar 100 m3/hari.

(16)

Gambar 5. Gambaran Aplikasi Metode Adsorpsi dalam Pengolahan Limbah Industri Tekstil

Konsentrasi warna pada limbah cair industri tekstil diasumsikan sebesar 2500 Pt-Co (Ghaly, et al., 2014). Target akhir pengolahan ditentukan sebesar 400 Pt-Co –berdasarkan baku mutu lingkungan India untuk industri yang menghasilkan limbah cair dengan kandungan warna.

Gambar 6. Kurva Standar ppm vs. Pt-Co

Untuk keperluan perhitungan desain, konsentrasi warna dalam satuan Pt-Co dikonversi terlebih dahulu ke dalam satuan ppm menggunakan persamaan garis yang diperoleh dari kurva standar ppm vs. Pt-Co (Gambar 6).

y = 9,674x + 0,531. (7)

dimana y adalah konsentrasi warna dalam satuan pt-co dan x adalah konsentrasi warna dalam satuan ppm. Hasil konversi konsentrasi warna sebesar 2500 dan 400 Pt-Co menggunakan persamaan tersebut berturut-turut adalah 258,37 dan 41,29 ppm.

(17)

Kebutuhan Volume Tangki

Debit limbah cair perhari adalah 100 m3, sedangkan waktu kontak optimum adsorpsi MB adalah 90 menit. Dengan menggunakan rumus V = Q x t, volume tangki diperoleh sebesar 6,72 m3.

Kebutuhan Karbon Aktif

Target konsentrasi warna yang harus diturunkan adalah: 258,37 ppm – 41,29 ppm = 217,08 ppm = 217,08 mg/L. Berdasarkan perhitungan isoterm adsorpsi, diketahui bahwa kapasitas adsorpsi KABB lebih baik daripada KATK, sehingga pada perancangan ini ditetapakan KABB sebagai adsorben yang digunakan.

Kapasitas adsorpsi KABB adalah 2,53 mg/g. Dengan target penurunan konsentrasi sebesar 217,08 mg/L, besar target penurunan dibagi dengan kapasitas adsorpsi, diperoleh jumlah KABB yang dibutuhkan adalah 85,8 g/L. Oleh karena itu, Limbah cair yang masuk ke dalam tangki mixing 6,72 m3 membutuhkan karbon aktif sebanyak 576,6 kg. Karbon aktif memiliki densitas 450 kg/m3, sehingga volumenya dapat dihitung dengan rumus massa : densitas, menghasilkan volume karbon aktif sebanyak 1,28 m3.

Dimensi Tangki Mixing

Dimensi tangki mixing dihitung berdasarkan kebutuhan volume untuk menampung limbah dari bak ekualisasi dan karbon aktif. Volume total dari keduanya adalah 8 m3, tangki yang digunakan berbentuk rectangle dengan kriteria desain tinggi kedalaman = 1,5 lebar. Dengan demikian, diperoleh dimensi tangki 1,8 x 1,8 x 2,7 m (Gambar 6).

Gambar 7. Unit Adsorpsi Warna

Outlet pada bagian bawah tangki diperuntukkan sebagai tempat keluarnya regeneran setelah proses regenerasi karbon aktif dilakukan, serta tempat keluarnya adsorben yang sudah tidak dapat dipakai sama sekali. Lubang inlet pada tangki tersebut dapat berfungsi sebagai tempat

(18)

masuknya limbah yang akan diolah dan tempat masuknya regeneran untuk proses regenerasi. Pada inlet dipasangkan katup untuk dapat mengatur cairan apa yang masuk ke dalam tangki mixing.

4.7 Penerapan Proses Regenerasi

Pada penelitian ini dilakukan regenerasi secara kimiawi menggunakan bahan kimia aseton 60%. Prinsip regenerasi kimiawi adalah pengikatan adsorbat pada karbon aktif oleh bahan kimia yang digunaka, sehingga adsorbat dapat terlepas dari permukaan karbon aktif. Meskipun regenerasi memiliki potensi penghematan ekonomi, namun perlu diperhatikan dampak yang ditimbulkan terkait keamanan lingkungan. Beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan, antara lan: (i) regenerasi warna dapat menghasilkan limbah yang berbahaya, (ii) limbah tersebut dapat mencemari lingkungan di sekitarnya jika tidak ditangani dengan baik, (iii) apabila kandungan limbah yang diolah terlalu kompleks, kemungkinan karbon aktif jenuh tidak hanya mengandung molekul zat warna, tetapi juga kandungan-kandungan lainnya. Hal ini dapat menyebabkan regenerasi dengan satu jenis bahan kimia menjadi kurang efektif, sedangkan penambahan jenis bahan kimia akan menambah biaya dan risiko bahaya bagi lingkungan, (iv) jika karbon aktif yang digunakan adalah jenis yang memiliki kualitas sangat baik dengan harga yang mahal, kemungkinan besar akan lebih hemat apabila dilakukan regenerasi. Jika sebaliknya, boleh jadi regenerasi menjadi pilihan yang tidak efisien.

5. Kesimpulan

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan:

1. Penyisihan optimum menggunakan KATK adalah 80,39% dengan kondisi pH 9, dosis 6,5 g/150 mL, dan waktu kontak 100 menit. Sedangkan, penyisihan optimum menggunakan KABB dicapai pada 99,82% dengan kondisi pH 7,5, dosis 6 g/150 mL, dan waktu kontak 90 menit. Dengan demikian, penggunaan KABB lebih disarankan karena penyisihannya lebih tinggi dan kombinasi nilai variabel yang dibutuhkan lebih kecil.

2. Regenerasi kimiawi menggunakan aseton 60% dapat memulihkan kemampuan KABB lebih baik dibandingkan KATK. Efisiensi regenerasi (%RE) KATK sebesar 56,61%, sedangkan KABB sebesar 66,79%.

3. Metode adsorpsi dengan sistem batch dapat diterapkan pada pengolahan limbah industri tekstil dengan menggunakan unit mixing. Unit tersebut diletakkan setelah proses dyeing dan printing.

(19)

6. Saran

Saran-saran yang dapat diberikan terkait penelitian lebih lanjut dan penerapannya di lapangan adalah sebagai berikut:

1. Melakukan penelitian adsorpsi MB dengan jenis adsorben lain yang lebih ekonomis.

2. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kolom untuk memudahkan ekskalasi perancangan unit apabila aplikasi di lapangan direncanakan menggunakan sistem kolom. 3. Melakukan variasi jenis regeneran agar dapat mengetahui regeneran yang paling optimum

mengembalikan kemampuan adsorpsi karbon aktif.

4. Lebih mengeskplorasi analisis hasil yang diperoleh dari metode two-level full factorial design, sehingga dapat diketahui faktor yang paling berpengaruh pada proses adsorpsi. Dengan demikian, penelitian berikutnya dapat dilakukan dengan mendalami faktor tersebut.

5. Melakukan percobaan adsorpsi menggunakan karbon aktif berbahan dasar tempurung kelapa dengan sistem two-stage untuk mendapatkan hasil akhir yang tidak hanya rendah konsentrasinya, namun juga baik tampilan visualnya.

6. Metode adsorpsi dengan karbon aktif komersial dapat digunakan untuk mengolah limbah cair industri tekstil. Disarankan untuk menggunakan karbon aktif berbahan dasar batu bara karena hasil adsorpsinya sangat baik.

7. Dalam mempertimbangkan penerapan proses regenerasi, bukan hanya pertimbangan ekonomi yang harus dilakukan, namun juga pertimbangan lingkungan.

8. Perlu dilakukan perhitungan dan analisis lebih jauh mengenai aspek ekonomi dalam mempertimbangkan penerapan proses regenerasi pada pengolahan limbah industri.

7. Daftar Referensi

Alzaydien, A. S. (2009). Adsorption of methylene blue from aqueous solution low-cost natural jordanian tripoli. American Journal of Environmental Sciences , 197-208.

Anderson, M., & Whitcomb, P. (2007). Retrieved Mei 29, 2014, from State Ease-Statistic Made Easy: www.statease.com/pubs/doesimp2excerpt--chap3.pdf

Bansal, R. C., & Goyal, M. (2005). Activated carbon adsorption. Boca Raton: Taylor & Francis Group. Brown, L. C., & Berthouex, P. M. (2002). Statistic for environmental engineers. Florida: CRC Press LLC. Dash, B. (2010). Competitive adsorption of dyes (congo red, methylene blue, malachite green) on activated

carbon. Rourkela: Department of Chemical Engineering National Institute of Technology.

Derakhshan, Z., Baghapour, M. A., Ranjbar, M., & Faramarzian, M. (2013). Adsorption of methylene blue dye from aqueous solutions by modified pumice stone: kinetics and equilibrium studies. Health Scope , 136-44. El Haddad, M., Mamouni, R., & Lazar, S. (2012). Removal of a cationic dye - Basic Red 12 - from aqueous

solution by adsorption onto animal bone meal. Journal of The Association of Arab Universities for Basic and Applied Science , 48-54.

(20)

El Qada, N. E., Allen, S. J., & Walker, G. M. (2006). Adsorption of methylene Blue onto activated carbon produced from steam activated bituminous coal: a study of equilibrium adsorption isotherm. Chemical Engineering Journal , 103-110.

Ghaly, A., Ananthashankar, R., Alhattab, M., & Ramakrishnan, V. (2014). Production, characterization and treatment of textile effluents: a critical review. Chemical Engineering & Process Technology.

Halim, H. N., & Mee, K. L. (2011). Kinetic Studies on Continuous Adsorption of Basic Red 46 in a Fixed-Bed Column. Engineering Science, Technology and Innovation Towards a Better Tomorrow.

Hameed, B., Ahmad, A., & Latiff, K. (2006). Adsorption of basic dye (methylene blue) onto activated carbon prepared from rattan sawdust. Dyes and Pigments , 143-149.

Hassan, A., Abdel-Mohsen, A., & Fouda, M. M. (2014). Comparative study of calcium alginate, activated carbon, and composite beads on methyelen blue adsorpstion. Carbohydrate Polymers , 192-198.

Hassan, L., Ajana, B., Umar, K., Sahabi, D., Itodo, A., & Uba, A. (2012). Comparative batch and column evaluation of thermal and wet oxidative regeneration of commercial activated carbon exhausted with synthetic dye. Nigerian Journal of Basic and Applied Science , 93-104.

Ibrahim, T., Moctar, B. L., Tomkuoani, K., Gbandi, D.-B., Victor, D. K., & Phinthe, N. (2013). Kinetics of the adsorption of anionic and cationic dyes in aqueous solution by low-cost activated carbons prepared from sea cake and cotton cake. American Chemical Science Journal , 38-57.

Jadhav, J., Phugar, S., Dhanve, R., & Jadhav, S. (2010). Rapid biodegradation decolorization of direct orange 39 (orange TGLL) by an isolated bacterium pseudomonas aeruginosa strain BCH. Biodegradation, 21, 3 , 453-463.

Li, X. (2012). Pore size and surface area control of MgO nanostructures using a surfactant-templated hydrothermal process: high adsorption capability to azo dyes. Colloids and Surfaces A : Physiscochemical and Engineering Aspects , 79-86.

Li, Y., Du, Q., Liu, T., Peng, X., Wang, J., Sun, J., et al. (2013). Comparative study of MB adsorption onto activated carbon, graphene oxide, and carbon nanotubes. Chemical Engineering Research and Design , 361-368.

Momcilovic, M. Z., Onjia, A. E., Purenovic, M. M., Zarubica, A. R., & Randelovic, M. S. (2012). Removal of cationic dye from water by activated pinecones. Journal of the Chemical Society , 761-774.

Pei-Jen, L., Hsin-Chieh, L., Wen-Te, Y., & Jia-Ming, C. (2011). Chemical regeneration of activated carbon used for dye adsorption. Journal of the Taiwan Insitute of Chemical Engineers 42 , 305-311.

Pujiyanto. (2010). Pembuatan karbon aktif super dari batubara dan tempurung kelapa . Depok: Universitas Indonesia.

Purkait, M., Maiti, A., DasGupta, S., & De, S. (2007). Removal of congo red using activated carbon and its regeneration. Journal of Hazardous Material , 287-295.

Rauf, M. A., Shehadeh, I., Ahmed, A., & Al-Zamly, A. (2009). Removal of methylene blue from aqueous solution by using gypsum as a low cost adsorbent. World Academy of Science, Engineering and Technology. Schaeffer, K., & Potwora, R. (2008). Coconut shell versus bitunimous coal activated carbon. Water Conditioning

and Purification.

Sharma, P., Kaur, H., Sharma, M., & Sahore, V. (2011). A review on applicability of naturally available adsorbents for the removal of hazardous dyes from aqueous waste. Environ Monit Assess , 151 – 195. Sihotang, A., & Dian, S. (2009). Pemanfaatan limbah sekam padi menjadi arang aktif sebagai adsorben. Bogor:

Institut Pertanian Bogor.

Sodeinde, O., & Eboreime, U. (2013). Adsorption of textile wastes containing methylene blue & congo red using activated carbon produced from coconut shell. IJCEM Internatioanl Journal of Computational Engineering & Management , 2230-7893.

Tan, I. A., Ahmad, A. L., & Hameed, B. (2007). Adsorption of basic dye on high surface area activated carbon prepared from coconut husk: equilibrium, kinetic and thermodynamic studies. Journal of Hazardous Materials , 337-346.

Tufekci, N., Sivri, N., & Toroz, I. (2007). Pollutants of textile industry wastewater and assessment of its discharge limits by water quality standards. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences , 97-103. Yang, J., & Qiu, K. (2010). Preparation of activated carbons from walnut shells via vacuum activation and their

Gambar

Tabel 1. Karakteristik Methylene Blue
Gambar 2. Foto SEM pada Perbesaran 5000x: (a) KATK dan (b) KABB
Tabel 2. Hasil Adsorpsi Optimum dengan KATK pada Ketiga Running
Tabel 3. Hasil Adsorpsi Optimum dengan KABB pada Ketiga Running
+5

Referensi

Dokumen terkait

terhadap hama dibanding ikan lele biasa. Hal ini menjadikan kami harus melakukan kerjasama dengan RW 1 dan RW 2 desa Karangpaing. Tujuan utama yang dibidik

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berkah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini setelah melalui perjuangan

Tambahan pula, kebanyakan pengkaji adat terdahulu lebih berminat untuk mendokumentasikan kata-kata perbilangan adat atau teromba yang juga dikenali dengan pelbagai istilah lain

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga keluarga sangat berperanan untuk memberikan.. pengawasan tentang budaya Lampung, karena setiap orang tua pasti mengawasi

Hasil observasi dituangkan dalam bentuk tabel yang berisi: nama tahapan kegiatan dan aktivitas yang dilakukan (format dapat dilihat pada Lampiran 1). 2)

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Yusuf dengan judul “Analisis Penerapan Pembiayaan Murabahah Berdasarkan Pesanan Pesanan dan Tanpa Pesanan Serta

Jarak jari-jari (r) ke titik pusat tidak mempegaruhi tegangan geser yang terjadi pada baut dan besarnya tekanan yang diberikan oleh beban akan mempengaruhi tegangan

Kemampuan ekstrak daun sicerek ( clausena excavata burm f ) dalam menghambat pertumbuhan jamur Candida albicans yang masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan