• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Ilmu Pendidikan Agama Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Ilmu Pendidikan Agama Islam"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN KURIKULUM BERBASIS KECAKAPAN HIDUP

(Life Skills) DALAM PONDOK PESANTREN

“ Studi Pada Pondok Pesantren Al-Fadllu Jagalan Kutoharjo Kaliwungu Kendal ”

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam

Ilmu Pendidikan Agama Islam

Oleh :

AKHMAD SOLIKHIN NIM : 073111025

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi ABSTRAK

Judul : PENERAPAN KURIKULUM BERBASIS KECAKAPAN HIDUP

(LIFE SKILLS) DALAM PONDOK PESANTREN (Studi Pada Pondok Pesantren Al-Fadllu Jagalan Kutoharjo Kaliwungu Kendal)

Penulis : Akhmad Solikhin NIM : 073111025

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah kurikulum berbasis kecakapan hidup (life skills) dalam pondok pesantren tradisional. Kajiannya dilatar belakangi oleh penurunan kepercayaan masyarakat terhadap output pondok pesantren khususnya dalam aspek kecakapan hidup. Studi ini bertujuan untuk menemukan formulasi kurikulum berbasis kecakapan hidup (life

skills) yang ideal khususnya bagi pondok pesantren Al-fadllu Jagalan Kutoharjo

Kaliwungu Kendal dan pondok pesantren pada umumnya.

Studi ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan: bagaimanakah penerapan kurikulum berbasis kecakapan hidup (life skills) dalam pondok pesantren Al-fadllu?. Permasalahan tersebut dibahas melalui studi lapangan (field

research) yang dilaksanakan di pondok pesantren Al-fadllu Jagalan Kutoharjo

Kaliwungu Kendal. Pondok pesantren tersebut dijadikan sebagai sumber data untuk dijadikan sebagai potret penerapan kurikulum berbasis kecakapan hidup (life skills) dalam pendidikan pondok pesantren di kota Kaliwungu. Datanya diperoleh dengan menggunakan wawancara bebas terpimpin, observasi partisipan, dan dokumentasi yang disaring dengan triangulasi. Hasil data yang diperoleh dianalisis menggunakan pendekatatan fenomenologi dan analisis deskriptif menggunakan logika induksi, deduksi dan refleksi.

Hasil penelitian menunjukan bahwa penerapan kurikulum berbasis (life

skills) dalam pondok pesantren Al-fadllu diartikan dalam bentuk proses

pembelajaran mengenal diri, berpikir rasional, berpikir secara ilmiah, tata sosial, dan kejuruan yang secara lengkap digambarkan dalam penelitian ini. Kesimpulannya adalah penerapan kurikulum berbasis kecakapan hidup (life skiils) di pondok pesantren Al-fadllu telah memberikan kemapanan kecakapan hidup yang bersifat umum (General Life Skills/GLS) dan kecakapan hidup yang bersifat khusus (Spesifik Life Skills/SLS) kepada para santri sebagai bekal untuk hidup di tengah-tengah masyarakat. Sehingga keberadaan para santri tidak hanya sebagai orang yang hanya bisa mengaji, tetapi mampu dalam ketrampilan lainnya. Dengan begitu santri bisa mencapai kemandirian dan tidak tergantung pada orang lain, dan sebagai Muslim yang menyeimbangkan aspek dunia dan akhirat. Temuan tersebut setidaknya sebagai acuan dan gambaran kurikulum berbasis (life skills) yang ideal bagi pendidikan pondok pesantren.

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penerapan Kurikulum Berbasis Kecakapan Hidup (Life Skills) Dalam Pondok Pesantren (studi pada pondok pesantren Al-Fadllu Jagalan Kutoharjo Kaliwungu Kendal).

Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, dan sumbang saran dari segala pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhibbin, MA, Rektor IAIN Walisongo Semarang. 2. Dr. Suja’i, M.Ag, Dekan Fakultas Tarbiyah.

3. H. Nasirudin, M.Ag, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam.

4. Ahmad Muthohar, M,Ag, sebagai Pembimbing I dan Dr. Hj. Sukasih, M,Pd, sebagai Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

5. Ayahanda Tarmono dan Ibunda Mastin dan segenap keluarga yang tercinta. 6. Segenap sivitas akademika di Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN

Walisongo Semarang.

7. Keluarga besar Pondok Pesantren Al-Fadllu Jagalan Kutoharjo Kaliwungu Kendal yang telah memberikan ijin penelitian dan segala bantuan yang diberikan.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Semarang, 25 Junii 2012 Penulis

(8)
(9)
(10)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Pesatren Kudus dalam Angka, 67

Tabel 3.2 Daftar Mata Pelajaran PTYQ Kajeksan Kudus, 94

Tabel 3.3 Daftar Mata Pelajaran Pesantren MUSYQ Kwanaran Kudus, 96 Tabel 3.4 Daftar Mata Pelajaran Pesantren Roudlatuth Tholibin Kerjasan

Kudus, 98

Tabel 4.1 Data Pesatren Cabang Yanbu’ul Qur’an Kajeksan Kudus, 116 Tabel 4.2 Tipologi Pondok Pesantren Kudus, 130

(11)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan Islam secara istilah dapat di artikan sebagai proses pendidikan yang mengubah tingkah laku individu atau perorangan dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan kehidupan alam sekitarnya.1 Lembaga pendidikan Islam yang memainkan perannya di Indonesia, ada empat kategori antara lain: pendidikan pondok pesantren,2 pendidikan madrasah, pendidikan umum yang bernafaskan Islam dan pendidikan umum yang pelajaran agama Islam hanya sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja.3

Kajian kali ini fokusnya mengenai pondok pesantren tradisional yang sangat potensial untuk dieksploitasi, baik secara politis, ekonomis, dan discourse (wacana) karena realitas pondok pesantren sekarang yang begitu banyak belum tentu mampu membendung arus zaman yang terus berkembang. Kondisi semacam ini, memaksa mereka untuk membenahi diri bagaimana menjaga eksistensi terhadap masyarakat pragmatis dan materialis dalam gejolak modernisasi. Pondok pesantren merasa memiliki beban dan tanggung jawab bagaimana untuk membangkitkan kembali etos pesantren guna menggapai format pondok pesantren ideal di zaman modern.4

Terdapat tiga hal isu penting yang patut diinovasi dalam rangka peningkatan mutu pendidikan pondok pesantren yaitu; kurikulum, manajemen sarana prasarana pendidikan pondok pesantren dan membangun kerjasama yang baik dengan pondok pesantren maupun dengan lembaga pendidikan yang lainnya. Atas dasar ketiga isu tersebut, peniliti menyoroti khusus tentang isu kurikulum

1 Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial (Studi Atas Pemikiran K.H. Abdullah

Syafi‟ie Dalam Bidang Pendidikan Islam), (Jakarta: Panamadani, 2003), hlm.14.

2 Selain istilah “pesantren” (Jawa, Sunda, dan Madura), ditemukan juga istilah lain

dengan makna yang sama, yakni “dayah” atau “rangkang” (Aceh), dan “surau” (Minangkabau). Lihat Dawam Raharjo (ed), dalam Pesantren dan Pembaruan, cet, ke-V, (Jakarta : Penerbit LP3ES, 1995), hlm. 2.

3 Yasmadi, Modernisasi Pesantren (Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan

Islam Tradisional), (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hlm. 58.

4 Majalah LPM EDUKASI, Pergeseran Paradigmatik Pesantren Modern, XXIX/th

(12)

2 atau tepatnya penerapan kurikulum seperti apa yang perlu dilakukan dalam dunia pondok pesantren.

Pada lembaga pendidikan formal kurikulum merupakan salah satu komponen utama yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan isi pengajaran, mengarahkan mekanisme pendidikan, tolok ukur keberhasilan dan kualitas hasil pendidikan, disamping faktor-faktor yang lain. Oleh karenanya keberadaan kurikulum dalam sebuah lembaga pendidikan sangat penting. Namun demikian, sering terdengar sorotan tajam bahwa kurikulum selalu tertinggal dengan perkembangan zaman.

Dalam konteks pendidikan pondok pesantren, Nurcholish Majid mengatakan bahwa istilah kurikulum tidak terkenal di dunia pondok pesantren (pra kemerdekaan), walaupun sebenarnya materi pendidikan sudah ada dalam pondok pesantren, terutama pada praktek pengajaran bimbingan rohani dan latihan kecakapan dalam kehidupan di pondok pesantren. Oleh karena itu, kebanyakan pondok pesantrentidak merumuskan dasar dan tujuan secara eksplisit atau mengimplementasikannya dalam bentuk kurikulum. Disamping itu, tujuan pendidikan pondok pesantren sering hanya ditentukan oleh kebijakan pengasuh, sesuai dengan perkembangan pondok pesantren tersebut. Namun dalam perkembangannya, pondok pesantren dengan jenis dan corak pendidikan yang dilaksanakan dan dalam proses pencapaian tujuan instruksional selalu menggunakan kurikulum, sehingga istilah kurikulum bukanlah istilah yang asing.5 Untuk memenuhi tuntutan kebutuhan santri dan masyarakat, perlu dilakukan pembaharuan kurikulum pada tiga aspek penting yaitu; perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Perencanaan kurikulum pondok pesantren harus didahului dengan kegiatan kajian kebutuhan (need assessment) secara akurat agar pendidikan pondok pesantren menjadi lembaga yang tetap eksis dan mampu berbicara banyak dalam pesatnya era modern. Kajian kebutuhan tersebut perlu dikaitkan dengan tuntutan masa kini, utamanya kurikulum pendidikan yang

5 Jurnal Tarbiyah, Dinamika pesantren dan madrasah, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,

(13)

3 berbasis kecakapan hidup (life skills) yang telah menjadi persoalan mendasar para santri.6

Kurikulum berbasis kecakapan hidup (life skills) adalah kurikulum yang dapat memberikan bekal kecakapan hidup para santri agar dapat memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan. Dalam kehidupan kelak, para santri tidak hanya memerlukan bekal teori-teori semata, tetapi juga bekal kemampuan praktik. Artinya pemenuhan kebutuhan para santri terhadap kecakapan hidup di berbagai bidang adalah hal yang harus terpenuhi. Banyak problem-problem para santri yang berkaitan dengan persoalan kecakapan hidup yang dimiliki tertinggal dengan alumni-alumni lembaga pendidikan non pesantren, maka penting kiranya pondok pesantren untuk mengembangkan kurikulum pondok pesantren yang berbasis kecakapan hidup (life skills).7

Pondok pesantren yang semula rural based institution menjadi juga lembaga pendidikan urban, bermunculan juga di kota-kota bahkan jumlah pertumbuhannya cukup pesat dari 7.536 pada tahun 1998 menjadi 21.521 pada tahun 2008.8 Di antara kota yang terkenal dengan pondok pesantrenya adalah di kota Kaliwungu yang sampai sekarang di justifikasi sebagai “kota santri”. Kaliwungu menurut peneliti mempunyai banyak khasanah intelektual keislaman. Banyak peneliti menyebut kota ini kental akan dimensi sosialnya dan kaya akan kebudayaannya. Maka tidak heran, puluhan pesantren yang berkembang dan

survive sampai saat ini. Namun, begitu juga tak dapat dihindari sorotan miring

masyarakat terkait persoalan kecakapan hidup (life skills) yang dimiliki oleh para santri ketika menjadi alumni-alumni pesantren. Oleh karena itu, sangat penting jika standar kompetensi lulusan, serta arah pendidikan pesantren tersebut dicermati lebih seksama dalam sebuah penelitian yang tujuannya membingkai penerapan kurikulum berbasis kecakapan hidup (life skills) dalam pondok

6 M. Sulthon Masyhud, dkk. Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka,

Cet. II, 2004), hlm.72

7 Suparlan, Tanya Jawab Pengembangan Kurikulum Dan Materi Pembelajaran,

(Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 107.

8 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Memadu Modernitas Untuk Kemajuan

(14)

4 pesantren yang merupakan permasalahan besar kelak bagi para santri terjun dalam kehidupan bermasyarakat.

Pondok pesantren Al-Fadllu Jagalan Kutoharjo Kaliwungu Kendal, adalah salah satu diantara pesantren yang berpopulasi terbesar di Kaliwungu, maka patutlah penelitian dilakukan di pondok pesantren Al-Fadllu untuk dijadikan sebagai gambaran umum persoalan kecakapan hidup (life skills) yang dimiliki pesantren-pesantren yang berada di kota kaliwungu dalam menerapkan kurikulum berbasis kecakapan hidup (life skills).

Gambaran umum pesantren Al-Fadllu Jagalan Kutoharjo Kaliwungu Kendal, Pondok pesantren tersebut di dirikan oleh KH. Dimyati Ro‟is pada 15 juli tahun 1985 M/ 10 Muharam tahun 1405 H. Juga tak terhindar dari persoalan untuk meneguhkan kembali eksistentsinya terhadap hal-hal yang bernuansa tuntutan pembaharuan di bidang kurikulum, khususnya di dalam persoalan kecakapan hidup para santri. Oleh karena itu, sangat penting pola dan corak pembaharuannya, serta arah pendidikan tersebut dicermati lebih seksama dalam sebuah penelitian yang tujuannya membingkai penerapan kurikulum berbasis kecakapan hidup (life skills) di pondok pesantren. Fenomena yang demikian adalah variabel menarik untuk diteliti. Terlebih diklasifikasikan menurut kajian keilmuannya dengan harapan agar dapat mempermudah cara pemahaman dalam mengkajinya.

(15)

5 B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan bentuk pertanyaan yang dapat memandu peneliti untuk mengumpulkan data di lapangan9. Uraian latar belakang masalah tersebut dapat di rumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah penerapan kurikulum berbasis kecakapan hidup (life skills) dalam pondok pesantren?

2. Bagaimanakah penerapan kurikulum berbasis kecakapan hidup (life skills) dalam pondok pesantren Al-Fadllu Jagalan Kutoharjo Kaliwungu Kendal?

C. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang di harapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Manfaat praktis, yaitu hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangsih terhadap lembaga pendidikan secara umum dan secara khususnya lembaga pendidikan pondok pesantren itu sendiri, di dalam mengoptimalkan penerapan kurikulum berbasis kecakapan hidup (life skills) sehingga mampu mencetak santri-santri yang cakap dalam menghadapi kehidupan masa kini dan masa yang akan datang .

b) Manfaat teoritis, yaitu hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi dan telaah bagi pihak-pihak terkait dengan dunia pondok pesantren, khususnya dalam hal penerapan kurikulum berbasis kecakapan hidup (life

skills) dalam pondok pesantren.

9 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D),

(16)

6 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kajian Pustaka

Di antara alasan kenapa dunia pesantren selalu menarik untuk diteliti yaitu: Pertama. Pesantren dinilai tetap eksis sejak ratusan tahun di Indonesia meskipun tergerus oleh arus modernisme. Kedua. Pesantren mempunyai keunikan tersendiri dimana antara satu pesantren dengan pesantren yang lain mempunyai kekhasan masing-masing serta sama-sama dapat mempertahankan karakter khasnya. Ketiga. Definisi tentang tradisional dan modern yang ditujukan pada pesantren kurang komprehensif sehingga menarik untuk terus diteliti. Keempat. Perkembangan pesantren semakin kompleks dan multidimensi.10

Alasan di atas menunjukkan bahwa penelitian yang dimaksud merupakan tantangan tersendiri karena bahan kajiannya selalu berkembang dinamis mengikuti deras laju kebutuhan masyarakat, khususnya tentang kecakapan hidup (life skills) para santri. Oleh karena itu, studi yang peneliti lakukan ini tak lepas dari jasa-jasa peneliti terdahulu yang telah memberikan berbagai informasi yang dibutuhkan. Berkaitan dengan fokus kajian penelitian ini, maka berikut ini peneliti paparkan hasil studi tentang pesantren khususnya sebagai acuan dalam penelitian ini, antara lain:

1. Penelitian dengan judul “Tipologi Pondok Pesantren Dalam Konstelasi

Pembaharuan Pendidikan Islam (Studi Pada Pesantren-Pesantren Di Kabupaten Kudus)”, penelitian tersebut dilakukan oleh Miftahudin pada tahun

2011, dijelaskan bahwa Rangkaian format pesantren seperti di atas menurut peneliti diantaranya memenuhi kriteria sebagai berikut, yakni berorientasi pada pendidikan sepanjang waktu (full day learning), berkomitmen tafaqquh fi

al-din, menerapkan metode-metode transformatif, dan pendidikan yang

berbasis pada masyarakat (community based education). Demikian, format ini ditemukan pada pesantren yang menyeimbangkan antara pendidikan agama

10 Ahmad Muthohar, AR., Ideologi Pendidikan Pesantren; Pesantren Di Tengah Arus

(17)

7 dan pendidikan umum serta dilengkapi dengan berbagai pendidikan ketrampilan didalamnya. Format pesantren demikian yang menggunakan pendekatan integratif akan mampu memenuhi tuntutan dan permintaan masyarakat berkembang sekarang ini karena hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan Islam yang menekankan keseimbangan dan keselarasan antara aspek dunia dan akhirat.11

2. Kemudian penelitian dengan judul “Profil Pondok Pesantren Pendidikan

Islam (PPPI) Miftahussalam Banyumas (Analisis Relevansi Kurikulum Pesantren dengan Kebutuhan Masyarakat)”, penelitian tersebut dilakukan

oleh Sri Yanto pada tahun 2002, yang menjelaskan bahwa pesantren adalah salah satu bentuk pendidikan Islam yang bertujuan untuk membentuk manusia-manusia yang baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dalam hubungannya dengan manusia. Untuk itu pesantren memberikan bekal yang dibutuhkan untuk bisa berhubungan baik dengan Allah dalam bentuk pelaksanaan ibadah-ibadah ritual seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Dan ibadah sunah yang lainnya. Di samping itu pesantren mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan (sains dan teknologi) yang diperlukan oleh santri agar mampu mengatasi persoalan dan kendala keduniaan dalam berhubungan dengan sesama manusia. Dalam kaitan itu maka pendidikan agama di pesantren berpadu dengan pendidikan-pendidikan lainnya dalam rangka pembentukkan manusia yang sempurna.12

3. Kemudian penelitian dengan judul “Studi Analisis Tentang Proses

Pembaharuan Pendidikan di Pondok Pesantren Darul Falah Jekulo Kudus,”

penelitian tersebut dilakukan oleh Siti Malikhatun pada tahun 2004, yang menjelaskan bahwa dengan berputar majunya zaman, ilmu pengetahuan, teknologi dan kebutuhan manusia pada umumnya, maka pendidikan dituntut untuk bisa menjawab hal tersebut secara nyata dan tuntas, demi eksistensi

11 Miftahudin “Tipologi Pondok Pesantren Dalam Konstelasi Pembaharuan Pendidikan

Islam (Studi Pada Pesantren-Pesantren Di Kabupaten Kudus)”, Skripsi, (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2011), hlm 73.

12

Sri Yanto, “Profil Pondok Pesantren Pendidikan Islam (PPPI) Miftahussalam Banyumas (Analisis Relevansi Kurikulum Pesantren dengan Kebutuhan Masyarakat)”, Skripsi, (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2002), hlm. 80.

(18)

8 pendidikan itu sendiri bagi kehidupan manusia sepanjang masa. Sebagai konsekuensi logis dari hal tersebut, maka setiap lembaga pendidikan harus mebaharui sistem pendidikannya dan diterapkan secara nyata dalam segala faktor dalam proses belajar mengajar dan termasuk pula dalam kubu pensatren.13

Dari uraian tersebut sekilas memang ada persamaan dengan permasalahan yang penulis kaji, namun dalam skripsi ini penulis menekankan pada penerapan kurikulum berbasis kecakapan hidup (life skills) dalam pondok pesantren Al-Fadllu Jagalan Kutoharjo Kaliwungu Kendal

B. Kerangka Teoritik 1. Pendidikan Pesantren

Lembaga pendidikan Islam yang memainkan perannya di Indonesia jika dilihat dari struktur internal pendidikan Islam serta praktek-praktek pendidikan yang dilakksanakan, ada empat kategori. Pertama, pendidikan pondok pesantren, yaitu pendidikan Islam yang diselenggarakan secara tradisional, bertolak dari pengajaran secaran Qur‟an dan hadits dan merancang segenap kegiatan pendidikannya. Kedua, pendidikan madrasah, yakni pendidikan Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga model Barat yang mempergunakan metode pengajaran klasikal, dan berusaha menanamkan Islam sebagai landasan hidup ke dalam diri para siswa. Ketiga, pendidikan umum yang bernafaskan Islam, yaitu pendidikan Islam yang dilakukan melalui pengembangan suasana pendidikan yang bernafaskan Islam dilembaga-lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan yang bersifat umum. Keempat, pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja.14

Zamachsjari Dhofier mendefinisikan pesantren berasal dari kata santri yang diawali dengan awalan pe dan akhiran an yang berarti sebagai tempat tinggal

13 Malikatun, “Studi Analisis Tentang Proses Pembaharuan Pendidikan di Pondok

Pesantren Darul Falah Jekulo Kudus”, Skripsi ( Kudus: Jurusan Tarbiyah STAIN, 2000), hlm. 28.

14 Yasmadi, M.A., Modernisasi Pesantren (Kritik Nurcholish Madjid Terhadap

(19)

9 para santri.15 Sementara Manfred Ziemek, sebagaimana di kutip oleh Haidar Putra Daulay menguatkan dengan menyatakan secara etimologi pesantren adalah pesantrian yang berarti tempat santri.16 Begitu juga Abdurrahman Wahid, yang di kutip oleh Isma‟il SM secara teknis pondok pesantren dinyatakan sebagai, “a

place where santri (student) live”.17

Menurut Mastuhu, sebagaimana di kutip oleh Fatah Syukur, mengatakan secara definitif pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam (tafaqquh

fi al-din) dengan mementingkan moral agama Islam sebagai pedoman hidup

bermasyarakat sehari-hari.18

Untuk dapat memahami hakikat pesantren, maka penting dijelaskan terlebih dahulu memahami pendidikan Islam tradisional, tetapi karena penelitian ini merupakan studi kasus terhadap peran pesantren dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, peneliti membatasi pada kajian sekilas pendidikan pesantren tradisional.

Secara etimologis, kata tradisional berasal dari kata dasar tradisi yang berarti tatanan, budaya, atau adat yang hidup dalam sebuah komunitas masyarakat. Karenanya, tradisional diartikan sebagai konsensus bersama untuk ditaati dan dijunjung tinggi oleh sebuah komunitas masyarakat setempat. Kata tradisional juga selalu menunjuk pada hal-hal yang bersifat peninggalan kebudayaan klasik, kuno dan konservatif. Bercermin dengan asumsi diatas, apabila dikaitkan dengan sistem pendidikan dalam Islam, maka pandangan kita selalu tertuju pada pesantren, pesantren dianggap sebagai satu-satunya sistem pendidikan di Indonesia yang menganut sistem konservatif. Bahkan Ulil Abshar

15

Zamakhsari Dhofier., Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 18.

16 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di

Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. II. hlm. 61.

17

Isma‟il SM, “Pengembangan Pesantren Tradisional (Sebuah Hipotesis

Mengantisipasi Perubahan Sosial)”, dalam Abdurrahman Mas‟ud, Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dan Pustaka Pelajar, 2002),

Cet.I. hlm. 50.

18

Fatah Syukur NC, Dinamika Madrasah Dalam Masyarakat Industri, (Semarang :

Pusat Kajian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu KeIslaman dan Pesantren and Madrasah Development Centre, 2004 ), Cet. I., hlm. 26.

(20)

10 Abdala dalam artikelnya, Humanisasi Kitab Kuning: Refleksi Dan Kritik Atas

Tradisi Intelektual Pesantren, menyatakan bahwa pesantren merupakan

satu-satunya lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang mewarisi tradisi intelektual Islam tradisional.19

Pada dasarnya, pesantren merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional tempat para santrinya tinggal bersama dan belajar di bawah pengajaran kyai. Asrama bagi santri inilah yang disebut pondok. Sehingga Zamakhsari hhofier mengatakan bisa dikatakan pesantren jika telah memenuhi unsur-unsur dasar, diantaranya pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, dan kyai.20

Sedangkan pesantren dalam konsep tujuan pokok yaitu; mencetak ulama, yaitu orang yang mutafaqqih fi ad-din atau mendalam ilmu agamanya.21 Namun saat ini bangsa Indonesia sedang mengembangkan demokrasi sebagai tata pemerintahan bangsa. Untuk itu, masyarakat pesantren sebenarnya sangat diuntungkan oleh tata kehidupan demokrasi. Pemimpin-pemimpin dipilih atas dasar hak setiap pemilih sama nilainya, nilai pemilih yang bergelar profesor sama dengan tukang becak atau nelayan atau petani yang tidak memiliki sawah sekalipun. Para kyai yang menjadi pimpinan mayoritas umat Islam yang kebanyakan tinggal di pedesaan, memiliki pengaruh yang sangat kuat untuk memilih siapa pemimpin yang paling disetujui untuk menjadi presiden. Jangan berharap, calon presiden yang tidak memperoleh dukungan kyai dan santri akan terpilih menjadi presiden.

Oleh karena itu, format subtansi pendidikan ideal pesantren adalah format yang memungkinkan lulusannya untuk terus dapat menjalankan perannya di atas pada masa-masa mendatang, peran tersebut selama 600 tahun telah berjalan dengan baik. Kalau selama beberapa (puluh) tahun terakhir ini terseok-seok, maka hal itu disebabkan karena dua hal. Pertama, perubahan masyarakat

19HM. Amin Haedari, dkk, masa depan pesantren dalam tantangan modernitas dan

tantangan komplesitas global, (Jakarta: IRD Press, 2004) Cet. 1, Hlm. 13-14.

20

Zamachsjari Dhofier., Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai., hlm. 44.

21 M. Dian Nafi‟, dkk, Praksis Pembelajaran Pesantren, (Jogjakarta: Instite For Trining

(21)

11 Indonesia dan masyarakat dunia dalam berbagai kehidupan berjalan terlalu cepat, yang sulit dipahami oleh pimpinan pesantren. Kedua, pedoman penting yang diajarkan oleh para pendahulu kurang dipahami juga. Pedoman yang dimaksud ialah: “al- muhafadzah „alal qadimis sholeh wal ahdzu min jadidil ashlah.” Namun demikian, pada kenyataannya para pimpinan pesantren terus menerus terlambat dalam upaya memadu tradisi pesantren dengan modernisasi pendidikan. Sebenarnya, ambisi untuk memodernisir lembaga-lembaga pendidikannya cukup kuat, tetapi “educational resources” yang mereka miliki sangat minim.22

2. Unsur-unsur Pesantren

Menurut Zamakhsari Dhofier, unsur-unsur sebuah pesantren ada 5 (lima), yaitu :

a. Pondok

Menurut bahasa pengertian pondok sudah dijelaskan di atas. Pada pembahasan ini akan dijelaskan alasan pentingnya di dirikan sebuah pondok bagi sebuah pesantren. Di antara alasan tersebut adalah :

Pertama, banyaknya santri-santri yang berdatangan dari daerah yang jauh

untuk tholabul „ilmi pada seorang kyai yang sudah termashur keahliannya. Mereka membutuhkan tempat untuk menginap supaya memudahkan untuk menerimana pelajaran dari kyai kapan saja.

Kedua, kebanyakan pesantren itu terletak di desa-desa sehingga para

santri yang ingin nyantri di pondok pesantren tersebut belum ada tempat perumahan bagi mereka. Meskipun pada sebagian pesantren ada santri yang dititipkan pada rumah-rumah warga yang berdekatan dengan pesantren.

Ketiga,diharapkan munculnya feedback antara kyai dan santri, di mana

santri dianggap oleh kyai sebagai anak sendiri. Begitu juga sebaliknya para santri menganggap kyai sebagai orang tuanya sendiri.

22 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Memadu Modernitas Untuk Kemajuan

(22)

12 b. Masjid

Masjid menurut lughah dapat diartikan sebagai tempat bersujud. Di dalam masjid ini di samping berfungsi sebagai tempat untuk beribadah, masjid juga bias dialih fungsikan sebagai tempat pelaksanaan pendidikan dan lain sebagainya. Di zaman Rasulullah pun masjid dijadikan sebagai tempat untuk mendiskusikan masalah-masalah kemasyarakatan.

Penempatan masjid sebagai pusat pendidikan ini mencerminkan tradisi pesantren yang selama ini di pegang teguh oleh para kyai-kyai pemimpin pesantren. Bahkan sekarang banyak juga masjid-masjid yang ada di masyarakat yang dijadikan sebagai tempat pembelajaran Al-Qur‟an atau lebih di kenal dengan Taman Pendidikan Al-Qur‟an (TPQ) dan lain sebagainya.

c. Santri

Menurut Haidar Daulay, santri dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu :

1) Santri mukim, yakni para santri yang berdatangan dari luar daerah yang jauh sehingga tidak memungkinka untuk pulang ke rumahnya, maka akhirnya dia mondok (menetap/menempat/mukim) di pesantren. Oleh karena menjadi santri mukim, maka ia harus mengikuti tata tertib yang berlaku di pesantren. 2) Santri kalong, yakni para santri yang berasal dari daerah sekitar yang sangat

memungkinkan mereka pulang ke daerah masing-masing. Santri kalong ini dating ke pondok hanya untuk mengikuti pelajarannya saja, habis itu ia pulang ke rumahnya sendiri dan tidak mengikuti aktifitas yang lainnya.23 d. Pengajaran Kitab-kitab Islam klasik

Kitab klasik dalam pesantren yang dimaksud adalah kitab kuning. Bukan berarti warna kitab ini kuning, melainkan yang dimaksud adalah kitab yang ditulis oleh para ulama salaf abad pertengahan yang berisikan huruf arab” gundul” atau tanpa harokat yang harus diberi makna di bawah (absahi) menggunakan huruf arab “pegon”. Hanya santri-santri yang sudah mahir saja yang mampu melakukan ini ini dengan benar sesuai tuntunan. Oleh karena itu kemahiran santri tersebut

23 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di

(23)

13 harus mempelajari secara mendalam ilmu-ilmu alatnya, yakni ilmu nahwu, shorof, balaghoh, ma‟ani, bayan, dan lain sebagainya.

Membutuhkan waktu yang sangat lama untuk memperdalam kitab-kitab yang dimaksud, sehingga kriteria tolok ukur lulus atau tidaknya santri adalah kemahiran dalam membaca dan menjelaskan isi kandungan kitab kuning tersebut. Bahkan sampai sekarang pun meskipun sebagian pesantren sudah memasukkan pelajaran umum, pengajian kitab kuning tetap dilaksanakan karena pengajian ini juga salah satu tradisi di pesantren yang harus di jaga.

Jenis-jenis kitab kuning, menurut Dhofier dapa dikategorikan menjadi 8 (delapan) kelompok, yakni : kitab nahwu/shorof, kitab fiqih, kitab ushul fiqih, kitab hadits, kitab tafsir, kitab tauhid, kitab tasawwuf dan etika, serta cabang-cabang ilmu lainnya seperti kitab tarikh dan balaghoh.24

e. Kyai

Kata kyai dalam bahasa Jawa di pakai untuk tiga gelar yang berbeda yang tersebut di bawah ini :

1) Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat seperti “kyai garuda kencana” yang dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di keratin Yogjakarta.

2) Sebagai gelar kehormatan kepada orang-orag tua pada umumnya.

3) Sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang yang ahli dalam agama Islam yang memiliki pesantren dan mengajarkan kitab-kitab Islam klasik kepada santrinya.25

Kyai yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah gelar kyai yang ketiga. Kyai merupakan tokoh sentral dalam sebuah pesantren. Wibawa dan karisma kyai menentukan maju atau mundurnya sebuah pesantren.

24

Zamakhsari Dhofier, Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, hlm. 50.

(24)

14 3. Sekilas Sejarah Pesantren dan Pola Perkembangannya

Perspektif sejarah pesantren sebenarnya tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous) pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan lanjutan dari lembaga pendidikan keagamaan pra-Islam, yang disebut dengan mandala. Konon mandala ini telah ada sejak zaman sebelum majapahit dan berfungsi sebagai pusat pendidikan (semacam sekolah) dan keagamaan. Mandala dianggap oleh orang Hindu-Budha sebagai tempat suci karena disitu tinggal para pendeta atau pertapa yang memberikan kehidupan yang patut dicontoh masyarakat sekitar karena kesalehannya. Mandala juga disebut sebagai wanasrama yang dipimpin oleh

siddapandita yang bergelar muniwara, munindra, muniswara, maharsi, mahaguru

atau dewaguru. 26

Pendapat lain yang mengatakan pondok pesantren adalah kelanjutan dari mandala adalah IP Simanjuntak (1973) yang mengatakan pesantren telah mengambil model dan tidak mengubah struktur organisasi dari lembaga pendidikan mandala masa Hindu. Pesantren hanya mengubah isi agama yang dipelajari, bahasa sebagai sarana pembelajaran, dan latar belakang santri. Namun, Abdurrahman Mas‟ud (2000) lebih condong mengatakan pesantren memiliki kesinambungan dengan lembaga pendidikan Gurucula yang telah ada di masa pra-Islam di Jawa.27

Meskipun belum diketahui secara jelas kapan pesantren pertama kali didirikan, namun ketika masa walisongo (abad 16 – 17 M) sudah terlacak sebuah pesantren yang didirikan Syeikh Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Konon pesantren yang didirikan tersebut merupakan pesantren pertama dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia.28

26 Ismawati, “Melacak Cikal Bakal Pesantren Jawa”, dalam Anasom (ed), Merumuskan

Kembali Interrelasi Islam-Jawa, (Yogjakarta : Penerbit Gama Media dan Pusat Kajian Islam dan

Budaya Jawa IAIN Walisongo Semarang, 2004), hlm.95-96.

27 Abdurrohman Mas‟ud, “Pesantren dan Walisongo : Sebuah Interaksi dalam Dunia

Pendidikan,” dalam Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogjakarta : Penerbit Gama Media, 2000),

hlm. 223.

28

Fatah Syukur NC, Dinamika Madrasah dalam Masyarakat Industri, (Semarang :

Pusat Kajian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu KeIslaman dan Pesantren and Madrasah Development Centre, 2004 ), Cet. I. hlm. 26.

(25)

15 Perkembangan awal pesantren ini bisa dilihat dari menguatnya identitas pesantren yang khas sebagai lembaga pendidikan agama, meminjam istilahnya Abdul Djamil, dikatakan amat kosmopolit. Pada tahap ini, eksistensi pesantren telah selaras dan sesuai dengan sebagaimana apa yang diperlihatkan oleh para wali dan santrinya yang mengambil peran-peran strategis di bidang sosial, ekonomi dan politik.29 Kemudian pada tahap selanjutnya lebih diakulturasikan dengan kebudayaan dan tradisi jawa yang berkembang. Maka, dari peran Syeikh Maulana Malik Ibrahim inilah kemudian lahir ribuan muballigh yang menyebar ke seluruh Tanah Jawa dan daerah-daerah sekitarnya.

Faktor yang mempengaruhi mengapa pertumbuhan pesantren diantaranya kebiasaan santri yang setelah selesai atau tamat dari belajar pada seorang kyai, ia di beri izin untuk atau ijazah oleh kyai untuk membuka dan mendirikan pesantren baru di daerah asalnya. Dengan begini, perkembangan pesantren semakin merata di berbagai daerah, terutama di perdesaan.

Menurut Zamachsari, jumlah lembaga pendidikan pesantren di seluruh Indonesia pada kurun waktu 2 dekade terakhir berkembang sangat cepat. Terhitung pada bulan desember 2008 telah mencapai kuantitas sebanyak 21.521 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 3.557.713 santri. Sebelumnya Zamachsjari telah menguraikan jumlah tersebut semenjak tahun 1977 berjumlah 4.176 pesantren, tahun 1987 berjumlah 6.579 pesantren. Namun untuk dekade berikutnya belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Baru tahun 1997 mulai bertambah menjadi 8.342 pesantren, tahun 2000 sebanyak 12.012 pesantren, tahun 2003 sebanyak 14.666 pesantren.30 Dan 5 tahun kemudian bertambah 6.855 pesantren sehingga total seluruh pesantren se-Indonesia tahun 2008 berjumlah 21.521 pesantren.

Perkembangan di atas, menurut Zamachsjari dikarenakan pesantren kini ditunjang oleh UU Sisdiknas No. 2 Tahun 1989 yang memberikan legalitas yang

29 Abdul Djamil, “Pesantren : Jati Diri dan Perannya dalam Kebudayaan”, dalam

Prolog Profil Pesantren Kudus, (Kudus : Central Riset dan Manajemen Informasi, 2005), hlm. Vi.

30

Zamakhsari dhofier, Tradisi Pesantren Memadu Modernitas Untuk Kemajuan

(26)

16 sama dengan sekolah-sekolah negeri tingkat dasar dan menengah terhadap madrasah-madrasah tingkat dasar dan menengah yang dikembangkan di pesantren. Oleh karenanya, diperkirakan tahun 2020 mmendatang jumlah lembaga pendidikan pesantren kemungkinan akan mencapai sekitar 35.000 pesantren.31

Keadaan demikian merupakan peluang bagi pihak pesantren untuk lebih membuka menerima perubahan. Berbagai pola pengembangan telah dilakukan oleh beberapa pesantren akhir-akhir ini. Pola-pola pengembangan pesantren menurut para pakar antara lain:

Menurut Abdurrahman Wahid, pola pengembangan yang ada di tubuh pesantren dapat terbagi menjadi 3 (tiga) pola, yaitu :

a. Pola pengembangan sporadis (berdasar pada aspirasi masing-masing pesantren)

Pola ini ditempuh oleh beberapa pesantren utama secara sendiri-sendiri, tanpa tema tunggal yang mengikat kesemua upaya mereka itu. Meskipun demikian, mereka terbukti memiliki intensitas kerja cukup tinggi dan mempunyai pengaruh yang mendalam.

Adapun bentuk kegiatan pokok dari jenis pengembangan sporadis ini antara lain :

1) Mengambil bentuk berdirinya beberapa sekolah non-agama (SMP dan SMA) selain sekolah-sekolah agama tradisional yang telah ada di pesantren, seperti yang terjadi di pesantren Tebu Ireng dan Rejoso (Jombang).

2) Menyempurnakan kurikulum campuran (agama dan umum) yang telah diramu oleh beberapa lembaga pendidikan tingkat tinggi. Seperti pematangan kurikulum yang dilakukan oleh pondok modern Gontor (Ponorogo) sehingga melahirkan Institut Pendidikan Darussalam (IPD). 3) Mengembangkan pola pesantren yang lain dari pada sebelumnya, seperti

berdirinya beberapa belas PKP (pondok karya pembangunan) dengan mengambil pembinaan dari pemerintah daerah dan organisasi kemasyarakatan yang ada.

(27)

17 b. Pola pengembangan pendidikan ketrampilan (dikelola oleh Kementrian

Agama)

Pola semacam ini telah diikuti oleh lebih dari seratus buah pesantren di Indonesia. Pendidikan ketrampilan ini, menjadi bagian dari kurikulum yang diwajibkan oleh pemerintah bagi sekolah-sekolah agama yang ingin memperoleh persamaan dengan sekolah-sekolah non-agama.

Adapun pengembangan pendidikan ketrampilan ini di pecah menjadi komponen-komponen yang berbeda-beda, diantaranya yaitu :

1) Pendidikan kepramukaan 2) Pendidikan kesehatan

3) Pendidikan kejuruan (pertanian, pertukangan, dan kejuruan dasar elektronika).

c. Pola pengembangan latihan pengembangan masyarakat (dirintis oleh LP3ES) LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) dalam rangkanya ikut serta mengembangkan pesantren dengan mengadakan kerjasama dengan berbagai lembaga, baik dari pemerintah maupun swasta, dari dalam negeri maupun luar negeri.

Ide dasar dari pola ini tidak lain mendidik sebagian santri untuk menjadi tenaga pengembangan masyarakat (change agents) yang mampu mengetahui kebutuhan pokok masyarakat, menggali sumber daya alam dan manusiawi yang dapat dipakai untuk memenuhinya, dan menggerakkan pertisipasi masyarakat untuk berpikir membangun pedesaan dalam pola pengembangan yang terpadu. Bentuk kegiatan yang dilakukan LP3ES adalah berorientasi pada program Latihan Pengembangan Masyarakat dari Pondok Pesantren yang berlangsung di pesantren pabelan (Magelang).32

Selanjutnya menurut A. Qodri A. Azizy yang mengklasifikasikan pola pesantren yang variatif ini dengan pola sebagai berikut :

1) Pesantren yang hanya menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerakan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah

32

Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, (Yogjakarta : LKiS, 2010), cet.III, hlm. 169-174.

(28)

18 keagamaan (MI, MTs, MA, dan PT Agama Islam), maupun yang juga memiliki sekolah umum (SD, SMP, SMA, dan PT Umum), seperti pesantren Tebu Ireng Jombang, pesantren Futuhiyyah Mranggen, dan pesantren Syafi‟iyyah Jakarta.

2) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional, seperti pesantren Gontor Ponorogo, pesantren Maslakul Huda Kajen Pati (Matholi‟ul Falah) dan Darul Rohman Jakarta. 3) Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk

madrasah diniyah (madin), pesantren salafiyyah Langitan Tuban, lirboyo Kediri dan pesantren Tegal Rejo Magelang.

4) Pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian (majlis ta‟lim) 5) Pesantren yang berkembang menjadi tempat asrama anak-anak pelajar

sekolah umum dan mahasiswa.33

Pesantren Menurut Kemenag RI secara umum jenis pesantren dapat dideskripsikan menjadi 3 (tiga) tipe, yaitu sebagai berikut :

1) Pesantren Tipe A

a) Para santri belajar dan menetap di pesantren

b) Kurikulum tidak tertulis secara eksplisit melainkan memakai hidden

curriculum (benak kyai)

c) Pola pembelajaran menggunakan metode pembelajaran asli milik pesantren (sorogan, bandongan, dan lain sebagainya)

d) Tidak menyelenggarakan pendidikan dengan sistem madrasah 2) Pesantren Tipe B

a) Para santri tinggal dalam pondok/asrama

b) Pembelajaran menggunakan perpaduan pola pembelajaran asli pesantren dengan sistem madrasah

c) Terdapatnya kurikulum yang jelas

33 Ahmad Qodri Abdillah Azizy, “Memberdayakan Pesantren Dan Madrasah” dalam

Abdurrohman Mas‟ud, et.al, Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Semarang : Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dan Pustaka Pelajar, 2002), Cet.I

(29)

19 d) Memiliki tempat khusus yag berfungsi sebagai sekolah (madrasah) 3) Pesantren Tipe C

1) Pesantren hanya semata-mata tempat tinggal (asrama) bagi para santri

2) Para santri belajar di madrasah/sekolah yang letaknya tidak jauh dengan pesantren

3) Waktu belajar di pesantren biasanya malam/siang hari jika para santri tidak belajar di sekolah/madrasah (ketika mereka di pesantren) 4) Pada umumnya tidak terprogram dalam kurikulum yang jelas dan

baku.34

4. Kurikulum Berbasis Kecakapan Hidup (Life Skills)

a. Pengertian Kurikulum Berbasis Kecakapan Hidup (Life Skills) dan Kompleksitas pengembangannya dalam Pondok Pesantren

Istilah kurikulum yang berasal dari bahasa latin (curiculum) semula berarti a runing course, or race cource, espcially a chariot race course dan terdapat pula dalam bahasa prancis (courier) artint to run yang artinya berlari. Kemudian istilah itu digunakan untuk sejumlah courses atau mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah.

Seperti halnya dengan istilah-istilah lain yang banyak digunakan, kurikulum juga mengalami perkembangan dan tafsiran yang berbagai ragam. Setiap ahli kurikulum mempunyai rumusan sendiri, walaupun di antara berbagai definisi itu terdapat aspek-aspek persamaan. Secara tradisional kurikulum diartikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan disekolah. Pengertian kurikulum yang dianggap tradisional ini masih banyak dianut sampai sekarang, juga di Indonesia.

Dalam perkembangan kurikulum sebagai suatu kegiatan pendidikan, timbul berbagai definisi lain. Defeinisi ini menentukan apa yang termasuk ke dalam ruang lingkupnya. Di antara definisi-definisi yang ada, termasuk

34 Tim Depag RI, Pola Pembelajaran di Pesantren, (Jakarta : Direktorat Jenderal

(30)

20 definisi yang populer diguanakan adalah “the curriculum of a school is all

the experiences that pupils have under the guidance of the school” yaitu

segala pengalaman anak di sekolah di bawah bimbingan sekolah. Definisi yang mirip seperti itu diberikan antara lain oleh Harold Alberty, john kerr, dan lain-lain.35

Kurikulum yang dimaksudkan adalah suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari atau kereta dalam perlombaan dari awal sampai akhir. Kurikulum juga berarti “chariot” semacam kereta pacu zaman dulu yaitu suatu alat yang membawa seseorang dari “start” sampai “finish”. 36

Kemudian pengertian kecakapan hidup (Life Skills) adalah kemampuan dan keberanian untuk menghadapi problema kehidupan, kemudian secara proaktif dan kreatif, mencari dan menemukan solusi untuk mengatasinya. Pengertian kecakapan hidup lebih luas dari ketrampilan vokasional atau ketrampilan bekerja. Orang yang tidak bekeja, misalnya ibu rumah tangga atau orang yang sudah pensiun tetap memerlukan kecakapan hidup. Seperti halnya orang yang bekerja, mereka juga menghadapi berbagai masalah yang harus dipecahkan. Orang yang sedang menempuh pendidikan pun memerlukan kecakapan hidup, karena mereka tentu juga memiliki permasalahannya sendiri. Pengertian lain kecakapan hidup (Life Skills) adalah:

1) Pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan untuk berfungsi dalam masyarakat

2) Kemampuan yang membuat seseorang berbeda dalam kehidupan sehari-hari (Baker, 2005)

3) Kemampuan yang berupa prilaku adaptif dan positif yang memungkinkan seseorang untuk menjawab tuntutan dan tantangan kehidupan sehari-hari secara efektif (WHO, 2003).37

35 S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 9-10. 36 Nasution, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta, Bumi Aksara, 2001 Ed. 2, Cet. 4), hlm. 1-2. 37

Departemen Agama RI, Pedoman integrasi life skill terhadap pembelajaran, (Jakarta, Direktorat jenderal kelembagaan Agama Islam, 2005 ), hlm. 6.

(31)

21 Jadi pengertian kurikulum berbasis kecakapan hidup (life skills) dapat didefinisikan sebagai segala kegiatan dalam pengalaman belajar yang dirancang, direncanakan, diprogramkan dan diselenggarakan oleh lembaga bagi anak didiknya dengan maksud untuk mencapai tujuan pendidikan berupa kemampuan dan keberanian untuk menghadapi problema kehidupan, kemudian secara proaktif dan kreatif, mencari dan menemukan solusi untuk mengatasinya.

Perkembangan kurikulum pada hakikatnya sangat kompleks karena banyak faktor yang terlibat dengannya. Artinya arah perkembangan kurikulum dalam bentuk apapun karena berbagai faktornya, itu bisa diketahui arah perkembangannya melalalui bingkai kurikulumnya. Tiap kurikulum didasarkan atas asas-asas tertentu, antara lain :

1) Asas filosofis, yang pada hakikatnya menentukan tujuan umum pendidikan.

2) Asas sosiologis, yang memberikan dasar untuk menentukan apa yang akan dipelajari sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kebudayaan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

3) Asas organisatoris, yang memberikan dasar-dasar dalam bentuk bagaimana bahan pelajaran itu disusun, bagaimana luas dan urutannya. 4) Asas psikologi, yang memeberikan prinsip-prinsip tentang perkembangan

anak dalam berbagai aspek serta caranya belajar agar bahan bahan yang disediakan dapat dapat dicernakan dan dikuasai oleh anak didik atau santri sesuai dengan taraf perkembangannya.

Semua asas-asas itu sendiri cukup kompleks dan selain itu dapat mengandung hal-hal yang saling bertentangan, sehingga harus diadakan pilihan akan menghasilkan kurikulum yang berbeda-beda, walupun hanya mengenai salah satu asas tersebut.38

Lembaga pendidikan pondok pesantren, dewasa ini pada setiap pesantren terdapat tiga jenis pendidikan, yaitu pendidikan pondok pesantren, madrasah dan sekolah umum. Dalam metode pembelajaran, pondok pesantren

(32)

22 menerapkan metode pembelajaran sorogan, bandongan, halaqah dan lalaran. Dalam perkembangannya metode-metode tersebut mengalami reorientasi penerapan metode antara lain halaqah, yakni dari bentuknya yang hanya mendiskusikan arti terjemahan sebuah arti kitab (arti kata dan cara baca yang berdasarkan nahwu, sharaf dan balaghah), kepada penekanan bagaimana membahas isu suatu kitab. Di samping itu, pembaharuan juga dilakukan dengan menggunaka sistem kelas dan berjenjang (hirarkis).

Dalam hal evaluasi, setelah pesantren membuka sistem madrasah, kini mengalami pergeseran bentuk keberhasilan (kelulusan) santri. Dari yang semula di ukur dengan legitimasi restu kyai dengan cara terlebih dahulu ditentukan oleh penampilan kemampuan mengajarkan kitab pada orang lain dan audiennya (mustami‟) menjadi puas, kebentuk ujian (imtihan) resmi dengan sistem pemberian angka-angka tanda lulus atau naik tingkat bahkan dengan ijazah (formal).39

b. Prinsip-prinsip, Tujuan dan Manfaat Kurikulum Berbassis Kecakapan Hidup (life skills)

Prinsip-prinsip kurikulum berbassis kecakapan hidup (life skills) meliputi beberapa hal berikut :

1) Kurikulum berbassis kecakapan (life skills) hendaknya tidak mengubah system pendidikan yang yang telah berlaku.

2) Kurikulum berbassis kecakapan hidup (life skills) tidak harus merubah kurikulum yang sudah ada , tetapi yang diperlukan adalah penyiasatan kurikulum yang sudah ada untuk diorientasikan pada kecakapan hidup 3) Etika sosio relegius bangsa tidak boleh dikorbankan dalam kurikulum

berbassis kecakapan hidup (life skills), melainkan justru sedapat mungkin diintegrasikan dalam proses pendidikan

4) Pembelajaran kecakapan hidup (life skills) menggunakan prinsip learning

to know (belajar untuk mengetahui sesuatu), learning to do (belajar untuk

39

Ahmad Muthohar, AR., Ideologi Pendidikan Pesantren; Pesantren Di Tengah Arus

(33)

23 dapat mengerjakan sesuatu), learning to be (belajar untuk menjadi jati dirinya sendiri), dan learning to life together (belajar untuk hidup bersama).

5) Pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup (life skills) di pondok pesantren hendaknya menggunakan manajemen berbasis pondok pesantren

6) Potensi daerah sekitar pondok pesantren dapat direfleksikan dalam penerapan kurikulum berbassis kecakapan hidup (life skills) di pondok pesantren, sesuai dengan pendidikan kontekstual (contextual teaching

learning/CTL) dan pendidikan berbasis luas (broad based education).

7) Paradigma learning for life (belajar untuk kehidupan) dan learning to

work (belajar untuk bekerja) dapat dijadikan sebagai dasar kurikulum

berbassis kecakapan hidup (life skills), sehingga terjadi pertautan antara kurikulum berbassis kecakapan hidup (life skills) dengan kebutuhan nyata para peserta didik atau santri.

8) Penyelenggaraan kurikulum berbassis kecakapan hidup (life skills) diarahkan agar peserta didik atau santri menuju hidup yang sehat dan berkualitas, mendapatkan pengetahuan, wawasan dan ketrampilan yang luas serta memiliki akses untuk memenuhi standar hidup secara layak.40

Secara umum kurikulum berorientasi pada kecakapan hidup yang bertujuan memfungsikan pendidikan sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi peserta didik atau santri untuk menghadapi perannya di masa yang akan datang.

Kurikulum berbasis kecakapan hidup (life skills) secara khusus bertujuan untuk:

1) Mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga mereka cakap bekerja (cakap hidup) dan mampu memecahkan masalah hidup sehari-hari. 2) Merancang pendidikan dan pembelajaran agar fungsional bagi kehidupan

masa sekarang dan yang akan datang.

40 M. Sulthon Masyhud, dkk. Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, Cet. II,

(34)

24 3) Memberikan kesempatan sekolah/madrasah untuk mengembangkan

pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan pendidikan berbasis luas. 4) Mengoptimalisasikan pemanfaatan sumber daya di lingkungan

sekolah/madrasah dan masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.

Menyimak tujuan kurikulum berbasis kecakapan hidup (life skills) tersebut, secara tersirat menjelaskan kepada kita bahwa lembaga pendidikan diharuskan memberikan peluang yang luas dan besar kepada peserta didiknya untuk mendapatkan pendidikan tambahan yang berdimensi kecakapan hidup bagi semua peserta didik. Pendidikan tambahan tersebut bukan berarti menambah jam pelajaran, tetapi memberikan materi-materi yang dapat menggugah peserta didik (santri) untuk dapat secara responsif dan proaktif menggeluti sebuah ketrampilan sehingga santri mampu memanfaatkan ketrampilan tersebut untuk kepentingan masa depannya.

Adapun manfaat kurikulum berbasis kecakapan hidup (life skills), secara umum adalah sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan masalah kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri, warga masyarakat maupun sebagai warga Negara. Secara khusus manfaat kurikulum berbasis kecakapan hidup (life skills) meliputi:

1) Untuk membekali individu dalam hidup 2) Untuk merespon kejadian dalam hidup

3) Yang memungkinkan hidup dalam masyarakat yang interdependen 4) Yang membuat individu mandiri, produktif, mengarahkan pada

kehidupan yang memuaskan dan memiliki kontribusi pada masyarakat 5) Yang memungkinkan individu untuk berfungsi secara efektif di dunia

yang selalu berubah

Jika semua manfaat di atas dicapai, maka faktor ketergantungan terhadap lapangan pekerjaan yang sudah ada dapat diturunkan, yang berarti produktifitas nasional akan meningkat secara bertahap.

(35)

25 c. Penerapan Kurikulum Berbasis Kecakapan Hidup (Life Skills) di

Pondok pesantren

Penerapan atau implementasi adalah suatu proses penerapan ide, konsep, kebijakan atau inovasi dalam suatu tindakan praktisnsehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap. Dalam Oxford Advance Learner‟s Dictionary dikemukakan bahwa implementasi adalah “put something into effect” (penerapan sesuatu yang memberikan efek atau dampak). Berdasarkan definisi penerapan atau implementasi tersebut, implementasi kurikulum berbasis kecakapan hidup (life skills) dapat diberi pengertian sebagai suatu proses penerapan ide, konsep dan kebijakan kurikulum (kurikulum potensial) dalam suatiu aktivitas pembelajaran sehingga peserta didik atau santri menguasai kecakapan hidup tertentu sebagai hasil interaksi dengan lingkungan.

Memahami uraian tersebut, dapat dikemukakan bahwa implementasi atau penerapan kurikulum adalah operasionalisasi konsep kurikulum yang masih bersifat potensial (tertulis) menjadi aktual dalam bentuk kegiatan pembelajaran. Dengan demikian implementasi kurikulum merupakan hasil terjemahan guru terhadap kurikulum yang dijabarkan dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran sebagai rencana tertulis.41

Kecakapan hidup merupakan orientasi pendidikan yang mensinergikan mata pelajaran menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, dimanapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya. Jadi penerapan kurikulum berbasis kecakapan hidup (Life Skills) di pondok pesantren adalah bagaimana menyampaikan pesan-pesan kurikulum kepada peserta didik atau santri untuk mendapatkan kecakapan hidup yang setidaknya membuat para santri mampu menghadapi kompleksitas permasalahan yang ada dalam lingkungannya kelak. Penerapan Kurikulum Berbasis Kecakapan Hidup (Life Skills) di pondok pesantren merupakan suatu proses penerapan ide, konsep kebijakan, atau inovasi dalam

41 E. Mulyasa, Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Kemandirian Guru dan

(36)

26 suatau tindakan praktis sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap para santri.

Terdapat beberapa aspek yang yang tercakup dalam kurikulum berbasis kecakapan hidup ((Life Skills)) di pondok pesantren.

Aspek I kecakapan hidup, meliputi: 1) Kecakapan dasar, terdiri dari :

a) Belajar mandiri

b) Membaca, menulis dan berhitung c) Berpikir

d) Kalbu

e) Mengelola raga

f) Merumuskan kepentingan dan mencapainya g) Keluarga dan sosial

2) Kecakapan instrumental, terdiri dari: a) Memanfaatkan teknologi

b) Mengelola sumberdaya

c) Bekerjasama dengan orang lain d) Memanfaatkan informasi e) Menggunakan sistem f) Berwira usaha g) Kejuruan

h) Memilih dan mengembangkan karir i) Menjaga harmoni dengan lingkungan dan j) Menyatukan bangsa

Aspek II kecakapan hidup, meliputi ; 1) General life skills;

a) Kesadaran diri

1) sadar sebagai mahluk Tuhan

2) sadar akan potensi diri (fisik dan psikologi) 3) sadar sebagai mahluk sosial

(37)

27 b) kecakapan berpikir

1) kecakapan menggali informasi 2) mengelola informasi

3) menyelesaikan masalah secara kreatif dan aris dan 4) mengambil keputusan secara cepat dan tepat.

2) Spesific life skills; kecakapan yang terkait dengan pekerjaan yang ada di lingkungan yang ingin ditekuni. Kecakapan ini meliputi kecakapan akademik antara lain :

a) Kecakapan mengidentifikasi variable b) Kecakapan menghubungkan variable c) Kecakapan merumuskan hipotesis d) Kecakapan melaksanakan penelitian

e) Kecakapan vokasional, disebut juga dengan kecakapan kejuruan, karena sudah mengarah kepada bidang pekerjaan tertentu yang ada di masyarakat.

Aspek III kecakapan hidup, meliputi beberapa kecakapan antara lain: 1) Personal skills yaitu; kecakapan memelihara sukma atau roh dan

memelihara raga.

2) Social skills yaitu; memelihara hubungan dengan masyarakat umum dan hubungan dengan masyarakat khusus.

3) Environmental skills yaitu; memelihara lingkungan nyata dan lingkungan ghaib.

4) Occupational skills, menguasai salah satu pekerjaan yang halal.

Secara garis besar penerapan kurikulum berbasis kecakapan hidup (life skills) dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu kecakapan hidup yang bersifat umum (General Life Skills/GLS) dan kecakapan hidup yang bersifat spesifik (Spesifik Life Skills/SLS). Kecakapan hidup yang bersifat umum atau GLS adalah kacakapan yang perlu diperlukan oleh siapapun, baik yang bekerja, yang tidak bekerja dan yang sedang menempuh pendidikan, kecakapan ini terbagi menjadi tiga (3) bagian, yaitu:

(38)

28

1) Kecakapan mengenal diri (personal skills) atau disebut dengan selfawreness. Kecakapan mengenal diri ialah suatu kemampuan

berdialog yang diperlukan seseorang untuk mengaktualisasikan jati diri dan menemukan kepribadian dengan cara menguasai serta merawat raga dan sukma atau jasmani dan rohani. Atau dengan kata lain :

a) Penghayatan diri sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, anggota masyarakat dan warga negara.

b) Menyadari dan menyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. 2) Kecakapan berpikir rasional (thingking skills) antara lain :

a) Kecakapan menggali dan menemukan informasi

b) Kecakapan mengelola informasi dan mengambil keputusan c) Kecakapan memecahkan masalah

3) Kecapan sosial (social skills)

a) Kecakapan komunikasi dengan empati (communication skills) b) Kecakapan bekerjasama (collaboration skills)

Sedangkan kecakapan hidup yang bersifat spesifik atau specific life

skills SLS adalah kecakapan hidup yang harus dimiliki seseorang secara

khusus, atau disebut juga dengan kompetensi teknis. Kecakapan ini terbagi menjadi dua (2) bagian, yaitu:

1) Kecakapan akademik atau kemampuan berpikir ilmiah (academic skill). Pada dasarnya kecakapan akademik merupakan pengembangan dari kecakapan berpikir pada general life skills (GLS). Jika kecakapan berpikir pada GLS masih bersifat umum, kecakapan akademik sudah lebih mengarah pada pemikiran bahwa bidang pekerjaan yang ditangani memang lebih memerlukan berpikir ilmiah. Kecakapan ini mencakup: a) Kecakapan mengidentifikasi variable dan menjelaskan hubungan

antar variable tersebut.

b) Kecakapan merumuskan hipotesis

(39)

29 2) Kecakapan Vokasional/kemampuan kejuruan (vocational skill).

Kecakapan vokasional lebih cocok bagi siswa yang akan menekuni pekerjaan yang akan mengandalkan ketrampilan psikomotor dari pada kecakapan berpikir ilmiah. Kecakapan vokasional mempunyai dua bagian, yaitu; kecakapan vokasional dasar dan kecakapan vokasional khusus yang sudah terkait dengan pekerjaan tertentu. Kecakapan vokasional dasar meliputi beberapa hal, antara lain : melakukan gerak, menggunakan alat sederhana yang diperlukan bagi semua orang menekuni pekerjaan manual (misalnya palu, tang, obeng dan lain-lain). Sedangkan kecakapan vokasional khusus yang diperlukan bagi mereka yang akan menekuni pekerjaan yang sesuai. Prinsipnya dalam kecakapan ini menghasilkan barang atau jasa.

Dalam kehidupan sehari-hari antara GLS dan SLS tidak berfungsi secara terpisah, tetapi melebur menjadi satu tindakan individu yang melibatkan aspek pisik, mental, emosional dan intelektual.

Konsep life skill di lembaga pendidikan merupakan wacana pengembangan kurikulum yang telah sejak lama menjadi perhatian para pakar. Oleh karena itu, dalam rangka pengembangan silabus konsep life skill ini perlu mendapatkan perhatian khusus, terutama pada mata pelajaran yang menekankan pada kecakapan hidup atau bekerja. Dalam pengembangan silabus, life skill dimaknai sebagai :

1) Kecakapan apa yang relevan dipelajari santri, dengan kata lain, kemampuan apa yang harus mereka kuasai setelah menyelesaikan kompetensi dasar atau standar kompetensi tertentu

2) Bahan belajar apa yang harus dipelajari sebagai wahana untuk menguasai kemampuan tersebut

3) Kegiatan dan pengalaman belajar seperti apa yang harus dilakukan dan di alami sendiri oleh santri sehingga ia menguasai standar kompetensi tertentu.

4) Fasilitas alat sumber dan belajar bagaimana yang perlu disediakan untuk mendukung ketercapaian standar kompetensi tertentu.

(40)

30 Dengan demikian life skill memiliki makna yang lebih luas dari kecakapan kerja tertentu, tetapi bermakna kecakapan hidup. Pengertian kecakapan hidup disini tidak semata-mata berarti memiliki kemampuan tertentu saja. Namun santri atau peserta didik harus memiliki kompetensi dasar pendukungnya seperti membaca, menulis, menghitung, merumuskan dan memecahkan masalah, mengelola sumber-sumber daya, bekerja sama dalam tim atau kelompok, mempergunakan teknologi dan sebagainya. Life

skill menunjuk berbagai ragam kemampuan yang diperlukan seseorang untuk

menempuh kehidupan dengan sukses, bahagia dan bermartabat di masyarakat. Berdasarkan konsepsi dan penggolongan kecakapan hidup, beberapa hal perlu diperhatikan antara lain :

1) Kecakapan hidup merupakan perluasan spectrum isi pendidikan bukan pragmatisme baru guna mengakomodasi dan mengantisipasi tuntutan, kebutuhan tantangan dan kebutuhan baru yang muncul sebagai konsekuensi logis dari berbagai perkembangan yang dihadapi oleh peserta didik atau santri.

2) Kecakapan hidup bukan sekedar penjumlahan bermacam-macam kecakapan yang disebut di atas, melainkan satu kesatuan, kepaduan, keutuhan dan kesenyawaan berbagai kecakapan hidup tersebut. Karena itu kecakapan hidup tidak identik apalagi sama dengan kecakapan berpikir dan bernalar, kecakapan akademis, kecakapan sosial, kecakapan personal dan kecakapan vokasional atau penjumlahan kelima kecakapan tersebut. Ini menunjukan bahwa kecakapan hidup perlu dilihat secara integrative dan holistic.

3) Kecakapan hidup bukan berkenaan dengan kecakapan pisikomotorik anggota tubuh semata, tetapi juga berkenaan dengan kecakapan berpikir dan sikap sosial humaniora yang dibutuhkan masyarakat luas khususnya peserta didik dalam berkiprah dalam kehidupan sehari-hari.

4) Kecakapan hidup harus kontekstual, antisipatif, prospektif dan relevan secara sosio ekonomis, sosio cultural dan lain-lain. Dengan kata lain kecakapan hidup harus membumi dan akrab dengan masyarakat luas.

(41)

31 Oleh sebab itu, analisis kebutuhan masyarakat akan kecakapan hidup akan sangat menentukan kecakapan hidup yang dikembangkan dan dibentuk pada suatu masyarakat lembaga pendidikan.

5) Kecakapan hidup mengutamakan kinerja dan praksis dari pengetahuan, kemampuan, sikap dan nilai. Sebagai contoh kecakapan personal membutuhkan wujud dan praktik semangat kerja keras, etos wira usaha, jiwa tahan banting dalam hidup nyata daripada sekedar pengetahuan tentang kerja keras, etos wira usaha dan jiwa tahan banting saja.

Kelima hal tersebut mengimplikasikan bahwa kecakapan hidup merupakan kiat dan praksis yang membuat masyarakat luas dapat mandiri dan otonom dalam menjalani dan mengembangkan kehidupan sehari-hari yang berubah-ubah dan tidak pasti.

Penerapan kurikulum berbasis kecakapan hidup setidaknya dipengaruhi oleh tiga faktor berikut:

1) Karakteristik kurikuluim, yaitu yang mencakup ruang lingkup ide baru suatu kurikulum dan kejelasannya bagi pengguna di lapangan.

2) Strategi implementasi, yaitu strategi yang digunakan dalam implementasi, seperti diskusi profesi, seminar, penataran, loka karya, penyediaan buku kurikulum, dan kegiatan-kegiatan yang dapat mendorong pengguna kurikulum di lapangan.

3) Karakteristik pennguana kurikulum, yang meliputi pengetahuan, ketrampilan,nilai, dan guru terhadap kurikulum, serta kemampuannya untuk merealisasikan kurikulum (currriculum planing) dalam pembelajaran.

Sejalan dengan uraian diatas, Mars (1998) mengemukakan tiga faktor yang mempengaruhi implementasi kurikulum, yaitu dukungan kepala sekolah atau kepala pondok pesantren, dukungan rekan sejawat guru (asatidz), dan dukungan internal yang datang dari dalam diri ustadz sendiri. Dari berbagai faktor tersebut guru merupakan faktor penentu disamping faktor-faktor yang lain. Dengan kata lain, keberhasilan implementasi atau penerapan kurikulum berbasis kecakapan hidup di pondok pesantren sangat

(42)

32 ditentukan oleh dewan asatidz, karena bagaimanapun baiknya sarana pendidikan jika guru tidak memahami dan melaksanakan tugas dengan baik, maka hasil implementasi kurikulum tidak akan memuaskan. 42

42 E. Mulyasa, Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Kemandirian Guru dan

(43)

33 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini digunakan jenis penelitian lapangan (field

research), yaitu riset yang dilakukan dikancah atau medan terjadinya

gejala-gejala. 43 Di sini penulis mengumpulkan data dari lapangan dengan mengadakan penyelidikan secara langsung di lapangan untuk mencari berbagai masalah yang ada relevansinya dengan penelitian ini.44 Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yaitu penelitian yang tidak menggunakan perhitungan. Secara teknis penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam bahasa dan dalam peristilahannya45. Oleh karena itu penelitian ini tidak melibatkan perhitungan, maka hasil yang diperoleh berupa data yang berwujud kata-kata tertulis atau lisan orang yang diamati.

B. Waktu dan tempat Penelitian

Penelitian dengan judul penerapan kurikulum berbasis kecakapan hidup (life skiils) sebuah studi di pondok pesantren al-fadllu jagalan kutoharjo kaliwungu kendal ini dilaksanakan dari tanggal 11 November 2011 sampai dengan tanggal 21 November 2011 bertempat di pondok pesantren Al-fadllu Kendal. Namun sebelum penelitian ini dilakukan peneliti telah lebih dulu melaksanakan pengamatan-pengamatan dan mencari informasi tentang seputar penerapan kurikulum berbasis kecakapan hidup di pondok pesantren Al-fadllu Kendal (pra riset), tepatnya pada bulan Agustus dan September 2011.

43 Sutrisno Hadi, Metodologi Research I, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fak. Psikologi

UGM), 1997, hlm. 10.

44 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Telaah Potivistik, Rasionalistik, dan

Phenomenologik), (Yogyakarta: Rake Sarasin), 2002, hlm. 38.

45 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. XXII, (Bandung : PT. Pemaja

Referensi

Dokumen terkait

Populasi dari spesies r memiliki kecenderungan untuk meningkatkan ukuran mereka secara eksponensial pada saat tidak terdapat pembatasan oleh faktor lingkungan.. Populasi

Hal ini disebabkan karena bahan pencampur yaitu sekam padi yang digunakan dalam pembuatan filter tembikar dapat memperbesar pori-pori filter sehingga memperbesar

Virus mosaik bergaris tebu (Sugarcane Streak Mosaic Virus) merupakan salah satu penyakit penting yang menyebabkan mosaik pada tanaman tebu yang umumnya menyebar

Fukushi (副詞 ) atau adverbia adalah kelas kata yang dapat berdiri sendiri dan tidak mengalami perubahan bentuk, serta dapat menjadi subjek predikat dan objek.. Contoh:

Color Run yang diselenggarakan dalam rangka launching varian baru All New Honda BeAT Kediri ini juga dimeriahkan oleh DJ Putri Una serta band-band pendukung lain serta

Sedangkan bagian permukaan dikendalikan oleh kehidupan jahat hingga terbawa telah melakukan beberapa hal yang buruk, ini dikarenakan terdapat keterikatan hati sehingga telah

Sehingga hipotesis yang diajukan diterima dan dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan hasil tes mata pelajaran fiqh materi pokok puasa ramadhan antara siswa

Untuk mengatasi kepasifan peserta didik salah satu bentuk pembelajaran yang bisa dilakukan adalah cooperative learning dengan metode TPS (Think-Pair-Share) yaitu sebuah