• Tidak ada hasil yang ditemukan

III METODE PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "III METODE PENELITIAN"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

III METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama satu tahun, dari bulan Januari 2010 sampai Desember 2010 di perairan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Sumatera Utara. Penentuan stasiun penelitian ditetapkan dengan melakukan pengklasifikasian wilayah berdasarkan zona alami dan zona pemanfaatan (permukiman, pertambakan dan pertanian), serta karakteristik khusus yang terdapat pada setiap stasiun mulai dari kawasan estuari hingga perairan pantai (Gambar 5). Ditetapkan 6 stasiun dengan kriteria: Stasiun 1 berada di Paluh Kebun Sayur yang berdekatan dengan permukiman penduduk dan lahan pertanian, umumnya vegetasi mangrove yang mendominasi adalah jenis Nypa fruticans; Stasiun 2 berada di Paluh Ibus dan dijumpai lokasi pertambakan, umumnya vegetasi mangrove yang mendominasi adalah jenis Bruguiera gymnorrhiza; Stasiun 3 berada di Paluh Lenggadai dan vegetasi mangrove yang mendominasi adalah jenis B. parviflora; Stasiun 4 berada di Paluh Tambi dan dijumpai lokasi pertambakan, umumnya vegetasi mangrove yang mendominasi adalah jenis Rhizophora mucronata; Stasiun 5 berada di Paluh Delapan Puluh yang merupakan kawasan alami dan umumnya vegetasi mangrove yang mendominasi adalah jenis Avicennia alba; Stasiun 6 berada di perairan pantai yang merupakan kawasan alami dan dan berjarak ± 120 m dari garis pantai. Vegetasi mangrove yang mendominasi umumnya adalah jenis Sonneratia alba. Pada tiap stasiun selanjutnya dibuat sub stasiun-sub stasiun pengamatan masing-masing sebanyak tiga buah.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian yang Digunakan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah belt transek, jaring ambai/ apong, plankton net, Eckman grab, litter-trap, litter-bag, kompas, counter, refraktometer, termometer Hg, pH meter, soil tester, sechi disk, sieve, sieve set, timbangan analitik, toven, tali penduga, cool box, botol niskin, jangka sorong, Global Positioning System (GPS), mikroskop binokuler, mikroskop stereo, sedgwick rafter counting, meteran gulung, dan buku identifikasi, sedangkan bahan yang digunakan adalah contoh vegetasi mangrove, serasah mangrove, contoh udang putih, contoh plankton dan makrozoobentos, contoh air dan substrat, bahan

(2)

pengawet (larutan lugol 10%, alkohol 96%, formalin 10%, dan es), serta tempat/wadah sampel, seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Parameter yang diukur, satuan, alat/bahan/metode yang digunakan, dan tempat pengukuran

Parameter Satuan Alat/ Bahan dan Metode yang

digunakan

Tempat pengukuran I. FISIK-KIMIA AIR DAN FRAKSI

SUBSTRAT

Suhu perairan º C termometer Hg insitu

Kecerahan air cm sechi disk insitu

Kedalaman perairan cm tali penduga insitu

Fraksi substrat % oven, sieve shaker laboratorium

Oksigen terlarut (DO) mg/l botol Winkler, alat titrasi, NaOHKI, MnSO4, Amilum, Natrium TioSulfat (Titrimetri Winkler)

insitu

Salinitas air dan substrat ‰ refraktometer insitu

pH air - pH meter insitu

NO3 dan PO4 mg/l spektrofotometer laboratorium

II. BIOLOGI

Vegetasi mangrove Kerapatan jenis

belt transek, buku identifikasi, meteran, (diidentifikasi, diukur diameter batang, dihitung jumlah individu perjenis, dan dianalisa)

insitu dan laboratorium Ketersediaan pakan alami

Plankton ind/l plankton net, lugol 10% (pencacahan) insitu dan

laboratorium

Makrozobentos ind/m2

Eckman grab, sieve set , formalin

10% (pencacahan) insitu dan laboratorium Serasah mangrove

Produksi serasah g/m2/th litter- trap, oven, timbangan analitik

(serasah yang tertampung dalam

litter-trap diambil setiap 30 hari

selama 12 bulan, ditimbang menggunakan oven pada suhu 80ºC sampai beratnya konstan, ditimbang menggunakan timbangan analitik.

insitu dan laboratorium

Laju dekomposisi serasah litter-trap, litter-bag, timbangan

analitk (serasah dalam litter-trap diambil sebanyak 10 gr dan dimasukkan dalam litter-bag, diikat pada pangkal batang mangrove, diambil setiap 15 hari sekali. Sisa serasah dalam litter bag ditimbang menggunakan timbangan analitik.

insitu dan laboratorium

Udang putih

Distribusi spasio-temporal, pola pertumbuhan, parameter pertum-buhan, umur teoritis, ukuran minimum dan maksimum, laju mortalitas, rekruitmen, dan aspek reproduksi.

buku identifikasi, jaring ambai, alkohol 96% (dihitung jumlah individu perjenis kelamin, diukur panjang karapaks minimum dan maksimum, diamati TKG nya, dianalisa.

insitu dan laboratorium

(3)
(4)

3.3 Aspek yang Dikaji

Penelitian ini mengkaji aspek biologi dan ekologi udang putih pada tiap stasiun di Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Sumatera Utara. Aspek ekologi yang dikaji mencakup: karakteristik biofisik kimia lingkungan pada tiap stasiun, struktur populasi udang putih yang meliputi distribusi spasio-temporal, pola pertumbuhan, parameter pertumbuhan, umur teoritis, ukuran minimum dan maksimum, laju mortalitas, serta rekruitmen. Aspek biologi yang dikaji mencakup aspek reproduksi (rasio kelamin, ukuran udang betina pertama kali matang gonad, dan pola pemijahan) (Tabel 3). Dilakukan juga analisa keterkaitan distribusi udang putih menurut jenis kelamin, kelas ukuran, dan betina matang gonad dengan karakteristik biofisik kimia lingkungan yang mempengaruhi pada tiap stasiun.

Tabel 3 Aspek bioekologi udang putih P. merguiensis de Man yang dikaji No Aspek yang dikaji Uraian

1. Aspek ekologi a. Pengamatan karakteristik biofisik kimia lingkungan pada tiap stasiun meliputi :

- Kerapatan mangrove.

- Ketersediaan pakan alami (kelimpahan plankton dan makrozoobentos)

- Produksi dan laju dekomposisi serasah

- Parameter fisik kimia, mencakup: suhu perairan, kecerahan air, kecepatan arus, kedalaman perairan, fraksi substrat, oksigen terlarut, salinitas air dan substrat, pH air, NO3, dan PO4.

b. Menganalisa struktur populasi udang putih, meliputi: distribusi spasio-temporal, pola pertumbuhan, parameter pertumbuhan, ukuran minimum dan maksimum, laju mortalitas alami, serta persentase rekruitmen pada tiap stasiun.

c. Menganalisa hubungan distribusi spasial udang putih menurut jenis kelamin, kelas ukuran, dan betina matang gonad pada tiap stasiun, distribusi temporal betina matang gonad pada setiap bulan pengamatan dengan karakteristik biofisik kimia lingkungan yang mempengaruhinya.

2. Aspek biologi Menganalisa aspek reproduksi udang putih, dengan melihat rasio kelamin pada tiap stasiun, ukuran udang betina pertama kali matang gonad, dan pola pemijahan pada setiap bulan pengamatan.

(5)

Pola distribusi udang putih dianalisa berdasarkan Indeks distribusi Morisita, selanjutnya dilakukan analisa menggunakan correspondence analysis (CA) menurut Bengen (2002) untuk melihat distribusi spasial udang putih berdasarkan jenis kelamin, kelas ukuran, dan betina matang gonad pada tiap stasiun. Distribusi temporal udang putih betina matang gonad pada setiap bulan juga dianalisa menggunakan correspondence analysis. Pola pertumbuhan udang putih diketahui dengan melihat hubungan panjang karapaks dan bobot tubuh melalui analisa regresi linier sederhana menurut Sparre dan Venema (1999). Studi hubungan panjang bobot mempunyai nilai yang memungkinkan mengkonversi nilai panjang ke dalam bobot tubuh udang atau sebaliknya. Bobot tubuh udang dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjangnya. Parameter pertumbuhan udang mencakup panjang karapaks infiniti (L∞), koefisien pertumbuhan (K), dan umur teoritis pada saat udang berukuran panjang nol (to) dianalisa menggunakan program Elefan (electronic lengths frequency analysis) yang terakomodasi dalam program Fisat II berdasarkan data frekwensi panjang karapaks. Persamaan parameter pertumbuhan von Bertalanffy yang menggambarkan panjang karapaks udang sebagai fungsi dari umur dapat diketahui dari ketiga parameter tersebut. Persamaan pertumbuhan diplot dalam bentuk kurva pertumbuhan von Bertalanffy, dan dari persamaan tersebut dapat diduga umur teoritis udang putih. Ukuran minimum dan maksimum udang putih diketahui melalui ukuran panjang karapaks, bobot tubuh, dan panjang karapaks udang pertama kali tertangkap (Lc), yang dianalisa melalui kurva probabilitas dari program FISAT II. Laju mortalitas udang putih dapat diketahui dari data frekwensi panjang karapaks melalui analisa laju mortalitas model Beverton dan Holt dari FISAT II. Laju mortalitas alami udang

putih dapat diduga menggunakan rumus empiris Pauly dengan persamaan: Log M = -0,0066 – 0,2790 log L∞ + 0,6543 log K + 0,4634 log T. Rekruitmen

udang putih dapat diketahui melalui analisa pola rekruitmen dari program FISAT II, dengan menginput data parameter pertumbuhan.

Tingkat kematangan gonad udang putih betina dapat dilihat berdasarkan bentuk, ukuran, warna gonad, panjang karapaks, dan bobot tubuh. Rasio kelamin dapat diketahui dengan analisa perbandingan jumlah individu jantan terhadap individu betina yang tertangkap pada tiap stasiun, dan pola pemijahan dapat

(6)

diketahui dengan melihat tingkat kematangan gonad udang betina (kematangan gonad tingkat 4) pada setiap bulan.

3.4 Prosedur Pengumpulan Data

3.4.1 Parameter Fisik Kimia Air dan Substrat

Pengukuran parameter fisik-kimia air dan substrat dilakukan secara insitu pada tiap stasiun penelitian dengan pengulangan sesuai periode pengambilan sampel udang putih pada saat air pasang dan surut. Khusus untuk fraksi substrat, pengukuran dilakukan di laboratorium. Prosedur pengukuran parameter fisik-kimia air dan substrat adalah sebagai berikut:

- Suhu air dasar perairan diukur dengan mengambil sampel air menggunakan botol niskin, lalu diukur suhunya dengan termometer Hg.

- Kecerahan air diukur menggunakan sechi disc.

- Kedalaman perairan diukur menggunakan tali penduga pada saat pengambilan sampel makrozoobentos.

- Fraksi substrat diukur dengan mengambil contoh substrat sebanyak 100 g menggunakan ekman grab, kemudian dibawa ke laboratorium untuk dikeringkan menggunakan oven pada suhu 80°C, lalu diayak dengan sieve shaker untuk dianalisa fraksi substratnya.

- Oksigen terlarut diukur dengan titrasi winkler.

- Salinitas air diukur menggunakan refraktometer dengan cara meneteskan satu tetes air pada permukaan refraktometer, lalu ditutup dengan kaca penutup yang terdapat pada alat tersebut, selanjutnya dilakukan pembacaan melalui skala yang tertera pada alat tersebut untuk menggambarkan kadar salinitas perairan. Pengukuran salinitas susbstrat dilakukan dengan menyaring air substrat menggunakan kertas saring berukuran pori 0,45 μm (Hutagalung et al. 1997), selanjutnya air yang tersaring diteteskan sebanyak satu tetes pada permukaan refraktometer, lalu dibaca kadar salinitasnya.

- pH air diukur menggunakan pH meter.

- Pengukuran NO3 dan PO4 dilakukan dengan mengambil contoh air pada tiap

stasiun. Pengambilan contoh air dilakukan pada air permukaan sedalam 30 cm menggunakan botol berwarna gelap/botol Winkler. Contoh air

(7)

(Hutagalung et al. 1997), dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisa kandungan unsur haranya.

3.4.2 Parameter Biologi

3.4.2.1 Pengukuran Vegetasi Mangrove

Pengukuran vegetasi mangrove dilakukan mulai dari tingkat pohon dan permudaan pada tiap stasiun menggunakan metode transek garis (line transect) sepanjang 30 m, yang ditempatkan tegak lurus garis pantai menuju ke arah darat/belakang hutan mangrove (Kusmana 1997; Bengen 2002; Fachrul 2007). Pada tiap stasiun dipasang 3 buah transek garis dengan jarak antar transek 20 m. Data vegetasi mangrove diambil dari tiap transek menggunakan metode kuadrat dengan membuat 3 buah plot berukuran 10 m x 10 m untuk kategori pohon (diameter batang ≥ 10 cm) yang ditempatkan di sebelah kiri dan atau kanan transek. Pada setiap plot 10 m x 10 m selanjutnya dibuat plot berukuran 5 m x 5 m untuk mengukur kategori permudaan mangrove (tinggi tanaman ≥ 1,5 m, diameter batang < 10 cm) seperti disajikan pada Gambar 6. Vegetasi mangrove yang ditemukan pada tiap plot selanjutnya diidentifikasi menggunakan buku acuan menurut Bengen (2002) dan Kusmana et al. (2005), lalu dihitung jumlah individu perjenis untuk setiap kategori guna mengetahui kerapatan jenisnya. Dihitung juga indeks dominansi jenis mangrove pada tiap stasiun.

Gambar 6 Disain metode transek garis dalam pengukuran vegetasi mangrove. 5 m x 5 m plot pengamatan permudaan mangrove, 10 m x 10 m plot pengamatan pohon, laut, lumpur.

(8)

3.4.2.2 Pengukuran Produksi Serasah Mangrove

Pengukuran produksi serasah mangrove dilakukan dengan cara mengumpulkan guguran serasah pada tiap stasiun menggunakan litter-trap (jaring perangkap serasah) masing-masing sebanyak 45 buah per stasiun (Gambar 7).

Gambar 7 Prosedur penempatan litter-trap pada tiap stasiun. laut, lumpur. .

Litter-trap ditempatkan pada plot berukuran 10 m x 10 m secara acak, masing-masing sebanyak 5 buah (5 x 9 plot = 45 buah). Litter-trap yang digunakan berukuran 1 m x 1 m x 0.5 m dengan mesh size 1.5 mm x 1.5 mm, terbuat dari nilon yang setiap bagian tepinya dibingkai dengan kayu tipis (Brown 1984). Litter-trap dipasang dengan cara mengikat keempat sudutnya pada empat tegakan pohon, dengan posisi jaring berada di atas garis pasang tertinggi/bebas dari genangan air pasang. Serasah yang tertampung dalam litter-trap diambil setiap 30 hari selama 12 bulan, kemudian dipisahkan berdasarkan komponen daun, bunga/buah maupun ranting, lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik, diberi label, dan dibawa ke laboratorium. Di laboratorium, contoh serasah kemudian dikeringkan menggunakan oven pada temperatur 80°C sampai berat serasah konstan. Total nilai berat kering serasah pada tiap stasiun dalam selang waktu tertentu, akan menunjukkan produksi serasah di tiap stasiun penelitian (Proctor 1984). Prosedur pengukuran produksi serasah disajikan pada Gambar 8.

(9)

Gambar 8 Prosedur pengukuran produksi serasah. 3.4.2.3 Pengukuran Laju Dekomposisi Serasah

Laju dekomposisi serasah diukur dengan mengambil serasah daun yang sebelumnya ditampung dengan litter-trap (selain litter-trap untuk pengukuran produksi serasah) sebanyak 10 g, lalu dicuci dengan air dan dikering anginkan. Selanjutnya 10 g serasah daun tersebut dimasukkan ke dalam kantong serasah/

litter-bag berukuran 20 cm x 30 cm yang terbuat dari nilon dengan mesh size 1 mm x 1 mm (Yunasfi 2006), sehingga memberikan kemungkinan

partikel-partikel kecil dapat tercuci oleh arus pasang surut atau air hujan setelah sebagian sampel hancur. Jumlah kantong serasah yang digunakan sebanyak 35 buah untuk setiap stasiun (tiap kantong serasah berisi 10 g serasah), yang ditempatkan secara acak dengan cara mengikatnya pada pangkal batang pohon mangrove atau potongan pancang bambu yang ditancapkan ke dalam tanah sedalam 40 cm, sehingga tidak hanyut atau hilang terbawa arus pasang. Setiap 15 hari sekali

Guguran serasah mangrove (daun, bunga/buah, dan ranting)

Litter-trap berukuran 1 m x 1 m x 0,5 m, mesh size 1,5 mm x 1,5 mm (dipasang dengan mengikat keempat sudutnya pada empat tegakan pohon)

Serasah yang tertampung dalam litter-trap diambil setiap 30 hari selama 12 bulan

Serasah dipisahkan berdasarkan komponen daun, bunga/buah maupun ranting, dibersihkan dengan air, lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik, diberi label

dan dibawa ke laboratorium

Serasah dikeringkan menggunakan oven pada suhu 80°C sampai berat serasah konstan

Dihitung produksi serasah pada tiap stasiun dengan mengukur:

1. Produksi serasah dalam selang waktu 30 hari = Total berat kering serasah yang tertampung dalam 45 litter trap dalam selang waktu 30 hari, dengan satuan: g/m2/30 hari

2. Produksi serasah selama 12 bulan (mulai bulan ke-1 sampai ke-12), dengan satuan: g/m2/th

(10)

dilakukan pengambilan terhadap 5 buah litter-bag yang ditempatkan pada tiap

stasiun, hingga hari ke- 75 (2,5 bulan pengamatan) setelah serasah diletakkan di lapangan. Waktu pengamatan ini didasarkan pada penelitian yang telah

dilakukan oleh Brotonegoro dan Abdulkadir (1978); Soenardjo (1999) yang menyatakan proses dekomposisi serasah daun sudah terjadi pada hari ke- 7 sampai hari ke- 15 setelah serasah diletakkan di lapangan, dan dekomposisi total terjadi pada hari ke 60 - 75.

Pada setiap pengukuran, serasah daun yang tersisa dalam litter-bag dikeluarkan dan dibersihkan dari lumpur yang kemungkinan melekat menggunakan air, lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik, diberi label, dan dibawa ke laboratorium untuk dikeringkan menggunakan oven pada temperatur 80°C sampai bobot serasah konstan. Bobot kering serasah ini disebut sebagai bobot kering serasah setelah waktu pengamatan (Xt).

Bobot kering serasah awal (X0) pada tiap stasiun diketahui dengan mengambil sampel serasah daun yang sebelumnya ditampung dalam litter-trap sebanyak 10 g, dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Kantong plastik yang berisi serasah tersebut selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dibersihkan serasahnya dengan air tawar, lalu dikeringkan menggunakan oven pada temperatur 80°C sampai bobot serasah konstan (Ashton et al. 1999). Laju dekomposisi serasah dapat diketahui dari nilai bobot kering serasah awal dikurangi bobot kering serasah setelah waktu pengamatan dibagi lamanya waktu pengamatan. Persentase sisa serasah daun mangrove selama eksprimen dihitung dengan menggunakan rumus menurut Boonruang (1984). Nilai bobot kering yang digunakan adalah rataan bobot kering serasah pada setiap stasiun. Prosedur pengukuran laju dekomposisi serasah disajikan pada Gambar 9.

(11)

Gambar 9 Prosedur pengukuran laju dekomposisi serasah.

3.4.2.4 Pengambilan Contoh Plankton dan Makrozoobentos

Pengambilan contoh plankton dan makrozoobentos dilakukan sebelum pengambilan contoh udang putih, baik pada saat pasang maupun surut. Titik pengambilan sampel plankton disesuaikan dengan titik pengambilan sampel udang putih maupun titik untuk pengukuran faktor fisik-kimia perairan. Contoh plankton diambil menggunakan plankton net berbentuk kerucut dengan diameter 10 g dimasukkan ke dalam litter-bag untuk pengamatan eksprimental/ di lapangan (jumlah litter-bag tiap stasiun 35 buah)

10 g dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberi label (jumlah kantong plastik untuk tiap stasiun 5 buah)

Serasah daun yang tertampung dalam litter-trap

Kantong serasah diambil setiap 15 hari sampai hari ke- 75 (2,5 bulan pengamatan)

Serasah dikeluarkan dari litter-bag dan dibersihkan dari lumpur yang melekat dengan air

Litter-bag diikat pada pangkal batang mangrove atau potongan pancang bambu yang ditancapkan ke dalam tanah sedalam 40 cm

Dibawa ke laboratorium untuk dikeringkan dengan oven pada temperatur 80°C sampai bobot serasah konstan

Dibawa ke laboratorium, dibersihkan dengan air tawar, dikeringkan menggunakan oven pada temperatur 80°C sampai bobot serasah konstan

Bobot kering serasah awal =X0

Bobot kering serasah setelah waktu pengamatan = Xt

Laju dekomposisi serasah T

X X R= 0− t

Persentase sisa serasah daun mangrove selama eksprimen

100 0 0 x X X X Y= − t

Nilai konstanta laju dekomposisi Xt = X0.e-kt

(12)

mulut jaring berukuran 30 cm, panjang 1 m dan mesh size 80 μm. Pengambilan

sampel plankton dilakukan dengan cara menyaring air sebanyak 100 liter ke dalam plankton net, yang diambil menggunakan ember bervolume 5 liter

sebanyak 20 kali penyaringan. Contoh air yang tersaring dalam plankton net selanjutnya dimasukkan ke dalam botol sampel dengan volume 25 ml (Fachrul

2007), diberi lugol 10% sebanyak 3 tetes sebagai pengawet, lalu dibawa ke laboratorium. Di laboratorium, sampel plankton (25 ml) yang telah diberi

pengawet diteteskan ke dalam Sedgwick Rafter Counting Cell sebanyak 1 ml menggunakan pipet tetes, lalu diamati di bawah mikroskop binokuler dengan metode sapuan, yaitu mengamati jumlah jenis plankton yang tampak pada seluruh bagian Sedgwick Rafter counting cell menggunakan perbesaran 10 x 40 mikron, selanjutnya diidentifikasi menggunakan buku acuan Newell dan Newell (1977) dan Tomas (1997).

Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan menggunakan Ekman grab yang terbuat dari baja dengan berat 3,2 kg, berukuran 30 cm x 30 cm. Titik pengambilan sampel makrozoobentos juga disesuaikan dengan titik pengambilan sampel udang putih. Contoh makrozoobentos yang didapat selanjutnya disaring menggunakan ayakan/sieve dengan mesh size 0,5 mm, lalu dicuci dengan air, dimasukkan ke dalam botol sampel, diawetkan dengan formalin 10% (Sasekumar 1984; Fachrul 2007), diberi label, dan dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi menggunakan buku acuan Roberts et al. (1982), Kozloff dan Price (1987) dan Dharma (1988) dengan bantuan mikroskop stereo.

3.4.2.5 Pengambilan Contoh Udang Putih

Pengambilan contoh udang putih dilakukan di kawasan perairan pantai, maupun estuari yang berada di kawasan ekosistem mangrove, berdasarkan zona alami dan zona pemanfaatan (pertambakan, permukiman, dan pertanian), serta karakteristik khusus yang terdapat pada setiap stasiun, menggunakan jaring ambai berbentuk kerucut. Ambai yang digunakan memiliki panjang total 15 m, terbagi atas empat bagian yang memanjang menurut besar kecilnya mata jaring yaitu: bagian muka/sayap, tengah, belakang, dan kantong/cod end (Gambar 10).

(13)

Gambar 10 Ambai yang digunakan untuk pengambilan sampel udang putih. Kecenderungan bentuk jaring yang memanjang antara lain agar sasaran tangkap yang terdorong masuk ke dalam jebakan jaring kantong akan sulit keluar kembali dari mulut kantong. Jaring ambai ini terbuat dari bahan nilon polyfilament dengan bukaan mulut berukuran 4 m x 2 m (berbentuk empat persegi), dan pada kanan kiri mulut jaring terdapat gelang yang terbuat dari besi berjumlah 2 buah. Gelang tersebut berfungsi untuk mengikat tali yang akan diikatkan ke tiang pancang. Pengambilan contoh udang putih dilakukan sebanyak empat kali setiap bulannya (seminggu sekali) dalam waktu yang sama (mulai jam 16.00 WIB sampai dengan 19.00 WIB) secara statis/menetap, baik pada saat pasang maupun surut dengan posisi ambai diletakkan melawan arus (mengikuti kebiasaan nelayan setempat). Pada tiap stasiun dipasang 3 unit ambai (jumlah ambai yang dipasang setiap bulan 12 unit dengan 2 kali perlakuan, yaitu pada saat pasang dan surut). Pengambilan hasil tangkapan contoh udang dilakukan setelah 2 jam pemasangan ambai, dengan mengangkat bagian bawah mulut jaring ke permukaan air lalu menyatukan bibir bagian bawah mulut jaring dengan bagian atasnya.

Udang yang didapat dari 12 unit ambai tersebut, selanjutnya dikompositkan menjadi satu unit contoh untuk tiap stasiun, lalu dilakukan pengamatan dan pemotretan untuk dibuat deskripsinya menggunakan buku acuan menurut Lovett (1981), Dore dan Frimodt (1987), Chaitiamvong dan Supongpan (1992), dihitung kelimpahan individu per jenis kelamin, kelas ukuran dan tingkat kematangan gonad udang betina. Dilakukan analisa distribusi spasial udang putih (menurut

(14)

kelas ukuran, jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad), distribusi temporal pada setiap bulan pengamatan, pola pertumbuhan, parameter pertumbuhan, umur teoritis, ukuran minimum dan maksimum, laju mortalitas pada tiap stasiun, serta rekruitmen pada setiap bulan pengamatan. Dilakukan juga analisa terhadap aspek reproduksi, mencakup rasio kelamin pada tiap stasiun, ukuran udang pertama kali matang gonad, dan pola pemijahan pada setiap bulan pengamatan.

3.5 Analisa Data

3.5.1 Kerapatan Jenis Mangrove

Data vegetasi mangrove yang didapat, selanjutnya diukur kerapatan jenisnya menggunakan persamaan menurut Bengen (2002), sebagai berikut:

Kerapatan jenis mangrove (ind/ha) =

plot total Luas i ke jenis individu total Jumlah ... (1) 3.5.2 Produksi Serasah

Guguran serasah yang didapatkan dari hasil penampungan dalam selang waktu 30 hari menggunakan litter-trap (sebanyak 45 buah) pada tiap stasiun, dihitung produksinya dengan persamaan:

= + + + = = 45 1 45 2 1 .... i i j y y y y x ... (2) dengan: xj = produksi serasah di tiap stasiun pada bulan ke-j (g/45 m2/30 hari)

yi = bobot kering serasah pada littter-trap ke-i (g/m2/30 hari) y1,y2,....,y45 = bobot kering serasah pada litter-trap ke-1 sampai ke-45

Dihitung juga produksi serasah dalam selang waktu 12 bulan pada tiap stasiun, dengan persamaan:

= + + + = =12 1 12 2 1 ... i j x x x x X ... (3) dengan: X = produksi serasah di tiap stasiun selama 12 bulan (g/45 m2/12 bulan)

xj = produksi serasah di tiap stasiun pada bulan ke-j (g/45 m2/30 hari) x1,x2,....,x12 = produksi serasah di tiap stasiun pada bulan ke-1 sampai ke-12

3.5.3 Laju Dekomposisi Serasah

Laju dekomposisi serasah dihitung menggunakan persamaan: ... (4)

T X X

(15)

dengan: R = laju dekomposisi (g/15 hari) T = waktu pengamatan (15 hari) X0 = bobot kering serasah awal (g)

Xt = bobot kering serasah setelah waktu pengamatan ke– t (g)

Dihitung persentase sisa serasah daun selama eksprimen menggunakan rumus menurut Boonruang (1984), sebagai berikut:

... (5) dengan: Y = persentase serasah daun yang mengalami dekomposisi

X0 = bobot kering serasah awal (g)

Xt = bobot kering serasah setelah waktu pengamatan ke– t (g)

Pendugaan nilai konstanta laju dekomposisi serasah diperoleh dengan menggunakan persamaan menurut Ashton et al. (1999) sebagai berikut:

Xt = X0.e-kt ………. (6) kt X Xt − = ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ 0 ln …...……….…… (7)

dengan: Xt = bobot kering serasah setelah waktu pengamatan ke- t (g) X0 = bobot kering serasah awal (g)

e = 2,72

k = konstanta laju dekomposisi serasah t = waktu pengamatan (15 hari) ln = logaritma natural

3.5.4 Kelimpahan Plankton dan Makrozoobentos

Data plankton yang didapat dianalisa kelimpahannya menggunakan persamaan menurut APHA (1979) sebagai berikut:

⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ = d t V x V V n N 1 0 ..……… (8) dengan:

N = kelimpahan plankton (sel.l-1)

n = jumlah jenis plankton yang diamati pada seluruh bagian sedgwick rafter cell

Vt = volume air tersaring (25 ml)

V0 = volume air pada Sedgwick Rafter Counting Cell (1 ml) Vd = volume air yang disaring oleh jaring plankton (100 l) Kelimpahan makrozoobentos dihitung menggunakan persamaan:

2 900cm i ke jenis individu Jumlah Ki= − ……... (9) dengan: Ki = kelimpahan makrozoobentos jenis ke- i

% 100 0 x X X Y= t

(16)

3.5.5. Karakteristik Lingkungan Mangrove Berdasarkan Parameter Fisik Kimia pada Tiap Stasiun

Karakteristik lingkungan mangrove berdasarkan variasi parameter fisik kimia lingkungan pada tiap stasiun, dianalisa menggunakan suatu pendekatan analisis statistik multivariabel yang didasarkan pada analisis komponen utama (principal component analysis, PCA) (Bengen 2002). Analisis ini merupakan metode statistik deskriptif yang bertujuan untuk menampilkan data dalam bentuk grafik, informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data yang digunakan terdiri atas matriks data stasiun pengamatan sebagai individu statistik/baris dan data parameter fisik kimia lingkungan sebagai variabel kuantitatif/kolom.

Data parameter fisik kimia lingkungan yang diukur tidak berunit pengukuran dan ragam yang sama, sehingga sebelum dilakukan analisis komponen utama,

data tersebut harus dinormalisasikan melalui pemusatan dan pereduksian. PCA tidak dianalisa dari nilai variabel asal tetapi dari indeks sintetik yang

diperoleh dari kombinasi linear variabel asal. PCA mencari terlebih dahulu indeks

yang menunjukkan ragam stasiunnya maksimum, yang disebut komponen utama ke I (F1). Dicari juga komponen utama ke II (F2) yang tidak berkorelasi dengan

komponen utama ke I. Komponen utama ke II ini dapat memberikan informasi terbesar sebagai pelengkap komponen utama ke I. Proses ini berlanjut terus hingga diperoleh komponen utama ke- p dan bagian informasi yang dapat dijelaskan semakin kecil. Pada prinsipnya PCA menggunakan pengukuran jarak euclidean yang berkoresponden pada data. Jarak euclidean menurut Bengen (1998) didasarkan pada persamaan:

( )

(

)

= − = p j j i ij X X i i d 1 2 ' ' 2 , ... (10) dengan: d2(i,i’) = jarak euclidean

i,i’ = dua stasiun/baris

j = indeks kolom/parameter fisik kimia (bervariasi dari 1 sampai p)

p = banyaknya kolom

Semakin kecil jarak euclidean antar dua stasiun maka semakin mirip karakteristik fisik kimia lingkungan kedua stasiun tersebut, demikian sebaliknya.

(17)

3.5.6 Karakteristik Habitat Udang Putih Berdasarkan Parameter Biofisik Kimia pada Tiap Stasiun

Karakteristik habitat udang putih berdasarkan variasi parameter biofisik kimia lingkungan pada tiap stasiun, juga dianalisa menggunakan analisis komponen utama (principal component analysis, PCA) (Bengen 2002). Matriks data yang digunakan terdiri atas matriks data stasiun pengamatan sebagai individu statistik/baris dan data parameter biofisik kimia lingkungan sebagai variabel kuantitatif/kolom.

3.5.7 Kelimpahan Udang Putih

Data kelimpahan udang putih menurut jenis kelamin, kelas ukuran dan

betina matang gonad dapat diketahui menggunakan persamaan menurut Brower et al. (1990) sebagai berikut:

A n

K= ... (11) dengan: K = kelimpahan udang putih menurut jenis kelamin atau kelas ukuran

atau betina matang gonad (ind/m2)

n = jumlah individu udang putih menurut jenis kelamin atau kelas ukuran atau betina matang gonad

A = luas plot (m2)

3.5.8 Struktur Populasi Udang Putih 3.5.8.1 Ukuran Minimum dan Maksimum

Ukuran minimum dan maksimum udang putih dapat diketahui melalui ukuran panjang karapaks, bobot tubuh, dan panjang karapaks udang pertama kali tertangkap (Lc), yang dianalisa melalui kurva probabilitas dari software Fisat II.

3.5.8.2 Pola Distribusi

Pola distribusi udang putih dianalisa berdasarkan Indeks distribusi Morisita dengan persamaan:

(

)

⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ − − ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ =

= 1 1 2 i i i n i i N N N x n Id ... (12)

dengan: Id = Indeks distribusi Morisita

n = banyaknya plot (mulai dari 1 sampai n) Ni = jumlah total individu dalam total plot Σxi2 = jumlah kuadrat individu dalam total plot

(18)

Kriteria pola distribusi menurut Bengen (1998) dapat dikelompokkan berdasarkan nilai Indeks distribusi Morisita. Nilai indeks distribusi (Id) = 1.0, distribusi suatu populasi dikategorikan acak; nilai indeks distribusi (Id) = 0, distribusi populasi dikategorikan normal; dan bila nilai indeks distribusi (Id) ≠ 1 atau Id ≠ 0, distribusi populasi dikategorikan bergerombol.

3.5.8.3 Pola Pertumbuhan

Pola pertumbuhan udang putih dapat diketahui dengan melihat hubungan panjang karapaks udang dan bobot tubuh melalui analisa regresi linier sederhana menurut Sparre dan Venema (1999). Studi hubungan panjang-bobot mempunyai nilai praktis yang memungkinkan mengkonversi nilai panjang ke dalam bobot tubuh udang atau sebaliknya. Bobot tubuh udang dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjangnya.

W= a Lb atau Ln W = Ln a + b Ln L ………... (13) dengan: W = bobot tubuh (g)

L = panjang karapaks a dan b = konstanta

Pertumbuhan dikatakan isometrik jika nilai b = 3, sedangkan jika nilai b lebih besar atau lebih kecil dari 3 maka pertumbuhan dikatakan allometrik, dengan asumsi jika nilai b < 3 pertambahan panjang tubuh udang lebih cepat dari pertambahan bobotnya, sedangkan jika nilai b > 3 pertambahan bobot udang lebih cepat dari pertambahan panjang tubuhnya.

3.5.8.4 Faktor Kondisi (FK)

Kondisi yang menyatakan kemontokan udang dengan angka dinamakan faktor kondisi atau ponderal indeks. Nilai faktor kondisi dilakukan setiap bulan dan akan terlihat bulan-bulan mana saja yang memiliki derajat kemontokan baik. Faktor kondisi udang putih dapat dihitung dengan rumus menurut King (1995) dalam Natan (2008) sebagai berikut:

pred cal

W

W

CF

=

………... (14) dengan: CF = faktor kondisi

Wcal = rataan bobot contoh udang (g)

Wpred = rataan bobot udang yang didapat dari hubungan panjang bobot (g)

(19)

3.5.8.5 Parameter Pertumbuhan

Parameter pertumbuhan udang mencakup panjang karapaks infiniti (L∞), koefisien pertumbuhan (K), dan umur teoritis pada saat udang berukuran panjang nol (to) dianalisa menggunakan program Elefan yang terakomodasi dalam program Fisat II berdasarkan data frekwensi panjang karapaks. Persamaan parameter pertumbuhan von Bertalanffy yang menggambarkan panjang tubuh udang sebagai fungsi dari umur (Sparre & Venema 1999) dapat dibuat dari ketiga parameter sebagai berikut:

) 1 ( ( ) 00 0 t t K t L e L = − − − ……… (15) ) ( 00 0 1 K t t t e L L = − − ) ( 00 0 1 t e Kt t L L = − − −

dengan: Lt = panjang karapaks udang putih pada waktu t

Penggunaan data panjang karapaks disebabkan pertumbuhan tubuh udang sangat mempengaruhi ukuran panjang karapaks, bukan lebar karapaks. Persamaan pertumbuhan di atas diplot dalam bentuk kurva pertumbuhan von Bertalanffy, dan dari persamaan tersebut dapat diduga umur teoritis udang putih.

3.5.8.6 Umur Teoritis Saat Panjang Udang Nol (to)

Pauly (1983) dalam Sparre dan Venema (1999) menganalisa data frekuensi panjang, mendapatkan suatu hubungan regresi berganda antara umur teoritis saat panjang udang nol (to) dengan panjang infiniti (L∞) dan koefisien pertumbuhan (K), yang kemudian dikenal sebagai rumus empiris Pauly, sebagai berikut:

Log to = -0.3952 – 0. 2752 log L∞ – 1.038 log K ... (16) Nilai to , L∞, dan K dapat dicari dengan menggunakan model Beverton dan Hold dari Fisat II (Gayanilo et al. 2002 dalam Subagyo 2005).

3.5.8.7 Laju Mortalitas

Laju mortalitas udang putih dari data frekwensi panjang karapaks dapat diketahui dengan analisa laju mortalitas model Beverton dan Holt dari Fisat II (Sparre & Venema 1999) dengan persamaan:

(20)

Lc L L L K Z − − = − ) ( 00 ... (17) dengan: Z = total laju mortalitas (pertahun)

L = rata-rata panjang karapaks udang putih yang tertangkap L∞ = panjang karapaks infiniti (cm)

Lc = panjang karapaks pertama kali tertangkap (cm)

Laju mortalitas alami udang putih dapat diduga menggunakan rumus empiris Pauly sebagai berikut:

Log M = -0.0066 – 0.279 log L∞ + 0.6543 log K + 0.4634 log T ... (18) dengan: M = laju mortalitas alami (pertahun)

L00 = panjang karapaks infiniti (cm) K = koefisien pertumbuhan

T = rata-rata temperatur pertahun (°C)

Laju mortalitas penangkapan dianalisa dengan mengurangkan laju mortalitas total dengan laju mortalitas alami.

3.5.8.8 Rekruitmen

Rekruitmen udang putih dianalisa menggunakan analisa pola rekruitmen dari program Fisat II. Input data berupa parameter pertumbuhan mencakup panjang

karapaks infiniti (Loo), koefisien pertumbuhan (K), dan panjang udang pada waktu t = 0 (to), yang diperoleh melalui hasil analisa Elefan I dari program

Fisat II. Hasil per rekruitmen relatif dapat dilihat melalui analisa hasil per rekruitmen Holt dan Beverton dari Fisat II dengan menginput data panjang karapaks infiniti (Loo), panjang karapaks pertama kali tertangkap (Lc), laju mortalitas alami (M), koefisien pertumbuhan (K), dan total laju mortalitas (Z).

3.5.9 Aspek Reproduksi Udang Putih 3.5.9.1 Rasio Kelamin

Rasio kelamin/sex ratio udang putih pada lokasi kajian dapat diketahui dengan melihat perbandingan jumlah individu udang jantan dan betina menggunakan persamaan: b j n n R= ... (19) dengan: R = rasio kelamin

nj = jumlah udang jantan nb = jumlah udang betina

(21)

3.5.9.2 Ukuran Udang Pertama Kali Matang Gonad

Ukuran udang putih pertama kali matang gonad dapat diketahui dengan menggunakan persamaan Spearman-Karber (Udupa 1986 dalam Fischer & Wolf 2006) sebagai berikut: ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + =

= n i i p x x xk sfm 1 2 1 ... (20) dengan:

sfm = logaritma panjang karapaks udang putih pertama kali matang gonad. xk = logaritma nilai tengah kelas panjang karapaks yang terakhir udang putih matang gonad.

x = logaritma pertambahan panjang karapaks dan nilai tengah.

pi = proporsi udang putih matang gonad pada kelas panjang ke-i dengan jumlah udang pada selang panjang ke-i.

ni = jumlah udang pada kelas pang ke-i.

3.5.9.3 Pola Pemijahan

Data yang digunakan untuk menentukan pola pemijahan udang putih di tiap stasiun adalah data jumlah individu betina matang gonad, (kematangan

gonad tingkat 4) selama 12 bulan, yang tergambar dalam bentuk grafik distribusi. Bila ditemukan jumlah individu betina matang gonad tingkat 4 tinggi pada bulan tertentu, maka akan tergambar bahwa bulan tersebut merupakan puncak musim pemijahan udang putih.

3.5.10 Distribusi Spasial Udang Putih Berdasarkan Jenis kelamin, Kelas Ukuran, dan Betina Matang Gonad, Distribusi Temporal Udang Putih Berdasarkan Tingkat Kematangan Gonad

Distribusi spasial udang putih berdasarkan jenis kelamin, kelas ukuran, dan betina matang gonad, distribusi temporal udang putih berdasarkan tingkat kematangan gonad dianalisa menggunakan correspondence analysis, CA (Bengen 2002). Analisis ini merupakan salah satu bentuk analisis statistik multivariabel yang didasarkan pada matriks data i baris (stasiun penelitian) dan j kolom (jenis kelamin, kelas ukuran, dan betina matang gonad). Kelimpahan udang putih menurut modalitas dari tiap klasifikasi yang ditemukan pada tiap stasiun penelitian terdapat pada baris ke-i dan kolom ke-j. Matriks data yang digunakan merupakan tabel kontingensi stasiun pengamatan dengan modalitas jenis kelamin,

(22)

kelas ukuran, dan betina matang gonad, serta matriks data dari tabel kontingensi bulan pengamatan dengan modalitas betina matang gonad.

Tabel kontingensi i dan j mempunyai peranan yang simetris, yakni membandingkan unsur-unsur i (untuk tiap j) sama dengan membandingkan hukum probabilitas bersyarat yang diestimasi dari nij/ni (untuk masing-masing

nij/nj), dengan ni = jumlah subjek i yang memiliki semua karakter j, dan nj = jumlah jawaban karakter j. Pengukuran kemiripan antar dua unsur I1 dan I2

dari I dilakukan melalui pengukuran jarak khikuadrat dengan persamaan:

( )

= − = p j j i j i i ij X X X X X i i d 1 2 ' ' ' 2 , ( / / ) ... (21) dengan: d2(i,i’) = jarak euclidean

Xi = jumlah dari baris i untuk keseluruhan kolom Xj = jumlah dari kolom j untuk keseluruhan baris Xij, Xi’j = jumlah dari baris i untuk kolom j

Gambar

Tabel 2 Parameter yang diukur, satuan, alat/bahan/metode yang digunakan, dan  tempat pengukuran
Gambar 5 Peta lokasi penelitian.  25
Tabel 3 Aspek bioekologi udang putih P. merguiensis de Man yang dikaji   No Aspek  yang  dikaji Uraian
Gambar 6 Disain  metode  transek  garis  dalam  pengukuran  vegetasi   mangrove.
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dalam artikel ini ingin difokuskan pada kajian tentang tahapan pengembangan kolek- si agar dalam proses pengadaan melahirkan koleksi yang berkualitas sesuai dengan kebu-

Metoda kultur yang digunakan adalah secara massal de- ngan dua media kultur teknis yang berbeda (Double Walne dan Guillard teknis), anali- sis lemak dilakukan dengan analisa proksi-

Telah dilakukan sintesis talk dari bahan baku lokal dolomit dan kuarsa dengan metode pemanasan/kalsinasi dan hidrotermal.. Proses pengadukan bahan baku secara konvensional dan

Melalui hasil penelitian ini, maka peneliti ingin menyampaikan beberapa rekomendasi berikut: 1) Bagi Guru, bermain huruf punggung berantai dapat dijadikan

MCan gehien erabiltzen den iragazkia etapa bakarreko bigarren orde- nako LC iragazkia da (1. irudia); bertan, iragazkia seriean konektatzen da bihurgailuaren

memperhatikan hal tersebut. SUSUiIan dan pola - pola mang yang ada sekarang kurang dapat memmjang flow aktivitas bekeIja pada mang kantor karena susunan dan pola - pola

Berdasarkan analisis data hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa bibit ulat sutra dari PSA Soppeng dan PSA Temanggung bila dipelihara dalam lingkungan panas

Dengan melakukann tanya jawab pada Kasubag Akuntansi dan Pajak, daftar jam hadir penggajian karyawan pada RS. Muji Rahayu Surabaya dilakukan dengan cara menggunakan