TRIDACNIDAE (KERANG KIMA) DI PERAIRAN PULAU
KARANG CONGKAK, KEPULAUAN SERIBU
QORIMEIFEBRIA RIZKEVINA
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
KEANEKARAGAMAN JENIS DAN DISTRIBUSI FAMILY
TRIDACNIDAE (KERANG KIMAJ DI PERAIRAN PULAU
KARANG CONGKAK, KEPULAUAN SERIBU
Oleh:
QORIMEIFEBRIA RIZKEVINA 109095000008
SKRIP SI
Sebagai Salah Sa tu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri SyarifHidayatullah Jakarta
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DANTEKNOLOGI
UNIVERSIT AS ISLAM NEGERI SY ARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri SyarifHidayatullah Jakarta Oleh: Qorimeifebria Rizkevina 109095000008 Pembimbing I ~'--"-"'"""""""" · · anti M. Si 690317 200312 2 001 Menyetujui, Mengetahui, Ketua Jurusan Biologi
Pembimbing II
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri SyarifHidayatullah Jakarta
ditulis oleh Qorimeifebria Rizkevina, NIM 109095000008 telah diuji dan dinyatakan LULUS pada sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Selasa, 15 April 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S 1) Jurusan Biologi.
Menyetujui,
Penguji I Penguji II
~
Nani Radiastuti, M. Si Dasumiati. M.Si
NIP. 19650902 200112 2 001 NIP. 19730923 199903 2 002
Pembimbing I Pembimbing II
ST.MT
Mengetahui,
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, April 2014
Oorimeifebria Rizkevina 109095000008
Kepulauan Seribu. Skripsi. Di bawah bimbingan FAHMA WIJAYANTI dan UNTUNG SURIPTO.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis dan distribusi Tridacnidae (Kerang Kima) di perairan Pulau Karang Congkak, Kepulauan Seribu. Stasiun penelitian dibagi dalam 4 stasiun berdasarkan arah mata angin yaitu Utara, Selatan, Timur, dan Barat. Teknik sampling dalam penelitian ini adalah stratified sampling dengan menggunakan metode belt transect. Variabel
utama penelitian ini adalah keanekaragaman jenis dan distribusi Tridacnidae se1ta variabel pendukungnya adalah faktor lingkungan. Data yang diperoleh di analisis menggunakan rumus kepadatan, rumus kelimpahan, indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, dan indeks distribusi Morisita. Hasil penelitian, ditemukan sebanyak 4 spesies, yaitu Tridacna maxima, Tridacna crocea, Tridacna derasa,
dan Tridacna squamosa. Kepadatan individu tertinggi didapat pada stasiun selatan
sebesar 0,13 ind/m2 dan terendah pada stasiun barat 0,05 ind/m2• Kelimpahan individu tertinggi terdapat pada jenis Tridacna maxima sebesar 11 % dan yang terendah terdapat pada jenis Tridacna squamosa sebesar 1 %. Nilai indeks
keanekaragaman (H') tertinggi terdapat pada stasiun selatan sebesar 1,266 dan terendah pada stasiun timur sebesar 0,598. Nilai Indeks distribusi tertinggi terdapat pada stasiun selatan yakni sebesar 1,846 dan terendah terdapat pada stasiun utara sebesar 1,200. Hasil pengamatan paran1eter lingkungan perairan (suhu, kecerahan, kecepatan arus, salinitas, kadar oksigen ter!arut, tipe substrat, dan pH) menunjukkan masih dapat mendukung kehidupan kerang kima.
Kata kunci : Keanekaragaman Jenis, Distribusi, Tridacnidae, Pulau Karang
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat, hidayah, dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian
yang be1judul "Keanekaragaman J enis dan Distribusi Family Tridacnidae
(Kerang Kima) di Perairan Pulau Karang Congkak, Kepulauan Seribu.
Shalawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang setia sampai akhir zaman. Selama proses penulisan, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan motivasi dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk itu perkenankan penulis menyampaikan terima kasih kepada :
I. DR. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Islam Negeri (UIN) SyarifHidayatullah Jakaiia.
2. Dasumiati, M.Si sebagai Ketua Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Islam Negeri (UIN) Syai·if Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si. selaku pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan, saran, nasihat dan pengarahan tentang penelitian dan penulisan skripsi.
4. Untung Suripto, ST, MT. selaku pembimbing II yang senantiasa memberikan
informasi-informasi serta sarai1 dan pengarahan dalam melakukan penelitian dan penulisan skripsi.
selama berada di lapangan kepada penulis.
8. Muhammad Rajah Habibullah dan Uung Unasih kedua orang tuaku tersayang yang semoga selalu diralunati oleh Allah SWT dan yang selalu memberikan dukungan moril serta materilnya dalam penyusunan penelitian ini.
9. Xenilitiurahmi Rimadeirani kakakku tersayang yang selalu memberikan semangat untuk menyelesaikan penyusunan penelitian ini.
IO. Seluruh Dasen Jurusan Biologi yang telah memberikan ilmu, membimbing, dan mengarallkan penulis selama masa perkuliahan.
I 1. Mba Puji Astuti, S.Si, Mba Faridah Ahmad, S.Pd, dan Kak Nur Amaliah Sholihat, S.Si yang telah memberikan tempat untnk mengerjakan skripsi. 12. Muhanunad Firdaus yang telah memberikan dukungan, bantuan,dan
mendoakan, penulis selama proses penyusunan penelitian ini.
13. Reza Bayu Zikrillah, Astina Yulianingsih dan Amatullah Zakwan sahabat-sahabat yang setia mendukung dan mendoakan penulis untuk menyelesaikan penulisan ini.
14. Semua teman-teman Biologi angkatan 2009 atas dukungan, bantuan dan memberikan semangat.
15. Teman-teman Griya Kauman (Arestya Otari, Ummu Aiman, NidaGhania lidinilla, dan Migi) yang telah memberikan semangat kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.
yang sesuai dari Allah SWT. Penelitian ini masih terdapat kekurangan, untuk itu penulis berharap saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan penelitian ini dan agar bennanfaat bagi pembaca untuk menambah informasi serta pengetahuan.
Jakarta, April 2014
HALAMAN JUDUL ... .
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN ... m LEMBAR PERNY AT AAN ... 1v
ABSTRAK ... v KATA PENGANTAR ... v1 DAFTAR ISi ... IX DAFTAR GAMBAR ... x1 BABI. PENDAHULUAN I. I. Latar Belakang ... ... ... ... ... 1 1.2. Rumusan Masalah ... 3 1.3. Hipotesis ... 3 1.4. Tujuan Penelitian ... 4 1.5. Manfaat Penelitian ... ... ... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu ... 5
2.2. Topografi Pulau Karang Congkak ... 7
2.3. Kerang Kima (Tridacnidae) ... 9
2.3 .1. Klasifikasi ... ... ... ... ... .... ... ... 9
2.3.2. Jenis-Jenis Kima di Indonesia ... 12
2.3.3. Manfaat Kima ... 16
2.3.4. Cara Hidup ... 17
2.3 .5. Persebaran ... ... ... 18
2.3.6. Populasi Kima ... 20
2.3. 7. Status Konservasi Kima .. ... ... ... 21
2.4. Pola Dsitribusi Populasi .. . . .... ... 22
2.5. Parameter Lingkungan ... ... ... 23
BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 27
3 .2. Peralatan ... ... ... ... ... ... .... . 28
3 .3. Metode Pengambilan Sampel ... 28
4.1. Deskripsi Stasiun Penelitian ... 35
4.2. Faktor Fisikia Kimia dan Habitat Perairan Tridacnidae ... 35
4.3. Jenis-jenis Kerang Kima di Pulau Karang Congkak ... 41
4.4. Kepadatan Populasi Kerang Kima (Tridacnidae) ... 45
4.5. Kelimpahan Kerang Kima (Tridacnidae) ... 48
4.6. lndeks Keru1ekaragaman (H') ... 50
4.7. Indeks Distribusi (Id) ... 53
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 55
5.2. Saran ... 55
DAFTAR PUSTAKA... 56
Gambar I. Pulau Karang Congkak dalam Gugusuan Kepulauan Seribu ... 9
Gambar 2. Jenis-Jenis Tridacnidae ... 11
Gambar 3. Tridacna gigas ... 12
Gambar 4. Tridacna derasa ... 13
Gambar 5. Tridacna squamosa ... 14
Gambar 6. Tridacna maxima ... 14
Gambar 7. Tridacna crocea ... 15
Gambar 8. Hippopus hippopus ... 16
Gambar 9. Hippopus porcellanus ... 16
Gambar I 0. Cara Hidup Kima ... 18
Gambar 11 Peta sebaran Tridacnidae ... 19
Garn bar 12. Pola Dsitribusi Populasi ... ... .. . .. . .. . .. .. . . .. . .. . . ... .. . .. .. . . .. . .. . . . .... ... . . 22
Gambar 13. Denah Lokasi Penelitian ... 27
Garn bar 14. Letak Pemasangan Belt Transect ... 29
Gambar 15. Sketsa Pengamatan Objek ... 30
Garn bar 16. Skema Alur Penelitian ... ... ... ... ... 34
Garn bar 17. Tridacna crocea pada Substrat Batu .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... 41
Gambar 18. Tridacna maxima pada Substrat Batu ... 42
Gambar 19. Tridacna derasa pada Substrat Hidup ... 43
Gambar 20. Tridacna squamosa Diantara Karang Hidup ... 44
Gambar 21. Kepadatan Populasi Tridacnidae ... 45
Gambar 22. Kepadatan Spesies ... 46
fosfat, dimana dua zat ini merupakan zat yang berbahaya bagi ekosistem laut jika berada pada kadar yang berlebihan.
Saat ini, kima dikenal sebagai salah satu hewan akuarium yang menarik dan juga merupakan komoditi eksport ke berbagai negara Asia, terutama J epang. Tingginya permintaan kima mengakibatkan eksploitasi berlebih (over exploitation)
di alam, sehingga populasinya menurun drastis di seluruh dunia setiap tahunnya (Hirschberger, 1980; Pearson, 1977; Villanoy et all., 1988; Junio et all., 1989; AmbaTiyanto et all., 2000). Hal tersebut membuat keberadaannya menjadi terancam. Fakta populasi kima yang sangat mengkhawatirkan membuat CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) memasukkan hewan ini ke dalam status appendiks II atau golongan spesies yang tidak terancam punah tetapi berpeluang mengalami kepunahan bila perdagangan biota ini terns berlanjut tanpa adanya pengaturan.
Penurunan jumlah populasi kerang kima yang semakin tinggi juga terjadi di Kepulauan Seribu ldmsusnya di Pulau Karang Congkak. Penurunan jumlah populasi kerang kima ini mulai te1jadi sejak 10 tahun yang lalu. Alasan ha! ini terjadi karena kebiasaan dari masyarakat sekitar dimana masyarakat di tempat ini banyak mengambil dan memanfaatkan kerang kima secara ilegal. Masyarakat di sini tidak hanya mengambil bagian dagingnya saja yang diperuntukkan sebagai suplai protein sehari-hari, akan tetapi cangkang kerang juga dijadikan sebagai bahan hiasan rumah. Pengambilan yang dilakukan secara ilegal dan terus-menerus ini menyebabkan jumlah kima menjadi berkurang.
nelayan dan masyarakat sekitar, serta belum banyaknya pemantauan berskala yang dilakukan untuk memonitoring populasi kima di perairan Pulau Karang Congkak, maka diperlukan suatu upaya pengelolaan kerang kima. Kegiatan pengelolaan ini membutuhkan informasi dari berbagai aspek, salah satunya adalah keanekaragaman dan distribusi kerang kima. Wilayah Kepulauan Keribu, khususnya di perairan sekitar Pulau Karang Congkak belum banyak terdapat informasi tentang keanekaragaman dan distribusi kerang kima. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk melihat keanekaragaman jenis dan distribusi kerang kima
(Tridacnidae) serta mengetahui kesesuaian kondisi habitat kerang kima di perairan
Pulau Karang Congkak sebagai upaya konservasi
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, masalah yang ada adalah :
1. Bagaimanakah keanekaragaman jenis kerang kima (Tridacnidae) di
perairan Pulau Karang Congkak, Kepulauan Seribu ?
2. Bagaimanakah distribusi kerang kima (Tridacnidae) di perairan Pulau
Karang Congkak, Kepulauan Seribu ?
1.3 Hipotesis
1. Tingkat keanekaragaman jenis kerang kima (Tridacnidae) di perairan
Pulau Karang Congkak adalah rendah.
2. Distribusi kerang kima (Tridacnidae) di perairan Pulau Karang Congkak
1.4 Tujuan
I. Mengetahui keanekaragaman jenis kerang kima (Tridacnidae) yang
terdapat di perairan Pulau Karang Congkak.
2. Mendeskripsikan distribusi kerang kima (Tridacnidae) yang terdapat di
perairan Pnlau Karang Congkak.
1.5 Manfaat
I. Memberikan informasi tentang keanekaragaman jenis dan distribusi
kerang kima (Tridacnidae) yang terdapat di perairan Pulau Karang
Congkak, Kepulauan Seribu.
2. Sebagai masukan data bagi pemerintah setempat dan Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu dalam mengambil kebijakan dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut secara berkelanjutan, khususnya kima (Tridacnidae).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS) merupakan salah satu kawasan pelestarian alam di Indonesia terletak di utara Jakarta yang secara administratif berada di wilayah Kecamatan Kepnlauan Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Kawasan TNLKpS meliputi tiga kelurahan yaitu Kelurahan Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Kelapa dan Kelurahan Pulau Harapan. Kawasan ini terbentang seluas 107.489 ha (SK. Menteri Kehutanan Nomor 6310/K.pts-IV2002) yang secara geografis terletak pada 5°24'-5045' LS dan 106°25'-06° 40' BT. Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu dilaksanakan oleh Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu (SK. Dirjen Perlindungan Hulan dan Konservasi Alam Nomor 6186/Kpts-II/2002 Tanggal 10 Juni 2002 tentang Struktur Organisasi Balai Taman Nasional).
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu tersusun oleh ekosistem pulau-pulau Kecil dan perairan taut dangkal yang terdiri dari gugus kepulauan dengan 78 pulau kecil, 86 go song pulau dan hamparan taut dangkal pasir karang pulau sekitar 2.13 6 hektar (Reef flat 1.994 ha, Laguna 119 ha, Selat 18 ha dan Teluk 5 ha), terumbu karang tipe fringing reef, Mangrove dan Lamun bermedia tumbuh sangat miskin hara/lumpur, dan kedalaman laut dangkal sekitar 20-40 m. Dari jumlah pulau yang berada di dalam kawasan TNKpS yang be1jumlah 78 pulau, diantaranya 20 pulau sebagai pulau wisata, 6 pulau sebagai hunian penduduk dan sisanya dikelola
Tipe iklim di Kabupaten Kepulauan Seribu berjenis tropika panas dengan suhu maksimum 3!,9°C, suhu minimum 25,3°C, dan suhu rata-rata 27,9°C. Kabupaten Kepulauan Seribu memiliki kelembaban udara maksimum sebesar 84% dan kelembaban udara minimum sebesar 67%.
Keadaan angin di kawasan ini sangat dipengaruhi oleh angin monsoon. Secara
garis besar angin monsoon dapat dibedakan menjadi dua, yaitu angin musim barat
(Desember-Maret) dan angin musim timur (Juni-September). Kecepatan angin pada Musim Barat bervariasi antarn 7-20 knot/jam, umunmya bertiup dari arah barat daya ke arah barat laut. Pada Musim Timur, kecepatan angin sekitar 2,8 knot/jam yang bertiup dari arah timur laut ke arah tenggara. Sementara itu, pada musim peralihan yang terjadi antara bulan April-Mei dan Oktober-November, angin bertiup dengan kecepatan relatif rendah (Badan Pusat Statistik Administratif Kepulauan Seribu 2010).
Kecepatan ams di Kepulauan Seribu berkisar 0,6 cm/detik hingga 77,3 cm/detik. Kecepatan ams ini dipengaruhi k:uat oleh angin dan sedikit pasang surut. Ams permukaan pada musim barat berkecepatan maksimum 0,5 m/detik: dengan arah k:e timur sampai tenggara. Gelombang laut yang terdapat pada musim barat mempunyai k:etinggian antara 1,175 meter, sedangk:an pada musim timur 0,5-1,0 meter (Badan Pusat Statistik AdministratifKepulauan Seribu, 2009).
Musim hujan biasanya terjadi pada bulan November-April dengan jumlah hari hujan antara 10-20 hari/bulan. Curah hujan terbesar terjadi pada bulan Januari dengan total curah hujan tahunan sekitar 1.779,1 mm. Pada musim kemarau tetap terjadi hujan dengan intensitas rendah dengan jumlah hari hujan antara 4-1 O
Suhu air permukaan di Kepulauan Seribu pada musim barat berkisar antara 28,5-30,0°C. Pada musim timur suhu air permukaan antara 28,5-3 l,0°C. Kedudukan air tertinggi dan terendah adalah 0,6 m dan 0,5 m di bawah duduk tengah. Rata-rata ketinggian air pada pasang perbani adalah 0,9 m dan rata-rata ketinggian air pada pasang mati adalah 0,2 m. Ketinggian air tahunan terbesar mencapai 1,10 m (Estradivari et al., 2009).
Salinitas permukaan air berkisar antara 30-34% pada musim barat maupun pada musim timur. Keadaan ini juga dipengaruhi oleh keadaan umum geologi Kepulaua.'1 Seribu yang terbentuk dari batuan kapur, karang/pasir, dan sedimen yang berasal dari Pulau Jawa dan Laut Jawa. Sedimen-sedimen tersebut terdiri dari susunan bebatuan malihan/metamorfosa dan batuan beku, batu gamping, batu lempung yang menjadi dasar perturnbuhan gamping terumbu.
2.2 Topografi Pulau Karang Congkak
Karang Congkak merupakan bagian dari gugusan pulau dalam kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu yang termasuk dalam zona pemukiman. Secara geografis, pulau ini memiliki luas wilayah 0,6 ha. Pulau Karang Congkak mempunyai hamparan karang mati (gosong) yang dangkal dan ada juga hamparan karang gosong yang terpisah dengan satu pulau yang berpenghuni maupun dengan pulau yang tidak ada penghuninya. Perairan laut ini relatif terlindungi oleh karang penghalang disekitar pulau. Karang penghalang ini terlihat atau muncul ke permukaan air laut ketika surut dan masyarakat sekitar menyebutnya sebagai gudus. Perairan dangkal Karang Congkak memiliki laguna (goba) dimana terdapat
merupakan sebuah kawasan dangkal di pesisir lautan yang terpisah dari lautan terbuka yang dibatasi oleh suatu tubir atau karang, biasanya berupa terumbu
karang. Selain itu, Clapham (1973) dalam Wijaksana (2008) menyatakan laguna
sebagai perairan terpisah yang memiliki kedalaman hingga 30 m seperti atol.
Bagian selatan pulau yang mengarah ke barat pada kedalaman 1-5 m mempunyai jumlah komunitas karang 80,84% dengan sebaran cukup merata untuk beberapa jenis karang keras. Pada kedalaman 6-15 m tutupan komunitas karang lebih rendah yakni 62,43%. Lokasi disebelah utara pada kedalaman 1-5 m mempunyai jumlah komunitas karang 78,33%. Pada lokasi ini didominasi oleh Acropora branching, karang keras, dan softcoral. Pada kedalaman 6-15 m merniliki
tutupan komunitas karang yang didominasi oleh bentuk Acropora branching, Coral
Gambar 1. Pulau karang congkak dalam gugusan kepulauan seribu (Sumber: BTNKpS, 2013)
2.3 Kerang Kima (Tridacnidae)
2.3.1 Klasifikasi
Kima adalah hewan moluska (bertubuh lunak), Kima biasa juga disebut dengan kerang raksasa (fziant clam). Dinamakan demikian karena oertumbuhan
(Mudjiono, 1988). Di seluruh dunia, kima terdiri atas 9 spesies, yaitu Tridacna
gigas, T. squamosa, T. derasa, T. maxima, T. crocea, T. tevoroa, T. rosewater!, Hippopus hippopus dan H parcel/anus (Ellis, 1999; Newman dan Gomez, 2000).
Berdasarkan urutan taksonomi, kerang kima diklasifikasikan kedalam Famili Tridacnidae yang terdiri dari 2 marga yaitu Tridacna dan Hippopus. Marga Tridacna meliputi 7 jenis dan marga Hippopus hanya terdiri dari 2 jenis. Indonesia merupakan daerah pusat penyebaran kima di dunia. Sebanyak 7 spesies kima dapat ditemukan di perairan nusantara. Dua jenis lainnya termasuk jenis kima endemik yang tidak umum dan tersebar di luar Indonesia, yaitu : Tridacna roswateri dan
Tridacna tevoroa dari Kepulauan Fiji dan Tonga. Menurut Abbott (1959) dan Abbott&Dance (1982) urutan klasifikasi dari kima adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia Phylum : Mollusca Class : Bivalvia Ordo : Veneroida Family : Tridacnidae Genus : - Tridacna Spesies - Hippopus
: - Tridacna squamosa Lamarck, 1819 - Tridacna gigas Linnaeus, 1758 - Tridacna derasa Roding, 1798 - Tridacna maxima Roding, 1798 - Tridacna crocea Lamarck, 1819
2.3.2 Jenis-Jenis Kima di Indonesia
Perairan Indonesia terdapat tujuh jenis kima dari sembilan jenis kima di dunia yang terdiri dari dua genus yiatu Tridacna dan Hippopus. Ketujuh jenis tersebut adalah T gigas, T derasa, T squamosa, T maxima, T. crocea, Hippopus hippopus dan Ii parcel/anus (Mudjiono, 1988).
Deskripsi dan habitat dari jenis-jenis kima tersebut menurut Lucas (1988) adalah sebagai berikut :
a. Tridac11a gigas I Kima Raksasa
Spesies ini adalah spesies terbesar, panjangnya dapat mencapai 100 cm dan beratnya berkisar 200 sampai 500 kg. Cangkangnya berwarna putih, menyerupai kipas (tampak dari samping) dengan lekuk-lekuk yang dalam, tepian cangkang memanjang, berbentuk triangular. Cangkangnya tidak dapat menutup secara menyeluruh karena perkembangan mantelnya yang sangat besar. Umumnya ditemukan diatas pasir dan diantara terumbu karang di daerah perairan dangkal, namun dapat juga ditemukan pada kedalanrnn 20 111.
Beberapa individu bahkan terlihat selama air surut.
b. Tridacna derasa I Kima Selatan
Spesies ini adalah kedua terbesar, panjangnya dapat mencapai 50 cm atau lebih. Cangkang berwarna putih dan halus, gigi pada tepi bibir bundar, cangkang tebal dan berat. T. derasa sering sulit dibedakan dengan spesies lain, H. parcel/anus yang juga memiliki cangkang putih, sangat halus dan bibir tepian yang bundar. Juvenil dari T. derasa dan T. gigas juga serupa penampakannya. Untuk membedakan, T. gigas memiliki lekuk yang dalam pada permukaan cangkangnya. Selain itu, mantel T. derasa warnanya selalu tampak terang (biru dan hijau), sementara T. gigas biasanya berwarna tidak menarik (kuning kecokelatan hingga cokelat). Sering ditemui pada sisi terluar daerah terumbu karang pada kedalaman 4 sampai 20 m dan tersebar di lingkungan laut sekitar karang tepi dekat pulau.
Gambar 4. Kima Selatan Tridacna derasa (Sumber: Natural History Museum Rotterdam)
c. Tridac11a squamosa I Kima Sisik
Spesies ini panjangnya dapat mencapai 30-40 cm dan memiliki bentuk cangkang yang sama sisi dengan sisik bergalur yang lebm· yang membesm·
atau warna kuning lemon. Kerang ini melekat dengan bysus ke karang hidup atau patahan-patahan karang pada kedalaman lebih dari 18 m pada karang yang biasanya didominasi oleh Acropora, ditemukan baik pada daerah oseanik maupun terumbu karang yang dekat dengan garis pantai.
Gambar 5. Kima Sisik Tridacna squamosa (Sumber: www.idscaro.net)
d. Tridacna maxima I Kim a Kecil
Spesies ini panjangnya dapat mencapai 30-40 cm walaupun banyak juga ditemui uk.uran yang lebih kecil. Mantel berwarna cerah dengan cangkang mernanjang ke satu sisi dengan sisik-sisik yang rapat pada daerah tepi. Warna cangkang beragarn mulai dari putih biasa hingga kuning, atau putih dengan sedikit warna orange. Kerang ini melekat setengah atau melekat utuh pada perrnukaan k.arang.
e. Tridacna crocea I Kima Lubang
Spesies ini adalah yang terkecil dengan panjang sekitar 15 cm. Cangkang berwarna putih dengan sedikit warna orange-pink atau kuning baik pada sisi dalam maupun pada sisi luar cangkang. Mantel biasanya berwarna terang seperti T. maxima tetapi dapat dibedakan dari cangkang yang berbentuk oval segitiga. Kima ini tertanam dalam karang batu besar di permukaan terumbu karang, hanya tepi cangkang dan mantel yang dapat terlihat.
Gambar 7. Kima Lubang Tridacna crocea (Smnber: www.idscaro.net)
f. Hippopus lzippopus /Kima Pasir
Spesies ini panjangnya dapat mencapai 50 cm, memiliki cangkang keras, berat dan berbentuk memanjang hingga segitiga dengan sisik atau duri kecil. Beberapa cangkang memiliki tonjolan, cangkang be1warna coklat, abu-abu pudar atau hijau. Dapat ditemukan di daerah berpasir pada area termnbu karang.
Gambar 8. Kima Pasir Hippopus hippopus (Sumber: www.idscaro.net) g. Hippopus parcel/anus /Kima Cina
Jenis ini lebih tipis dan lebih halus dari cangkang H hippopus, biasanya mantel berwama hijau zaitun. H porcellanus mudah dibedakan dengan H
hippopus karena memiliki papillae atau tentakel di sepanjang incurrent siphon. Ditemukan hidup pada daerah berpasir sekitar terumbu karang.
Gambar 9. Kima Cina Hippopus porcellanus (Sumber: www.idscaro.net) 2.3.3 Manfaat Kima
Selain mendapatkan pasokan makanan dari zooxanthella, kimajuga mencari makan dengan earn menyaring partikel-partikel organik dari air laut. Aktifitas ini, secara langsung berperan penting dalam membersihkan air laut dati populasi mikroorganisme yang berlebihan. Dengan demikian, air laut menjadi lebih sehat
dan keseimbangan ekosistem pun lebih te1jaga. kima juga menjadi salab satu biota laut yang membuat terumbu karang berwarna indab.
Manfaat bagi manusia, otot adduktor yang menyatukan kedua cangkang kima dianggap sebagai bahan pangan yang istimewa. Di Jepang, daging dan otot kima dikonsumsi sebagai makanan laut yang disebut Himejako. Di wilayab Indonesia timur, daging atau otot kima yang dikeringkan dipercaya sebagai afrodisiak yang mampu meningkatkan vitalitas kaum Adam. Di pulau-pulau terpencil nusantara, masyarakat mengumpulkan kima hidup di tempat tertentu sebagai bahan makanan cadangan saat musim ombak besar tiba.
2.3.4 Cara Hidup
Dilihat dari cara hidupnya suku Tridacnidae dapat dibedakan menjadi 2
golongan. Golongan pertama disebut juga golongan pembor (boring form).
Golongan ini meliputi jenis-jenis kima yang hidupnya membenanikan diri pada terumbu karang baik seluruh atau sebagian saja dari cangkangnya.
Mekanisme pemboran dari jenis kima ini dimulai ketika masih kecil atau
anak (spat) yang mulai aktif melakukan pemboran kira-kira pada ukuran lcm-2cm,
dimana dengan gerakan yang teratur mereka menekankan badannya pada batu karang sehingga akhirnya seluruh atau sebagian dari cangkangnya masuk kedalam
batu karang. Pemboran dilakukan oleh bagian engsel (hinge) dengan posisi
menghadap keatas.
Kima juga mempunyai alat perekat yang kuat berupa bysus yang terbentuk
kuat menempel pada substrat. Jenis kima yang termasuk golongan pertama ini meliputi Tridacna crocea dan Tridacna maxima.
Golongan kedua adalah jenis kima yang cara hidupnya bebas, menempel atau terbaring diantara batu karang atau dasar yang berpasir di daerah Terumbu karang. Pada umumnya golongan kima ini mempunyai ukuran yang lebih besar bila
dibandingkan dengan kima
golongan
pertama. Hal ini merupakan adaptasi dalam
hidupnya karena jenis kima ini pada umumnya tidak mempunyai alat perekat ataupun kalau ada hanya kecil sekali. Dengan ukuran tubuh yang besar dan berat meraka mampu mempertahankan posisinya sekalipun dihempas oleh arus dan ombak. Jenis kima dari golongan kedua ini meliputi Tridacna gigas, Tridacna
derasa, Tridacna squamosa, l-Iippopus hippopus dan I-Iippopus porcellanus
dan diidentifikasi di dunia, tujuh diantaranya dapat ditemukan di wilayah perairan Nusantara.
2.3.6 Populasi Kima di Indonesia
Ban yak Iaporan dan penelitian yang menunjukkan menurunnya populasi kima di alam di beberapa tempat di Indonesia serta di beberapa wilayah di negara lain. Laporan terbaru menunjukkan bahwa kepadatan kima masih relatif sama, misalnya di pulau Burung dilaporkan sebesar 0,03 individu/m2 (Hadi, 2000), pulau Cemara Kecil dan Gosong Cemara sebesar 0,02 dan 0,04 individu/m2.
Kondisi yang hampir samajuga dilaporkan, misalnya di Teluk Cenderawasih dilaporkan mempunyai kepadatan yang rendah yakni sebesar 0,07, 0,06 dan 0,06 individu/m2 di pulau Pepaya, Tridacna Atol dan Kabuai (Pranowo, 1998). Sedangkan laporan dari pulau Barang Lompo dan Bone Batang, Makassar mempunyai kepadatan sebesar 0,06 dan 0,1 individu/m2 (Ramli, 1999). Data terkini juga hampir sama dimana kepadatan Kima di perairan sekitar Krakatau (Krakatau Kecil, Anak Krakatau, Rakata, Sebuku) sebesar 0,017 individu/m2, beberapa pulau
di Kepulauan Seribu (Pramuka, Semak Daun, Karang Congkak) sebesar 0,07 individu/m2 dan di perairan sekitar Manado (P Tanjung Pisok, Nudi Retreat, Batu Gosok dan Serena west) sebesar 0,03 individu/m2 (Ambariyanto, 2007).
Pada umumnya hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa populasi kima di alam didominasi oleh spesies-spesies kecil seperti Tridacna crocea, T.
maxima. Sedangkan spesies besar seperti T. derasa, T. squamosa. Hipippus hipoppus dan H porcellanus sudah sangat jarang ditemukan. Bahkan untuk spesies
dan keseimbangan ekosistem pnn lebih terjaga. kima juga menjadi salah satu biota laut yang membuat terumbu karang berwarna indah.
Manfaat bagi manusia, otot adduktor yang menyatukan kedua cangkang kima dianggap sebagai bahan pangan yang istimewa. Di Jepang, daging dan otot kima dikonsumsi sebagai makanan laut yang disebut Himejako. Di wilayah Indonesia timur, daging atau otot kima yang dikeringkan dipercaya sebagai afrodisiak yang mampu meningkatkan vitalitas kaum Adam. Di pulau-pulau terpencil nusantara, masyarakat mengumpulkan kima hidup di tempat tertentu sebagai bahan makanan cadangan saat musim ombak besar tiba.
2.3.4 Cara Hidup
Dilihat dari cara hidupnya suku Tridacnidae dapat dibedakan menjadi 2
golongan. Golongan pertama disebut juga golongan pembor (boring form).
Golongan ini meliputi jenis-jenis kima yang hidupnya membenamkan diri pada ternmbu karang baik seluruh atau sebagian saja dari cangkangnya.
Mekanisme pemboran dari jenis kima ini dimulai ketika masih kecil atau
anak (spat) yang mulai aktif melakukan pemboran kira-kira pada ukuran I cm-2cm,
dimana dengan gerakan yang teratur mereka menekankan badarmya pada batu karang sehingga akhirnya seluruh atau sebagian dari cangkangnya masuk kedalam
batu karang. Pemboran dilakukan oleh bagian engsel (hinge) dengan posisi
menghadap keatas.
Kima juga mempunyai alat perekat yang kuat berupa bysus yang terbentuk
kuat menempel pada substrat. Jenis kima yang termasuk golongan pertama 1111 meliputi Tridacna crocea dan Tridacna maxima.
Golongan kedua adalah jenis kima yang cara hidupnya bebas, menempel atau terbaring diantara batu karang atau dasar yang berpasir di daerah Terumbu karang. Pada umumnya golongan kima ini mempunyai ukuran yang lebih besar bila dibandingkan dengan kima golongan pertama. Hal ini merupakan adaptasi dalam hidupnya karena jenis kima ini pada umumnya tidak mempunyai alat perekat ataupun kalau ada hanya kecil sekali. Dengan ukuran tubuh yang besar dan berat meraka mampu mempe1tahankan posisinya sekalipun dihempas oleh arus dan ombak. Jenis kima dari golongan kedua ini meliputi Tridacna gigas. Tridacna
derasa, Tridacna squamosa, Hippopus hippopus dan Hippopus porcellanus
(Kastoro 1979).
a b
Gambar I 0: (a) Kima golongan pertama (Boring Form) dan (b) kima golongan kedua (hidup bebas)
2.3.5 Persebaran Kima di Indonesia
membentang ke timur sampai ke Kepulauan Toamotu dan Pulau Pitcairn di Pasifik. Tiap-tiap jenis mempunyai daerah sebaran sendiri-sendiri. Tridacna maxima
mempunyai daerah sebaran paling luas sedangkan Tridacna crocea mempunyai sebaran paling sempit (Rosewater, 1965). Gambar 12 memperlihatkan peta sebaran beberapa jenis kima di perairan Indo-Pasifik,
N
1l1
T .
-Gambar 11. Peta sebaran suku Tridacnidae di Indo-Pasifik (Rosewater, 1965) Kerang kima banyak ditemukan di ekosistem Terumbu Karang di wilayah Indo-Pasifik termasuk Indonesia. Dari sepuluh spesies kima yang telah ditemukan
dan diidentifikasi di dunia, tujuh diantaranya dapat ditemukan di wilayah perairan Nusantara.
2.3.6 Populasi Kima di Indonesia
Banyak laporan dan penelitian yang menunjukkan menurunnya populasi kima di alam di beberapa tempat di Indonesia serta di beberapa wilayah di negara lain. Laporan terbaru menunjukkan bal1wa kepadatan kima masih relatif sama, misalnya di pulau Burung dilaporkan sebesar 0,03 individu/m2 (Hadi, 2000), pulau Cemara Kecil dan Gosong Cemara sebesar 0,02 dan 0,04 individu/m2.
Kondisi yang hampir samajuga dilaporkan, misalnya di Teluk Cenderawasih dilaporkan mempunyai kepadatan yang rendah yakni sebesar 0,07, 0,06 dan 0,06 individu/m2 di pulau Pepaya, Tridacna Atol dan Kabuai (Pranowo, 1998). Sedangkan laporan dari pulau Barang Lampo dan Bone Batang, Makassar mempunyai kepadatan sebesar 0,06 dan 0,1 individu/m2 (Ramli, 1999). Data terkini juga hampir sama dimana kepadatan Kima di perairan sekitar Krakatau (Krakatau Kecil, Anak Krakatau, Rakata, Sebuku) sebesar 0,017 individu/m2, beberapa pulau
di Kepulauan Seribu (Pramuka, Semak Daun, Karang Congkak) sebesar 0,07 individu/m2 dan di perairan sekitar Manado (P Tanjung Pisok, Nudi Retreat, Batu Gosok dan Serena west) sebesar 0,03 individu/m2 (Ambariyanto, 2007).
Pada umunmya hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa populasi kima di alam didominasi oleh spesies-spesies kecil seperti Tridacna crocea, T. maxima. Sedangkan spesies besar seperti T. derasa, T. squamosa. Hipippus hipoppus dan H porcellanus sudah sangatjarang ditemukan. Balikan untuk spesies terbesar yakni T. gigas sudah tidak ditemukan lagi di beberapa tempat.
Dibandingkan dengan di negara-negara lain, maka kepadatan kima di beberapa tempat di Indonesia tersebut relatif lebih rendah. Sebagai contoh, di Takapoto Lagoon, North Tuamotu, Frech Polynesia kepadatan kima dilaporkan
sebesar 0, 14 individu/m2 (Richard, 1981 ), selanjutnya di Cook Island kepadatan
kima dilaporkan sebesar 0,2-5,4 individu/ m2 (Sims&Howard, 1988), sedangkan di
One Tree Island, Australia dilaporkan sebesar 0, 16-0, 17 individu/m2 (Ambariyanto,
1996).
2.3. 7 Status Konservasi Kima
Kima merupakan salah satu hewan laut yang dilindungi di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Para ahli melaporkan bahwa populasi dari beberapa jenis
kima di alam terus menurun akibat eksploitasi yang berlebihan. Kima raksasa,
Kima Porselen, dan Kima Selatan adalah beberapa jenis kima yang semakin jarang ditemukan.
Upaya penangkaran dan restocking sangat penting untuk menjaga populasi
kima supaya tetap bertahan. Pada tahun 1987 pemerintah Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.12/Kpts/II/1987 yang diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 memasukkan ketujuh jenis kima yang hidup di Indonesia menjadi hewan yang dilindungi.
Penetapan tersebut berdasarkan kenyataan bahwa populasi kima di alam sudah sangat menurun terutama disebabkan pemanfaatan manusia. Secara tradisional hewan ini memang dimanfaatkan oleh penduduk di sekitar pantai baik yang digunakan untulc bahan makanan, bahan bangunan, kebutuhan rumah tangga dan sebagai souvenir maupun hewan akuarium yang sangat digemari (Sya'rani,
2.4 Pola Distribusi Populasi
Populasi adalah suatu kelompok individu dari spesies yang sama atau spesies yang tidak sama pada suatu tempat dan waktu (Setiadi dan tjondronegoro, 1989). Menurut Odum (1993), penyebaran populasi adalah gerakan individu atau anak-anaknya kedalam atau keluar populasi atau daerah populasi. Ada tiga bentuk penyebaran populasi : (1) emigrasi, gerakan ke luar satu arah, (2) imigrasi, geraka11 kedalam satu arah, dan (3) migrasi, berangkat/pergi dan datang/kembali secara peiodik.
Gambar 12. Pola distribusi populasi (Odum,1993)
Pola distribusi acak terjadi bila individu-individu menyebar dalam beberapa tempat dan mengelompok dalam tempat lainnya. Pola distribusi mengelompok terjadi bila individu-individu selalu terdapat dalam kelompok dan jarang terpisah. Pola distribusi merata terjadi bila individu-individu terdapat pada tempat-tempat tertentu.
Penyebaran secara acak terjadi dimana lingkungan sangat seragam dan terdapat kecenderungan nntuk berkumpul. Penyebaran seragam dapat terjadi dimana persaingan diantara individu sangat keras dan terdapat antagonis positif yang mendorong pembagian ruang yang sama. Sedangkan, berkelompok dapat
bergerombol sendiri dengan ruang yang Jaus yang tidak terisi. Dengan kata lain terdapat lima tipe penyebaran yaitu : seragam, acak, mengerombol secara acak, menggerombol seragam, dan bergerombol berkumpul (Odum, 1993).
Menurut Tarumingkeng (1994), pola distribusi acak dari individu anggota populasi suatu spesies menunjukan bahwa terdapat kesergaman (homogeneity) dalam lingkungan hidup spesies itu atau adanya perilaku nonselektif dari spesies tersebut dalam lingkungannya. Pola distribusi non-acak atau merata disebabkan oleh pengaruh negatif dari persaingan makanan diantara individu. Pola distribusi menggelompok disebabkan oleh sifat spesies gregarious (bergerombol) atau adanya keragaman (heterogeneity) habitat sehingga terjadi penggelompokan di tempat lain yang terdapat banyak bahan makanan.
Perbedaan po la spatial (tata ruang) yang terjadi di alam dapat disebabkan oleh beberapa faktor (Ludwig dan Reynolds, 1998 dalam Taruminkeng, 1994), yaitu: a. Faktor vektorial yang timbul dari gaya ekternal seperti arah angin, arah aliran
air, intensitas cahaya dan salinitas.
b. Faktor reproduktifyaitu faktor yang berkaitan dengan cara berkembang biak. c. Faktor sosial yaitu faktor yang timbul dari berbagai sifat yang dimiliki spesies
tertentu.
d. Faktor koaktifyaitu faktor yang timbul karena adanya persaingan intraspesies. e. Faktor stokastik, yaitu faktor yang timbul karena adanya keragaman acak
dalam salah satu faktor diatas. 2.5 Parameter Lingkungan
dan biologi akan mempengaruhi kualitas perairan itu sendiri. Parameter fisika kimia pada umumnya mempengaruhi keberadaan, distribusi, dan merupakan penunjang kehidupan kima pada suatu lingkungan perairan. Beberapa parameter tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Suhu
Suhu merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Proses kehidupan yang vital, yang secara umum disebut metabolisme, hanya berfungsi di dalam kisaran suhu yang relatif sempit. Karena sebagian besar organisme laut juga bersifat poikilometrik dan suhu air laut bervariasi menurut garis lintang, maka penyebaran organisme laut sangat
mengikuti perbedaan suhu lautan secara geografik (Nybakken, 1992). Suhu dapat
membatasi sebaran hewan-hewan benthos secara geografik. Suhu yang baik bagi
pertumbuhan hewan-hewan benthos berkisar antara 25°C-31°c. Suhu rata-rata
dimana organisme kima dapat hidup adalal1 28°C (Sastry, 1963 dalam Harahap,
1987).
b. Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan (Boyd, 1988
dalam Effendi, 2003). Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air, setelall semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan oleh klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi. Salinitas dinyatakan dalam
satuan g/kg atau promil (%0) (Effendi, 2003).
Salinitas pada kedalaman 100 meter pertama, dapat dikatakan konstan
nyata. Salinitas air laut biasanya berkisar antara 32-37,5 ppt, sedangkan salinitas
rata-rata untuk kima dapat hidup adalah 32%0. (Mcconnaughey dan Zottoli, 1983).
c. Kedalaman
Kedalaman peratran mempengaruhi kepadatan dan distribusi
makrozoobenthos. Dasar perairan yang kedalamannya berbeda akan dihuni oleh
makrozoobenthos yang berbeda pula (Wright, 1984).
d. Kecerahan
Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Keadaan cuaca, kekeruhan air, dan waktu pengamatan sangat berpengaruh terhadap hasil pengukuran. Pengukuran sebaiknya
dilakukan pada saat cuaca cerah (Effendi, 2003).
Kima hidup pada dasar perairan, sehingga kecerahan perairan yang dibutuhkan kima pada umumnya mencapai dasar perairan. Keadaan ini ada hubungannya dengan cara hidup kima yang bersimbiosis dengan algae. Sinar matahari sangat penting untuk terjadinya fotosintesis dari zooxanthellae yai1g
sangat berguna bagi kima (Rosewater, 1965). Nilai kecerahan 2:5 m merupakan
baku mutu air laut yang diperbolehkan untuk biota laut (Kep.Men LH no 51 tahun
2004).
e. Derajat Keasaman (pH)
Jumlah ion hidrogen dalam suatu larutan merupakan penunjuk tingkat keasaman. Lebih banyak ion I-r+ berarti lebih asam suatu larutan dan lebih sedikit ion H+ berarti lebih basa larutan tersebut. Keasaman dan kebasaan diukur dengan
Air laut mempunyai pH yang agak basa, sifat basa dari air laut tersebut disebabkan oleh ion Natrium, kalium dan Kalsium yang terlarut didalamnya (Nybakken, 1992).
Menurut Suin (1992a), pengukuran pH air dapat dilakukan dengan cara kolorimetri, dengan kertas pH atau dengan pH meter. Penentuan pH harus dilakukan di tempat, karena perubahan kimia yang mungkin terjadi selama penyimpanan sampel air akan mengubah nilai yang sebenamya.
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Tcmpat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di permran Pulau Karang Congkak, Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS). Letak geografis pulau ini berada pada posisi 106°33'-106° 38' BT dan 05°41'-05°46' LS. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2013.
S>.w!;'J~W-df<t?; :
• 7:4tik Cw,..4"-?t '"""I. Gtm Ch.>1'k.k ~2
3.2 Peralatan
Alat yang digunakan adalah snorkel dan masker, scuba set, termometer, GPS,
roll meter 50 meter, tali/tambang, patok besi,flow meter, tongkat berskala, portable
DO meter (YSI), hand refractometer, current drouge, secchi disk, kertas pH, kamera digital (casio tipe Exilim, resolusi 14 MP), perahu bermotor, alat tulis.
3.3 Metode Pengambilan Sampel
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Teknik sampling yang dignnakan adalah stratified sampling dengan menggunakan Belt
Transect (Home et all., 1994 dalam Yusuf et al., 2009.) dengan panjang transek
sepanjang 10 meter dengan 3 kali ulangan Belt transect dipasang I m ke kiri dan 1 meter ke kanan (Johan, 2003) seperti terlihat pada Gambar 14. Luas bidang yang teramati pertranseknya yaitu 20 m2•
3.4 Cara Kerja
3.4.1. Tahap Pra-Penelitian
Pada tahap pra-penelitian dilakukan survei ke lokasi penelitian. Kegiatan survei ini dilakukan untuk pemantanan situasi dan kondisi lapangan sebagai tempat penelitian. Selain itu, dilakukan juga penentuan titik penelitian yang berdasarkan arah mata angin dimana hasil yang didapatkan akan memperlihatkan kondisi perairan pulau secara keseluruhan ( 4 titik).
3.4.2. Tahap Penelitian a. Pemasangan Belt Transect
' .. -.
. . . ... .
.
-• , -• -• J•&• l'•n~>toOil•n !ho"
't ":\:•'.P:n,•mOihnD«• Pono>m~iho Dot•
.
.
. . . . . . . . . -... ~ . . . -. . . ~----:::. ··· ·
.----::::::::- _.Tom
---'!'!!"
-... ,...
t~~"::
- - - · "" " 10 m 10 m ~--- -- -~'""''-nwfiff!Jlp~, ~ rr ~·1n, a s 10m 10m Ketera.ngan :Panjang Total Garis Transek - Garis Transek Pengambilan Data Garis Transek Jeda Pengambilan Data
Gambar 15. Sketsa pengamatan pada tiap stasiun sampling
c. Pengukuran Parameter Lingkungan
Pengambilan data fisik kimia permukaan air laut dibatasi hanya pada pe.ngukuran suhu, salinitas, kedalaman, pH, DO, kecepatan arus dan kecerahan. Pengukuran parameter lingkungan dilakukan pada setiap titik pengan1atan. Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan Hand Refractometer.
Pengukuran pH menggunakan kertas pH. Pengukuran kecerahan dilakukan dengan menggunakan secchi disk. Pengukuran suhu dilakukan menggunakan termometer air raksa. Pengukuran kadar oksigen terlarut menggunakan portable DO meter. Pengukuran kecepatan arus dilakukan menggunakan current drouge. Faktor fisik tersebut diukur saat masih berada diatas kapal, sedangkan pengukuran kedalaman
3.4.3. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisi menggunakan deskriptif kuantitatif. Selanjutnya data kepadatan dan distribusi kerang kima yang ditemukan dianalisis melalui perhitungan secara sistematis dengan menggunakan rumus, yaitu :
a. Kepadatan
Kepadatan kima didefinisikan sebagai jumlah individu kima per stasiun dalam satuan luas, biasanya dinyatakan dalam satuan meter persegi (Odum, 1993). Diihitung dengan persamaan sebagai berikut :
n
D=-A
Dimana:
D : Kepadatan kerang kima (ind/m2) n : Jumlah individu suatu spesies A : Luas area pengamatan sampel (m2)
b. Kelimpahan Kima
Kelimpahan adalah total jumlah individu kerang kima yang ditemukan selama pengamatan. Indeks kelimpahan memberikan gambaran suatu komposisi jenis dalam komunitas. Kelimpahan jenis kerang kima dapat ditemukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Van Balen, 1984):
P
1 = - - - -.
2:
kima spesies iKeterangan :
KR > 5% : Spesies Predominan KR 2-5% : Spesies Subdominan KR < 2% : Spesies Tidak Dominan
c. Keanekaragaman Jenis
Indeks keanekaragaman menunjukkan kekayaan spesies dalam suatu komunitas dan juga memperlihatkan keseimbangan dalam pembagian jumlah per individu per spesies. Indeks keanekaragaman dapat dihitung dengan dengan Indeks Shannon-Wiener (Magurran, 1988) dengan persamaan:
H'
= -l:
Pi Ln Pi
Keterangan :
H' : Indeks keanekaragaman Pi : ni/N
m : Jumlah individu spesies suatu jenis N : Jumlah individu total
Kriteria hasil keanekaragaman (H') berdasarkan Shannon-Wiener (Odum, 1971) adalah: H' :S 1 1 <H'<3 : Keanekaragaman Rendah : Keanekaragaman Sedang : Keanekaragaman Tinggi
d. Pola Persebaran Jenis
Untuk mengetahui pola sebaran kima dalam habitat, maka digunakan pola persebaran Morisita. Indeks persebaran Morisita dihitung melalui rumus sebagai berikut (Brower dan Zar, 1990) :
Id=
2:
ni (ni-1)q N (N-1)
Dimana:
Id : Indeks Persebaran Morisita q : Jumlah pengambilan sampel
111 : Jumlah individu pada pengambilan sampel ke-i
N : Jumlah total individu yang diperoleh
Tabel 1. Indeks dan pola persebaran Morisita Nilai Indeks Persebaran Pola Persebaran
Morisita
Id> 1 Pola sebaran berkelompok/agregat (clumped) Id= I Pola sebaran acak (random)
3.5 Alur Penelitian
Terdiri dari 2 tahap penelitian :
I. Pra-Penelitian
2. Penelitian
Survei lokasi penelitian dan penentuan titik penelitian
I
Pemasangan Belt Transect
,,,
(~~~~P-en_g_am~a-tan~_ob_~_e_k~~~J
1
Identifikasi objek di lapangan
l
Catat kedalaman dan jumlah objek yang ditemukan
l
[~~~~An~-al_i~si_s_d_a_ta~~~~J
l
[~_Ha_sil ~J
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Dekripsi Stasiun Penelitian
Stasiun penelitian yang terletak di perairan Pulau Karang Congkak memiliki kecerahan perairan yang relatif tinggi dengan jarak pandang berkisar antara 4-13 meter. Keempat lokasi ini memiliki substrat dasar yang didominasi oleh batu (rock). Kecerahan perairan pada lokasi penelitian dapat dipengaruhi oleh beberapa ha! seperti substrat dasar perairan, banyak tidaknya partikel dalam kolom air yang menghambat penetrasi sinar matahari, adanya sedimentasi dari daerah sekitar, serta tingginya aktivitas yang tidak sehat pada perairan tersebut, yaitu pengambilan komoditas laut dengan memsak habitat atau substrat dari biota laut tersebut. Kondisi perairan pada titik penelitian sedikit berombak dan berams.
Berdasarkan topografinya, keempat stasiun penelitan dibagi menjadi dua kelompok habitat yaitu areal karang yang didominasi oleh jenis karang masif dan
areal dengan dominasi karang jenis Acropora. Areal pertama terdapat pada stasiun
selatan dan timur, sedangkan areal kedua terdapat pada stasiun barat dan utara. Stasiun barat dan utara ditemukan juga jenis karang masif namun tidak sepesat perkembangannya seperti pada stasiun kelompok satu. Zona penelitian dibagi
menjadi dua golongan yaitu reef crash dan reef slope.
4.2 Faktor Fisika-Kimia dan Habitat Perairan Kerang Kima (Tridac11idae)
Kondisi perairan berperan langsung terhadap segala bentuk kehidupan biota
,.i;1°1m1'"-pengukuran pada beberapa parameter lingkungan di tempat penelitian. Hasil dari pengukuran faktor fisika dan kimia air laut dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Faktor fisika kimia dan habitat kerang kima di perairan Pulau Karang Congkak.
No. Parameter Barat Utara Timur Se Iatan BakuMutu''
I. Suhu (°C) 30,1 30,9 30 30,l 28-30
2. Salinitas (ppm) 30 30 30 30 33-34
3. pH 6 7 6 6 7-8,5
4. Kecerahan (m) 8 13
11
4 >55. Kecepatan Arns (mis) 0,05 0,05 0,06 0,07 alami
6. DO (mg/I) 5,71 5,57 5,86 6,03 >5
7. Substrat Rock Rock Rock Rock alami
. *'=
Keterangan . KepMenLH No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu A1r Laut untuk Biota Laut (Lampiran. 1)
Hasil pengukuran faktor fisika kimia yang diperlihatkan pada tabel diatas menunjukkan hasil yang cukup baik untuk kehidupan kerang kima, bahkan ada beberapa parameter dapat dikatagorikan mendukung kehidupan kima yang ada didalamnya.
a. Sulm
Suhu perairan Pulau Karang Congkak pad a saat penelitian berkisar antara 3 0-30 ,9°C. Kisaran suhu di lokasi penelitian masih pad a kisaran normal dan dapat ditoleransi oleh biota perairan. Sesuai dengan Rahman (2006) bahwa biota laut dapat mentoleransi suhu yang berkisar 20-35°C dan sulm yang baik untuk
Temperatur suhu pada setiap stasiun penelitian bervariasi dengan nilai terendab terdapat pada stasiun timur (30°C) sedangkan nilai tertinggi terdapat pada stasiun utara (30,9°C). Perbedaan sulrn ini disebabkan karena adanya perbedaaan waktu pada saat pengukuran yang dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang terjadi, dimana semakin siang dan tinggi intensitas caliayanya maka suhu perairan akan semakin tinggi pula.
Coral Watch (2011) menyatakan babwa suhu air berfluktuasi sesuai siklus matahari dan pasang-surut. Air laut yang terperangkap di dalam cekungan bebatuan atau pada rataan terumbu karang di siang hari suhunya dapat meningkat beberapa derajat. Pola suhu dalam perairan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matabari, pertukaran panas antara air dan udara di sekelilingnya.
b. Oksigen Terlarut (DO)
Jumlab oksigen terlarut yang didapatkan pada keempat stasiun penelitian berkisar antara 5,57-6,03 mg/I. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun selatan sebesar 6,03 mg/!, ha! ini disebabkan oleh adanya pencampnran angin laut yang cukup. Menurut Nybakken (1998), pengadukan dan pencampuran oleh angin menyebabkan cukupnya persediaan oksigen didalam kolom air. Rendabnya kadar oksigen pada stasiun utara berkaitan dengan tingginya suhu perairan pada stasiun tersebut. Barus (2004) menyatakan bahwa setiap kenaikan suhu 10°C akan meningkatkan laju metabolisme, termasuk benthos sebesar 2-3 kali Iipat. Meningkatnya suhu berkorelasi positif terhadap meningkatnya laju respirasi dan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat. Akibat meningkatkan Iaju metabolisme, maka konsumsi oksigen juga meningkat dan akan meyebabkan kelarutan dalam air
Menurut Sastrawijaya (1991) suhu mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen, jika suhu naik maka oksigen didalam air akan menurun. Semakin besar kadar DO dalam suatu ekosistem, maka semakin baik pula kehidupan makrozoobenthos yang mendiaminya. Secara keseluruban nilai kandungan oksigen terlarut di keempat stasiun penelitian masih dapat mendukung kehidupan benthos. Kadar oksigen terlarut dalam kisaran 4,5-7 mg/I tidak mengubah jumlah toleransi konsumsi oksigen oleh ikan baik pada suhu rendah (20°-25°C) maupun tinggi (30°C) sebagai batas optimum.
c. Salinitas
Kadar garam atau salinitas yang diperoleh pada keempat stasiun penelitian adalah sama yaitu sebesar 30 ppm (Tabel 2). Salinitas pada keempat stasiun ini tergolong baik untuk pertumbuhan kerang kima. Hal ini seperti pendapat Jameson (1976) yang menyatakan bahwa salinitas yang baik untuk kima adalah 25-40 ppm. Nilai salinitas ini juga menunjukkan bahwa daerah ini memiliki kondisi yang baik dimana pada nilai salinitas tersebut, ekosistem terumbu karang dapat tumbub dengan optimal. Menurut Sadarun et.al., 2006, salinitas optimum bagi kehidupan karang berkisar antara 30-35 ppm, oleh karena itu karang jarang ditemukan pada perairan dengan kadar garam yang tinggi. Hal ini tentunya dapat memberikan pengarub yang baik terhadap pertumbuhan kerang kima karena karang merupakan salah satu substrat dari kerang kima.
Kadar salinitas air Iaut adalah faktor penting dalam persebaran biota-biota Iaut. Hal ini didikung oleh mendapat Nybakken (1992), yang menyatakan salinitas
biota akuatik dan salinitas merupakan salah satu besaran yang berperan dalam Iingkungan ekologi laut. Salinitas air laut juga mempengaruhi penyebaran hewan benthos seperti bivalvia, karena organisme laut hanya dapat bertoleransi terhadap perubahan salinitas yang kecil dan perlahan (Hutabarat dan Evans, 1985).
d. Kecerahan
Berdasarkan hasil pengukuran, kecerahan pada tiap stasiun berbeda-beda. Perairan dengan tingkat kecerahan terendah terdapat pada stasiun selatan, dimana jarak pandang hanya mencapai 4 meter, sedangkan kecerahan tertinggi terdapat pada stasiun utara dengan tinggat kecerahan mencapai 11 meter. Perbedaan tingkat kecerahan ini juga dipengaruhi oleh perbedaan waktu pada saat pengukuran berlangsung. Pengukuran di stasiun utara dilakukan pada siang hari dimana intensitas cahaya sedang berada pada titik maksimal. Meskipun terdapat perbedaan tingkat kecerahan pada setiap stasiun, penetrasi cahaya yang terjadi masih dapat menembus perairan sampai ke dasar. Hal ini terkait dengan pertumbuhan kima klmsusnya suplai makanan, selain mendapatkan makanan dari sekitarnya, kerang kima juga mendapatkan makanan dari simbionnya yaitu zooxantella yang terdapat pada mantelnya (Mudjiono, 1988). Simbiosis antara kima dan zooxanthella terjadi dimana zooxanthella berfotosintesa dengan memproduksi makanannya sendiri dari energi matahari dan sumber nitrogen serta karbon dari basil katabolisme dan respirasi kima, sebaliknya kima memperoleh makanan dari produk fotosintesis secara langsung dari zooxanthella berupa gliserol dan glukosa. (Panggabean, 1990). e. Kecepatan Arus
terbuka dan angin yang terasa kuat sehingga arus lebih tinggi di stasiun tersebut. Selain itu, tingginya kecepatan arus pada stasiun ini dipengaruhi oleh waktu perubahan pasang surut air Iaut. Nontji (1993), menyatakan bahwa keberadaan arus dan gelombang di perairan sangat penting untuk kelangsungan hidup biota yang terdapat didalamnya. Arns diperlukan untuk mendatangkan makanan berupa plankton, membersihkan diri dari endapan-endapan, dan berfungsi untuk mensuplai oksigen dari laut bebas. Oleh karena itu pertumbuhan di tempat yang airnya selalu teraduk oleh arus dan ombak, Iebih baik dari pada perairan yang tenang dan terlindung.
f. pH
pH digunakan untuk menyatakan hubungan keeratan dengan konsentrasi ion hidrogen. pH juga merupakan indikasi asam atau basa suatu perairan. Berdasarkan pengukuran derajat keasan1an di area pengamtan didapatkan kisaran nilai antara 6-7. Hal ini menunjukkan bahwa derajat keasaman perairan masih bersifat netral. Kisaran nilai tersebut sesuai dengan baku mutu pH air laut yakni sebesar 6,6-8,5 yang dapat mendukung kelangsungan hidup makrozoobenthos (Nybakken, 1992).
T crocea hidup dengan membenamkan hampir seluruh bagian dari cangkangnya dan hanya terlihat bagian mantelnya saja. Lokasi ditemukannya kerang T. crocea mempunyai rata-rata suhu 30,4°C, pH bernilai 6, kadar oksigen terlarut antara 5,57-6,03 dan salinitas 30 ppm.
4.3.2 Tridacna maxima
Tridacna maxima atau kerang kima kecil yang ditemukan memiliki mantel berwarna biru muda, biru tua, dan ungu dengan corak bintik-bintik hitam. Kerang
T maxima memiliki bentuk sisik cangkak yang khas, dimana sisik-sisik yang
terdapat pada cangkangnya saling berdekatan dan terlihat menumpuk satu dengan lainnya. Panjang dari kerang ini berkisar antara 6-15 cm. T. maxima ditemukan pada kedalaman 3-5 meter dan hidup pada substrat batu (Gambar 18).
Gambar 18. Tridacna maxima pada substrat batu (doc: pribadi)
Substrat
(Rock)
Mantel
Sisik
Kerang ini ditemukan pada keempat stasiun, akan tetapi jumlahnya melimpah hanya di stasiun timur. Melimpahnya T maxima pada stasiun timur kemungkinan
pada substrat karang hidup. Kondisi lingkungan disekitar tempat ditemukaannya T. derasa terdapat patahan-patahan karang. Hal ini didukung oleh Romimohtarto et al., 1987 dalam Pasaribu, 1988 yang mengatakan bahwa T. derasa hidup pada
daerah terumbu karang hidup dan patahan-patahan karang serta sering ditemui daerah terumbu karang pada kedalaman 4-20 m.
4.3.4 Tridacna squamosa
Kerang Tridacna squamosa atau kerang kima kecil yang ditemukan memiliki mantel berwarna hitam keabu-abuan dengan campuran corak bintik hitam dan kuning. Bentuk khas dari sisik kerang T. squamosa ini terletak pada bentuk sisik
yang lebar dan membesar mendekati tepian mulut cangkang. Panjang dari kerang ini berkisar antara 23-25 cm dan ditemukan pada kedalaman 3-5 meter dan menempel diantara karang hidup. Kerang ini ditemukan hanya pada stasiun selatan dan berjumlah satu buah (Gambar 20).
Substrat (Karang Hidup)
Sisik
landai dan memiliki keanekaragaman biota yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan stasiun lainnya. Jenis terumbu karang yang terdapat pada stasiun ini juga lebih didominasi oleh karang masif sehingga memungkinkan kerang kima dapat berkembangbiak dengan baik di perairan ini.
Stasiun penelitian yang memiliki kepadatan terendah terdapat pada stasiun barat dimana jumlah kepadatannya hanya 0,05 individu/nl. Rendahnya kepadatan pada stasiun ini dipengaruhi dari sedikitnya jumlah individu yang ditemukan dan disamping itu bila dilihat dari kondisi lingkungan perairan, stasiun ini memiliki topografi yang relatif curam dan didominasi oleh terumbu karang yang berukuran kecil (Acropora) sehingga sulit bagi kerang kima untuk membenamkan dirinya.
Kepadatan pada masing-masing spesies di keempat stasiun penelitian memiliki komposisi yang berbeda-beda pula. Hal ini diperlihatkan pada gambar dibawah ini.
0,06 0,05 0,05 0,05 ~ M ~ 0,04 "O
=
v 0,03 0,03 0,03 c: 0,03"
-
"
'O"
Q. 0,02"'
~ 0,01 0Selatan Utara Timur Ba rat
Stasiun Penelitian
w.i T.derasa Ifill T. nuL"<in1a
Seperti yang terlihat pada Gambar 22., stasiun selatan memiliki keanekaragaman individu yang paling banyak dimana semua jenis kerang kima yang ditemukan terdapat pada stasiun ini dengan kepadatan individu tertinggi
terdapat pada jenis Tridacna derasa sebesar 0,05 individu/m2 dan diikuti oleh
Tridacna maxima sebesar 0,04 individu/m2. Selain faktor substrat dasar yang
didominasi oleh karang masif, tingginya nilai kepadatan tridacna yang terdapat pada stasiun selatan erat kaitannya dengan suhu dan kadar oksigen pada stasiun ini yang menunjukkan nilai optimum bagi pertumbuhan kerang kima. Nilai suhu sebesar 30,1°C dan kadar oksigen sebesar 6,03 mg/I dapat memberikan kondisi yang cocok bagi peningkatan laju pertumbuhan kerang kima. Menurut Effendi (2003) perairan sebaiknya memiliki kadar DO tidak kurang dari 5 mg/I.
Stasiun timur, barat, dan utara hanya ditemukan jenis Tridacna maxima dan
Tridacna crocea, sedangkan jenis-jenis lainnya tidak ditemukan. Sedikitnya keanekaragaman jenis kerang kima pada ketiga stasiun ini diduga disebabkan oleh faktor pengambilan secara ilegal yang dilakukan oleh masyarakat sekitar pulau. Jenis T.maxima dan T.crocea yang masih terdapat pada ketiga stasiun ini erat kaitannya dengan cara hidup mereka yang membenamkan diri pada karang masif
(boring organism) sehingga sulit untuk diambil oleh masyarakat sekitar, sedangkan jenis-jenis kima lainnya yang tidak ditemukan diduga telah habis diambil oleh masyarakat sekitar karena sifat hidup mereka yang hanya melekat lemah pada substrat pasir maupun patahan karang.
4.5 Kelimpahan Kerang Kima (Tridacnidae)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, jumlah seluruh jenis kima yang ditemukan di perairan Pulau Karang Congkak sebanyak 31 individu. Kelimpahan relatif kerang kima berkisar antara I %-11 %, dimana jenis kima dengan kelimpahan relatif tertinggi terdapat pada jenis Tridacna maxima sebesar 11 % dan diikuti oleh
jenis Tridacna crocea sebesar 9%. Hasil kelimpahan relatif seluruh jenis kima yang
ditemukan dapat dilihat pada Gambar 23.
12% 11% 10%
"
"'
8% ..c:"'
Q. 6% .§ Ql ::.:: 4% 2% 0%T. n1axin1a T. crocea T. derasa T. squamosa
Gambar 23. Kelimpahan relatifTridacnidae pada keempat stasiun
Gambar diatas menunjukan kelimpahan relatifkeempatjenis kerang kima yang ditemukan pada keempat stasiun penelitian. Jumlah total kelimpahan relatif tertinggi terdapat pada jenis Tridacna maxima sebesar 11 %, sedangkan untuk
kelimpahan relatif terendah terdapat pada jenis Tridacna squamosa sebesar 1 %. Tridacna maxima dan Tridacna crocea tergolong kedalam spesies predominan,
menurut Van Balen (1984) jika KR>5% tergolong spesies predominan, KR 2-5% tergolong spesies subdominan, dan KR<2% tergolong spesies tidak dominan.
Tingginya kelimpahanjenis Tridacna maxima dan Tridacna crocea disebabkan
oleh tipe substrat yang terdapat pada keempat stasiun penelitian, yaitu batuan
(Rock). Tridacna maxima dan Tridacna crocea yang ditemukan menempel pada
karang masif (coral massive) dan batuan (Rock) dengan seluruh cangkangnya
terbenam di dalam substrat yang keras yaitu pada karang masif dan batuan (Rock).
Hal ini juga didukung oleh Yusuf et al., (2009) dan Hernawan (2011) yang
mengatakan bahwa T. maxima sebagian besaT hidup pada substrat batuan (Rock),
namun demikian kerang jenis ini juga dapat ditemukan pada tipe substrat karang masif dan karnng mati. Panggabean (1991) juga mengatakan bahwa T. crocea
adalah kima yang berukuran kecil yang membutuhkan substrat yang keras untuk membenamkan cangkangnya. T. Crocea hidup terbenam dalam kerangka karang
batu yang masif dan hanya bibir cangkang yang tampak dari luar.
Tridacna squamosa adalah jenis kerang kima dengan tingkat kelimpahan relatif
terendah yaitu hanya sebesar 1 %. Rendahnya tingkat kelimpahan relatif ini
dipengaruhi dari jenis substrat yang terdapat pada keempat stasiun penelitian yang hampir didominasi dari jenis karang masif dan batuan, sedangkan T. squamosa
yang ditemukan hidup pada tipe substrat karang hidup dan patal1an karang. Yusuf et al. (2009) menyebutkan bahwa T. squamosa kebanyal<an hidup pada substrat
Secara umum kerang kima yang terdapat di perairan Pulau Karang Congkak hidup pada substrat karang masif dan batuan. Hal ini dapat terjadi karena pada kedua tipe substrat ini bidup T. maxima dan T. crocea yang merupakan jenis kima yang paling banyak ditemukan. Hal ini juga terkait dengan sifat bidup dari T.
maxima dan T. crocea yang membenan1kan sebagian atau selurub cangkaknya ke dalam substrat (Mambu, 2012).
4.6 Indeks Keanekaragaman (H')
Berdasarkan basil perbitungan nilai indeks keanekaragaman kerang kima pada masing-masing stasiun penelitian didapatkan basil yang bervariasi, seperti pada tabel berikut ini :
1,4 1,266 1,2
e
1"'
..
"'
..
0,8"
0,598""
.,
=
0,6"'
~ 0,4 0,2 0Sela tan Utara Ba rat Timur Stasinn Penelitian
Gambar 24. Indeks keanekaragaman (H') pada masing-masing stasiun penelitian Gambar 24. menunjukkan indeks keanekaragaman pada stasiun penelitian berkisar antara 0,598-1,266, aiiinya indeks keanekaragaman berada pada kriteria rendab sampai sedang. Menurut Odum (1971) jika indeks keanekaragaman H':51