• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI REFORMASI DALAM PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA (Irfan Ridwan Maksum)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI REFORMASI DALAM PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA (Irfan Ridwan Maksum)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI REFORMASI

DALAM PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA (Irfan Ridwan Maksum)

Abtrak

Para pakar kerap menyebutkan adanya dua aspek dalam administrasi pembangunan yang saling berhubungan dan saling memperkuat satu sama lain.

Kedua aspek tersebut adalah pertama, manajemen pembangunan dan yang

kedua bagaimana memperkuat dan memberdayakan administrasi publik. Aspek

pertama menyangkut bagaimana negara dapat mengelola kebijakan pembangunan terwujud sedangkan dalam aspek yang kedua, tercakup pembenahan birokrasi yang keberadaannya saling berhubungan erat dengan aspek pertama. Aspek yang kedua

ini oleh Caiden, disebutnya sebagai ’administrative reform’.

Keywords: Reformasi, Pendekatan Refromasi, Strategi reformasi

PENDAHULUAN

Jika diamati secara mendalam menurut kacamata ilmu administrasi lebih khusus terkait perubahan sebetulnya potensi ancaman nasional untuk manajemen pemerintahan SBY-Boediono yang besar adalah nasib reformasi yang diusung oleh bangsa Indonesia sejak tumbangnya rezim Soeharto 1998. Adanya pos baru eksekutif dalam kementerian di periode kedua kepimpinan SBY, yang kini duet dengan Boediono, akan berimpilikasi pada pembengkakan struktur organisasi. Pembengkakan struktur ini akan berakibat pada pembengkakan birokrasi yang ada di di dalam kementeriannya.

Bagaimana mungkin akan terjaga efisiensi di tubuh kementerian dengan jabatan eksekutif baru yang diperbanyak? Secara kasat mata dengan

(2)

hitung-hitungan akal sehat akan menghasilkan jawaban pembengkakan biaya. Jikapun digenjot kinerjanya, dalam waktu kepemimpinan SBY sudah separuh-waktu, apa yang dapat diharapkan?

Kesalahan ini akibat konsep reformasi di Indonesia hanya sebatas reformasi birokrasi (RB). Konsep birokrasi kita tahu hanya sebatas menteri ke bawah. Padahal sebetulnya dalam literatur yang benar adalah reformasi administrasi. Jadi langkah

reshuffle juga harus diperhitungkan dari sudut ukuran reformasi tersebut.

Langkah presiden mengangkat Wakil-menteri jelas berlawanan dengan ukuran reformasi administrasi. Dari sudut reformasi birokrasi-pun, kita terancam. Birokrasi kita bakalan membengkak. Jika Presiden hendak dinilai reformis, maka harus ada perubahan ke arah yang lebih baik. Kata kuncinya adalah output dan

outcome harus dievaluasi dan direspon terus oleh Presiden sendiri. Presiden jangan

lepas tangan dalam hal ini, langsung dari dirinya memantau 24 jam sehari bila perlu.

NASIB REFORMASI REPUBLIK INDONESIA: Bukan Sekedar Reformasi Birokrasi

’Reformasi birokrasi (RB)’ seolah menjadi kata-kata mujarab, menjadi kata-kata penuh kekuatan magic dalam dunia pemerntahan dewasa ini di Indonesia. Dapat dimaklumi karena selama ini yang menjadi sumber kemacetan kinerja negara kita dalam meraih berbagai tujuan pembangunan dan berbagai harapan masyarakat bertumpu pada mesin pemerintahan yang dikenal dengan ’birokrasi’.

Istilah pembenahan birokrasi, debirokratisasi, perampingan birokrasi dan lain-lain yang terkait dengan birokrasi sudah tidak lagi mampu menjadi tumpuan harapan penyelesaian persoalan yang menumpuk. Dan bangsa ini tertimpa demam ’reformasi’, jadilah perpaduan kata yang klop ’reformasi birokrasi’. Namun,

(3)

sesungguhnya di dalam konsep disiplin ilmu politik, disiplin ilmu administrasi dan ilmu hukum kata-kata reformasi dikenal dalam rangka lebih luas bukan sekedar menyangkut birokrasi tetapi ’administrasi’. Jadi dalam istilah ’reformasi’ berasal dari pembahasan mengenai ’reformasi administrasi’.

Dalam ilmu administrasi publik, pembenahan birokrasi telah lama dikaji dalam administrasi pembangunan. Administrasi pembangunan merupakan kesatuan dari dua aspek yang saling berhubungan dan saling memperkuat satu sama lain. Kedua aspek tersebut adalah pertama, manajemen pembangunan dan yang kedua bagaimana memperkuat dan memberdayakan administrasi publik. Pembenahan birokrasi ada di dalam aspek kedua yang keberadaannya saling berhubungan erat dengan aspek pertama. Aspek yang kedua ini oleh Caiden, disebutnya sebagai ’administrative reform’.

Dengan demikian, reformasi yang dijalankan di Indonesia tentu seharusnya bukan sekedar reformasi birokrasi saja. Birokrasi adalah alat, struktur yang diciptakan oleh eksekutif dalam rangak mewujdukan harapan bangsa. Tetapi pembenahan persoalan bangsa ini sudah menuntut perbaikan dalam skala yang lebih luas yakni yang menyangkut administrasi. Dalam refromasi administrasi perlu di-design secara mendasar sistem secara keseluruhan dalam organisasi negara kita agar dapat lebih efektif dan efisien (Caiden: 1991, Hulme dan Turner: 1985, AF. Leemans: 1970).

Gerald E. Caiden menjelaskan apa yang disebut sebagai reformasi: “the

artificial inducement of administrative transformation against resistance”. Reformasi

merupakan perubahan terencana (planned change) atau perubahan yang dipersiapkan secara sengaja/ diinginkan (intended change). Perubahan yang terencana menandakan adanya persiapan yang matang menyangkut sumberdaya,

(4)

sistem, dan instrumen dengan prasyaratnya adalah adanya visi, misi dan sasaran yang hendak tercapai secara terukur. Reformasi juga diakui Caiden ‘a never ending

process’.

Ali Farazmand (2002) meringkas adanya 3 model dalam melakukan reformasi dari asal muasalnya, yakni top down model, bottom-up model dan institutional

model. Dari cara melakukan reformasi, AF Leemans (1970) menyatakan dapat

dilakukan dengan cara menyeluruh (overhaul) atau hanya pada bidang tertentu diikuti bidang-bidang lainnya secara bertahap (piecemeal strategies). Pada cara

overhaul dilakukan perbaikan di banyak bidang serba sedikit (tidak mendalam),

sedangkan piecemeal strategies dilakukan secara mendalam (shock therapy).

Hahn Been Lee (1991) menyatakan adanya 3 dimensi sebuah negara bangsa bekerja: (1) dimensi teknis; (2) dimensi Programatis; dan (3) dimensi politis. Dimensi teknis berkisar pada urusan bangsa tersebut menyediakan basic infrastructure di berbagai bidang terkelola dengan baik, dimensi kedua merupakan perwujudan adanya manajemen perubahan dengan menggulirkan berbagai program dan proyek inovatif dimulai dengan perencanaan yang akurat, implementasi sampai dengan monitoring dan evaluasi secara tarus-menerus sehingga terdapat pembelajaran organisasi (organizational learning).

Sedangkan yang ketiga, lompatan-lompatan akibat dimensi kedua menimbulkan persoalan politik yang luas dalam sebuah bangsa sehingga perlu penataan kelembagaan politik yang memadai. Akibatnya, perlu adanya perubahan peran birokrasi dalam ranah politik yang lebih luas.

Bangsa yang mau, sedang dan berkomitmen berubah ke arah kemajuan harus menekankan dimensi programatis dan politis dengan syarat dimensi teknis telah kuat. Hahn Been Lee secara implisit meyakini kompetisi bangsa harus dimulai

(5)

dengan menyiapkan perubahan penekanan dari dimensi teknis ke dimensi lainnya. Birokrasi yang efisien dan efektif dalam peran baru tersebut menjadi kata kunci.

Berkompetisi artinya bergerak untuk menjadi yang unggul. Dalam paradigma sekarang unggul bukan berarti menjatuhkan lawan atau kompetitor. Justru kita unggul karena ada kompetitor yang bersahabat. Paradigma seperti ini menuntut perubahan terencana dari dalam bangsa tersebut agar unggul dengan berorientasi pada kemajuan bangsa lainnya, bisa dengan kolaborasi maupun kemandirian.

Reformasi politik bangsa Indonesia menghasilkan sistem presidensiil yang agak lemah yang bisa disebabkan oleh mekanisme pilpres secara langsung. Lemah karena punyusunan kabinet tidak dilakukan sendiri oleh pasangan pemenang pilpres melainkan melalui koalisi.

Koalisi terbentuk karena sistem banyak-partai yang tidak menghasilkan parlemen yang dapat dikuasai oleh partai tertentu secara dominan. Meskipun presiden/ wapres terpilih memiliki suara dominan, dalam praktek Indonesia terjadi koalisi agar kebijakan pasangan tersebut dapat diamankan di parlemen.

Efek reformasi politik Indonesia tersebut tidak diantisipasi dengan baik, malah sekarang sedang diperbaiki angka threshold. Sebetulnya yang terpenting adalah kedudukan atau hubungan antara eksekutif dan parlemen dalam sistem multi-partai dan sistem presidensiil yang dipertahankan seperti apa.

Akibat selanjutnya adalah hubungan kerja antara parlemen dan eksekutif terpasung oleh politik saling-sandera. Seterusnya beban esksekutif seolah-olah meningkat dalam matra-politik. Jadilah adanya kedudukan Wakil-menteri agar dapat mengamankan politik-internal atau politik-eksternal birokrasi.

Dalam keadaaan seperti ini, karena semata-mata kepentingan politik praktis birokrasi-eksekutif, perangkat hukum untuk kedudukan ini tidak disiapkan dengan

(6)

baik. Dari sisi hukum, Wakil-menteri tidak memiliki kekuasaan mengatur (regulation

power). Dalam peraturan-perundangan yang berlaku, tidak disebutkan sama sekali

kekuasaan mengatur ter-atribusi dan ter-delegasi ke wakil-Menteri, hanya ke beberapa pejabat dan salah satunya adalah Menteri sesuai hirarki yang ada. Sudah dapat disimpulkan bahwa Wakil-menteri adalah alat dari Menterinya. Dia membantu menteri dalam tugas-tugas sesuai bidangnya. Dalam praktek bisa sudah disiapkan oleh menterinya, dan bisa saja belum.

Kita tahu proses reshuffle di Indonesia dilakukan sendiri langsung oleh Presiden termasuk pengisian jabatan Wakil-menteri ini. Di mata bangsa Indonesia kedudukannya sangat prestisius bahkan di mata birokrasi kementeriannya termasuk oleh Menterinya. Namun, apakah sang Menteri dapat melakukan pembagian tugas kepada wakilnya tersebut? Efek diangkat oleh presiden secara langsung dan dilakukan semacam fit and proper test dari kediaman presiden secara langsung dapat berdampak kepada hubungan antara Menteri dan Wakil-menterinya, kecuali di bawah tangan ada mekanisme usulan dari Menterinya tersebut.

Dapat diprediksi gaya-kepemimpinan kedua orang, baik Menteri maupun Wakil-menterinya dapat berpengaruh terhadap baik kinerja masing-masing maupun kinerja kementeriannya secara keseluruhan. Gaya-kepemimpinan yang lembek dari sang-wakil, akan menghasilkan naiknya beban kementeriannya karena secara normatif kedudukan Wakil-menteri tidak memiliki kekuasaan yang berarti.

Sebaliknya, gaya-kepemimpinan yang kuat akan menghasilkan pisau bermata dua yang dapat merusak pula kinerja kementeriannya jika berbeda pendapat. Gaya yang kuat ini dimulai dengan inovasi usulan agar tanggungjawabnya diperbesar dengan pengaturan dari sang Menterinya. Begitu diperbesar, dapat saja berefek

(7)

positif ke arah perbaikan, tetapi sangat mungkin dapat merusak kinerja kementeriannya.

Sang wakil dapat merubah kebijakan yang sudah tersusun rapi, termasuk mengubah anggaran yang telah tersusun. Kemungkinan negatif ini harus diimbangi dengan gaya-kepemimpinan yang kuat dari Menterinya. Namun, akibat mekanisme

reshuffle yang lalu, dapat saja timbul persepsi bahwa kedudukan wakil-Menteri sama

prestisiusnya dengan Menterinya. Ini-lah yang menyulitkan dalam manejemen kementeriannya.

AGENDA REFORMASI ADMINISTRASI REPUBLIK INDONESIA

Bangsa Indonesia meyakini reformasi hanya merujuk pada persitiwa lengsernya Soeharto. Dalam keadaan seperti ini kita sesungguhnya menginginkan reformasi dengan top-down model walaupun diusung secara bottom-up. Artinya, perubahan pimpinan Pemerintahan adalah awal dari segala perubahan (top-down) dan pada saat itu sumber keinginan reform berasal dari berbagai elemen bangsa (bottom-up).

Tetapi juga yang terjadi adalah bahwa cara kita mereformasi pada saat itu tidak terlalu jelas. Sehingga yang terjadi setelah lengsernya Soeharto berbagai usul perubahan baik yang datang dari dalam komponen bangsa Indonesia maupun elemen internasional sulit dibendung. Bangsa Indonesia seperti tidak memiliki konsep perubahan.

Ketidak-jelasan mengusung reformasi pada 1998, membawa pilihan tidak sadar bangsa Indonesia pada ‘overhaul reform’. Kelemahannya, kita tidak dapat segera mengetahui kapan keberhasilan reformasi itu dicapai. Sehingga selalu berujung pada goncangan politik pucuk pimpinan yang menjadi pengendali pemerintahan. Ibarat turun mesin, jika kendaraan yang sudah overhaul tetap tidak

(8)

hidup mesinnya maka pemilik kendaraan akan mencari bengkel lain untuk membenahinya kembali, begitu terus.

Dalam kondisi overhaul reform, persoalan Soeharto adalah persoalan setitik dari sejumlah hal yang harus dilakukan. Dalam hal ini ‘kata cacat’ dalam reformasi adalah sebuah kekeliruan. Justru dalam reformasi, sistem perubahan terencana yang dibutuhkan.

Overhaul reform yang kita sedang jalani harus dilakukan secara kelembagaan

dan top-down dalam artian diperlukan seorang pemandu dan harus sistematis. Secara instrumental jelas harus dikaitkan dengan cara-cara bottom-up, tetapi toh terpulang pada pemandu tersebut untuk menyesuaikan semuanya berjalan seirama dan sinergis.

Pemandu tersebut tidak lain adalah Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Ibarat bengkel yang melakukan overhaul sebuah kendaraan, montirnya harus tahu persis segala hal yang terkait dengan mesin kendaraan tersebut. Overhaul reform dalam sebuah negara, menuntut dirunutnya satu per satu berbagai sub sistem organisasi negara bangsa yang berpengaruh, mulai dari sistem politik, sistem administrasi, sistem ekonomi, sampai sistem hukumnya. Dalam

overhaul sebuah kendaraan-pun, beberapa montir akan menunjuk seseorang

menempati posisi sebagai pemandu.

Reform politik yang sedang berjalan adalah upaya memperkuat demokrasi.

Instrumen pemilihan langsung Presiden dan sistem multi partai sampai perbaikan sistem konversi kebijakan publik menjadi indikator keberhasilan dalam reform politik. Semua pihak hendaknya berorientasi pada perbaikan sistem politik yang menghasilkan kebijakan berorientasi pada penyelesaian masalah.

(9)

Reform politik harus diikuti reform sistem administrasi. Ukuran

keberhasilannya adalah perbaikan secara terus menerus tugas dan wewernang lembaga negara, perbaikan hubungan pusat daerah, sampai pada pembenahan birokrasi. Dampak dari seluruh reform akan terlihat pada jalannya sistem ekonomi. Kita juga harus melakukan reform bidang ekonomi dengan mencari sistem yang tepat mendampingi keseluruhan reform tersebut di atas yang bukan berarti menomor-duakan sistem ekonomi. Keberlanjutan negara bangsa di antaranya tergantung dari kekuatan ekonomi. Oleh karena itu, seseungguhnya reform ekonomi harus berjalan beriringan dengan reform bidang lainnya.

Administrasi adalah jiwa dari organisasi. Untuk itu pembenahan kinerja Negara RI mustahil tanpa menjadikan administrasi Negara RI sebagai sasaran pembenahan. Kinerja ekonomi negara dan bidang-bidang lain memerlukan wadah yang harus meraih dan bekerja mensukseskan bidang-bidang substansial tersebut. Wadah tersebut tidak lain adalah organisasi Negara RI itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan strategi pembenahan administrasi negara kita.

Amandemen UUD 45 merupakan pembenahan organisasional administrasi negara RI. Tantangan yang besar bagi bangsa Indonesia adalah bahwa pembenahan makro yang amat strategis ini dilingkupi oleh suasana demokratisasi kehidupan bernegara di Bumi Nusantara ini. Kesulitan yang amat dasar adalah bagaimana menuangkan pemikiran visioner dan filosofis ini dapat sesuai bagi perjalanan bangsa ini ke depan dalam amandemen tersebut. Salah satu perubahan penting di dalamnya adalah pemantapan sistem Presidensiil kita dalam model Pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden RI oleh masyarakat warga Negara RI.

(10)

Hal penting lain adalah (1) Dibuatnya mekanisme semi-bicameral Majalis Permusyawaratan Rakyat; dan, (2) Munculnya Lembaga Mahkamah Konstitusi dan dihapusnya Dewan Pertimbangan Agung. Di luar komponen formal tersebut, sistem multi partai dengan tumbuhnya partai-partai politik yang menjamur juga menjadi unsur pemberi warna sistem organisasional administrasi Negara RI.

Inti dari pendekatan tersebut ada dalam roda pemerintahan yang dijalankan oleh Presiden sebagai Top Administrator Negara RI. Presiden kita yang dipilih langsung oleh masyarakat menjadi penentu bagaimana segala hal bergerak dan dimulai dalam organisasi administrasi Negara RI termasuk dalam pembenahan birokrasi RI.

Untuk memulainya, Eko Prasojo menyebutkan perlunya ’Grand Design’. Di dalam organisasi manapun pembenahan birokrasi tidak mungkin hadir dalam ruang hampa. Pembenahan birokrasi memerlukan persenayawaan dengan pembenahan bidang subtansial dalam organisasi tersebut. Nampaknya hal ini akan tergantung dari tipikal kepemimpinan SBY sebagai Presiden RI.

Bidang substansial organisasi manapun yang paling mendasar adalah ekonomi dismaping bidang-bidang lainnya. SBY harus menyadari bahwa secara makro Indonesia adalah negara Pertanian. Untuk itu, pembenahan birokrasi harus diintegrasikan dengan tujuan utama mengembangkan Negara RI memajukan sektor ekonominya yang berkarakter pertanian. Intinya, apapun sektor yang dikembangkan SBY terfokus kepada pertanian (sebagai leading sector). Pemilihan leading sector (LS) oleh SBY-JK membutuhkan sekelompok pemikir yang oleh Caiden menjadi prasyarat bagi keberhasilan reformasi yang disebutnya sebagai ’think-tank’.

Pengembangan LS memerlukan indikator capaian bahkan termasuk dimensi waktu yang diinginkan. Dari sini kemudian dikaitkan dengan birokrasi yang akan

(11)

mewujudkan arah capaian dari LS tersebut. Terdapat tiga pola integrasi dengan pembenahan birokrasi yang diharapkan di sini: Pertama, adalah pembenahan birokrasi yang terkait langung mendukung keberhasilan LS. Kedua, pembenahan birokrasi yang merupakan rangkaian tidak langsung mendukung LS. Ketiga, pembenahan birokrasi instrumental yang harus dituntaskan segera menyangkut pelayanan publik dasar.

STRATEGI REFORMASI DALAM OTONOMI DAERAH

Otonomi daerah dalam sebuah negara bangsa dapat digunakan sebagai salah satu strategi reformasi administrasi. Negara dapat semakin efektif meraih tujuan-tujuannya melalui penerapan otonomi daerah, terutama bagi negara dengan geografi luas, jumlah penduduk besar, dan amat heterogen serta kompleks masalahnya. Kini hampir semua negara di dunia ini, telah menerapkannya.

Fakta yang terjadi di Indonesia dalam soal tujuan ekonomi, nampak otonomi daerah justru seolah menjadi beban. Ekonomi biaya tinggi muncul akibat diterapkannya otonomi daerah. Hal ini sebetulnya amat tergantung dari visi di tingkat nasional terhadap penerapan otonomi daerah itu sendiri. Jika visinya kabur memang amat sulit menegakkan tujuan ekonomi bangsa di atas pelaksanaan otonomi daerah.

1. Market Based vs Resource Based

Leach et-al (1990) menuliskan bahwa reformasi penerapan otonomi daerah dalam hal disain strategi manajemen pemerintahan daerah sebuah bangsa terkait tujuan ekonominya dapat berbasis tiga model: (1) pengikut-mode, (2) konservatif; dan (3) seleketif. Model pengikut-mode menerapkan strategi “copy-paste” negara lain agar ekonomi bangsanya tidak tertinggal. Model ini amat riskan diacu jika kesiapan bangsa tersebut tidaklah memadai.

(12)

Model konservatif, sebaliknya sebuah bangsa lebih yakin akan apa yang sudah dilakukannya. Sulit sekali melihat keberhasilan dunia luar. Sedangkan model selektif, berdiri di antara kedua model strategi di atas. Model ini menganjurkan perubahan tetapi berdasarkan keriteria yang telah disepakati yang menjadi tolak ukur perubahan.

Huseini (2000) menawarkan strategi beradasarkan market dan strategi berasarkan risorsis. Strategi pertama, melihat peluang pasar dalam negeri maupun global untuk memperkuat otonomi daerah yang pada akhirnya memperkuat ekonomi nasional. Strategi kedua beradasarkan keunggulan yang dimiliki, atau dikenal dengan kompetensi inti masing-masing daerah otonom agar mampu menjadi basis pengembangan ekonomi daerah yang pada akhirnya mendorong ekonomi nasional.

Nampak kedua pendapat dapat dipadukan. Leach secara implisit menganggap bahwa yang terbaik adalah model selektif, sedangkan Huseini meskipun condong berdasarkan risorsis yang dikenal dengan strategi “Satu Kabupaten Satu Kompetensi Inti (SAKA SAKTI)”, namun orientasi pasar juga tetap menjadi acuan. Artinya dapat berupa campuran (mixed). Pada akhirnya untuk Indonesia sangat mungkin pola selektif dan mixed approach ini diacu untuk diterapkan.

2. Hirarki Pemerintahan

Beragamnya ekonomi daerah di Indonesia, menjadi keunggulan tersendiri. Pemerintah pusat harus mampu menciptakan sinergi ekonomi antar-daerah. Apa yang dipunyai daerah tertentu, secara ekonomi, umumnya tidak dipunyai daerah lainnya (content). Sehingga pemerintah harus berperan sebagai penghubung (conector). Pasar global adalah situasi lingkungan (context) yang harus dibaca pemerintah pusat dengan kritis pula.

(13)

Arti hirarki pemerintahan sampai ke daerah bukanlah menjadi ekonomi biaya tinggi namun sebagai respon atas situasi ekonomi yang berkembang. Sebagai contoh, kekurangan kedelai di daerah tertentu di Indonesia, harus mampu ditutupi oleh daerah yang surplus kedelai. Pemerintah pusat seyogyanya tidak begitu saja membuka impor --yang menguntungkan negara lain-- terlebih dahulu, melainkan penuhi terlebih dahulu dari kemampuan dalam negeri dari kekuatan ekonomi antar-daerah.

Hirarki pemerintahan adalah mekanisme pengambilan keputusan atas respon pasar domestik dan global. Disinilah letak otonomi daerah sebagai strategi dalam reformasi administrasi terkait tujuan ekonomi.

Selama ini, koordinasi pemerintah atas daerah-daerah lebih banyak disibukkan oleh hal-hal administratif dan amat legal approach. Disibukkan oleh kasus-kasus korupsi yang amat menyulitkan pergerakkan pengembangan kelembagaan pemerintahan atas tuntutan ekonomi domestik dan global. Daerah tidak mampu meletakkan visi kemajuan dalam konteks ekonomi nasional yang kuat. Pemerintah pusat lebih memilih status-quo atas potret kelembagaan pemerintahan daerah (inward-looking).

Pemerintah pusat dalam hal ini kementerian dalam negeri memandang daerah harus memenuhi standard-standard birokrasinya. Sementara sektoral tidak kalah pula, memandang daerah otonom harus mau dijadikan alat untuk menyalurkan kepentingan proyek-proyeknya tetap eksis di daerah.

Di dalam daerah sendiri, elite lokal lebih memiliki peran penting meskipun umumnya masih untuk kepentingan kelompoknya. Amat jarang ditemui bervisi kelembagaan. Paling jauh bervisi lokalitas, tidak menyentuh kepentingan nasional. Hal ini dapat pula merupakan imbas dari perilaku pusat yang kurang

(14)

menguntungkan. Perilaku elite nasional seringkali mudah terbaca dengan mata telanjang, lebih mementingkan kelompok dan golongannya.

Sudah saatnya bangsa Indonesia disadarkan oleh ketertinggalannya dengan negara lain. Sudah saatnya juga bahwa ketertinggalan tersebut dapat diatasi dengan persatuan antar-daerah yang mengaras-utamakan kesejahteraan bangsa. Reformasi kelembagaan daerah harus didorong sekuat tenaga menjadikan hirarki pemerintahan sebagai kendaraan memudahkan pergerakan ekonomi Indonesia menuju kemajuan dan keunggulan bangsa.

Pemerintah pusat dan daerah harus sinergi memanfaatkan kekuatan koneksitas kelembagaan dengan orientasi kemajuan ekonomi daerah dan nasional. Elite nasional harus menjadi contoh dan mampu menjadi saluran kepentingan ekonomi daerah, bukan kepentingan kelompok dan golongannya. Sehingga elite daerah mampu mengikutinya dengan baik. Semoga berhasil.

Daftar Pustaka

Andrews, Collins, Mac dan Amal, Ichlasul. Hubungan Pusat-Daerah dalam Pembangunan. Rajawali-Press. 1988

Almons, D. Municipal Benchmark. Sage Publication. London. 1999

Branch, Melville C,. Comprehensive City Planning: Introduction and Explanation.. American Planning Association, USA, 1985

Caiden, Gerald E,. Administrative Reform. Transaction Publisher. 1970. Carino, Ledvina V,. Bureaucracy For Democracy. ICEG. Philippines: 1992. Chandler, JA,. Comparative Public Administration. Routledge. New York: 2000

Cheema, G Shabbir, and Rondinelli, Denis A,. Decentralization and Development. Sage Publication. London: 1983.

Clarke, Michael and Stewart, John. The Choices for Local Government; fro The 1990’s and Beyond, Longmann UK,. 1991

Conyers, Diana. Regional Administration and Regional Planning: A Plea for Integration. University of Nottingham, The Hague. 1983

(15)

Devas, Nick. et.al.. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1989.

Esman , Milton, J,. CAG and the Study of Public Administration dalam Frontiers of Development Administration. Edited by Riggs, Fred, W,. North Carolina. Duke University Press: 1970. ___________,. The State, Government Bureaucracies, and Their Alternatives. in Ali Farazmand (ed),

Handbook of Comparative and Development Public Administration, Marcel Dekker Inc., New York: 1990.

Farazmand, Ali,. Bureaucracy, Agrarian Reforms, and Regime Enhancement: The Case of Iran., dalam Farazmand, Ali,. Handbook of Comparative and Development Public Administration. Marcel Dekker: 1991. USA,

Fesler, James W,. Area and Administration. Univ. Alabama Press. Alabama:1949

______________. The Political Role of Field Administration. Yale University Research Project. Papers. New York (Tahun tak diketahui).

Friedmann, John and Weaver, Clyde. Territory and Function. Edward Arnold Ltd,. London. 1979. Hahn Been Lee,. Systematization of Knowledge on Public Administration: The Perspective of

Development Administration dalam A Dragon’s Progress: Development Administration in Korea,. Editor Gerald E. Caiden. Kumarian Press. USA: 1991.

Heaphey, James A, (editor). Spatial Dimensions of Development Administration. Duke Univ. Press. North Carolina:1971

Hoessein, Bhenyamin (1999). Makalah yang disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya “Optimalisasi Pengelolaan Perkotaan di Era Otonomi Daerah” yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia tanggal 8 Oktober 2003 di Auditorium Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia Kampus Depok

__________________(2002). ‘Otonomi di Jakarta: Tinjauan Kemungkinan Penyempurnaan UU No. 34 Tahun 1999’. Jurnal Swatantra. Universitas Muhamadiyah Jakarta.

Humes IV, Samuel. Local Governance and National Power. Havester/Wheatsheaf. New-York: 1991. Huesini, Martani., Otonomi Daerah, Integrasi Bangsa, dan Daya Saing Nasional: Saka-Sakti, Suatu

Model Alternatif pemberdayaan Ekonomi Daerah (orasi Ilmiah Wisuda XIX STIA LAN Bandung, tanggal 29 April 2000

Ilhami. Strategi Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Usaha Nasional. Surabaya. 1990

Leach, Steve., Stewart, John., and Walsh, Kieron,. The Changing Organization and Management of Local Government. London. Mac Millan:1994

Leach, Steve. Howard Davis, and Associate. Enabling or Diabling Local Government. Open University Press. Buckingham. 1996

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat pengaruh Progresive Muscle Relaxation (PMR) dan terapi dzikir dengan pendekatan caring terhadap penurunan kecemasan pada

Peran kelompok tani hutan tidak berkorelasi dengan pengetahuan, sikap dan tindakan Nelayan Suku Bajo dalam pemanfaatan dan pelestarian hutan mangrove, hal ini dapat

(2) Dokumen pertanggungjawaban biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: SPPD, bukti tanda terima pembayaran lumpsum oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil dan

Pengadaan bahan baku, jika melihat kinerja penjamin mutu, merupakan tanggung jawab dari quality control, yaitu pada bagian produksi. Baik atau buruknya bahan baku

Ciri khas berikut yang menjadi penanda struktur iklan kecik adalah berupa pengekalan dua huruf pertama pada kata, seperti contoh berikut:.. (2) Hi Wnt2,YgSndr Yg g

Untuk angka yang lebih dari lima dibulatkan ke atas dan bila kurang dari lima dibulatkan ke bawah.. Bila angka yang mau dibulatkan sama dengan 5, maka harus diperhatikan

Gambar diatas merupakan tampilan menu input Master data Gangguan yang terdapat beberapa kolom isian yang harus dilengkapi, kolom-kolom tersebut harus diisi oleh data

Total arus yang memasuki suatu titik percabangan pada rangkain listrik sama dengan total arus yang keluar dari titik percabangan