• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKTIVITAS PERTANAMAN JAGUNG DI LAHAN PASANG SURUT KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRODUKTIVITAS PERTANAMAN JAGUNG DI LAHAN PASANG SURUT KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

225

PRODUKTIVITAS PERTANAMANJAGUNGDILAHANPASANGSURUT

KABUPATENTANJUNGJABUNGBARATPROVINSIJAMBI

Jumakir dan Endrizal

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi

Abstrak. Lahan pasang surut di Desa Bram Itam Kanan Kecamatan Betara Kabupaten Tanjung Jabung Barat, tanaman jagung merupakan komoditas yang diusahakan sebagai tanaman campuran dan salah satu komoditas penunjang dalam kegiatan usahatani. Potensi tanaman jagung di lahan pasang surut cukup baik dan sebagai sumber pendapatan petani, namun rata-rata produktivitasnya rendah 2,21 t/ha. Rendahnya produktivitas tanaman jagung disebabkan karena masih menggunakan benih lokal atau tidak bermutu, tanpa pemupukan, tanpa penambahan bahan amelioran. Rendahnya produksi jagung mempengaruhi kontribusi pendapatan petani. Hal ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan produksi pertanaman jagung perlu diperbaiki teknis budidaya melalui pendekatan PTT meliputi penggunaan benih bermutu, varietas unggul, pemupukan sesuai anjuran dan dolomit.

Kata kunci : Jagung, produktivitas dan masalah, lahan pasang surut.

PENDAHULUAN

Pembangunan pertanian diutamakan untuk meningkatkan produksi pertanian terutama bahan pangan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hal ini dapat dilakukan dengan intensifikasi dan ekstensifikasi. Dalam usaha memperluas areal pertanian di Indonesia terdapat beberapa jenis lahan yang akan dimanfaatkan salah satunya adalah lahan pasang surut.

Lahan pasang surut merupakan lahan marjinal yang memegang peranan penting dalam pengembangan pertanian tidak hanya untuk menyangga produksi pangan nasional tapi juga memberikan peluang bagi diversifikasi pertumbuhan industri pedesaan, peningkatan pendapatan dan pengembangan wilayah (Manwan et al. 1992). Pemanfaatan lahan rawa pasang surut menjadi lahan pertanian sesunguhnya telah lama dimulai oleh petani Bugis dan Banjar jauh sebelum PU mereklamasi lahan rawa pasang surut dalam skala besar. Banyak diantara lahan tersebut yang direklamasi telah menjadi lahan pertanian dan pemukiman yang berhasil, tetapi ada pula yang belum berhasil menjadikannya sebagai daerah pertanian yang berkelanjutan (Sinukaban 1999).

Provinsi Jambi diperkirakan memiliki lahan rawa seluas 684.000 ha. Dari luasan tersebut berpotensi untuk pengembangan pertanian 246.481 ha terdiri dari lahan lahan rawa pasang surut 206.832 ha dan lahan non pasang surut seluas 40.521 ha (Bappeda, 2000). Lahan pasang surut di Provinsi Jambi sebagian besar terdapat di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur.

Lahan pasang surut Provinsi Jambi telah lama diusahakan oleh penduduk lokal maupun penduduk transmigrasi. Tanaman yang berkembang pesat diusahakan petani selain padi adalah palawija (jagung dan kedelai). Hasil penelitian Ismail et al. (1995) menunjukkan bahwa lahan rawa pasang surut cukup potensial untuk usaha pertanian baik untuk tanaman pangan, perkebunan, hortikultura maupun usaha peternakan. Ke depan lahan rawa ini menjadi sangat strategis dan penting bagi pengembangan pertanian sekaligus mendukung ketahanan pangan dan usaha agribisnis (Alihamsyah 2003).

Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas tanaman pangan penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kebutuhan jagung nasional terus meningkat, terutama

(2)

226

untuk pakan dan industri. Untuk pakan permintaan jagung sudah mencapai lebih dari 50 % kebutuhan nasional. Hal ini menuntut perlunya upaya peningkatan produksi secara berkelanjutan (Deptan 2009). Di lahan pasang surut, khusunya di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kecamatan Betara, Desa Bram Itam Kanan, tanaman jagung merupakan komoditas yang diusahakan sebagai tanaman campuran dan salah satu komoditas penunjang dalam kegiatan usahatani. Luas pertanaman jagung di Kabupaten Tanjung Jabung Barat 922 ha sedangkan di Kecamatan Betara 162 ha (BP4K Kabupaten Tanjabbar 2010). Pertanaman jagung di lahan pasang surut diusahakan petani diberbagai tipologi lahan diantaranya lahan potensial, sulfat masam dan bergambut. Teknologi budidaya tanaman jagung yang dilakukan petani belum berdasarkan budidaya sesuai anjuran dan pemupukan tidak sesuai rekomendasi serta tanpa penambahan bahan amelioran. Usaha peningkatan produksi tanaman tidak akan mampu meningkatkan pendapatan petani apabila tidak dibarengi perbaikan teknologinya. Keadaan ini tentunya memerlukan dukungan teknologi spesifik lokasi (Lopulisa dan Ala 1998). Selanjutnya Adnyana et al. (1993) dan Adnyana (2002) bahwa penerapan teknologi sesuai dengan kondisi biofisik dan sosial ekonomi, tidak merusak lingkungan dan dapat dimanfaatkan oleh produsen dalam meningkatkan nilai tambah. Untuk itu perlu pemahaman permasalahan ditingkat petani sehingga memudahkan dalam merakit teknologi dan proses adopsi teknologi tersebut dapat berlangsung lebih mudah. Pengkajian ini bertujuan melihat produktivitas dan masalah pertanaman jagung di lahan pasang surut Desa Bram Itam Kanan Kecamatan Betara Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi.

KARAKTERISIK LAHAN PASANG SURUT

Lahan rawa umumnya dinilai sebagai ekosistem yang marjinal dan rapuh, namun lahan tersebut memiliki potensi untuk dimanfaatkan bagi pengembangan komoditas tanaman pangan, perkebunan dan perikanan. Menurut Widjaya Adhi et al. (1992) bahwa lahan rawa dibedakan berdasarkan sampainya pengaruh air pasang surut di musim hujan dan pengaruh air laut di musim kemarau, terbagi atas tiga zone yaitu : (1) pasang surut payau/salin (zone I), (2) pasang surut air tawar (zone II) dan (3) non pasang surut/lebak (zone III). Selanjutnya Djafar (1992) mengatakan bahwa lahan pasang surut adalah daerah rawa yang dalam proses pembentukannya dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut, terletak dibagian muara sungai atau sepanjang pantai. Lahan lebak adalah daerah rawa yang dalam proses pembentukannya tidak dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut, namun dipengaruhi oleh banjir air sungai atau genangan air hujan yang terlambat ke luar terletak dibagian tengah dan hulu sungai.

Lahan pasang surut berdasarkan agroekosistem dapat dibedakan ke dalam 4 tipologi utama yaitu lahan potensial, lahan sulfat masam, lahan gambut dan lahan salin. (1) Lahan potensial adalah lahan yang lapisan atasnya 0-50 cm, mempunyai kadar pirit rendah 2 persen dan belum mengalami proses oksidasi. (2) Lahan sulfat masam adalah lahan yang mempunyai lapisan pirit atau sulfidik pada kedalaman < 50 cm dan semua tanah yang memiliki lapisan sulfirik, walaupun kedalaman lapisan piritnya > 50 cm. Lapisan pirit atau lapisan sulfidik adalah lapisan tanah yang kadar piritnya > 2 persen. Horison sulfirik adalah lapisan yang menunjukkan adanya jerosite (brown layer) atau proses oksidasi pirit pH (H2O) < 3,5. Lahan sulfat masam dibedakan dalam (i) lahan

sulfat masam aktual dan (ii) lahan sulfat masam potensial yang tidak atau belum mengalami proses oksidasi pirit. (3) Lahan gambut adalah lahan rawa yang mempunyai lapisan gambut dan digolongkan berdasarkan ketebalan gambut yaitu gambut dangkal (ketebalan 50-100 cm), gambut sedang (ketebalan 100-200 cm), gambut dalam (200-300 cm) dan gambut sangat dalam (> 300 cm). Muktamar dan Adiprasetyo (1993)

(3)

227

mengatakan bahwa lahan gambut mempuntai prospek yang besar untuk budidaya tanaman. Untuk budidaya kelapa dan kelapa sawit dapat dilakukan pada gambut sedang dan dalam. (4) Lahan salin adalah lahan yang mendapat pengaruh air asin, apabila mendapat pengaruh air laut/asin lebih dari 4 bulan dalam setahun dan kandungan Na dalam larutan tanah 8 persen sampai 15 persen.

Lahan pasang surut berdasarkan hidrotopografi dibedakan menjadi empat tipe yang membutuhkan manajemen yang berbeda. Tipe A merupakan daerah rawa yang selalu terluapai air pasang besar maupun pasang kecil. Tipe B adalah lahan yang hanya terluapi oleh pasang besar. Tipe C merupakan lahan yang tidak terluapi air pasang, baik pasang besar maupun pasang kecil tetapi kedalaman air tanah kurang dari 50 cm dari permukaan tanah. Tipe D adalah lahan tidak terluapi air pasang baik pasang besar maupun pasang kecil tetapi kedalaman air tanah lebih dari 50 cm dari permukaan tanah.

Penataan lahan dan sistem tata air merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pengembangan pertanian dilahan pasang surut dalam kaitannya dengan optimalisasi pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya lahan. Lahan pasang surut dapat ditata sebagai sawah, tegalan dan surjan disesuaikan dengan tipe luapan air dan tipologi lahan serta tujuan pemanfaatannya (Tabel 1). Sistem tata air yang yang teruji baik dilahan pasang surut adalah sistem aliran satu arah (one way flow system) dan sistem tabat (dam overflow). Penetapan sistem tata air disesuaikan dengan tipologi lahan dan tipe luapan air serta komoditas yang diusahakan. Pada lahan tipe luapan air A dengan sistem aliran satu arah, sedangkan tipe luapan air B diatur dengan sistem satu arah dan tabat. Tipe luapan air C dan D dengan sistem tabat dengan pintu stoplog. dengan pembuatan saluran, pintu air dan tanggul.

Tabel 1. Acuan penataan lahan masing-masing tipologi lahan dan tipe luapan air di lahan pasang surut.

Tipologi Lahan Tipe luapan air

A B C D

Potensial Sawah Sawah/

surjan

Sawah/surjan/ tegalan

Sawah/tegalan/ kebun

Sulfat masam Sawah Sawah/ surjan

Sawah/surjan/ tegalan

Sawah/tegalan/ kebun

Bergambut Sawah Sawah/ surjan Sawah/tegalan Sawah/tegalan/ kebun Gambut dangkal Sawah Sawah/ surjan Sawah/tegalan Tegalan/kebun Gambut sedang - konservasi Tegalan/

perkebunan

Perkebunan Gambut dalam - Konservasi Tegalan/

perkebunan Perkebunan Salin Sawah/ tambak Sawah/ tambak - - Sumber : Widjaya Adhi (1995) dan Alihamsyah et al. (2003)

(4)

228

KARAKTERISTIK WILAYAH

Kabupaten Tanjung Jabung Barat merupakan kabupaten yang terbentuk dari pemekaran Kabupaten Tanjung Jabung menjadi wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Luas wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat adalah 5.503,5 km2 dengan ibu kota yang berkedudukan di Kuala Tungkal (BPS 2008). Kabupaten Tanjung Jabung Barat terletak antara 0053’ – 01041’ Lintang Selatan dan antara 103023’ – 104021’’ Bujur Timur. Beriklim tropis, dan memiliki ketinggian yang bervariasi 0-25 m dpl (44,8 %), 25-500 m dpl (52,8 %), dan > 500 m dpl (2,4 %). Usahatani yang ada di Kabupaten Tanjung Jabung Barat terdiri dari tanaman pangan, tanaman perkebunan dan peternakan. Tanaman pangan yang dominan di wilayah ini adalah padi sawah (13.902 Ha), padi ladang (1.427 Ha) dan jagung (427 Ha).

Desa Bram Itam Kanan merupakan salah satu desa di Kecamatan Betara Kabupaten Tanjung Jabung Barat, memiliki luas wilayah 25.900 ha (daratan 20.000 ha, dan sawah pasang surut 5.900 ha). Luas pertanaman jagung ada sekitar 150 ha yang diusahakan sebagai tanaman campuran (Monografi desa 2009).

Desa ini sebelah utara berbatasan dengan Desa Tanjung Sijulang, sebelah selatan Desa Purwodadi, sebelah Timur dengan Desa Bram Itam Kiri dan sebelah Barat dengan Desa Parit Pudin. Jarak ke ibu kota kecamatan adalah 5 km dengan lama tempuh 10-15 menit perjalanan, dapat ditempuh dengan kendaraan umum atau sepeda motor atau jalan air. Jarak ke ibu kota kabupaten adalah 20 km dengan lama tempuh 10-20 menit, perjalanan dapat ditempuh dengan kendaraan umum atau sepeda motor atau jalan air. Desa Bram Itam Kanan dengan topografi datar terletak pada ketinggian 2,5 m dari permukaan laut. Keadaan tanah di Desa Betara termasuk tipologi lahan sulfat masam dan bergambut yang dipengaruhi oleh masuknya air asin pada bulan Juli sampai September, mempunyai pH antara 4 – 5. Usahatani dominan di desa ini adalah tanaman perkebunan sekitar 60 persen dan tanaman pangan 40 persen. Tanaman perkebunan yang dominan diusahakan petani adalah kelapa dalam, sedangkan tanaman pangannya padi dan palawija diantaranya jagung.

PRODUKTIVITASDANMASALAH

Lahan rawa pasang surut termasuk lahan marginal namun potensinya cukup menjanjikan sebagai daerah pertanian yang produktif seperti tanaman Jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2005) telah menghasilkan teknologi untuk pengelolaan lahan rawa pasang surut dan teknologi budidaya jagung. Namun dalam pelaksanaanya masih ada kendala yang harus dihadapi berupa agrofisik, biologis dan sosial ekonomi, sehingga pengembangannya memerlukan perencanaan, penanganan dan pengelolaan yang cermat (Alihamsyah 2003). Produktivitas tanaman jagung masih rendah yaitu 2,21 t/ha (Tabel 2), namun potensi tanaman jagung di lahan pasang surut cukup baik dan sebagai sumber pendapatan petani. Di tingkat petani harga jagung Rp 2.500/kg pipilan kering dengan pemasaran 80 persen pasar lokal dan 20 persen pasar luar. Rantai pemasarannya adalah Petani-pengumpul-pengecer-konsumen. Permasalahan pertanaman jagung di Desa Bram Itam Kanan diantaranya (1) sebagian masih menggunakan benih lokal; (2) tidak melakukan pemupukan sesuai teknologi anjuran dan tanpa penambahan ameliorant; (3) hama : burung (setelah tanam umur 7-10 hari) dan babi (menjelang panen). Sedangkan menurut Alihamsyah (2003) bahwa pertumbuhan tanaman di lahan pasang surut menghadapi berbagai kendala seperti kemasaman tanah, keracunan dan defisiensi hara, salinitas, serta air yang sering tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman. Oleh karena itu, peluang peningkatan produksi jagung masih dapat ditingkatkan dengan cara mengikuti teknologi yang dianjurkan.

(5)

229

Tabel 2. Luas tanam, luas panen, produktivitas dan produksi tanaman jagung Kecamatan

Betara Kabupaten Tanjung Jabung Barat tahun 2008-2009

Jagung Kecamatan Betara Kabupaten Tanjabbar

2008 2009 2008 2009

Luas tanam (ha) 162 144 802 922

Luas panen (ha) 135 130 684 755

Produkivitas (t/ha) 2,15 2,21 2,17 2,18

Produksi (ton) 290 286,91 1.484 1.642,15

Sumber : BP4K Kabupaten Tanjabbar (2010)

Upaya untuk meningkatkan produktivitas jagung melalui penerapan teknologi dengan pendekatan pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT). Komponen teknologi PTT jagung adalah komponen teknologi dasar meliputi (1) varietas unggul baru, hibrida atau komposit, (2) benih bermutu dan berlabel, (3) populasi 66.000 - 75.000 tanaman/ha dan pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman serta penambahan bahan amelioran seperti dolomit. Sedangkan komponen teknologi pilihan meliputi (1) penyiapan lahan, (2) pembuatan saluran drainase, (3) pemberian bahan organik, (4) pembumbunan, (5) pengendalian gulma, (6) pengendalian hama dan penyakit dan (7) panen dan pasca panen (Deptan 2009). Selanjutnya Abdurachman (2005), menyatakan bahwa dalam upaya peningkatan produktivitas lahan dan kesejahteraan petani perlu teknologi tepat guna dalam perbaikan pengelolaan usahatani, melalui tindakan konservasi tanah dan air. Strategi di tingkat petani secara luas dapat dilakukan melalui pengembangan agribisnis berorientasi pasar, meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil pertanian secara optimal (Badan Litbang Pertanian 2005).

Tabel 3. Masalah dan pemecahannya pertanaman jagung di desa Bram Itam Kanan Kecamatan Betara Kabupaten Tanjung Jabung Barat-Jambi

Masalah Sumber Masalah

Akar Masalah Pemecahan Masalah Produktivitas rendah Teknologi kurang intensif 1.Pengetahuan dan ketrampilan rendah Pembinaan ditingkatkan melalui pendekatan kelompok tani dan sekolah lapang 2.Ketersediaan

saprodi terbatas

1. Peningkatan dinamika kelompok tani

2. Kemitraan kelompok tani dengan lembaga penyedia saprodi

3. Modal terbatas Inovasi kelembagaan modal 4.Penerapan

inovasi teknologi kurang

Pembinaan ditingkatkan dan introduksi inovasi teknologi

Pengusahaan tanaman jagung di Desa Bram Itam Kanan mempunyai berbagai permasalahan (Tabel 3), antara lain penerapan inovasi teknologi kurang, pengetahuan dan ketrampilan rendah, ketersediaan saprodi terbatas, dan modal terbatas. Menurut Bahrein (2008), bahwa penerapan inovasi teknologi untuk komoditas jagung merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam pengembangan sistem agribisnis jagung. Dengan

(6)

230

penerapan inovasi teknologi tepat guna spesifik lokasi diharapkan dapat dicapai peningkatan produksi, produktivitas, efisiensi dan mutu produk yang selanjutnya akan membawa peningkatan nilai tambah agribisnis bagi kesejahteraan petani. Menurut Siregar (1999) bahwa kondisi sosial ekonomi petani sangat berpengaruh terhadap adopsi teknologi budidaya tanaman. Selanjutnya Santoso et al. (2003) bahwa agar adopsi teknologi budidaya tanaman dapat berlanjut, perlu adanya bantuan modal berupa kredit sehingga petani dapat menambah pembelian pupuk terutama P dan K serta dorongan pemerintah daerah. Adopsi teknologi merupakan suatu proses mental dan perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan petani sejak mengenal sampai memutuskan untuk menerapkannya (Taryoto 1996)

KESIMPULAN

• Tanaman jagung di Desa Bram Itam Kanan diusahakan sebagai tanaman campuran dan salah satu komoditas penunjang dalam kegiatan usahatani.

• Potensi tanaman jagung di lahan pasang surut cukup baik dan sebagai sumber pendapatan petani, namun rata-rata produktivitasnya rendah yaitu 2,21 t/ha.

• Rendahnya produktivitas tanaman jagung disebabkan petani masih menggunakan varietas lokal/benih unggul bermutu, tidak dilakukan pemupukan sesuai anjuran, dan tanpa penambahan bahan. Pendekatan PTT, diantaranya penggunaan varietas unggul, benih bermutu/berlabel, pemberian pupuk dan dolomite dianjurkan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman , A. 2005. Rangkuman bahasan lahan kering di Indonesia. Teknologi Pengelolaan lahan kering menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor

Adnyana, M. 2002. Konsep dan pengkajian sistem usahatani (SUT) dan sistem usahatani pertanian (SUP). Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian. BPTP Jawa Timur. 5(1) : 1-16

Adnyana, M., M.Syam dan I.Manwan. 1993. Percepatan proses adopsi teknologi. Dalam M Syam, Hermanto, H Kasim dan Sunihardi. Kinerja PenelitianTanaman Pangan. Bogor I.

Alihamsyah, T. 2003. Hasil penelitian pertanian pada lahan pasang surut. Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi Jambi, 18-19 Desember 2003. BPTP Jambi dan Bappeda. Jambi

Alihamsyah, T, D Nazeim, Mukhlis, I Khairullah, HD Noor, M Sarwani, Sutikno, Y Rina, FN Saleh dan S Abdussamad. 2003. Empat puluh tahun Balittra; Perkembangan dan Program Penelitian Ke Depan. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. Badan Litbang Pertanian. Banjarbaru

Badan Litbang Pertanian. 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan pertanian. Jakarta

Bahrein, S. 2008. Pengkajian pengembangan model agribisnis jagung pada lahan kering di Kabupaten Ciamis. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.Vol 11 Nomor 1, Maret 2008.

Bappeda. 2000. Potensi, prospek dan pengembangan usahatani lahan pasang surut. Dalam Seminar Penelitian dan Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut. Kuala Tungkal, 27-28 Maret 2000. ISDP. Jambi

BP4K. 2010. Programa penyuluhan pertanian perikanan dan kehutanan Kabupaten Tanjung Jabung Barat. BPS Kabupaten Tanjung Jabung Barat

BPS. 2008. Tanjung Jabung Barat dalam angka. Bappeda dan BPS Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Provinsi Jambi

Deptan. 2009. Pedoman umum PTT Jagung. Depatemen Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Jakarta

(7)

231

Djafar ZR. 1992. Potensi lahan rawa lebak untuk pencapaian dan pelestarian swasembada pangan. Makalah Seminar Nasional Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa untuk Pencapaian dan Pelestarian Swasembada Pangan. UNSRI Palembang.

Ismail IG, T Alihamsyah, IPG Widjaja Adhi, Suwarno, T Herawati, R Taher dan DE Sianturi. 1993. Sewindu penelitian pertanian di lahan rawa (1985-1993) Kontribusi dan prospek pengembangan. Swamps II. Badan Litbang Pertanian. Jakarta

Lopulisa C dan A Ala. 1998. Klasifikasi tipologi sumberdaya lahan menuju penerapan teknologi spesifik lokasi untuk pengembangan hortikultura. Dalam Prosiding Seminar Hortikultura kerjasama Faperta Universitas Hasanuddin dengan IPPP Janeponto

Manwan I, IG Ismail, T Alihamsyah dan S Hardjono. 1992. Teknologi untuk pengembangan pertanian lahan rawa pasang surut. Dalam Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Cisarua 3-4 Maret. Puslitbangtan. Bogor Muktamar Z dan T Adiprasetyo. 1993. Studi potensi lahan gambut di Provinsi Bengkulu untuk

tanaman semusim. Prosiding Seminar Nasional Gambut II.

Santoso, P., A. Suryadi, H. Subagiyo dan Yuniarti. 2003. Kajian Adopsi Paket Teknologi Sistem Usaha Pertanian Kedelai di Jawa Timur. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 6 (1): 50-63.

Sinukaban N. 1999. Pembangunan pertanian berkelanjutan di lahan rawa. Lokakarya Nasional Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Lahan rawa, 23-26 Nopember 1999. Jakarta

Siregar M. 1999. Pembinaan Sistem Perbenihan Terpadu; kasus komoditas kedelai. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Bogor

Taryoto, AH. 1996. Telaah, Teoritik dan Empirik Difusi Inovasi Pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor

Widjaja Adhi IPG. 1995. Pengelolaan tanah dan air dalam pengembangan sumber daya lahan rawa untuk usahatani berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Karang Agung. Palembang. Widjaya Adhi IPG, K Nugroho, D Ardi dan AS Karama. 1992. Sumber daya lahan rawa : Potensi,

keterbatasan dan pemanfaatan. Prosiding: Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak.

Gambar

Tabel 1. Acuan penataan lahan masing-masing tipologi lahan dan tipe luapan air di lahan  pasang surut
Tabel 3.   Masalah  dan  pemecahannya pertanaman jagung di desa Bram Itam Kanan  Kecamatan Betara Kabupaten Tanjung Jabung Barat-Jambi

Referensi

Dokumen terkait

1 1 10 18 Pendidikan dan pelatihan keterampilan Jumlah peserta pencari kerja yang Tamansari 20 orang 79,078,000 APBD II Prioritas 40 orang 160,000,000. bagi pencari

Pada kasus MFR dari PWR standar dengan MFR 2 serta reaktor CANDU dengan MFR bernilai 20, kondisi breeding untuk pendingin air berat sistem bahan bakar Th- 233 U didapatkan

adanya perubahan dari komposisi komunitas, populasi dan aktivitas mikroba tanah. Vegetasi tumbuhan merupakan faktor penting sebagai penentu jenis tanah, sifat,

PUTS ini telah diuji dengan menggunakan contoh tanah mineral dari lahan sawah yang mempunyai sifat dan karakteristik kandungan P dan K serta pH tanah yang

Apabila perusahaan memperoleh keuntungan neto dari operasinya berarti ada tambahan dana bagi perusahaan yang bersangkutan. Kas merupakan uang tunai yang dapat digunakan

memanfaatkan momentum “keunggulan pada kesempatan pertama untuk memulai” dengan mencoba mengembangkan kegiatan pertambakan udang di kawasan hutan mangrove di sekitar Delta