• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) (Tambusai,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) (Tambusai,"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keselamatan dan kesehatan kerja baik sekarang maupun masa yang akan datang merupakan sarana menciptakan situasi kerja yang aman, nyaman dan sehat, ramah lingkungan, sehingga dapat mendorong efisiensi dan produktifitas yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan semua pihak, baik bagi pengusaha maupun pekerja. Dengan demikian pemantauan dan pelaksanaan norma-norma kesehatan dan keselamatan kerja di tempat kerja merupakan usaha meningkatkan kesejahteraan pekerja, keamanan aset produksi dan menjaga kelangsungan bekerja dan berusaha dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) (Tambusai, 2001).

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) difilosofikan sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budayanya menuju masyarakat makmur dan sejahtera. Sedangkan pengertian secara keilmuan adalah suatu ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. (Armanda, 2006).

Suma’mur (1989) membuat batasan bahwa kecelakaan kerja adalah suatu kecelakaan yang berkaitan dengan hubungan kerja dengan perusahaan. Hubungan kerja disini berarti kecelakaan terjadi karena pekerjaan atau pada

(2)

waktu melaksanakan pekerjaan. Oleh sebab itu, kecelakaan akibat kerja ini mencakup 2 permasalahan pokok, yakni kecelakaan adalah akibat langsung pekerjaan dan kecelakaan terjadi pada saat pekerjaan sedang dilakukan.

Mengingat kecelakaan kerja terus terjadi dan ancaman kecelakaan kerja masih tetap sering terjadi, maka Pemerintah Republik Indonesia telah memperlakukan beberapa Perundang-undangan maupun Peraturan mengenai ketenagakerjaan yang salah satunya dalam “ Konvensi International Labour Organization (ILO) No.120 tahun 1964 mengenai Hygiene dalam perniagaan dan kantor-kantor”. Menurut Suma’mur (2009) pada pasal 17 Konvensi ILO menyatakan bahwa “ Para pekerja harus dilindungi dengan tindakan yang tepat dan dapat dilaksanakan terhadap bahan, proses, dan teknik yang berbahaya, tidak sehat atau beracun atau untuk suatu alasan penguasa yang berwenang harus memerintahkan penggunaan alat pelindung diri.

Laporan International Labour Organization (ILO) memasukkan Indonesia sebagai negara dengan angka kecelakaan kerja terbesar kedua di dunia. Laporan itu didasarkan pada survei terhadap 53 negara, sesuai data ILO, terjadi 65.474 kecelakaan kerja di Indonesia. Di antara jumlah tersebut, 1.451 orang tenaga kerja meninggal dunia. Selain itu, 5.326 pekerja cacat tetap dan 58.697 sembuh tanpa cacat (Hernawati, 2008).

Ratusan juta tenaga kerja di seluruh dunia saat ini bekerja pada kondisi yang tidak aman dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan, menurut International Labor Organitation (ILO), setiap tahun terjadi 1,1 juta kematian yang disebabkan oleh karena penyakit atau kecelakaan akibat

(3)

hubungan pekerjaan. Sekitar 300.000 kematian terjadi dari 250 juta kecelakaan dan sisanya adalah kematian karena penyakit akibat hubungan pekerjaan, dimana diperkirakan terjadi 160 juta penyakit akibat hubungan pekerjaan baru setiap tahunnya (Sulistomo, 2001).

Menurut H.W. Heinrich (1980) yang dikutip oleh Ikhwan (2004) mengungkapkan bahwa, 80% kecelakaan kerja disebabkan oleh perbuatan yang tidak aman (unsafe action) dan hanya 20% disebabkan kondisi yang tidak aman (unsafe condition), sehingga pengendaliannya harus bertitik tolak dari perbuatan yang tidak aman yang dalam hal ini adalah perilaku manusia, dimana sikap kerja merupakan bagian dari perilaku.

Salah satu cara untuk menghindari kecelakaan kerja dan gangguan kesehatan pada pekerja atau mengurangi akibat yang timbul saat terjadi kecelakaan kerja serta mereduksi potensial gangguan kesehatan pekerja adalah menggunakan alat pelindung diri, maka Undang-undang nomor 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja mewajibkan pengurus untuk menyediakan secara cuma-cuma alat pelindung diri bagi tenaga kerja dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam tempat kerjanya.

Alat Pelindung Diri (APD) merupakan suatu perangkat yang digunakan oleh pekerja demi melindungi dirinya dari potensi bahaya serta kecelakaan kerja yang kemungkinan dapat terjadi di tempat kerja. Penggunaan APD oleh pekerja saat bekerja merupakan suatu upaya untuk menghindari paparan resiko bahaya di tempat kerja. Walaupun upaya ini berada pada

(4)

tingkat pencegahan terakhir, namun penerapan alat pelindung diri ini sangat dianjurkan (Tarwaka, 2008).

Alat pelindung diri adalah suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja yang terjadi. Peralatan ini hanya mengurangi jumlah kontak bahaya dengan cara penempatan penghalang antara tenaga kerja dengan bahaya (Suma’mur, 1981).

Undang-undang No. 25 tahun 1997 tentang ketenagakerjaan pasal108 menyatakan bahwa "Setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: keselamatan dan kesehatan kerja,moral dan kesusilaan,perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama". Oleh karena itu upaya perlindungan terhadap pekerja akan bahaya khususnya pada saat melaksanakan kegiatan (proses kerja) di tempat kerja perlu dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan. Salah satu upaya perlindungan terhadap tenaga kerja tersebut adalah dengan penggunaan alat pelindung diri (APD).

Pekerja pandai besi merupakan kegiatan rumah tangga yang sampai saat ini merupakan produsen utama alat-alat pertanian seperti cangkul, sabit, parang, sendok dodol, egrek, gancu, pisau, dan lain-lain, yang pada saat proses produksinya banyak menghasilkan barang jadi. Kegiatan ini pada umumnya dilaksanakan berada di sekitar rumah dan merupakan kegiatan keluarga. Biasanya pekerjanya adalah anggota keluarga itu sendiri atau ditambah dengan kaum kerabat lainnya (Depkes RI, 1993).

(5)

Pandai besi adalah tukang tempa logam (Depdikbud, 2001). Pandai Besi merupakan salah satu pekerjaan fisik yang kegiatan utamanya adalah membuat alat-alat rumah tangga seperti pisau, sabit, cangkul dan alat-alat lain yang terbuat dari besi. Selama proses pembuatan alat-alat tersebut, umumnya pandai besi terpapar tekanan panas. Aktivitas pekerjaannya meliputi : memotong lembaran besi, memanaskan logam, menempa atau memukulkan palu diatas logam panas, membentuk logam, menggrinda atau mengasah dan yang terakhir yaitu membuat tangkai pisau (I Nyoman Pradnyana Sucipta Putra, 2004).

Dalam penelitian ini, penulis meneliti salah satu lokasi pekerjaan pandai besi yang terletak di Desa Sitampurung, Kecamatan Siborongborong, Kab. Tapanuli Utara. Pandai besi ini telah lama ada sejak tahun 1960 dan sampai sekarang masih beroperasi di daerah ini. Berbagai peralatan pertanian yang dihasilkan dan dibentuk guna memenuhi kebutuhan para konsumen yang membutuhkan.

Pekerja pandai besi di Desa Sitampurung ini bekerja sesuai jumlah pesanan yang diterima. Jam kerja dan waktu istirahat pekerja tidak diatur, apabila pesanan banyak maka pekerja bekerja lebih lama, oleh karena itu beban kerja pekerja pandai besi tergantung dari jumlah pesanan yang diterima. Pada saat usaha pandai besi tidak menerima pesanan maka kegiatan produksi tetap berjalan, untuk menghasilkan aneka produk untuk dipasarkan. Berbagai proses dilakukan disini, mulai dari proses pemotongan besi baja,

(6)

pembentukan,pengerasan, dan penghalusanbesi/baja merupakan kegiatan utama pandai besi.

Berdasarkan survei awal yang dilakukan penulis pada 5 orang pekerja pandai besi di desa Sitampurung, Kecamatan Siborong-borong, Kabupaten Tapanuli Utara, terlihat jelas kondisi lingkungan dan pekerja. Iklim yang panas dan penuh dengan debu dari pembakaran dan logam. Pada pekerja yang tidak menggunakan baju, tidak memakai masker melainkan hanya menggunakan kain yang diikatkan untuk menutupi hidung dan mulut serta tidak menggunakan pelindung telinga, sepatu atau sandal bahkan alat pelindung diri lainnya.

Selain itu, pekerja kadang mengalami cidera maupun kecelakaan kerja, misalnya pada pembakaran arang biasanya terjadi luka bakar, luka memar, mata terpercik oleh api serta debu dari pembakaran. Pada saat pengambilan besi/baja hasil bakaran, misalnya tangan melepuh, tertusuk serpihan besi. Proses pemukulan logam/besi, misalnya tangan terpukul, jari tangan terpukul, tertusuk serpihan besi, tangan terpotong dan luka, tersayat, terpercik api. Proses pembentukan, misalnya terkena gerinda mengakibatkan tangan luka, jari terpotong gerinda, tersayat, bahkan terkena percikan api pada saat ngelas besi/baja.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian pada pandai besi di Desa Sitampurung, Kecamatan Siborong-borong, Kab. Tapanuli Utara. Penulis merumuskannya dalam sebuah judul

(7)

Pelindung Diri (APD) Pada Pekerja Pandai Besi di Desa Sitampurung, Kecamatan Siborongborong, Kab. Tapanuli Utara Tahun 2016”.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut yang menjadi permasalahan yaitu apakah faktor-faktor yang mempengaruhi Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Pekerja Pandai Besi di Desa Sitampurung, Kecamatan Siborongborong, Kab. Tapanuli Utara Tahun 2016.

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Pekerja Pandai Besi di Desa Sitampurung, Kecamatan Siborongborong, Kab. Tapanuli Utara Tahun 2016.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang

faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan APD pada pekerja pandai besi.

2. Untuk memberikan informasi pada pekerja pandai besi akan pentingnya pemakaian APD dalam melakukan pekerjaan sehingga dapat melakukan pekerjaan dengan baik dan aman.

3. Menambah pengetahuan penulis dalam melakukan penelitian. 4. Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Pengembangan usaha nutrasetikal berbasis sayuran organik semakin berkembang dengan peningkatan pengelolaan manajemen usaha baik proses produk yang sehat, pengelolaan SDM yang

Pada komponen pendapatan rumah tangga kini terdapat 29 dari 33 provinsi yang nilai indeksnya menunjukkan perbaikan kondisi ekonomi, sedangkan pada komponen pengaruh inflasi

Musik Jonngan juga terdapat makna nilai yang terkandung di dalam musik tersebut sesuai dengan lima teori makna Kluchohn yaitu makna nilai adat, makna nilai sejarah, makna

Katechin mempunyai sifat larut dalam air dan dengan meningkatnya kadar air pada produk gambir akan mempercepat tumbuhnya jamur dan katechin dilihat dari struktur

Berdasarkan hal yang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui ketergantungan masyarakat terhadap kawasan hutan di Dusun Lantaboko Kecamatan Parangloe

[r]

Hal lain yang menarik adalah walaupun Ibnu ‘Arabi menerima kepercayaan lain terhadap Tuhan, namun pada sisi lain ia tetap mengakui bahwa kepercayaan terhadap Tuhan yang dibawa

lima faktor yang mempengaruhi Tingkat kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara. yakni: Laju pertumbuhan ekonomi, Jumlah penduduk, Produk domestik