• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ASPEK HUKUM PIDANA PADA PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II ASPEK HUKUM PIDANA PADA PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

ASPEK HUKUM PIDANA PADA PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA

A. Aspek Hukum Perdata Pada Jaminan Fidusia 1. Sejarah Lahirnya Jaminan Fidusia

Fidusia sebagai lembaga jaminan sudah lama dikenal dalam masyarakat Romawi, pada mulanya lembaga jaminan ini tumbuh dan hidup dalam hukum kebiasaan. Berdasarkan pertautan sejarah, lembaga jaminan fidusia awalnya diatur dalam yurisprudensi dan kini telah mendapat pengakuan dalam Undang-Undang. Fidusia merupakan lembaga yang berasal dari sistem hukum perdata barat yang

bereksistensi dan berkembang dalam sistem hukum civil law.64

Perkembangannya, ada dua bentuk jaminan fidusia, yaitu fidusia cum creditore dan fidusia cum amico. Keduanya timbul dari perjanjian yang disebut pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cessio. Dalam bentuk yang pertama atau yaituFiducia cum creditore yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditor, dikatakan bahwa debitor akan mengalihkan kepemilikan atas sutau benda kepada kreditor sebagai jaminan atas hutangnya dengan kesepakatan bahwa kreditor akan mengalihkan kembali

kepemilikan tersebut kepada debitor apabila utangnya sudah dibayar lunas.65

64Tan Kamelo, Op.Cit., hal. 35-36

(2)

Timbulnya Fiducia cum creditore ini disebabkan kebutuhan masyarakat akan hukum jaminan. Pada waktu itu dirasakan adanya suatu kebutuhan mengenai hukum jaminan namun belum diatur oleh konstruksi hukum. Dengan fiducia cum creditore ini maka kewenangan yang dimiliki oleh kreditor akan lebih besar yaitu sebagai pemilik atas barang yang diserahkan sebagai jaminan. Debitor percaya bahwa kreditor tidak akan menyalahgunakan wewenang yang diberikan itu. Kekuatannya hanya terbatas pada kepercayaan dan secara moral saja bukan berdasarkan kekuatan hukum. Debitor tidak dapat berbuat apapun jika kreditor tidak mau mengembalikan hak milik atas barang yang diserahkan sebagai jaminan itu. Hal ini merupakan kelemahan fidusia pada bentuk awalnya jika dibandingkan

dengan sistem hukum jaminan fidusia yang kita kenal sekarang.66

Karena adanya kelemahan itu maka ketika gadai dan hipotek berkembang sebagai hak-hak jaminan, fidusia menjadi terdesak bahkan akhirnya hilang sama sekali dari Hukum Romawi. Jadi fidusia timbul karena memang ada kebutuhan masyarakat akan hukum jaminan dan kemudian lenyap karena dianggap tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Masyarakat romawi pada waktu itu menganggap bahwa gadai dan hipotek dianggap lebih sesuai karena adanya aturan tertulis sehingga lebih memberi kepastian hukum. Gadai dan hipotek juga memberikan hak-hak yang seimbang antara kreditor dan debitor. Demikian pula hak-hak dari pihak ketiga akan lebih terjamin kepastiannya karena ada aturannya pula.67

66 Ibid., hal. 120 67Ibid., hal. 120-121

(3)

Gadai merupakan hak jaminan yang diatur dalam Pasal 1150 KUHPerdata. Menurut Pasal 1150 KUHPerdata, gadai merupakan suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas hutangnya dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dari barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain, dengan pengecualian bahwa biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu

diserahkan sebagai gadai dan yang harus didahulukan.68

Sementara menurut Pasal 1162 KUHPerdata, Hipotek adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, tujuannya untuk mengambil pengantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan. Hipotek, seperti halnya gadai, merupakan suatu hak yang bersifat accesoir karena mengikuti suatu perikatan pokok yang telah ada antara kreditur dan debitur, yang berupa utang-piutang. Akan tetapi, hipotek tidak dapat dibebankan pada benda bergerak, Pasal 1167 KUHPerdata secara tegas melarangnya. Objek dari Hipotek dengan demikian hanyalah benda tidak bergerak seperti yang ditentukan dalam Pasal 1164

KUHPerdata.69

Kemudian selain dikenal jaminan fiducia cum creditore, dikenal pula jaminan titipan yang disebut dengan Fiducia Cum amico Contracto yang artinya janji kepercayaan yang dibuat dengan teman. Jaminan ini pada dasarnya sama dengan arti “trust” yaitu percaya sebagaimana dikenal dalam sistem hukum

68 H. Salim HS, Op.Cit., hal. 33 69Oey Hoey Tiong, Op.Cit., hal. 20

(4)

“Common Law”. Lembaga ini sering digunakan dalam hal seorang pemilik suatu benda harus mengadakan perjalanan keluar kota dan sehubungan dengan itu menitipkan kepemilikan benda tersebut kepada temannya dengan janji bahwa teman tersebut akan mengembalikkan kepemilikan benda tersebut jika pemiliknya sudah kembali dari perjalannya. Dalam Fiducia cum amico contracto ini kewenangan diserahkan kepada pihak penerima akan tetapi kepentingan tetap ada

pada pihak pemberi.70

Perkembangan jaminan fidusia selanjutnya adalah ketika Hukum Belanda merepsi Hukum Romawi, namun pada saat itu Fidusia sudah lenyap maka fidusia tidak ikut diresepsi. Itulah sebabnya mengapa dalam Burgerlijk Wetboek (BW) Belanda tidak ditemukan pengaturan tentang fidusia begitu juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia yang menganut asas konkordasi, tidak

ditemukan pengaturan tentang fidusia.71

Perkembangan yang terjadi di Belanda, yaitu dalam Burgerlijk Wetboek (BW) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, jaminan yang diatur adalah gadai untuk barang bergerak dan hipotek untuk barang tidak bergerak. Pada mulanya kedua jaminan dirasakan cukup memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang perkreditan. Tetapi dengan terjadinya krisis pertanian yang melanda negara-negara Eropa pada pertengahan sampai akhir abad ke-19, terjadi penghambatan pada perusahaan-perusahaan pertanian untuk memperoleh kredit. Pada waktu itu tanah sebagai jaminan kredit agak kurang populer, dan kreditor menghendaki jaminan gadai sebagai jaminan tambahan disamping jaminan tanah

70Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit., 119-120 71Ibid.

(5)

tadi. Dengan menyerahkan alat-alat pertaniaannya sebagai jaminan gadai dalam pengambilan kredit rasanya sama saja dengan bunuh diri. Apalah artinya kredit yang diperoleh kalau alat-alat pertanian yang dibutuhkan untuk mengolah tanah sudah berada dalam penguasaan kreditor. Terjadilah perbedaan kepentingan antara kreditor dan debitor yang cukup menyulitkan kedua pihak. Untuk melakukan gadai tanpa penguasaan terbentur pada ketentuan Pasal 1152 ayat (2) KUHPerdata

yang melarangnya.72

Dengan adanya berbagai kelemahan diatas, dalam praktik timbul lembaga baru, yaitu Fidusia. Pada awal perkembangannya sebagaimana yang terjadi di Negeri Belanda mendapat tantangan yang keras dari Yurisprudensi karena dianggap menyimpang (wetsontduiking) dari ketentuan Pasal 1152 ayat (2) KUHPerdata yaitu tidak memenuhi syarat tentang harus adanya causa yang diperkenankan. Namun, dalam perkembangannya arrest Hoge Raad 1929, tertanggal 25 Januari 1929 mengakui sahnya figur fidusia. Arrest ini terkenal dengan Bierbrouwerij Arrest yang berisi pertimbangan yang diberikan oleh Hooge Raad lebih menekankan kepada segi hukumnya dari segi kemasyarakatan. Hooge Raad berpendapat perjanjian fidusia bukanlah perjanjian gadai dan tidak

terjadi penyimpangan hukum.73

P.A Stein yang dikutip oleh H.Salim dalam bukunya, berpendapat bahwa Dengan adanya sejumlah Arrest dari Hooge Raad yang mengakui adanya lembaga fidusia, maka tiada ragu tentang sahnya lembaga tersebut dimana Hooge Raad

72Ibid, hal. 122 73Ibid.,

(6)

memberikan keputusan-keputusan dan pertimbangan-pertimbangan sebagai

berikut74

1. Fidusia tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang mengenai gadai karena disitu tidak dilakukan perjanjian gadai;

:

2. Fidusia tidak bertentang dengan ketentuan Undang-Undang mengenai hak jamina bersama bagi kreditur, karena ketentuan mengenai hal tersebut berlaku bagi semua benda-benda bergerak maupun benda tetap dari debitur, sedang fidusia justru bendanya bukan haknya debitur;

3. Dari ketentuan mengenai gadai sama sekali tidak dapat disimpulkan adanya maksud pembentuk Undang-Undang bahwa sebagai jaminan hutang hanya dimungkinkan benda-benda bergerak yang tidak boleh berada pada tangan debitur;

4. Fidusia merupakan alas hak untuk perpindahan hak milik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 639 BW (Pasal 584 KUHPerdata);

5. Namun demikian, kemungkinna perpindahan hak tersebut semata-mata hanya dimaksudkan sebagai pemberian jaminan, tanpa penyerahan nyata dari barangnya, dan perpindahan hak demikian tidak memberikan semua akibat-akibat hukum sebagaimana yang berlaku pada perpindahan hak milik yang normal.

Di Indonesia, lembaga Fidusia lahir berdasarkan Arrest Hoggerechtshof 18 Agustus 1932 (BPM-Clynet Arrest). Lahirnya Arrest ini karena pengaruh asas konkordansi. Lahirnya Arrest ini dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan yang mendesak dari pengusaha-pengusaha kecil, pengecer, pedagang menengah, pedagang grosir yang memerlukan fasilitas kredit untuk usahanya. Perkembangan perundang-undangan fidusia pada saat itu sangat lambat, karena undang-undang yang mengatur tentang jaminan fidusia baru diundangkan pada tahun 1999,

berkenaan dengan bergulirnya era reformasi.75

Seiring dengan perjalanannya, fidusia telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Perkembangan itu misalnya menyangkut kedudukan para pihak.

74H.Salim HS, Op.Cit., hal. 59-60 75Ibid., hal. 60

(7)

Pada Zaman Romawi dulu, Kedudukan penerima fidusia adalah sebagai pemilik atas barang yang difidusiakan, akan tetapi sekarang sudah diterima bahwa penerima fidusia hanya berkedudukan sebagai pemegang jaminan saja. Tidak hanya sampai disitu, perkembangan selanjutnya juga menyangkut kedudukan debitor, hubungannya dengan pihak ketiga dan mengenai objek yang dapat difidusiakan. Mengenai objek fidusia ini, baik Hooge Raad Belanda maupun Mahkamah Agung di Indonesia secara konsekuen berpendapat bahwa fidusia hanya dapat dilakukan atas barang-barang bergerak. Namun dalam praktek kemudian orang sudah menggunakan fidusia untuk barang-barang tidak

bergerak.76

Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 perbedaan antara barang bergerak dan tidak bergerak menjadi kabur karena undang-undang tersebut menggunakan pembedaan berdasarkan tanah dan bukan tanah tetapi dengan lahirnya Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia maka jelas bahwa objek Jaminan Fidusia meliputi benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan hak-hak atas tanah yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996

Tentang Hak Tanggungan.77

76Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit., hal. 127-128 77 Ibid., hal. 128

(8)

2. Jaminan Fidusia Sebagai Jaminan Dengan Hak Kebendaan a. Jaminan Fidusia Sebagai Jaminan Dengan Hak Kebendaan

Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu “Zekerheid” atau “Cautie”. “Zekerheid” atau “Cautie” mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya, disamping pertanggung

jawaban umum debitur terhadap barang-barangnya.78

Dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta dari tanggal 20 sampai dengan 30 Juli 1977 disimpulkan pengertian jaminan yang dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman, Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. Oleh karena itu, hukum jaminan erat sekali hubungannya

dengan hukum benda-benda.79

Pada dasarnya keberadaan jaminan merupakan prasyarat untuk memperkecil risiko kreditur dalam penyaluran kredit. Sebagai langkah antisipatif dalam menarik kembali kredit atau pembiayaan yang telah diberikan kepada debitur.

Dengan demikian, jaminan hendaknya dipertimbangkan dua faktor, yaitu80

78

H. Salim HS, Op.Cit., hal. 21 79

Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Creditverband, Gadai, dan Fidusia, Alumni, Bandung, 1987, hal. 227 – 265

80Johannes Ibrahim, Cross Default & Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian

Kredit Bermasalah, Refika Aditama, Bandung, 2004, hal. 71.

:

1. Secured, artinya jaminan kredit dapat diadakan pengikatan secara yuridis formal, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan. Jika kemudian hari terjadi wanprestasi dari debitur, maka bank memiliki kekuatan yuridis untuk melakukan tindakan eksekusi.

(9)

2. Marketable, artinya jaminan tersebut bila hendak dieksekusi, dapat segera dijual atau diuangkan untuk melunasi seluruh kewajiban debitur.

keberadaan jaminan mempunyai kedudukan dan manfaat yang sangat penting dalam menunjang pembangunan ekonomi. Keberadaan jaminan dapat memberikan manfaat baik bagi kreditur maupun debitur. Bagi debitur, dengan adanya benda jaminan itu dapat memperoleh fasilitas kredit dari bank maupun lembaga pembiayaankonsumen dan tidak khawatir dalam pengembangan usaha yang dijalankannya, karena sudah tersedia modal yang memadai sesuai dengan kebutuhannya. Dengan modal yang diperoleh melalui fasilitas kredit itu debitur dapat menjalankan bisnisnya dengan lancar. Sedangkan manfaat jaminan bagi

kreditur, mencakup81

a. Terwujudnya keamanan transaksi dagang yang ditutup :

b. Memberikan kepastian hukum bagi kreditur.

Kepastian hukum yang dimaksud adalah kepastian hukum untuk menerima pengembalian pokok kredit dan bunga dari debitur. Apabila debitur tidak mampu dalam pengembalian pokok kredit dan bunga, maka bank dapat melakukan eksekusi terhadap benda jaminan.

Ada 5 (lima) azas penting dalam hukum jaminan, yaitu82

1. Asas publicitet, yaitu asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek harus didaftarkan. Pendaftaran ini

:

81Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti,Bandung, 1996,

hal. 31.

(10)

dimaksudkan supaya pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan pembebanan jaminan.

2. Asas specialitet, yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek hanya dapat dibebankan atas persil atau atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu;

3. Asas tak dapat dibagi-bagi, yaitu asas dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan,hak fidusia, hipotek, dan hak gadai walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian.

4. Asas inbezittstelling, yaitu barang jaminan (gadai) harus berada pada penerima gadai;

5. Asas horizontal, yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah negara maupun tanah hak milik. Bangunannya milik dan yang bersangkutan atau pemberi tanggungan, tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan hak pakai.

Jaminan terbagi atas 2 (dua) golongan, yaitu jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Jaminan perorangan(Borgtoch/Personal guarantiee) adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seorang pihak ketiga guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada kreditur, apabila

debitur yang bersangkutan cidera janji atau Wanprestasi.83

83 Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik

Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang Pressindo, Yogyakarta, 2007, hal.

33-34.

Jaminan kebendaan mempunyai ciri-ciri “kebendaan” dalam arti memberikan hak mendahului diatas

(11)

benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda yang

bersangkutan. Jaminan kebendaan ini menurut sifatnya dibagi menjadi :84

1) jaminan dengan benda berwujud, berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak,

2) jaminan dengan benda tidak berwujud yang dapat berupa hak tagih.

Kebendaan merupakan suatu istilah dalam ilmu hukum yang berkonotasi secara langsung dengan istilah “benda”. Benda atau kebendaan atau zaak menunjuk pada sesuatu yang dapat dimiliki. Hukum tentang kebendaan ini diatur dalam Buku II KUHPerdata. Dalam Buku II KUHPerdata, benda atau kebendaan

dapat dibedakan kedalam :85

1. Kebendaan berwujud dan tidak berwujud 2. Kebendaan bergerak dan tidak bergerak

3. Kebendaan yang habis dipakai (Vebruikbaar) dan kebendaan yang tidak habis dipakai (onverbruikbaar)

Ilmu hukum juga membedakan kebendaan kedalam kebendaan yang sudah ada dan kebendaan yang akan ada. Meskipun dalam rumusan Pasal 503 KUHPer dikatakan secara tegas bahwa tiap-tiap kebendaan adalah berwujud atau tidak berwujud, namun tidak ditemukan secara pasti apa yang dinamakan

84H.Salim HS, Op.Cit., Hal.23-25 85 Herowati Poesoko, Op.Cit., hal. 53

(12)

dengankebendaan yang tidak berwujud. Hanya ada 4 Pasal dalam KUHPer yang

menyebut istilah kebendaan tidak berwujud, yaitu :86

1. Pasal 613 yang mengatur tentang pemindahan hak milik atas kebendaan tidak berwujud

2. Pasal 814 mengenai hak memungut hasil atau bunga 3. Pasal 1158 tentang gadai atas piutang

4. Pasal 1164 tentang hipotek atas hak-hak tertentu

Dari rumusan-rumusan dalam pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan kebendaan tidak berwujud adalah hak-hak, termasuk didalamnya yang diatur dalam Pasal 508 KUHPer yaitu kebendaan tidak berwujud yang termasuk ke dalam kebendaan tidak bergerak dan Pasal 511 KUHPerdata,

Kebendaan tidak berwujud yang termasuk ke dalam kebendaan bergerak.87

Berdasarkan hal yang telah dijelaskan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Jaminan kebendaan ialah Jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu benda dengan ciri-ciri mempunyai hubungan langsung dengan benda tertentu dari debitur atau pihak ketiga sebagai penjamin, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya, dan dapat diperalihkan. Jaminan kebendaan ini selain dapat diadakan antara kreditur dengan debiturnya juga dapat diadakan antara kreditur dengan pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban si berutang atau debitur sehingga hak kebendaan ini memberikan kekuasaan yang langsung terhadap bendanya. Jaminan kebendaan lahir dan bersumber pada

86 Ibid, hal. 55 87Ibid.

(13)

perjanjian. Jaminan ini ada karena diperjanjikan antara kreditur dengan debitur. Berdasarkan hal tersebut jelas bahwa fidusia tergolong jaminan kebendaan karena merupakan perjanjian antara kreditur dan debitur yang berhubungan langsung dengan benda. Jaminan kebendaan ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) golongan

yaitu88

1) Jaminan benda tidak bergerak :

Yang termasuk dalam kategori jaminan benda tidak bergerak yaitu : a) Tanah (dengan atau tanpa bangunan dan tanaman diatasnya)

b) Mesin dan peralatan yang melekat pada tanah dan bangunan, dan merupakan satu kesatuan dengan tanah dan bangunan tersebut c) Bangunan rumah atau hak milik atas rumah susun bilamana

tanahnya berstatus hak milik atau hak guna bangunan. 2) Jaminan benda bergerak

Jaminan benda bergerak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: a) Benda berwujud

Contoh benda berwujud misalnya Kendaraan bermotor, Mesin-mesin, Kapal laut dan kapal terbang yang telah terdaftar, Persediaan barang.

b) Benda tidak berwujud

Contoh benda tidak berwujud yaitu Wesel , Sertifikat deposito, Obligasi, Saham dan sebagainnya.

88

(14)

Pembagian benda bergerak dan benda tidak bergerak memiliki arti yang penting dalam menentukan jenis lembaga jaminan mana yang dapat digunakan untuk pengikatan perjanjian kredit. Jika benda jaminan berupa benda bergerak maka dapat digunakan lembaga jaminan yaitu gadai dan fidusia. Sedangkan jikabenda jaminan merupakan benda tidak bergerak maka lembaga jaminannya

adalah hipotik atau hak tanggungan.89

Dari ketentuan tersebut, maka kita dapat mengetahui apa yang menjadi subyek dan obyek jaminan fidusia. Namun, sebelum menyimpulkan apa yang menjadi subyek dan obyek dari jaminan fidusia, maka kita harus mengetahui pengertian dari subyek dan obyek itu sendiri. Subyek Hukum atau Subject van een recht , yaitu orang yang mempunyai hak, manusia pribadi atau badan hukum yang berhak, berkehendak atau melakukan perbuatan hukum. Badan hukum adalah perkumpulan atau organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai subjek hukum, misalnya dapat memiliki kekayaan, mengadakan perjanjian dan sebagainnya. Sedangkan perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum yakni tindak seeorang berdasarkan suatu ketentuan hukum yang dapat menimbulkan

Terhadap apa yang dikemukakan di atas, maka Jaminan Fidusia sebagai Jaminan Kebendaan dipertegas dalam Pasal 1 angka (2) UUJF.

“Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.”

(15)

hubungan hukum, yaitu, akibat yang timbul dari hubungan hukum seperti perkawinan antara laki-laki dan wanita, yang oleh karenannya memberikan dan

membebankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada masing-masing pihak. 90

Obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum (manusia atau badan hukum) dan yang dapat menjadi pokok suatu perhubungan hukum, karena sesuatu itu dapat dikuasi oleh subyek hukum. Dalam hal ini tentunya sesuatu itu mempunyai harga dan nilai, sehingga memerlukan penentuan siapa yang berhak atasnya, seperti benda-benda bergerak ataupun tidak bergerak yang memiliki nilai dan harga, sehingga pengguasaanya diatur oleh kaidah

hukum.91Telah dibahas pada pembahasan sebelumnya bahwa sebelum berlakunya

UUJF, maka yang menjadi obyek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin, dan kendaraan bermotor. Tetapi dengan berlakunya UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka obyek jaminan fidusia diberikan pengertian yang luas. Berdasarkan undang-undang ini, obyek jaminan fidusia

dibagi menjadi dua macam, yaitu :92

1. Benda bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud.

2. Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan. Yang dimaksud dengan bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan yaitu kaitannya dengan bangunan rumah susun,

90

Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, cetakan ke-XVI, Jakarta, 2013, hal. 128

91Ibid, hal. 131

(16)

sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.

Subyek dari Jaminan fidusia adalah pemberi dan penerima fidusia. Pemberi fidusia adalah orang perorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia, sedangkan penerima fidusia adalah orang perorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan

fidusia.93

Setelah mengetahui subyek dan obyek dari jaminna fidusia, maka selanjutnya kita harus mengetahui asas-asas yang terdapat dalam jaminan fidusia. Dalam UUJF, pembentuk undang-undang tidak mencantumkan dengan tegas asa-asas hukum jaminan fidusia yang menjadi dasar pembentukan norma hukumnya, tetapi kita dapat menemukan dan mencari asas asas tersebut dalam pasal-pasal dari UUJF. Adapun asas-asas hukum jaminan fidusia yang terdapat dalam UUJF

adalah94

1) Asas bahwa kreditur penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditur yang diutamakan dari kreditur-kreditur lainnya. Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 2 UUJF.

:

2) Asas bahwa jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada. Dalam ilmu hukum, asas ini disebut dengan droit de suite atau zaaksgevolg.

93Ibid.,

(17)

3) Asas bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan yang lazim disebut asas asesoritas. Ditemukan dalam Pasal 4 UUJF.

4) Asas bahwa jaminan fidusia dapat diletakkan atas hutang yang baru akan ada. Ditemukan dalam Pasal 7 UUJF

5) Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap benda yang akan ada. Ditemukan dalam Pasal 9 UUJF

6) Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap bangunan atau rumah yang terdapat diatas tanah milik orang lain.

7) Asas bahwa jaminan fidusia berisikan uraian secara detail terhadap subjek dan objek jaminan fidusia. Dalam ilmu hukum disebut asas spesialitas atau pertelaan. Ditemukan dalam Pasal 6 UUJF.

8) Asas bahwa pemberi jaminan fidusia harus orang yang memiliki kewenangan hukum atas objek jaminan fidusia.

9) Asas bahwa jaminan fidusia harus didaftar ke kantor pendaftaran fidusia. Dalam ilmu hukum disebut asas publikasi. Ditemukan dalam Pasal 12 UUJF.

10) Asas bahwa benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki oleh kreditur penerima jaminan fidusia sekalipun hal itu diperjanjikan. Dalam ilmu hukum disebut asas pendakuan. Ditemukan dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 33 UUJF.

(18)

b. Pembebanan Jaminan Fidusia

Pembebanan jaminan fidusia diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 10

UUJF. Pembebanan jaminan fidusia dilakukan dengan cara berikut ini95

1) Dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia. Akta jaminan sekurang-kurangnya memuat :

:

a) Identitas pihak pemberi fidusia dan penerima fidusia; b) Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

c) Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia; d) Nilai penjaminan

e) Nilai benda yang menjadi jaminan fidusia;

2) Utang yang pelunasannya dijaminkan dengan jaminan fidusia adalah: a) Utang yang telah ada.

b) Utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu.

c) Utang yang pada utang eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi.

Jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu penerima fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari penerima fidusia. Jaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis benda termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian. Pembebanan

(19)

jaminan atas benda atau piutang yang diperoleh kemudian tidak perlu dilakukan

dengan perjanjian jaminan tersendiri, kecuali diperjanjikan lain, seperti96

(1) Jaminan fidusia meliputi hasil dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia

:

(2) Jaminan fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia diasuransikan.

Substansi perjanjian fidusia telah dibakukan oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi pemberi fidusia. Akta yang telah dibakukan oleh pemerintah tersebut bertujuan untuk melindungi nasabah yang ekonominya lemah. Hal-hal yang diatur dalam substansi akta pembebanan fidusia meliputi

hal-hal sebagai berikut:97

1. Tanggal dibuatnya akta pembebanan fidusia 2. Para pihak, yaitu pemberi dan penerima fidusia

3. Objek fidusia. Objek ini tetap berada pada pemberi fidusia 4. Asuransi objek fidusia

5. Pendaftaran fidusia 6. Perselisihan

7. Biaya pembuatan akta, biasanya dibebankan kepada pemberi fidusia 8. Saksi-saksi

9. Tanda tangan para pihak.

96Yurizal, Op.Cit., hal.30 97 H.Salim HS,Op.Cit.,hal. 79

(20)

c. Pendaftaran Jaminan Fidusia

Pendaftaran jaminan fidusia diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 18 UUJF dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Dalam Pasal 11 UUJF ditentukan bahwa benda, baik berada dalam wilayah Negara Republik Indonesia maupun berada diluar wilayah Negara Republik Indonesia yang dibebani Jaminan fidusia wajib didaftarkan. Sebelum berlakunnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, maka mengenai tata cara pendaftaran jaminan fidusia dan biaya pembuatan akta jaminan fidusia diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan. Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan , Pendaftaran jaminan fidusia dilakukan pada kantor pendaftaran fidusia. Pada mulanya kantor pendaftaran fidusia didirikan di Jakarta dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah RI. Seiring berjalannya waktu, Kantor Pendaftaran Fidusia telah dibentuk pada setiap provinsi di Indonesia. Kantor Pendaftaran Fidusia berada dalam lingkup tugas Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Namun, dengan tidak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan tersebut dan diganti menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan, maka

(21)

berdasarkan Pasal 2 ayat (2) dijelaskan bahwa permohonan pendaftaran jaminan fidusia diajukan melalui sistem pendaftaran jaminan fidusia secara elektronik

melalui website https://ahu.go.id/.98

Tujuan Pendaftaran Jaminan Fidusia adalah99

1. Untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan dalam perjanjian jaminan tersebut.

:

2. Memberikan hak yang didahulukan (freferen) kepada penerima fidusia terhadap kreditor yang lain. Ini disebabkan jaminan fidusia memberikan hak kepada penerima fidusia untuk tetap menguasai bendanya yang menjadi objek jaminan fidusia berdasarkan kepercayaan.

Prosedur dalam pendaftaran jaminan fidusia, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 18 UUJF dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia Yang diatur dalam Pasal 3 sampai Pasal 10, yaitu :

1. Permohonan pendaftaran fidusia dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa, atau wakilnya kepada Menteri. Permohonan itu diajukan melalui sistem secara elektronik.Permohonan pendaftaran diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta. Permohonan pendaftaran itu memuat :

98 Ibid., hal.82 99 Ibid, hal. 82-83

(22)

a. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia

b. Tempat, nomor akta jaminan fidusia, nama, dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia

c. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia

d. Uraian mengenai objek benda jaminan yang menjadi objek jaminan fidusia

e. Nilai penjaminan

f. Nilai benda yang menjadi objek benda jaminan fidusia.

Setelah permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilakukan dan telah memenuhi ketentuan sebagaimana disebutkan diatas, maka akan memperoleh bukti pendaftaran.

2. Dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Aktadijelaskan bahwa bukti pendaftaran paling sedikit memuat :

a. Nomor Pendaftaran

b. Tanggal pengisian aplikasi c. Nama pemohon

d. Nama Kantor Pendaftaran Fidusia e. Biaya Pendaftaran Jaminan Fidusia 3. Biaya Pendaftaran Jaminan Fidusia

Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintan Nomor 21 Tahun 2015 Pembayaran biaya pendaftaran jaminan fidusia dilakukan melalui bank persepsi berdasarkan bukti pendaftaran, kemudian pendaftaran jaminan

(23)

fidusia dicatat secara elektronik setelah pemohon melakukan pembayaran biaya pendaftaran jaminan fidusia

4. Sertifikat jaminan fidusia ditandatangani secara elektronik oleh Pejabat pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Hal-hal yang tercantum dalam

sertifikat jaminan fidusia adalah :100

a. Dalam judul sertifikat jaminan fidusia dicantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.” Sertifikat jaminan ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

b. Didalam sertifikat jaminan fidusia dicantumkan hal-hal berikut ini : 1) Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia

2) Nilai penjaminan

3) Nilai benda yang menjadi objek benda jaminan fidusia

5. Jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan fidusia.

Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Mengatakan bahwa Jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal jaminan fidusia dicatat. Pasal 8 menjelaskan bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia dapat dicetak pada tanggal yang sama dengan tanggal Jaminan Fidusia dicatat. Apabila terjadi kekeliruan penulisan dalam sertifikat

(24)

jaminan fidusia yang telah diterima oleh pemohon, dalam jangka waktu 30 hari setelah menerima sertifikat tersebut, pemohon memberitahukan kepada Menteri untuk diterbitkan sertifikat perbaikan. Sertifikat perbaikan memuat tanggal yang sama dengan tanggal sertifikat semula. Disamping itu, bahwa sertifikat jaminan fidusia tidak menutup kemungkinan terjadi perubahan terhadap substansi. Yang dimaksud dengan perubahan substansi antara lain perubahan objek jaminan fidusia berikut dokumen terkait, perubahan penerima jaminan fidusia, perubahan perjanjian pokok yang dijamin fidusia, dan perubahan nilai jaminan. apabila terjadi hal itu, prosedur yang ditempuh untuk mengadakan

perubahan substansi, disajikan berikut ini101

a. Penerima fidusia wajib mengajukan permohonan pendaftaran atas perubahan tersebut kepada menteri, hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.

:

b. Permohonan perubahan sertifikat jaminan fidusia yang telah memenuhi ketentuan memperoleh bukti pendaftaran. Setelah bukti pendaftaran diterima, pemohon melakukan pembayaran biaya permohonan perubahana sertifikat jaminan fidusia melalui bankk persepsi berdasarkan bukti pendaftaran. Pendaftaran perubahan sertifikat jaminan fidusia dicatat setelah pemohon melakukan

(25)

pembayaran. Kemudian sertifikat perubahan atas sertifikat jaminan fidusia dapat dicetak pada tanggal yang sama dengan tanggal permohonan perubahan sertifikat jaminan fidusia setelah pembayaran biaya permohonan dilakukan. Ketentuan mengenai Perubahan sertifikat jaminan fidusia ini diatur dalam Pasal 11 sampai Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.

c. Eksekusi Jaminan Fidusia

Eksekusi jaminan fidusia diatur dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 34 UUJF. Yang dimaksud dengan eksekusi jaminan fidusia adalah penyitaan dan penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Yang menjadi penyebab timbulnya eksekusi jaminan fidusia ini adalah karena debitur atau pemberi fidusia cedera janji atau tidak memenuhi prestasinya tepat pada waktunya kepada penerima fidusia, walaupun mereka telah diberikan somasi. Ada 4 cara eksekusi

benda jaminan fidusia, yaitu :102

1. Pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia. Yang dimaksud dengan titel eksekutorial, yaitu tulisan yang mengandung pelaksanaan putusan pengadilan yang memberikan dasar untuk penyitaan dan lelang sita (executorial verkoop) tanpa perantara Hakim;

(26)

2. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;

3. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga yang tertinggi yang menguntungkan para pihak. Penjualan ini dilakukan setelah lewat waktu 1 bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan penerima fidusia kepada pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan, hal ini diatur dalam Pasal 29 UUJF

Untuk melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia, maka pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Apabila benda yang menjadi objek jaminan fidusia terdiri atas benda perdagangan atau efek yang dapat dijual di pasar atau di bursa, penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ada dua kemungkinan dari hasil pelelangan atau penjualan barang

jaminan fidusia, yaitu:103

1. Hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, penerima fidusia wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia;

(27)

2. Hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitur atau pemberi fidusia tetap bertanggung jawab atas utang yang belum dibayar.

Ada 2 janji yang dilarang dalam pelaksanaan eksekusi objek jaminan

fidusia, yaitu :104

1. Janji melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dengan cara yang bertentangan dengan Pasal 29 UUJF 2. Janji yang memberi kewenangan kepada penerima fidusia untuk

memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia apabila debitur cedera janji.

Kedua macam perjanjian tersebut adalah batal demi hukum. Artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.

d. Hapusnya Jaminan Fidusia

Sebagai perjanjian yang bersifat accesoir maka kemungkinan yang paling besar untuk hapusnya fidusia adalah karena hapusnya piutang pokok yang dijamin dengan fidusia itu. Hal ini berarti bahwa dengan dipenuhinya perutangan pokok, maka perjanjian fidusia otomatis putus dan debitor karena hukum otomatis akan menjadi milik kembali dari benda yang diserahkan. Maka penyerahan kembaliatas

(28)

hak milik tersebut kepada debitor tidak diperlukan. Kemungkinan lain untuk

hapusnya fidusia ialah karena musnahnya benda, karena adanya pelepasan hak.105

Selanjutnya fidusia juga hapus karena adanya kepailitan, artinya jika terjadi kepailitan di pihak debitor, benda jaminan harus dijual dimuka umum, kemudian hasilnya setelah diperhitungkan dengan piutangnya, sisanya harus dipertanggungjawabkan kepada Kantor Kepailitan, jadi tidak dikembalikan

kepada debitor. 106

1) Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia

Dalam Pasal 16 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Dalam Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia diatur mengenai penyebab hapusnya Jaminan fidusia. Jaminan Fidusia hapus setelah hal-hal sebagai berikut :

2) Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima Fidusia 3) Musnahnya benda yang objek jaminan fidusia

Ketiga alasan yang menjadi dasar hapusnya jaminan fidusia adalah sesuai dengan sifat ukuran dari jaminan fidusia. Adanya jaminan fidusia tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang hapus karena hapusnya utang atau pelepasan utang maka dengan sendirinya jaminan fidusia yang bersangkutan menajdi hapus. Dalam hal musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia maka klaim asuransi akan menjadi pengganti objek jaminan

105 Yurizal, Op.,Cit, Hal.35 106Ibid, hal. 36

(29)

fidusia tersebut. Tindak lanjut atas hapusnya jaminan fidusia adalah sebagai

berikut :107

1) Penerima fidusia memberitahukan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lama 14 hari terhitung sejak tanggal hapusnya jaminan fidusia, hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (2) PP No. 21 Tahun 2015, pemberitahuan penghapusan Jaminan Fidusia paling sedikit memuat: a) Pernyataan mengenai hapusnya utang pelepasan hak atau

musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia. b) Nomor dan tanggal sertifikat Jaminan fidusia.

c) Nama dan tempat kedudukan notaris d) Tanggal hapusnya jaminan fidusia

2) Didalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) dijelaskan bahwa Berdasarkan pemberitahuan penghapusan, jaminan fidusia dihapus dari daftar jaminan fidusia dan diterbitkan keterangan penghapusan yang menyatakan sertifikat jaminan fidusia yang bersangkutan tidak berlaku lagi. Jika penerima fidusia, kuasa atau wakilnya tidak memberitahukan penghapusan jaminan fidusia maka jaminan fidusia yang bersangkutan tidak dapat didaftarkan kembali

(30)

3. Pelanggaran-Pelanggaran Perjanjian Jaminan Fidusia dalam Hukum Perdata serta Penyelesainnya

a. Pelanggaran-Pelanggaran Perjanjian Jaminan Fidusia dalam Hukum Perdata

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dalam implementasinya masih terdapat pelanggaran-pelanggaran hukum baik yang dilakukan oleh pihak kreditur (penerima fidusia) maupun oleh pihak debitur (pemberi fidusia), Adapun pelanggaran-pelanggaran yang terdapat dalam perjanjian jaminan fidusia dalam hukum perdata yaitu :

1. Kreditur tidak mendaftarkan obyek jaminan fidusia

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa Setiap benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan. Adapun pihak yang wajib mendaftarkan adalah pihak penerima fidusia (kreditur) atau kuasa atau wakilnya. Sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) UUJF terhadap jaminan fidusia yang tidak didaftarkan maka ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia tidak berlaku, dengan kata lain untuk berlakunya ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia maka harus dipenuhi bahwa benda jaminan fidusia itu didaftarkan. Kreditur yang tidak mendaftarkan obyek jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia tidak bisa menikmati keuntungan-keuntungan dari ketentuan-ketentuan dalam undang-undang jaminan

fidusia seperti misalnya hak preferen atau hak didahulukan.108

108J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Citra Aditya Bakti,

(31)

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.130/PMK/010/2012 disebutkan bahwa perusahaan pembiayaan yang melakukan pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan jaminan fidusia wajib mendaftarkan jaminan fidusia tersebut paling lama 30 hari kalender terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen. Perusahaan pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor sebelum diterbitkan sertifikat jaminan. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi administrasi secara bertahap

berupa109

a) Peringatan, diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing 60 (enam puluh) hari kalender. Jika sanksi peringatan belum berakhir tetapi perusahaan pembiayaan memenuhi ketentuan sesuai Permenkeu RI No. 130/PMK.010/2012 maka Menteri Keuangan mencabut sanksi peringatan.

:

b) Pembekuan kegiatan usaha, diberikan jika masa berlaku sanksi peringatan telah berakhir tetapi perusahaan pembiayaan belum memenuhi ketentuan sesuai Permenkeu RI No.130/PMK/010/2012. Masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha adalah 30 (tiga puluh) hari kalender sejak surat sanksi pembekuan kegiatan usaha diterbitkan. Jika sebelum masa berlaku pembekuan kegiatan usaha diterbitkan. Jika sebelum masa berlaku pembekuan kegiatan usaha

(32)

berakhir, perusahaan pembiayaan memenuhi kewajibannya, maka Menteri Keuangan mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha.

c) Pencabutan izin usaha, dilakukan jika sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha perusahaan pembiayaan tidak memenuhi ketentuan Permenkeu RI No. 130/PMK. 010/2012. Konsekuensi lain dengan tidak didaftarkannya suatu obyek jaminan fidusia adalah apabila debitur wanprestasi maka kreditur tidak bisa langsung melakukan eksekusi terhadap jaminan fidusia namun harus menempuh gugatan secara perdata di pengadilan berdasarkan ketentuan KUHPer. Apabila sudah ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka baru dapat

dimintakan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia.110

Lain halnya apabila Pendaftaran fidusia dilakukan setelah debitur wanprestasi.Prakteknya, Perusahaan Pembiayaan cenderung membuat dan mendaftarkan akta Jaminan Fidusia setelah debitur dianggap bermasalah, sehingga nantinya eksekusi atau penarikan benda jaminan seolah-olah sudah sah menurut hukum.Padahal pada masa sekarang telah didukung dengan tata cara pendaftaran Fidusia yang melalui sistem Online dan tidak melalui pencatatan dan pemeriksaan manual, maka hal itu membuat Perusahaan Pembiayaan atau Kreditur dengan mudahnya menerbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia. Pada persoalan yang lain banyak Perusahaan Pembiayaan yang melaksanakan Pendaftaran Fidusia namun tetapi sudah lewat waktu (daluwarsa) misalnya

110Unan Pribadi, Pelanggaran-Pelanggaran Hukum Dalam Perjanjian Kredit Dengan

Jaminan Fidusia, http://www.kumham-jogja.info/karya-ilmiah, Kepala Sub Bidang Pelayanan

Hukum Umum Kanwil Kementerian Hukum dan HAMDIY, diakses pada hari Kamis, 01 Desember 2016, Pukul 08:46. WIB.

(33)

setelah Perjanjian pembiayaan dibuat Perusahaan baru mendaftarkan Jaminan Fidusia 3 (Tiga) bulan kemudian. Maka hal ini tidak dapat dibenarkan dan

cenderung pada tindakan akal-akalan.111

2. Kreditur melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia tidak sesuai ketentuan Pasal 29 Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia.

Apabila debitur wanprestasi dengan tidak melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan, maka dapat dilakukan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia yang telah didaftarkan guna pelunasan utang tersebut. Mengenai cara melakukan eksekusi telah diatur dalam Pasal 29 UUJF. Dikarenakan dalam sertifikat jaminan fidusia terdapat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dalam hal eksekusi dilakukan dengan penjualan di bawah tangan maka boleh dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan minimal dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan. Prosedur inilah yang sering dilanggar oleh lembaga pembiayaan (finance) dalam melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan. Biasanya Finance akan menggunakan jasa debt collector yang langsung mendatangi debitor dan mengambil kendaraan obyek jaminan dan

111

Yunus Syalham, Penyalahgunaan Kekuatan Eksekusi Pada Jaminan Fidusia,

http://adilindonesia.blogspot.co.id/2014/05/penyalahgunaan-kekuatan-eksekusi-pada.html,Direktur Organisasi Bantuan Hukum Adil Indonesia Purworejo-Jawa Tengah. Diakses hari pada Kamis, tanggal 01 Desember 2016, Pukul 20.30 WIB.

(34)

kemudian oleh finance akan menjualnya kepada pedagang yang sudah menjadi relasinya. Hasil penjualan tidak diberitahukan kepada debitur apakah ada sisa atau

masih ada kekurangan dibandingkan dengan hutang debitur.112

Terhadap eksekusi yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 berakibat eksekusi tidak sah sehingga pihak

pemberi fidusia (debitur) dapat menggugat untuk pembatalan113. Dalam

praktiknya tidak jarang kreditur langsung melakukan eksekusi terhadap barang jaminan fidusia. Mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa di atas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitur dan sebagian milik kreditur. Jika eksekusi terhadap barang objek fidusia tidak dilakukan melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum, tindakantersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur

dalam Pasal 1365 KUHPerdata dan dapat digugat ganti kerugian. 114

Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua proses yaitu proses penyelesaian sengketa tertua melalui proses litigasi di dalam pengadilan kemudian

b. Mekanisme penyelesaian pelanggaran perjanjian jaminan fidusia dalam aspek perdata

112 H.Salim HS, Op.Cit., hal.90

113Unan Pribadi, Pelanggaran-Pelanggaran Hukum Dalam Perjanjian Kredit Dengan

Jaminan Fidusia, http://www.kumham-jogja.info/karya-ilmiah, Kepala Sub Bidang Pelayanan

Hukum Umum Kanwil Kementerian Hukum dan HAMDIY, Diakses pada hari Kamis, 01 Desember 2016, Pukul 08:46. WIB.

114

Pulung Widhi, Akibat Hukum Jaminan yang Belum Didaftarkan,

http://kantorhukumkalingga.com/2016/08/29/akibat-hukum-jaminan-fidusia-yang-belum-didaftarkan-2/, Pengacara di Kantor Hukum Kalingga Semarang, Diakses pada tanggal 02 Desember 2016, Pukul. 21.54 WIB.

(35)

berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerja sama di luar pengadilan. Penyelesaian pelanggaran jaminan fidusia di Indonesia pada dasarnya telah tercantum di dalam akta pembebanan jaminan fidusia. Menurut Salim, pada umumnya didalam akta pembebanan tidak diatur penyelesaian sengketa dengan cara Alternative Dispute Resolution (ADR) tetapi biasanya yang diatur dalam akta pembebanan jaminan fidusia adalah penyelesaian sengketa secara litigasi, yaitu

perkara yang timbul diselesaikan oleh pengadilan.115

Litigasi sebagai penyelesaian sengketa di pengadilan mempunyai suatu keuntungan dan kelemahan. Adapun yang menjadi keuntungan dan Kekurangan

menggunakan litigasi dalam penyelesaian sengketa, yaitu:116

a. Keuntungan menggunakan Litigasi:

1) Dalam mengambil alih keputusan para pihak, litigasi sekurang-kurangnya dalam batas tertentu menjamin bahwa kekuasaan tidak dapat mempengaruhi hasil dan dapat menjamin ketentraman sosial. 2) Litigasi sangat baik sekali untuk menemukan kesalahan-kesalahan

dan masalah-masalah dalam posisi pihak lawan

3) Litigasi memberikan suatu standar bagi prosedur yang adil dan memberikan peluang yang luas kepada para pihak untuk didengar keterangannya sebelum mengambil keputusan.

4) Litigasi membawa nilai-nilai masyarakat untuk penyelesaian sengketa pribadi.

115H.Salim HS, Op.Cit., hal.79. ADR merupakan istilah yang pertama kali

dimunculkan di Amerika Serikat. ADR diartikan dengan pengelolaan konflik secara kooperatif. Sesungguhnya ADR merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan secara damai.

(36)

5) Dalam sistem litigasi para hakim menerapkan nilai-nilai masyarakat yang terkandung dalam hukum menyelesaikan sengketa.

b. Kekurangan menggunakan litigasi adalah :

1) Litigasi memaksakan para pihak pada posisi ekstrim.

2) Memerlukan pembelaan (advocasy) atas setiap maksud yang dapat mempengaruhi putusan.

3) Litigasi mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, apakah persoalan materi (substantive) atau prosedur, untuk persamaan kepentingan dan mendorong para pihak melakukan penyelidikan fakta yang ekstrim dan seringkali marginal.

4) Proses litigasi menyita waktu dan meningkatkan biaya keuangan. 5) Fakta-fakta yang dapat dibuktikan membentuk kerangka persoalan,

para pihak tidak selalu mampu mengungkapkan kekhawatiran mereka yang sebenarnya.

6) Litigasi tidak mengupayakan untuk memperbaiki atau memulihkan hubungan para pihak yang bersengketa.

7) Litigasi tidak cocok untuk sengketa yang melibatkan banyak pihak, banyak persoalan dan beberapa kemungkinan alternatif penyelesaian.

Berdasarkan hal tersebut, menyelesaikan suatu pertentangan yang timbul karena sengketa perdata dengan keputusan Pengadilan sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai cara yang sudah paling tepat sebagaimana yang disangka

(37)

kebanyakan orang. Seharusnya, menyelesaikan sengketa perdata atau pidana dengan keputusan Pengadilan harus dipandang sebagai cara yang formil saja.

Keputusan Pengadilan yang semata mendasarkan fakta obyektif, tidak juga kepada fakta subyektif, sehingga isi keputusan itu selalu menyatakan ada pihak yang kalah dan ada yang menang. Akibatnya pihak yang dikalahkan merasa kecewa dan pihak yang dimenangkan akan bersuka ria. Tentu pihak yang kalah dan merasa kecewa tidak akan mengakui kekecewaannya dan menerima kekalahannya. Dengan demikian, sengketa perdata yang diselesaikan secara perdamaian yang diliputi suasan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan antara pihak-pihak yang bersengketa maka yang akan ditonjolkan bukan siapa yang salah dan siapa yang benar tetapi bagaimana duduk persoalannya agar dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya, sehingga perumusan perdamaian tidak

menghasilkan ada pihak yang kalah maupun pihak yang menang.117

Persengketaan yang diselesaikan secara perdamaian atau non litigasi bukan hanya akan berakhir pada lahirnya saja, tetapi berakhir dalam arti persengketaan itu seperti tak pernah ada. Hubungan pihak-pihak yang bersengketa kembali baik seperti semula. Dengan terjadinya perdamaian maka akan membawa pihak yang bersengketa lebih intim dari pada keadaannya semula. Dan pula biaya, tenaga dan waktu untuk menyelesaikan sengketa dengan perdamaiana jauh tidak sebesar jika

suatu sengketa diselesaikan dengan keputusan hakim.118

117 Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Hukum dan Peradilan, Alumni, Bandung,

1978, hal.78

118Ibid., hal.79. Penyelesaian sengketa dengan penuh rasa kekeluargaan, persaudaraan

dan persahabatan akan mencapai kesepakatan dimana kedua belah pihak secara timbal balik ada

(38)

Hasil penelitian Yahya Harahap menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor

yang mendorong penyelesaian sengketa di luar Pengadilan, yaitu :119

1) Adanya tuntutan dunia bisnis

2) Pengadilan pada umumnya tidak responsif terhadap kebutuhan hukum masyarakat

3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sangat lamban 4) Biaya perkara yang mahal

5) Keputusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah.

Penyelesaian sengketa melalui ADR/non litigasi dapat dilakukan dengan cara :

1. Negosiasi

Gary Goodpaster mengemukakan bahwa negosiasi itu merupakan proses upaya untuk mencapai suatu kesepakatan dengan pihak lain, proses interaksi dan komunikasi yang dinamis dan beraneka ragam dengan

nuansa lembut sebagaiman manusia itu sendiri.120

Negosiasi itu adalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa atau kuasanya secara langsung, tanpa keterlibatan orang ketiga sebagai penegah.Para pihak yang bersengketa yang secara langsung melakukan perundingan atau tawar menawar sehingga menghasilkan suatu kesepakatan bersama.Dalam hal negosiasi, para pihak yang bersengketa melakukan diskusi atau

119 M. Yahya Harahap,Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan

Penyelesaian Sengketa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal.148-169. Lihat juga dalam

Salim, Op.Cit., hal.81. Penelitian yang dilakukan oleh Yahya Harahap ini bertujuan untuk mengetahui kecenderungan masyarakat, khususnya dunia bisnis didalam penyelesaian sengketa.

120 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT.Citra

(39)

permusyawarahan sedemikian rupa sehingga pada akhirnya kepentingan-kepentingan dan hak-haknya menjadi kepentingan-kepentingan atau kebutuhan bersama para pihak yang bersengketa.Pada umumnya kesepakatan bersama tersebut

dituangkan dalam bentuk tertulis.121

2. Mediasi

Para pihak yang melakukan perundingan dinamakan dengan negosiator.

Menurut Kamus Hukum, Dictionary of Law Complete Edition, Mediasi diartikan sebagai suatu proses penyelesaian sengketa secara damai yang melibatkan bantuan pihak ketiga untuk memberikan solusi yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa. Dalam arti adanya pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa antara dua

pihak.122

Bahwa mediasi adalah cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersikap netral dan tidak berpihak kepada pihak-pihak yang bersengketa serta diterima kehadirannya oleh para pihak. Pihak ketiga dalam mediasi disebut Mediator atau penengah, yang tugasnya hanya membantu para pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak

Mediasi merupakan perluasan dari proses negosiasi. Hal ini dikarenakan para pihak yang bersengketa tidak mampu menyelesaikan sengketanya sendiri sehingga menggunakan jasa pihak ketiga yang bersikap netral untuk membantu mereka mencapai suatu kesepakatan.

121Ibid., hal.68. 122Ibid., hal.98

(40)

mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan.Mediator dalam hal ini hanya bertindak sebagai fasilitator saja.Pengambilan keputusan tidak

berada di tangan mediator tetapi di tangan para pihak yang bersengketa.123

3. Konsiliasi

Konsiliasi merupakan penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui pemufakatan atau musyawarah yang dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh seorang atau lebih pihak ketiga yang netral dan bersifat aktif sebagai konsiliator. Proses penyelesaian sengketa dalam konsiliasi ini sepenuhnya diserahkan kepada para pihak yang bersengketa, konsiliator dalam hal konsiliasi ini lebih aktif dibandingkan mediator dan berkewajiban memberikan anjuran kepada pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan atau mengakhiri persengketaan atau perselisihannya. Pertemuan konsiliasi adalah pertemuan sukarela.Jika pihak yang terkait mencapai perdamaian, maka perjanjian perdamaian yang ditandatangani oleh pihak yang bersankutan merupakan kontrak yang mengikat secara hukum.Perdamaian dalam pertemuan konsiliasi dapat berupa permintaan maaf, perubahan kebijaksanaan, memeriksa kembali prosedur kerja, ganti rugi keuangan

dan sebagainya.124

4. Arbitrase

Menurut R.Subekti, arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak

123Ibid., 124Ibid., hal.129

(41)

akan tunduk atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim. Secara otentik, pengertian arbitrase telah dirumuskan dalam Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, dalam Pasal 1 angka 1 UU tersebut ditegaskan bahwa :125

Arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Perlu diingat bahwa, tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka.

“arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”

126

Seperti yang telah dikatakan diatas bahwa dalam upaya menyelesaikan sengketa perdata tidak tercapai kata damai dalam penyelesaian secara ADR, maka para pihak dapat mengupayakan penyelesaian melalui pengadilan. Hal terpenting dalam penyelesaian sengketa melalui peradilan adalah adanya gugatan perdata. Gugatan dapat dilakukan secara langsung oleh pihak yang bersengketa maupun dengan memberikan kuasa kepada pihak lain yang ditunjuk yang mempunyai kewenangan untuk beracara di Pengadilan. Para pihak dalam gugatan dapat

berupa perorangan atau badan hukum, yang dapat bertindak sebagai:127

125

Ibid., hal.140

126Ibid.,

127 M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, cetakan ke-IV,

(42)

a. Penggugat

Pihak yang mengajukan gugatan di pengadilan karena merasa dirugikan, baik karena wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum. Apabila Penggugat lebih dari satu pihak, disebut Para Penggugat.

b. Tergugat

Pihak yang digugat/dituntut di pengadilan karena dianggap sebagai pihak yang merugikan, baik karena wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum. Apabila Tergugat lebih dari satu pihak disebut Para Tergugat. Adakalanya terdapat Turut Tergugat yaitu pihak yang tidak terkait secara langsung dalam sengketa akan tetapi diperlukan untuk memenuhi formalitas gugatan dan harus tunduk terhadap putusan pengadilan.

Adapun tahap yang harus dilakukan dalam penyelesaian sengketa perdata

melalui proses peradilan, yaitu:128

1) Pendaftaran Gugatan, Penggugat mendaftarkan gugatan kepada Pengadilan Negeri yang berwenang sesuai dengan wilayah hukum perkara tersebut. Perkara didaftarkan di dalam buku register perkara perdata di kantor kepaniteraan Pengadilan Negeri.

128 Dulkadir, Penyelesaian Perkara Perdata,

http://gudangilmuhukum.blogspot.co.id/2010/08/penyelesaian-perkara-perdata.html, diakses pada tanggal 19 Januari 2017 pukul 22.05 WIB.

(43)

2) Pemanggilan dan pemeriksaan para pihak. Pihak yang tercantum dalam surat gugatan akan dipanggil untuk hadir dalam persidangan guna dilakukan pemeriksaan. Pihak tersebut dapat hadir sendiri atau diwakili oleh kuasa hukumnya. Surat panggilan harus diterima oleh para pihak dalam waktu sekurang-kurangnya 3 hari sebelum persidangan.

3) Pembacaan Gugatan. Suatu gugatan yang tidak ada perubahan, penambahan, pengurangan atau koreksi dari Penggugat harus dibacakan oleh Penggugat atau dapat dianggap telah dibacakan.

4) Jawaban Tergugat. Dengan hadir sendiri di persidangan atau melalui kuasa hukumnya Tergugat mengajukan jawaban terhadap gugatan yang isinya berupa:

a.Pengakuan,yaitu membenarkan isi gugatan. b.Bantahan/sangkalan.

c. Menyerahkan pada putusan hakim.

5) Replik Penggugat. Replik adalah jawaban balasan atas jawaban Tergugat dalam perkara perdata yang diajukan oleh Penggugat.

6) Duplik Tergugat. Duplik adalah jawaban Tergugat atas Replik Penggugat. 7) Pembuktian. Tahap pembuktian merupakan tahap terpenting dalam proses

perkara perdata, karena dikabulkan atau ditolaknya suatu gugatan bergantung pada terbukti atau tidaknya gugatan tersebut di hadapan Pengadilan.

8) Kesimpulan. Kesimpulan bukan merupakan keharusan akan tetapi sudah merupakan kebiasaan dalam praktek peradilan. Tujuan dari kesimpulan

(44)

adalah untuk menyampaikan pendapat para pihak kepada hakim tentang terbukti atau tidaknya suatu gugatan.

9) Putusan. Putusan merupakan hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Putusan Pengadilan dapat berupa: a) Gugatan dikabulkan seluruhnya atau sebagian.

b) Gugatan ditolak.

c) Gugatan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk/N.O.).

Pada umumnya, penyelesaian secara non litigasi tidak hanya dapat dilakukan bagi pelanggaran dalam hukum perdata, non litigasi dapat juga berlaku bagi pelanggaran yang masuk kedalam ranah hukum pidana. Sebab hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum pada umumnya tidak ada menunjukkan suatu perbedaan dengan hukum lain yaitu bahwa semua hukum memuat sejumlah ketentuan-ketentuan untuk menjamin agar norma-norma yang diakui di dalam hukum itu benar-benar akan ditaati orang. Dalam hal terjadinya pelanggaran dalam perjanjian jaminan fidusia, hendaknya hukum pidana dijadikan sebagai suatu ultimum remedium atau sebagai upaya yang harus dipergunakan sebagai

upaya terakhir untuk memperbaiki kelakuan manusia.129

129 P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti,

(45)

B. Aspek Hukum Pidana Pada Perjanjian Jaminan Fidusia

1. Kebijakan Hukum Pidana sebagai salah satu upaya penanggulangan Tindak Pidana Pelanggaran Jaminan Fidusia.

Kebijakan atau disebut juga dengan istilah Policy dalam bahasa inggris atau politiek dalam Bahasa Belanda. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (Sosial Defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik/kebijakan kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Bahwa upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan

dalam arti:130

a. Ada keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial. b. Ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan

dengan penal dan nonpenal.

Kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana sering dikenal dengan berbagai istilah seperti Penal Policy, Criminal Policy, atau Strafrechts politiek. Menurut Prof. Sudarto, “Politik Hukum” adalah :

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.

b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan

130 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan

(46)

bisa menggunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam

masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.131

Bila dalam kebijakan penanggulangan tindak pidana atau politik kriminal digunakan upaya/sarana hukum pidana (penal), maka kebijakan hukum pidana harus diarahkan pada tujuan dari kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).

Marc Ancel mengatakan bahwa “modern criminal science” terdiri dari tiga komponen “criminology”, “Criminal Law” dan “Penal Policy”. Menurutnya Penal Policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis dan memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang serta

kepada penyelenggara putusan pengadilan.132

Penggunaan hukum pidana dalam mengatur masyarakat (lewat peraturan perundang-undangan) pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy). Operasionalisasi kebijakan hukum pidana dengan sarana penal

(pidana) dapat dilakukan melalui proses yang terdiri atas tiga tahap, yakni:133

1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif)

Merupakan kewenangan dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok

131

Ibid., hal.26

132Ibid., hal.23

133 Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana

(47)

dalam hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan/pertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh pembuat undang-undang.

2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial);

Tahap aplikasi merupakan kekuasaan dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan

3. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).

Tahapan eksekutif/administratif dalam melaksanakan hukum pidana oleh aparat pelaksana/eksekusi pidana.

Dilihat dari perspektif hukum pidana, maka kebijakan formulasi harus memperhatikan harmonisasi internal dengan sistem hukum pidana atau aturan pemidanaan umum yang berlaku saat ini. Tidaklah dapat dikatakan terjadi harmonisasi apabila kebijakan formulasi berada diluar sistem hukum pidana yang berlaku saat ini. Kebijakan formulasi merupakan tahapan yang paling stategis dari penal policy karena pada tahapan tersebut legislatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan, pertanggung jawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan. Oleh karena itu, upaya penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum tetapi juga tugas aparat pembuat

undang-undang.134

(48)

Perencanaan (planning) pada tahapan formulasi pada intinya, menurut Nils Jareborg mencakup tiga masalah pokok struktur hukum pidana, yaitu

masalah:135

1. Perumusan tindak pidana/kriminalisasi dan pidana yang diancamkan (criminalisation and threatened punishment)

2. Pemidanaan (adjudication of punishment sentencing) 3. Pelaksanaan pidana (execution of punishment).

Menurut Sudarto berkaitan dengan kebijakan kriminalisasi bahwa perlu

diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut:136

1) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spritual berdasarkan dengan Pancasila; sehubungan dengan ini (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat

2) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan sprituil) atas warga masyarakat.

3) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle).

135Ibid., hal.81

(49)

4) Penggunanan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badn penegak hukum yaitu jaringan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).

Perjanjian fidusia melibatkan beberapa pihak yang terkait dalam pemenuhan hak dan kewajibannya. Tak jarang pihak kreditor mendapatkan kerugian akibat pelanggaran perjanjian fidusia dan tidak memberikan perlindungan hukum bagi pihak kreditor. Pentingnya penerima fidusia wajib menerima sertifikat jaminan fidusia dan tembusan diserahkan kepada debitor. Dengan adanya sertifikat jaminan fidusia kreditor mempunyai hak untuk melakukan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual dan melelang benda yang dijadikan objek jaminan fidusia. Dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai jaminan, kreditor wajib mengembalikan. Selain itu, dalam perjanjian biasanya dituangkan bahwa pihak debitor dilarang untuk melakukan fidusia ulang terhadap benda yang sudah menjadi objek jaminan yang sudah didaftarkan. Debitor juga dilarang untuk mengalihkan, menggadaikan, menyewakan kepada pihak lain terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang sudah terdaftar kecuali ada satu perjanjian tertulis dari penerima fidusia. Sedangkan di pihak debitor wajib untuk menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia dan menerima kelebihan hasil eksekusi yang melebihi nilai jaminan, apabila setelah pelaksanaan eksekusi tidak

Referensi

Dokumen terkait

dana tersebut dapat diterima setiap bulan oleh kreditor untuk dapat diputar kembali dalam pengoperasian maksimal kegiatan kreditor mencapai keuntungan yang

ditentukan, maka barang gadai menjadi milik murtahin sebagai pembayaran hutang”, sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar

Dalam Pasal 1754 KUH Perdata disebutkan, bahwa pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana satu pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-

diberikannya baik dalam bentuk uang, barang atau jasa akan benar-benar Meskipun perjanjian kredit tidak diatur secara khusus dalam KUH.. Perdata, tetapi dalam membuat perjanjian

kepada orang lain atau lebih untuk tidak melakukan sesuatu hal yang mana1. perbuatan itu tidak dilarang

Praktek perbankan di Indonesia telah sejak lama berpengalaman dengan pemasangan fidusia sebagai jaminan atas pemberian kreditnya, hal ini dilakukan baik oleh Bank-bank

Apabila terdapat seseorang atau suatu korporasi yang memenuhi unsur- unsur Pasal 56 KUHP di atas, maka dapat disimpulkan orang atau korporasi tersebut telah ikut

14 "Suap adalah suatu tindakan dengan memberikan sejumlah uang atau barang atau perjanjian khusus kepada seseorang yang mempunyai otoritas atau yang dipercaya, contoh,